Anda di halaman 1dari 58

1

Presentasi Kasus II
KEHAMILAN CUKUP BULAN DENGAN POST
RESEKSI ADENOMIOSIS ( TEKNIK OSADA ) YANG
DITATALAKSANAI DENGAN TERMINASI
PERABDOMINAM

Penyaji
Dr. Achmadi Sulistyo

Pembimbing
Dr.RM Aerul Chakra Alibasya, SpOG(K)

Pemandu
Dr.H. Rizal Sanif SpOG(K)

Pembahas
Dr. Rama Gindo Imansuri
Dr. Roby Prawira Sulbahri
Dr. Bima Ananta

DEPARTEMEN OBSTETRIK DAN GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RUMAH SAKIT Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
Dipresentasikan pada hari, Senin 7 Maret 2016 pukul 13.00 WIB
2

REKAM MEDIK
A. ANAMNESIS UMUM

1. Identifikasi
Nama : Ny. LEN
Umur : 28 tahun
Med. Rec. : 930739
Register : RI16000332
Agama : Islam
Pendidikan : SLTA
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Palembang
MRS : 05 Januari 2016 pukul 13.15 WIB
2. Riwayat perkawinan
Menikah 1 kali, lama perkawinan 2 tahun.

3. Riwayat reproduksi
Menarche usia 14 tahun, lama siklus haid 28 hari, teratur, lamanya haid 5
hari.
HPHT : 13 April 2015, TP : 30 Januari 2016
4. Riwayat Persalinan/obstetri
Hamil ini
5. Riwayat Penyakit/Operasi
R/ reseksi adenomiosis tahun 2014 ( laparotomi )
6. Riwayat Gizi dan Sosial Ekonomi
Sedang
7. Riwayat Kehamilan Sekarang
Hari pertama haid terakhir (HPHT ) : 13 April 2015
Taksiran Pertsalinan : 30 Januari 2016
Periksa hamil dengan SpOG.
3

B. ANAMNESIS KHUSUS (Autoanamnesis)


Keluhan utama: Hamil cukup bulan dengan riwayat reseksi adenomiosis (
laparotomi )
Riwayat Perjalanan Penyakit:
OS datang ke ke poliklinik fetomaternal RSMH untuk kontrol kehamilan dan
rencana untuk melahirkan dengan operasi. Os sebelumnya mengaku pernah
operasi untuk mengambil tumor di uterus ( reseksi adenomiosis ) pada tahun
2012 dan sesudah itu OS direncanakan untuk program mendapatkan keturunan.
Tapi OS hamil dahulu.
R/perut mules yang menjalar ke pinggang hilang timbul (-) R/ keluar darah
lendir (-) R/ keluar air air (-). Os mengaku hamil cukup bulan dan gerakan anak
masih dirasakan.

C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Presens
Tinggi badan : 154 cm Berat badan : 75 kg
Keadaan Umum : Baik Kesadaran : Kompos
mentis
Tekanan darah : 130/80 mmHg Pernafasan : 20 x / menit
Nadi : 84 x / menit Suhu : 36,5 0 C
Jantung/paru : Murmur (-), Hati / limpa : Tak teraba
gallop (-), bising
sistolik (-) /
wheezing (-)
Payudara : hiperpigmentasi Ekstremitas : Edema -/-
+/+
Reflek : +/+ Reflek : -/-
fisiologis patologis
4

2. Status Obstetri
Periksa luar : Fundus uteri 3 jari di bawah pusat (34 cm), memanjang,
puka, bokong, his (-), DJJ 142 x/menit, TBJ : 1240 g
Inspekulo : Portio livide , OUE tertutup , fluor (-), fluxus (-), erosi (-
), laserasi (-), polip ( -)
Periksa dalam : Portio lunak, posterior, eff 0%, pembukaan kuncup,
ketuban dan penunjuk belum dapat dinilai.
3. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium (05 Januari 2016 ; pukul 11:45 )
Darah rutin
Hb : 11,9 g/dl
Leukosit : 8.900 /mm3
Trombosit : 287.000/ mm3
Basofil :0%
Eosinofil :1%
Netrofil : 68 %
Limfosit : 21 %
Monosit : 10 %

Kimia darah

SGOT : 14 U/L
SGPT : 10 U/L
Ureum : 21 mg/dL
Kreatinin : 0.50 mg/dL
BSS : 104

Urinalisa
Warna Kuning
Kejernihan Agak keruh
Berat jenis 1.025
pH 5.0
Protein Negatif
Glukosa Negatif
Leukosit Positif +++
esterase
5

D. DIAGNOSIS
G1P0A0 hamil 37 minggu belum inpartu dengan post laparotomi reseksi
adenomiosis Janin Tunggal Hidup Presentasi bokong
E. PROGNOSIS
Ibu dan janin : baik
F. PENATALAKSANAAN
- Obs DJJ, TVI, His
- R/ SC elektif
- Konsul PDL, Anetesi.
- Persiapan operasi

Follow up (Tanggal 05-01-2016 pukul 21.15 WIB)


Anestesi
S. Keluhan : Mau melahirkan dengan post laparotomi reseksi adenomiosis
O Status Present:
- KU: baik Sens : kompos mentis TD :130/70mmHg
- Nadi: 80x/m RR : 20 x/m T : 36,5 oC
Status lokalis
- Kepala : konjungtiva anemis (-)
- Leher : massa tidak ada
- Thrax : BJ I , II reguler, murmur tidak ada, gallop tidak ada
- Abdomen : abdomen cembung, Fundus uteri 3 jari di bawah pusat
- Extremitas : oedem pretibia +/+
Diagnosa :
G1P0A0 hamil 37 minggu dengan PPI belum inpartu dengan post laparotomi
reseksi adenomiosis Janin Tunggal Hidup Presentasi bokong.
Setuju tindakan anestesi dengan kesan status fisik ASA II
6

Manajemen :
- Puasa 6 jam sebelum operasi
- Sedia darah sesuai estimasi perdarahan Ts. Obgin
- Pasang infuse dengan kateter vena no 18

Tanggal 06-01-2015 pukul 06.00 WIB


S. Keluhan : rencana operasi melahirkan
Status Present:
KU: baik Sens : Compos mentis TD :120/80mmHg
Nadi: 80x/m RR : 20 x/m T : 36,5 oC
Status Obstetrik
Periksa luar : Fundus uteri 3 jari di bawah pusat (34 cm), memanjang, punggung
kanan, bokong, his (-), DJJ 134 x/menit, TBJ :
Diagnosa : G1P0A0 hamil 37 minggu belum inpartu dengan post reseksi
adenomiosis Janin Tunggal Hidup Presentasi bokong
Terapi :
- Obs DJJ, TVI, His, tanda inpartu
- IVFD RL gtt XX / m.
- Inj. Ceftriaxon 1 g
- Persiapan tindakan
7

LAPORAN OPERASI

Pukul 09:30 WIB Operasi dimulai.


Penderita dalam posisi terlentang dalam keadaan anestesi spinal. Dilakukan tindakan aseptik dan
antiseptik pada daerah operasi dan sekitarnya. Lapangan operasi dipersempit dengan doek steril.
Dilakukan insisi pfannenstiel diatas luka lama. Kemudian insisi diperdalam secara tajam dan tumpul
sampai menembus peritoneum. Setelah peritoneum dibuka
 Tampak perlengketan antara korpus depan uterus dengan buli.
 Tampak uterus sebesar kehamilan aterm. Diputuskan untuk melakukan SSTP dengan cara:
 Insisi SBR linier ± 3 cm secara tajam kemudian ditembus secara tumpul sampai menembus
cavum uteri
kemudian diperlebar ke lateral secara tumpul. Ketuban cukup, jernih.
 Bayi dilahirkan dengan ekstraksi bokong
Pukul 09.35 WIB Lahir neonatus hidup laki-laki BB 2800 g, PB 49 cm, AS 8/9 FT AGA.
Pukul 09.38 WIB Plasenta lahir lengkap, BP 450 g, PTP 47 cm, ukuran Ø 18x19 cm.
Dilakukan pembersihan kavum uteri dengan kassa. Dilanjutkan dengan penjahitan pada uterus sebagai
berikut:
 Dilakukan penjahitan SBR satu lapis secara jelujur dengan Vicryl no. 1 .
 Perdarahan dirawat sebagaimana mestinya.
Dilakukan lisis perlengketan antara korpus depan uteri dengan buli  ruptur buli  konsul
intraoperatif bedah urologi  A/ ruptur buli ec. iatrogenik Dilakukan repair buli.
Dilakukan pemasangan drain.
Setelah cavum abdomen diyakini bersih tidak ada perdarahan, dilanjutkan penutupan dinding abdomen
lapis demi lapis dengan cara sebagai berikut :
 Peritoneum dijahit secara jelujur dengan Plain cat gut no 2.0.
 Otot dijahit secara jelujur dengan Plain cat gut no 2.0.
 Fascia dijahit secara jelujur dengan Vicryl no.1.
 Kutis dijahit secara jelujur subkutikuler dengan Plain cat gut no.2.0.
 Luka operasi ditutup dengan sofratulle dan opsite.
Pukul 14:45 WIB Operasi selesai.

Cairan masuk : Cairan Keluar :


RL : 500 cc Urine : 150 cc
Darah : - cc Darah 300 cc
Total : 500 cc Total : 450 cc
Diagnosis pra bedah : G1P0A0 hamil 37 minggu belum inpartu janin tunggal hidup presentasi
bokong + post reseksi adenomiosis per laparotomi
Diagnosis pasca bedah : P1A0 post SSTP a.i. post reseksi adenomiosis + post repair buli
Tindakan : SSTP + repair buli
8

Laporan Operasi ( Urologi )

1. Pasien konsul intraoperatif dari bagian OBGYN, konsul pukul 10.20 WIB, intra
operatif SSTP.
2. Didapatkan iatrogenic laserasi pada dome bladder ± 8 cm, mediana, semua lapisan.
3. Diptutuskan untuk menjahit mukosa buli dengan plain 3.0 rounded interrupted
suture.
4. Pada eksplorasi lanjut didapatkan otot detrusor buli yang laserasi bentuk irregular,
otot kemudian diaproksimasi dengan PGA 2.0 rounded interrupted suture
5. Dipasang 1 buah drain ( NGT 16 )  drain dipertahankan 7 hari.
6. Operasi dilanjutkan oleh bagian kebidanan, repair buli selesai pukul 11.05 WIB

G. FOLLOW UP
Tgl/Pukul Pemeriksaan fisik Penatalaksanaan
06-01-2016 Anestesi P/
10.30 WIB S: Kel : - - Obs TVI
O: St. Present: - Analgesik ketorolak 50 mg
KU: baik IV dan pronalges 200 mg
Sens: compos mentis di OK. Seterusnya sesuai
TD: 110/80 mmHg TS. Operator.
N: 80 x/m, - Bila mual-muntah, tanda
RR: 20x/m, vital dalam batas normal,
T: 36,50C beri ondansentron 8 mg
A/ P1A0 post SSTP ai post reseksi (IV)
adenomiosis + post repair buli. - Makan dan minum setelah
sadar penuh.
9

- Jika nyeri kepala saat


duduk dan berdiri dan
berkurang saat baring,
maka :
 Tirah baring
 Hubungi Ts anestesi

06/01/16 Obgyn
10.35 wib S: Kel : -  Observasi tanda vital ibu.
O: St. Present:
 IVFD RL gtt XX/m
KU: sakit sedang
 Kateter menetap 7 hari.
Sens: Compos mentis
 Mobilisasi
TD: 100/80 mmHg
 Diet biasa jika sadar penuh.
N: 80x/m,
 Inj. Ceftriaxon 2 x 1 g iv
RR: 20 x/m
(ST)
T: 36,50C
 Inj. Metronidazol 3 x 500
St. Obstetri :
mg iv
PL: Fundus uteri 2 jari di bawah pusat,
 Inj. Gentamisin 2 x 80 mg
kontraksi uterus baik, perdarahan aktif
iv
(-), luka operasi tertutup opsite.
 Inj. Tramadol 3 x 1 amp
A/ P1A0 post SSTP atas indikasi post
drip
reseksi adenomiosis + post repair buli.
 Inj. Asam traneksamat 3 x 1
amp.
06/01/16 Bedah  Kateter dan drain
11.00 WIB S: selesai dilakukan repair buli Present: dipertahankan sam,pai
KU: sakit sedang dengan 7 hari.
Sens: Compos mentis
10

