Chapter II 4
Chapter II 4
TINJAUAN PUSTAKA
2.2 Etiologi
Penyebab trauma maksilofasial bervariasi, mencakup kecelakaan lalu
lintas, kekerasan fisik, terjatuh, olah raga dan trauma akibat senjata api.
Kecelakaan lalu lintas adalah penyebab utama trauma maksilofasial yang dapat
membawa kematian dan kecacatan pada orang dewasa secara umum dibawah usia
50 tahun dan angka terbesar biasanya terjadi pada pria dengan batas usia 21-30
tahun.
Bagi pasien dengan kecelakaan lalu lintas yang fatal menjadi masalah
karena harus rawat inap di rumah sakit dengan cacat permanen yang dapat
mengenai ribuan orang per tahunnya. Berdasarkan studi yang dilakukan, 72%
kematian oleh trauma maksilofasial paling banyak disebabkan oleh kecelakaan
lalu lintas (Ghazali 2007).
2.3 Epidemiologi
Dari data penelitian itu menunjukkan bahwa kejadian trauma maksilofasial
sekitar 6% dari seluruh trauma yang ditangani oleh SMF Ilmu Bedah RS Dr.
Soetomo. Kejadian fraktur mandibula dan maksila terbanyak diantara 2 tulang
lainnya, yaitu masing-masing sebesar 29,85%, disusul fraktur zigoma 27,64% dan
fraktur nasal 12,66% (Ghazali, 2007).
Penderita fraktur maksilofasial ini terbanyak pada laki-laki usia produktif,
yaitu usia 21-30 tahun, sekitar 64,38% disertai cedera di tempat lain dan trauma
penyerta terbanyak adalah cedera otak ringan sampai berat sekitar 56%. Penyebab
terbanyak adalah kecelakaan lalu lintas dan sebagian besar adalah pengendara
sepeda motor (Malara, 2006).
2.4 Definisi Trauma Maksilofasial
Trauma maksilofasial adalah suatu ruda paksa yang mengenai wajah dan
jaringan sekitarnya. Trauma pada jaringan maksilofasial dapat mencakup jaringan
lunak dan jaringan keras. Yang dimaksud dengan jaringan lunak wajah adalah
jaringan lunak yang menutupi jaringan keras wajah. Sedangkan yang dimaksud
dengan jaringan keras wajah adalah tulang kepala (Ariwibowo, 2008).
Trauma Jaringan lunak
1. Abrasi kulit, tusukan, laserasi, tato.
2. Cedera saraf, cabang saraf fasial.
3. Cedera kelenjar parotid atau duktus Stensen.
4. Cedera kelopak mata.
5. Cedera telinga.
6. Cedera hidung.
Trauma Jaringan keras
1. Fraktur sepertiga atas muka.
2. Fraktur sepertiga tengah muka.
a) Fraktur hidung (os nasale).
b) Fraktur maksila (os maxilla).
c) Fraktur zigomatikum (os zygomaticum dan arcus zygomaticus).
d) Fraktur orbital (os orbita).
3. Fraktur sepertiga bawah muka.
a) Fraktur mandibula (os mandibula).
b) Gigi (dens).
c) Tulang alveolus (os alveolaris).
2.5 Klasifikasi
Trauma maksilofasial dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu
trauma jaringan keras wajah dan trauma jaringan lunak wajah. Trauma jaringan
lunak biasanya disebabkan trauma benda tajam, akibat pecahan kaca pada
kecelakaan lalu lintas atau pisau dan golok pada perkelahian (Ghazali, 2007).
