Panduan Manajemen Nyeri
Panduan Manajemen Nyeri
DISUSUN OLEH:
BIDANG MEDIK
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan
Rahmat dan Berkah-Nya yang telah dilimpahkan kepada penyusun, sehingga buku
Panduan Manajemen Nyeri RSUD dr Kanujoso Dkatiwibowo Balikpapan ini dapat
selesai disusun.
Buku panduan ini merupakan panduan bagi semua pihak yang terkait dalam
memberikan pelayanan manajemen nyeri kepada pasien di RSUD dr Kanujoso
Djatiwibowo Balikpapan.
Tidak lupa penyusun menyampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam menyelesaikan Panduan Manajemen Nyeri RSUD dr Kanujoso
Djatiwibowo Balikpapan.
II
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I : PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Tujuan 2
1. Tujuan Umum
2. Tujuan Khusus
2
C. Ruang Lingkup
BAB II : Definisi 4
BAB III : KEBIJAKAN 5
BAB IV : TATA LAKSANA 6
BAB V : DOKUMENTASI 10
DAFTAR PUSTAKA iv
III
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Nyeri sesungguhnya tidak hanya melibatkan persepsi dari suatu sensasi, tetapi
berkaitan juga dengan respon fisioligis, psikologis, sosial, emosi dan perilaku,
sehingga dalam penangannyapun memerlukan perhatian yang serius dari semua
unsur yang terlibat didalam pelayanan kesehatan.
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk meningkatkan mutu pelayanan di rumah sakit.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui pengalaman nyeri pasien dengan cara yang terstandar.
b. Membantu menentukan tipe nyeri dan kemungkinan penyebabnya.
c. Sebagai dasar untuk mengembangkan rencana perawatan untuk
mengatasi nyeri
C. Ruang Lingkup
Ruang lingkup pelayanan nyeri yaitu semua pasien dengan kondisi nyeri yang
membutuhkan pelayanan manajemen nyeri, pengobatan dan observasi nyeri.
Manajemen nyeri meliputi pelayanan bagi pasien-pasien di:
1. Instalasi Rawat Darurat,
2. Instalasi Rawat Jalan,
3. Instalasi Rawat Inap
4. Instalasi Rawat Intensif
5. Kamar Operasi.
1. Nyeri akut, merupakan hasil dari injuri akut, penyakit dan pembedahan.
2. Nyeri Kronik yang terdiri atas:
a. Non keganasan dihubungkan dengan kerusakan jaringan yang dalam
masa penyembuhan atau tidak progresif.
1
b. Keganasan adalah nyeri yang dihubungkan dengan kanker atau proses
penyakit lain yang progresif.
c. Nyeri kronik adalah nyeri yang bertahan untuk periode waktu yang lama.
Nyeri kronik yang terus-menerus ada meskipun telah terjadi proses
penyembuhan dan sering sekali tidak diketahui penyebabnya yang pasti.
2
BAB II
DEFINISI
3
BAB III
KEBIJAKAN
4
BAB IV
TATA LAKSANA
A. Asesmen Nyeri
1. Anamnesis
a. Riwayat Penyakit Sekarang
1) Onset nyeri: akut atau kronik, traumatik atau non-traumatik
2) Karakter dan derajat keparahan nyeri: tumpul, nyeri tajam, rasa
terbakar, tidak nyaman, kesemutan, dan neuralgia.
3) Pola penjalaran/penyebaran nyeri.
4) Lokasi dan lokasi nyeri
5) Gejala lain yang menyertai misalnya kelemahan, baal, kesemutan,
mual/muntah, atau gangguan keseimbangan/kontrol motorik
6) Faktor yang memperberat dan memperingan.
7) Kronisitas.
8) Hasil pemeriksaan dan penanganan nyeri sebelumnya, termasuk
respons terapi
9) Gangguan kehilangan fungsi akibat nyeri/uka.
10) Penggunaan alat bantu.
11) Perubahan fungsi mobilitas, kognitif, irama tidur, dan aktivitas
hidup dasar (activity of daily living).
12) Singkirkan kemungkinan potensi emergensi pembedahan, seperti
adanya fraktur yang tidak stabil, gejala neurologis progresif cepat
yang berhubungan dengan sindrom kauda ekuina.
b. Riwayat pembedahan/penyakit dahulu
c. Riwayat psiko – sosial
1) Riwayat konsumsi alkohol, merokok atau narkotika.