TD: 120/80 mmHg  Antibiotik dan analgetik


N: 80x/m, sesuai TS obgyn
RR: 20 x/m  Rawat bersama urologi
A/ Post SSTP ai post reseksi
adenomiosis + post repair buli

Laboratorium (06 Januari 2016 ; pukul 21:28 )


Darah rutin
Hb : 9,6 g/dl
Leukosit : 14.800 /mm3
Trombosit : 256.000/ mm3
Basofil :0%
Eosinofil :0%
Netrofil : 82 %
Limfosit : 10 %
Monosit :8%

07/01/2016 S: Kel : -  Obs TVI


06.00 O: St. Present:  IVFD RL gtt XX/m
KU: baik  ASI on demand
Sens: Compos mentis  Inj. Ceftriaxon 2 x 1 g iv
TD: 110/80 mmHg (ST)
N: 80x/m,  Inj. Metronidazol 3 x 500
RR: 20 x/m mg iv
0
T: 36,3 C  Inj. Gentamisin 2 x 80 mg
St. Obstetri : iv
PL: Fundus uteri 2 jari di bawah pusat,  Durogesic patch.
kontraksi uterus baik, perdarahan aktif
 Pronalges supp 1 x 1
(-), lokia + rubra, luka operasi tertutup
 Ondansentron 3 x 8 mg
opsite, drain 10 cc
11

A/ Post SSTP ai post reseksi


adenomiosis + post repair buli H+2
07/01/2016 Bedah Urologi  Pertahankan kateter s/d H+
10.00 WIB S: Kel : - 7.
O: St. Present:  Terapi lain sesuai TS.
KU: baik Obgyn.
Sens: Compos mentis
TD: 120/80 mmHg
N: 80x/m,
RR: 18 x/m
T: afebris
Pemeriksaan abdomen
 I : tampak luka operasi tertutup
kassa, kering.
P : lemas.
P : tymphani
Pemeriksaan supra pubik
 I : bulging (-), drain 10 cc/24 jam.
 P : redup (-)
Terpasang kateter, jernih, lancar.
A/ post repair buli ai. rupture dome buli
H+2
Post SSTP ai. Post reseksi
adenomiosis.
08/01/2016 Bedah Urologi  Pertahankan kateter s/d H+
05.20 WIB S: Kel : - 7.
O: St. Present:  Terapi lain sesuai TS.
KU: baik Obgyn.
12

Sens: Compos mentis


TD: 110/80 mmHg
N: 80x/m,
RR: 20 x/m
T: afebris
Pemeriksaan abdomen
 I : tampak luka operasi tertutup
kassa, kering.
P : lemas.
P : tymphani
Pemeriksaan supra pubik
 I : bulging (-), drain 5 cc/24 jam.
 P : redup (-)
Terpasang kateter, jernih, lancer.
A/ post repair buli ai. rupture dome buli
H+3
Post SSTP ai. Post reseksi
adenomiosis.
08/01/2016 S: Kel : -  Obs TVI
06.00 O: St. Present:  IVFD RL gtt XX/m
KU: baik  ASI on demand
Sens: Compos mentis  Inj. Ceftriaxon 2 x 1 g iv
TD: 110/80 mmHg (ST)
N: 80x/m,  Inj. Metronidazol 3 x 500
RR: 20 x/m mg iv
0
T: 36,3 C  Inj. Gentamisin 2 x 80 mg
St. Obstetri : iv
 Durogesic patch.
13

PL: Fundus uteri 2 jari di bawah pusat,  Pronalges supp 1 x 1


kontraksi uterus baik, perdarahan aktif  Ondansentron 3 x 8 mg
(-), lokia + rubra, luka operasi tertutup
opsite, drain 5 cc/ 24 jam
A/ Post SSTP ai post reseksi
adenomiosis + post repair buli H+3
09/01/2016 S: Kel : -  Obs TVI
06.00 WIB O: St. Present:  IVFD RL gtt XX/m
KU: baik  ASI on demand
Sens: Compos mentis  Cefadroxil 2 x 500 mg
TD: 110/80 mmHg  Metronidazol 3 x 500 mg
N: 80x/m,  Asam mefenamat 3x500 mg
RR: 20 x/m
T: 36,30C
St. Obstetri :
PL: Fundus uteri 2 jari di bawah pusat,
kontraksi uterus baik, perdarahan aktif
(-), lokia + rubra, luka operasi tertutup
opsite, drain 5 cc/ 24 jam
A/ Post SSTP ai post reseksi
adenomiosis + post repair buli H+4
09/01/2016 Bedah Urologi  Pertahankan kateter s/d H+
09.00 WIB S: Kel : - 7.
O: St. Present:  Terapi lain sesuai TS.
KU: baik Obgyn.
Sens: Compos mentis
TD: 110/70 mmHg
N: 80x/m,
14

RR: 18 x/m
T: afebris
Pemeriksaan abdomen
 I : tampak luka operasi tertutup
kassa, kering.
P : lemas.
P : tymphani
Pemeriksaan supra pubik
 I : bulging (-), drain 5 cc/24 jam.
 P : redup (-)
Terpasang kateter, jernih, lancar.
A/ post repair buli ai. rupture dome buli
H+4
Post SSTP ai. Post reseksi
adenomiosis.
10/01/2016 S: Kel : -  Obs TVI
06.00 WIB O: St. Present:  IVFD RL gtt XX/m
KU: baik  ASI on demand
Sens: Compos mentis  Cefadroxil 2 x 500 mg
TD: 120/70 mmHg  Metronidazol 3 x 500 mg
N: 80x/m,  Asam mefenamat 3 x 500mg
RR: 16 x/m
T: afebris
St. Obstetri :
PL: Fundus uteri 2 jari di bawah pusat,
kontraksi uterus baik, perdarahan aktif
(-), lokia + rubra, luka operasi tertutup
opsite, drain 5 cc/ 24 jam
15

A/ Post SSTP ai post reseksi


adenomiosis + post repair buli H+5
10/01/2016 Bedah Urologi  Pertahankan kateter s/d H+
08.30 WIB S: Kel : - 7.
O: St. Present:  Terapi lain sesuai TS.
KU: baik Obgyn.
Sens: Compos mentis
TD: 110/80 mmHg
N: 80x/m,
RR: 20 x/m
T: afebris
Pemeriksaan abdomen
 I : tampak luka operasi tertutup
kassa, kering.
P : lemas.
P : tymphani
Pemeriksaan supra pubik
 I : bulging (-), drain 5 cc/24 jam.
 P : redup (-)
Terpasang kateter, jernih, lancer.
A/ post repair buli ai. rupture dome buli
H+5
Post SSTP ai. Post reseksi
adenomiosis.
11/01/2016 S: Kel : -  Obs TVI
06.00 WIB O: St. Present:  IVFD RL gtt XX/m
KU: baik  ASI on demand
Sens: Compos mentis  Cefadroxil 2 x 500 mg
16

TD: 110/80 mmHg  Metronidazol 3 x 500 mg


N: 80x/m,  Asam mefenamat 3 x 500 mg
RR: 20 x/m
T: 36,30C
St. Obstetri :
PL: Fundus uteri 2 jari di bawah pusat,
kontraksi uterus baik, perdarahan aktif
(-), lokia + rubra, luka operasi tertutup
opsite, drain 5 cc/ 24 jam
A/Post SSTP ai post reseksi
adenomiosis + post repair buli H+ 6
11/01/2016 Bedah Urologi  Terapi sesuai TS. Obgyn.
08.30 WIB S: Kel : -
O: St. Present:
KU: baik
Sens: Compos mentis
TD: 110/80 mmHg
N: 80x/m,
RR: 20 x/m
T: afebris
Pemeriksaan abdomen
 I : tampak luka operasi tertutup
kassa, kering.
P : lemas.
P : tymphani
Pemeriksaan supra pubik
 I : bulging (-), drain 5 cc/24 jam.
 P : redup (-)
17

Terpasang kateter, jernih, lancer.


A/ post repair buli ai. rupture dome buli
H+6
Post SSTP ai. Post reseksi
adenomiosis.
12/01/2016 Bedah Urologi  Aff drain
06.00 WIB S: Kel : -  Aff kateter besok
O: St. Present:  Terapi sesuai TS. Obgyn.
KU: baik
Sens: Compos mentis
TD: 110/80 mmHg
N: 80x/m,
RR: 20 x/m
T: afebris
Pemeriksaan abdomen
 I : tampak luka operasi tertutup
kassa, kering.
P : lemas.
P : tymphani
Pemeriksaan supra pubik
 I : bulging (-), drain 5 cc/24 jam.
 P : redup (-)
Terpasang kateter, jernih, lancer.
A/ post repair buli ai. rupture dome buli
H+6
Post SSTP ai. Post reseksi
adenomiosis.
12/01/2016 S: Kel : -  Obs TVI
18

06.30 WIB O: St. Present:  IVFD RL gtt XX/m


KU: baik  ASI on demand
Sens: Compos mentis  Cefadroxil 2 x 500 mg
TD: 110/80 mmHg  Metronidazol 3 x 500 mg
N: 80x/m, Lapor Dr. RM Aerul Cakra
RR: 20 x/m SpOG(K) :
T: 36,30C Saran :
St. Obstetri :  Bladder training setelah 7 hari
PL: Fundus uteri 2 jari di bawah pusat,  Alih DPJP ke DR. Awan
kontraksi uterus baik, perdarahan aktif Nurtjahyo SpOG(K)
(-), lokia + rubra, luka operasi tertutup
opsite, drain 5 cc/ 24 jam
A/Post SSTP ai post reseksi
adenomiosis + post repair buli H+ 6
13/01/2016 S: Kel : -  Obs TVI
06.00 WIB O: St. Present:  IVFD RL gtt XX/m
KU: baik  ASI on demand
Sens: Compos mentis  Cefadroxil 2 x 500 mg
TD: 110/80 mmHg  Metronidazol 3 x 500 mg
N: 80x/m,  Asam mefenamat 3 x 500 mg
RR: 20 x/m
T: 36,30C
St. Obstetri :
PL: Fundus uteri 2 jari di bawah pusat,
kontraksi uterus baik, perdarahan aktif
(-), lokia + rubra, luka operasi tertutup
opsite, drain 5 cc/ 24 jam
19

A/Post SSTP ai post reseksi


adenomiosis + post repair buli H+ 7
13/01/2016 Bedah Urologi  Terapi sesuai TS. Obgyn.
08.30 WIB S: Kel : -
O: St. Present:
KU: baik
Sens: Compos mentis
TD: 110/80 mmHg
N: 80x/m,
RR: 20 x/m
T: afebris
Pemeriksaan abdomen
 I : tampak luka operasi tertutup
kassa, kering.
P : lemas.
P : tymphani
Pemeriksaan supra pubik
 I : bulging (-), drain 5 cc/24 jam.
 P : redup (-)
Terpasang kateter, jernih, lancer.
A/ post repair buli ai. rupture dome buli
H+7
Post SSTP ai. Post reseksi
adenomiosis.
20

Laboratorium (13 Januari 2016 ; pukul 21:46 )


Darah rutin
Hb : 8,9 g/dl
Leukosit : 9.300 /mm3
Trombosit : 421.000/ mm3
Basofil :0%
Eosinofil :4%
Netrofil : 65 %
Limfosit : 20 %
Monosit : 11 %

14/01/2016 Bedah Urologi  Aff kateter.