Bola mata biasanya sedikit keluar dari orbita rim dan bola mata terikat
oleh ligamen Lockwood dari tuberkulum Whitnall yang terletak dibawah sutura
zigomatikofrontal pada dinding dalam orbita rim. Bola mata adalah relatif kuat
dan terisi dengan humor vitreous yang tahan terhadap tekanan. Kavitas orbital
selebihnya terisi dengan lemak. (Thomas, 2007)
Secara umum, fraktur orbita dibagi kepada dua kategori yang luas. Yang
pertama merupakan fraktur yang secara relatif eksternal dan melibatkan orbita rim
serta tulang-tulang yang berdekatan, sebagai contoh fraktur pada nasoethmoid
(nasoorbital) dan fraktur malar. Yang kedua adalah fraktur yang melibatkan tulang
secara internal di dalam kavitas orbita. Fraktur ini terjadi tanpa (atau sedikit)
penglibatan orbita rim. Fraktur seperti ini biasanya disebut fraktur blow-out atau
blow-in. Istilah blow-out ini digunakan oleh Converse dan Smith (1950) untuk
menggambarkan fraktur pada dinding inferior orbita yang mengarah ke bawah dan
memasuki sinus maksilaris mengarah ke atas, memasuki orbita. Sebaliknya blow-
in merupakan fraktur yang tanpa melibatkan orbital rim, fraktur ini dipanggil pure
blow-out. Jika orbita rim terlibat, maka orbita rim dikenali sebagai impure blow-
out. Dalam kasus ini, lemak orbita dan otot masuk ke dalam sinus maksilaris,
menghasilkan enophthalmus. Jika otot rektus inferior dan oblique inferior juga
terlibat dalam hal ini, pergerakan bola mata akan menjadi terbatas. Ini dikenal
sebagai diplopia (Thomas, 2007).
Gambar 10A Fraktur Blow Out, 10B Fraktur Blow In (Robert 1984)
b. Fraktur Zygoma (Thomas, 2007)
Perbaikan fraktur komplek zigoma sering dilakukan secara elektif. Fraktur
arkus yang terisolasi bisa diangkat melalui pendekatan Gillies klasik. Fraktur Le
FortI, Le Fort II, dan Le Fort III (Thomas, 2007)
a. Fraktur Le Fort I
Fraktur Le Fort I dapat terjadi sebagai suatu kesatuan tunggal atau bergabung
dengan fraktur – fraktur Le Fort II dan III. Pada Fraktur Le Fort I, garis frakturnya
dalam jenis fraktur transversus rahang atas melalui lubang piriform di
atas alveolar ridge, di atas lantai sinus maksilaris, dan meluas ke posterior yang
melibatkan pterygoid plate. Fraktur ini memungkinkan maksila dan palatum
durum bergerak secara terpisah dari bagian atas wajah sebagai sebuah blok yang
terpisah tunggal. Fraktur Le Fort I ini sering disebut sebagai fraktur
transmaksilari.
Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort I dilakukan dalam dua pemeriksaan
yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan
dilakukan dengan visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya
edema pada bibir atas dan ekimosis. Sedangkan secara palpasi terdapat
bergeraknya lengkung rahang atas. Pada pemeriksaan intra oral, pemeriksaan
dilakukan secara visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya
open bite anterior. Sedangkan secara palpasi terdapat rasa nyeri. Selanjutnya
pemeriksaan fraktur Le Fort I dilakukan dengan foto rontgen dengan proyeksi
wajah anterolateral.
Gambar 12.(A). Le Fort I, Le Fort II, Le Fort III (pandangan anterior) (B).Le Fort
I, Le Fort II, Le Fort III (proyeksi sagital) (London, 1991)
a. Berdasarkan Tipe fraktur.(Thomas, 2007, Grabb and Smith 2007)
a. Fraktur simpel.
Merupakan fraktur sederhana, liniear yang tertutup misalnya
pada kondilus, koronoideus, korpus dan mandibula yang tidak
bergigi.
Fraktur tidak mencapai bagian luar tulang atau rongga mulut.
Termasuk greenstik fraktur yaitu keadaan retak tulang,
terutama pada anak dan jarang terjadi.
b. Fraktur Compound
Fraktur lebih luas dan terbuka atau berhubungan dengan
jaringan lunak.
c. Biasanya pada fraktur korpus mandibula yang mendukung gigi,
dan hampir selalu tipe fraktur kompound meluas dari membran
periodontal ke rongga mulut, bahkan beberapa luka yang parah
dapat meluas dengan sobekan pada kulit.
d. Fraktur kominutif.
Benturan langsung terhadap mandibula dengan objek yang
tajam seperti peluru yang mengakibatkan tulang menjadi
bagian yang kecil atau remuk.
Bisa terbatas atau meluas, jadi sifatnya juga seperti fraktur
kompoun dengan kerusakan tulang dan jaringan lunak.
e. Fraktur patologis.
Keadaan tulang yang lemah oleh karena adanya penyakit
penyakit tulang, seperti Osteomyelitis, tumor ganas, kista yang
besar dan penyakit tulang sistemis sehingga dapat
menyebabkan fraktur spontan.
b. Perluasan tulang yang terlibat.
a. Komplit, fraktur mencakup seluruh tulang.
b. Tidak komplit, seperti pada greenstik, hair line, dan kropresi
(lekuk).
c. Konfigurasi (garis fraktur).
a. Tranversal, bisa horizontal atau vertikal.
b. Oblique (miring).
c. Spiral (berputar).
d. Comunitif (remuk).
d. Hubungan antar Fragmen.