2) Identifikasi pengasuh/perawat utama (primer) pasien.
3) Identifikasi kondisi tempat tinggal pasien yangberpotensi
menimbulkan ekserbasi nyeri.
4) Pembatasan/restriksi partisipasi pasien dalam aktivitas sosial yang
berpotensi menimbulkan stress. Pertimbangkan juga aktivitas
penggantinya.
5) Masalah psikiatri (misalnya depresi, cemas, ide ingin bunuh diri)
dapat menimbulkan pengaruh negative terhadap motivasi dan
kooperasi pasien dengan program penanganan/manajemen nyeri
kedepannya. Pada pasien dengan masalah psikiatri, diperlukan
dukungan psikoterapi/psikofarmaka.
6) Tidak dapat bekerjanya pasien akibat nyeri dapat menimbulka
stress bagi pasien / keluarga.
d. Riwayat pekerjaan
Pekerjaan yang melibatkan gerakan berulang dan rutin, seperti
mengangkat benda berat, membungkuk atau memutar; merupakan
pekerjaan tersering yang berhubungan dengan nyeri punggung.
e. Obat-obatan dan alergi
5
1) Daftar obat-obatan yang dikonsumsi pasien untuk mengurangi
nyeri (suatu studi menunjukkan bahwa 14% populasi di AS
mengkonsumsi suplemen/herbal, dan 36% mengkonsumsi
vitamin).
2) Cantumkan juga mengenai dosis, tujuan minum obat, durasi,
efektifitas, dan efek samping.
3) Direkomendasikan untuk mengurangi atau memberhentikan obat-
obatan dengan efek samping kognitif dan fisik.
f. Riwayat keluarga
Evaluasi riwayat medis keluarga terutama penyakit genetik.
g. Asesmen sistem organ yang komprehensif
1) Evaluasi gejala kardiovaskuler, psikiatri, pulmoner, gastrointestinal,
neurologi, reumatologi, genitourinaria, endokrin, dan
musculoskeletal
2) Gejala konstitusional: penurunan berat badan, nyeri malam hari,
keringat malam, dan sebagainya.
2. Asesmen Nyeri
a. Penilaian nyeri menggunakan PQRST
P : Provokatif
Apa kira-kira penyebab timbulnya rasa nyeri?
Q : Quality/quantitas
Seberapa berat keluhan nyeri terasa? Bagaimana rasanya
(apakah nyeri seperti tertusuk, tertindih beban, tajam, tumpul,
terbakar)? Seberapa sering terjadi?
R : Region
Lokasi dimana keluhan nyeri tersebut dirasakan/ditemukan?
Apakah juga menyebar kedaerah lain/area penyebarannya?
S : Severity/skala
Diukur sesuai dengan tingkat usia dan kondisi/kesadaran
pasien
T : Timing
Kapan keluhan nyeri tersebut mulai ditemukan/dirasakan?
Seberapa sering keluhan nyeri tersebut dirasakan/terjadi?
Apakah terjadi secara mendadak atau bertahap? Akut atau
kronik?
b. Asesmen nyeri menggunakan:
1) Wong Baker Pain Scale
6
2) Verbal Rating Scale (VRSs)
Metode ini menggunakan suatu word list untuk mendeskripsikan
nyeri yang dirasakan. Pasien diminta memilih kata-kata atau
kalimat yang menggambarkan karakteristik nyeri yang dirasajan
dari word list yang ada. Metode ini dapat digunakan untuk
mengetahui intensitas nyeri dan saat pertama kali muncul sampai
tahap penyembuhan.
