Anda di halaman 1dari 23

BAGIAN ILMU BEDAH REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN JUNI 2019


UNIVERSITAS HALU OLEO

DISLOKASI SENDI PANGGUL

OLEH :
Sabrina Julia La Sara, S. Ked.
K1A113053

PEMBIMBING :
dr.Tri Tuti Hendarwati, Sp. OT.

BAGIAN ILMU BEDAH


RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI BAHTERAMAS
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2019
DISLOKASI SENDI PANGGUL
Sabrina Julia La Sara, Tri Tuti Hendarwati

A. PENDAHULUAN
Sendi panggul merupakan salah satu sendi paling stabil yang
menjadi penyusun tubuh berkat caput femoralis dan acetabulum serta
struktur ligamentum dan otot yang kuat. Secara anatomis letak dari sendi
panggul melekat erat pada acetabulum sehingga butuh trauma berat untuk
terjadi dislokasi.1
Dislokasi sendi panggul merupakan cedera ortopaedhic yang serius
yang dapat menyebabkan kecacatan permanen dan memburuk bila
berhubungan dengan fraktur acetabulum atau caput femoralis, sehingga
diharuskan untuk segera screening setelah mengalami trauma berat yang
melibatkan sendi panggul. Dislokasi ini jarang terjadi, penyebabnya
hampir selalu setelah cedera traumatis seperti kecelakaan lalu lintas atau
jatuh dari ketinggian.2,3
Dislokasi panggul dapat diklasifikasikan sebagai dislokasi
kongenital atau didapat (acquired). Dislokasi kongenital biasanya terjadi
akibat posisi fetus didalam uterus yang menekan dinding abdomen ibu
yang mengakibatkan bagian posterior fetus melawan sendi panggul pada
posisi fleksi. Dislokasi sendi panggul yang didapat (acquired)
diklasifikasikan pula berdasarkan arah dari pergeseran caput femoralis.
Dislokasi sendi panggul posterior lebih sering terjadi (80% kasus) daripada
dislokasi sendi panggul anterior.4,5
Reduksi dislokasi sendi panggul sangat penting untuk penanganan
awal dan meminimalisir komplikasi jangka panjang seperti nekrosis
avaskular dan arthritis posttrauma.3

2
B. DEFINISI
Dislokasi didefinisikan sebagai pergeseran/perpindahan tulang dan
sendi dari posisi semula. Hal ini terjadi saat dua tulang yang membentuk
sendi terpisah secara total.6
Dislokasi sendi panggul terjadi ketika ada gaya yang kuat
diteruskan sepanjang femur yang memaksa caput femoralis keluar dari
cawannya (socket).7
Dislokasi sendi panggul adalah peristiwa yang dikaitkan akibat dari
cedera/trauma berat atau pasca operasi total hip replacement berakibat
terjadi pergeseran caput femoralis dari acetabulum.4

C. EPIDEMIOLOGI
Penelitian yang dilakukan Lima et al menunjukan angka kejadian
dislokasi sendi panggul kebanyakan terjadi pada dewasa muda dengan
rata-rata umur 34,4 tahun dan gender laki-laki (90,7%). Hasil penelitian ini
setara dengan yang dilaporkan oleh Giordano et al dan Onyemaechi dan
Eyichukwu.2
Sehubungan dengan mekanisme trauma, kecelakaan lalu lintas
merupakan penyebab terbesar dislokasi ini (90,7%). Lima et al juga
menunjukan dislokasi sendi panggul posterior lebih banyak (93%)
daripada dislokasi anterior (7%). Insidensi nekrosis avaskular caput
femoralis bervariasi dari 1,7% hingga 40%, tetapi dapat berkurang menjadi
0% hingga 10% bila reduksi dilakukan 6 jam post trauma.2
Faktor predisposisi yang dilaporkan National Highway Traffic
Safety Administration tahun 2014 terjadi lebih dari 2,3 juta kecelakaan
motor dan dominan usia muda, kasus tersebut meningkat 1,1% dari tahun
2013. Penelitian Woo dan Morrey tahun 1986 menunjukan kasus dislokasi
sendi panggul terjadi 2,3% dari 10.000 pasien yang menerima operasi total
hip replacement. Penelitian lain juga melaporkan sekitar 10% pasien
pertama kali menerima operasi total hip replacement dan lebih dari 28%
pasien yang menerima operasi ulangan mengalami dislokasi sendi

