Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masa atau fase dewasa adalah fase yang didapatkan oleh setiap individu ketika
ia telah melewati fase remaja. Dewasa dalam berbagai sumber didapatkan bahwa
dimulai dari umur 20-60 tahun ke atas. Dengan tiga pembagian fase, yakni fase
dewasa awal (20-40 tahun), fase dewasa tengah (40-60 tahun) dan fase dewasa
akhir (60 tahun ke atas). Masing-masing fase memiliki karakteristik dan tugas
perkembangan yang berbeda, dan terjadi perubahan yang drastic apabila
dibandingkan dengan beberapa fase sebelumnya, yakni anak-anak dan remaja.
Perkembangan kognitif, fisik, emosi, sosial, dan lain-lain mempengaruhi
kepribadian dari masing-masing individu ditambah berbagai tantangan yang lebih
kompleks untuk dihadapi mengikuti tugas perkembangannya. Salah satu yang
paling krusial untuk dibicarakan adalah terkait dengan penyesuaian emosi dan
sosial pada fase dewasa. Atas berbagai solusi yang ditawarkan dalam penyesuaian
emosi dan sosial individu pada fasenya diharapkan berkurangnya tingkat
kriminalitas ataupun perceraian yang biasa tejadi. Data dari Dirjen Badan
Peradilan Agama, Mahkamah Agung pada periode 2014-2016 perceraian di
Indonesia trennya meningkat dari 344.237 di tahun 2014 naik menjadi 365.633
perceraian di tahun 2016. Rata-rata perceraian naik 3 persen per tahunnya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan emosi?
2. Bagaimana perkembangan emosi pada fase dewasa?
3. Apa yang dimaksud dengan sosial?
4. Bagaimana peneyesuaian emosi dan sosial pada fase dewasa?

C. Tujuan Makalah
1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan emosi
2. Mengetahui perkembangan emosi pada fase dewasa
3. Mengetahui apa yang dimaksud dengan sosial
4. Mengetahui bagaimana penyesuaian emosi dan sosial pada fase dewasa

1
D. Manfaat Makalah
Agar pembaca dapat mengetahui apa yang dimaksud penyesuaian emosi dan
sosial pada fase dewasa sehingga dapat dijadikan tolak ukur dalam bertindak dan
melakukan tugas perkembangan dengan baik.

BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN EMOSI
Emosi adalah suatu keadaan berupa perasaan atau pikiran yang ditandai
dengan perubahan biologis yang dapat dilihat dari perilaku tertentu pada individu

2
(Makmun, 2013). Emosi adalah suatu suasana kompleks yang disertai dengan
getaran jiwa yang muncul sebelum/sesudah terjadinya perilaku pada individu
(Achmad & Mubiar, 2011).
Kata emosi ini tentunya sangat familiar dibenak kita, bahkan hampir setiap
hari kita mengucapkan atau mendengarkan kata tersebut. Emosi secara bahasa
berarti luapan perasaan yang berkembang dan surut dalam waktu yang singkat.
Emosi pada umumnya berlangsung dalam waktu yang relatife singkat. Emosi
pada umunya berlangsung dalam waktu yang relatife singkat yang menjadikan
emosi berbeda dengan mood. Emosi juga dapat berarti keadaan dan reaksi
psikologis serta fisiologis seperti kegembiraan, kesedihan, keharuan, kecintaan,
dan termasuk kemarahan.
Emosi adalah reaksi yang ditunjukkan dalam jangka masa yang pendek hasil
daripada interaksi individu terhadap rangsangan yang tertentu (Seung Lee Do dan
Schallert, 2004). Secara umum dapat dikatakan bahwa emosi memainkan peranan
yang aktif dalam mempengaruhi tingkah laku dan tindakan individu. Dalam
mendefinisi emosi, Ediger (1997) menekankan bahawa emosi merupakan aspek
yang penting dalam kesejahteraan individu dan kejayaan mereka dalam
kehidupan.
Makna emosi banyak dikaji oleh para psikolog dan banyak mendapatkan
tempat dari pengkajian mereka, karena dianggap sebagai kajian yang penting dan
menarik dalam kehidupan manusia ini. Menurut Crow & Crow dalam Sunarto &
Hartono (2002: 149) memberikan pengertian emosi sebagai pengalaman afektif
yang disertai penyesuaian diri dalam diri individu tentang keadaan mental dan
fisik, dan berwujud suatu tingkah laku yang tampak.
Damasio (1999) seperti yang dikutip oleh Kosslyn & Rosenberg (2003:240)
berpendapat bahwa emosi adalah reaksi positif ataupun negatif terhadap objek
peristiwa, atau situasi-situasi yang diterima atau dirasakan individu. Emosi juga
disertai dengan perasaan subjektif Dikatakan mempunyai dinamika jika muncul
emosi-emosi dalam diri seseorang yang senantiasa berubah ubah, dimana antara
komponen-komponen emosi saling berkaitan satu sama lain. Jadi, pada suatu saat
komponen yang satu dapat menjadi akibat dari suatu peristiwa sebelumnya dan