Penilaian ini menjadi beberapa kategori nyeri yaitu:
- Tidak nyeri (none)
- Nyeri ringan (mild)
- Nyeri sedang (moderate)
- Nyeri berat (severe)
- Nyeri sangat berat (very severe)
Keterangan:
Nilai 0 : nyeri tidak dirasakan oleh anak
Nilai 1 : nyeri dirasakan sedikit saja
Nilai 2 : nyeri agak dirasakan oleh anak
Nilai 3 : nyeri yang dirasakan anak lebih banyak
Nilai 4 : nyeri yang dirasakan anak secara keseluruhan
Nilai 5 : nyeri sekali dan anak menjadi menangis
NO KATEGORI SKOR
1 EKSPRESI WAJAH
Otot wajah relax, ekspresi neutral 0
Otot wajah tegang, alis berkerut, rahang dagu mengunci 1
2 TANGISAN
Tenang, tidak menangis 0
Mengerang, sebentar-sebentar menangis 1
Terus menerus menangis, menangis kencang, melengking 2
(Note: nangis diam dapat dimasukan dalam skor ini jika
bayi terintubasi dengan dasar penilaiannya pergerakan
mulut dan wajah)
3 POLA NAFAS
Relax, nafas reguler 0
Pola nafas berubah: tidak teratur, lebih cepat dari biasanya, 1
menahan nafas
4 TANGAN
Relax, otot-otot tangan tidak kaku, kadang-kadang tangan 0
bergerak / tidak beraturan
Flexi / ekstensi yang kaku, meluruskan tangan tapi dengan 1
cepat melakukan flexi/ ektensi yang kaku
5 KAKI
Relax, otot-otot kaki tidak kaku, kadang-kadang kaki 0
bergerak / tidak beraturan
Flexi / ekstensi yang kaku, meluruskan kaki tapi dengan 1
cepat melakukan flexi/ ektensi yang kaku
6 KESADARAN
Tidur pulas / cepat bangun. Alert dan tenang 0
Rewel, gelisah dan meronta-ronta 1
Nilai Total Skor 1 - 7 …/7
9
NO KATEGORI SKOR
1 EKSPRESI WAJAH
Relaks, neutral Tak tampak ketegangan / kontraksi otot wajah 0
c. Pada pasien dalam pengaruh obat anastesi atau dalam kondisi sedang,
asesmen dan penanganan nyeri dilakukan saat pasien menunjukkan
respon berupa ekspresi tubuh atau verbal akan rasa nyeri.
10
d. Asesmen Ulang Nyeri: dilakukan pada pasien yang dirawat lebih dari
beberapa jam dan menunjukkan adanya rasa nyeri, sebagai berikut:
1) Lakukan asesmen nyeri yang komprehensif setiap kali melakukan
pemeriksaan fisik pada pasien.
2) Dilakukan pada: pasien yang mengeluh nyeri, 1 jam setelah
tatalaksana nyeri, setiap empat jam (pada pasien yang
sadar/bangun), pasien yang menjalani prosedur menyakitkan,
sebelum transfer pasien, dan sebelum pasien pulang dari rumah
sakit.
3) Pada pasien yang mengalami nyeri kardiak (jantung), lakukan
asesmen ulang setiap 5 menit setelah pemberian nitrat atau obat-
obat intravena.
4) Pada nyeri akut/kronik, lakukan asesmen ulang tiap 30 menit – 1
jam setelah pemberian obat nyeri.
e. Derajat nyeri yang meningkat hebat secara tiba-tiba, terutama bila
sampai menimbulkan perubahan tanda vital, merupakan tanda-tanda
adanya diagnosis medis atau bedah yang baru (misalnya komplikasi
pasca pembedahan, nyeri neuropatik).
3. Pemeriksaan fisik
a. Pemeriksaan Umum
1) Tanda vital: tekanan darah, pernafasan, nadi, suhu tubuh
2) Ukurlah berat badan dan tinggi badan pasien
3) Periksa apakah terdapat lesi/luka dikulit seperti jaringan parut
akibat operasi, hiperpigmentasi, ulserasi, tanda bekas jarum
suntik.
4) Perhatikan juga adanya ketidaksegarisan (malalignement), atrofi
otot, fasikulasi, diskolorasi, dan edema.
b. Status mental
1) Nilai orientasi pasien.
2) Nilai kemampuan mengingat jangka panjang, pendek, dan segera.
3) Nilai kemampuan kognitif.
4) Nilai kondisi emosional pasien, termasuk gejala-gejala depresi,
tidak ada harapan, atau cemas.
c. Pemeriksaan sendi
1) Selalu periksa kedua sisi untuk menilai kesimetrisan.
2) Nilai dan catat pergerakan aktif semua sendi, perhatikan adanya
keterbatasan gerak, diskinesis, raut wajah meringis, atau simetris.
3) Nilai dan catat pergerakan pasif dari sendi yang terlihat
abnormal/dikeluhkan oleh pasien (saat menilai pergerakan aktif).
Perhatikan adanya limitasi gerak, raut wajah meringis, atau
simetris.
4) Palpasi setiap sendi untuk menilai adanya nyeri.
5) Pemeriksaan stabilitas sendi untuk mengidentifikasi adanya cidera
ligamen.
