Kolitis Iskemik
Kolitis Iskemik
PENDAHULUAN
Kolitis merupakan suatu peradangan akut atau kronik yang terjadi pada kolon.
Dapat diketahui bshwa, kolon memiliki berbagai fungsi, dimana yang terpenting
adalah absorbsi air dan elektrolit.
A. Kolitis Ulseratif
Penyebab pasti penyakit ini belum diketahui, akan tetapi penyakit ini
merupakan penyakit multifaktorial dan polygenic. Faktor keturunan (genetik), faktor
lingkungan dan respon sistem kekebalan tubuh yang terlalu aktif di usus, diduga
berperan dalam terjadinya kolitis ulseratif. Faktor infeksi dan psikologis sampai saat
ini masih dalam tahap penelitian.
Respon sistem kekebalan tubuh yang terlalu aktif di usus
Para ilmuwan yakin salah satu penyebab colitis ulseratif ialah reaksi sistem
tersebut melindungi tubuh dari infeksi dengan cara mengidentifikasi dan
Para peneliti percaya bahwa bakteri atau virus pada usus khususnya dapat
memicu sistem kekebalan tubuh untuk menyerang lapisan dalam dari usus
besar (kolon). Apabila, sistem kekebalan yang terjadi sangat aktif atau
bahkan terlalu aktif maka akan terjadi peradangan pada usus tersebut
(National Digestive Diseases Information Clearinghouse, 2014).
Reaksi sistem kekebalan tubuh yang abnormal ini terjadi pada orang
yang telah mewarisi gen yang membuat mereka rentan
untuk IBD (Chron’s & Colitis Foundation of America. 2014).
Genetik
Kolitis ulseratif diduga didapat dari keluarga yang juga menderitanya. Studi
penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa gen abnormal
tertentu dapat ditemukan pada penderita kolitis ulseratif. Akan tetapi,
peneliti belum dapat menunjukkan atau menjelaskan hubungan pasti
antara gen yang abnormal dengan kolitis ulseratif. Penyakit ini lebih sering
dijumpai pada orang kulit putih daripada orang kulit hitam, oleh karena itu hal
ini yang dapat juga genetik berperan terhadap perkembangan penyakit ini.
Faktor lingkungan
Ada hubungan terbalik antara operasi apendiktomi dan penyakit colitis ulseratif
berdasarkan analisis bahwa insiden penyakit colitis ulseratif menurun secara
signifikan pada pasien yang menjalani operasi apendiktomi pada decade ke-3.
Beberapa penelitian sekarang menunjukkan penurunan risiko penyakit colitis
ulseratif di antara perokok dibandingkan dengan yang bukan perokok.
Disamping itu, mengonsumsi obat obat anti-inflamasi, antibiotik, dan obat
kontraseosi oral dapat meningkatkan terjadinya kolitis ulseratif. Diet tinggi
lemak juga diduga dapat sedikit menyebabkan colitis ulseratif (National
Digestive Diseases Information Clearinghouse, 2014).
Manifestasi klinis dari colitis ulseratif, ditinjau dari lapisan usus yang meradang
dan mengalami ulserasi, maka usus akan kehilangan kemampuannya untuk
memproses makanan ataupun menyerap air, sehingga akan menyebabkan diare dan
pada akhirnya akan didapatkan penurunan berat badan pada kasus berat. Kebanyakan
pada pasien colitis ulseratif maupun penyakit Corhn’s, akan mengalami urgensi dan
nyeri pada abdomen. Peradangan yang terjadi dapat menimbulkan luka kecil pada
usus dan rektum. Hal ini dapat terjadi bersamaan dan menjadi bisul yang bersar serta
berdarah, sehingga feses yang dihasilkan akan disertai dengan darah, tetapi dapat pula
disertai dengan lendir maupun pus pada feses. Kehilangan darah tersebut akan
berdampak pada terjadinya anemia. Dimana, gejala utama colitis ulseratif adalah diare
berdarah dan nyeri abdomen, seringkali dengan demam dan penurunan berat badan
pada kasus berat (Chron’s & Colitis Foundation of America. 2014). Disamping
adanya anemia, diare, dan penurunan nafsu makan, gejala lain yang dapat ditemukan
pada penyakit ini adalah adanya rasa mual dan pasien akan mudah merasa lelah yang
dapat disebabkan oleh anemia (National Digestive Diseases Information
Clearinghouse, 2014)
Derajat klinik colitis ulseratif dapat dibagi atas berat, sedang dan ringan,
berdasarkan frekuensi diare, ada/tidaknya demam, derajat beratnya anemia yang
terjadi. Perjalanan penyakit colitis ulseratif dapat dimulai dengan serangan pertama
yang berat ataupun dimulai ringan yang bertambah berat secara gradual setiap
minggu. Berat ringannya serangan pertama sesuai dengan panjangnya kolon yang
terlibat. Pada colitis ulseratif, terdapat reksi radang yang secara primer mengenai
mukosa kolon. Secara makroskopik,, kolon tampak berulserasi, hiperemik, dan
biasanya hemoragik. Gambaran mencolok dari radang adalah bahwa sifatnya seragam
dan kontinu dengan tidak ada daerah tersisa mukosa yang normal. Perjalanan klinis
colitis ulseratif bervariasi. Mayoritas pasien akan mendertia relaps dalam waktu 1
tahun dari serangan pertama, mencerminkan sifat rekuren dari penyakit. Namun
demikian, bisa terdapat periode remisi yang berkepanjangan hanya dengan gejala
minimal. Didapatkan sekitar 48% pasien colitis ulseratif mengalami remisi, 30%
dengan manifestasi ringan, 20% mederate, dan 1-2% berat (Chron’s & Colitis
Foundation of America. 2014).