3
panggul. Diprediksi pada tahun 2030, angka tersebut bertambah 173%
pada pasien yang baru pertama kali menerima operasi tersebut dan 137%
pada pasien ulangan.4

D. ANATOMI DAN FISIOLOGI SENDI TERKAIT


Sendi panggul merupakan artikulasi yang disusun dari caput
femoralis dan acetabulum, yang berbentuk seperti bola dan cawan (ball-
socket) yang memiliki cairan sinovial. Komponen anatomi yang berperan
pada stabilitas panggul termasuk kedalaman acetabulum, labrum, kapsul
sendi, otot dan ligamentum sekitarnya. Femur terhubung dengan
acetabulum melalui 5 ligamen yang terpisah yakni:8
- Ligamentum iliofemoral menempel pada tulang anterior inferior iliac
pelvis dan garis intertrochanter femur
- Ligamentum pubofemoral dari superior ramus pubis, dan juga
menempel pada garis intertrochanter femur
- Ligamentum ischiofemoral yang terhubung oleh ischium ke greater
trochanter femur
- Ligamentum transverse acetabular terdiri dari labrum yang menutupi
lekukan acetabulum
- Ligamentum caput femoral (ligamentum teres) bergabung dengan caput
femoralis dengan ligamentum transversum dan lekukan acetabulum

4
(a) (b)

(c) (d)

Gambar 1. (a) Potongan frontal dari sendi panggul kanan; (b) interior sendi
panggul, tampak lateral; (c) Tampak posterior dari sendi panggul kanan; (d) tampak
anterior dari sendi panggul kanan9

Masing-masing ligamentum tersebut memiliki kekuatan yang


relatif berbeda dan saling terhubung. Ligamentum iliofemoral terletak di
anterior dan ligamentum ischiofemoral terletak di posterior. Karena
ligamentum anterior lebih kuat dari pada posterior sehingga angka
kejadian dislokasi posterior lebih banyak daripada dislokasi anterior. Otot
pendukung sendi panggul termasuk rectus femoris, otot gluteus, dan short
external rotator. Saraf sciatic yang besar terletak lebih inferoposterior dari
sendi panggul, sedangkan saraf femoralis terletak persis didepan panggul.
Cabang dari arteri iliaka eksterna membentuk seperti cincin pada neck
femur, dengan sirkumfleksa arteri lateral femoral lebih mengarah ke
anterior sedangkan sirkumfleksa arteri medial femoral ke arah posterior.
Pasokan darah utama dari caput femoralis adalah sirkumfleksa arteri
medial femoral.4,8

5
Gambar 2. Vaskularisasi Sendi panggul9

E. DISLOKASI POSTERIOR
Dislokasi posterior terdiri sekitar 80-90% kasus yang disebabkan
karena kecelakaan lalu lintas.8
1. Mekanisme Trauma
Dislokasi posterior biasanya dihubungkan dengan cedera terjadi
pada lutut, umumnya terjadi dikursi penumpang ketika lutut
menghantam dashboard. Femur terdorong proksimal diikuti oleh caput
femoralis yang juga terdorong ke posterior; sering bagian dari tulang
acetabulum (biasanya dinding posterior) retak sehingga terjadi fraktur-
dislokasi.5
2. Gambaran Klinis
Pada dislokasi posterior datang dengan tungkai adduksi, fleksi,
rotasi internal dan nampak kaki memendek. Bila terjadi fraktur femur
ipsilateral, posisi tersebut mungkin tidak khas. Untuk mengetahui lebih
pasti diperlukan pemeriksaan radiologi. Lutut harus diperiksa terkait
memar dan cedera ligamen, serta menentukan status neurovaskular
tungkai. Saraf sciatic sangat berisiko pada dislokasi ini.4,5