11
d. Pemeriksaan motorik
Nilai dan catat kekuatan motorik pasien dengan menggunakan kriteria
dibawah ini:
Derajat Definisi
5 Tidak terdapat keterbatasan gerak, mampu melawan
tahanan kuat
4 Mampu melawan tahanan ringan
3 Mampu bergerak melawan gravitasi
2 Mampu bergerak / bergeser kekiri dan kekanan tetapi tidak
mampu melawan gravitasi
1 Terdapat kontraksi otot (inspeksi / palpasi), tidak
menghasilkan pergerakan
0 Tidak terdapat kontraksi otot
e. Pemeriksaan sensorik
Lakukan pemeriksaan: sentuhan ringan, nyeri (tusukan jarum-pin prick),
getaran dan suhu.
f. Pemeriksaan neurologis lainnya
1) Evaluasi nervus cranial I – XII, terutama jika pasien mengeluh
nyeri wajah atau servikal dan sakit kepala.
2) Periksa refleks otot, nilai adanya asimetris dan klonus. Untuk
mencetuskan klonus membutuhkan kontraksi > 4 otot.
Refleks Segmen Spinal
Biseps C5
Brakioradialis C6
Triseps C7
Tendon Patella L4
Hamstring Medial L5
Achilles S1
12
c) Verbalisasi berlebihan akan nyeri (over – reaktif).
d) Reaksi nyeri yang berlebihan saat menjalani tes/pemeriksaan
nyeri.
e) Keluhan akan nyeri yang tidak konsisten (berpindah-pindah)
saat gerakan yang sama dilakukan pada posisi yang berbeda
(distraksi).
4. Pemeriksaan Elektromiografi (EMG)
a. Membantu mencari penyebab nyeri akut/kronik pasien
b. Mengidentifikasi area persarafan/cedera otot fokal atau difus yang
terkena
c. Mengidentifikasi atau menyingkirkan kemungkinan yang berhubungan
dengan rehabilitasi, injeksi, pembedahan atau terapi obat.
d. Membantu menegakkan diagnosis
e. Pemeriksaan serial membantu pemantauan pemulihan pasien dan
respons terhadap terapi.
f. Indikasi: kecurigaan saraf terjepit, mono/poli – neuropati, radikulopati.
5. Pemeriksaan Sensorik Kuantitatif
a. Pemeriksaan sensorik mekanik (tidak nyeri) : getaran.
b. Pemeriksaan sensorik mekanik (nyeri) : tusukan jarum, tekanan
c. Pemeriksaan sensasi suhu (dingin, hangat, panas).
d. Pemeriksaan sensasi persepsi.
6. Pemeriksaan radiologi
Indikasi:
a. Pasien nyeri dengan kecurigaan penyakit degeneratif tulang belakang.
b. Pasien dengan kecurigaan adanya neoplasma, infeksi tulang belakang,
penyakit inflamatorik, dan penyakit vascular.
c. Pasien dengan defisit neurologis motorik, kolon, kandung kemih, atau
ereksi.
d. Pasien dengan riwayat pembedahan tulang belakang.
e. Gejala nyeri yang menetap > 4 minggu.
7. Asesmen Psikolog
a. Nilai mood pasien, apakah dalam kondisi cemas, ketakutan, depresi.
b. Nilai adanya gangguan tidur, masalah terkait pekerjaan.
c. Nilai adanya dukungan sosial, interaksi sosial.
13
B. Tata Laksana Nyeri Sesuai Skala Nyeri
1. Nyeri Ringan : Dilaksanakan oleh perawat
2. Nyeri Sedang : Dilaksanakan oleh dokter umum atau dokter DPJP
3. Nyeri Berat : Dilaksanakan oleh DPJP atau tim nyeri Rumah
Sakit
4. Nyeri sangat berat : Konsul dengan Tim Nyeri Rumah Sakit.
METODE DISTRAKSI
Suatu metode untuk menghilangkan nyeri dengan cara mengalihkan perhatian
klien pada hal-hal lain sehingga klien akan lupa terhadap nyeri yang dialami :
1. Distraksi visual
a. Membaca / menonton TV
b. Menonton pertandingan
2. Distraksi Auditori
a. Humor
b. Mendengarkan musik
3. Distraksi Taktil
a. Bernafas dengan perlahan dan berirama
b. Massage
c. Memegang permainan.
4. Distraksi Intektual
a. Teka-teki silang
b. Permainan kartu
c. Hobi (menulis cerita).