Temuan fisik pada colitis ulseratif biasanya nonspesifik, bisa terdapat distensi
abdomen atau nyeri sepanjang perjalanan kolon. Pada kasus ringan, pemeriksaan fisik
umum akan normal. Demam, takikardia dan hipotensi postural biasanya berhubungan
dengan penyakit yang lebih berat.
Pemeriksaan Radiologi
1. Foto polos abdomen
Pada foto polos abdomen, cenderung terfokus pada kolon. Gambaran kolon
sendiri terlihat memendek dan struktur haustra menghilang. Sisa feses pada daerah
inflamasi tidak ada, sehingga, apabila seluruh kolon terkena maka materi feses tidak
akan terlihat di dalam abdomen yang disebut dengan empty abdomen. Kadangkala
usus dapat mengalami dilatasi yang berat (toxic megacolon) yang sering
menyebabkan kematian apabila tidak dilakukan tindakan emergensi. Apabila terjadi
perforasi usus maka dengan foto polos dapat dideteksi adanya pneumoperitoneum,
terutama pada foto abdomen posisi tegak atau left lateral decubitus (LLD) maupun
pada foto toraks tegak.
Terdapat kelainan lain yang sering menyertai penyakit ini, seperti batu ginjal,
sakroilitis, spondilitis ankilosing dan nekrosis avaskular kaput femur. Foto polos
abdomen merupakan pemeriksaan awal untuk melakukan pemeriksaan barium enema.
Jika didapatkan tanda-tanda perforasi pada pemeriksaan foto polos abdomen, maka
pemeriksaan barium enema tidak boleh dilakukan (kontra indikasi).
2. Barium enema
Barium enema merupakan pemeriksaan rutin jika didapatkan kelainan pada
kolon. Sebelumnya, persiapan saluran cerna sangat penting dilakukan, persiapan
tersebut adalah mengonsumsi makanan rendah serat atau rendah residu, ditambah
banyak minum air putih. Persiapan ini dilakukan selama 2 hari berturut-turut. Apabila
diperlukan maka dapat diberikan laksatif peroral.
Setelah persiapan saluran cerna telah dilakukan, barulah kita dapat melakukan
pemeriksaan barium enema. Pemeriksaan ini dilakukan dengan teknik kontras
tunggal (single contrast) maupun dengan kontras ganda (double contrast) yaitu
barium sulfat dan udara. Teknik double contrast cukup sulit, tetapi sangat baik untuk
menilai mukosa kolon dibandingkan dengan teknik single. Barium enema juga
merupakan kelengkapan pemeriksaan endoskopi atas dugaan pasien dengan colitis
ulseratif.
Gambaran yang didapat pada kasus dengan kolitis ulseratif adalah mukosa
kolon yang granuler dan hilangnya kontur haustra, serta kolon tampak menjadi kaku
seperti tabung. Perubahan mukosa terjadi secara difus dan simetris pada seluruh
kolon. Lumen kolon menjadi lebih sempit akibat spasme. Dapat ditemukan
keterlibatan seluruh kolon. Jika ditemukan lesi yang segmental, maka rektum dan
kolon kiri (desendens) selalu terlibat, karena awalnya colitis ulseratif ini mulai terjadi
di rectum dan menyebar ke arah proksimal secara kontinyu. Sehingga, rektum akan
selalu terlibat, walaupun rectum dapat mengalami inflamasi lebih ringan pada bagian
proksimalnya.