6
Gambar 3. Posisi kaki pasien bila terjadi dislokasi posterior5
3. Imaging
Modalitas dengan X-Ray anteroposterior akan nampak caput
femoralis terlihat lebih tinggi dan kecil dari yang diharapkan jika
dibandingkan dengan panggul normal. Caput femoralis dan fraktur
dinding posterior acetabulum mungkin dapat terlihat jelas.5

Gambar 4. Foto X-Ray Pelvis AP yang memperlihatkan dislokasi posterior kanan8

Impaksi dari permukaan sendi caput femoralis sangat baik dilihat


pada pemeriksaan CT Scan, yakni fraktur acetabulum dan kehilangan

7
beberapa fragmen tulang, tetapi pencitraan ini lebih jelas terlihat bila
tidak terjadi penundaan reduksi dislokasi sendi panggul.5

Gambar 5. CT-Scan dislokasi panggul posterior10


Klasifikasi Thompson dan Epstein membantu membuat rencana
tatalaksana dari dislokasi ini, yakni:5
- Tipe I, dislokasi dengan tidak lebih dari fraktur minor
- Tipe II, dislokasi dengan satu fragmen besar dari dinding posterior
acetabulum
- Tipe III, dislokasi dengan fragmen kominutif dari dinding posterior
acetabulum
- Tipe IV, dislokasi dengan fraktur melalui acetabulum
- Tipe V, dislokasi dengan fraktur melalui dasar acetabulum dan caput
femoralis

Gambar 6. Klasifikasi Dislokasi Panggul Thompson-Epstein3

8
Tipe I dan II adalah dislokasi yang relatif sederhana, hal ini terkait
dengan fraktur fragmen kecil dari dinding acetabulum (fovea
centralis) atau fragmen besar tunggal dari dinding posterior
acetabulum. Tipe III, dinding posterior terpecah-pecah. Tipe IV
berhubungan dengan fraktur dasar acetabulum dan tipe V
berhubungan dengan fraktur caput femoralis yang selanjutnya terbagi
menjadi klasifikasi Pipkin.5

Gambar 7. Klasifikasi Pipkin fraktur caput femoralis5

4. Tatalaksana
Dislokasi ini harus segera direduksi secepat mungkin mengingat
kejadian osteonekrosis dan osteoarthitis meningkat jika dislokasi lebih
dari 6 jam. Reduksi tersebut membutuhkan anestesi sedasi atau total
dan dilakukan secara tertutup pada sebagian besar kasus. Reduksi
tertutup (closed reduction) tidak boleh dilakukan bila dicurigai
terdapat fraktur leher femur untuk mencegah perpindahan suplai darah
lebih lanjut dan gangguan suplai darah ke caput femoralis.5
Untuk melakukan closed reduction, satu asisten bertugas
menstabilkan pelvis, lalu ahli bedah/operator mulai melakukan traksi
secara bertahap (biasanya posisi pasien adduksi dan rotasi internal
dengan lutut fleksi 90 derajat). Diawali dengan melenturkan pinggul
pasien, pertahankan traksi lalu diikuti rotasi internal dan adduksi

