Atresia Bilier Download
Atresia Bilier Download
PENDAHULUAN
1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Anatomi: Secara konvensional, traktus biliaris dibagi menjadi duktus biliaris intra
dan ekstrahepatik. Terdapat variasi signifikan dari traktus biliaris dengan deskripsi
klasik yang ditemukan pada sekitar 60% dari populasi.
Duktus dari lobus hepar sinistra lebih anterior daripada lobus kanan, hal ini
penting terutama untuk pemeriksaan kolangiogram kontras karena kontras dapat
tidak memasuki duktus nondependen.
2
Variasi dan anomali dari anaatomi duktus biliaris sering ditemukan meskipun
tidak ada kepentingan secara patologis, memahami variasi dari duktus biliaris
penting agar tidak terjadi kesalahan diagnosis. Variasi anatomis yang paling sering
ditemukan melibatkan bagian bifurcartio hepatic dan insersi duktus cysticus.
(Gambar 2.0)
3
pasien-pasien yang didiagnosis mengalami atresia bilier membuat terminologi
‘atresia bilier’ menjadi kurang tepat digunakan. Secara patofisiologi, maka
terminologi yang lebih tepat untuk digunakan untuk kelainan ini adalah
progressive obliterative cholangiopathy.
Atresia bilier dicirikan dengan obliterasi dan diskontinuitas dari sistem bilier yang
menyebabkan obstruksi aliran empedu. Gangguan ini merupakan penyebab
tersering dari kolestasis, yang dapat ditatalaksana secara bedah pada saat baru
lahir.
2.3 Epidemiologi
Suatu penelitian menemukan bahwa insidensi atresia bilier di Amerika Serikat
adalah 1 dari 10,000-15,000 kelahiran hidup.2,3,4 Secara keseluruhan, insidensi
atresia bilier paling tinggi pada populasi Asia dan lebih sering ditemukan pada
bayi dari Cina dibandingkan dari Jepang.
Mortalitas/morbiditas
Sebelum ada transplantasi liver sebagai opsi terapeutik untuk anak-anak
dengan penyakit hepar stadium akhir, rerata kelangsungan hidup jangka
panjang untuk bayi atresia bilier setelah portoenterostomi adalah 47-60%
pada usia 5 tahun dan 25-35% pada usia 10 tahun. Pada sepertiga dari
semua pasien, aliran empedu tidak memadai setelah operasi, dan anak-
anak ini biasanya meninggal akibat komplikasi sirosis bilier dalam tahun
pertama kehidupan kecuali dilakukan transplantasi liver. Portoenterostomi
dapat menimbulkan komplikasi termasuk kolangitis (50%) dan hipertensi
portal (>60%).
Ras
4
Insidensi atresia bilier paling tinggi pada populasi Asia. Gangguan ini juga
terjadi pada bayi kulit hitam, dengan insidensi kurang lebih dua kali lebih
tinggi daripada yang didapatkan dari bayi kulit putih.
2.4 Etiopatogenesis
Atresia bilier jarang ditemukan pada bayi lahir mati atau pada bayi prematur,
mendukung etiologi gestasional lambat. Sebaliknya, bayi dengan hepatitis
neonatal idiopatik – yang merupakan diagnosis banding utama – seringkali
prematur, kecil masa kehamilan, atau keduanya.
Agen infeksius:
Belum ada agen tunggal yang teridentifikasi sebagai penyebab atresia
bilier, meskipun peran organisme infeksius merupakan yang paling banyak
dipelajari
5
Penelitian lain mempelajari peran rotavirus grup A, B, dan C dan virus
hepatitis umumnya A, B, dan C; namun, tidak ditemukan keterkaitan yang
jelas. Suatu penelitian dengan menggunakan sampel atresia bilier pada
tikus yang diinduksi oleh rhesus rotavirus, mengisolasi tropisme
kolangiosit terhadap suatu regio genetik spesifik.
Faktor genetik:
Adanya bentuk atresia bilier fetal/perinatal yang seringkali terkait dengan
anomali gastrointestinal dan kardiak, mengindikasikan kemungkinan
gangguan ontogenesis. Penelitian telah mengidentifikasi mutasi genetik
spesifik pada tikus dengan heterotaksi viseral dan anomali kardiak, defek
yang mirip dengan yang ditemukan pada atresia bilier bentuk
fetal/perinatal.