3
dapat juga menjadi stimulus yang memulai suatu kejadian selanjutnya. Sementara
itu Aliah B. Purwakania membagi emosi menjadi dua macam yaitu :

1. Emosi Primer merupakan emosi dasar manusia yang dianggap terberi secara
biologis. Jadi, emosi ini telah terbentuk sejak awal kelahiran manusia. Emosi
primer tersebut, seperti gembira, sedih, marah, dan takut.
2. Emosi Sekunder merupakan emosi-emosi yang mengandung kesadaran diri
atau evaluasi diri sehingga pertumbuhannya tergantung pada perkembangan
kognitif atau intelektual seseorang. Berbagai emosi sekunder, seperti malu, iri
hati, dengki, sombong, angkuh, kagum, cinta, benci, sesal, mandiri, toleran,
impati, patuh, simpati.

B. PERKEMBANGAN EMOSI

1. Perkembangan Emosi Pada Tahap Dewasa Awal

Pada tahap awal dewasa, terjadi ketegangan emosional yang disebabkan


oleh penyesuaian dari masa remaja menjadi masa dewasa. Kemudian, pada
petengahan usia 30-an tahun, orang dewasa muda sudah dapat menyesuaikan diri
dan memecahkan masalahnya sehingga dapat menjadi stabil dan tenang secara
emosional. Jika ketegangan emosi tidak berkurang hingga pada usia 30 tahun,
maka terjadi keresahan pada penyesuaian diri dewasa muda yang salah satunya
dapat berupa pekerjaan, perkawinan atau peran baru sebagai orang tua.
Santrock (2012) berpendapat bahwa hanya terdapat sedikit perbedaan
suasana hati antara orang dewasa awal dengan remaja. berdasarkan penelitian,
diketahui bahwa individu yang pada saat berusia 3 tahun kemudian memiliki atau
menampakkan control emosi yang baik serta terlihat tabah, maka bisa diprediksi
bahwa kelak individu tersebut akan menjadi orang yang dapat mengontrol emosi
saat stress.
2. Perkembangan Emosi Pada Tahap Dewasa Madya