05.40 WIB S: Kel : -  Tidak diperlukan bladder
O: St. Present: training
KU: baik  Selesai perawatan bedah
Sens: Compos mentis
TD: 110/80 mmHg
N: 80x/m,
RR: 20 x/m
T: afebris
Pemeriksaan abdomen
 I : tampak luka operasi tertutup
kassa, kering.
P : lemas.
P : tymphani
Pemeriksaan supra pubik
 I : bulging (-), drain 5 cc/24 jam.
 P : redup (-)
Terpasang kateter, jernih, lancer.
A/ post repair buli ai. rupture dome buli
H+7
21

Post SSTP ai. Post reseksi


adenomiosis.
14/01/2016 S: Kel : -  Obs TVI
06.00 WIB O: St. Present:  IVFD RL gtt XX/m
KU: baik  ASI on demand
Sens: Compos mentis  Cefadroxil 2 x 500 mg
TD: 110/80 mmHg  Metronidazol 3 x 500 mg
N: 80x/m,  Asam mefenamat 3 x 500
RR: 20 x/m mg.
T: 36,30C Lapor Dr. Awan Nurtjahyo
St. Obstetri : SpOG(K).
PL: Fundus uteri 2 jari di bawah pusat, Saran
kontraksi uterus baik, perdarahan aktif - Perawatan luka terbuka
(-), lokia + rubra, luka operasi tertutup - Ganti opsite
opsite, drain 5 cc/ 24 jam - Boleh pulang
A/Post SSTP ai post reseksi
adenomiosis + post repair buli H+ 7

II. Permasalahan.
1. Bagaimanakah pengaruh adenomiosis terhadap infertilitas ?
2. Bagaimanakah pilihan terapi pasien adenomiosis yang masih menginginkan
kehamilan ?
3. Bagaimanakah pengaruh reseksi adenomiois teknik Osada terhadap kehamilan
dan persalinan pada pasien ini ?

III. Analisa kasus


22

1. Bagaimanakah pengaruh adenomiosis terhadap infertilitas


Adenomiosis menurut Bird ( 1971 ), didefinisikan sebagai invasi jinak
endometrium ke dalam lapisan miometrium , sehingga mengakibatkan pembesaran
uterus yang difus dengan gambaran mikroskopik menunjukkan adanya stroma dan
kelenjar endometrium ektopik, non-neoplastik yang dikelilingi oleh miometrium
yang hipertropik dan hiperplastik. Deskripsi mengenai keadaan ini pertama kali
dikemukakan oleh Rokitansky ( 1860 ) dan von Reclinghausen ( 1896 ). Definisi
tersebut diatas masih dipakai hingga saat ini, akan tetapi dalam beberapa literatur
adenomiosis sering diartikan sebagai adanya stroma dan kelenjar endometrium
yang terdapat di lapisan miometrium yang lebih “ dalam “. Kedalaman invasi ini
menjadi penting oleh karena dalam keadaan normal endometrial junction ini
irreguler. Dan adenomiosis ini harus dibedakan dengan invaginasi minimal stratum
basalis endometrium yang dikelilingi oleh miometrium.1
23

Gambar 1. Endomyometrial Junction memperlihatkan invaginasi stratum basalis


endometrium ke dalam lapisan superficial myometrium. Tidak tampak adanya
hipertrofi di sekeliling miometrium. Temuan ini tidak bisa dipertimbangkan sebagai
adenomiosis ( gambar kiri ). Kelenjar endometrium yang terletak jauh didalam lapisan
miometrium dan stroma yang dikelilingi oleh miometrium yang hipertrofi ( gambar
kanan ).
Dikutip dari Mehasseb MK.2

Sampai saat ini belum ada konsensus mengenai kedalaman penetrasi


endometrium ke lapisan miometrium ( beberapa pendapat menyatakan > 25 %
ketebalan miometrium ), hal ini tentunya menyulitkan dalam membandingkan
diantara berbagai studi. Suatu cut-off point > 2.5 mm invasi endometrium ke
miometrium biasanya lebih sering dijadikan ukuran.2
Karakteristik dari perbatasan endometrium dan miometrium pada adenomiosis
ini mempunyai ciri khas berupa hilangnya konsistensi submukosa. Sebagai hasil
keadaan ini kelenjar dan stroma endometrium mengadakan kontak langsung
dengan miometrium. Dan sebagai tambahan, perbatasan antara endometrium dan
miometrium ini ireguler pada permukaannya.2
Adenomiosis dapat melibatkan seluruh ketebalan otot sampai mencapai serosa,
serta bisa fokal atau difus. Pada adenomiosis yang difus uterus menjadi membesar
dan globuler. Lesi fokal dapat menyerupai leiomioma , oleh karenanya disebut
sebagai ‘ adenomyoma ‘. Adenomiosis uteri mempunyai perbatasan yang ireguler
sehingga tidak dapat dilakukan enukleasi. Kelenjar dan stroma endometrium pada
endometriosis menyerupai lapisan basal endometrium dan menunjukkan sedikit
perubahan yang terbatas selama periode menstruasi, tetapi perubahan sekretorik,
termasuk desidualisasi stroma, mungkin terlihat selama kehamilan dan pada wanita
yang menerima progestogen eksogen.2
Mengapa terjadi hiperplasia / hipertrofi disekitar lesi adenomiosis tidak
diketahui, tetapi hal ini mungkin sebagai usaha untuk mengontrol invaginasi atau
menggambarkan tekanan dari endometrium terhadap otot polos miometrium.
Hipertrofi miometrium seringkali tidak timbul pada wanita paska menopause.2
24

Angka kejadian adenomiosis beragam menurut cara pemeriksaan dan temuan


kasus, secara klinis ditemukan 10-20%, sedangkan berdasarkan histopatologis
ditemukan 20- 40%. Gejala klinisnya sangat beragam, tersering adalah dismenorea
(80%), selain itu juga ditemukan nyeri pelvik (50%), infertilitas (40%), dan
gangguan haid (20%). Gejala penyerta lain adalah menoragia, dispareunia, nyeri
suprapubik, pembesaran uterus, gangguan miksi dan ada juga yang tanpa keluhan.3
Spesifisitas diagnosa preoperatif adenomiosis berdasarkan gambaran klinis
sangat rendah berkisar antara 2,6 – 26 %. Sedangkan sensitifitas dan spesifitas
diagnosa adenomiosis berdasarkan USG transvaginal dan MRI dapat dilihat pada
tabel 1.2

Tabel 1. Akurasi USG transvaginal dan MRI dalam mendiagnosa


adenomiosis.
Investigators Sensitivity (%) Specificity (%)
Transvaginal ultrasound

Fedele et al. (1992) 87 99


Ascher et al. (1994) 53 75
Brosens et al. (1995) 86 50
Reinhold et al. (1995) 86 86
Kocak et al. (1998) 89 88
Bromley et al. (2000) 84 84
Bazot et al. (2001) 65 98
Dueholm et al. (2002) 68 65
MRI
25

Mark et al. (1987) 61 100


Ascher et al. (1994 88 66
Reinhold et al. (1996 89 89
Bazot et al. (2001) 78 93
Dueholm et al. (2002) 70 86
Dikutip dari Ferenczy A.1

Pada serangkaian tindakan laparoskopik histerektomi supraservikal yang


dilakukan di Gynecological University Clinic di Tűbingen , adenomiosis
didiagnosa secara histologis pada 8% kasus ( 149 pasien dari 1955 pasien ), dan
adenomiosis bersama dengan leiomioma pada 20 % kasus ( 398 pasien dari 1955
pasien ); 70 % wanita yang didiagnosis adenomiosis terjadi pada wanita
premenopause ( pada usia antara 40 – 50 tahun).4
Faktor Risiko.4
1. Usia
Sekitar 70 – 80 % wanita yang menjalani histerektomi karena adenomiosis
berada pada dekade empat dan lima serta multipara, beberapa studi melaporkan
rata-rata usia wanita yang menjalani histerektomi karena adenomiosis pada
umur lebih dari 50 tahun
2. Multiparitas
Sebagian besar wanita dengan adenomiosis adalah multipara. Kehamilan
mungkin akan memfasilitasi adenomiosis bersama dengan invasi trofoblas
secara alami pada serabut miometrium. Lagipula jaringan adenomiosis
mempunyai reseptor estrogen yang lebih tinggi dari jaringan endometrium
normal dan keadaan hormonal pada kehamilan memberikan lingkungan yang
baik bagi pertumbuhan endometrium ektopik.
3. Pembedahan uterus sebelumnya.
Bukti-bukti yang menunjukkan adanya peningkatan risiko adenomiosis pada
wanita yang menjalani pembedahan pada uterus tidak konsisiten. Levgur dan
26

Parazzini melaporkan bahwa pasien yang diterminasi kehamilannya dengan


dilatasi dan kuretase menunjukkan angka yang lebih tinggi untuk terjadinya
adenomioisis dibandingkan dengan wanita yang tidak dilakukan terminasi
dengan cara tersebut. Akan tetapi pada studi lain menemukan pada uterus tidak
hamil yang dilakukan tindakan kuret tajam tidak meningkatkan risiko
adenomiois. Pada studi yang dilakukan oleh Whitted, ditemukan adanya
peningkatan risiko adenomiosis pada subyek yang menjalani operasi cesar
sebelumnya. Akan tetapi pada studi lain melaporkan tidak adanya peningkatan
kejadian adenomiosis pada subyek yang menjalani seksio sesar sebelumnya.
4. Merokok
Bukti-bukti yang mendukung hubungan antara merokok dan adenomiosis
masih merupakan suatu kontroversi. Pada satu sisi, jika dibandingkan dengan
wanita yang bukan perokok, wanita perokok sepertinya lebih sedikit terkena
adenomiosis. Fenomena ini dapat dijelaskan dengan mekanisme induksi
hormonal dimana terjadi penurunan kadar estrogen pada perokok, dan
adenomiosis diduga merupakan kelainan yang bergantung pada hormon
estrogen. Akan tetapi pada studi yang lain dilaporkan adanya prevalensi yang
lebih tinggi adenomiosis pada wanita dengan riwayat perokok, sehingga
hubungan antara adenomiosis dan merokok memerlukan penelitian yang lebih
jauh.
5. Kehamilan ektopik
Implantasi pada fokus adenomiosis dapat menyebabkan perkembangan
kehamilan pada miometrium. Sehingga diduga bahwa wanita dengan
adenomiosis tampaknya mempunyai riwayat kehamilan ektopik, karena
adenomiosis sendiri merupakan salah satu faktor risiko kehamilan intramural.
6. Terapi dengan Tamoxifen.
Adenomiosis jarang ditemukan pada wanita post menopause tatapi insiden yang
lebih tinggi telah dilaporkan pada wanita yang mendapatkan terapi tamoxifen
pada kanker payudara. Tamoxifen merupakan antagonis reseptor estrogen pada
27

payudara melalui metabolit aktifnya yaitu hydroxytamoxifen. Pada jaringan


tertentu termasuk endometrium, hydroxitamoxifen ini berperan sebagai agonis
dan adenomiosis dapat berkembang atau teraktivasi kembali. Oleh karena itu
adenomiosis lebih sering dijumpai pada wanita yang mengkonsumsi tamoxifen
dan mungkin menyebabkan perdarahan postmenopause pada pasien ini.
Meskipun patogenesa dan etiologi adenomiosis tidak diketahui, tetapi banyak
teori telah diajukan mengenai asal adenomiosis ini.5,6,7
1. Adenomiosis dapat berkembang de novo dari transformasi metaplastik sisa-sisa
mulleri pluripotent embryologis. Konsep adenomiosis ekstra uteri seperti yang
terdapat pada septum rektovaginal mengemukakan bahwa pada beberapa kasus,
adenomiosis mungkin hasil dari etiologi ini. Selain itu, studi tentang sifat
proliferasi dan biologis ektopik dan eutopik endometrium telah menunjukkan
adenomiosis yang tidak meberikan respon terhadap perubahan hormonal yang
sama yang ditemukan pada endometrium eutopik.
2. Hipotesis kedua, diungkapkan oleh Bergeron, yang mendefinisikan adenomiosis
sebagai invaginasi stratum basalis endometrium ke miometrium melalui
Junctional Zone yang kehilangan konsistensinya. Perbatasan endomyometrial
adalah satu-satunya jaringan mukosa-otot yang irregular dan sebagai hasilnya
pada beberapa tempat endometrium mengadakan kontak langsung dengan
miometrium. Dalam hal ini, endometrium dapat menyelinap melalui berkas
serabut otot polos yang kurang kuat kohesi jaringannya.
Proses invaginasi dan penyebaran intramiometrial mungkin difasilitasi oleh
aktivitas anti-apoptosis non-siklik stratum basalis yang berhubungan dengan
kondisi hiperestrogen. Ekspresi reseptor estradiol (ER) dalam fokus
adenomiosis lebih besar dari pada yang terjadi pada endometrium normal dan
hal ini terkait dengan ekspresi gen penekan apoptosis, Bcl-2, melalui siklus
menstruasi. Co-ekspresi Bcl-2 dan ER serta kondisi metabolik hiperestrogen
dapat meningkatkan proses invaginasi dan keseluruhan penyebaran
adenomiosis ke dalam miometrium. Disamping itu mereka juga dapat
28