6
Beberapa peneliti telah mempelajari efek potensial dari agen etiologi lain,
termasuk teratogen dan faktor imunologis. Tidak ada kolerasi yang jelas
atresia bilier yang telah didemonstrasikan.
Beragam derajat atresia dapat terjadi di duktus distal, dimulai dari hipoplasia
hingga fibrosis, aplasia, atau kombinasi dari derajat atresia tersebut (subtipe a
– d). Keterlibatan duktus proksimal kemudian dibagi menjadi subtipe yang
dinamai dengan huruf kecil Yunani: alpha (α) dilasi duktus proksimal, beta (β)
hipoplasia duktus proksimal, gama (γ) akumulasi empedu (bile lake) di porta
hepatis, mu (μ) fibrosis duktus proksimal, nu (ν) massa fibrosa di porta
hepatis, omicron (ο) aplasia duktus proksimal.
7
Gambar 2.1 Klasifikasi atresia bilier skema Ohi. A. 3 tipe utama atresia bilier (tipe I
dapat dikoreksi secara bedah). B. Subtipe atresia bilier dari duktus bilier distal. C. subtipe
untuk atresia bilier duktus bilier proksimal.
Meskipun fitur histopatologik atresia bilier sudah dipelajari secara luas pada
spesimen bedah dari sistem bilier ekstrahepatik yang dieksisi dari bayi yang
menjalani portoenterostomi, patogenesis gangguan ini tetap kurang dimengerti.
Penelitian awal mengasumsikan malformasi kongenital dari sistem duktus bilier.
Pada atresia bentuk fetal/embryonic yang terkait dengan anomali kongenital lain,
diperkirakan adanya masalah ontogenesis (perkembangan suatu individual secara
anatomi atau perilaku dari stadium yang paling awal hingga maturitas). Namun,
tipe neonatal yang lebih umum dikarakteristikan dengan lesi inflamatorik yang
8
mengesankan peran agen infeksius dan/atau toksik yang menyebabkan obliterasi
duktus bilier.
Pada tipe III, varian histopatologis yang paling prevalen, sisa fibrosa
menggambarkan obliterasi sempurna dari bagian sistem bilier ekstrahepatik.
Duktus intrahepatik, memanjang ke porta hepatis, awalnya bersifat paten pada
beberapa minggu awal kehidupan tetapi secara progresif hancur. Agen yang sama
dengan yang merusak duktus ekstrahepatik dapat bersifat kausatif, dan efek dari
toksin yang tersisa di empedu merupakan faktor yang berkontribusi.
Bayi dengan atresia bilier biasanya cukup bulan dan tumbuh normal pada
beberapa minggu pertama kehidupan. Hepatomegali dapat terlihat awal, dan hepar
9
biasanya teraba keras saat dipalpasi. Splenomegali umum ditemukan dan
menandakan sirosis progresif dengan hipertensi portal.
Pada bentuk pascanatal yang lebih umum, jaundice fisiologis sering berkaitan
dengan hiperbilirubinemia terkonjugasi. Klinisi harus waspada bahwa
hiperbilirubinemia tak terkonjugasi fisiologis jarang menetap lebih dari 2 minggu.
Bayi dengan jaundice fisiologis berkepanjangan harus dievaluasi untuk penyebab
lain.
2.6 Diagnosis
Modalitas pencitraan utama yang digunakan untuk mendiagnosa atresia bilier
adalah dengan menggunakan USG, skintigrafi hepatobilier kedokteran nuklir, CT
scan, dan MRI. Apabila diperlukan dapat digunakan transhepatic
cholangiography, intraoperative cholangiography dan angiografi tradisional.
Beberapa modalitas pencitraan, seperti USG Doppler, CT, MRI, dan angiografi
juga diperlukan untuk prosedur sebelum operasi. Angiografi tradisional
diperlukan untuk menentukan lokasi dan ukuran dari trunkus portal apabila tidak
terlihat oleh CT ataupun MRI.