Orang yang berada pada tahap dewasa madya cenderung mengalami


perasaan cemas, dan tegang. Peningkatan kecemasan dan ketegangan ini

4
diwujudkan dalam berbagai cara, salah satunya adalah kecenderungan untuk lebih
menuntut anggota keluarga sehingga menimbulkan konflik.
Hurlock (1980) mengungkapkan bahwa tingkat kecemasan usia madya
lebih tinggi dibanding tingkat kecemasan pada tahap perkembangan sebelumnya.
Kecemasan terbesaQr terjadi pada sekitar usia 40 tahun dimana pada saat tersebut,
terjadi perubahan besar dalam kehidupan orang dewasa, seperti perubahan pola
hidup, perubahan peran dan konsep diri, serta perubahan fisik yang drastis. Meski
pada usia ini orang dewasa mengalami kecemasan yang besar derta ketegangan,
orang yang berada pada tahap ini cenderung dapat menyikapi ketegangan dan
kecemasan tersebut dengan tepat.
Pada usia 50-an tahun, orang dewasa sudah dapat menyesuaikan diri
dengan perubahan yang terjadi, seperti peran, keinginan, dan kegiatan yang telah
disesuaikan dengan kondisi fisik dan mental orang orang dewasa madya. Selain
menurunnya kecemasan pada usia tersebut, individu juga dapat menjadi lebih
lembut dan bahagia.

3. Perkembangan Emosi Pada Tahap Dewasa Akhir

Emosi dari tahap perkembangan dewasa awal menuju tahap perkembangan


dewasa akhir cenderung mengalami perubahan. Berdasarkan penelitian, yang
melibatkan 2.727 orang di Amerika dari usia 25 hingga 74 tahun,terbukti bahwa
orang dari usia dewasa lanjut lebih banyak mengalami emosi positif dan lebih
sedikit mengalami emosi negative dibanding dengan orang yang berusia lebih
muda. Penelitian yang dilakukan dengan survei frekuensi emosi positif dan
negative ini juga membuktikan bahwa semakin tua usia seseorang, maka orang
tersebut akan cenderung mengalami peningkatan emosi positif yang semakin
bertambah cepat.
Peneliti juga menyatakan bahwa semakin tua usia seseorang maka orang
tersebut cenderung memiliki control yang lebih baik terhadap emosi negatif yang
dimiliki, serta memiliki kecenderungan emosi negative yang lebih sedikit
dibanding usia yang lebih muda. Jadi, emosi positif akan mengalami peningkatan

5
sejak saat dewasa mengengah hingga dewasa akhir. Sebaliknya, emosi negatif
akan semakin mengalami penurunan seiring bertambahny usia. (Santrock, 2012)
Sehubungan dengan kesehatan emosional pada masa dewasa, Papalia
(2008) mengatakan bahwa berdasarkan studi perspektif 50 tahun kehidupan,
factor yang dapat mempengaruhi kesehatan emosional pada usia dewasa adalah
penggunaan adaptive defense yang matang dalam menghadapi berbaggai masalah.
Terkait pertahanan adaptif, model yang digunakan adalah model penilaian
kognitif, yaitu strategi penganan masalah secara sadar berdasarkan cara
menganalisis dan menilai sesuatu. Terdapat 2 strategi coping dalam model
penilaian kognitif, yaitu:
a. Model coping yang berfokus pada masalah, ketika mengalami
masalah, orang akan cenderung mengatur atau memperbaiki kondisi
yang menekan atau menimbulkan masalah.
b. Model coping yang berfokus pada emosi, yaitu model coping dimana
individu akan melakukan usaha untuk merasa lebih baik, atau dapat
mengolah emosi yang dialami agar dapat meringankan stress akibat
suatu masalah tertentu. Pada umumnya, lansia lebih banyak melakukan
model coping yang berfokus pada emosi dibandingkan saat masih
muda.

Pada dasarnya, orang yang berada pada tahap dewasa akhir melakukan
pengimbangan kekuatan emosional dengan memperbaiki pengoptimalan perasaan,
yaitu kemampuan meningkatkan emosi positif dan meninggalkan emosi negatif.
Daya persepsi emosional orang dewasa lanjut membantu memisahkan penafsiran
dari objektif situatif, sehingga dewasa lanjut menggunakan strategi coping pada
emosi dalam menyelesaikan masalah atau mengurangi ketegangan.