Displacement, disini fragmen fraktur terjadi perpindahan
tempat.
Undisplacement, bisa terjadi berupa :
o Angulasi / bersudut.
o Distraksi.
o Kontraksi.
o Rotasi / berputar.
o Impaksi / tertanam.
Inspeksi
Secara sistematis bergerak dari atas ke bawah :
a. Deformitas, memar, abrasi, laserasi, edema.
b. luka tembus.
c. Asimetris atau tidak.
d. Adanya Maloklusi / trismus, pertumbuhan gigi yang abnormal.
e. Otorrhea / Rhinorrhea
f. Telecanthus, Battle's sign, Raccoon's sign.
g. Cedera kelopak mata.
h. Ecchymosis, epistaksis
i. Defisit pendengaran.
j. Perhatikan ekspresi wajah untuk rasa nyeri, serta rasa cemas.
Palpasi
1. Periksa kepala dan wajah untuk melihat adanya lecet, bengkak,
ecchymosis, jaringan hilang, luka, dan perdarahan, Periksa luka terbuka
untuk memastikan adanya benda asing seperti pasir, batu kerikil.
2. Periksa gigi untuk mobilitas, fraktur, atau maloklusi. Jika gigi avulsi,
mengesampingkan adanya aspirasi.
3. Palpasi untuk cedera tulang, krepitasi dan mati rasa, terutama di daerah
pinggiran supraorbital dan infraorbital, tulang frontal, lengkungan
zygomatic dan pada artikulasi zygoma dengan tulang frontal, temporal
dan rahang atas.
4. Periksa mata untuk memastikan adanya exophthalmos atau
endophthalmos, menonjol lemak dari kelopak mata, ketajaman visual,
kelainan gerakan okular, jarak interpupillary dan ukuran pupil, bentuk,
dan reaksi terhadap cahaya, baik langsung dan konsensual.
5. Perhatikan sindrom fisura orbital superior, ophthalmoplegia, ptosis dan
proptosis.
6. Balikkan kelopak mata dan periksa benda asing atau adanya laserasi.
7. Memeriksa ruang anterior untuk mendeteksi adanya perdarahan, seperti
hyphema.
8. Palpasi daerah orbital medial. Kelembutan mungkin menandakan
kerusakan pada kompleks nasoethmoidal.
9. Lakukan tes palpasi bimanual hidung. bius dan tekan intranasal
terhadap lengkung orbital medial. Secara bersamaan tekan canthus
medial. Jika tulang bergerak, berarti adanya kompleks nasoethmoidal
yang retak.
10. Lakukan tes traksi, Pegang tepi kelopak mata bawah dan tarik terhadap
bagian medialnya. Jika "tarikan" tendon terjadi, bisa dicurigai gangguan
dari canthus medial.
11. Periksa hidung untuk telecanthus (pelebaran sisi tengah hidung) atau
dislokasi. Palpasi untuk kelembutan dan krepitasi.
12. Periksa septum hidung untuk hematoma, massa menonjol kebiruan,
laserasi pelebaran mukosa, fraktur atau dislokasi dan rhinorrhea cairan
cerebrospinal.
13. Periksa untuk laserasi liang telinga, kebocoran cairan serebrospinal,
integritas membran timpani, hemotympanum, perforasi atau ecchymosis
daerah mastoid (Battle sign).
14. Periksa lidah dan mencari luka intraoral, ecchymosis atau bengkak.
Secara bimanual meraba mandibula dan memeriksa tanda-tanda
krepitasi atau mobilitas.
15. Tempatkan satu tangan pada gigi anterior rahang atas dan yang lainnya
di sisi tengah hidung. Gerakan hanya gigi menunjukkan fraktur le fort I.
Gerakan di sisi hidung menunjukkan fraktur Le Fort II atau III.
16. Memanipulasi setiap gigi individu untuk bergerak, rasa sakit, ginggiva
dan pendarahan intraoral, air mata, atau adanya krepitasi.
17. Lakukan tes gigit pisau. Minta pasien untuk menggigit keras pada
pisau. Jika rahang retak pasien tidak dapat melakukan ini dan akan
mengalami rasa sakit.
