Laporan
Laporan
OLEH :
Sabrina Julia La Sara, S. Ked.
K1A113053
PEMBIMBING :
dr.Tri Tuti Hendarwati, Sp. OT.
A. PENDAHULUAN
Sendi panggul merupakan salah satu sendi paling stabil yang
menjadi penyusun tubuh berkat caput femoralis dan acetabulum serta
struktur ligamentum dan otot yang kuat. Secara anatomis letak dari sendi
panggul melekat erat pada acetabulum sehingga butuh trauma berat untuk
terjadi dislokasi.1
Dislokasi sendi panggul merupakan cedera ortopaedhic yang serius
yang dapat menyebabkan kecacatan permanen dan memburuk bila
berhubungan dengan fraktur acetabulum atau caput femoralis, sehingga
diharuskan untuk segera screening setelah mengalami trauma berat yang
melibatkan sendi panggul. Dislokasi ini jarang terjadi, penyebabnya
hampir selalu setelah cedera traumatis seperti kecelakaan lalu lintas atau
jatuh dari ketinggian.2,3
Dislokasi panggul dapat diklasifikasikan sebagai dislokasi
kongenital atau didapat (acquired). Dislokasi kongenital biasanya terjadi
akibat posisi fetus didalam uterus yang menekan dinding abdomen ibu
yang mengakibatkan bagian posterior fetus melawan sendi panggul pada
posisi fleksi. Dislokasi sendi panggul yang didapat (acquired)
diklasifikasikan pula berdasarkan arah dari pergeseran caput femoralis.
Dislokasi sendi panggul posterior lebih sering terjadi (80% kasus) daripada
dislokasi sendi panggul anterior.4,5
Reduksi dislokasi sendi panggul sangat penting untuk penanganan
awal dan meminimalisir komplikasi jangka panjang seperti nekrosis
avaskular dan arthritis posttrauma.3
2
B. DEFINISI
Dislokasi didefinisikan sebagai pergeseran/perpindahan tulang dan
sendi dari posisi semula. Hal ini terjadi saat dua tulang yang membentuk
sendi terpisah secara total.6
Dislokasi sendi panggul terjadi ketika ada gaya yang kuat
diteruskan sepanjang femur yang memaksa caput femoralis keluar dari
cawannya (socket).7
Dislokasi sendi panggul adalah peristiwa yang dikaitkan akibat dari
cedera/trauma berat atau pasca operasi total hip replacement berakibat
terjadi pergeseran caput femoralis dari acetabulum.4
C. EPIDEMIOLOGI
Penelitian yang dilakukan Lima et al menunjukan angka kejadian
dislokasi sendi panggul kebanyakan terjadi pada dewasa muda dengan
rata-rata umur 34,4 tahun dan gender laki-laki (90,7%). Hasil penelitian ini
setara dengan yang dilaporkan oleh Giordano et al dan Onyemaechi dan
Eyichukwu.2
Sehubungan dengan mekanisme trauma, kecelakaan lalu lintas
merupakan penyebab terbesar dislokasi ini (90,7%). Lima et al juga
menunjukan dislokasi sendi panggul posterior lebih banyak (93%)
daripada dislokasi anterior (7%). Insidensi nekrosis avaskular caput
femoralis bervariasi dari 1,7% hingga 40%, tetapi dapat berkurang menjadi
0% hingga 10% bila reduksi dilakukan 6 jam post trauma.2
Faktor predisposisi yang dilaporkan National Highway Traffic
Safety Administration tahun 2014 terjadi lebih dari 2,3 juta kecelakaan
motor dan dominan usia muda, kasus tersebut meningkat 1,1% dari tahun
2013. Penelitian Woo dan Morrey tahun 1986 menunjukan kasus dislokasi
sendi panggul terjadi 2,3% dari 10.000 pasien yang menerima operasi total
hip replacement. Penelitian lain juga melaporkan sekitar 10% pasien
pertama kali menerima operasi total hip replacement dan lebih dari 28%
pasien yang menerima operasi ulangan mengalami dislokasi sendi
3
panggul. Diprediksi pada tahun 2030, angka tersebut bertambah 173%
pada pasien yang baru pertama kali menerima operasi tersebut dan 137%
pada pasien ulangan.4
4
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 1. (a) Potongan frontal dari sendi panggul kanan; (b) interior sendi
panggul, tampak lateral; (c) Tampak posterior dari sendi panggul kanan; (d) tampak
anterior dari sendi panggul kanan9
5
