Anda di halaman 1dari 23

BAB 1

PENDAHULUAN

Atresia bilier merupakan penyakit progresif obliteratif yang membentuk


jaringan fibrosis pada traktus bilier. Atresia bilier biasanya dimulai dari usia
neonatal tetapi dapat terjadi sebelum kelahiran. Atresia bilier dicirikan dengan
obliterasi dan diskontinuitas dari sistem bilier yang menyebabkan obstruksi aliran
empedu. Gangguan ini merupakan penyebab tersering dari kolestasis, yang dapat
ditatalaksana secara bedah pada saat baru lahir. Apabila tidak diperbaiki dengan
bedah, sirosis bilier sekunder akan terjadi.
Pasien dengan atresia bilier dapat dibagi menjadi 2 kelompok berbeda:
atresia bilier terisolasi (bentuk pascanatal) yang terjadi pada 65-90% kasus, dan
pasien yang situs inversus terkait atau polysplenia/asplenia dengan atau tanpa
anomaly congenital (bentuk fetal/embryonic) yang merupakan 10-35% kasus.
Di Amerika Serikat, atresia bilier dapat terjadi pada 1 dari 10,000-15,000
kelahiran hidup. Secara keseluruhan, insidensi atresia bilier paling tinggi pada
populasi Asia dan lebih sering ditemukan pada bayi dari Cina dibandingkan dari
Jepang.
Beberapa penyebab terjadinya atresia bilier dapat digolongkan menjadi
akibat agen infeksius, faktor genetik, dan penyebab lainnya. Modalitas pencitraan
utama yang digunakan untuk mendiagnosa atresia bilier adalah dengan
menggunakan USG, skintigrafi hepatobilier kedokteran nuklir, CT scan, dan MRI.
Apabila diperlukan dapat digunakan transhepatic cholangiography,
intraoperative cholangiography dan angiografi tradisional. Beberapa modalitas
pencitraan, seperti USG Doppler, CT, MRI, dan angiografi juga diperlukan untuk
prosedur sebelum operasi.
Prosedur hepatoportoenterostomi (Kasai) yang dilakukan lebih dini
meningkatkan rerata kelangsungan hidup pada pasien dengan atresia bilier. Oleh
sebab itu, sangat diperlukan diagnosis dan penanganan sedini mungkin pada anak
dengan atresia bilier sebelum terjadi berbagai komplikasi, seperti sirosis bilier
yang progresif atau hipertensi portal hingga perdarahan.

1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Traktus Biliaris


Berbagai saluran yang mengumpulkan empedu dari parenkim hepar dan
menyalurkannya ke duodenum adalah bagian dari traktus biliaris.

Anatomi: Secara konvensional, traktus biliaris dibagi menjadi duktus biliaris intra
dan ekstrahepatik. Terdapat variasi signifikan dari traktus biliaris dengan deskripsi
klasik yang ditemukan pada sekitar 60% dari populasi.

Duktus biliaris intrahepatik: Kanalikulus empedu menyatu membentuk duktus


biliaris segmental sesuai dengan segmen lobus hepar, yang mengalirkan empedu
dengan pola sebagai berikut:
- Segment VI dan VII: Duktus posterior dekstra, berjalan horizontal
- Segment V dan VIII: Duktus anterior dekstra, berjalan vertikal
- Penyatuan duktus posterior dan anterior dekstra membentuk duktus
hepatikus dekstra
- Duktus biliaris segmental dari II –IV menyatu membentuk Duktus
hepatikus sinistra
- Duktus hepatikus dekstra dan sinistra menyatu membentuk duktus
hepatikus komunis

Duktus dari lobus hepar sinistra lebih anterior daripada lobus kanan, hal ini
penting terutama untuk pemeriksaan kolangiogram kontras karena kontras dapat
tidak memasuki duktus nondependen.

Duktus biliaris ekstrahepatik: Duktus hepatikus komunis bergabung dengan


duktus sistikus (dari kandung empedu) menuju duktus koledokus yang berjalan
dari ujung bebas omentum minus, kemudian posterior ke duodenum dan pancreas
untuk bergabung dengan duktus pankreatikus mayor dan membentuk ampulla
Vateri, yang mengalirkan empedu keluar ke usus melalui papilla duodeni mayor di
dinding duodenum.

2
Variasi dan anomali dari anaatomi duktus biliaris sering ditemukan meskipun
tidak ada kepentingan secara patologis, memahami variasi dari duktus biliaris
penting agar tidak terjadi kesalahan diagnosis. Variasi anatomis yang paling sering
ditemukan melibatkan bagian bifurcartio hepatic dan insersi duktus cysticus.
(Gambar 2.0)

Gambar 2.0 Variasi insersi ductus cysticus

Empedu memenuhi 2 fungsi mayor yaitu, berpartisipasi dalam penyerapan lemak


dan membentuk perantara untuk eksreksi bilirubin kolesterol, zat besi dan
tembaga. Asam empedu merupakan komponen aktif dari sistem sekresi bilier yang
disekresi ke duodenum dan secara efisien menyerap dari ileum terminal melalui
sistem vena porta.
2.2 Definisi
Atresia bilier merupakan penyakit progresif obliteratif yang membentuk jaringan
fibrosis pada traktus bilier.1 Variasi abnormalitas dari ductus bilier yang luas pada

3
pasien-pasien yang didiagnosis mengalami atresia bilier membuat terminologi
‘atresia bilier’ menjadi kurang tepat digunakan. Secara patofisiologi, maka
terminologi yang lebih tepat untuk digunakan untuk kelainan ini adalah
progressive obliterative cholangiopathy.

