Anda di halaman 1dari 31

Asuhan Keperawatan Dan Penatalaksanaan Syok

Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah


Keperawatan Gawat Darurat

Disusun Oleh :
Kelompok 2
Ary Rachmat Kusuma (1032161047)
Cicih Kartika (1032161007)
Kristina Br Pasaribu (1032161032)
Nazwa Febriyanti (1032161048)
Sanabillah Yasmin (1032161010)
Tenny Ramayanti (1032161049)

Program Studi Sarjana Keperawatan

Fakultas Kesehatan Universitas MH. Thamrin

Jln. Raya Bogor KM.20 Kramat Jati Jakarta Timur

Tahun Ajaran 2019-2020

1
Daftar Isi
A. Sistem Pencernaan ............................................................................................................... 3
B. Kegawatdaruratan pada sistem pencernaan ......................................................................... 3
1. Trauma Abdomen ................................................................................................................ 3
a. Definisi Trauma Abdomen ............................................................................................... 3
b. Etiologi Trauma Abdomen ............................................................................................... 3
c. Patoflowdiagram Trauma Abdomen ................................................................................ 5
d. Manifestasi Klinis Trauma Abdomen .............................................................................. 6
e. Pemeriksaan Diagnostik Trauma Abdomen ..................................................................... 6
f. Penatalaksanaan Medik Trauma Abdomen ...................................................................... 8
g. Komplikasi Trauma Abdomen ....................................................................................... 12
2. Hematemesis Melena ......................................................................................................... 13
a. Definisi Hematemesis Melena ....................................................................................... 13
b. Etiologi Hematemesis Melena ....................................................................................... 13
c. Patoflowdiagram Hematemesis Melena ......................................................................... 16
d. Manifestasi Klinis Hematemesis Melena ....................................................................... 17
e. Pemeriksaan Diagnostik Hematemesis Melena ............................................................. 17
f. Penatalaksanaan Medik Hematemesis Melena .............................................................. 18
g. Komplikasi Hematemesis Melena.................................................................................. 20
C. Asuhan Keperawatan Trauma Abdomen ........................................................................... 21
1. Pengkajian Emergency dan Kritis ...................................................................................... 21
2. Diagnosa Keperawatan ...................................................................................................... 23
3. Intervensi Keperawatan ..................................................................................................... 24
D. Asuhan Keperawatan Trauma Abdomen ........................................................................... 26
1. Pengkajian .......................................................................................................................... 26
2. Diagnosa Keperawatan ...................................................................................................... 27
3. Intervensi Keperawatan ..................................................................................................... 28

2
A. Sistem Pencernaan

Saluran pencernaan adalah saluran yang berkelanjutan berupa tabung yang dikelilingi otot.
Saluran penvernaan mencerna makanan, memecahnya menjadi bagian yang lebih kecil dan
menyerab bagian tersebut menuju pembuluh darah. Organ-organ yang termasuk didalamnya
adalah mulut, faring, esophagus, lambung, usus halus, serta usus besar dan akan dikeluarkan
dari tubuh melalui anus.

Sistem pencernaan merupakan proses perubahan atau pemecahan zat makanan dari molekul
kompleks menjadi molekul yang lebih sederhara dengan menggunkan enzim dan organ-organ
pencernaan.
Pencernaan makanan di dalam tubuh manusia melalui 6 tahap yaitu:
1. Ingesti : pemasukan makanan ke dalam tubuh melalui mulut.
2. Mastikasi: proses mengunyah makanan oleh gigi.
3. Deglutisi: proses menelan makanan di kerongkongan.
4. Digesti: pengubahan makanan menjadi molekul yang lebih sederhana dengan bantuan
enzim, trdapat di lambung.
5. Absorbsi: proses penyerapan, terjadi di usus halus.
6. Defekasi: pengeluaran sisa makanan yang sudah tidak berguna untuk tubuh melalui
anus.

