Adenomiosis Case ASN REV Last
Adenomiosis Case ASN REV Last
Presentasi Kasus II
KEHAMILAN CUKUP BULAN DENGAN POST
RESEKSI ADENOMIOSIS ( TEKNIK OSADA ) YANG
DITATALAKSANAI DENGAN TERMINASI
PERABDOMINAM
Penyaji
Dr. Achmadi Sulistyo
Pembimbing
Dr.RM Aerul Chakra Alibasya, SpOG(K)
Pemandu
Dr.H. Rizal Sanif SpOG(K)
Pembahas
Dr. Rama Gindo Imansuri
Dr. Roby Prawira Sulbahri
Dr. Bima Ananta
REKAM MEDIK
A. ANAMNESIS UMUM
1. Identifikasi
Nama : Ny. LEN
Umur : 28 tahun
Med. Rec. : 930739
Register : RI16000332
Agama : Islam
Pendidikan : SLTA
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Palembang
MRS : 05 Januari 2016 pukul 13.15 WIB
2. Riwayat perkawinan
Menikah 1 kali, lama perkawinan 2 tahun.
3. Riwayat reproduksi
Menarche usia 14 tahun, lama siklus haid 28 hari, teratur, lamanya haid 5
hari.
HPHT : 13 April 2015, TP : 30 Januari 2016
4. Riwayat Persalinan/obstetri
Hamil ini
5. Riwayat Penyakit/Operasi
R/ reseksi adenomiosis tahun 2014 ( laparotomi )
6. Riwayat Gizi dan Sosial Ekonomi
Sedang
7. Riwayat Kehamilan Sekarang
Hari pertama haid terakhir (HPHT ) : 13 April 2015
Taksiran Pertsalinan : 30 Januari 2016
Periksa hamil dengan SpOG.
3
C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Presens
Tinggi badan : 154 cm Berat badan : 75 kg
Keadaan Umum : Baik Kesadaran : Kompos
mentis
Tekanan darah : 130/80 mmHg Pernafasan : 20 x / menit
Nadi : 84 x / menit Suhu : 36,5 0 C
Jantung/paru : Murmur (-), Hati / limpa : Tak teraba
gallop (-), bising
sistolik (-) /
wheezing (-)
Payudara : hiperpigmentasi Ekstremitas : Edema -/-
+/+
Reflek : +/+ Reflek : -/-
fisiologis patologis
4
2. Status Obstetri
Periksa luar : Fundus uteri 3 jari di bawah pusat (34 cm), memanjang,
puka, bokong, his (-), DJJ 142 x/menit, TBJ : 1240 g
Inspekulo : Portio livide , OUE tertutup , fluor (-), fluxus (-), erosi (-
), laserasi (-), polip ( -)
Periksa dalam : Portio lunak, posterior, eff 0%, pembukaan kuncup,
ketuban dan penunjuk belum dapat dinilai.
3. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium (05 Januari 2016 ; pukul 11:45 )
Darah rutin
Hb : 11,9 g/dl
Leukosit : 8.900 /mm3
Trombosit : 287.000/ mm3
Basofil :0%
Eosinofil :1%
Netrofil : 68 %
Limfosit : 21 %
Monosit : 10 %
Kimia darah
SGOT : 14 U/L
SGPT : 10 U/L
Ureum : 21 mg/dL
Kreatinin : 0.50 mg/dL
BSS : 104
Urinalisa
Warna Kuning
Kejernihan Agak keruh
Berat jenis 1.025
pH 5.0
Protein Negatif
Glukosa Negatif
Leukosit Positif +++
esterase
5
D. DIAGNOSIS
G1P0A0 hamil 37 minggu belum inpartu dengan post laparotomi reseksi
adenomiosis Janin Tunggal Hidup Presentasi bokong
E. PROGNOSIS
Ibu dan janin : baik
F. PENATALAKSANAAN
- Obs DJJ, TVI, His
- R/ SC elektif
- Konsul PDL, Anetesi.