Atresia bilier dicirikan dengan obliterasi dan diskontinuitas dari sistem bilier yang
menyebabkan obstruksi aliran empedu. Gangguan ini merupakan penyebab
tersering dari kolestasis, yang dapat ditatalaksana secara bedah pada saat baru
lahir.

2.3 Epidemiologi
Suatu penelitian menemukan bahwa insidensi atresia bilier di Amerika Serikat
adalah 1 dari 10,000-15,000 kelahiran hidup.2,3,4 Secara keseluruhan, insidensi
atresia bilier paling tinggi pada populasi Asia dan lebih sering ditemukan pada
bayi dari Cina dibandingkan dari Jepang.
 Mortalitas/morbiditas
Sebelum ada transplantasi liver sebagai opsi terapeutik untuk anak-anak
dengan penyakit hepar stadium akhir, rerata kelangsungan hidup jangka
panjang untuk bayi atresia bilier setelah portoenterostomi adalah 47-60%
pada usia 5 tahun dan 25-35% pada usia 10 tahun. Pada sepertiga dari
semua pasien, aliran empedu tidak memadai setelah operasi, dan anak-
anak ini biasanya meninggal akibat komplikasi sirosis bilier dalam tahun
pertama kehidupan kecuali dilakukan transplantasi liver. Portoenterostomi
dapat menimbulkan komplikasi termasuk kolangitis (50%) dan hipertensi
portal (>60%).

Karsinoma hepatoseluler dapat merupakan risiko bagi pasien dengan


sirosis dan tidak ada bukti klinis hipertensi portal. Fibrosis dan sirosis
bilier yang progresif ditemukan pada anak yang tidak mendrainase
empedu. Transplantasi liver dapat merupakan satu-satunya pilihan untuk
kelangsungan hidup jangka panjang pada kebanyakan pasien.

 Ras

4
Insidensi atresia bilier paling tinggi pada populasi Asia. Gangguan ini juga
terjadi pada bayi kulit hitam, dengan insidensi kurang lebih dua kali lebih
tinggi daripada yang didapatkan dari bayi kulit putih.

 Jenis kelamin: lebih sering pada wanita dibandingkan pria.

 Prevalensi usia unik terhadap periode neonatal: bentuk fetal/perinatal


dalam 2 minggu pertama kehidupan, bentuk pascanatal pada bayi usia 2-8
minggu.

2.4 Etiopatogenesis
Atresia bilier jarang ditemukan pada bayi lahir mati atau pada bayi prematur,
mendukung etiologi gestasional lambat. Sebaliknya, bayi dengan hepatitis
neonatal idiopatik – yang merupakan diagnosis banding utama – seringkali
prematur, kecil masa kehamilan, atau keduanya.
 Agen infeksius:
Belum ada agen tunggal yang teridentifikasi sebagai penyebab atresia
bilier, meskipun peran organisme infeksius merupakan yang paling banyak
dipelajari

Fischler et al melaporkan adanya infeksi sitomegalovirus (CMV) pada


hampir 25% bayi yang terkena pada suatu penelitian berbasis serologi
imunoglobulin M. Frekuensi infeksi CMV yang lebih tinggi telah
ditemukan pada Chang et al dalam kasus hepatitis neonatal idiopatik,
mendukung konsep bahwa kedua kelainan tersebut merupakan akhir dari
spektrum patologis yang sama, dideskripsikan pertama kali oleh Landing
sebagai kolangiopati infantil obstruktif.

Beberapa penelitian dengan reovirus tipe 3 telah memberikan hasil yang


saling bertentangan. Wilson et al menemukan pada suatu penelitian bahwa
virus tersebut merusak duktus bilier dan hepatosit pada tikus, namun pada
penelitian lain Steele et al gagal mendemonstrasikan bukti infeksi pada
bayi dengan kolestasis.

5
Penelitian lain mempelajari peran rotavirus grup A, B, dan C dan virus
hepatitis umumnya A, B, dan C; namun, tidak ditemukan keterkaitan yang
jelas. Suatu penelitian dengan menggunakan sampel atresia bilier pada
tikus yang diinduksi oleh rhesus rotavirus, mengisolasi tropisme
kolangiosit terhadap suatu regio genetik spesifik.

 Faktor genetik:
Adanya bentuk atresia bilier fetal/perinatal yang seringkali terkait dengan
anomali gastrointestinal dan kardiak, mengindikasikan kemungkinan
gangguan ontogenesis. Penelitian telah mengidentifikasi mutasi genetik
spesifik pada tikus dengan heterotaksi viseral dan anomali kardiak, defek
yang mirip dengan yang ditemukan pada atresia bilier bentuk
fetal/perinatal.