Pada colitis ulseratif kronis, perubahan terjadi pada mukosa ileum terminal yang
menjadi dilatasai dan granuler difus, sekum berbentuk kerucut (cone-shaped caecum)
dan katup ileosekal terbuka sehingga terjadi refluks, yang disebut backwash ileitis.
Pada kasus kronis, terbentuk ulkus yang khas yaitu collar-button ulcers. Pasien
dengan colitis ulseratif juga memiliki potensi menjadi adenokarsinoma kolon.
3. Ultrasonografi
Sebenarnya, pemeriksaan USG untuk kasis IBD sampai saat ini belum
merupakan modalitas pemeriksaan. Terkecuali, merupakan pemeriksaan alternatif
untuk evaluasi keadaan intralumen dan ekstralumen.
Sebelum dilakukan pemeriksaan USG pasien diminta untuk makan makanan
rendah residu dan banyak minum air putih. Persiapan dilakukan selama 24 jam
sebelum pemeriksaan. Sesaat sebelum pemeriksaan sebaiknya kolon diisi dulu dengan
air.
Pada pemeriksaan USG, hasil yang didapatkan ialah penebalan dinding usus
yang simetris dengan kandungan lumen kolon yang berkurang. Mukosa kolon yang
terlibat tampak menebal dan berstruktur hipoekhoik akibat dari edema. Usus menjadi
kaku, berkurangnya gerakan peristalsis dan hilangnya haustra kolon. Dapat ditemukan
target sign atau pseudo-kidney sign pada potongn transversal atau cross-sectional.
Dengan USG Doppler, pada colitis ulseratif selain dapat dievaluasi penebalan dinding
usus dapat pula dilihat adanya hypervascular pada dinding usus tersebut.
4. CT-Scan dan MRI
Kelebihan CT-Scan dengan MRI adalah mampu untuk mengevaluasi keadaan
intralumen dan ekstralumen secara langsung, serta mengevaluasi sampai sejauh mana
komlikasi ekstralumen kolon yang telah terjadi. Sedangkan kelebihan MRI dengan
CT-Scan adalah mengevaluasi jaringan lunak karena terdapat perbedaan intensitas
(kontras) yang cukup tinggi antara jaringan lunak satu dengan yang lain.
Gambaran CT Scan ialah terlihat dinding usus menebal secara simetris dan
kalau terpotong secara cross-sectional maka terlihat gambaran target sign.
Komplikasi di luar usus dapat terdeteksi dengan baik, seperti adanya abses atau fistula
atau keadaan abnormalitas yang melibatkan mesenterium. MRI dapat dengan jelas
memperlihatkan fistula dan sinus tract-nya.
Pemeriksaan Endoskopi
Pada colitis ulseratif, ditemukan hilangnya vaskularitas mukosa, eritema difus,
kerapuhan mukosa, dan seringkali eksudat dengan mukus, darah maupun nanah.
Kerapuhan mukosa merupakan karakteristik penyakit ini. Ulserasi landai, bisa kecil
atau konfluen namun selalu terjadi pada segmen dengan colitis aktif. Pemeriksaan
kolonoskopik penuh dari kolon pada colitis ulseratif tidak diindikasikan pada pasien
akut. Biopsi rectal bisa memastikan adanya radang pada mukosa. Pada penyakit yang
lebih kronik, didapatkan mukosa granuler dan bisa terdapat pseudopolip.
Pemeriksaan Histopatologi
Kriteria histopatologik adalah perubahan pada mukosa, epitel dan lamina
propria. Pada kolon normal, permukaan datar, kripta tegak, sejajar, bentuknya sama,
jarak antar kripta sama, dan dasar dekat muskularis mukosa. Sel-sel inflamasi,
predominan terletak di bagian atas lamina propria.
Perlu diperhatikan perubahan epitel seperti berkurangnya musin dan metaplasia
sel Paneth serta permukaan viliform. Perubahan lamina propria meliputi penambahan
dan perubahan distribusi sel radang. Granuloma dan sel-sel berinti banyak biasanya
ditemukan.