B. Kegawatdaruratan pada sistem pencernaan


1. Trauma Abdomen
a. Definisi Trauma Abdomen
Salah satu kegawatdaruratan pada sistem pencernaan adalah trauma abdomen yaitu
trauma/cedera yang mengenai daerah abdomen yang menyebabkan timbulnya
gangguan/kerusakan pada organ yang ada di dalamnya.
Trauma abdomen didefinisikan sebagai kerusakan terhadap struktur yang terletak
diantara diafragma dan pelvis yang diakibatkan oleh luka tumpul atau yang menusuk
(Ignativicus & Workman, 2010).
Definisi dari akut abdomen sendiri adalah suatu keadaan klinik akibat kegawatan di
rongga abdomen biasanya timbul secara mendadak dengan nyeri sebagai keluhan
utama yang memerlukan penanganan segera.
b. Etiologi Trauma Abdomen

3
Kecelakaan atau trauma yang terjadi pada abdomen, umumnya banyak diakibatkan
oleh trauma tumpul. Pada kecelakaan kendaraan bermotor, kecepatan, deselerasi
yang tidak terkontrol merupakan kekuatan yang menyebabkan trauma ketika tubuh
klien terpukul setir mobil atau benda tumpul lainnya.
Trauma akibat benda tajam umumnya disebabkan oleh luka tembak yang
menyebabkan kerusakan yang besar di dalam abdomen. Selain luka tembak, trauma
abdomen dapat juga diakibatkan oleh luka tusuk, akan tetapi luka tusuk sedikit
menyebabkan trauma pada organ internal di abdomen.Trauma pada abdomen
disebabkan oleh 2 kekuatan yang merusak, yaitu :
1) Paksaan /benda tumpul
Merupakan trauma abdomen tanpa penetrasi ke dalam rongga peritoneum. Luka
tumpul pada abdomen bisa disebabkan oleh jatuh, kekerasan fisik atau pukulan,
kecelakaan kendaraan bermotor, cedera akibat berolahraga, benturan, ledakan,
deselarasi, kompresi atau sabuk pengaman. Lebih dari 50% disebabkan oleh
kecelakaan lalu lintas.
2) Trauma tembus
Merupakan trauma abdomen dengan penetrasi ke dalam rongga peritoneum.
Disebabkan oleh: luka tembak yang menyebabkan kerusakan yang besar di dalam
abdomen. Selain luka tembak, trauma abdomen dapat juga diakibatkan oleh luka
tusuk, akan tetapi luka tusuk sedikit menyebabkan trauma pada organ internal
diabdomen.

4
c. Patoflowdiagram Trauma Abdomen

Trauma paksa (jatuh, benda tumpul, Trauma benda tajam (Pisau,


kompresi dll) peluru, dll)

Gaya predisposisi trauma > elastisitas & Viskositas tubuh

Ketahanan jaringan tidak mampu mengkompensasi

Trauma Abdomen

Trauma Tajam Trauma Tumpul

Kerusakan Jaringan Kerusakan organ Kerusakan jaringan Kompresi organ abdomen


Kulit abdomen vaskuler

Perdarahan intra
Perforasi lapisan Perdarahan abdomen
Luka terbuka
abdomen(Kontusio,
Laserasi, jejas,
hematoma) Resiko kekurangan Peningkatan TIA
Resiko volume cairan
infeksi
Distensi Abdomen

Nyeri akut
Syok Mual/muntah
Hipovilemik
Kerusakan
integritas kulit
Resiko ketidak
seimbangan nutrisi

5
d. Manifestasi Klinis Trauma Abdomen
Salah satu kegawatdaruratan pada sistem pencernaan adalah trauma abdomen yaitu
trauma/cedera yang mengenai daerah abdomen yang menyebabkan timbulnya
gangguan/kerusakan.
Menurut (Hudak & Gallo) tanda dan gejala trauma abdomen, yaitu :
1) Nyeri
2) Nyeri dapat terjadi mulai dari nyeri sedang sampai yang berat. Nyeri dapat timbul
di bagian yang luka atau tersebar. Terdapat nyeri saat ditekan dan nyeri lepas.
3) Darah dan cairan
4) Adanya penumpukan darah atau cairan dirongga peritonium yang disebabkan
oleh iritasi.
5) Cairan atau udara dibawah diafragma
6) Nyeri disebelah kiri yang disebabkan oleh perdarahan limpa. Tanda ini ada saat
pasien dalam posisi rekumben.
7) Mual dan muntah
8) Penurunan kesadaran (malaise, letargi, gelisah)
9) Yang disebabkan oleh kehilangan darah dan tanda-tanda awal shock hemoragi.