Beragam abnormalitas genetik, termasuk delesi gen c-jun (faktor


transkripsi proto-onkogen), terkait dengan defek hepatik dan splenik. Pada
penelitian dengan tikus, insufisiensi ekspresi SOX17 pada kandung
empedu dan epitel duktus bilier menyebabkan atresia bilier. Namun, untuk
mengkonfirmasi abnormalitas serupa pada ekspresi gen manusia dan peran
etiopatogenetik pada gangguan ini, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut.
 Penyebab lain:
Gangguan sintesis asam empedu merupakan bagian dari diagnosis banding
pada atresia bilier. Faktanya, asam empedu hampir berkontribusi terhadap
kerusakan hepatoseluler dan duktus empedu yang sedang berlangsung
pada bayi dengan gangguan tersebut. Meskipun defek metabolisme asam
empedu yang terkait dapat menghambat prores penyakit liver, tidak ada
peran utama asam empedu dalam pembentukan atresia bilier yang telah
teridentifikasi.

6
Beberapa peneliti telah mempelajari efek potensial dari agen etiologi lain,
termasuk teratogen dan faktor imunologis. Tidak ada kolerasi yang jelas
atresia bilier yang telah didemonstrasikan.

Beberapa sistem klasifikasi dari atresia bilier telah dikembangkan, umumnya


berdasarkan bagian traktus bilier yang terkena dan derajatnya. Sistem klasifikasi
untuk atresia bilier yang paling luas digunakan adalah sistem Ohi:
 Tipe I: melibatkan obliterasi duktus koledokus; duktus proksimal paten
 Tipe II: dicirikan dengan atresia duktus hepatikus, dengan struktur sistikus
ditemukan di porta hepatis
 Tipe III (>90% pasien) melibatkan atresia dari duktus hepatikus kanan dan
kiri hingga setinggi porta hepatis. Varian ini tidak boleh dibingungkan
dengan hipoplasia bilier intrahepatik, yang merupakan gangguan yang
tidak dapat diperbaiki secara bedah.

Beragam derajat atresia dapat terjadi di duktus distal, dimulai dari hipoplasia
hingga fibrosis, aplasia, atau kombinasi dari derajat atresia tersebut (subtipe a
– d). Keterlibatan duktus proksimal kemudian dibagi menjadi subtipe yang
dinamai dengan huruf kecil Yunani: alpha (α) dilasi duktus proksimal, beta (β)
hipoplasia duktus proksimal, gama (γ) akumulasi empedu (bile lake) di porta
hepatis, mu (μ) fibrosis duktus proksimal, nu (ν) massa fibrosa di porta
hepatis, omicron (ο) aplasia duktus proksimal.

7
Gambar 2.1 Klasifikasi atresia bilier skema Ohi. A. 3 tipe utama atresia bilier (tipe I
dapat dikoreksi secara bedah). B. Subtipe atresia bilier dari duktus bilier distal. C. subtipe
untuk atresia bilier duktus bilier proksimal.

Meskipun fitur histopatologik atresia bilier sudah dipelajari secara luas pada
spesimen bedah dari sistem bilier ekstrahepatik yang dieksisi dari bayi yang
menjalani portoenterostomi, patogenesis gangguan ini tetap kurang dimengerti.
Penelitian awal mengasumsikan malformasi kongenital dari sistem duktus bilier.
Pada atresia bentuk fetal/embryonic yang terkait dengan anomali kongenital lain,
diperkirakan adanya masalah ontogenesis (perkembangan suatu individual secara
anatomi atau perilaku dari stadium yang paling awal hingga maturitas). Namun,
tipe neonatal yang lebih umum dikarakteristikan dengan lesi inflamatorik yang

8
mengesankan peran agen infeksius dan/atau toksik yang menyebabkan obliterasi
duktus bilier.

Pada tipe III, varian histopatologis yang paling prevalen, sisa fibrosa
menggambarkan obliterasi sempurna dari bagian sistem bilier ekstrahepatik.
Duktus intrahepatik, memanjang ke porta hepatis, awalnya bersifat paten pada
beberapa minggu awal kehidupan tetapi secara progresif hancur. Agen yang sama
dengan yang merusak duktus ekstrahepatik dapat bersifat kausatif, dan efek dari
toksin yang tersisa di empedu merupakan faktor yang berkontribusi.

Ditemukannya inflamasi dan destruksi sistem bilier yang aktif progresif


menunjukkan bahwa atresia bilier ekstrahepatik merupakan suatu lesi didapat.
Namun, belum ada faktor etiologi tunggal yang sudah teridentifikasi. Agen
infeksius merupakan kandidat yang paling memungkinkan, terutama pada atresia
bentuk neonatal (terisolasi). Dalam beberapa penelitian telah ditemukan adanya
peningkatan titer antibodi terhadap reovirus tipe 3 pada pasien dengan atresia
bilier saat dibandingkan dengan kelompok kontrol. Virus lain, termasuk rotavirus
dan sitomegalovirus (CMV), juga diimplikasikan.