10
Ultrasound merupakan modalitas utama untuk bayi dengan cholestatic jaundice
yang diduga mengalami atresia bilier. Bayi yang akan dilakukan pemeriksaan
USG akan dipuasakan selama 4 jam (apabila memungkinkan) sebelum dilakukan
operasi agar memaksimalkan distensi dari duktus biliaris maupun kandung
empedu. Prosedur USG menggunakan tranduser linear dengan frekuensi tinggi
atau transduser microconvex untuk visualisasi sistem bilier yang optimal.
Temuan gambaran sonografi dari bayi yang mengalami atresia bilier sangat
beragam. Parenkim hepar dapat tampak normal dengan ekogenisitas dan
ekotekstur yang normal atau dapat terjadi gambaran homogeni pada parenkim
hepar, ataupun dapat merupakan gambaran sirosis dan hipertensi portal apabila
pasien datang setelah mencapai tahap tersebut. Pemeriksaan dengan menggunakan
Doppler ultrasound diperlukan untuk membedakan arteri dengan duktus biliaris.
Gambar 2.2 Atresia bilier: Fitur sonografik. A. sonogram longitudinal dari bayi
perempuan berusia 22 hari dengan cholestatic jaundice. Hepar memiliki
ekotekstur yang normal & seragam. Vena cava inferior intrahepatik (kepala
panah), vena hepatika, vena porta (panah) terlihat, tetapi duktus biliaris tidak
terlihat. B. Kandung empedu kecil (panah) dengan dinding ireguler terlihat. Tidak
ada dilatasi duktus empedu. Atresia bilier dikonfirmasi dengan skintigrafi nuklir,
biopsi hepar, dan kolangiografi intraoperatif sebelum penanganan dengan
prosedur Kasai.
Pada suatu penelitian disimpulkan bahwa ukuran arteri hepatika dapat digunakan
untuk membantu mendiagnosis atresia bilier. Ukuran arteri hepatika pada atresia
11
bilier secara signifikan lebih besar daripada bayi dengan hepatitis. Pada penemuan
ini, nilai cut-off dari atresia bilier adalah 1.5 mm (sensitivitas 92%, spesifisitas
87%, akurasi 89%).
Temuan ultrasound lain yang dapat bermanfaat dalam diagnosis atresia bilier
adalah focal triangular atau struktur tubular yang hiperekoik di anterior dan
sedikit superior dari bifukarsio vena porta utama (Gambar 2.3), dikenal sebagai
triangular cord sign. Struktur ekogenik ini mewakili sisa fibrotik dari duktus
koledokus yang obliterasi. Aliran tidak terlihat di dalam triangular cord pada
evaluasi Doppler. Triangular cord dapat tidak terlihar pada stadium awal penyakit,
atau dapat tersembunyi oleh arteri hepatika dekstra yang besar.
Gambar 2.3 Atresia bilier: Triangular cord sign pada ultrasound. Tanda
triangular cord menggambarkan duktus koledokus yang terobliterasi pada bayi
dengan atresia bilier. Area fokal hiperekoik terletak sefalad terhadap bifukarsio
vena porta, atau dapat diukur sebagai dinding anterior dari vena porta dekstra
12
yang ekogenik. Area hipoekoik di dalamnya merupakan cabang dari arteri
hepatika kanan.
Triangular cord yang lebih besar dari 4 mm pada neonatus dengan cholestatic
jaundice ditemukan 80% sensitive dan 89% spesifik, serta memiliki nilai positif
negatif prediktif sebesar 94% untuk diagnosis atresia bilier. Lesi bulat, linear, atau
tubular yang hipoekoik atau kistik di dalam triangular cord beberapa kali
dideskripsikan sebagai lesi kistik menyerupai celah di dalam massa fibrotik secara
histopatologis. Celah kistik ini juga dapat terlihat sebagai area triangular dengan
intensitas signal tinggi pada pencitraan MRCP T2.
Kandung empedu biasanya kecil atau tidak ada sama sekali pada pasien dengan
atresia bilier, tetapi visualisasi dari kandung empedu normal tidak mengeksklusi
diagnosis atresia bilier. Bayi prematur jaundice yang telah menerima nutrisi
parenteral total tanpa atresia bilier juga dapat memilik kandung empedu kecil.