meningkatkan kejadian endometriosis, polip, hiperplasia endometrium serta


leiomioma dan menjadi alasan bahwa keadaan ini seringkali berhubungan
dengan adenomioma.
3. Hipotesis lain, diungkapkan oleh Leyendecker, yang menganggap hiperestrogen
sebagai faktor utama dan adenomiosis sebagai konsekuensi dari mekanisme
cedera dan perbaikan jaringan (TIAR). Uterus terus menerus aktif selama
periode reproduksi dan dengan demikian mau tidak mau mengalami proses
regangan mekanik. Mekanisme molekuler yang berhubungan dengan
peregangan mekanik, cedera, dan perbaikan menampilkan pola yang sangat
mirip pada berbagai jaringan dan melibatkan ekspresi aromatase P450 dan
produksi estrogen lokal.
Secara spesifik, telah diduga bahwa disfungsi uterus pada wanita dengan
adenomiosis mungkin hasil dari hiperestrogenisme lokal sedangkan tingkat
estradiol perifer (E2) berada dalam kisaran normal. Hiperestrogenisme lokal
menyebabkan peningkatan aktivitas peristaltik miometrium subendometrial,
sehingga meningkatkan tegangan mekanik pada sel-sel dekat raphe fundo-
kornu. Hal ini mengaktifkan sistem TIAR dengan lebih meningkatkan produksi
lokal E2. Mekanisme traumatisasi jaringan dan penyembuhan dikaitkan dengan
proses fisiologis tertentu yang melibatkan produksi Interleukin-1 (IL-1). IL-1
menginduksi aktivasi siklooksigenase-2 (COX-2) yang kemudian akan
menghasilkan produksi prostaglandin E2 (PGE2), yang pada gilirannya
mengaktifkan protein steroidogenik akut regulation (STAR) dan aromatase
P450. Dengan demikian, testosteron dapat dibentuk dan diaromatisasikan ke E2
yang menggunakan efek proliferatif dan penyembuhannya melalui ER2.
Hiperperistaltik disebabkan oleh produksi lokal estrogen dan akan
menimbulkan trauma mekanik yang mengakibatkan peningkatan deskuamasi
fragmen basal endometrium dan kombinasi dengan peningkatan kapasitas
transport uterus retrograde dalam peningkatan diseminasi transtubal pada
fragmen ini. Hiperperistalsis dan peningkatan tekanan intrauterin seiring dengan
29

waktu, menghasilkan suatu ruangan yang disusupi oleh stratum basal


endometrium dengan pengembangan sekunder jaringan pembuluh darah pra-
stroma. Adenomiosis difus atau fokal dapat terjadi pada keadaan ini.

Gambar 2. Aspek dasar biologi molekuler dari mekanisme fisiologi “ Tissue Injury and
Repair “ (TIAR). Mekanisme traumatisasi dan penyembuhan dihubungkan dengan
proses spesifik fisiologis yang melibatkan produksi interleukin-1 (IL-1). IL-1
menginduksi aktivasi enzim siklooksigenase yang menghasilkan produksi prostaglandin
E2(PGE2), yang kemudian akan mengaktifkan STAR ( steroidogenic acute regulatory
protein ) dan P450 aromatase. Dengan demikian testosteron dapat terbentuk dan
aromatisasi ke dalam E2 yang menggunakan efek proliferatif dan efek penyembuhan
melalui ER2. Hiperperistaltik akan menimbulkan trauma mekanis yang menimbulkan
peningkatan fragmen deskuamasi stratum basal endometrium dan dalam kombinasi
dengan peningkatan kapasitas transport uterus retrograd akan meningkatkan deskuamasi
transtubal dari fragmen ini. Hipereristaltik akan meningkatkan tekanan intrauterin yang
kemudian akan menimbulkan dehisens pada miomerium yang akan diinfiltrasi oleh
lapisan basal endometrium dengan perkembangan sekunder jaringan musk ular
peristromal.
30

Dikutip dari Garavaglia E.7

Gambar 3. Tahap pertama : Traumatisasi mikro. Uterus aktif secara konstan


sehingga menjadi subyek dari regangan mekanik. Mekanisme molekular yang
berhubungan regangan mekanik, injury, dan pernyembuhan, menampilkan pola
yang melibatkan ekspresi P450 aromatase dan produksi lokal estrogen. Diduga
bahwa disfungsi uterus pada wanita dengan endometriosis dan adenomiosis
sebagai hasil hiperestrogenisme archimetra yang menuju kepada peningkatan
aktivitas peristaltik uterus pada subendometrial-myometrium. Penyimpangan dari
pola endokrin siklik normal dengan peningkatan atau pemanjangan stimulasi E 2
pada peristaltik uterus dapat mengakibatkan regangan mekanis pada sel dekat
dengan “ fundo-cornual raphe “ mengaktifkan sistem TIAR dengan
meningkatkan produksi lokal E2.
Dikutip dari Garavaglia E.7

4. Faktor lain yang mungkin mendukung perkembangan adenomiosis yaitu trauma


iatrogenik. Intervensi bedah mungkin mengakibatkan lesi dengan peningkatan
reaksi TIAR. Tingkat estrogen lokal meningkat pesat selama proses
penyembuhan dan akan mengganggu kontrol ovarium terhadap aktivitas
peristaltik miometrium sehingga mengarah secara cepat untuk timbulnya
cedera tahap kedua dengan auto-traumatisasi dan berlanjutnya proses penyakit.7
31

Gambar 4. Model patofisiologi endometriosis dan adenomiosis


Dikutip dari Garavaglia E.7

Manifestasi klinis.
Sekitar 35 % kasus adenomiosis adalah asimptomatis. Sedangkan keluhan yang
sering dijumpai adalah menorrhagi (50%), dismenore (30%) dan metrorrhagi
(20%). Seringkali dispareunia dan pembesaran uterus juga dijumpai. Frekuensi dan
keparahan gejala berkorelasi dengan jumlah fokus ektopik dan luasnya invasi.
Penyebab pasti menorraghi pada adenomiosis masih belum diketahui, tapi diduga
keadaan ini disebabkan oleh karena konsekuensi peningkatan area permukaan
rongga uterus yang membesar karena terdapatnya lesi adenomiosis selain itu
disebabkan juga oleh karena jeleknya kontraktilitas uterus adenomiotik dan
kompresi endometrium oleh adenomiosis submukosa ataupun leiomioma.6
Dismenore diduga disebabkan oleh karena peningkatan produksi prostaglandin
yang ditemukan pada jarigan adenomiosis dibandingkan dengan miometrium
normal.6
32

Sekitar 80% adenomiosis disertai dengan kondisi patologis tertentu. Yang


paling sering adalah leiomioma. Polip endometrium dan hiperplasia dengan atau
tanpa sel atipik seperti pada adenokarsinoma tampaknya lebih sering terjadi pada
pasien adenomiosis dibanding dengan populasi pada umumnya.1

Tabel 2. adenomiosis dan kelainan patologi yang menyertai


Disease %
Leiomioma 35 - 55
Pelvic Endometriosis 6 - 20
Salpingitis Isthmica Nodosa 1.4 – 19.8
Polip Endometrium 2.3
Hiperplasia Endometrium 7.0
Hiperplasia Endometrium atipik 3.5
Adenokarsinoma 1.4
1
Dikutip dari Ferenczy A.

Diagnosis
Adenomiosis adalah diagnosa klinis dan hanya dapat dipastikan dengan
pemeriksaan histopatologi. Dengan kemajuan dalam teknik pencitraan, diagnosis
bisa ditegakkan dengan tingkat akurasi yang tinggi. 6
Pencitraan mempunyai 3 peran utama dalam mengelola pasien yang dicurigai
adenomiosis secara klinis. Pertama, untuk menegakkan diagnosis dan diagnosis
diferensial adenomiosis dari keadaan lain yang mirip seperti leiomioma. Kedua,
beratnya penyakit dapat disesuaikan dengan gejala klinisnya. Ketiga, pencitraan
dapat digunakan untuk monitoring penyakit pada pasien dengan pengobatan
konservatif. Beberapa pencitraan yang digunakan pada pasien yang dicurigai
adenomiosis yaitu Histerosalpingografi (HSG), USG transabdominal, USG
transvaginal dan MRI.8
Histerosalpingografi merupakan modalitas pencitraan pertama untuk
mendeteksi adenomioisis tetapi sensitifitas dan spesifisitasnya sangat rendah.
33

Gambaran histerosalpingografi adenomiosis tampak adanya kontras berbentuk


linier atau saccular yang menonjol di luar kontur normal dari cavum endometrium
dengan panjang 1 – 4 mm. Cavum endometrium dapat terlihat membesar atau
terdistorsi. Karena sensitivitas dan spesifisitasnya rendah histerosalpingografi
tidak lagi digunakan dalam evaluasi pasien yang diduga adenomiosis.1
Ultrasonografi transvaginal mempunyai sensitifitas bervariasi antara 53 – 58 %
dan spesifisitas antara 50 – 99 %. Pada miometrium normal tampak gambaran
miometrium berupa tiga lapisan sonografi yang berbeda. Lapisan tengah
miometrium paling ekogenik dan dipisahkan dari lapisan luar yang tipis oleh vena
arcuata dan pleksus arteri. Sedangkan lapisan dalam relatif lebih hipoekoik
dibandingkan lapisan tengah dan lapisan luar. Untuk menegakkan diagnosis
adenomiosis dengan USG transvaginal sebaiknya didasari pada didapatnya
gambaran daerah hipoekoik , ekotektur miometrium yang heterogen, gambaran
lakuna-lakuna kecil anekoik, pembesaran uterus asimetris, hilangnya batas antara
endometrium dan miometrium serta penebalan halo endometrium.1,9

Adenomiosis dan infertilitas


Dari studi yang dilakukan sebelumnya didapatkan bukti yang mendukung
hipotesis bahwa adenomiosis berhubungan dengan infertilitas. Mekanisme yang
mungkin terjadi pada kondisi ini meliputi adanya defek struktural maupun
fungsional uterine junctional zone ( JZ), serta adanya disregulasi protein yang dapat
menyebabkan kegagalan implantasi. Sebagai tambahan beberapa kondisi, secara
teori, dapat mengakibatkan gangguan fertilitas, yaitu adanya tingkat radikal bebas
abnormal intrauterin, perkembangan abnormal endometrium selama siklus
menstruasi, yang mungkin sebagai konsekuensi metabolisme streroid abnormal,
kurangnya ekspresi beberapa marker pada implantasi dan perubahan fungsi gen
esensial pada perkembangan embrio.10
34

a) Disregulasi arsitektur dan fungsi miometrium


Pada adenomiosis miosit memperlihatkan hipertrofi seluler sehingga otot
polos miometrium menjadi berbeda dengan miometrium normal. Sedangkan JZ
memperlihatkan hipertrofi seluler dan nuclear, abnormalitas bentuk nucleus dan
mitokondria dan sejumlah abnormalitas lain yang menyebabkan gangguan
siklus kalsium normal pada miosit yang terlibat sehingga akan menyebabkan
hilangnya kontraksi ritmik pada miometrium. Selain itu adenomiosis juga
menyebabkan kelainan berupa gangguan transport langsung sperma yang cepat,
terus menerus dan akurat di uterus sebagai akibat destruksi arsitektur normal
JZ miometrium. Pada kondisi ini juga memperlihatkan adanya reduksi
kapasitas transport uterotubal yang progresif seiring dengan meningkatnya
keparahan adenomiosis. Disamping itu adenomiosis juga dihubungkan dengan
hilangnya serabut saraf antara endometrium dan miometrium.10
Meskipun belum ada penjelasan pasti mengenai peran penebalan JZ dalam
menurunkan angka fertilitas, suatu hipotesis menyebutkan bahwa kelenjar
endometrial ektopik dapat memicu reaksi inflamasi. Keadaan ini dimediasi oleh
sitokin, prostaglandin serta faktor-faktor lain dan akan memastikan proliferasi
otot polos yang pada akhirnya akan merubah kontraksi uterus.10
b) Perubahan fungsi endometrium
Dalam endometrium itu sendiri, terdapatnya tingkat radikal bebas abnormal
dapat menyebabkan infertilitas pada adenomiosis. Dalam keadaan normal
radikal bebas merupakan hasil dari proses metabolisme normal. Enzim dalam
tubuh kemudian diproduksi untuk mengeliminasi radikal bebas tersebut (
xantine oxidase, superoxide dismutase, nitric oxidase synthase ) untuk
mempertahankan homeostasis yang normal. Tetapi pada adenomiosis kadar
radikal bebas tersebut menjadi abnormal. Konsentrasi radikal bebas yang
tinggi intrauteri tersebut mempunyai efek negatif terhadap transpor sperma,
impalantasi dan kehamilan.7,10
35