2.5 Manifestasi Klinis


Apapun etiologinya, presentasi klinis dari kolestasis neonatal sama pada
kebanyakan bayi. Gejala tipikal termasuk jaundice, urin gelap, dan tinja pucat.
Pada atresia bilier, kebanyakan bayi lahir cukup bulan, meskipun insidensi bayi
berat lahir rendah lebih tinggi ditemukan. Pada kebanyakan kasus, tinja akolik
tidak ditemukan saat pertama kali lahir namun muncul dalam beberapa minggu
pertama kehidupan. Nafsu makan, pertumbuhan, dan penambahan berat badan
dapat normal. Temuan fisik tidak mengidentifikasi semua kasus atresia bilier.
Tidak ada temuan yang patognomonik untuk gangguan ini.

Bayi dengan atresia bilier biasanya cukup bulan dan tumbuh normal pada
beberapa minggu pertama kehidupan. Hepatomegali dapat terlihat awal, dan hepar

9
biasanya teraba keras saat dipalpasi. Splenomegali umum ditemukan dan
menandakan sirosis progresif dengan hipertensi portal.

Hiperbilirubinemia direk merupakan temuan abnormal dan dapat terlihat sejak


lahir pada bentuk fetal/embryonik. Pertimbangkan atresia bilier pada semua
neonatus dengan hiperbilirubinemia direk.

Pada bentuk pascanatal yang lebih umum, jaundice fisiologis sering berkaitan
dengan hiperbilirubinemia terkonjugasi. Klinisi harus waspada bahwa
hiperbilirubinemia tak terkonjugasi fisiologis jarang menetap lebih dari 2 minggu.
Bayi dengan jaundice fisiologis berkepanjangan harus dievaluasi untuk penyebab
lain.

Pada pasien dengan bentuk fetal/neonatal (sindrom polisplenia/asplenia), garis


tengah hepar dapat terpalpasi di epigastrium. Adanya murmur kardiak
mengindikasikan adanya anomali jantung terkait.

Kecurigaan tinggi merupakan kunci dalam diagnosis karena penatalaksanaan


bedah pada usia 2 bulan sudah dibuktikan dapat meningkatkan aliran empedu dan
mencegah perkembangan sirosis bilier ireversibel.

2.6 Diagnosis
Modalitas pencitraan utama yang digunakan untuk mendiagnosa atresia bilier
adalah dengan menggunakan USG, skintigrafi hepatobilier kedokteran nuklir, CT
scan, dan MRI. Apabila diperlukan dapat digunakan transhepatic
cholangiography, intraoperative cholangiography dan angiografi tradisional.
Beberapa modalitas pencitraan, seperti USG Doppler, CT, MRI, dan angiografi
juga diperlukan untuk prosedur sebelum operasi. Angiografi tradisional
diperlukan untuk menentukan lokasi dan ukuran dari trunkus portal apabila tidak
terlihat oleh CT ataupun MRI.

10
Ultrasound merupakan modalitas utama untuk bayi dengan cholestatic jaundice
yang diduga mengalami atresia bilier. Bayi yang akan dilakukan pemeriksaan
USG akan dipuasakan selama 4 jam (apabila memungkinkan) sebelum dilakukan
operasi agar memaksimalkan distensi dari duktus biliaris maupun kandung
empedu. Prosedur USG menggunakan tranduser linear dengan frekuensi tinggi
atau transduser microconvex untuk visualisasi sistem bilier yang optimal.

Temuan gambaran sonografi dari bayi yang mengalami atresia bilier sangat
beragam. Parenkim hepar dapat tampak normal dengan ekogenisitas dan
ekotekstur yang normal atau dapat terjadi gambaran homogeni pada parenkim
hepar, ataupun dapat merupakan gambaran sirosis dan hipertensi portal apabila
pasien datang setelah mencapai tahap tersebut. Pemeriksaan dengan menggunakan
Doppler ultrasound diperlukan untuk membedakan arteri dengan duktus biliaris.

Gambar 2.2 Atresia bilier: Fitur sonografik. A. sonogram longitudinal dari bayi
perempuan berusia 22 hari dengan cholestatic jaundice. Hepar memiliki
ekotekstur yang normal & seragam. Vena cava inferior intrahepatik (kepala
panah), vena hepatika, vena porta (panah) terlihat, tetapi duktus biliaris tidak
terlihat. B. Kandung empedu kecil (panah) dengan dinding ireguler terlihat. Tidak
ada dilatasi duktus empedu. Atresia bilier dikonfirmasi dengan skintigrafi nuklir,
biopsi hepar, dan kolangiografi intraoperatif sebelum penanganan dengan
prosedur Kasai.

Pada suatu penelitian disimpulkan bahwa ukuran arteri hepatika dapat digunakan
untuk membantu mendiagnosis atresia bilier. Ukuran arteri hepatika pada atresia

11
bilier secara signifikan lebih besar daripada bayi dengan hepatitis. Pada penemuan
ini, nilai cut-off dari atresia bilier adalah 1.5 mm (sensitivitas 92%, spesifisitas
87%, akurasi 89%).