- Persiapan operasi
Manajemen :
- Puasa 6 jam sebelum operasi
- Sedia darah sesuai estimasi perdarahan Ts. Obgin
- Pasang infuse dengan kateter vena no 18
LAPORAN OPERASI
1. Pasien konsul intraoperatif dari bagian OBGYN, konsul pukul 10.20 WIB, intra
operatif SSTP.
2. Didapatkan iatrogenic laserasi pada dome bladder ± 8 cm, mediana, semua lapisan.
3. Diptutuskan untuk menjahit mukosa buli dengan plain 3.0 rounded interrupted
suture.
4. Pada eksplorasi lanjut didapatkan otot detrusor buli yang laserasi bentuk irregular,
otot kemudian diaproksimasi dengan PGA 2.0 rounded interrupted suture
5. Dipasang 1 buah drain ( NGT 16 ) drain dipertahankan 7 hari.
6. Operasi dilanjutkan oleh bagian kebidanan, repair buli selesai pukul 11.05 WIB
G. FOLLOW UP
Tgl/Pukul Pemeriksaan fisik Penatalaksanaan
06-01-2016 Anestesi P/
10.30 WIB S: Kel : - - Obs TVI
O: St. Present: - Analgesik ketorolak 50 mg
KU: baik IV dan pronalges 200 mg
Sens: compos mentis di OK. Seterusnya sesuai
TD: 110/80 mmHg TS. Operator.
N: 80 x/m, - Bila mual-muntah, tanda
RR: 20x/m, vital dalam batas normal,
T: 36,50C beri ondansentron 8 mg
A/ P1A0 post SSTP ai post reseksi (IV)
adenomiosis + post repair buli. - Makan dan minum setelah
sadar penuh.
9
06/01/16 Obgyn
10.35 wib S: Kel : - Observasi tanda vital ibu.
O: St. Present:
IVFD RL gtt XX/m
KU: sakit sedang
Kateter menetap 7 hari.
Sens: Compos mentis
Mobilisasi
TD: 100/80 mmHg
Diet biasa jika sadar penuh.
N: 80x/m,
Inj. Ceftriaxon 2 x 1 g iv
RR: 20 x/m
(ST)
T: 36,50C
Inj. Metronidazol 3 x 500
St. Obstetri :
mg iv
PL: Fundus uteri 2 jari di bawah pusat,
Inj. Gentamisin 2 x 80 mg
kontraksi uterus baik, perdarahan aktif
iv
(-), luka operasi tertutup opsite.
Inj. Tramadol 3 x 1 amp
A/ P1A0 post SSTP atas indikasi post
drip
reseksi adenomiosis + post repair buli.
Inj. Asam traneksamat 3 x 1
amp.
06/01/16 Bedah Kateter dan drain
11.00 WIB S: selesai dilakukan repair buli Present: dipertahankan sam,pai
KU: sakit sedang dengan 7 hari.
Sens: Compos mentis
10
RR: 18 x/m
T: afebris
Pemeriksaan abdomen
I : tampak luka operasi tertutup
kassa, kering.
P : lemas.
P : tymphani
Pemeriksaan supra pubik
I : bulging (-), drain 5 cc/24 jam.
P : redup (-)
Terpasang kateter, jernih, lancar.
A/ post repair buli ai. rupture dome buli
H+4
Post SSTP ai. Post reseksi
adenomiosis.
10/01/2016 S: Kel : - Obs TVI
06.00 WIB O: St. Present: IVFD RL gtt XX/m
KU: baik ASI on demand
Sens: Compos mentis Cefadroxil 2 x 500 mg
TD: 120/70 mmHg Metronidazol 3 x 500 mg
N: 80x/m, Asam mefenamat 3 x 500mg
RR: 16 x/m
T: afebris
St. Obstetri :
PL: Fundus uteri 2 jari di bawah pusat,
kontraksi uterus baik, perdarahan aktif
(-), lokia + rubra, luka operasi tertutup
opsite, drain 5 cc/ 24 jam
15
II. Permasalahan.
1. Bagaimanakah pengaruh adenomiosis terhadap infertilitas ?
2. Bagaimanakah pilihan terapi pasien adenomiosis yang masih menginginkan
kehamilan ?