Terdapat mekanisme lain yang menyebabkan uterus menjadi tidak sesuai


untuk implantasi. Mekanisme ini melibatkan perkembangan endometrium
yang menyimpang selama fase proliferasi. Hal ini pada gilirannya akan
menyebabkan abnormalitas pada fase sekresi. Keadaan ini tampaknya
disebabkan oleh karena perubahan vaskularisasi endometrium. Peningkatan
faktor regulasi diduga terlibat dalam proliferasi vaskular endometrium dan
perubahan marker inflamasi endometrium. Pada adenomiosis ini terjadi
peningkatan aktifitas vascular endothelial growth factor ( VEGF ) dan
hypoxia-inducible factor-1alpha serta interleukin-6 (IL-6), interleukin-8 (IL-
8) dan interleukin-10 (IL-10) yang akan menyebabkan ganguan
implantasi.7,10
Mekanisme ketiga yaitu metabolisme intraendometrium abnormal. Pada
adenomiosis ekspresi IL-6 menjadi berlebihan. Hal ini menyebabkan
peningkatan ekspresi reseptor estrogen ( reseptor α dan reseptor ß ) serta
reseptor progesteron ( reseptor α dan reseptor β ). Lagi pula pada adenomiosis
juga terjadi peningkatan ekspresi sitokrom P-450. Fenomena ini selanjutnya
akan meningkatkan produksi estrogen lokal. Dan sudah terbukti bahwa
peningkatan ekspresi aromatase ini akan menurunkan angka kehamilan secara
klinis. Sedangkan peningkatan ekspresi reseptor α estrogen berkontribusi
terhadap hipeplasia endometrium.10
36

Gambar 4. Hiperestrogenisme dan infertilitas (A) : sistem TIAR mengakibatkan


produksi berlebih PGE2 serta peningkatan konsentrasi estrogen lokal. Hal ini
menjelaskan tingginya komorbiditas antara adenomiosis dan polip endometrium,
leiomioma, endometrial hyperplasia dan endometriosis, yang selanjutnya akan
mengakibatkan infertilitas pada wanita.
Dikutip dari Garavaglia E.7

Gambar 5. Hyperestrogenisme dan infertilitas (B): Kenaikan PGE-2 dan estrogen


dapat menyebabkan hiperperistaltik rahim, yang memiliki dua konsekuensi: perubahan dalam
transport sperma pada tuba dan gangguan implantasi embrio. Peningkatan produksi PGE2 juga
dapat menjelaskan risiko peningkatan kelahiran prematur pada pasien dengan adenomiosis.
Dikutip dari Garavaglia E.7
37

Mekanisme keempat adalah kurangnya ekspresi molekul yang dikenal


sebagai marker implantasi ( leukemia inhibitory factor ) yang diekspresikan
oleh endometrium dan dibutuhkan untuk interaksi antara embrio dan
endometrium.10
Mekanisme kelima yang mempengaruhi fertilitas pada adenomiosis adalah
perubahan fungsi gen HoxaA10. Gen ini merupakan bagian dari homeobox-
containing transcription factors yang penting untuk perkembangan embrio
dan pertumbuhan endometrium yang sempurna pada orang dewasa selama
siklus menstruasi, dan pada wanita dengan adenomiosis ekspresi gen ini lebih
rendah secara signifikan selama fase sekresi dibandingkan dengan kontrol.10

2. Bagaimanakah pilihan terapi pasien adenomiosis yang masih menginginkan


kehamilan ?
Terapi klasik untuk adenomiosis meliputi ablasi endometrium endoskopik dan
histerektomi. Akan tetapi ablasi endometrium dapat menyebabkan adhesi intra
caviter, hematometra dan peningkatan insiden nyeri. Terlebih lagi meningkatnya
jumlah pasien yang menunda kehamilan menjadi kontradiksi untuk keadaan
tersebut. Dan memang kecenderungan yang terjadi dewasa ini pada pasangan muda
adalah menunda kehamilan pertama. Hal ini dapat diamati pada wanita – wanita
tersebut pada akhir usia 30 sampai 40 tahun. Kondisi tersebut tentunya akan
mempengaruhi fungsi implantasi uterus yang normal dan mengakibatkan
subfertilitas.11
Akhir-akhir ini terdapat sejumlah terapi konservatif untuk tata laksana
adenomiosis, akan tetapi angka kehamilan pasien yang ditata laksana dengan
manajemen konservatif tersebut masih sangat kecil. Pilihan manajemen konservatif
untuk adenomiosis tersebut meliputi embolisasi arteri uterina, terapi hormonal,
kombinasi pembedahan - hormonal.11

Embolisasi arteri uterina.


38

Teknik radiologi intervensi untuk embolisasi arteri uterina secara selektif telah
digunakan untuk mengatasi gejala adenomiosis. Tetapi laporan kasus yang
dilaporkan juga kecil dan sejauh ini tidak didapatkan laporan adanya kehamilan
setelah dilakukan teknik embolisasi arteri uterina ini. Akan tetapi pada sisi yang
lain paling tidak didapatkan 10 persalinan dengan bayi yang sehat dari 11
kehamilan pada pasien yang didagnosa malformasi arteri uterina dimana
embolisasi arteri uterina dikerjakan. Pada kelompok yang lain dilaporkan 15 kasus
adenomiosis yang didiagnosa dengan MRI, yang ditatalaksanai dengan embolisasi
arteri uterina membawa kepada peningkatan kualitas hidup pada 12 dari 13 pasien.
Akan tetapi pada tinjauan retrospektif ini follow up yang dilakukan tidak komplet
( hanya 9 dari 15 pasien yang menjalani MRI selama follow up ) dan 12 pasien yang
termasuk dalam studi ini disertai dengan fibroid dimana embolisasi merupakan
pilihan terapi.11

Terapi Hormon.
Terapi medikamentosa untuk penanganan adenomiosis selalu mengikuti prinsip-
prinsip pengelolaan endometriosis, yang biasanya ditujukan untuk mengurangi
produksi estrogen endogen atau inhibisi diferensiasi endometrium dengan
progestin. Tujuan dari terapi medikamentosa ini adalah penghambatan ovulasi
serta siklus menstruasi dan pencapaian sebuah lingkungan hormon steroid yang
stabil, berdasarkan konsep bahwa respon endometrium eutopik dan endometrium
ektopik secara substansi adalah sama. Terapi medikamentosa yang biasa
digunakan dalam pengobatan adenomiosis, terutama didasarkan pada kenyataan
bahwa aksis gonad-hipofisis-hipotalamus memainkan peran penting dalam setiap
fase reproduksi, termasuk gonadotropin-releasing hormon agonis (GnRH agonis),
kontrasepsi oral (OC), progestin, danazol, estrogen selektif modulator reseptor
(SERM), progesteron selektif reseptor modulator (SPRMs) atau inhibitor
aromatase (AI). Preparat tersebut akan membuat suatu kondisi hipoestrogenik
39

(GnRH agonis, AI), hiperandrogen (danazol, gestrinon), atau hiperprogestogenik


(kontrasepsi oral, progestin), dengan penekanan proliferasi sel endometrium.12
Namun, terapi medikamentosa ini merupakan terapi simptomatik dan bukan
sitoreduktif. Lesi mungkin akan tetap bertahan dengan penggunaan obat apapun,
pada dosis berapapun dan siap untuk melanjutkan aktivitas metabolisme kembali
setelah penghentian terapi medikamentosa ini.12
Selama 20 tahun belakangan ini terdapat berbagai macam obat yang dipakai
untuk penanganan adenomiosis dan infertilitas yang berhubungan dengan
adenomiosis. GnRHa merupakan obat pertama yang dipakai untuk tujuan ini,
karena menurunkan ekspresi aromatase sitokrom P450 dan sintesa oksida nitrit.
Kemudian perhatian juga ditujukan pada progestin ketika Igarashi
mempublikasikan penelitian mengenai insersi Danazol intrauterine untuk
mengatasi gejala adenomiosis dan infertilitas setelah pembedahan konservatif.
Kimura juga membuktikan pemakaian GnRHa dan aromatase inhibitor secara
bersama-sama efektif untuk kasus adenomiosis yang resisten terhadap metode
terapi konvensional pada wanita yang menolak pembedahan.10
GnRH agonis dan anti estrogen seperti Danazol merupakan dua jenis terapi
hormonal yang telah banyak dipelajari. GnRH agonis akan menciptakan kondisi
pseudomenopause, lingkungan hipoestrogenik. Kedua golongan obat ini telah
dipergunakan secara luas untuk terapi keadaan lain yang dipengaruhi oleh
steroidogenesis ovarium, seperti endometriosis dan leiomioma uteri. Akan tetapi
penggunaan untuk adenomiosis masih sedikit dipelajari. Hambatan utama dalam
penggunaan obat ini adalah efek samping yang menyerupai kondisi menopause
seperti hot flushes, mood yang berubah - ubah dan demineralisasi tulang. 11

 GnRH agonis
40

GnRH agonis berasal dari GnRH alami dengan melakukan substitusi asam
D-amino terhadap asam L-amino di posisi 6 di dekapeptida tersebut. GnRH
memiliki waktu paruh pendek karena pemecahan yang cepat dari ikatan antara
asam amino pada posisi 5-6, 6-7, dan 9-10. Pergantian di posisi 6 menghasilkan
agonis yang tahan terhadap degradasi dan meningkatkan waktu paruh 13
Sekresi follicle-stimulating hormon ( FSH ) dan luteinizing hormone (LH)
hipofisis membutuhkan sekresi pulsatil GnRH dari hipotalamus. Pemberian
infus intravena konstan GnRH atau pemberian (subkutan / intramuskular /
intranasal) agonis GnRH (goserelin, leuprolida, nafarelin, buserelin, triptorelin)
memicu terjadinya respon agonis awal atau "Flare" respon, yang diikuti oleh
downregulation konsentrasi reseptor, yang didesensitisasi hipofisis untuk
melanjutkan stimulasi. "Flare" respon timbul karena pelepasan gonadotropin
yang dihasilkan dan disimpan di hipofisis, dan "flare" yang terbesar terjadi di
awal fase folikuler saat GnRH dan estradiol bergabung untuk membentuk
cadangan besar gonadotropin. Dalam waktu 3 sampai 4 minggu, kondisi
tersebut akan menginduksi suatu keadaan hipogonadotropik- hipogonadal. 13
Awalnya, respon ini disebabkan karena desensitisasi dan down-regulasi
serta kehilangan secara bertahap reseptor dan pelepasan reseptor dari sistem
efektor. Selain itu, mekanisme post-reseptor mengakibatkan sekresi
gonadotropin yang tak aktif.13
Pada suatu studi kasus adenomiosis yang diterapi dengan GnRH agonis,
pasien menunjukkan pengurangan ukuran uterus dan perbaikan gejala tetapi
masih tetap infertil. Akan tetapi beberapa peneliti lain melaporkan adanya
kehamilan dan kelahiran bayi pada pasien adenomiosis dengan infertilitas
setelah pemberian GnRH agonis.7
Tabel 3. Terapi GnRH agonis yang diikuti dengan kehamilan pada pasien adenomiosis
dan infertilitas.
Interval dari
Referensi n Terapi Hasil kehamilan penghentian
41