Temuan ultrasound lain yang dapat bermanfaat dalam diagnosis atresia bilier
adalah focal triangular atau struktur tubular yang hiperekoik di anterior dan
sedikit superior dari bifukarsio vena porta utama (Gambar 2.3), dikenal sebagai
triangular cord sign. Struktur ekogenik ini mewakili sisa fibrotik dari duktus
koledokus yang obliterasi. Aliran tidak terlihat di dalam triangular cord pada
evaluasi Doppler. Triangular cord dapat tidak terlihar pada stadium awal penyakit,
atau dapat tersembunyi oleh arteri hepatika dekstra yang besar.

Gambar 2.3 Atresia bilier: Triangular cord sign pada ultrasound. Tanda
triangular cord menggambarkan duktus koledokus yang terobliterasi pada bayi
dengan atresia bilier. Area fokal hiperekoik terletak sefalad terhadap bifukarsio
vena porta, atau dapat diukur sebagai dinding anterior dari vena porta dekstra

12
yang ekogenik. Area hipoekoik di dalamnya merupakan cabang dari arteri
hepatika kanan.

Triangular cord juga dapat terselubungi oleh hiperekogenitas periportal yang


difus akibat inflamasi atau sirosis, atau dapat dinilai apabila korda fibrotik kecil.
Ultrasound jangka pendek untuk follow up diperlukan apabila temuan awal
tampak normal atau curiga hepatitis neonatal tetapi kondisi cholestatic jaundice
tidak membaik atau semakin memburuk.

Triangular cord yang lebih besar dari 4 mm pada neonatus dengan cholestatic
jaundice ditemukan 80% sensitive dan 89% spesifik, serta memiliki nilai positif
negatif prediktif sebesar 94% untuk diagnosis atresia bilier. Lesi bulat, linear, atau
tubular yang hipoekoik atau kistik di dalam triangular cord beberapa kali
dideskripsikan sebagai lesi kistik menyerupai celah di dalam massa fibrotik secara
histopatologis. Celah kistik ini juga dapat terlihat sebagai area triangular dengan
intensitas signal tinggi pada pencitraan MRCP T2.

Kandung empedu biasanya kecil atau tidak ada sama sekali pada pasien dengan
atresia bilier, tetapi visualisasi dari kandung empedu normal tidak mengeksklusi
diagnosis atresia bilier. Bayi prematur jaundice yang telah menerima nutrisi
parenteral total tanpa atresia bilier juga dapat memilik kandung empedu kecil.
Triad hantu (ghost triad) telah dikaitkan dengan adanya atresia bilier: kandung
empedu atretik (panjang <1.9 cm), mukosa menipis atau lapisan mukosa ekogenik
dari dinding kandung empedu tidak lengkap dan batas dindingnya tidak tegas,
kontur kandung empedu lobular, iregular, atau mengalami penonjolan (Gambar
2.4). Temuan ini diduga akibat keadaan atretik, imaturitas, dan kekurangan fungsi
dari kandung empedu pada bayi dengan atresia bilier. Penebalan dinding kandung
empedu bukan salah satu ciri dari atresia bilier, namun ditemukan pada 25% bayi
jaundice tanpa atresia bilier sehingga dapat bermanfaat dalam mengarahkan
diagnosis yang bukan atresia bilier.

13
Gambar 2.4 Atresia bilier: Triad hantu (ghost triad). Kombinasi kandung
empedu atretik, mukosa yang tipis, disertai kontur dinding ireguler disebut
sebagai trias hantu dan terkait dengan atresia bilier.

Ketika ultrasound tidak dapat digunakan, pemeriksaan diagnostik selanjut


merupakan skintigrafi hepatobilier nuklir. Pemeriksaan ini dilaksanakan dengan
99
mTc dan derivat asam iminodiasetik, terutama mebrofenin, karena ekstresi
hepatiknya lebih tinggi. Idealnya, fenobarbital oral diberikan selama 3-7 hari (5
mg/kg/hari terbagi dalam 2 dosis) sebagai persiapan pemeriksaan karena diduga
fenobarbital dapat meningkatkan eksresi empedu dan alirannya sehingga lebih
mudah membedakan atresia bilier dari hepatitis neonatal.

Apabila bayi mendekati usia dimana prosedur Kasai idealnya dilakukan (60-75
hari), pemeriksaan dapat dilakukan tanpa fenobarbital atau dengan durasi yang

14
lebih pendek dengan asam ursodeoksikolat (20 mg/kg/hari dalam 2 dosis terbagi,
dilanjutkan hingga pemeriksaan selesai) agar dapat menghemat waktu dan
mencegah keterlambatan diagnosis.

Menurut panduan Society of Nuclear Medicine, bayi yang menjalankan


pemeriksaan hepatobilier harus puasa selama minimal 2 jam sebelum administrasi
99
1 mCi mTc-mebrofenin secara intravena. Gambaran anterior kemudian
didapatkan secara dianamis, dimulai dari awal injeksi dan dilanjutkan selama 60
menit dengan laju 1 menit per frame. Gambaran tertunda (delayed image) dari
proyeksi anterior dan lateral kanan diamnil setelah mengganti popok, termasuk
gambaran 5 menit pada jam ke 4, 6 dan 10 dalam 24 jam apabila tidak ada
visualisasi radiofarmasi pada usus halus.