Gambaran mikroskopik berhubungan dengan stadium penyakit (akut,
resolving atau kronik/menyembuh). Gambaran khas untuk colitis ulseratif adalah
adanya abses kripti, distorsi kripti, infiltrasi sel mononuclear dan polimorfonuklear di
lamina propria. Tsang dan Rotterdam (1999), membagi gambaran histologik penyakit
colitis ulseratif menjadi kriteria mayor dan minor. Sekurang-kurangnya dua kriteria
mayor harus dipenuhi untuk diagnosis colitis ulseratif.
Kriteria mayor colitis ulseratif :
Infiltrasi sel radang yang difus pada mukosa
Basal plasmositosis
Netrofil pada seluruh ketebalan mukosa
Abses kripta
Kriptitis
Distorsi kripta
Permukaan viliformis
Kriteria minor colitis ulseratif :
Jumlah sel goblet berkurang
Metaplasia sel Paneth
Pemeriksaan laboratorium juga perlu dilakukan sebelum melakukan
pemeriksaan penunjang diatas. Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk membantu
menegakkan diagnosa colitis ulseratif. Pemeriksaan ini meliputi pemeriksaan darah
untuk melihat kadar hari Hb pasien yang nantinya akan mengarah ke kondisi pasien
apakah anemia atau tidak. Disamping itu juga melihat adanya peradangan atau
infeksi, melihat kadar dari albumin apakah rendah atau tidak, lalu melihat apakah
terdapat protein dalam darah. Jika ditemukan adanya proteim, biasanya hal tersebut
menunjukkan kondisi kolisitis yang parah/berat. Selain pemeriksaan darah,
pemeriksaan tinja dengan memeriksa sample tinja pasien. pemeriksaan ini dilakukan
untuk menyingkirkan penyakit-penyakit gastrointestinal yang disebabkan oleh infeksi
(National Digestive Diseases Information Clearinghouse, 2014).
Penatalaksanaan colitis ulseratif; meninjau dari etiopatogenesis IBD dan colitis
ulseratif yang masuk didalamnya belumnya, sehingga tidak didapatkan regimen
standard untuk menatalaksanai penderita IBD. Penambahan zat besi bisa
menyembuhkan anemia yang disebabkan oleh hilangnya darah dalam tinja. Faktor
untuk menentukan pengobatan yang akan diberikan, yaitu: 1) keparahan penyakit, 2)
letak anatomi penyakit, 3) respon terhadap pengobatan sebelumnya, 4) efek samping
obat, 5) komorbiditas (penyakit lain yang menyertainya).
Pengobatan dari penyakit ini lebih ditekankan pada penghambatan kaskade
proses inflamasi. Oleh karena terdapat dugaan bahwa adanya agen proinflamasi yang
mencetuskan proses inflamasi kronik pada individu yang rentan terinfeksi maka
dilakukan oemberian antibiotik untuk mengeliminasi agen tersebut serta
mengistirahatkan kerja usus. Obat lini pertama mengandung komponen 5-acetil
salicylic acid (5-ASA) dan obat kortikosteroid (baik sistemik maupun topikal). Bila
gagal, maka diberikan obat lini kedua yang pada umumnya bersifat imunosupresif
(seperti 6-merkaptopurin, azatriopin, siklosporin dan metotreksat), anti-TNF
(infliximab). Pada kasus tertentu atau terjadi komplikasi perforasi, perdarahan masif,
ileus karena stenosis, megatoksik kolon, maka diperlukan intervensi surgical. Terdapat
lima kategori golongan obat yang dapat digunakan untuk menatalaksanai IBD :
1. Aminosalisilat
Merupakan senyawa anti-inflamasi yang mengandung 5-ASA, contohnya
adalah sulfasalazine, balsalazide, mesalamine, dan olsalazine. Obat-obat ini
diberikan secara rektal atau rektal, bekerja untuk mengurangi peradangan
yang terjadi pada usus. Obat-obat ini terutama digunakan untuk mengobati
colitis ulseratif dengan mengurangi gejala dan mempertahankan remisi.
Sulfasalazine mempunyai efek anti-inflamasi, bekerja dengan mempertahankan
remisi dan untuk menginduksi remisi pada serangan ringan, serta mengobati
colitis ulseratif ringan-sedang. Bekerja secara lokal pada kolon untuk
menurunkan respon inflamasi dan secara sistemik menghambat sintesis
prostaglandin (Chron’s & Colitis Foundation of America. 2014). Efek samping
dari obat ini adalah nyeri perut, diare, sakit kepala, dan mual (National
Digestive Diseases Information Clearinghouse. 2014).