Durasi terapi
infertilitas sampai
terjadinya
kehamilan
Hirata (1993) 1 Nafarelin acetate nasal Abortus spontan pada usia 4 tahun 4 bulan
spray 800 mg/hari selama 6 kehamilan 10 minggu
bulan
Nelson dan Corson 1 Leuprolide acetate 0.5 mg Kehamilan viabel pada Tanpa 1 bulan
(1993) s.c. perhari sampai dengan trimester pertama infertilitas
6 bulan yang diikuti
dengan
leuprolide acetate injeksi
intra mukskular
3.75 mg/bulan sampai
dengan total 20 bulan
selama periode 3 tahun
Silva (1994) 1 Leuprolide acetate injeksi SC pada kehamilan aterm; 10 tahun 54 bulan
intra muskular 3400 g; neonatus sehat
3.75 mg/bulan selama 5
bulan
Huang (1999) 2 Buserelin acetate nasal (1) persalinan pervaginam ; (1) 2 tahun (1) 4 bulan
spray 600 mg/hari sampai neonatus lahir pada usia
(2) 4 tahun (2) 6 bulan
dengan 3 bulan kehamilan 39 minggu
dengan berat 3550 g
(2) SC pada usia kehamilan
38 weeks; berat neonatus
2700 g
Lin (2000) 2 (1) Goserelin 3.6 mg s.c. (1) persalinan pervaginam (1) 6 tahun 2 – 4 bulan
perbulan sampai dengan 6 pada usia kehamilan 38
(2) 3 tahun
bulan minggu; berat neonatus
(2) Triptorelin acetate 2.75 3150 g
mg i.m. perbulan sampai (2) dilaporkan kehamilan
dengan 6 bulan normal sampai usia
kehamilan 28 minggu
Dikutip dari Devlieger R.11

Untuk mencegah demineralisasi tulang yang menyertai terapi GnRH agonis,


sejumlah terapi "add back" telah dikembangkan. Umumnya regimen terapi
yang dipakai sebagai add back terapi adalah sebagai berikut: dosis rendah
kombinasi estrogen-progestin, estrogen saja ( namun sangat tidak dianjurkan ),
progestin saja, bifosfonat, tibolone, dan estrogen selektif reseptor modulator,
raloxifene. Gabungan regimen add back progestin estrogen mampu
melindungi tulang dan memiliki keuntungan tambahan untuk mencegah hot
42

flush dan berkembangnya atrofi urogenital. Terapi add back harus dimulai
bersamaan dengan dimulainya GnRH agonis. Namun, remaja dengan gejala
endometriosis atau adenomioisis yang mungkin memerlukan terapi ini
menghadirkan tantangan yang unik, karena pada usia ini wanita belum
mencapai puncak massa tulang. Baru-baru ini studi retrospektif dari 36 remaja
perempuan Di Vasta telah menunjukkan bahwa add-back efektif dalam
mengurangi gejala dan mempertahankan kondisi tulang di sebagian besar
remaja.13
Awalnya, penggunaan agonis GnRH terbatas pada 6 bulan, tetapi dengan
munculnya terapi add-back, durasi penggunaan telah meningkat secara
substansial dan GnRH agonis bahkan dapat digunakan selama 2 tahun.
Goserelin dan leuprolide adalah dua jenis GnRH agonis yang umum
digunakan. Goserelin digunakan dalam dosis 3,6 mg sekali setiap 4 minggu atau
10,8 mg sekali setiap 12 minggu, dan disuntikkan subkutan. Leuprolide dapat
diberikan sebagai dosis harian 0,5 sampai 1 mg atau bulanan depot 3.75 mg
atau bahkan dapat diberikan 3 bulanan dalam dosis 11,25 mg. Leuprolide ini
dapat disuntikkan subkutan atau intramuskular. Nafarelin dapat diberikan
dalam bentuk semprotan intranasal dalam dosis 200 sampai 400 mcg sekali atau
dua kali sehari tergantung pada indikasi penggunaan.13
 Levonorgestrel Intrauterine Sistem ( LNG-IUS )
LNG-IUS bekerja secara langsung pada endometrium melalui pelepasan
levonorgestrel ke rongga uterus. Laju pelepasan LNG-IUS mencapai 20 ug/hari
dan menurun hingga 11ug/hari pada tahun kelima.6
Pelepasan levonergestrel secara lokal menyebabkan atrofi kelenjar
endometrium, menekan proliferasi sel-sel endometrium, meningkatkan
aktivitas apoptosis dan memiliki pengaruh sebagai antiinflamasi dan
imunomodulator. Oleh karena itu penggunaan LNG-IUS dapat mangatasi
masalah menorhagi maupun dismenore. 6
43

Penelitian oleh Park menunjukkan pada adenomiosis yang besar ( pada


penelitian ini volume uterus berkisar antara 201 – 687 cm3) efek lokal LNG-
IUS cukup untuk memberikan efek pada endometrium, tetapi tidak cukup kuat
untuk mempengaruhi keseluruhan uterus. Dan Bragheto dengan memakai MRI
untuk memonitor efektifitas LNG-IUS terhadap terapi adenomiosis melaporkan
reduksi yang signifikan pada ketebalan JZ tanpa reduksi yang signifikan
6
terhadap keseluruhan besar uterus.
Kemudian terdapat dua laporan kasus yang telah dipublikasikan pada
pemakaian LNG-IUS untuk terapi adenomiosis. Pada suatu seri laporan 25
kasus dengan menorhagia yang berhubungan dengan adenomiosis, peneliti
mendapatkan rata-rata 9,8% penurunan ukuran uterus setelah terapi selama 12
bulan. Pada studi yang lain peneliti mendapatkan keberhasilan terapi pada
pasien menoragi dan dismenore dengan LNG-IUS pada pasien dengan
pembesaran uterus dan terdapat kontraindikasi untuk dilakukan pembedahan.
Menariknya, penurunan ukuran uterus (dari 501-366 ml) selama 12 bulan
pengobatan, dikaitkan dengan tingginya konsentrasi levonorgestrel lokal uterus
(Fong dan Singh, 1999). Penggunaan LNG-IUS dapat (dalam teori) menjadi
pilihan pengobatan pada kasus adenomiosis dan infertilitas, tetapi tidak ada
keberhasilan kehamilan yang telah dilaporkan sampai sejauh ini.6
 Danazol
Danazol merupakan derivat isoxazol dari 12 a-etinil testosteron, dan
memiliki mekanisme aksi kompleks yang melibatkan penghambatan
steroidogenesis, menurunkan lonjakan luteinizing hormon pertengahan siklus
dan meningkatkan kadar serum bebas testosteron. Penggunaan danazol akan
menyebabkan keadaan androgenik dan hipoestrogenik; keadaan hipoestrogenik
tersebut memiliki efek yang lebih langsung pada lesi adenomiotik dan
mengurangi rasa sakit selama dan setelah terapi, dan yang terakhir mungkin
memiliki efek tidak langsung pada lesi adenomiotik, memberikan kontribusi
44

untuk mengurangi rasa sakit dan memberikan perbaikan klinis pada 55 - 93%
wanita yang diberikan danazol selama 6 bulan.12
Efek imunologis penggunaan danazol pada penderita adenomiosis
menunjukkan terjadinya penurunan immunoglobulin serum dan C3 serum serta
kenaikan C4 serum, penurunan kadar autoantibody serum terhadap berbagai
antigen phospolipid. Namun, danazol dan gestrinon tidak cocok untuk
penggunaan jangka panjang, sebagian karena mereka memiliki efek samping
androgenik, termasuk seborrhea, hipertrikosis dan peningkatan berat badan
serta risiko sindrom metabolik, seperti efek terhadap distribusi lipoprotein
(Penurunan high-density lipoprotein dan meningkatkan low density
lipoprotein).12
Dalam sebuah penelitian tak terkontrol, pengobatan 12 wanita dengan
adenomiosis menggunakan Danazol-Loaded Intra-Uterine Device terdapat tiga
kehamilan (Igarashi et al., 2000). Dalam penelitian ini, kadar serum danazol
tidak terdeteksi dan fungsi menstruasi serta ovulasi masih didapatkan. Hipotesis
keadaan ini adalah bahwa konsentrasi Danazol intra-uterin tinggi dilepaskan
langsung ke patologis EMI, yang mungkin memberikan hasil yang lebih baik
daripada Danazol oral terhadap kontrol gejala dan fertilitas.12
Dosis danazol yang bisa digunakan di Amerika utara adalah 800 mg/hari.
Sedangkan di Eropa dan Australia dosisnya lebih rendah, yaitu 600 mg/hari.
Amenore dapat digunakan sebagai indikator respon obat. Untuk penggunaan
danazol dapat dimulai dengan dosis 400 mg/hari ( 2 x 200 mg ) dan bila perlu
dosis dapat ditingkatkan untuk mencapai kondisi amenore serta mengatasi
keluhan yang timbul akibat adenomiosis.6

 Aromatase Inhibitor ( AI )
Aromatase adalah enzim yang bertanggung jawab untuk transformasi
androgen, androstenedion, dan testosteron, estrogen menjadi estrone, dan E2,
45

masing-masing. enzim aromatase terdiri dari dua polipeptida, sebuah sitokrom


P450 spesifik (produk dari gen CYP19), dan flavoprotein, dinukleotida
nicotinamide adenine fosfat sitokrom P450 reduktase. Aromatase adalah target
yang sangat baik untuk penghambatan sintesis E2 karena itu adalah Langkah
terakhir dalam biosintesis steroid.12
AI diklasifikasikan ke dalam tipe I inhibitor dan tipe II inhibitor, dan
keduanya bersaing untuk berikatan dengan enzim yang aktif. Tipe I inhibitor
bekerja dengan memulai hidroksilasi, menghasilkan ikatan yang erat antara
inhibitor ini dan protein enzim, sehingga mengakibatkan blokade yang
menetap, inhibitor tipe II bekerja dengan cara sebaliknya pada tempat aktif
enzim tanpa memicu aktivitas enzim.12
Ferrero melakukan tinjauan sistematis untuk menilai efikasi AI dalam
mengobati nyeri terkait endometriosis, terutama berfokus pada tipe II
nonsteroid AI, seperti anastrozole dan letrozole. Dari total 251 pasien dari 10
studi, termasuk lima studi prospektif non komparatif, empat uji terkontrol acak,
dan. Semua observasi studi menunjukkan bahwa AI yang dikombinasikan
dengan progestin atau kontrasepsi oral akan mengurangi derajat keparahan
nyeri yang berhubungan dengan endometriosis/adenomiosis dan peningkatan
kualitas hidup pasien. Namun, beberapa penelitian menunjukkan tingginya
efek samping dan tidak adanya perbaikan terhadap kepuasan pasien,atau tidak
adanya perbaikan mengenai kambuhnya gejala setelah penghentian
pengobatan.12

 Kontrasepsi Oral Berkelanjutan ( OC )


Pertimbangan untuk pemakaian OC dalam pengelolaan adenomiosis meliputi
46

a. penurunan menstruasi retrograde (efek maksimal terjadi ketika diberikan


secara terus menerus)
b. menginduksi suatu kondisi pseudo-pregnant, yang menyebabkan
desidualisasi dan selanjutnya atrofi endometrium.12
Kontrasepsi oral monofasik dosis rendah menunjukkan khasiat yang baik,
toleransi yang cukup dan biaya rendah, dan mungkin menjadi pilihan terbaik
untuk nyeri yang berhubungan dengan adenomiosis (dismenore).12
Pemberian kontrasepsi oral kombinasi atau progestin only dapat
mengakibatkan atrofi endometrium dan mengurangi produksi prostaglandin
endometrium yang berguna untuk mengatasi keluhan dismenore dan menoragi.
Penderita menoragi yang penyebabnya tidak dapat dijelaskan dapat mengalami
pengurangan jumlah perdarahan hingga 40 % apabila menggunakan
kontrasepsi estrogen-progestin.12