Metode Relaksasi
a. Merupakan metode efektif untuk mengurangi rasa nyeri pada klien yang
mengalami nyeri kronis. Rileks sempurna dapat mengurangi ketegangan
otot, rasa jenuh, kecemasan, sehingga mencegah menghebatnya stimulus
nyeri. Tiga hal utama yang dibutuhkan dalam tehnik relaksasi:
1) Posisi klien
2) Pikiran sehat
3) Lingkungan yang tenang.
b. Prosedur Tindakan
1) Tahap Pra Interaksi
a) Melihat data nyeri yang lalu
b) Mengkaji intervensi keperawatan yang telah diberikan oleh
perawat
14
c) Mengkaji program terapi yang diberikan oleh dokter
2) Tahap Orientasi
a) Menyapa dan menyebut nama pasien
b) Menanyakan cara yang biasa dipergunakan agar rileks dan tempat
yang paling disukai
c) Menjelaskan tujuan dan prosedur
d) Menanyakan persetujuan dan kesiapan pasien
3) Tahap Interaksi
a) Mengatur posisi yang nyaman menurut pasien sesuai kondisi
pasien (duduk/berbaring)
b) Mengatur lingkungan yang tenang dan nyaman
c) Meminta pasien memejamkan mata
d) Meminta pasien untuk memfokuskan fikiran pasien pada kedua
kakinya untuk dirilekskan, kendorkan seluruh otot-otot kakinya,
perintahkan pasien untuk merasakan relaksasi kedua kaki pasien
e) Meminta pasien untuk memindahkan pikirannya pada kedua
tangan pasien, kendorkan otot-otot kedua tangannya, meminta
pasien untuk merasakan relaksasi keduanya.
f) Memindahkan focus pikiran pasien pada bagian tubuhnya,
memerintahkan pasien untuk merilekskan otot-otot tubuh pasien
mulai dari otot pinggang sampai ke otot bahu, meminta pasien
untuk merasakan relaksasi otot-otot tubuh pasien
g) Meminta pasien untuk senyum agar otot-otot muka menjadi rileks
h) Meminta pasien untuk memfocuskan pikiran pada masuknya udara
lewat jalan nafas
i) Membawa alam pikiran pasien menuju tempat yang mnyenangkan
pasien
4) Tahap terminasi
a) Mengevaluasi hasil relaksasi (skala nyeri, ekspresi)
b) Menganjurkan pasien untuk mengulang tehnik relaksasi ini, bila
pasien merasakan nyeri
c) Berpamitan pada pasien
d) Mendokumentasikan tindakan dan respon pasien dalam catatan
perawatan
10. Opioid
a. Merupakan analgesik poten (tergantung dosis) dan efeknya dapat
ditiadakan oleh nalokson.
b. Contoh opioid yang sering digunakan: morfin, sufentanil, meferidin
c. Dosis opioid disesuaikan pada setiap individu, gunakan titrasi.
d. Adiksi terhadap opioid sangat jarang terjadi bila digunakan untuk
penatalaksanaan nyeri akut.
e. Efek samping:
1) Depresi pernafasan, dapat terjadi pada:
a) Overdosis: pemberian dosis besar, akumulasi akibat
pemvberian secara infus, opioid long acting
b) Pemberian sedasi bersamaan (benzodiazepine, antihistamin,
antiemetic tertentu)
c) Adanya kondisi tertentu: gangguan elektrolit, hipovolemia,
uremia, gangguan respirasi dan peningkatan tekanan
intrakranial.
2) Sedasi: adalah indikator yang baik untuk dan dipantau dengan
menggunakan skor sedasi yaitu:
a) 0 = sadar penuh
b) 1 =sedasi ringan, kadang mengantuk, mudah dibangunkan
c) 2=sedasi sedang, sering konstan mengantuk, mudah
dibangunkan
d) 3 =sedasi berat, somnolen, sukar dibangunkan
e) S= tidur normal
3) Sistem Saraf Pusat:
a) Euporia: halunisasi, miosis, kekakuan otot
b) Pemakai MAOI: pemberian petidin dapat menimbulkan kom
E. Manajemen Nyeri Akut
1. Nyeri akut merupakan nyeri yang terjadi ≤ 6 minggu.
2. Lakukan asesmen nyeri: mulai dari anamnesis hingga pemeriksaan
penunjang.