9
sehingga mencapai reduksi. Dalam beberapa kasus mungkin
diperlukan fleksi panggul lebih dari 90 derajat. Asisten dapat
membantu memberikan tekanan medial dan anterior langsung ke caput
femoralis melalui bokong sehingga terdengar bunyi “clunk” yang
menandakan reduksi berhasil.5
Pemeriksaan X-Ray post reduksi dan/atau CT Scan harus
dilakukan untuk menentukan kualitas reduksi dan ada tidaknya
fragmen yang tertahan dalam sendi. Bantuan tongkat penopang juga
dapat digunakan saat penggunaan weight-bear as tolerated. Jika
pemeriksaan X-Ray atau CT Scan post reduksi ditemukan fragmen
pada intra-articular maka dipertimbangkan untuk dilakukan open
reduction. Reduksi tersebut tidak bersifat emergency dan bisa
dilakukan bila kondisi pasien telah stabil atau siap untuk dilakukan
operasi.5
Klasifikasi fraktur menurut Thompson dan Epstein tipe II
memerlukan open reduction dan fiksasi anatomi. Ringkasnya, fiksasi
pada fragmen dinding posterior akan mengembalikan stabilitas dan
kongruensi sendi. Fraktur tipe III dilakukan closed reduction, tetapi
sering tertahan oleh fragmen yang memerlukan removal operation.
Untuk memfiksasi fragmen comminuted posterior dapat dilakukan
dengan pemasangan spring plate.5
Fraktur tipe IV dan V diawali dengan closed reduction. Indikasi
pembedahan diperlukan jika didapati ketidakstabilan, tahanan fragmen
atau sendi yang inkongruensi. Kemungkinan fraktur tipe V terjadi
tahanan fragmen sehingga dibutuhkan konfirmasi CT scan setelah
dilakukan reduksi. Fragmen kecil dapat diangkat dengan mudah tetapi
fragmen besar memerlukan pembedahan sendi yakni dengan
pemasangan countersunk screws. Selanjutnya latihan penggunaan non-
weight–bearing menjadi weight-bearing selama 6-12 minggu.5

F. DISLOKASI ANTERIOR

10
Angka kejadian dislokasi sendi panggul anterior kurang dari 10-
15% dari semua kasus dislokasi sendi panggul. Dislokasi ini tergolong
sebagai tipe obturator, pubic atau perineal. Dislokasi sendi panggul pubic
anterior-superior terhitung kurang dari 10% kasus dari seluruh kasus
dislokasi anterior. Jika posisi paha sebelum terjadi trauma abduksi dan
rotasi eksternal maka kemungkinan besar akan terjadi dislokasi anterior.
Dislokasi anterior terbagi menjadi dua tipe yakni tipe I pubic (superior)
dan tipe II obturator (inferior).5,7
1. Mekanisme Trauma
Dislokasi ini biasanya dihubungkan akibat trauma dengan
kecepatan tinggi. Contohnya bila kecelakaan, tungkai penumpang
dalam posisi abduksi, fleksi dan rotasi eksternal dan menghantam
dashboard maka kemungkinan terjadi dislokasi anterior.11
Dislokasi obturator dapat terjadi bila pasien jatuh dengan posisi
kedua panggul dan lutut fleksi.10
2. Gambaran Klinis
Dislokasi anterior diklasifikasikan sebagai superior-anterior (tipe
pubic) atau inferior-anterior (tipe obturator). Tipe dislokasi pubic
datang dengan tungkai bawah abduksi, ekstensi dan rotasi eksternal
pada sendi panggul. Tipe obturator akan nampak tungkai bawah
abduksi, fleksi dan rotasi eksternal. Pasien dislokasi anterior
kemungkinan teraba caput femoralis di femoral triangle dan dislokasi
posterior teraba di area gluteal.4

11
Gambar 8. Dislokasi anterior
3. Imaging (X-Ray)
Dalam foto X-ray anteroposterior dislokasi biasanya jelas, tetapi
kadang caput femoralis tepat didepan posisi normalnya. Femoral akan
tampak lebih besar daripada sisi kontralateralnya. Foto X-ray posisi
lateral akan membantu konfirmasi dislokasi ini.5

Gambar 9. Foto X-Ray Pelvis AP tampak dislokasi panggul anterior kanan15


4. Tatalaksana
Reduksi dislokasi anterior lebih sulit dibanding reduksi posterior.
Saat dilakukan reduksi sebaiknya dibawah pengaruh sedasi atau
anestesi general, jika kondisi ini ulangan maka dapat dipertimbangkan
open reduction. Closed reduction dapat dilakukan pada tungkai yang
mengalami dislokasi dengan cara rotasi eksternal, abduksi dan fleksi,
sebelum tungkai diluruskan. Reduksi berhasil bila terdengar bunyi
“clunk”.5

G. MACAM-MACAM MANUVER REDUKSI12


Roentgenogram sebelum reduksi diperlukan untuk kejelasan dislokasi dan
mencari cedera/trauma lain secara bersamaan. Beberapa kasus, sedasi intravena
diberikan untuk kenyamanan pasien dan relaksasi otot-otot besar disekitar
panggul.