Pembedahan Konservatif
Konsep pembedahan konservatif untuk mempertahankan uterus adalah
meningkatkan fertilitas dan peningkatan kualitas hidup pasien adenomiosis.
Namun, pembedahan konservatif belum menjadi terapi standar untuk adenomiosis.
Hal ini terutama karena jaringan adenomiotik menginvasi miometrium sedemikian
rupa sehingga tidak terdapat perbatasan yang jelas antara miometrium normal dan
jaringan adenomiotik, sehingga eksisi lengkap jaringan adenomiotik menjadi tidak
memungkinkan. Selain itu, eksisi jaringan adenomiotik selalu disertai dengan
eksisi miometrium, sehingga hal ini menjadi destruktif untuk sebagian otot dinding
rahim. Selain itu, eksisi sederhana lesi adenomiotik dan penutupan secara
sederhana eksisi miometrium tersebut dilaporkan memberikan hasil yang
mengecewakan karena kelompok pasien yang menjalani terapi tersebut dengan
segera mengalami kekambuhan dan kemudian diperlukan histerektomi.14

Tabel 4. Klasifikasi teknik bedah konservatif dan variannya


47

Katagori bedah Teknik Varian


Eksisi komplit Adenomiomektomi 1. Classic technique (Hyams 1952;
Grimbizis, 2008; Wang . 2009)/plus
intraoperative ultrasound guidance
(Nabeshima 2003; Nabeshima 2008)
Modifikasi:
U-shaped suturing (Sun 2011)
Overlapping flaps (Takheshi 2006)
2. Triple flap method (Osada 2011)
Kistektomi Teknik klasik
Eksisi parsial ( Parsial 1. Classic technique (Fujishita 2004)
pembedahan adenomiomektomi 2 Transverse H incision (Fujishita 2004)
sitoreduktif ) 3 Wedge resection of the uterus (Sun 2011)
4 Asymmetric dissection of the uterus
(Nishida 2010)
Teknik non-eksisional Kombinasi dengan eksisi Uterine artery ligation together with
adenomyomectomy (Kang. 2009)
Non eksisional 1 Uterine artery ligation (Wang et al. 2002)
2 Electrocoagulation of myometrium
(Wood, 1998; Philips, 1996)
Histeroskopik 1 Endometrial resection (Wood, 1998;
Fernandez. 2007; Kumar 2007; Maia
2007)
2 Endometrial ablation (Preuthhupan.
2010)
3 Hysteroscopic cystectomy
Teknik lain 1 High-frequency ultrasound (HIFU)
(Yang, 2009)
2 Alcohol instillation for cystic
adenomyosis (Furman, 2007)
3 Endometrial nonhysteroscopic ablation
Radiofrequency (Ryo, 2006)
Microwave (Kanaoka, 2004)
Balloon (Chan, 2001)

Dikutip dari Grimbizis GF.14

Reseksi adenomiosis dengan teknik Osada


48

Dikutip dari Osada H.15

Teknik laparotomi ini meliputi [1] extraperitonealisasi uterus dan pemasangan tourniquet dengan
kateter ( diameter kurang lebih 6 mm ) pada proksimal cervix penempatan untuk hemostasis; [2]
insisi uterus di garis tengah pada bidang sagital secara tajam sampai menembus cavum uteri [3]
membuka cavum uteri sehingga memungkinkan jari telunjuk memasuki cavum uteri untuk
membimbing selama eksisi jaringan adenomiotik dilakukan; memakai forsep martin untuk
memegang jaringan adenomiosis dan melakukan eksisi jaringan adenomiotik, meninggalkan
49

ketebalan miometrium 1 cm di bawah serosa dan 1 cm diatas endometrium [5] Aproksimasi


endometrium dengan Vicryl 3-0 secara terputus dan [6] dilakukan rekonstruksi uterus dengan
cara : Di satu sisi reseksi uterus dilakukan aproksimasi miometrium dan serosa dalam bidang
antero-posterior dengan jahitan terputus menggunakan Vicryl 2-0. Kemudian sisi kontralateral
dinding uterus (terdiri juga dari serosa dan miometrium) diaproksimasi pada sisi yang telah
direkonstruksi pertama kali sedemikian rupa sehingga menutupi garis seromuscular jahitan.
Garis sutura tidak boleh tumpang tindih; hanya flap miometrium yang overlap. Untuk mencapai
hal ini, permukaan serosa dari flaps kedua harus dibersihkan. Setelah rekonstruksi rahim selesai,
tourniquet dilepaskan. Jika pemasangan torniquet benar maka tidak ada perdarahan yang
signifikan terjadi karena tekanan jaringan yang diciptakan oleh rekonstruksi. Kehilangan darah
selama operasi dihitung dengan menambahkan jumlah darah pada tabung vakum dengan jumlah
yang diserap oleh kain kasa.
Pasca operasi, setelah keluar dari rumah sakit, pasien dievaluasi tiap bulan selama 6 bulan dan
selanjutnya setiap 2-3 bulan. Untuk 6 bulan pertama, aliran darah uterus diperiksa tiap bulan
dengan ultrasonografi transvaginal dengan pencitraan warna Doppler dan kemudian dievaluasi
dengan MRI setiap 3 bulan. Dalam keadaan normal aliran darah pada daerah yang dioperasi akan
kembali normal dalam 6 bulan.
Dikutip dari Osada H.15

Terapi Kombinasi Bedah dan Hormonal


Reseksi komplet daerah adenomiotik yang terlihat diikuti oleh pemberian GnRH
agonis (goserelin asetat 3,6 mg, 2-6 kali) menghasilkan kelahiran yang sehat pada
empat kasus ( Huang, 1998; Wang, 2000). Diduga bahwa reseksi ini akan
meningkatkan sensitivitas terhadap terapi hormonal karena peningkatan suplai
darah ke jaringan adenomiosis dan fungsi kekebalan tubuh yang meningkat. Dasar
pemikiran terapi adjuvan ini adalah asumsi bahwa reseksi daerah patologis saja
tanpa merusak cavum uteri adalah tidak lengkap. Pendekatan ini tampaknya
menarik, tapi yang harus disadari adalah konsekuensi bedah dan obstetrik.
Memang, semua bayi yang dilahirkan melalui operasi caesar dan pada beberapa
kasus, dilakukan insisi mid line uterus untuk membuang lesi adenomiosis dengan
diseksi dan koagulasi. Satu kasus terkomplikasi dengan perdarahan ante partum
dan partus prematurus imminen (Huang et al., 1998). Selanjutnya juga didapatkan
50

adanya adhesi intra-abdomen meskipun minim. Tidak ada informasi kekambuhan


gejala atau meningkatnya ukuran uterus pada periode post-partum. 11
Terdapat laporan kasus mengenai komplikasi obstetrik (Lin et al., 2000), salah
satu pasien menjalani pengangkatan laparoskopik nodul deep adenomyosis pada
dinding rahim posterior. Paska operasi pasien kemudian diterapi dengan triptorelin
3,75 mg / bulan selama 6 bulan dan pasien kemudian hamil 4 bulan setelah
penghentian GnRH agonis . Seksio sesarea kemudian dibutuhkan karena timbul
ruptur uteri imminen pada usia kehamilan 30 minggu. 11
Dalam studi lain (Ozaki et al., 1999) adenomiosis yang terlokalisir dan
persisten diobservasi setelah pemberian dua kali leuprolid asetat (3 dan 8 bulan).
Nodul kemudian dibuang dengan pembedahan, dan adjuvan terapi dengan danazol
diberikan selama 3 bulan. Pasien kemudian hamil dengan cepat dan melahirkan
secara seksio sesarea karena indikasi obstetrik.11
Dalam laporan tersebut, pendekatan gabungan harus dipertimbangkan pada
pasien dimana GnRH agonis saja tidak efektif dan kontrasepsi efektif selama
minimal 6 bulan setelah pembedahan tampaknya lebih dianjurkan.11

3. Bagaimanakah pengaruh reseksi adenomiois teknik Osada terhadap


kehamilan dan persalinan pada pasien ini ?
Suatu masalah ketika memutuskan untuk dilakukan konservasi uterus adalah
ketidakpastian mengenai seberapa luas miometrium dapat dieksisi dan masih tetap
memungkinkan untuk berlangsungnya kehamilan yang normal dan persalinan.
Membandingkan keamananan relatif pada kehamilan dan persalinan setelah
dilakukan miomektomi mungkin tidak tepat. Hal ini disebabkan karena fibroid
tumbuh didalam jaringan miometrium normal sebagai tumor jinak. Ketika fibroid
ini dieksisi maka kapsul fibroid akan memisahkan dengan jaringan miometrium
yang normal. Rongga yang terbentuk akibat eksisi tersebut akan mengalami
penyembuhan sama seperti sebelum fibroid tersebut tumbuh, kecuali adanya skar.
Sedangkan adenomiosis akan menginfiltrasi miometrium normal sehingga eksisi
51

adenomiosis akan meyebabkan berkurangnya massa miometrium dari total


keseluruhan berat uterus. Kehilangan massa miometrium dalam jumlah yang
signifikan akan mengakibatkan timbulnya dua masalah : 16
1. Berkurangnya kapasitas miometrium selama kehamilan merupakan
predisposisi terjadinya abortus atau persalinan prematur.
2. Terbentuknya skar uterus, yang mungkin mengandung fokus adenomiosis yang
tak terdeteksi akan mengurangi kekuatan regangan miometrium.
Aposisi luka mungkin lebih sukar dicapai setelah eksisi adenomiosis. Hal ini
disebabkan oleh karena kehilangan lingkar miometrium akan meningkatkan
tegangan dan regangan miometrium ketika akan ditarik untuk mengisi gap yang
ada. 16
Peningkatan kapasitas luas uterus pada kehamilan lebih tergantung pada
kekenyalan ( plasticity ) daripada kelenturan ( elasticity ) ( Zimmer,1962 ;
Wood,1964 ). Faktor utama yang mempengaruhi kekenyalan ( plasticity ) tersebut
adalah kolagen ( Goerttler ( 1930 )). Mikrofibril kolagen secara individual relatif
tidak lentur, dan jika mikrofibril kolagen tersusun dalam sumbu memanjang, maka
tidak dapat memanjang melebihi 10 % sebelum terjadi ruptur ( Stucke, 1950 ).
Dalam jaringan seperti uterus mirofibril kolagen tersusun dalam 3 susunan arah
yang berlainan. Awalnya susunan tersebut akan memperkuat uterus sampai
kemudian terjadi slip diantara mikrofibril sehingga akan meningkatkan plastisitas
dan luas uterus sampai berakhirnya kehamilan.16
Adenomiosis dapat mengurangi kapasitas uterus untuk meluas dalam 2 cara,
dengan mengganti miometrium normal dan jaringan kolagen dengan jaringan
adenomiosis yang dapat mengubah susunan serabut otot dan susunan jaringan
kolagen atau dengan menambahkan jaringan skar akibat eksisi jaringan
adenomiosis. Dalam suatu studi ruptur uteri spontan pada kehamilan, adenomiosis
ditemukan pada tempat terjadinya ruptur uteri pada tiga laporan kasus ( Wood,
1960 ). Jaringan skar yang timbul akibat eksisi jaringan adenomiosis memberikan
risiko tersendiri terhadap kehamilan dan persalinan. Koagulasi jaringan
52

adenomiosis memberikan efek yang sama dengan eksisi miometrium yaitu


berkurangnya massa miometrium dan pembentukan jaringan skar. Skar yang
terbentuk karena kogulasi jaringan adenomiosis ini akan lebih luas karena jaringan
abnormal adenomiosis tidak dibuang. 16
Sampai sekarang masih belum didapatkan data mengenai seberapa luas
endometrium dibutuhkan untuk mempertahankan kehamilan yang normal.
Berbagai variasi keadaan klinis dimana endometrium sebagian mengalami
kerusakan serta kehamilan aterm sesudahnya telah dilaporkan, misalnya paska
ablasi endometrium, paska operasi sinekia uteri dan reseksi mioma submukosa.
Dari kondisi-kondisi tersebut diduga bahwa paling banyak sepertiga endometrium
dibuang tanpa mengorbankan plasentasi yang normal. Plasenta normal menempati
± 50% dari permukaan endometrium.16
Adenomiosis berat dapat menyebabkan infertilitas, dismenorea berat dan
hypermenorrhea. Sejak Hyama (1952) melaporkan penggunaan operasi konservatif
untuk kondisi ini, banyak teknik bedah telah dilakukan (Takeuchi, 2006). Semua
ini termasuk reseksi baji adenomiosis yang diikuti oleh rekonstruksi dinding rahim.
Namun, pendekatan ini dikaitkan dengan seringnya terjadi kekambuhan
adenomiosis dan ruptur uterus spontan selama kehamilan (Wada, 2006). Terapi
yang efektif membutuhkan reseksi yang lebih radikal dari jaringan yang terkena.
Namun, hal ini dapat mengakibatkan defek yang besar di dinding rahim, sehingga
membuat rahim tidak mampu mempertahankan kehamilan normal. Oleh karena itu,
biasanya terapi untuk wanita dengan adenomiosis berat adalah histerektomi.
Namun banyak dari wanita ini ingin mempertahankan uterus karena berbagai
alasan dan masih menginginkan kehamilan. Manajemen alternatif, GnRHa selama
3-6 bulan diikuti dengan IVF memiliki banyak efek samping dan hasil yang buruk
dalam kasus adenomiosis masif. Pada sisi lain, seperti pada populasi Jepang,
biasanya tidak ingin terpisah dari bagian tubuh tertentu seperti rahim mereka karena
alasan emosional atau budaya, tapi ingin menghilangkan gejala. Untuk mengatasi
kesulitan ini dan memungkinkan rahim untuk mempertahankan kehamilan, metode
53