3. Tentukan mekanisme nyeri:
a. Nyeri somatik
1) Diakibatkan adanya kerusakan jaringan yang menyebabkan
pelepasan zat kimia dari sel yang cedera dan memediasi inflamasi
dan nyeri melalui nosiseptor kulit.
2) Karakteristik: onset cepat, terlokalisasi dengan baik, dan nyeri
bersifat tajam, menusuk, atau seperti ditikam.
3) Contoh: nyeri akibat laserasi, sprain, fraktur, dislokasi.
18
b. Nyeri visceral
1) Nosiseptor visceral lebih sedikit dibandingkan somatic, sehingga
jika terstimulasi akan menimbulkan nyeri yang kurang bisa
dilokalisasi, bersifat difus, tumpul, seperti ditekan benda berat.
2) Penyebab: iskemi/nekrosis, inflamasi, peregangan ligament,
spasme otot polos, distensi organ berongga/lumen.
3) Biasanya disertai dengan gejala otonom, seperti mual, muntah,
hipotensi, bradikardia, berkeringat.
c. Nyeri neuropatik
1) Berasal dari jaringan saraf
2) Sifat nyeri seperti rasa terbakar, nyeri menjalar, kesemutan,
alodinia (nyeri saat disentuh), hiperalgesia.
3) Gejala nyeri biasanya dialami pada bagian distal dari tempat
cedera (sementara pada nyeri nosiseptif, nyeri dialami pada
tempat cederanya)
4) Biasanya diderita oleh pasien dengan diabetes, multiple sclerosis,
herniasi diskus, AIDS, pasien yang menjalani kemoterapi /
radioterapi.
4. Tatalaksana sesuai mekanisme nyeri
a. Farmakologi: gunakan Step – Ladder WHO
1) OAINS efektif untuk nyeri ringan-sedang, opioid efektif untuk nyeri
sedang-berat.
2) Mulailah dengan pemberian OAINS / opioid lemah (langkah 1 dan
2) dengan pemberian intermitten (pro re nata-prn) opioid kuat
disesuaikan dengan kebutuhan pasien.
3) Jika langkah I dan 2 kurang efektif / nyeri menjadi sedang-berat,
dapat ditingkatkan menjadi langkah 3 (ganti dengan opioid kuat
dan prn analgesik dalam kurun waktu 24 jam setelah langkah 1).
4) Penggunaan opioid harus ditittrasi. Opioid standar yang sering
digunakan adalah morfin, kodein.
5) Jika pasien memiliki kontraindikasi absolute OAINS, dapat
diberikan opioid ringan.
6) Jika fase nyeri akut pasien telah terlewati, lakukan pengurangan
dosis secara bertahap.
b. Pembedahan: injeksi epidural, suprasoinal, infiltrasi anestesi lokal
ditempat nyeri
c. Non – farmakologi:
1) Olah raga
2) Imobilisasi
3) Pijat
4) Relaksasi
5) Stimulasi saraf transkutan elektrik
5. Follow-up / asesmen ulang
a. Asesmen ulang sebaiknya dilakukan dengan interval yang teratur.
b. Panduan umum:
19
1) Pemberian parenteral: 30 menit
2) Pemberian oral: 60 menit
3) Intervensi non – farmakologi: 30-60 menit
6. Pencegahan:
a. Edukasi pasien :
1) Berikan informasi mengenai kondisi dan penyakit pasien, serta
tatalaksananya
2) Diskusikan tujuan dari manajemen nyeri dan manfaatnya untuk
pasien
3) Beritahukan bahwa pasien dapat menghubungi tim medis jika
memiliki pertanyaan / ingin berkonsultasi mengenai kondisinya.
4) Pasien dan keluarga ikut dilibatkan dalam menyusun manajemen
nyeri ( termasuk penjadwalan medikasi, pemilihan analgesik, dan
jadwal control).
b. Kepatuhan pasien dalam menjalani manajemen nyeri dengan baik.
Keteranga:
Skor 7 – 1: tidak sesuai untuk menjalani terapi opioid jangka panjang
Skor 14 – 21: sesuai untuk menjalani terapi opioid jangka panjang
24
5. Sebisa mungkin jangan memberikan obat via intramuscular karena
nyeri dan absorbs obat tidak dapat diandalkan.
6. Infus kontinu memiliki keuntungan yang lebih dibandingkan IM, IV
dan subkutan intermiten, yaitu: tidak nyeri, mencegah terjadinya
penundaan/keterlambatan pemberian obat, memberikan control
nyeri yang kontinu pada anak.