Gambar 2. Vaskularisasi Sendi panggul9
E. DISLOKASI POSTERIOR
Dislokasi posterior terdiri sekitar 80-90% kasus yang disebabkan
karena kecelakaan lalu lintas.8
1. Mekanisme Trauma
Dislokasi posterior biasanya dihubungkan dengan cedera terjadi
pada lutut, umumnya terjadi dikursi penumpang ketika lutut
menghantam dashboard. Femur terdorong proksimal diikuti oleh caput
femoralis yang juga terdorong ke posterior; sering bagian dari tulang
acetabulum (biasanya dinding posterior) retak sehingga terjadi fraktur-
dislokasi.5
2. Gambaran Klinis
Pada dislokasi posterior datang dengan tungkai adduksi, fleksi,
rotasi internal dan nampak kaki memendek. Bila terjadi fraktur femur
ipsilateral, posisi tersebut mungkin tidak khas. Untuk mengetahui lebih
pasti diperlukan pemeriksaan radiologi. Lutut harus diperiksa terkait
memar dan cedera ligamen, serta menentukan status neurovaskular
tungkai. Saraf sciatic sangat berisiko pada dislokasi ini.4,5
6
Gambar 3. Posisi kaki pasien bila terjadi dislokasi posterior5
3. Imaging
Modalitas dengan X-Ray anteroposterior akan nampak caput
femoralis terlihat lebih tinggi dan kecil dari yang diharapkan jika
dibandingkan dengan panggul normal. Caput femoralis dan fraktur
dinding posterior acetabulum mungkin dapat terlihat jelas.5
7
beberapa fragmen tulang, tetapi pencitraan ini lebih jelas terlihat bila
tidak terjadi penundaan reduksi dislokasi sendi panggul.5
8
Tipe I dan II adalah dislokasi yang relatif sederhana, hal ini terkait
dengan fraktur fragmen kecil dari dinding acetabulum (fovea
centralis) atau fragmen besar tunggal dari dinding posterior
acetabulum. Tipe III, dinding posterior terpecah-pecah. Tipe IV
berhubungan dengan fraktur dasar acetabulum dan tipe V
berhubungan dengan fraktur caput femoralis yang selanjutnya terbagi
menjadi klasifikasi Pipkin.5
4. Tatalaksana
Dislokasi ini harus segera direduksi secepat mungkin mengingat
kejadian osteonekrosis dan osteoarthitis meningkat jika dislokasi lebih
dari 6 jam. Reduksi tersebut membutuhkan anestesi sedasi atau total
dan dilakukan secara tertutup pada sebagian besar kasus. Reduksi
tertutup (closed reduction) tidak boleh dilakukan bila dicurigai
terdapat fraktur leher femur untuk mencegah perpindahan suplai darah
lebih lanjut dan gangguan suplai darah ke caput femoralis.5
Untuk melakukan closed reduction, satu asisten bertugas
menstabilkan pelvis, lalu ahli bedah/operator mulai melakukan traksi
secara bertahap (biasanya posisi pasien adduksi dan rotasi internal
dengan lutut fleksi 90 derajat). Diawali dengan melenturkan pinggul
pasien, pertahankan traksi lalu diikuti rotasi internal dan adduksi
9
sehingga mencapai reduksi. Dalam beberapa kasus mungkin
diperlukan fleksi panggul lebih dari 90 derajat. Asisten dapat
membantu memberikan tekanan medial dan anterior langsung ke caput
femoralis melalui bokong sehingga terdengar bunyi “clunk” yang
menandakan reduksi berhasil.5
Pemeriksaan X-Ray post reduksi dan/atau CT Scan harus
dilakukan untuk menentukan kualitas reduksi dan ada tidaknya
fragmen yang tertahan dalam sendi. Bantuan tongkat penopang juga
dapat digunakan saat penggunaan weight-bear as tolerated. Jika
pemeriksaan X-Ray atau CT Scan post reduksi ditemukan fragmen
pada intra-articular maka dipertimbangkan untuk dilakukan open
reduction. Reduksi tersebut tidak bersifat emergency dan bisa
dilakukan bila kondisi pasien telah stabil atau siap untuk dilakukan
operasi.5
Klasifikasi fraktur menurut Thompson dan Epstein tipe II
memerlukan open reduction dan fiksasi anatomi. Ringkasnya, fiksasi
pada fragmen dinding posterior akan mengembalikan stabilitas dan
kongruensi sendi. Fraktur tipe III dilakukan closed reduction, tetapi
sering tertahan oleh fragmen yang memerlukan removal operation.