Temuan skintigrafi hepatobilier dianggap normal apabila parenkim hati


tervisualisasi hampir segera setelah administrasi isotop intravena, dilanjutkan
secara sekuensial dengan aktivitas duktus bilier intrahepatik, duktus bilier
ekstrahepatik, kandung empedu, dan usus halus, secara ideal dalam 1 jam setelah
administrasi isotop. Hepatitis neonatal diduga apabila terdapat klirens
radiofarmasetikal oleh hepatosit yang terlambat tetapi masih ada aktivitas usus
halus yang terlihat dalam 24 jam. Apabila radiofarmasetikal dieksresi ke usus
dalam waktu 24 jam, diagnosis atresia bilier dapat dieksklusi.

Ketika tidak ada radiofarmasetikal yang terlihat di usus dalam waktu 24 jam,
atresia bilier harus sangat dipertimbangkan (Gambar 2.5). Namun hal ini tidak
spesifik karena disfungsi hepatoseluler pada bayi dengan hepatitis neonatal juga
dapat menyebabkan hal serupa. Akurasi skintigrafi terhadap diagnosis atresia
bilier adalah 56-81.6%, sensitivitas 91.7-100%, dan spesifisitas 35-76.9%.

Untuk mengeksklusi atresia bilier, patensi duktus hepatikus komunis dan duktus
koledokus harus didemonstrasikan, tetapi hal ini tidak selalu tercapai dengan
ultrasound dan skintigrafi hepatobilier. MRCP dapat mengeliminasi perlunya
pemeriksaan yang lebih invasif seperti percutaneous transhepatic atau

15
intraoperative cholangiography, biopsi, atau bedah eksploratif apabila anatomi
normal dari traktus bilier dapat didemonstrasikan.

Gambar 2.5 Atresia bilier: Skintigram nuklir hepatobilier. A. Gambaran anterior


dari abdomen dan pelvis direkam dengan 5 menit/frame mendemonstrasikan
ambilan 99mTc-disofenin oleh hepatosit di hepar (panah). Tidak ada bukti

16
aktivitas di kandung empedu, duktus koledokus, atau usus halus. Ambilan renal
(kepala panah) dan ekskresi ke buli-buli terlihat. B. Gambaran anterior tertunda.
Setelah penundaan selama 2 jam, terlihat aktivitas persisten dalam hepar dan
klirens berkelanjutan oleh ginjal (kepala panah) dengan ekskresi
radiofarmaseutikal terdeteksi dalam buli-buli (*). Gambaran 24 jam juga
mendemonstrasikan beberapa aktivitas di hepar (panah) tetapi tidak ada bukti
ekskresi bilier ke dalam usus halus.

Teknik pencitraan MRCP menggunakan sekuens yang sensitif terhadap cairan


untuk menampilkan duktus pankreatikus dan empedu. Pemeriksaan ini non-
invasif dan tidak memerlukan kontras. MRCP menggantikan ERCP pada
pemeriksaan-pemeriksaan lain sebagai penunjang yang non-invasif untuk
memeriksa kelainan pada empedu dan pankreas, tetapi ERCP juga berguna
sebagai biopsi endoskopi dan maupun sebagai pengobatan.

Diagnosis atresia biliar ditegakkan oleh MRCP saat CBD atau duktus hepatikus
komunis tidak dapat divisualisasikan. pada bayi yang mengalami cholestatik
jaundice, MRCP memiliki akurasi sebesar 98% dan sensivitas sebesar 100% untuk
mendiagnosis atresia biliar. Seperti Ultrasound, penemuan atresia biliar oleh
MRCP berupa duktus ekstrahepatik tidak tervisualisasi, kantong empedu yang
kecil atau tidak ada, dan fibrosis periportal (tanda triangular cord pada usg).
fibrosis periportal sering ditemukan sebagi area triangular dengan densitas yang
tinggi pada gambaran T2, dan sinyal hipointens pararel pada cabang vena porta
hepatis. pemberian kontras Gadolinium dapat membedakan fibrosis periportal
enhance dengan fibrosis non-enhance pada dilatasi duktus periportal. Hasil false
positif pada atresia biliar dilaporkan; oleh karena MRCP bergantung pada hasil
visualisasi produksi dan sekresi empedu, anak dengan penyakit yang
menyebabkan turunnya fungsi hepatobiliar dan penyakit penyerta lain seperti pada
sklerosis cholangitis dapat menimbulkan hasil pemeriksaan false positif karena
traktus biliar tidak tervisualisasi pada MRCP.