2. Kortikosteroid
Preparat dari golongan obat ini yang dapat digunakan ialah prednisone,
prednisolon, dan budesonide. Obat-obat ini mengurangi aktivitas sistem imun
yang berlebihan di usus dan mengurangi peradangan yang terjadi. Efektif
penggunaan jangka pendek, dan kurang efektif untuk penggunaan jangka
panjang karena dapat menimbulkan efek samping (infeksi, katarak, kerapuhan
kulit, keropos pada tulang, gangguan tidur, dan perubahan suasana hati)
(Chron’s & Colitis Foundation of America, 2014). Dokter meresepkan
kortikosteroid pada penderita dengan gejala yang lebih berat dan dengan orang
yang tidak berespon dengan aminosalisilat (National Digestive Diseases
Information Clearinghouse, 2014)
3. Immunomodulator
Golongan obat ini memodifikasi aktivitas sistem kekebalan tubbuh shingga
tidak dapat menyebabkan peradangan yang berkelanjutan. Contoh preparatnya
adalah azathioprone, 6-merkaptopurin (6-MP), dan methotrexate. Obat-obat ini
biasanya digunakan untuk mempertahankan remisi pada pasien yang tidak
berespon dengan obat lain atau hanya merespon steroid.
4. Antibiotik
Temuan klinis pada colitis ulseratif yang berat berhubungan dengan nekrosis
luas pada mukosa kolon dan perforasi dengan sepsis. Antibiotik intravena
diberikan pada pasien yang diduga atau berpotensi terjadi sepsis. Namun, tidak
ada bukti ilmiah yang dapat mendukung penggunaan antibiotik dalam
pengobatan colitis ulseratif.
5. Terapi Biologis
Terapi ini merupakan pengobatan baru untuk kasus IBD. Terapi biologis ini
diindikasikan pada pasien dengan gejala sedang sampai berat/aktif, serta pada
pasien yang tidak berespon dengan pengobatan lain. Terapi ini termasuk
adalimumab, golimumab, infliximab, dan vedolizumab, yang menargetkan
protein yang dibuat oleh sistem kekebalan tubuh yang dikenal dengan tumor
necrosis factor (TNF). Obat-obat ini mengurangi peradangan pada kolon
dengan cara menetralisir TNF. Terapi anti-TNF ini bekerja dengan cepat dan
mempertahankan remisi. Infliximab dan vedolizumab diberikan secara IV,
sedangkan adalimumab dan golimumab diberikan secara injeksi (Chron’s &
Colitis Foundation of America, 2014). Efek samping dari terapi ini adalah
resiko terkena infeksi seperti tuberkulosis atau infeksi jamur lebih tinggi,
kanker kulit, dan psoriasis (National Digestive Diseases Information
Clearinghouse, 2014).
Komplikasi yang dapat terjadi 30 hari paska pembedahan, antara lain sekitar
12% mengalami abses, 8% sepsis, dan 4% fistula (Kornbluth A., et al. 2010).
Dalam perjalanan penyakit ini, dapat terjadi komplikasi : (National Digestive
Diseases Information Clearinghouse, 2014).
- Perforasi usus yang terlibat
- Stenosis usus akibat proses fibrosis
- Dehidrasi dan malabsorpsi oleh karena usus tidak mampu menyerap cairan dan
nutrisi karena diare dan peradangan yang terjadi, sehingga pada beberapa orang
memerlukan cairan IV untuk menggantikan nutrisi dan cairan yang hilang.
B. Kolitis Iskemik
Kolitis iskemik adalah inflamasi kolon yang disebabkan oleh inadekuat suplai
darah ke kolon. Meskipun tidak umum, kolitis iskemik banyak terjadi pada usia muda.
Insiden pasti kolitis iskemik sulit ditentukan karena pasien dengan iskemia ringan
jarang mencari pengobatan medis.
Kolitis iskemik melibatkan suplai darah ke kolon tidak memadai. Pada kasus
akut, penyebab paling sering adalah bekuan darah dalam arteri yang memasok darah
ke usus. Sedangkan pada kasus kronis biasanya berhubungan dengan penumpukan
simpanan lemak (aterosklerosis) dalam pembuluh darah yang menuju ke usus. Pada
beberapa orang, kolitis iskemik dapat disebabkan oleh atau berhubungan dengan
kondisi medis lainnya, termasuk:
Manifestasi dari colitis iskemik adakah nyeri pada abdomen yang biasanya
terlokalisasi ke sisi kiri bawah perut dan dapat secara bertahap, perdarahan saluran
cerna bawah, diare, demam lebih tinggi dari 38oC. Resiko komplikasi berat dari colitis
iskemik meningkat ketika peradangan mengenai sisi kanan usus sehingga bagian dari
usus halis juga tidak menerima suplai darah yang cukup. Nyeri yang dirasakan pasien
cenderung lebih parah. Dimana, terhambatnya aliran darah ke usus halus cepat
mengakibatkan kematian pada jaringan usus (infark atau nekrosis). Akibatnya, dapat
mengancam jiwa pasien sehingga pembedahan sangat diperlukan untuk
membersihkan sumbatan serta menghilangkan bagian dari usus yang telah hancur.