e. Pemeriksaan Diagnostik Trauma Abdomen


Untuk ketepatan diagnosa perlu adanya pemeriksaan-pemeriksaan penunjang seperti :
1) Pemeriksaan darah rutin
Pemeriksaan Hb diperlukan untuk base-linedata bila terjadi perdarahan terus
menerus. Demikian pula dengan pemeriksaan hematokrit. Pemeriksaan leukosit
yang melebihi 20.000 /mm tanpa terdapatnya infeksi menunjukkan adanya
perdarahan cukup banyak kemungkinan ruptura lienalis. Serum amilase yang
meninggi menunjukkan kemungkinan adanya trauma pankreas atau perforasi usus
halus. Kenaikan transaminase menunjukkan kemungkinan trauma pada hepar.
2) Plain abdomen foto tegak
Memperlihatkan udara bebas dalam rongga peritoneum, udara bebas retro
perineal dekat duodenum, corpus alineum dan perubahan gambaran usus.
3) Pemeriksaan urine rutin
Menunjukkan adanya trauma pada saluran kemih bila dijumpai hematuri. Urine
yang jernih belum dapat menyingkirkan adanya trauma pada saluran urogenital.
4) VP (Intravenous Pyelogram)

6
Karena alasan biaya biasanya hanya dimintakan bila ada persangkaan trauma
pada ginjal
5) Diagnostik Peritoneal Lavage (DPL)
Dapat membantu menemukan adanya darah atau cairan usus dalam rongga perut.
Hasilnya dapat amat membantu. Tetapi DPL inihanya alat diagnostik. Bila ada
keraguan, kerjakan laparatomi (gold standard).
 Indikasi untuk melakukan DPL adalah sebagai berikut:
 Nyeri abdomen yang tidak bisa diterangkan sebabnya Trauma pada bagian
bawah dari dada
 Hipotensi, hematokrit turun tanpa alasan yang jelas Pasien cedera abdominal
dengan gangguan kesadaran (obat, alkohol, cedera otak)
 Pasien cedera abdominal dan cedera medula spinalis (sumsum tulang
belakang)
 Patah tulang pelvis

Kontra indikasi relatif melakukan DPL adalah sebagai berikut:

 Hamil
 Pernah operasi abdominal
 Operator tidak berpengalaman
 Bila hasilnya tidak akan merubah penatalaksanaan
6) Ultrasonografi dan CT Scan
Sebagai pemeriksaan tambahan pada penderita yang belum dioperasi dan
disangsikan adanya trauma pada hepar dan retro peritoneum.
7) Pemeriksaan khusus
a) Abdomonal Paracentesis
Merupakan pemeriksaan tambahan yang sangat berguna untuk menentukan
adanya perdarahan dalam rongga peritoneum. Lebih dari100.000 eritrosit /mm
dalam larutan NaCl yang keluar dari rongga peritoneum setelah dimasukkan
100–200 ml larutan NaCl 0.9% selama 5 menit, merupakan indikasi untuk
laparotomi.
b) Pemeriksaan Laparoskopi
Dilaksanakan bila ada akut abdomen untuk mengetahui langsung sumber
penyebabnya.
c) Bila dijumpai perdarahan dan anus perlu dilakukan rekto-sigmoidoskopi.