17
Gambar 2.6 Atresia bilier: temuan gambar pada MRCP. Irisan coronal, T2-
weighted. Pada bayi berusia 19 hari degnan cholestasis tampak gambaran
peningkatan intensitas (kepala panah) pada porta hepatis yang menunjukkan lesi
kistik pada porta hepatis. Kandung empedu tampak (panah), tetapi tak ada garis
lurus atau struktur bercabang yang mengindikasikan adanya ductus biliaris.
Diagnosa atresia bilier pada gambaran ini didasarkan pada tidak ditemukannya
gambaran ductus hepaticus dextra dan sinistra, ductus hepaticus communis, serta
ductus choleidocus.

2.7 Diagnosis Banding


Diagnosis banding kolestasis pada bayi adalah :
1. Kelainan ektrahepatik
A. Atresia bilier
B. Hipoplasia bilier, stenosis duktus bilier

18
C. Perforasi spontan duktus bilier
D. Massa (neoplasma, batu)
E. Inspissated bile syndrome
2. Kelainan intrahepatik
A. Idiopatik
1. Hepatitis neonatal idiopatik
2. Kolestasis intrahepatik persisten antara lain:
A. Displasia arteriohepatik sindrom Allagile
B. Syndrome Zellweger (sindrom serebrohepatorenal)
C. Intrahepatic bile duct paucity
B. Anatomik
C. Kelainan metabolisme
D. Hepatitis
E. Genetik/kromosomal
F. Lain-lain

2.8 Tatalaksana
Bila tidak ditangani, atresia bilier bersifat fatal, dengan rerata kelangsungan hidup
18 bulan. Pada pasien dengan atresia bilier, tujuannya adalah untuk mencapai
drainase empedu adekuat dengan prosedur Kasai (portoenterostomi Kasai,
portoenterostomi hepatik, hepatoportoenterostomi). Prosedur Kasai melibatkan
eksisi dari sisa bilier yang terobliterasi dengan anastomosis portal ke usus halus
dengan hepatojejunostomi Roux-en-Y. Untuk atresia bilier yang dapat ditangani
secara bedah bagian dari duktus hepatikus komunis proksimal harus paten agar
dapat dianastomosiskan terhadap jejunum setelah reseksi dari sisa duktus fibrotik,
mencegah sekuele jangka panjang dari atresia bilier dan perlunya transplantasi
liver. Sayangnya, tipe atresia bilier yang dapat dikoreksi secara bedah jarang
ditemukan (10-15% kasus). Meski bentuk lain dari atresia bilier tidak dianggap
dapat dikoreksi secara bedah, prosedur Kasai tetap dilakukan sebagai terapi
paliatif hingga diperlukan transplatasi liver, dengan rerata kelangsungan hidup
lebih dari 95%. Drainase bilier yang adekuat setelah prosedur Kasai adalah ketika

19
konsentrasi bilirubin total kurang dari 2.0 mg/dL kapanpun dalam 3 bulan pertama
setelah operasi.

Awalnya prosedur Kasai dianggap harus dilakukan sebelum bayi yang


terdiagnosis atresia bilier mencapai usia 2 bulan. Namun penelitian berikutnya
melaporkan 45% kelangsungan hidup 5 tahun pada pasien tanpa transplantasi
yang melaksanakan prosedur Kasai pada usia lebih dari 100 hari. Penelitian
prospektif di Amerika Utara yang mengevaluasi 530 pasien dengan atresia bilier
sejak tahun 2004 hingga 2010, ditemukan bahwa bayi berusia kurang dari 75 hari
melalui prosedur Kasai tidak memiliki kecenderungan yang lebih tinggi daripada
bayi berusia lebih dari 75 hari untuk mendapatkan drainase bilier yang adekuat.
Namun penelitian oleh Superina et al. menemukan bahwa prosedur Kasai yang
dilakukan sebelum usia 75 hari terkait dengan peningkatan kelangsungan hidup
tanpa transplantasi, mengindikasikan bahwa usaha untuk mengidentifikasi dan
menangani bayi dengan atresia bilier sedini mungkin sangat berharga.

Semua pasien yang dicurigai mengalami atresia bilier harus menjalani eksplorasi
laparotomi dan kolangiografi direk untuk menentukan ada tidaknya dan lokasi
obstruksi. Drainase langsung dapat dilakukan pada pasien dengan lesi yang dapat
dikoreksi. Apabila tidak ditemukan lesi yang dapat dikoreksi, pemeriksaan dari
spesimen frozen section yang didapat dari transeksi porta hepatis dapat
mendeteksi adanya epitel bilier dan menentukan ukuran serta patensi sisa duktus
biliaris. Pada beberapa kasus, kolangiogram menunjukkan traktus bilier yang
paten namun mengecil, hal ini memperlihatkan bahwa kolestasis yang terjadi
bukan akibat obliterasi traktus bilier melainkan akibat duktus yang mengecil atau
aliran yang berkurang secara bermakna akibat adanya penyakit intrahepatik. Pada
kasus ini, transeksi atau diseksi lanjut ke porta hepatis harus dihindari.