Untuk memfiksasi fragmen comminuted posterior dapat dilakukan
dengan pemasangan spring plate.5
Fraktur tipe IV dan V diawali dengan closed reduction. Indikasi
pembedahan diperlukan jika didapati ketidakstabilan, tahanan fragmen
atau sendi yang inkongruensi. Kemungkinan fraktur tipe V terjadi
tahanan fragmen sehingga dibutuhkan konfirmasi CT scan setelah
dilakukan reduksi. Fragmen kecil dapat diangkat dengan mudah tetapi
fragmen besar memerlukan pembedahan sendi yakni dengan
pemasangan countersunk screws. Selanjutnya latihan penggunaan non-
weight–bearing menjadi weight-bearing selama 6-12 minggu.5
F. DISLOKASI ANTERIOR
10
Angka kejadian dislokasi sendi panggul anterior kurang dari 10-
15% dari semua kasus dislokasi sendi panggul. Dislokasi ini tergolong
sebagai tipe obturator, pubic atau perineal. Dislokasi sendi panggul pubic
anterior-superior terhitung kurang dari 10% kasus dari seluruh kasus
dislokasi anterior. Jika posisi paha sebelum terjadi trauma abduksi dan
rotasi eksternal maka kemungkinan besar akan terjadi dislokasi anterior.
Dislokasi anterior terbagi menjadi dua tipe yakni tipe I pubic (superior)
dan tipe II obturator (inferior).5,7
1. Mekanisme Trauma
Dislokasi ini biasanya dihubungkan akibat trauma dengan
kecepatan tinggi. Contohnya bila kecelakaan, tungkai penumpang
dalam posisi abduksi, fleksi dan rotasi eksternal dan menghantam
dashboard maka kemungkinan terjadi dislokasi anterior.11
Dislokasi obturator dapat terjadi bila pasien jatuh dengan posisi
kedua panggul dan lutut fleksi.10
2. Gambaran Klinis
Dislokasi anterior diklasifikasikan sebagai superior-anterior (tipe
pubic) atau inferior-anterior (tipe obturator). Tipe dislokasi pubic
datang dengan tungkai bawah abduksi, ekstensi dan rotasi eksternal
pada sendi panggul. Tipe obturator akan nampak tungkai bawah
abduksi, fleksi dan rotasi eksternal. Pasien dislokasi anterior
kemungkinan teraba caput femoralis di femoral triangle dan dislokasi
posterior teraba di area gluteal.4
11
Gambar 8. Dislokasi anterior
3. Imaging (X-Ray)
Dalam foto X-ray anteroposterior dislokasi biasanya jelas, tetapi
kadang caput femoralis tepat didepan posisi normalnya. Femoral akan
tampak lebih besar daripada sisi kontralateralnya. Foto X-ray posisi
lateral akan membantu konfirmasi dislokasi ini.5
12
1. Reduksi Dislokasi Posterior
Prinsip reduksi dislokasi posterior yakni fleksi, rotasi internal dan
adduksi panggul. Berikut beberapa manuver reduksi dislokasi posterior,
antara lain:
a. Manuver Allis
Pasien diposisikan supine. Ahli bedah/operator berdiri diatas
pasien dan memfleksikan lutut ipsilateral pasien 90 derajat dan
asisten menahan posisi pelvis agar tetap stabil. Selanjutnya ahli
bedah melakukan traction in line, kemudian secara lembut
dilakukan gerakan rotasi eksternal agar caput femoralis masuk
kedalam acetabulum.
13
Gambar 11. Manuver Bigelow
c. Manuver Lefkowitz
Manuver ini diperkenalkan tahun 1993. Posisi pasien supine. Ahli
bedah berdiri disebelah pasien dan menopang lutut pasien
menggunakan lututnya tepat dibawah fossa poplitea. Lalu ahli
bedah secara lembut mendorong tungkai tersebut hingga caput
femoralis kembali ke acetabulum.
14
Gambar 13. Manuver Captain Morgan
e. Manuver East Baltimore
Manuver ini menggunakan dua asisten yang bertugas untuk
menjadikan tangannya menjadi tumpuan traksi dan ahli bedah
melakukan traksi seperti pada gambar dibawah.
f. Manuver Howard
Manuver ini menggunakan seorang asisten yang bertugas
melakukan traksi lateral saat panggul difleksikan 90 derajat.
Selanjutnya ahli bedah melakukan traction in line.
15
Gambar 15. Manuver Howard
16
Gambar 17. Metode Piggyback
i. Teknik Tulsa/Metode Rochester/Teknik Whistler
Pasien posisi supine diatas brankar. kedua tungkai difleksikan dan
salah satu tangan ahli bedah berada dibawah tungkai yang
mengalami dislokasi dan direduksi seperti terlihat pada gambar.
17
Gambar 19. Manuver Skoff
l. Teknik Waddell
Teknik/manuver ini merupakan modifikasi antara manuver Allis
dan Bigelow. Pasien dalam posisi supine, asisten bertugas
memfiksasi pinggul. Selanjutnya lutut pasien difleksikan, dan ahli
bedah/operator meletakan salah satu lengan bawah tangannya dan
memberikan traksi seperti pada gambar 21.