7
f. Penatalaksanaan Medik Trauma Abdomen
1) Pre Hospital
Pengkajian yang dilakukan untuk menentukan masalah yang mengancam nyawa,
harus mengkaji dengan cepat apa yang terjadi di lokasi kejadian. Paramedik
mungkin harus melihat apabila sudah ditemukan luka tikaman, luka trauma benda
lainnya, maka harus segera ditangani, penilaian awal dilakukan prosedur ABC
jika ada indikasi. Jika korban tidak berespon, maka segera buka dan bersihkan
jalan napas.
a) Airway
Dengan kontrol tulang belakang. Membuka jalan napas menggunakan teknik
‘head tilt chin lift’ atau menengadahkan kepala dan mengangkat dagu, periksa
adakah benda asing yang dapat mengakibatkan tertutupnya jalan napas.
Muntahan, makanan, darah atau benda asing lainnya.
b) Breathing
Dengan ventilasi yang adekuat. Memeriksa pernapasan dengan menggunakan
cara ‘lihat-dengar-rasakan’ tidak lebih dari 10 detik untuk memastikan apakah
ada napas atau tidak. Selanjutnya lakukan pemeriksaan status respirasi korban
(kecepatan, ritme dan adekuat tidaknya pernapasan).
c) Circulation
Dengan kontrol perdarahan hebat. Jika pernapasan korban tersengal-sengal
dan tidak adekuat, maka bantuan napas dapat dilakukan. Jika tidak ada tanda-
tanda sirkulasi, lakukan resusitasi jantung paru segera. Rasio kompresi dada
dan bantuan napas dalam RJP adalah 30 : 2 (30 kali kompresi dada dan 2 kali
bantuan napas).
d) Penanganan awal trauma non- penetrasi (trauma tumpul)
(1) Stop makanan dan minuman
(2) Imobilisasi
(3) Kirim kerumah sakit.
e) Penetrasi (trauma tajam)
(1) Bila terjadi luka tusuk, maka tusukan (pisau atau benda tajam lainnya)
tidak boleh dicabut kecuali dengan adanya tim medis.
(2) Penanganannya bila terjadi luka tusuk cukup dengan melilitkan dengan
kain kassa pada daerah antara pisau untuk memfiksasi pisau sehingga
tidak memperparah luka.

8
(3) Bila ada usus atau organ lain yang keluar, maka organ tersebut tidak
dianjurkan dimasukkan kembali kedalam tubuh, kemudian organ yang
keluar dari dalam tersebut dibalut kain bersih atau bila ada verban steril.
(4) Imobilisasi pasien.
(5) Tidak dianjurkan memberi makan dan minum.
(6) Apabila ada luka terbuka lainnya maka balut luka dengan menekang.
(7) Kirim ke rumah sakit.

2) Hospital
a) Trauma penetrasi
Bila ada dugaan bahwa ada luka tembus dinding abdomen, seorang ahli bedah
yang berpengalaman akan memeriksa lukanya secara lokal untuk menentukan
dalamnya luka. Pemeriksaan ini sangat berguna bila ada luka masuk dan luka
keluar yang berdekatan.
(1) Skrinning pemeriksaan rontgen
(2) Foto rontgen torak tegak berguna untuk menyingkirkan kemungkinan
hemo atau pneumotoraks atau untuk menemukan adanya udara
intraperitonium. Serta rontgen abdomen sambil tidur (supine) untuk
menentukan jalan peluru atau adanya udara retroperitoneum.
(3) IVP atau Urogram Excretory dan CT Scanning
Ini di lakukan untuk mengetauhi jenis cedera ginjal yang ada.
(4) Uretrografi
Di lakukan untuk mengetauhi adanya rupture uretra.
(5) Sistografi
Ini digunakan untuk mengetauhi ada tidaknya cedera pada kandung
kencing, contohnya pada :
 fraktur pelvis
 trauma non-penetrasi