12
1. Reduksi Dislokasi Posterior
Prinsip reduksi dislokasi posterior yakni fleksi, rotasi internal dan
adduksi panggul. Berikut beberapa manuver reduksi dislokasi posterior,
antara lain:
a. Manuver Allis
Pasien diposisikan supine. Ahli bedah/operator berdiri diatas
pasien dan memfleksikan lutut ipsilateral pasien 90 derajat dan
asisten menahan posisi pelvis agar tetap stabil. Selanjutnya ahli
bedah melakukan traction in line, kemudian secara lembut
dilakukan gerakan rotasi eksternal agar caput femoralis masuk
kedalam acetabulum.

Gambar 10. Manuver Allis


b. Manuver Bigelow
Pasien dalam posisi supine. ahli bedah memegang ankle pada
tungkai yang dislokasi dan tangan sebelah memeluk lutut pasien
selanjutnya lutut difleksikan 90 derajat. Lalu asisten memegang
pelvis agar tetap stabil dan ahli bedah melakukan traction in line
sambil abduksi dan rotasi eksternal.

13
Gambar 11. Manuver Bigelow

c. Manuver Lefkowitz
Manuver ini diperkenalkan tahun 1993. Posisi pasien supine. Ahli
bedah berdiri disebelah pasien dan menopang lutut pasien
menggunakan lututnya tepat dibawah fossa poplitea. Lalu ahli
bedah secara lembut mendorong tungkai tersebut hingga caput
femoralis kembali ke acetabulum.

Gambar 12. Manuver Lefkowitz

d. Manuver Captain Morgan


Manuver ini diperkenalkan tahun 2011. Ahli bedah menggunakan
lututnya sebagai tumpuan dan salah satu tangannya berada dibawah
fossa poplitea tungkai yang mengalami dislokasi, tangan
sebelahnya memegang ankle pasien. Selanjutnya ahli bedah
melakukan upward traction sehingga caput femoralis kembali ke
acetabulum.

14
Gambar 13. Manuver Captain Morgan
e. Manuver East Baltimore
Manuver ini menggunakan dua asisten yang bertugas untuk
menjadikan tangannya menjadi tumpuan traksi dan ahli bedah
melakukan traksi seperti pada gambar dibawah.

Gambar 14. Manuver East Baltimore

f. Manuver Howard
Manuver ini menggunakan seorang asisten yang bertugas
melakukan traksi lateral saat panggul difleksikan 90 derajat.
Selanjutnya ahli bedah melakukan traction in line.

15
Gambar 15. Manuver Howard

g. Metode traksi lateral


Pasien dalam posisi supine diatas brankar. Seorang asisten
menggunakan selembar kain membungkus paha pasien dan
bersama-sama ahli bedah melakukan traksi. Ahli bedah meluruskan
kaki pasien dan asisten melakukan traksi lateral sehingga mencapai
reduksi.

Gambar 16. Metode traksi lateral


h. Metode Piggyback
Pasien diposisikan supine pada tepi brankar. tungkai yang dislokasi
difleksikan dan ditumpu pada bahu ahli bedah lalu diberikan gaya
kebawah hingga reduksi berhasil.

16
Gambar 17. Metode Piggyback
i. Teknik Tulsa/Metode Rochester/Teknik Whistler
Pasien posisi supine diatas brankar. kedua tungkai difleksikan dan
salah satu tangan ahli bedah berada dibawah tungkai yang
mengalami dislokasi dan direduksi seperti terlihat pada gambar.

Gambar 18. Teknik Tulsa/Metode Rochester/Teknik Whistler


j. Manuver Skoff
Pasien diposisikan lateral dekubitus dengan tungkai dislokasi
berada diatas. Selanjutnya tungkai difleksikan 90-100 derajat,
rotasi internal 40-45 derajat dan adduksi 40-45 derajat dan
fleksikan lutut 90 derajat. Asisten bertugas melakukan traksi lateral
dan bersamaan dengan ahli bedah mempalpasi bagian gluteal
femoral head hingga reduksi berhasil.