3. Bagaimanakah pengaruh reseksi adenomiois teknik Osada terhadap kehamilan
dan persalinan pada pasien ini ?
Gambar 2. Aspek dasar biologi molekuler dari mekanisme fisiologi “ Tissue Injury and
Repair “ (TIAR). Mekanisme traumatisasi dan penyembuhan dihubungkan dengan
proses spesifik fisiologis yang melibatkan produksi interleukin-1 (IL-1). IL-1
menginduksi aktivasi enzim siklooksigenase yang menghasilkan produksi prostaglandin
E2(PGE2), yang kemudian akan mengaktifkan STAR ( steroidogenic acute regulatory
protein ) dan P450 aromatase. Dengan demikian testosteron dapat terbentuk dan
aromatisasi ke dalam E2 yang menggunakan efek proliferatif dan efek penyembuhan
melalui ER2. Hiperperistaltik akan menimbulkan trauma mekanis yang menimbulkan
peningkatan fragmen deskuamasi stratum basal endometrium dan dalam kombinasi
dengan peningkatan kapasitas transport uterus retrograd akan meningkatkan deskuamasi
transtubal dari fragmen ini. Hipereristaltik akan meningkatkan tekanan intrauterin yang
kemudian akan menimbulkan dehisens pada miomerium yang akan diinfiltrasi oleh
lapisan basal endometrium dengan perkembangan sekunder jaringan musk ular
peristromal.
30
Manifestasi klinis.
Sekitar 35 % kasus adenomiosis adalah asimptomatis. Sedangkan keluhan yang
sering dijumpai adalah menorrhagi (50%), dismenore (30%) dan metrorrhagi
(20%). Seringkali dispareunia dan pembesaran uterus juga dijumpai. Frekuensi dan
keparahan gejala berkorelasi dengan jumlah fokus ektopik dan luasnya invasi.
Penyebab pasti menorraghi pada adenomiosis masih belum diketahui, tapi diduga
keadaan ini disebabkan oleh karena konsekuensi peningkatan area permukaan
rongga uterus yang membesar karena terdapatnya lesi adenomiosis selain itu
disebabkan juga oleh karena jeleknya kontraktilitas uterus adenomiotik dan
kompresi endometrium oleh adenomiosis submukosa ataupun leiomioma.6
Dismenore diduga disebabkan oleh karena peningkatan produksi prostaglandin
yang ditemukan pada jarigan adenomiosis dibandingkan dengan miometrium
normal.6
32
Diagnosis
Adenomiosis adalah diagnosa klinis dan hanya dapat dipastikan dengan
pemeriksaan histopatologi. Dengan kemajuan dalam teknik pencitraan, diagnosis
bisa ditegakkan dengan tingkat akurasi yang tinggi. 6
Pencitraan mempunyai 3 peran utama dalam mengelola pasien yang dicurigai
adenomiosis secara klinis. Pertama, untuk menegakkan diagnosis dan diagnosis
diferensial adenomiosis dari keadaan lain yang mirip seperti leiomioma. Kedua,
beratnya penyakit dapat disesuaikan dengan gejala klinisnya. Ketiga, pencitraan
dapat digunakan untuk monitoring penyakit pada pasien dengan pengobatan
konservatif. Beberapa pencitraan yang digunakan pada pasien yang dicurigai
adenomiosis yaitu Histerosalpingografi (HSG), USG transabdominal, USG
transvaginal dan MRI.8
Histerosalpingografi merupakan modalitas pencitraan pertama untuk
mendeteksi adenomioisis tetapi sensitifitas dan spesifisitasnya sangat rendah.