Indikasi: pasien nyeri dimana pemberian per oral dan opioid
parenteral intermiten tidak memberikan hasil yang memuaskan,
adanya muntah hebat (tidak dapat memberikan obat per oral).
d. Analgesik dan anestesi regional: epidural atau spinal
e. Sangat berguna untuk anak dengan nyeri kanker stadium lanjut yang
sulit diatasi dengan terapi konservatif.
1) Harus dipantau dengan baik.
2) Berikan edukasi dan pelatihan kepada staf, ketersediaan segera
obat-obatan dan peralatan resusitasi, dan pencatatan akurat
mengenai tanda vital / skor nyeri.
Manajemen nyeri kronik: biasanya memiliki penyebab multiple, dapat
melibatkan komponen nosiseptif dan neuropatik.
1) Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik menyeluruh.
2) Pemeriksaan penunjang yang sesuai.
3) Evaluasi faktor yang mempengaruhi
4) Program terapi: kombinasi terapi obat dan non-obat (kognitif, fisik,
dan perilaku).
5) Lakukan pendekatan multidisiplin
f. Berikut adalah table obat-obatan non-opioid yang sering digunakan
pada anak:
Obat-obatan Non-Opioid
Obat Dosis Keterangan
Parasetamol 10-15mg/kg BB oral, Efek antiinflamasi kecil, efek gastrointerstinal
setiap 4-6 jam dan hematologi minimal
Ibuprofen 5 – 10 mg/kg BB oral Efek antiinflamasi. hati-hati pada pasien
setiap 6 – 8 jam dengan gangguan hepar/renal, riwayat
perdarahan gastrointestinal atau hipertensi.
Naproksen 10-20mg/kg BB/hari oral, Efek antiinflamasi. Hati-hati pada pasien
terbagi dalam 2 dosis dengan disfungsi renal. Dosis maksimal 1
g/hari.
Diklofenal 1mg/kgBB oral, setiap 8- Efek antiinflamasi. Efek samping sama
12 jam dengan ibuprofen dan naproksen. Dosis
maksimal 50mg/kali.
25
1) Pilih rute yang paling sesuai. Untuk pemberian jangka panjang, pilihlah
jalur oral.
2) Pada penggunaan infus kontinu IV, sediakan obat opioid kerja singkat
dengan dosis 50% - 200% dari dosis infus perjam kontinyu.
3) Jika diperlukan > 6 kali opioid kerja singkat prn dalam 24 jam, naikkan
dosis infus IV per-jam kontinu sejumlah: total dosis opioid prn yang
diberikan dalam 24 jam dibagi 24. Alternatif lainnya adalah dengan
menaikkan kecepatan infus sebesar 50%.
4) Pilih opioid yang sesuai dan dosisnya.
5) Jika efek analgesik tidak adekuat dan tidak ada toksisitas, tingkatkan
dosis sebesar 50%.
6) Saat tappering-off atau penghentian obat pada semua pasien yang
menerima opioid > 1 minggu, harus dilakukan tafering-off (untuk
menghindari withdrawal). Kurangi dosis 50% selama 2 hari, lalu kurangi
sebesar 25% setiap 2 hari. Jika dosis ekuivalen dengan dosis morfin
oral (0,6 mg/kgBB/hari), opioid dapat dihentikan.
7) Meperidin tidak boleh digunakan untuk jangka lama karena dapat
terakumulasi dan menimbulkan mioklonus, hiperrefleks, dan kejang.
7. Intervensi non-farmakologi
a. Terapi termal: pemberian pendinginan atau pemanasan diarea
nosiseptif untuk menginduksi pelepasan opioid endogen.
b. Stimulasi listrik pada saraf transkutan / perkutan, dan akupuntur.
c. Blok saraf dan radiasi area tumor.
d. Intervensi medis pelengkap / tambahan atau alternatif: terapi relaksasi,
umpan balik positif, hypnosis.
e. Fisioterapi dan terapi okupasi.
8. Intervensi farmakologi (ditekankan pada keamanan pasien)
a. Non-Opioid: OAINS, parasetamol, COX-2 inhibitor, antidepressant
trisiklik, amitripitilin, ansiolitik.
b. Opioid:
1) Resiko adiksi rendah jika digunakan untuk nyeri akut (jangka
pendek).
2) Hidrasi yang cukup dan konsumsi serat / bulking agent untuk
mencegah konstipasi (preparat senna, sorbitol).