Pada pasien tanpa lesi yang dapat dikoreksi, prosedur hepatoportoenterostomi


Kasai dapat dilakukan. Dasar dari operasi ini adalah adanya kemungkinan bahwa
ada sedikit sisa duktus bilier, yang merepresentasikan kanal residual, di jaringan
fibrosa porta hepatis; kanal seperti itu dapat berhubungan langsung dengan sistem
duktulus intrahepatik. Pada kasus seperti itu, transeksi porta hepatis dengan

20
anastomosis mukosa usus di bagian proksimalnya dapat mengalirkan drainase
empedu. Apabila aliran tidak secara cepat dibuat dalam bulan pertama kehidupan,
obliterasi dan sirosis progresif dapat terjadi. Apabila kanal mikroskopik dari
patensi berdiameter lebih besar dari 150 μm ditemukan, aliran empedu pasca-
operatif dapat dibuat. Rerata kesuksesan membuat aliran empedu setelah operasi
Kasai lebih tinggi (90%) apabila dilakukan sebelum 8 minggu kehidupan. Maka,
pentingnya rujukan awal dan evaluasi segera dari bayi dengan atresia bilier yang
dicurigai sangat ditekankan.

Beberapa pasien dengan atresia bilier, bahkan tipe yang tidak dapat dikoreksi,
mendapatkan keuntungan dari intervensi prosedur Kasai. Namun pada
kebanyakan kasus, derajat disfungsi hepatic menetap. Pasien dengan atresia bilier
biasanya memiliki inflamasi persisten dari traktus bilier intrahepatik, yang
mengindikasikan bahwa atresia bilier merupakan gambaran proses dinamik yang
melibatkan keseluruhan sistem hepatobilier. Hal ini dapat berkontribusi dalam
terbentuknya komplikasi seperti hipertensi portal. Manfaat jangka pendek dari
hepatoportoenterostomi adalah dekompresi dan drainase yang cukup untuk
mencegah awitan sirosis dan memperpanjang pertumbuhan hingga transplantasi
liver berhasil dilakukan.

2.9 Komplikasi dan Prognosis


2.9.1 Komplikasi
1. Cirrhosis bilier yang progresif
2. Hipertensi portal dan atau pendarahan

Kolangitis merupakan komplikasi potensial yang serius dari prosedur Kasai yang
dapat menyebabkan penghentian mendadak dari drainase empedu. Faktor risiko
terbesar dari berkembangnya kolangitis setelah prosedur Kasai adalah drainase
bilier yang inadekuat. Kolangitis harus dicurigai apabila anak mengalami demam
dan tinja akolik (dempul) atau demam dan jaundice dengan peningkatan kadar
bilirubin direk dan hasil protein C-reactive (CRP) positif. Beberapa peneliti
mengembangkan diagnosis kolangitis untuk menginklusi demam yang tidak

21
diketahui penyebabnya pada pasien setelah prosedur Kasai. Kebanyakan pasien
yang telah menjalankan prosedur Kasai memiliki minimal 1 episode kolangitis,
dan 90% terjadi pada anak kurang dari 2 tahun. Episode kolangitis pada populasi
ditemukan menurunkan rerata kelangsungan hidup.

Gambar 2.6 Atresia bilier: progresi menjadi sirosis dengan hipertensi portal dan
asites. Gambaran abu-abu Dopper pada liver dengan tranduser linear frekuensi
tinggi pada anak usia 3 bulan dengan atresia bilier menunjukkan kontur noduler
dari permukaan hepar (panah), asites (*), dan arteri hepatica yang melebar (kepala
panah). Pasien ini bukan kandidat prosedur Kasai karena terdiagnosis setelah
terjadi asites dan sirosis. Ia mendapatkan transplantasi hati satu bulan kemudian.

2.9.2 Prognosis
Tergantung oleh beberapa faktor
 umur pada saat operasi (lebih awal lebih baik, 60-80 hari) setelah lahir
 gambaran anatomis duktus biliaris ekstra hepatal
 ukuran duktus biliaris ekstrahepatal
 ada tidaknya cirrhosis hepatis
 kolangitis

22
DAFTAR PUSTAKA

Kader, H. H. & Balistreri, W. F. Cholestasis neonatal. In: Behrman, R. E.,


Kliegman, R. M., Jenson, H. B. (2004). Nelson Textbook of Pediatric (17 th
ed.). Philadelphia, PA: Elsevier Saunders.

Knipe, H. & Bashir, O. Biliary tree anatomy. Retrieved from:


http://radiopaedia.org/articles/biliary-tree-anatomy

Nicholas, J. L. Diseases of the Pediatric Gallbladder and Biliary Tract. In: Gore,
R. M. & Levine, M. S. (2015). Textbook of gastrointestinal radiology (4 th
ed.). Philadelphia, PA: Elsevier Saunders.

Schwarz, S. M. (2015, Sept). Pediatric Biliary Atresia. Retrieved from:


emedicine.medscape.com/article/927029-overview

Toouli, J. & Bhandari, M. (2006, May 16). Anatomy and physiology of the biliary
tree and gallbladder. Blackwell publishing. Retrieved from:
http://www.blackwellpublishing.com/content/bpl_images/content_store/sam
ple_chapter/9781405127400/9781405127400_4_001.pdf

23

Anda mungkin juga menyukai