33
Teknik radiologi intervensi untuk embolisasi arteri uterina secara selektif telah
digunakan untuk mengatasi gejala adenomiosis. Tetapi laporan kasus yang
dilaporkan juga kecil dan sejauh ini tidak didapatkan laporan adanya kehamilan
setelah dilakukan teknik embolisasi arteri uterina ini. Akan tetapi pada sisi yang
lain paling tidak didapatkan 10 persalinan dengan bayi yang sehat dari 11
kehamilan pada pasien yang didagnosa malformasi arteri uterina dimana
embolisasi arteri uterina dikerjakan. Pada kelompok yang lain dilaporkan 15 kasus
adenomiosis yang didiagnosa dengan MRI, yang ditatalaksanai dengan embolisasi
arteri uterina membawa kepada peningkatan kualitas hidup pada 12 dari 13 pasien.
Akan tetapi pada tinjauan retrospektif ini follow up yang dilakukan tidak komplet
( hanya 9 dari 15 pasien yang menjalani MRI selama follow up ) dan 12 pasien yang
termasuk dalam studi ini disertai dengan fibroid dimana embolisasi merupakan
pilihan terapi.11
Terapi Hormon.
Terapi medikamentosa untuk penanganan adenomiosis selalu mengikuti prinsip-
prinsip pengelolaan endometriosis, yang biasanya ditujukan untuk mengurangi
produksi estrogen endogen atau inhibisi diferensiasi endometrium dengan
progestin. Tujuan dari terapi medikamentosa ini adalah penghambatan ovulasi
serta siklus menstruasi dan pencapaian sebuah lingkungan hormon steroid yang
stabil, berdasarkan konsep bahwa respon endometrium eutopik dan endometrium
ektopik secara substansi adalah sama. Terapi medikamentosa yang biasa
digunakan dalam pengobatan adenomiosis, terutama didasarkan pada kenyataan
bahwa aksis gonad-hipofisis-hipotalamus memainkan peran penting dalam setiap
fase reproduksi, termasuk gonadotropin-releasing hormon agonis (GnRH agonis),
kontrasepsi oral (OC), progestin, danazol, estrogen selektif modulator reseptor
(SERM), progesteron selektif reseptor modulator (SPRMs) atau inhibitor
aromatase (AI). Preparat tersebut akan membuat suatu kondisi hipoestrogenik
39
GnRH agonis
40
GnRH agonis berasal dari GnRH alami dengan melakukan substitusi asam
D-amino terhadap asam L-amino di posisi 6 di dekapeptida tersebut. GnRH
memiliki waktu paruh pendek karena pemecahan yang cepat dari ikatan antara
asam amino pada posisi 5-6, 6-7, dan 9-10. Pergantian di posisi 6 menghasilkan
agonis yang tahan terhadap degradasi dan meningkatkan waktu paruh 13
Sekresi follicle-stimulating hormon ( FSH ) dan luteinizing hormone (LH)
hipofisis membutuhkan sekresi pulsatil GnRH dari hipotalamus. Pemberian
infus intravena konstan GnRH atau pemberian (subkutan / intramuskular /
intranasal) agonis GnRH (goserelin, leuprolida, nafarelin, buserelin, triptorelin)
memicu terjadinya respon agonis awal atau "Flare" respon, yang diikuti oleh
downregulation konsentrasi reseptor, yang didesensitisasi hipofisis untuk
melanjutkan stimulasi. "Flare" respon timbul karena pelepasan gonadotropin
yang dihasilkan dan disimpan di hipofisis, dan "flare" yang terbesar terjadi di
awal fase folikuler saat GnRH dan estradiol bergabung untuk membentuk
cadangan besar gonadotropin. Dalam waktu 3 sampai 4 minggu, kondisi
tersebut akan menginduksi suatu keadaan hipogonadotropik- hipogonadal. 13
Awalnya, respon ini disebabkan karena desensitisasi dan down-regulasi
serta kehilangan secara bertahap reseptor dan pelepasan reseptor dari sistem
efektor. Selain itu, mekanisme post-reseptor mengakibatkan sekresi
gonadotropin yang tak aktif.13
Pada suatu studi kasus adenomiosis yang diterapi dengan GnRH agonis,
pasien menunjukkan pengurangan ukuran uterus dan perbaikan gejala tetapi
masih tetap infertil. Akan tetapi beberapa peneliti lain melaporkan adanya
kehamilan dan kelahiran bayi pada pasien adenomiosis dengan infertilitas
setelah pemberian GnRH agonis.7
Tabel 3. Terapi GnRH agonis yang diikuti dengan kehamilan pada pasien adenomiosis
dan infertilitas.