17
Gambar 19. Manuver Skoff

k. Manuver Stimson gravity


Pasien posisi prone dengan tungkai bawah difleksikan 90 derajat
pada tepi brankar. Selanjutnya ahli bedah/operator melakukan
traksi kebawah disertai rotasi internal dan eksternal hingga reduksi
berhasil.

Gambar 20. Manuver Stimson gravity

l. Teknik Waddell
Teknik/manuver ini merupakan modifikasi antara manuver Allis
dan Bigelow. Pasien dalam posisi supine, asisten bertugas
memfiksasi pinggul. Selanjutnya lutut pasien difleksikan, dan ahli
bedah/operator meletakan salah satu lengan bawah tangannya dan
memberikan traksi seperti pada gambar 21.

18
Gambar 21. Teknik Waddell
2. Reduksi Dislokasi Anterior
Reduksi dislokasi anterior hampir sama dengan melakukan reduksi
dislokasi posterior, tetapi fleksi panggul kemungkinan tidak dilakukan
karena caput femoralis berada didepan dari pelvis. Pada dislokasi
pubic dilakukan panggulerekstensi dan in-line traction, sedangkan
pada dislokasi obturator dilakukan fleksi panggul, adduksi dan rotasi
eksternal. Berikut beberapa reduksi dislokasi anterior:
a. Metode Allis leg extension
Pasien dalam posisi supine. Asisten memfiksasi pinggul pasien,
lalu ahli bedah/operator melakukan traksi in-line yakni adduksi,
rotasi eksternal dan fleksi panggul. Jika pasien merupakan
dislokasi pubic dapat dipertimbangkan panggulerekstensi panggul.
b. Metode Bigelow leg extension
Pasien posisi supine. Asisten bertugas memfiksasi pinggul dan ahli
bedah/operator memegang ankle tungkai yang mengalami dislokasi
dan lengan bawah tangan sebelahnya memfiksasi bawah lutut
pasien, selanjutnya traksi dilakukan adduksi dan rotasi eksternal.
c. Metode traksi lateral
Pasien posisi supine. Asisten bertugas menarik kearah lateral
tungkai yang mengalami dislokasi dengan kain yang dililitkan
dipaha lalu ahli bedah/operator memegang tungkai secara
longitudinal hingga reduksi berhasil.

19
d. Metode Stimson gravity
Pasien posisi prone dengan tungkai bawah difleksikan 90 derajat
dipinggir brankar. Selanjutnya dilakukan rotasi internal dan
eksternal hingga reduksi berhasil.

H. MANAJEMEN PASCA REDUKSI


Imobilisasi ketat dapat memicu adhesi intra-articular dan arthritis,
sehingga harus dihindari. Gerakan yang berlebihan sebaiknya dihindari 4-6
minggu untuk penyembuhan capsular dan soft tissue. Rehabilitasi termasuk
latihan strengthening otot-otot panggul. Aktifitas dan olahraga seperti biasa
ditunda hingga 6-12 minggu atau hingga kekuatan panggul kembali normal.3

I. KOMPLIKASI5
Early
1. Sciatic nerve injury
Komplikasi ini terjadi pada 10-20% kasus dislokasi. Fungsi saraf
seharusnya segera diperiksa sebelum dilakukan reduksi. Jika setelah
reduksi dislokasi dan ditemukan onset baru terjadi lesi sciatic nerve
maka harus ditentukan apakah lesi terjadi akibat terjebaknya saraf saat
dilakukan manuver.
2. Vascular injury
Biasanya arteri gluteal superior mengalami robekan dan terjadi
perdarahan. Jika dicurigai komplikasi ini, maka segera lakukan
arteriogram. Arteri yang robek segera diligasi/kontrol perdarahan
dengan metode embolisasi radiologi.
3. Berhubungan dengan fraktur femoral
Pada kasus ini closed reduction sulit dilakukan sehingga
dibutuhkan open reduction yang diikuti dengan internal fiksasi.