18. Meraba seluruh bagian mandibula dan sendi temporomandibular untuk
memeriksa nyeri, kelainan bentuk atau ecchymosis.
19. Palpasi kondilus mandibula dengan menempatkan satu jari di saluran
telinga eksternal sementara pasien membuka dan menutup mulut. Rasa
sakit atau kurang gerak kondilus menunjukkan fraktur.
20. Periksa paresthesia atau anestesi saraf.
2.6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan awal pada pasien dengan kecurigaan trauma maksilofasial
yaitu meliputi :
1. Periksa kesadaran pasien.
2. Perhatikan secara cermat wajah pasien :
Apakah asimetris atau tidak.
Apakah hidung dan wajahnya menjadi lebih pipih.
3. Apakah ada hematoma :
a. Fraktur zigomatikus
Terjadi hematoma yang mengelilingi orbita, berkembang secara
cepat sebagai permukaan yang bersambungan secara seragam.
Periksa mulut bagian dalam dan periksa juga sulkus bukal atas
apakah ada hematoma, nyeri tekan dan krepitasi pada dinding
zigomatikus.
b. Fraktur nasal
Terdapat hematoma yang mengelilingi orbita, paling berat ke arah
medial.
c. Fraktur Orbita
Apakah mata pasien cekung kedalam atau kebawah
Apakah sejajar atau bergeser
Apakah pasien bisa melihat
Apakah dijumpai diplopia
Hal ini karena :
o Pergeseran orbita
o Pergeseran bola mata
o Paralisis saraf ke VI
o Edema
d. Fraktur pada wajah dan tulang kepala.
Raba secara cermat seluruh bagian kepala dan wajah : nyeri tekan,
deformitas, iregularitas, dan krepitasi.
Raba tulang zigomatikus, tepi orbita, palatum dan tulang hidung,
pada fraktur Le Fort tipe II atau III banyak fragmen tulang kecil
sub cutis pada regio ethmoid. Pada pemeriksaan ini jika rahang
tidak menutup secara sempurna berarti pada rahang sudah terjadi
fraktur.
e. Cedera saraf
Uji anestesi pada wajah (saraf infra orbita) dan geraham atas (saraf
gigi atas).
f. Cedera gigi
Raba giginya dan usahakan menggoyangkan gigi bergerak
abnormal dan juga disekitarnya.
3 Manifestasi klinis
Gejala klinis gejala dan tanda trauma maksilofasial dapat berupa (Grabb
and Smith 2007; Thomas, 2007)
1. Dislokasi, berupa perubahan posisi yg menyebabkan maloklusi terutama
pada fraktur mandibula.
2. Pergerakan yang abnormal pada sisi fraktur.
3. Rasa nyeri pada sisi fraktur.
4. Perdarahan pada daerah fraktur yang dapat menyumbat saluran napas.
5. Pembengkakan dan memar pada sisi fraktur sehingga dapat menentukan
lokasi daerah fraktur.
6. Krepitasi berupa suara pada saat pemeriksaan akibat pergeseran dari ujung
tulang yang fraktur.
7. Laserasi yg terjadi pada daerah gusi, mukosa mulut dan daerah sekitar
fraktur.
8. Diskolorisasi perubahan warna pada daerah fraktur akibat pembengkakan
9. Numbness, kelumpuhan dari bibir bawah, biasanya bila fraktur terjadi di
bawah nervus alveolaris.
10. Pada fraktur orbita dapat dijumpai penglihatan kabur atau ganda,
penurunan pergerakan bola mata dan penurunan visus.
4 Pemeriksaan fisik
Secara umum yang dinilai adalah sebagai berikut :
a. Lokasi nyeri dan durasi nyerinya.
b. Adanya Krepitasi.
c. Fraktur.
Tanda pasti fraktur adalah pemendekan, rotasi, angulasi, dan false
movement
d. Deformitas, kelainan bentuk.
e. Trismus (tonik kontraksi rahang)
f. Edema.
g. Ketidakstabilan, atau keabnormalan bentuk dan gerakan yang terbatas.
2. Tulang Tengkorak
Terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak terdiri dari
beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria khususnya
diregio temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis
cranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak
akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa
yaitu fosa anterior tempat lobus frontalis, fosa media tempat temporalis dan fosa
posterior ruang bagi bagian bawah batang otak dan serebelum (Teasdale, 1996,
Marion, 1999).