3) Penanganan pada trauma benda tumpul


a) Pengambilan contoh darah dan urine

9
Darah di ambil dari salah satu vena permukaan untuk pemeriksaan
laboratorium rutin, dan juga untuk pemeriksaan laboratorium khusus seperti
pemeriksaan darah lengkap, potasium, glukosa, amilase.
b) Pemeriksaan rontgen
Pemeriksaan rongten servikal lateral, toraks anteroposterior dan pelvis adalah
pemeriksaan yang harus di lakukan pada penderita dengan multi trauma,
mungkin berguna untuk mengetahui udara ekstraluminal di retroperitoneum
atau udara bebas di bawah diafragma, yang keduanya memerlukan laparotomi
segera.
c) Study kontras urologi dan gastrointestinal
Dilakukan pada cedera yang meliputi daerah duodenum, kolon ascendens atau
decendens dan dubur.
g. Penanganan Lanjutan Kegawatan Saluran Cerna
Setelah keadaan pasien cukup stabil maka dapat dilakukan anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang lebih seksama. Pada anamnesis yang perlu ditanyakan adalah
riwayat penyakit hati kronis, riwayat dispepsia, riwayat mengkonsumsi NSAID, obat
rematik, alkohol, jamu-jamuan, obat untuk penyakit jantung, obat stroke. Kemudian
ditanya riwayat penyakit ginjal, riwayat penyakit paru dan adanya perdarahan
ditempat lainnya. Riwayat muntah-muntah sebelum terjadinya hematemesis sangat
mendukung kemungkinan adanya sindroma Mallory Weiss.
Dalam pemeriksaan fisik yang pertama harus dilakukan adalah penilaian ABC,
pasien-pasien dnegan hematemesis yang masih dapat mengalami aspirasi atau
sumbatan jalan napas, hal ini sering dijumpai pada pasien yang mengalami
penurunan kesadaran. Khusus untuk penilaian hemodinamik (keadaan sirkulasi) perlu
dilakukan evaluasi jumlah perdarahan.
1. Perdarahan <8% : hemodinamik stabil
2. Perdarahan 8%-15% : hipotensi ortostatik
3. Perdarahan 15-25% : renjatan (shock)
4. Perdarahan 25-40% : renjatan atau penurunan kesadaran
5. Perdarahan >40% : moribund
Untuk kepentingan klinik biasanya dibedakan perdarahan karena ruptur varises dan
perdarahan bukan karena ruptur varises (variceal bleeding dan variceal bleeding).
Identifikasi varises biasanya memakai care red whale marking yaitu dengan
menentukkan besarnya varises (F1-F2-F3), jumlah kolom (sesuai jam), lokasi di

10
esofagus (Lm,Li,Lg) dan warna (biru, cherryred, hematocystic). Untuk ulkus
memakai kriteria Forrest.
1. Forrest Ia : Tukak dengan perdarahan aktif dari arteri
2. Forrest Ib : Tukak dengan perdarahan aktif berupa oozing
3. Forrest IIa : Tukak dengan visible vessel
4. Forrest IIb : Tukak dengan ada klot diatasnya yang sulit dilepas
5. Forrest Iic : Tukak dengan klot diatasnya yang dapat dilepas
6. Forrest III : Tukak dengan dasar putih tanpa klot
Pada beberapa keadaan dimana pemeriksaan endoskopi tidak dapat dilakukan,
pemeriksaan dengan kontras barium (OMD) mungkin dapat membantu. Untuk pasien
yang tidak mungkin dilakukan endoskopi dapat dilakukan pemeriksaan dengan
angiografi atau skinitgrafi. Hasil pemeriksaan endoskopi untuk pasien-pasien
perdarahan non varises mempunyai nilai prognostik. Dengan menganalisis semua
data yang ada dapat ditentukan strategi penanganan yang lebih adekuat. Dari
berbagai pemriksaan harus dilakukan pemilahan pasien apakah berada pada
kelompok risiko tinggi atau bukan. Pengelolaan pasien dengan perdarahan aku SCBA
meliputi tindakan umum dan tindakan khusus.
h. Penggunaan Skor Blunt Abdominal Trauma Scoring System (BATSS)
Blunt Abdominal Trauma Scoring System (BATSS) adalah suatu sistem skoring
yang
digunakan untuk mendeteksi pasien yang dicurigai mengalami cedera organ intra-
abdomen
akibat trauma tumpul abdomen. Dimana sistem skoring ini dapat menghemat waktu,
mengurangi penggunaan CT abdomen yang tidak perlu, paparan radiasi, dan biaya
yang digunakan untuk menegakkan diagnosis dan penatalaksanaannya. Hal-hal yang
dinilai dalam BATTS antara lain :
 Nyeri abdomen, nilai skor 2
 Nyeri tekan abdomen, nilai skor 3
 Jejas pada dinding dada, nilai skor 1
 Fraktur pelvis, nilai skor 5
 Focus Assesment Sonography for Trauma, nilai skor 8
 Tekanan darah sistolik <100 mmHg, nilai skor 4
 Denyut Nadi >100 kali/menit, nilai skor 1