Triad hantu (ghost triad) telah dikaitkan dengan adanya atresia bilier: kandung
empedu atretik (panjang <1.9 cm), mukosa menipis atau lapisan mukosa ekogenik
dari dinding kandung empedu tidak lengkap dan batas dindingnya tidak tegas,
kontur kandung empedu lobular, iregular, atau mengalami penonjolan (Gambar
2.4). Temuan ini diduga akibat keadaan atretik, imaturitas, dan kekurangan fungsi
dari kandung empedu pada bayi dengan atresia bilier. Penebalan dinding kandung
empedu bukan salah satu ciri dari atresia bilier, namun ditemukan pada 25% bayi
jaundice tanpa atresia bilier sehingga dapat bermanfaat dalam mengarahkan
diagnosis yang bukan atresia bilier.
13
Gambar 2.4 Atresia bilier: Triad hantu (ghost triad). Kombinasi kandung
empedu atretik, mukosa yang tipis, disertai kontur dinding ireguler disebut
sebagai trias hantu dan terkait dengan atresia bilier.
Apabila bayi mendekati usia dimana prosedur Kasai idealnya dilakukan (60-75
hari), pemeriksaan dapat dilakukan tanpa fenobarbital atau dengan durasi yang
14
lebih pendek dengan asam ursodeoksikolat (20 mg/kg/hari dalam 2 dosis terbagi,
dilanjutkan hingga pemeriksaan selesai) agar dapat menghemat waktu dan
mencegah keterlambatan diagnosis.
Ketika tidak ada radiofarmasetikal yang terlihat di usus dalam waktu 24 jam,
atresia bilier harus sangat dipertimbangkan (Gambar 2.5). Namun hal ini tidak
spesifik karena disfungsi hepatoseluler pada bayi dengan hepatitis neonatal juga
dapat menyebabkan hal serupa. Akurasi skintigrafi terhadap diagnosis atresia
bilier adalah 56-81.6%, sensitivitas 91.7-100%, dan spesifisitas 35-76.9%.
Untuk mengeksklusi atresia bilier, patensi duktus hepatikus komunis dan duktus
koledokus harus didemonstrasikan, tetapi hal ini tidak selalu tercapai dengan
ultrasound dan skintigrafi hepatobilier. MRCP dapat mengeliminasi perlunya
pemeriksaan yang lebih invasif seperti percutaneous transhepatic atau
15
intraoperative cholangiography, biopsi, atau bedah eksploratif apabila anatomi
normal dari traktus bilier dapat didemonstrasikan.
16
aktivitas di kandung empedu, duktus koledokus, atau usus halus. Ambilan renal
(kepala panah) dan ekskresi ke buli-buli terlihat. B. Gambaran anterior tertunda.
Setelah penundaan selama 2 jam, terlihat aktivitas persisten dalam hepar dan
klirens berkelanjutan oleh ginjal (kepala panah) dengan ekskresi
radiofarmaseutikal terdeteksi dalam buli-buli (*). Gambaran 24 jam juga
mendemonstrasikan beberapa aktivitas di hepar (panah) tetapi tidak ada bukti
ekskresi bilier ke dalam usus halus.
Diagnosis atresia biliar ditegakkan oleh MRCP saat CBD atau duktus hepatikus
komunis tidak dapat divisualisasikan. pada bayi yang mengalami cholestatik
jaundice, MRCP memiliki akurasi sebesar 98% dan sensivitas sebesar 100% untuk
mendiagnosis atresia biliar. Seperti Ultrasound, penemuan atresia biliar oleh
MRCP berupa duktus ekstrahepatik tidak tervisualisasi, kantong empedu yang
kecil atau tidak ada, dan fibrosis periportal (tanda triangular cord pada usg).
fibrosis periportal sering ditemukan sebagi area triangular dengan densitas yang
tinggi pada gambaran T2, dan sinyal hipointens pararel pada cabang vena porta
hepatis. pemberian kontras Gadolinium dapat membedakan fibrosis periportal
enhance dengan fibrosis non-enhance pada dilatasi duktus periportal. Hasil false
positif pada atresia biliar dilaporkan; oleh karena MRCP bergantung pada hasil
visualisasi produksi dan sekresi empedu, anak dengan penyakit yang
menyebabkan turunnya fungsi hepatobiliar dan penyakit penyerta lain seperti pada
sklerosis cholangitis dapat menimbulkan hasil pemeriksaan false positif karena
traktus biliar tidak tervisualisasi pada MRCP.