4. Otak
Otak merupakan suatu struktur gelatin dengan berat pada orang dewasa
sekitar 14 kg. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu proensefalon (otak depan)
terdiri dari serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan
rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons, medula oblongata dan
serebellum. Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan
dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal
berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal
mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital bertanggung jawab dalam
proses penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi
retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewapadaan. Pada medulla
oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum bertanggung jawab dalam
fungsi koordinasi dan keseimbangan (Youman, 1996, Marion, 1999).
5. Cairan serebrospinalis
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan
kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel lateral
melalui foramen monro menuju ventrikel III, dari akuaduktus sylvius menuju
ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio
arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS
dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS
dan menyebabkan kenaikan tekanan intrakranial. Angka rata-rata pada kelompok
populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS
per hari (Narayan, 1996). Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi
ruang supratentorial (terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan
ruang infratentorial (berisi fosa kranii posterior). (Fearnside, 1997)
6. Vaskularisasi Otak
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis.
Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk
sirkulus Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan otot didalam
dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai katup. Vena tersebut keluar
dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus cranialis (Mayes, 1997).
c. Morfologi cedera Secara morfologis cedera kepala dapat dibagi atas fraktur
cranium dan lesiintrakranial (Narayan, 1996)
1. Fraktur cranium .
Fraktur cranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan dapat
berbentuk garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup. Fraktur dasar
tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT Scan dengan dengan teknik
bone window untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis
fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan
pemeriksaan lebih rinci. Tanda-tanda tersebut antara lain ekimosis periorbital
(raccoon eye sign), ekimosis retroauikular (battle sign), kebocoran CSS
(Rhinorrhea, otorrhea) dan paresis nervus fasialis fraktur cranium terbuka atau
komplikata mengakibatkan adanya hubungan antara laserasi kulit kepala dan
permukaan otak karena robeknya selaput duramater. Keadaan ini
membutuhkan tindakan dengan segera. Adanya fraktur tengkorak merupakan
petunjuk bahwa benturan yang terjadi cukup berat sehingga mengakibatkan
retaknya tulang tengkorak. Frekuensi fraktur tengkorak bervariasi, lebih banyak
fraktur ditemukan bila penelitian dilakukan pada populasi yang lebih banyak
mempunyai cedera berat. Fraktur kalvaria linear mempertinggi risiko
hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan 20 kali
pada pasien yang tidak sadar. Fraktur kalvaria linear mempertinggi risiko
hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan 20 kali
pada pasien yang tidak sadar. Untuk alasan ini, adanya fraktura tengkorak
mengharuskan pasien untuk dirawat dirumah sakit untuk pengamatan (Mayes,
1997, Markam, 1999)
2. Lesi Intrakranial
Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difusa, walau kedua
bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal termasuk hematoma
epidural, hematoma subdural, dan kontusi (atau hematoma intraserebral).
(Youman, 1996) Pasien pada kelompok cedera otak difusa, secara umum,
menunjukkan CT scan normal namun menunjukkan perubahan sensorium atau
bahkan koma dalam keadaan klinis
a. Hematoma Epidural
Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk di ruang potensial
antara tabula interna dan duramater dengan cirri berbentuk bikonvek atau
menyerupai lensa cembung. Paling sering terletak diregio temporal atau
temporoparietal dan sering akibat robeknya pembuluh meningeal media.