Interval dari
Referensi n Terapi Hasil kehamilan penghentian
41
Durasi terapi
infertilitas sampai
terjadinya
kehamilan
Hirata (1993) 1 Nafarelin acetate nasal Abortus spontan pada usia 4 tahun 4 bulan
spray 800 mg/hari selama 6 kehamilan 10 minggu
bulan
Nelson dan Corson 1 Leuprolide acetate 0.5 mg Kehamilan viabel pada Tanpa 1 bulan
(1993) s.c. perhari sampai dengan trimester pertama infertilitas
6 bulan yang diikuti
dengan
leuprolide acetate injeksi
intra mukskular
3.75 mg/bulan sampai
dengan total 20 bulan
selama periode 3 tahun
Silva (1994) 1 Leuprolide acetate injeksi SC pada kehamilan aterm; 10 tahun 54 bulan
intra muskular 3400 g; neonatus sehat
3.75 mg/bulan selama 5
bulan
Huang (1999) 2 Buserelin acetate nasal (1) persalinan pervaginam ; (1) 2 tahun (1) 4 bulan
spray 600 mg/hari sampai neonatus lahir pada usia
(2) 4 tahun (2) 6 bulan
dengan 3 bulan kehamilan 39 minggu
dengan berat 3550 g
(2) SC pada usia kehamilan
38 weeks; berat neonatus
2700 g
Lin (2000) 2 (1) Goserelin 3.6 mg s.c. (1) persalinan pervaginam (1) 6 tahun 2 – 4 bulan
perbulan sampai dengan 6 pada usia kehamilan 38
(2) 3 tahun
bulan minggu; berat neonatus
(2) Triptorelin acetate 2.75 3150 g
mg i.m. perbulan sampai (2) dilaporkan kehamilan
dengan 6 bulan normal sampai usia
kehamilan 28 minggu
Dikutip dari Devlieger R.11
flush dan berkembangnya atrofi urogenital. Terapi add back harus dimulai
bersamaan dengan dimulainya GnRH agonis. Namun, remaja dengan gejala
endometriosis atau adenomioisis yang mungkin memerlukan terapi ini
menghadirkan tantangan yang unik, karena pada usia ini wanita belum
mencapai puncak massa tulang. Baru-baru ini studi retrospektif dari 36 remaja
perempuan Di Vasta telah menunjukkan bahwa add-back efektif dalam
mengurangi gejala dan mempertahankan kondisi tulang di sebagian besar
remaja.13
Awalnya, penggunaan agonis GnRH terbatas pada 6 bulan, tetapi dengan
munculnya terapi add-back, durasi penggunaan telah meningkat secara
substansial dan GnRH agonis bahkan dapat digunakan selama 2 tahun.