C. PENGERTIAN SOSIAL

Hurlock (2011) mengatakan bahwa perkembangan social merupakan


perolehan kemampuan berprilaku yang sesuai dengan tuntutan social. Teori
Psikososial Erik Erikson yang disebut theory of Psychosocial development (Teori

6
perkembangan psikososial) yang membagi tahap-tahap perkembangan manusia
menjadi delapan tahap

1. Trust Vs Mistrust
Dalam pandangan Erikson, trust adalah suatu kesesuaian kebutuhan-
kebutuhan bayi dengan lingkungan atau dunia sekitarnya . Mistrust adalah
kesiapan atau kesiagaan terhadap beberapa kemungkinan buruk seperti
bahaya,ancaman dan sitausi tidak menyenangkan. Kesiapan ini tumbuh dari
proses belajar.
2. Autonomy Vs shame
Dalam tahap kedua ini yang berlangsung pada usia 2-3 tahun, Erikson
melihat bahwa pada sadarnya autonomy (Sifat-sifat positif) memerlukan
pengembangan rasa kepercayaanh diri. Masalah rasa Malu (Shame) karena anak
merasa tidak mampu menjadi diri mereka sendiri.
3. Initiative Vs Gulit
Dalam tahap ketiga ini yang berlangsung pada usia 3-5 tahun. Ketika anak
dibebaskan untuk melakukan sesuatu misalnya mengendarai sepeda tanpa
diperhatikan lebih maka anak akan berusaha mengembangkan inisiatifnya.
Sedangkan anak yang diberi kesempatan dengan disertai dengan cemoohan dan
ejekan maka dia menjadi merasa bersalah (guilt)
4. Industry Vs Inferiority.
Dalam tahap ke empat ini yang berlangsung pada usia 6-12 tahun, anak
mulai berpikir secara deduktif dan mulai tertarik dengan apa saja yang
menyenangkan dan memberinya kesibukan. Ketika orang tua mencemooh atau
mengejek dan melarang anak untuk menegmbangkan dan melakukan kegiatannya
dapat menyebabkan timbulnya sikap inferior atau rendah diri dalam diri anak.
5. Ego-identity vs. Role Confusion
Untuk masa bergolak, yakni masa remaja 12-18/20 tahun. Fase ini
sebenarnya adalah sumber utama Erikson sehingga dia tertaik untuk
mengembangkan teori perkembangan psikososialnya. Pada periode ini adalah hal
terpenting, yaitu puncak dari semua yang selama ini sduah kita lalui dan yang
akan kita gunakan untuk kehiupan setiap individu kedepannya yaitu menciptakan
identitas diri kita sendiri.

7
6. Intimacy vs. Isolation
Terjadi di antara usia 18/19-30 tahun. Di usia ini, kita bukan lagi anak-anak
atau remaja. Kita sudah di anggap dewasa dan kita dapat dituntut untuk
bertanggung jawab penuh atas segala keberhasilan atau kegagalan kita. Tugas
seseorang pada periode ini adalah mengenal dan mengizinkan diri kita untuk
mengenal orang lain secara lebih dekat, atau masuk ke hubungan yang serius
sedangkan kegagalan akan membuat kita terisolasi atau mengisolasi diri dari
keselilingan kita.
7. Generativitas vs. Stagnasi
Terjadi antara usia 20an-50an. Tugas kita pada tahap ini adalah
mengembangkan keseimbangan anatara generativitas dan stagnasi. Generativitas
adalah rasa peduli yang sudah lebih dewasa dan lebih luas daripada intimacy
karena rasa kasih sayang ini telah meng-generalixe ke kolom pokok lain, terutama
generasi selanjutnya. Bila dengan intimacy kita terlibat dalam hubungan di mana
kita mengharapkan suatu imbal balik dari partner kita, maka dengan generativitas
kita tidak mengharapkan balasan.
8. Intergrity vs. Despair
Terjadi di usia 60 tahun ke atas. Dimensi psikososial yang mencerminkan
tercapainya kematangan moral ditunjukkan dengan mulai munculnya konflik
antara intergrity di satu pihak dan despair di pihak lain. Seseorang dikatakan
sudah memuliki integritas apabila ia telah mampu menyikapi kehidupannya
sebagai suatu kenyataan yang sangat berguna dan bermanfaat. Sebaliknya ada
pula seseorang yang menganggap kehidupannya sebagai suatu hal yang sia-sia
dan tannpa harapan (despair).