Perdarahan biasanya dianggap berasal arterial, namun mungkin sekunder dari
perdarahan vena pada sepertiga kasus. Kadang-kadang, hematoma epidural
akibat robeknya sinus vena, terutama diregio parietal-oksipital atau fossa
posterior. Walau hematoma epidural relatif tidak terlalu sering (0.5% dari
keseluruhan atau 9% dari pasien koma cedera kepala), harus selalu diingat saat
menegakkan diagnosis dan ditindak segera. Bila ditindak segera, prognosis
biasanya baik karena penekan gumpalan darah yang terjadi tidak berlangsungg
lama. Keberhasilan pada penderita pendarahan epidural berkaitan langsung
denggan status neurologis penderita sebelum pembedahan. Penderita dengan
pendarahan epidural dapat menunjukan adanya “lucid interval” yang klasik
dimana penderita yang semula mampu bicara lalu tiba-tiba meningggal (talk
and die), keputusan perlunya tindakan bedah memnang tidak mudah dan
memerlukan pendapat dari seorang ahli bedah saraf Dengan pemeriksaan CT
Scan akan tampak area hiperdens yang tidak selalu homogeny, bentuknya
biconvex sampai planoconvex, melekat pada tabula interna dan mendesak
ventrikel ke sisi kontralateral ( tanda space occupying lesion ). Batas dengan
corteks licin, densitas duramater biasanya jelas, bila meragukan dapat diberikan
injeksi media kontras secara intravena sehingga tampak lebih jelas (Marion,
1999)
c. Hematom Subdural
Hematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi di antara duramater
dan arakhnoid. SDH lebih sering terjadi dibandingkan EDH, ditemukan sekitar
30% penderita dengan cedera kepala berat. Terjadi paling sering akibat
robeknya vena bridging antara korteks serebral dan sinus draining. Namun ia
juga dapat berkaitan dengan laserasi permukaan atau substansi otak. Fraktura
tengkorak mungkin ada atau tidak Selain itu, kerusakan otak yang mendasari
hematoma subdural akuta biasanya sangat lebih berat dan prognosisnya lebih
buruk dari hematoma epidural. Mortalitas umumnya 60%, namun mungkin
diperkecil oleh tindakan operasi yang sangat segera dan pengelolaan medis
agresif. Subdural hematom terbagi menjadi akut dan kronis1) SDH AkutPada
CT Scan tampak gambaran hyperdens sickle ( seperti bulan sabit ) dekat tabula
interna, terkadang sulit dibedakan dengan epidural hematom. Batas medial
hematom seperti bergerigi. Adanya hematom di daerah fissure interhemisfer dan
tentorium juga menunjukan adanya hematom subdural (2) SDH KronisPada CT
Scan terlihat adanya komplek perlekatan, transudasi, kalsifikasi yang
disebabkan oleh bermacam- macam perubahan, oleh karenanya tidak ada pola
tertentu. Pada CT Scan akan tampak area hipodens, isodens, atau sedikit
hiperdens, berbentuk bikonveks, berbatas tegas melekat pada tabula. Jadi pada
prinsipnya, gambaran hematom subdural akut adalah hiperdens, yang semakin
lama densitas ini semakin menurun, sehingga terjadi isodens, bahkan akhirnya
menjadi hipodens (Marion, 1999).
e. Cedera difus
Cedera otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat cedera
akselerasi dan deselerasi, dan ini merupakan bentuk yang sering terjadi pada
cedera kepala. Komosio cerebri ringan adalah keadaan cedera dimana kesadaran
tetap tidak terganggu namun terjadi disfungsi neurologis yang bersifat
sementara dalam berbagai derajat. Cedera ini sering terjadi, namun karena
ringan kerap kali tidak diperhatikan. Bentuk yang paling ringan dari komosio ini
adalah keadaan bingung dan disorientasi tanpa amnesia. Sindroma ini pulih
kembali tanpa gejala sisa sama sekali. Cedera komosio yang lebih berat
menyebabkan keadaan bingung disertai amnesia retrograde dan amnesia
antegrad Komosio cerebri klasik adalah cedera yang mengakibatkan
menurunnya atau hilanggnya kesadaran. Keadaan ini selalu disertai dengan
amnesia pasca trauma dan lamanya amnesia ini merupakan ukuran beratnya
cidera. Dalam beberapa penderita dapat timbul defisit neurologis untuk beberapa
waktu. Defisit neurologis itu misalnya kesulitan mengingat, pusing, mual,
anosmia, dan depresi serta gejala lain. Gejala-gajala ini dikenal sebagai
sindroma pasca komosio yang dapat cukup berat.Cedera aksonal difus (Diffuse
Axonal Injury, DAI) adalah keadaan dimana penderita mengalami koma pasca
cedera yang berlangsung lama dan tidak diakibatkan oleh suatu lesi massa atau
serangan iskemik. Biasanya penderita dalam keadaan koma yang dalam dan
tetap koma selama beberapa waktu. Penderita sering menunjukan gejala
dekortikasi atau deserebrasi dan bila pulih sering tetap dalam keadaan cacat
berat, itupun bila bertahan hidup. Penderita sering menunjukan gejala disfungsi
otonom seperti hipotensi, hiperhidrosis dan hiperpireksia dan dulu diduga akibat
cedera aksonal difus dan cedera otak kerena hipoksia secara klinis tidak mudah,
dan memang dua keadaan tersebut sering terjadi bersamaan (Youman, 1996,
Marion 1999).