11
Berdasarkan sistem skoring BATSS, pasien dibagi menjadi 3 kelompok yaitu resiko
rendah yaitu jika jumlah skor BATSS kurang dari 8, resiko sedang jumlah skor
BATSS 8-12, resiko tinggi jumlah skor BATSS lebih dari 12. Pada kelompok pasien
dengan risiko sedang diperlukan observasi dan pemeriksaan lebih lanjut untuk
menegakkan diagnosis yang tepat.
Sistem skoring yang ada saat ini yaitu Clinical Abdominal Scoring System (CASS)
sangat membantu dalam mendiagnosis dan menentukan perlunya tindakan laparotomi
segera, dan juga meminimalisir penggunaan pemeriksaan lanjutan pada pasien
trauma tumpul abdomen.
Selain itu mengurangi waktu dan biaya yang tidak perlu (Afifi, 2008). Hal ini juga
didukung oleh Avini et al, dimana skoring tersebut memberikan sensitifitas dan
spesifisitas yang baik dalam penentuan laparotomi (Avini, Nejad, Chardoli, &
Movaghar, 2011).
Sistem skoring CASS ini disusun dengan menggunakan sampel dengan rentang usia
yang luas termasuk anak usia 2 tahun pada penelitian Afifi et al. Dimana angka
hipotensi pada rentang usia anak dan dewasa berbeda. Pemeriksaan fisik atau
ultrasound sendiri tidak dapat menggambarkan kondisi pasien. Tetapi kombinasi
gambaran klinis dan hasil Focus Assesment with Sonography in Trauma (FAST),
memberikan sensitivitas dan spesifisitas yang sama dengan CT scan untuk
mendiagnosis cedera organ intra-abdomen (Shojaee et al, 2014).
Blunt Abdominal Trauma Scoring System memberikan sistem skor dengan akurasi
tinggi dalam mendiagnosis cedera organ intra-abdomen pada pasien trauma tumpul
abdomen berdasarkan gambaran klinis seperti riwayat pasien, pemeriksaan fisik dan
FAST. Diagnosis yang ditegakkan berdasarkan sistem skoring ini sangat mirip
dengan hasil yang didapatkan dari CT scan.
i. Komplikasi Trauma Abdomen
1) Trombosis Vena
2) Emboli Pulmonar
3) Stress ulserasi dan perdarahan
4) Pneumonia
5) Tekanan ulserasi
6) Atelektasis
7) Sepsis

12
2. Hematemesis Melena
a. Definisi Hematemesis Melena
Perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) atau Hematemesis Melena merupakan
salah satu kegawat daruratan yang banyak ditemukan di rumah sakit seluruh dunia.
Perdarahan saluran cerna bagian atas merupakan salah satu indikasi perawatan di
rumah sakit dan banyak menimbulkan kematian bila tidak ditangani dengan baik.
Karena itulah diperlukan penatalaksanaan yang baik dan sistematis agar perdarahan
SCBA tersebut tidak menimbulkan komplikasi yang berat sampai kematian.
Penatalaksanaan perdarahan SCBA ini sangat tergantung dari penyebab perdarahan
dan fasilitas yang ada di rumah sakit.

b. Etiologi Hematemesis Melena


1) Kelainan di esophagus
a) Varises esophagus
Penderita dengan hematemesis melena yang disebabkan pecahnya varises
esophagus, tidak pernah mengeluh rasa nyeri atau pedih di epigastrium. Pada
umumnya sifat perdarahan timbul spontan dan masif. Darah yang
dimuntahkan berwarna kehitam-hitaman dan tidak membeku karena sudah
bercampur dengan asam lambung.
b) Karsinoma esophagus
Karsinoma esophagus sering memberikan keluhan melena daripada
hematemesis. Disamping mengeluh disfagia, badan mengurus dan anemis,
hanya sesekali penderita muntah darah dan itupun tidak masif.
c) Sindroma Mallory – Weiss
Sebelum timbul hematemesis didahului muntah-muntah hebat yang pada
akhirnya baru timbul perdarahan. misalnya pada peminum alkohol atau pada
hamil muda. Biasanya disebabkan oleh karena terlalu sering muntah - muntah
hebat dan terus - menerus.
d) Esofagitis dan tukak esophagus
Esophagus bila sampai menimbulkan perdarahan lebih sering intermiten atau
kronis dan biasanya ringan, sehingga lebih sering timbul melena daripada

13
hematemesis. Tukak di esophagus jarang sekali mengakibatkan perdarahan
jika dibandingka dengan tukak lambung dan duodenum.