17
Gambar 2.6 Atresia bilier: temuan gambar pada MRCP. Irisan coronal, T2-
weighted. Pada bayi berusia 19 hari degnan cholestasis tampak gambaran
peningkatan intensitas (kepala panah) pada porta hepatis yang menunjukkan lesi
kistik pada porta hepatis. Kandung empedu tampak (panah), tetapi tak ada garis
lurus atau struktur bercabang yang mengindikasikan adanya ductus biliaris.
Diagnosa atresia bilier pada gambaran ini didasarkan pada tidak ditemukannya
gambaran ductus hepaticus dextra dan sinistra, ductus hepaticus communis, serta
ductus choleidocus.
18
C. Perforasi spontan duktus bilier
D. Massa (neoplasma, batu)
E. Inspissated bile syndrome
2. Kelainan intrahepatik
A. Idiopatik
1. Hepatitis neonatal idiopatik
2. Kolestasis intrahepatik persisten antara lain:
A. Displasia arteriohepatik sindrom Allagile
B. Syndrome Zellweger (sindrom serebrohepatorenal)
C. Intrahepatic bile duct paucity
B. Anatomik
C. Kelainan metabolisme
D. Hepatitis
E. Genetik/kromosomal
F. Lain-lain
2.8 Tatalaksana
Bila tidak ditangani, atresia bilier bersifat fatal, dengan rerata kelangsungan hidup
18 bulan. Pada pasien dengan atresia bilier, tujuannya adalah untuk mencapai
drainase empedu adekuat dengan prosedur Kasai (portoenterostomi Kasai,
portoenterostomi hepatik, hepatoportoenterostomi). Prosedur Kasai melibatkan
eksisi dari sisa bilier yang terobliterasi dengan anastomosis portal ke usus halus
dengan hepatojejunostomi Roux-en-Y. Untuk atresia bilier yang dapat ditangani
secara bedah bagian dari duktus hepatikus komunis proksimal harus paten agar
dapat dianastomosiskan terhadap jejunum setelah reseksi dari sisa duktus fibrotik,
mencegah sekuele jangka panjang dari atresia bilier dan perlunya transplantasi
liver. Sayangnya, tipe atresia bilier yang dapat dikoreksi secara bedah jarang
ditemukan (10-15% kasus). Meski bentuk lain dari atresia bilier tidak dianggap
dapat dikoreksi secara bedah, prosedur Kasai tetap dilakukan sebagai terapi
paliatif hingga diperlukan transplatasi liver, dengan rerata kelangsungan hidup
lebih dari 95%. Drainase bilier yang adekuat setelah prosedur Kasai adalah ketika
19
konsentrasi bilirubin total kurang dari 2.0 mg/dL kapanpun dalam 3 bulan pertama
setelah operasi.
Semua pasien yang dicurigai mengalami atresia bilier harus menjalani eksplorasi
laparotomi dan kolangiografi direk untuk menentukan ada tidaknya dan lokasi
obstruksi. Drainase langsung dapat dilakukan pada pasien dengan lesi yang dapat
dikoreksi. Apabila tidak ditemukan lesi yang dapat dikoreksi, pemeriksaan dari
spesimen frozen section yang didapat dari transeksi porta hepatis dapat
mendeteksi adanya epitel bilier dan menentukan ukuran serta patensi sisa duktus
biliaris. Pada beberapa kasus, kolangiogram menunjukkan traktus bilier yang
paten namun mengecil, hal ini memperlihatkan bahwa kolestasis yang terjadi
bukan akibat obliterasi traktus bilier melainkan akibat duktus yang mengecil atau
aliran yang berkurang secara bermakna akibat adanya penyakit intrahepatik. Pada
kasus ini, transeksi atau diseksi lanjut ke porta hepatis harus dihindari.