Goserelin dan leuprolide adalah dua jenis GnRH agonis yang umum
digunakan. Goserelin digunakan dalam dosis 3,6 mg sekali setiap 4 minggu atau
10,8 mg sekali setiap 12 minggu, dan disuntikkan subkutan. Leuprolide dapat
diberikan sebagai dosis harian 0,5 sampai 1 mg atau bulanan depot 3.75 mg
atau bahkan dapat diberikan 3 bulanan dalam dosis 11,25 mg. Leuprolide ini
dapat disuntikkan subkutan atau intramuskular. Nafarelin dapat diberikan
dalam bentuk semprotan intranasal dalam dosis 200 sampai 400 mcg sekali atau
dua kali sehari tergantung pada indikasi penggunaan.13
Levonorgestrel Intrauterine Sistem ( LNG-IUS )
LNG-IUS bekerja secara langsung pada endometrium melalui pelepasan
levonorgestrel ke rongga uterus. Laju pelepasan LNG-IUS mencapai 20 ug/hari
dan menurun hingga 11ug/hari pada tahun kelima.6
Pelepasan levonergestrel secara lokal menyebabkan atrofi kelenjar
endometrium, menekan proliferasi sel-sel endometrium, meningkatkan
aktivitas apoptosis dan memiliki pengaruh sebagai antiinflamasi dan
imunomodulator. Oleh karena itu penggunaan LNG-IUS dapat mangatasi
masalah menorhagi maupun dismenore. 6
43
untuk mengurangi rasa sakit dan memberikan perbaikan klinis pada 55 - 93%
wanita yang diberikan danazol selama 6 bulan.12
Efek imunologis penggunaan danazol pada penderita adenomiosis
menunjukkan terjadinya penurunan immunoglobulin serum dan C3 serum serta
kenaikan C4 serum, penurunan kadar autoantibody serum terhadap berbagai
antigen phospolipid. Namun, danazol dan gestrinon tidak cocok untuk
penggunaan jangka panjang, sebagian karena mereka memiliki efek samping
androgenik, termasuk seborrhea, hipertrikosis dan peningkatan berat badan
serta risiko sindrom metabolik, seperti efek terhadap distribusi lipoprotein
(Penurunan high-density lipoprotein dan meningkatkan low density
lipoprotein).12
Dalam sebuah penelitian tak terkontrol, pengobatan 12 wanita dengan
adenomiosis menggunakan Danazol-Loaded Intra-Uterine Device terdapat tiga
kehamilan (Igarashi et al., 2000). Dalam penelitian ini, kadar serum danazol
tidak terdeteksi dan fungsi menstruasi serta ovulasi masih didapatkan. Hipotesis
keadaan ini adalah bahwa konsentrasi Danazol intra-uterin tinggi dilepaskan
langsung ke patologis EMI, yang mungkin memberikan hasil yang lebih baik
daripada Danazol oral terhadap kontrol gejala dan fertilitas.12
Dosis danazol yang bisa digunakan di Amerika utara adalah 800 mg/hari.
Sedangkan di Eropa dan Australia dosisnya lebih rendah, yaitu 600 mg/hari.
Amenore dapat digunakan sebagai indikator respon obat. Untuk penggunaan
danazol dapat dimulai dengan dosis 400 mg/hari ( 2 x 200 mg ) dan bila perlu
dosis dapat ditingkatkan untuk mencapai kondisi amenore serta mengatasi
keluhan yang timbul akibat adenomiosis.6
Aromatase Inhibitor ( AI )
Aromatase adalah enzim yang bertanggung jawab untuk transformasi
androgen, androstenedion, dan testosteron, estrogen menjadi estrone, dan E2,
45
Pembedahan Konservatif
Konsep pembedahan konservatif untuk mempertahankan uterus adalah
meningkatkan fertilitas dan peningkatan kualitas hidup pasien adenomiosis.
Namun, pembedahan konservatif belum menjadi terapi standar untuk adenomiosis.
Hal ini terutama karena jaringan adenomiotik menginvasi miometrium sedemikian