reseksi radikal jaringan adenomatous dengan metode triple flap untuk


merekonstruksi dinding rahim diperkenalkan oleh DR Hisao Osada.15
Prasyarat untuk bedah konservatif adenomiosis untuk mempertahankan fungsi
reproduksi adalah sebagai berikut, pertama, sangat ideal jika patensi tuba dapat
dipertahankan untuk memungkinkan terjadinya kehamilan alami. Kedua, rongga
rahim harus dipertahankan utuh untuk menjamin implantasi. Ketiga, dinding rahim
harus direkonstruksi secara tepat sehingga memungkinkan uterus untuk
mempertahankan pertumbuhan janin. Dengan kata lain, dinding rahim harus
direkonstruksi secara tepat sehingga dapat bertahan terhadap penipisan rahim
karena proses pembesaran uterus selama kehamilan. Akan tetapi bagaimanapun
juga terdapat masalah yang berhubungan dengan rekurensi adenomiosis.15
Metode reseksi adenomiosis triple flap ini menawarkan beberapa keuntungan.
Pertama, memungkinkan eksisi yang lebih luas terhadap jaringan yang terkena
daripada reseksi baji konvensional. Sehingga, tampaknya sangat efektif untuk
pengelolaan dismenore dan hipermenore. Kedua, defek jaringan besar yang timbul
karena eksisi luas lesi dapat direkonstruksi secara baik sehingga ketebalan dinding
rahim yang memadai pada tiga lapisan miometrium dapat dipertahankan, sehingga
rahim lebih mampu mempertahankan kehamilan normal tanpa risiko ruptur uterus.
Ketiga, komplikasi pasca bedah yang serius tidak didapati. Bahkan jika
kekambuhan terjadi, teknik ini setidaknya akan meringankan gejala klinis pasien,
termasuk hipermenore parah dan memberikan kesempatan untuk hamil.15
Pada serangkaian studi prospektif terhadap metode reseksi triple flap ( Osada,
2010 ), didapatkan bahwa aliran darah uterus pada daerah operasi kembali normal
dalam 6 bulan post operasi, komplikasi paska operasi yang timbul sebanyak 5,8%
dan semuanya hanya berupa hematoma kecil, dibawah 1 cm yang hilang secara
spontan dalam waktu 2 bulan. Temuan VAS (mean ± SD) untuk dismenorea,
berdasarkan pada skor 10 pra-operasi, menjadi 1,61 ± 1,43 pada 3 bulan post
operasi, 1,54 ± 1,62 pada 6 bulan post operasi dan 1,44 ± 1,65 pada 1 tahun post
operasi dan 1.67 ± 1.79 pada 2 tahun pasca operasi. Temuan VAS untuk
54

hypermenorrhea 3.27 ± 2.17 pada 3 bulan post operasi, 2,89 ± 1,77 pada 6 bulan
post operasi , 2,63 ± 1,3 pada 1 tahun post operasi dan 2,87 ± 1,77 pada 2 tahun
pasca operasi. Rekurensi ditemukan (didefinisikan oleh kembalinya gejala pra-op
dan berulang Pertumbuhan adenomyomatous) hanya dalam empat kasus (3,8%)
selama waktu 10 tahun penelitian.15
Pada penelitian yang dilakukan oleh Rajudin (2008), didapatkan angka
kehamilan paska reseksi adenomiosis adalah 9,4%. Hamil yang berakhir dengan
keguguran terjadi 1 kasus, hal ini seperti yang dikemukakan oleh Michael Lukes,
bahwa risiko abortus pada perempuan adenomiosis 4 kali lebih besar dibandingkan
perempuan yang tidak ada adenomiosis. Kekambuhan paska bedah adalah 33 -
40,3%. Pada penelitian ini didapat kambuhan 12,5% setelah satu tahun paska
reseksi. Berdasarkan keluhan, dikatakan 35% penderita adenomiosis tidak
mengalami keluhan atau tanpa gejala, sedangkan yang lainnya mengalami keluhan
berupa dismenorea, nyeri pelvik dan menoragia. Pada penelitian ini semua pasien
mengalami keluhan yaitu 62,5% menderita dismenore, 12,5% menoragia dan 25%
nyeri pelvik dan dispareunia. Dismenore mungkin disebabkan oleh iritabilitas
uterus atau edem pseudodesidual di sekitar lesi adenomiosis. Kontraksi uterus yang
tidak baik selama menstruasi akan memperluas permukaan endometrium, yang
menyebabkan produksi prostaglandin berlebihan dan di pihak lain hiperestrogen
dianggap sebagai penyebab menoragia.8
Pada pasien ini cara pengakhiran kehamilan pada usia kehamilan aterm
dilakukan dengan seksio sesarea. Hal ini disebabkan karena pasien ini menjalani
reseksi adenomiosis sebelumnya. Adenomiosis sendiri akan mempengaruhi
fertilitas, dimana pada pasien adenomiosis reseksi yang dilakukan menyebabkan
pengurangan massa miometrium dan terbentuknya skar yang mengakibatkan
kekuatan untuk menahan regangan uterus selama kehamilan dan proses persalinan
dan elastisitas miometrium menjadi berkurang. Dan jika dilakukan persalinan
pervaginam pada pasien ini dikahawatirkan akan terjadi ruptur uteri yang akan
membahayakan keselamatan ibu maupun janin.
55

SIMPULAN
Adenomiosis menurut Bird ( 1971 ), didefinisikan sebagai invasi jinak
endometrium ke dalam lapisan miometrium, sehingga mengakibatkan pembesaran
uterus yang difus dengan gambaran mikroskopik menunjukkan adanya stroma dan
kelenjar endometrium ektopik, non-neoplastik yang dikelilingi oleh miometrium
yang hipertropik dan hiperplastik.1
Frekuensi adenomiosis yang dilaporkan dalam literatur bervariasi antara 5 – 70
%, dan sangat bergantung pada seberapa menyeluruhnya sampel uterus diambil,
kriteria histologis untuk menegakkan adenomiosis, serta pemilihan spesimen yang
akan dievaluasi.3
Hubungan adenomiosis dengan infertilitas terjadi melalui beberapa mekanisme
yang antara lain adalah adanya defek struktural maupun fungsional uterine
junctional zone ( JZ), serta adanya disregulasi protein yang dapat menyebabkan
kegagalan implantasi. Sebagai tambahan beberapa kondisi, secara teori, dapat
mengakibatkan gangguan fertilitas, yaitu adanya tingkat radikal bebas abnormal
intrauterin, perkembangan abnormal endometrium selama siklus menstruasi, yang
mungkin sebagai konsekuensi metabolisme streroid abnormal, kurangnya ekspresi
beberapa marker pada implantasi dan perubahan fungsi gen esensial pada
perkembangan embrio.10
Manajemen klasik adenomiosis meliputi ablasi/reseksi endometrium endoskopik
dan histerektomi. Akan tetapi ablasi endometrium dapat menyebabkan adhesi intra
caviter, hematometra dan peningkatan insiden nyeri.11
Pada akhir-akhir ini sejumlah manajemen konservatif untuk tata laksana
adenomiosis telah diajukan , akan tetapi angka kehamilan pasien yang ditata
laksana dengan manajemen konservatif tersebut masih sangat kecil. Pilihan
manajemen konservatif untuk adenomiosis tersebut meliputi embolisasi arteri
uterina, terapi hormonal, pembedahan dan kombinasi pembedahan - hormonal.11
56

Pembedahan konservatif merupakan pilihan pada perempuan nullipara,


perempuan yang masih menginginkan anak atau karena alasan psikososisal lainnya.
Berbagai teknik dikembangkan, seperti teknik takeuci ( 2006 ), Nishida ( 2008 ),
akan tetapi hasilnya masih belum memuaskan karena tingginya angka rekurensi
dan rupture spontan pada kehamilan. Teknik terbaru dikembangkan oleh Osada
berupa reseksi radikal jaringan adenomiosis disertai metode tripel flap untuk
rekonstruksi uterus. Teknik ini memberi harapan untuk penatalaksanaan konsevatif
pasien adenomiosis.

Rujukan
1. Ferenczy A, Pathophysiology of adenomiosis, Human Reproduction Update, 1998; 4(4): 312 –
322
57

2. Mehasseb MK, Habiba MA, Review adenomiosis uteri : an update, The obstetrician &
gynaecologist, 2009;11:41–47.
3. Chopra A, Lev-Toaff A, Ors F, Bergin B, Adenomyosis: common and uncommon
manifestations on sonography and magnetic resonance imaging, J Ultrasound Med, 2006; 25:
617–627
4. Taran FA, Stewart EA, Brucker S, Adenomyosis: epidemiology, risk factor, clinical phenotype
and surgical and interventional alternatives to hysterectomy, Geburtshilfe und
Frauenheilkunde; 2013; 73(9):924-931
5. Benagiano G, Habiba M, Brosens I, The pathophysiology of uterine adenomyosis: an update,
Fertility and Sterility 2012; 98: 572-9
6. Hestiantoro A, Natadisastra M, Wiweko B, Sumapraja K, Harzif AK, Current update on
polycystic ovary syndrome endometriosis adenomiois, Jakarta, CV Sagung Seto, 2013
7. Garavaglia E, Audrey S, Annalisa I, Stefano F, Iacopo T, Laura C, Massimo C, Adenomyosis
and its impact on women fertility, Iran J Reprod Med 2015; 13(6): 327-336.
8. Benagiano GP, Brosens IA, Carrara S, Filippi V, Adenomyosis, Glob.libr.womens med., 2010
9. Rajuddin, jacoeb tz, Penanganan adenomiosis dengan reseksi laparotomik pada perempuan
infertil (pengalaman pada 32 kasus), Indones J Obstet Gynecol 2008; 32-1: 22-5.
10. Campo S, Campo V, Benagiano G, Review article infertility and adenomiosis, Hindawi
Publishing Corporation Obstetrics and Gynaecology International, 2012
11. Devlieger D, D'Hooghe T, Timmerman D, Uterine adenomyosis in the infertility clinic, Human
Reproduction Update, 2003; 9(2): 139-147
12. Tsui KH, Lee WL, Chen CY, Sheu BC, Yen MS, Chang TC, Wang PH, Medical treatment for
adenomiosis and/or adenomyoma, Taiwanese Journals of Obstetrics & Gynaecology, 2014; 53:
459 – 465
13. Magon N, Gonadotropin releasing hormone agonist : expanding vistas, Indian Journal of
Endocrinology and Metabolism, 2011; 15(4): 261-7
14. Grimbizis GF, Mikos T, Tarlatzis B, Uterus-sparing operative treatment for adenomiosis,
Fertility and Sterility, 2013
15. Osada H, Silber S, Kakinuma T, Nagaishi M, Kato K, Kato O, Surgical procedure to conserve
the uterus for future pregnancy in patients suffering from massive adenomyosis, Reproductive
BioMedicine Online , 2011; 22: 94– 99
16. Wood C, Surgical and medical treatment of adenomiosis, Human Reproductive Update,
1998;4(4): 323-336
58

Anda mungkin juga menyukai