D. PERKEMBANGAN SOSIAL MASA DEWASA

1. Dewasa Awal

Berdasarkan teori Erikson cenderung terjadi krisis keterpencilan baik


wanita maupun pria di masa ini sering merasa kesepian. Pria maupun wanita yang
belum menikah sering merasa kesepian dan tidak tahu apa yang harus dikerjakan
pada masa luang. Sementara, teman yang dimiliki saat remaja, sudah menikah
atau memiliki urusan lain sehingga tidak memiliki waktu untuk mengekspresikan

8
dirinya bersama dengan teman atau keluarganya. sedangkan, orang muda yang
sudah menikah juga merasa kesepian dan rindu pada teman saat remaja. Hal ini
disebabkan karena kesibukan dari orang yang telah menikah dan mengurus anak.
(Havighurst, dalam Hulock 1980) menjelaskan bahwa rasa kesepian yang dialami
masa dewasa diakiabtkan karena pada masa ini merupakan periode yang relative
kurang teroganisir dalam kehidupan yang menandai transisi dari lingkungan yang
terbagi menurut umur ke lingkungan yang terbagi menurut status sosial. Mereka
tidak lagi menikmat pergaulan dan kebersamaan mereka melainkan sibuk dalam
urusannya sendiri untuk mencapai kesuksesan.
Untuk peran serta dalam kegiatan sosial meningkat di luar rumah
menjelang usia setengah baya yaitu saat pertengahan sampai akhir usia 30-an.
Peran serta sosial individu dewasa yang belum menikah juga memiliki perbedaan
peran serta sosial individu yang sudah menikah.

2. Dewasa Tengah atau Madya

Pada fase dewasa madya terjadi masa sepi atau biasa disebut dengan
emptyness yang merupakan masa ketika anak sudah memiliki kesibukan tersendiri
dan tidak lagi tinggal bersama orangtua, Terlebih lagi, jika si orangtua atau
individu ini tidak memiliki kesibukan atau pekerjaan. Pada fase dewasa madya
bsia disebut dengan masa kejenuhan seperti pria dan wanita yang berada di usia
40-60an tahun. Pria biasanya jenuh terhadap kegiatan rutin sehari-hari yang
kurang memberikan hiburan. Sementara wanita jenuh dalam menghabiskan
waktunya untuk hanya memelihara rumah dan membesarkan anak.
Pada usia dewasa madya, individu yang merasa memiliki jiwa
kepemimpinan, cenderung akan merasa bahwa pada masa inilah mereka harus
melayani masyarakat. Selama usia madya, pria maupun wanita mempunyai alasan
berbeda untuk terjun dan bergabung dalam berbagai kegiatan di organisasi
masyarakat. Salah satu alasannya adalah, karena pada masa ini mereka cenderung
merasakan kesepian sehingga mencari kegiatan prososial.
Pada saat usia dewasa madya terjadi pola perubahan peran, yang harus
dilakukan oleh pasangan usia madya pada saat tanggungjawabnya sebagai

9
orangtua telah selesai. Pola hubungan yang seharusnya dilakukan oleh pasangan
usia madya adalah pola hubungan yang beriroentasi pada pasangan. Bukan
berorientasi pada keluarga, sebagaimana yang dilakukan pada saat usia muda.
Erikson menyatakan bahwa pada usia dewasa madya terjadi tahapn
Generativitas Vs. Stagnasi dimana generativitas adalah hasrat bagi orang dewasa
untuk meregenerasi keturunan atau apa yang dimilikinya. Sebaliknya, stagnasi
adalah keadaan saat individu tenggelam dalam diri sendiri dan merasa tidak
memiliki apapun untuk diberikan kepada generasi selanjutnya. Generativitas dapat
dikembangkan dalam berbagai cara, salah satunya yaitu generativitas biologis
yakni melalui pernikahan dan melahirkan keturunan. Sedangkan yang kedua
adalah melalui generativitas pengasuhan yang berkaitan dengan cara individu
mengasuh generasi selanjutnya.