18
Gambar 21. Teknik Waddell
2. Reduksi Dislokasi Anterior
Reduksi dislokasi anterior hampir sama dengan melakukan reduksi
dislokasi posterior, tetapi fleksi panggul kemungkinan tidak dilakukan
karena caput femoralis berada didepan dari pelvis. Pada dislokasi
pubic dilakukan panggulerekstensi dan in-line traction, sedangkan
pada dislokasi obturator dilakukan fleksi panggul, adduksi dan rotasi
eksternal. Berikut beberapa reduksi dislokasi anterior:
a. Metode Allis leg extension
Pasien dalam posisi supine. Asisten memfiksasi pinggul pasien,
lalu ahli bedah/operator melakukan traksi in-line yakni adduksi,
rotasi eksternal dan fleksi panggul. Jika pasien merupakan
dislokasi pubic dapat dipertimbangkan panggulerekstensi panggul.
b. Metode Bigelow leg extension
Pasien posisi supine. Asisten bertugas memfiksasi pinggul dan ahli
bedah/operator memegang ankle tungkai yang mengalami dislokasi
dan lengan bawah tangan sebelahnya memfiksasi bawah lutut
pasien, selanjutnya traksi dilakukan adduksi dan rotasi eksternal.
c. Metode traksi lateral
Pasien posisi supine. Asisten bertugas menarik kearah lateral
tungkai yang mengalami dislokasi dengan kain yang dililitkan
dipaha lalu ahli bedah/operator memegang tungkai secara
longitudinal hingga reduksi berhasil.
19
d. Metode Stimson gravity
Pasien posisi prone dengan tungkai bawah difleksikan 90 derajat
dipinggir brankar. Selanjutnya dilakukan rotasi internal dan
eksternal hingga reduksi berhasil.
I. KOMPLIKASI5
Early
1. Sciatic nerve injury
Komplikasi ini terjadi pada 10-20% kasus dislokasi. Fungsi saraf
seharusnya segera diperiksa sebelum dilakukan reduksi. Jika setelah
reduksi dislokasi dan ditemukan onset baru terjadi lesi sciatic nerve
maka harus ditentukan apakah lesi terjadi akibat terjebaknya saraf saat
dilakukan manuver.
2. Vascular injury
Biasanya arteri gluteal superior mengalami robekan dan terjadi
perdarahan. Jika dicurigai komplikasi ini, maka segera lakukan
arteriogram. Arteri yang robek segera diligasi/kontrol perdarahan
dengan metode embolisasi radiologi.
3. Berhubungan dengan fraktur femoral
Pada kasus ini closed reduction sulit dilakukan sehingga
dibutuhkan open reduction yang diikuti dengan internal fiksasi.
20
Late
1. Osteonecrosis caput femoralis
Komplikasi ini telah dilaporkan lebih dari 20% kasus dislokasi
posterior yang terlambat dilakukan reduksi lebih dari 12 jam. Pada X-
ray akan nampak peningkatan densitas pada caput femoralis.
2. Myositis ossificans
Komplikasi ini jarang terjadi dan dihubungkan dengan tingkat
keparahan trauma soft tissue.
3. Unreduced dislocation
Setelah beberapa minggu tidak ditangani, dapat dilakukan closed
manipulation dan open reduction. Tetapi insidensi kekakuan atau
osteonecrosis meningkat dan selanjutnya pasien menerima
pembedahan rekonstruktif.
4. Secondary osteoarthritis
Komplikasi ini sering terjadi karena: (1) kerusakan kartilago
bersamaan dislokasi; (2) terdapat fragmen yang tertahan pada sendi;
(3) osteonecrosis caput femoralis. Komplikasi ini dapat ditangani
dengan arthroplasty.
5. Recurrent instability
Komplikasi ini jarang terjadi tetapi dapat terjadi bila keterlambatan
stabilisasi atau penundaan rekonstruksi.
J. PROGNOSIS
Prognosis pasien dislokasi sendi panggul bervariasi berdasarkan
tipe klasifikasi yang berhubungan jika disertai dengan fraktur caput
femoralis atau acetabulum, dan injury lainnya. Umumnya, prognosis baik
pada 50-93% kasus.13
Dislokasi anterior tanpa kerusakan caput femoralis memiliki
prognosis jangka panjang yang lebih baik daripada dislokasi posterior.
Prognosis dihubungkan dengan waktu reduksi dislokasi. Osteonecrosis
caput femoralis tidak cukup dijadikan indikator prognosis dislokasi.
21
Penelitian sebelumnya mendokumentasikan 4,8% kasus mengalami
osteonecrosis setelah menerima reduksi kurang dari 6 jam dan 52,9%
kasus setelah 6 jam.3
Anak-anak menunjukan prognosis yang lebih baik setelah terjadi
dislokasi panggul dibanding orang dewasa. Hal ini disebabkan jarangnya
kejadian fraktur pada dislokasi panggul anak, dilaporkan sekitar 5-14,3%
kasus saja.14
22
DAFTAR PUSTAKA
23