Diagnosis dini serta penatalaksanaan yang cepat dan tepat dapat mencegah terjadinya
komplikasi yang berta. Secara umum, fase kolitis iskemik progresif dibagi 3, yaitu:
1. Fase hiperaktif, ditandai dengan nyeri perut dan BAB berdarah
2. Fase paralitik, terjadi jika iskemia berlanjut. Pada fase ini neri perut
meluas dan lebih nyeri jika disentuh, motilitas usus berkurang,
kembung, bunyi bising usus berkurang sampai tidak ada.
3. Fase syok, akibat perforasi kolon.
Untuk mendiagnosis penyakit ini sama seperti penyakit lainnya, yaitu dimulai
dari anamnesis dengan cermat, pemeriksaan fisik, pemeriksaan lanjutan. Hasil
laboratorium menunjukkan leukositosis (>15.000/mm3) dan penurunan kadar
bikarbonat <24 mmol/L. Endoskopi berupa kolonoskopi atau fleksibel sigmiodoskopi
merupakan prosedur pilihan jika diagnosis masih belum jelas. Biopsi melalui
endoskopi bermanfaat menyediakan lebih banyak informasi. Visible light
spectroscopic catheter ditempatkan di usus menggunakan endoskopi, berguna untuk
menganalisis kadar oksigen. Spesifitas alat ini adalah 90% atau lebih untuk iskemia
kolon akut dan 83% untuk iskemia mesenterika kronik.
BAB III
PENUTUP
Kolitis dapat diklasifikasikan menjadi kolitis infeksi dan non infeksi. Kolitis
infektif terdiri dari kolitis amebik, shigelosis, kolitis tuberkulosa, kolitis
pseudomembran dan kolitis oleh parasit serta bakteri lain seperti E. coli. Kolitis
noninfektif antara lain berupa kolitis ulseratif, penyakit Crohn, kolitis radiasi, kolitis
iskemik, kolitis mikroskopik, maupun kolitis nonspesifik. Pemeriksaan endoskopi
dapat membantu dalam menegakkan diagnosis masing-masing kolitis.
Pada kasus ini, evaluasi terhadap kondisi pasien kolitis perlu dilakukan
dengan rutin guna untuk mencegah komplikasi-komplikasi yang serius.
Disamping itu pula, masih perlu dilakukan penelitian epidemiologi mengenai
insidensi dari berbagai macam kolitis khususnya di Indonesia untuk menemukan
etiologi dan patofisiologi yang pasti, sehingga penatalaksanaan terhadap pasien
kolitis pun menjadi pasti.
DAFTAR PUSTAKA
Bamias G., Myce M.R., Sarah A., et al. 2005. New Concepts in the Pathophysiology
of Inflammatory Bowel Disease. Vol. 143. No. 12. American College of
Physicians Internal Medicine
Chron’s & Colitis Foundation of America. 2014. The Facts About Inflammatory
Bowel Disease. New York
Colitis UK. 2011. The Effects of Diet on Ulcerative Colitis. Available at:
http://www.ulcerativecolitis.org.uk/dietarychanges.htm. Diakses tanggal 17
April 2012. Jam 22.00 WIB.
Dignass A., Eliakim R., Magro F., et al. 2012. Second European Evidenced-Based
Consensus on the Diagnosis and Management of Ulverative Colitis:
Definitions and Diagnosis. No of pages 26. Journal of Crohn’s and Colitis:
Departement of Medicine
Kornbluth A., Sachar D.B., et al. 2010. Ulcerative Colitis Practice Guidelines in
Adults: American College of Gastroenterology, Practice Parameters
Committe. Vol. 105. The American Journal of Gastroenterology
Koutroubakis I.E., editors. 2008. Ischemic colitis: Clinical practice in diagnosis and
treatment. Vol. 14. Np. 48. World Journal of Gastroenterology
PENUGASAN JURNAL
“Colitis”
OLEH :