3. Dewasa Lanjut

Seiring bertambahnya usia di masa dewasa, maka partisipasi sosial akan


semakin berkurang dan menyempit. Dewasa lanjut akan jarang hadir dalam
pertemuan kemasyarakatan dan terdapat kecenderungan kurang aktif dalam
pengelolaan organisasi. Hal ini diakibatkan karena faktor usia masa ini mengalami
penurunan kesehatan. Selain itu, terdapat stereotype yang mengatakan bahwa
tingkat keterlibatan pada saat usia muda lebih penting daripada tingkat usia lanjut.
Berdasarkan teori Erikson, pada masa dewasa tua, individu mengalami
masa integrity vs despired, dimana pada tahap ini terjadi refleksi terhadap masa
lalu dan individu akan menyimpulkan pengalamannya baik secara positive
maupun negative. Jika individu lansia pernah mengalami tahapan kehidupan yang
negative, seperti terisolasinya ia secara sosial, di masa dewasa awal ataupun
tengah, maka orang tersebut akan menilai pengalaman yang telah dilaluinya
menjadi negative.
Berdasarkan teori aktvitas, dipaparkan bahwa semakin besar aktivitas dan
keterlibatan orang dewasa tua, maka semakin besar pula kepuasan yang dialami
pada saat lansia. Sedangkan berdasarkan teori selektivitas emosi, dikatakan bahwa
orang dewasa lanjut akan lebih selektif dalam memilih jaringan kerja sosialnya

10
dan sangat mementingkan kepuasan emosional. Orang dewasa lanjut akan lebih
banyak menghabiskan waktubersama orang orang yang dikenal dan
menyenangkan. Orang usia lanjut akan menarik diri secara sengaja dari
lingkungan sosial dan tetap mempertahankan hubungan dengan orang terdekat da
orang yang dianggap menyenangkan.

E. PENYESUAIAN EMOSI DAN SOSIAL

Gangguan emosional sering terjadi pada diri dewasa akhir atau lansia sehingga
mereka rentan mengalami patologis seperti kecemasan, depresi, psikosis, atau
kecanduan obat. (Gutomo dalam Yeni, 2013) selanjutnya, masalah-masalah ini
muncul karena mereka tak mampu menyelesaikan masalahnya dikarenakan faktor
usia. Pengalaman masa kecil dari individu akan berpengaruh pada emosi yang
dimilikinya saat dewasa. Salah satu penyesuaian yang didapatkan dari
pengalaman individu adalah lonliness atau rasa kesendirian. Loneliness ini biasa
dirasakan oleh mereka yang memasuki masa dewasa akhir, atau di masyarakat
dikenal sebagai lansia. Loneliness terjadi pada individu yang pada dasarnya
tinggal sendirian dan individu yang tinggal bersama dengan keluarga lainnya
namun keberadaannya dianggap tak berharga. Loneliness sebagai wujud dari
perasaan emosi yang kemudian berdampak pada kehidupan sosial individu yakni
merasa terisolasi atau mengisolasikan dirinya sendiri.
Mellor dan Edelmaan membagi loneliness menjadi dua bagian yakni emotional
loneliness dan social lonelinees. Emotional loneliness adalah keadaan saat
inidividu kehilangan kenyamanan dan kelekatan pada orang-orang yang ia cintai
sehingga ia merasakan adanya perpisahan, kecemasan, kegelisahan dan
kekosongan. Sedangkan, social loneliness adalah keadaan saat individu
menganggap bahwa tidak ada hubungan yang sejati, sehingga pada diri individu
ini hanya akan merasakan kebosanan dan bertindak passif. Faktor significant yang
cukup mendukung loneliness pada dewasa akhir hubungan sosial, kesehatan,
kognitif, sex, dan umur. (Holmen, 2000).