rupa sehingga tidak terdapat perbatasan yang jelas antara miometrium normal dan
jaringan adenomiotik, sehingga eksisi lengkap jaringan adenomiotik menjadi tidak
memungkinkan. Selain itu, eksisi jaringan adenomiotik selalu disertai dengan
eksisi miometrium, sehingga hal ini menjadi destruktif untuk sebagian otot dinding
rahim. Selain itu, eksisi sederhana lesi adenomiotik dan penutupan secara
sederhana eksisi miometrium tersebut dilaporkan memberikan hasil yang
mengecewakan karena kelompok pasien yang menjalani terapi tersebut dengan
segera mengalami kekambuhan dan kemudian diperlukan histerektomi.14
Teknik laparotomi ini meliputi [1] extraperitonealisasi uterus dan pemasangan tourniquet dengan
kateter ( diameter kurang lebih 6 mm ) pada proksimal cervix penempatan untuk hemostasis; [2]
insisi uterus di garis tengah pada bidang sagital secara tajam sampai menembus cavum uteri [3]
membuka cavum uteri sehingga memungkinkan jari telunjuk memasuki cavum uteri untuk
membimbing selama eksisi jaringan adenomiotik dilakukan; memakai forsep martin untuk
memegang jaringan adenomiosis dan melakukan eksisi jaringan adenomiotik, meninggalkan
49
hypermenorrhea 3.27 ± 2.17 pada 3 bulan post operasi, 2,89 ± 1,77 pada 6 bulan
post operasi , 2,63 ± 1,3 pada 1 tahun post operasi dan 2,87 ± 1,77 pada 2 tahun
pasca operasi. Rekurensi ditemukan (didefinisikan oleh kembalinya gejala pra-op
dan berulang Pertumbuhan adenomyomatous) hanya dalam empat kasus (3,8%)
selama waktu 10 tahun penelitian.15
Pada penelitian yang dilakukan oleh Rajudin (2008), didapatkan angka
kehamilan paska reseksi adenomiosis adalah 9,4%. Hamil yang berakhir dengan
keguguran terjadi 1 kasus, hal ini seperti yang dikemukakan oleh Michael Lukes,
bahwa risiko abortus pada perempuan adenomiosis 4 kali lebih besar dibandingkan
perempuan yang tidak ada adenomiosis. Kekambuhan paska bedah adalah 33 -
40,3%. Pada penelitian ini didapat kambuhan 12,5% setelah satu tahun paska
reseksi. Berdasarkan keluhan, dikatakan 35% penderita adenomiosis tidak
mengalami keluhan atau tanpa gejala, sedangkan yang lainnya mengalami keluhan
berupa dismenorea, nyeri pelvik dan menoragia. Pada penelitian ini semua pasien
mengalami keluhan yaitu 62,5% menderita dismenore, 12,5% menoragia dan 25%
nyeri pelvik dan dispareunia. Dismenore mungkin disebabkan oleh iritabilitas
uterus atau edem pseudodesidual di sekitar lesi adenomiosis. Kontraksi uterus yang
tidak baik selama menstruasi akan memperluas permukaan endometrium, yang
menyebabkan produksi prostaglandin berlebihan dan di pihak lain hiperestrogen
dianggap sebagai penyebab menoragia.8
Pada pasien ini cara pengakhiran kehamilan pada usia kehamilan aterm
dilakukan dengan seksio sesarea. Hal ini disebabkan karena pasien ini menjalani
reseksi adenomiosis sebelumnya. Adenomiosis sendiri akan mempengaruhi
fertilitas, dimana pada pasien adenomiosis reseksi yang dilakukan menyebabkan
pengurangan massa miometrium dan terbentuknya skar yang mengakibatkan
kekuatan untuk menahan regangan uterus selama kehamilan dan proses persalinan
dan elastisitas miometrium menjadi berkurang. Dan jika dilakukan persalinan
pervaginam pada pasien ini dikahawatirkan akan terjadi ruptur uteri yang akan
membahayakan keselamatan ibu maupun janin.