20
anastomosis mukosa usus di bagian proksimalnya dapat mengalirkan drainase
empedu. Apabila aliran tidak secara cepat dibuat dalam bulan pertama kehidupan,
obliterasi dan sirosis progresif dapat terjadi. Apabila kanal mikroskopik dari
patensi berdiameter lebih besar dari 150 μm ditemukan, aliran empedu pasca-
operatif dapat dibuat. Rerata kesuksesan membuat aliran empedu setelah operasi
Kasai lebih tinggi (90%) apabila dilakukan sebelum 8 minggu kehidupan. Maka,
pentingnya rujukan awal dan evaluasi segera dari bayi dengan atresia bilier yang
dicurigai sangat ditekankan.
Beberapa pasien dengan atresia bilier, bahkan tipe yang tidak dapat dikoreksi,
mendapatkan keuntungan dari intervensi prosedur Kasai. Namun pada
kebanyakan kasus, derajat disfungsi hepatic menetap. Pasien dengan atresia bilier
biasanya memiliki inflamasi persisten dari traktus bilier intrahepatik, yang
mengindikasikan bahwa atresia bilier merupakan gambaran proses dinamik yang
melibatkan keseluruhan sistem hepatobilier. Hal ini dapat berkontribusi dalam
terbentuknya komplikasi seperti hipertensi portal. Manfaat jangka pendek dari
hepatoportoenterostomi adalah dekompresi dan drainase yang cukup untuk
mencegah awitan sirosis dan memperpanjang pertumbuhan hingga transplantasi
liver berhasil dilakukan.
Kolangitis merupakan komplikasi potensial yang serius dari prosedur Kasai yang
dapat menyebabkan penghentian mendadak dari drainase empedu. Faktor risiko
terbesar dari berkembangnya kolangitis setelah prosedur Kasai adalah drainase
bilier yang inadekuat. Kolangitis harus dicurigai apabila anak mengalami demam
dan tinja akolik (dempul) atau demam dan jaundice dengan peningkatan kadar
bilirubin direk dan hasil protein C-reactive (CRP) positif. Beberapa peneliti
mengembangkan diagnosis kolangitis untuk menginklusi demam yang tidak
21
diketahui penyebabnya pada pasien setelah prosedur Kasai. Kebanyakan pasien
yang telah menjalankan prosedur Kasai memiliki minimal 1 episode kolangitis,
dan 90% terjadi pada anak kurang dari 2 tahun. Episode kolangitis pada populasi
ditemukan menurunkan rerata kelangsungan hidup.
Gambar 2.6 Atresia bilier: progresi menjadi sirosis dengan hipertensi portal dan
asites. Gambaran abu-abu Dopper pada liver dengan tranduser linear frekuensi
tinggi pada anak usia 3 bulan dengan atresia bilier menunjukkan kontur noduler
dari permukaan hepar (panah), asites (*), dan arteri hepatica yang melebar (kepala
panah). Pasien ini bukan kandidat prosedur Kasai karena terdiagnosis setelah
terjadi asites dan sirosis. Ia mendapatkan transplantasi hati satu bulan kemudian.
2.9.2 Prognosis
Tergantung oleh beberapa faktor
umur pada saat operasi (lebih awal lebih baik, 60-80 hari) setelah lahir
gambaran anatomis duktus biliaris ekstra hepatal
ukuran duktus biliaris ekstrahepatal
ada tidaknya cirrhosis hepatis
kolangitis
22
DAFTAR PUSTAKA
Nicholas, J. L. Diseases of the Pediatric Gallbladder and Biliary Tract. In: Gore,
R. M. & Levine, M. S. (2015). Textbook of gastrointestinal radiology (4 th
ed.). Philadelphia, PA: Elsevier Saunders.
Toouli, J. & Bhandari, M. (2006, May 16). Anatomy and physiology of the biliary
tree and gallbladder. Blackwell publishing. Retrieved from:
http://www.blackwellpublishing.com/content/bpl_images/content_store/sam
ple_chapter/9781405127400/9781405127400_4_001.pdf
23