11
Schultz menjelaskan 2 control theory yang dimiliki oleh dewasa akhir yakni
ada control primer yakni kemampuan inidividu menjalankan apapun untuk
mencapai keinginannya dengan usahanya sendiri, sedangkan control sekunder
tidak benar-benar berasal dari usaha yang dilakukannya. Di sini emosi bertindak
sebagai motivasi bagi diri individu dalam menjalankan control primernya secara
berkala. Hasil penelitian bahwa regulasi emosi yang dimiliki oleh dewasa akhir itu
lebih baik daripada yang dimiliki oleh fase-fase selanjutnya, demikian membuat
dirinya mudah menjalankan kontrol sekundernya. (Lawton, 2001)
Emosi pada dewasa akhir dapat berfungsi secara optimal dalam membuat
keputusan-keputusan di ranah sosial. Kemampuan adaptif dan reflective dalam
mengambil keputusan di hubungan sosial akan secara kompleks dilakukan oleh
individu yang berada di fase dewasa akhir. Kemampuan dalam mengintegritaskan
antara emosi dan kognitif di usia tua dalam menyelesaikan masalah sosial di
lingkungannya membuat mereka jauh memiliki performansi yang lebih baik untuk
di fase ini. (Lawton, 2001).
Manusia tidak pernah berhenti sampai ia mati, bisasajaperkembangan fisik
berhenti sampai masa remaja, tetapi perkembangan psikologis, sosial, dan
spiritual tidak akan pernah berhenti. Manusia selalu belajar dari pengalaman sejak
lahir sampai mendekati akhir hayatnya. Ia akanselalu belajar dan berubah untuk
menyesuaikan diri dengan ha1 yang dihadapinya. Ia akan bersedia mengganti pola
tingkah laku yang kurang sesuai dengan pola tingkah laku yang lebih sesuai
dengan tuntutan kenyataan dan lingkungan (Prawitasari, 1993).
Manusia lansia tidak pernah lepas dari aspek sosio psikologi. Sebagai indvidu
ia mengenal dirinya baik kemampuannya, ketrampilannya, kelebihan dan
kelemahannya, ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Iapun mengenal apa yang
dipikirkan, dirasakan, dan dilakukannya, serta menggunakan kernampuan
psikologisnya dalam hubungannya dengan individu lainnya. Memberi dan
menerima dukungan psikologis dan sosial merupakan warna yang selalu ada
dalam hubungan antar manusia. Hubungan antar individu berdasarkan
kemampuan ini yang disebut aspek sosial psikologi

12
Proses ketuaan pada masa iniapabila disertai faktor-faktor psikosial seperti pola
perilaku tipe A dengan karakteristik mudah cemas dan selalu takut, perubahan-
perubahan hidup yang menekan seperti kehilangan orang yang dicintai entah
karena kematian atau perceraian. Individu akan mudah memperoleh sakit jantung
coroner.
Selain itu menurut Gentry dan Kobasa (1984) menyebutkan pentingnya
dukungan sosial dan cara individu mengatasi masalah yang dihadapi banyak
berperan dalam munculnya penyakit yang dialami oleh individu ini (Prawitasari,
1993).
Dukungan sosial dapat diperoleh dari pasangan hidup, orang tua, saudara,
tetangga, atasan, bawahan, ataupun teman sejawat. Dukungan sosial dan cara
pengatasan masalah merupakan mediator dalam penyakit-penyakit sehubungan
dengan stress. Dukungan sosial yang tinggi akan mempercepat pengatasan
masalah yang dihadapi individu termasuk penyakit yang dideritanya.
Langkah-Langkah Preventif : Senam kesegaran jasmani merupakan langkah
positif untuk membina kesehatan jasmani sebagai persiapan untuk mengahadapi
masa usila. Penting pula digalakkan kursus kesehatan mental tidak hanya untuk
ibu-ibu tetapi juga untuk bapak-bapak. Pengelolaan stress dapat diberikan dalam
bentuk kursuskursus dan latihan-latihan untuk umum. Dapat pula ditawarkan
pelatihan ini bagi pegawai yang pula pusat ini bekerja sama dengan PICK atau
Dharma Wanita, ataupun organisasi sosial lainnya. Tampaknya kerja sama ini
telah dilakukan akhir-akhir ini dengan adanya Posyandu untuk usila. Kegiatan
spriritual tampaknya perlu digalakkan untuk manusia usila. Keterlibatan mereka
di bidang ini akan membuat mereka aktif dan merasa dibutuhkan. Ini akan
menyeimbangkan mental dan menambah harga dirinya. Perpaduan kegiatan sosial
dan spiritual akan menyiapkan mereka pada masa usila yang bahagia.