20
Late
1. Osteonecrosis caput femoralis
Komplikasi ini telah dilaporkan lebih dari 20% kasus dislokasi
posterior yang terlambat dilakukan reduksi lebih dari 12 jam. Pada X-
ray akan nampak peningkatan densitas pada caput femoralis.
2. Myositis ossificans
Komplikasi ini jarang terjadi dan dihubungkan dengan tingkat
keparahan trauma soft tissue.
3. Unreduced dislocation
Setelah beberapa minggu tidak ditangani, dapat dilakukan closed
manipulation dan open reduction. Tetapi insidensi kekakuan atau
osteonecrosis meningkat dan selanjutnya pasien menerima
pembedahan rekonstruktif.
4. Secondary osteoarthritis
Komplikasi ini sering terjadi karena: (1) kerusakan kartilago
bersamaan dislokasi; (2) terdapat fragmen yang tertahan pada sendi;
(3) osteonecrosis caput femoralis. Komplikasi ini dapat ditangani
dengan arthroplasty.
5. Recurrent instability
Komplikasi ini jarang terjadi tetapi dapat terjadi bila keterlambatan
stabilisasi atau penundaan rekonstruksi.

J. PROGNOSIS
Prognosis pasien dislokasi sendi panggul bervariasi berdasarkan
tipe klasifikasi yang berhubungan jika disertai dengan fraktur caput
femoralis atau acetabulum, dan injury lainnya. Umumnya, prognosis baik
pada 50-93% kasus.13
Dislokasi anterior tanpa kerusakan caput femoralis memiliki
prognosis jangka panjang yang lebih baik daripada dislokasi posterior.
Prognosis dihubungkan dengan waktu reduksi dislokasi. Osteonecrosis
caput femoralis tidak cukup dijadikan indikator prognosis dislokasi.

21
Penelitian sebelumnya mendokumentasikan 4,8% kasus mengalami
osteonecrosis setelah menerima reduksi kurang dari 6 jam dan 52,9%
kasus setelah 6 jam.3
Anak-anak menunjukan prognosis yang lebih baik setelah terjadi
dislokasi panggul dibanding orang dewasa. Hal ini disebabkan jarangnya
kejadian fraktur pada dislokasi panggul anak, dilaporkan sekitar 5-14,3%
kasus saja.14

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Lima, L C et al. Epidemiology of traumatic hip dislocation in patients


treated in Ceara, Brazil. Acta Ortop Bras, Brazil. 2014; 22 (3): p151-4.
2. Sanders, S et al. Traumatic hip dislocation a review. Bulletin of the NYU
hospital for joint disease. 2010; 68 (2): p91-6.
3. Amoah, K D et al. Dislocation of the hip: a review of types, causes, and
treatment. Ochsner Journal, Los Angeles. 2018; 18: p242-52.
4. Parry, J. Dislocation/subluxation management or “I’m Just Popping Out
For a While”. The Ehlers Danlos Society, England. 2017; p2.
5. Chadha, M et al. Traumatic anterior dislocation of the hip joint with
posterior acetabular wall fracture. Acta Orthop Belg, New Delhi. 2005; 71:
p111-4.
6. Gammons, M. Hip dislocation. Medical college of Wisconsin. 2018.
https://emedicine.medscape.com/article/86930-overview#a7
7. Wongtriratanachai, P dan Anupong L. Ipsilateral anterior hip dislocation
and posterior subluxation: a case report. J Med Assoc Thai, Thailand. 2010;
93(1): p128-31.
8. Waddell, B S et al. A detailed review of hip reduction maneuvers: a focus
on physician safety and introduction of the Waddell technique. Orthopedic
review, United States of America. 2016; 8(6253): p10-4.
9. McMillan, S R. “Prognosis” dalam Hip dislocation in emergency
medication. American college of emergency physicians, New York. 2016.
https://emedicine.medscape.com/article/823471-overview#a2
10. Esmailiejah, A A et al. Open anterior hip dislocation in a child: a rare
mechanism of injury. Arch Bone Jt Surg, Iran. 2017; 5(5): p340.
11. Sorrentino, S. Anterior dislocation of the hip. 2011.
https://radiopaedia.org/cases/anterior-dislocation-of-the-hip?lang=us

23

Anda mungkin juga menyukai