55
SIMPULAN
Adenomiosis menurut Bird ( 1971 ), didefinisikan sebagai invasi jinak
endometrium ke dalam lapisan miometrium, sehingga mengakibatkan pembesaran
uterus yang difus dengan gambaran mikroskopik menunjukkan adanya stroma dan
kelenjar endometrium ektopik, non-neoplastik yang dikelilingi oleh miometrium
yang hipertropik dan hiperplastik.1
Frekuensi adenomiosis yang dilaporkan dalam literatur bervariasi antara 5 – 70
%, dan sangat bergantung pada seberapa menyeluruhnya sampel uterus diambil,
kriteria histologis untuk menegakkan adenomiosis, serta pemilihan spesimen yang
akan dievaluasi.3
Hubungan adenomiosis dengan infertilitas terjadi melalui beberapa mekanisme
yang antara lain adalah adanya defek struktural maupun fungsional uterine
junctional zone ( JZ), serta adanya disregulasi protein yang dapat menyebabkan
kegagalan implantasi. Sebagai tambahan beberapa kondisi, secara teori, dapat
mengakibatkan gangguan fertilitas, yaitu adanya tingkat radikal bebas abnormal
intrauterin, perkembangan abnormal endometrium selama siklus menstruasi, yang
mungkin sebagai konsekuensi metabolisme streroid abnormal, kurangnya ekspresi
beberapa marker pada implantasi dan perubahan fungsi gen esensial pada
perkembangan embrio.10
Manajemen klasik adenomiosis meliputi ablasi/reseksi endometrium endoskopik
dan histerektomi. Akan tetapi ablasi endometrium dapat menyebabkan adhesi intra
caviter, hematometra dan peningkatan insiden nyeri.11
Pada akhir-akhir ini sejumlah manajemen konservatif untuk tata laksana
adenomiosis telah diajukan , akan tetapi angka kehamilan pasien yang ditata
laksana dengan manajemen konservatif tersebut masih sangat kecil. Pilihan
manajemen konservatif untuk adenomiosis tersebut meliputi embolisasi arteri
uterina, terapi hormonal, pembedahan dan kombinasi pembedahan - hormonal.11
56
Rujukan
1. Ferenczy A, Pathophysiology of adenomiosis, Human Reproduction Update, 1998; 4(4): 312 –
322
57
2. Mehasseb MK, Habiba MA, Review adenomiosis uteri : an update, The obstetrician &
gynaecologist, 2009;11:41–47.
3. Chopra A, Lev-Toaff A, Ors F, Bergin B, Adenomyosis: common and uncommon
manifestations on sonography and magnetic resonance imaging, J Ultrasound Med, 2006; 25:
617–627
4. Taran FA, Stewart EA, Brucker S, Adenomyosis: epidemiology, risk factor, clinical phenotype
and surgical and interventional alternatives to hysterectomy, Geburtshilfe und
Frauenheilkunde; 2013; 73(9):924-931
5. Benagiano G, Habiba M, Brosens I, The pathophysiology of uterine adenomyosis: an update,
Fertility and Sterility 2012; 98: 572-9
6. Hestiantoro A, Natadisastra M, Wiweko B, Sumapraja K, Harzif AK, Current update on
polycystic ovary syndrome endometriosis adenomiois, Jakarta, CV Sagung Seto, 2013
7. Garavaglia E, Audrey S, Annalisa I, Stefano F, Iacopo T, Laura C, Massimo C, Adenomyosis
and its impact on women fertility, Iran J Reprod Med 2015; 13(6): 327-336.
8. Benagiano GP, Brosens IA, Carrara S, Filippi V, Adenomyosis, Glob.libr.womens med., 2010
9. Rajuddin, jacoeb tz, Penanganan adenomiosis dengan reseksi laparotomik pada perempuan
infertil (pengalaman pada 32 kasus), Indones J Obstet Gynecol 2008; 32-1: 22-5.
10. Campo S, Campo V, Benagiano G, Review article infertility and adenomiosis, Hindawi
Publishing Corporation Obstetrics and Gynaecology International, 2012
11. Devlieger D, D'Hooghe T, Timmerman D, Uterine adenomyosis in the infertility clinic, Human
Reproduction Update, 2003; 9(2): 139-147
12. Tsui KH, Lee WL, Chen CY, Sheu BC, Yen MS, Chang TC, Wang PH, Medical treatment for
adenomiosis and/or adenomyoma, Taiwanese Journals of Obstetrics & Gynaecology, 2014; 53:
459 – 465
13. Magon N, Gonadotropin releasing hormone agonist : expanding vistas, Indian Journal of
Endocrinology and Metabolism, 2011; 15(4): 261-7
14. Grimbizis GF, Mikos T, Tarlatzis B, Uterus-sparing operative treatment for adenomiosis,
Fertility and Sterility, 2013
15. Osada H, Silber S, Kakinuma T, Nagaishi M, Kato K, Kato O, Surgical procedure to conserve
the uterus for future pregnancy in patients suffering from massive adenomyosis, Reproductive
BioMedicine Online , 2011; 22: 94– 99
16. Wood C, Surgical and medical treatment of adenomiosis, Human Reproductive Update,
1998;4(4): 323-336
58