13
14
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
1. Dewasa dalam berbagai sumber didapatkan bahwa dimulai dari umur 20-60
tahun ke atas. Dengan tiga pembagian fase, yakni fase dewasa awal (20-40
tahun), fase dewasa tengah (40-60 tahun) dan fase dewasa akhir (60 tahun
ke atas).
2. Penyesuaian emosi dewasa awal cenderung pada emosi yang tidak stabil
karena masa peralihan dari remaja akhir, pada dewasa tengah cenderung
mengalami emosi berupa rasa tegang, dan cemas. Sedangkan pada dewasa
akhir yakni perasaan emosi negative.
3. Pembagian penyesuaian sosial pada fase dewasa dapat diteukan di
psikososial Erikson
4. Banyak penelitian yang menyatakan bahwa akibat kondisi emosi yang tidak
stabil menyebabkan konflik pada lingkungan sosial.

B. SARAN
Adapun saran terkait dengan penyesuaian emosi dan sosial yaitu :
1. Untuk memahami penyesuaian emosi dan sosial pada fase dewasa maka
harus sudah selesai dalam pengetahuan terkait tugas perkembangan apa
saja yang dilakukan oleh individu di fase dewasa dan karakteristik yang
dimilikinya.
2. Jenis emosi dan penyesuaian sosial pada fase dewasa membuat mereka
harus didukung dengan dukungan moral ataupun materil.

15
DAFTAR PUSTAKA

Berk. Laura E. 2012. Development Trough The Lifespan. Yogyakarta: Pustaka


Pelajar.
Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, Mahkamah Agung (Statistik
Indonesia 2017, BPS)
Hurlock, Elizabeth B. 1980. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan
Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga.
Holmen, K., Ericsson, K., & Winblad, B. (2000). Social and emotional loneliness
among non-demented and demented elderly people. Archives of
Gerontology and Geriatrics, 31(3), 177–192.
Khairani, Makmun. 2013. Psikologi Perkembangan. Yogyakarta :Aswaja
Pressindo.
Lawton, M. P. (2001). Emotion in Later Life. Current Directions in Psychological
Science, 10(4), 120–123.
Nurihsan, A., Agustin, M. 2011. Dinamika Perkembangan Anak dan Remaja :
Tinjauan Psikologi, Pendidikan, dan Bimbingan. Bandung :PT Refika
Aditama.
Papalia, Diane E. dkk. 2011. Human Development : Psikologi Perkembangan.
Jakarta : Kencana Perdana Media Grup.
Prawitasari, Johana.E.(1993). Aspek Sosio-Psikologis Usia Lanjut Di Indonesia.
Vol.21 (4). Buletin Penelitian Kasehat. Yogyakarta : Fakultas Psikologi
Universitas Gadjah Mada.
Santrock, John W. 2012. Life Span Development. Jakarta: Erlangga.
Yeni, fitra. 2013. Hubungan Emosi Positif dengan Kepuasan Hidup Pada Lanjut
Usia (LANSIA) di Kota Padang Provinsi Sumatera Barat. Ners Jurnal
Keperawatan Volume 9, No1: 10-21.

16

Anda mungkin juga menyukai