3) Berikan opioid jangka pendek.
4) Dosis rutin dan teratur memberikan efek analgesik yang lebih baik
daripada pemberian intermiten.
5) Mulailah dengan dosis rendah, lalu naikkan perlahan.
6) Jika efek analgesik masih kurang adekuat, dapat menaikkan opioid
sebesar 50 – 100% dari dosis semula.
c. Analgesik adjuvant:
1) OAINS dan amfetamin: meningkatkan toleransi opioid dan resolusi
nyeri.
2) Nortriptilin, klonazepam, karbamazepin, fenitoin, gabapentin,
tramadol, mexiletine: efektif untuk nyeri neuropatik
3) Antikonvulsan: untuk neuralgia trigeminal.
Gabapentin: neuralgia pasca-herpetik 1-3x 100 mg sehari dan
dapat ditingkatkan menjadi 300 mg/hari.
27
9. Resiko efek samping OAINS meningkat pada lansia. Insidens perdarahan
gastrointestinal meningkat hamper dua kali lipat pada pasien > 65 tahun.
10. Semua fase farmakokinetik dipengaruhi oleh penuaan, termasuk absorbsi,
distribusi, metabolisme, dan eliminasi.
11. Pasien lansia cenderung memerlukan pengurangan dosis analgesik.
Absorbsi sering tidak teratur karena adanya penundaan waktu transit atau
sindrom malabsorbsi.
12. Ambang batas nyeri sedikit meningkat pada lansia.
13. Lebih disarankan menggunakan obat dengan waktu paruh yang lebih
singkat.
14. Lakukan monitor ketat jika mengubah atau meningkatkan dosis pengobatan.
15. Efek samping penggunaan opioid yang paling sering dialami: konstipasi.
16. Penyebeb tersering timbulnya efek samping obat; polifarmasi (misalnya
pasien mengkonsumsi analgesik, antidepressant, dan sedasi ringan rutin
harian).
17. Prinsip dasar terapi farmakologi: mulailah dengan dosis rendah, lalu naikkan
perlahan hingga tercapai dosis yang diinginkan.
18. Nyeri yang tidak dikontrol dengan baik dapat mengakibatkan:
a. Penurunan / keterbatasan mobilitas. Pada akhirnya dapat mngarah ke
depresi karena pasien frustasi dengan keterbatasan mobilitasnya dan
menurunnya kemampuan fungsional.
b. Dapat menurunkan sosialisasi, gangguan tidur, bahkan dapat
menurunkan imunitas tubuh.
c. Kontrol nyeri yang tidak adekuat dapat menjadi penyebab munculnya
agitasi dan gelisah.
d. Dokter cenderung meresepkan obat-obatan yang lebih banyak.
Polifarmasi dapat meningkatkan resiko jatuh dan delirium.
19. Beberapa obat yang sebaiknya tidak digunakan (dihindari) pada lansia:
a. OAINS: indometasin dan piroksikam (waktu paruh yang panjang dan
efek samping gastrointestinal yang lebih besar).
b. Opioid: pentazocine, butorphanol (merupakan campuran antagonis
dan agonis, cenderung memproduksi efek psikotomimetik pada lansia):
metadon, levorphanol (waktu paruh panjang).
c. Propoxyphene: neurotoksik
d. Antidepresan: tertiary amine tricyclics (efek samping antikolinergik).
20. Semua pasien yang mengkonsumsi opioid sebelumnya harus diberikan
kombinasi preparat senna dan pelunak feses (bulking agents).
28
21. Pemilihan analgesic: menggunakan 3 – step ladder WHO (sama dengan
manajemen pada nyeri akut).
a. Nyeri ringan-sedang: analgesic non-opioid.
b. Nyeri sedang: opioid minor, dapat dikombinasikan dengan OAINS dan
analgesic adjuvant.
c. Nyeri berat: opioid poten.
22. Satu-satunya perbedaan dalam terapi analgesik ini adalah penyesuaian
dosis dan hati-hati dalam memberikan obat kombinasi.
BAB V
DOKUMENTASI
29
Dokumentasi manajemen nyeri dilakukan di:
1. Asesmen awal keperawatan
2. Asesmen nyeri lanjutan
30
DAFTAR PUSTAKA
KARS (2018), Instrumen Survei Standar Nasional Akreditasi Rumah Sakit (edisi 1).
Jakarta: KARS
IV