2) Kelainan di lambung
a) Gastritis erisova hemoragika
Hematemesis bersifat tidak masif dan timbul setelah penderita minum obat-
obatan yang menyebabkan iritasi lambung. Sebelum muntah penderita
mengeluh nyeri ulu hati.
b) Tukak lambung
Penderita mengalami dispepsi berupa mual, muntah , nyeri ulu hati dan
sebelum hematemesis didahului rasa nyeri atau pedih di epigastrium yang
berhubungan dengan makanan. Sifat hematemesis tidak begitu masif dan
melena lebih dominan dari hematemesis.
c) Kelainan darah : polisetimia vera, limfoma, leukemia, anemia, hemofili,
trombositopenia purpura.

3) Kelainan di duodenum
a) Tukak duedeni
Tukak duedeni yang menyebabkan perdarahan secara panendoskopi terletak
di bulbus, ditemukan 6 kasus. Empat kasus diantaranya dengan keluhan
utama hematemesis dan melena, sedangkan dua kasus lainnya mengeluh
melena saja. Sebelum timbul perdarahan, semua kasus mengeluh merasa
nyeri dan perih di perut bagian atas agak ke kanan. Keluhan ini juga
dirasakan waktu tengah malam sedang tidur pulas, sehingga terbangun.
Untuk mengurangi rasa nyeri dan pedih, penderita makan roti mari atau
minum susu.
b) Karsinoma Papila Vaterii
Karsinoma papilla vaterii merupakan penyebab dari karsinoma di ampula,
menyebabkan penyumbatan saluran empedu dan saluran pancreas yang pada
umumnya sudah dalam fase lanjut. Gejala yang ditimbulkan selain kolestatik
ekstrahepatal, juga dapat menyebabkan timbulnya perdarahan. Perdarahan
yang terjadi lebih bersifat perdarahan tersembunyi (occult bleeding), sangat
jarang timbul hematemesis

14
15
c. Patoflowdiagram Hematemesis Melena

Kelainan esophagus:
varises esophagus, Kelainan lambung Penyakit darah:
Penyakit sistemik: Obat-obatan
esophagitis, keganasan dan duodenum: tukak leukemia, DIC, purpura
trombositopenia, sirosis hati ulserogetik:
esophagus lambung, keganasan
hemophilia gol.salisilat,
kortikosteroid, alcohol.

Tekanan portal Infeksi mukosa Pecahnya PD Obstruksi aliran O2 mukosa


lambung darah lewat hati terhambat

Pembuluh darah
pecah Erosi dan ulserasi Perdarahan Pembentukan Asam lambung
kolateral

Kerusakan Masuk saluran Distensi PD Inflamasi mukosa


vaskuler pada cerna abdomen lambung
mukosa lambung

Varises

PD ruptur

HEMATEMESIS
MELENA

Anoreksia Mual-muntah MK: ansietas


perdarahan

Tekanan kapiler
MK: Syok
ketidakseimbangan hipovolemik Protein plasma
nutrisi kurang dari
hilang
kebutuhan tubuh
MK: gangguan
keseimbangan Edema
cairan dan
elektrolit Spasme dinding Penekanan PD
perut
Perfusi jaringan

MK:nyeri
akut MK:
Ketidakefektifan
perfusi jaringan
gastrointestinal

16
d. Manifestasi Klinis Hematemesis Melena

Tanda dan gejala yang dapat di temukan pada pasien hematemesis melena adalah
muntah darah (hematemesis), mengeluarkan tinja yang kehitaman (melena),
mengeluarkan darah dari rectum (hematoskezia), syok (frekuensi denyut jantung
meningkat, tekanan darah rendah), akral teraba dingin dan basah, penyakit hati kronis
(sirosis hepatis), dan koagulopati purpura serta memar, demam ringan antara 38 -39°
C, nyeri pada lambung / perut, nafsu makan menurun, hiperperistaltik, jika terjadi
perdarahan yang berkepanjangan dapat menyebabkan terjadinya penurunan Hb dan Ht
(anemia) dengan gejala mudah lelah, pucat nyeri dada, dan pusing yang tampak
setelah beberapa jam, leukositosis dan trombositosis pada 2-5 jam setelah perdarahan,
dan peningkatan kadar ureum darah setelah 24-48 jam akibat pemecahan protein
darah oleh bakteri usus.
1) Gejala yang ada yaitu :
a) Muntah darah (hematemesis)
b) Mengeluarkan tinja yang kehitaman (melena)
c) Mengeluarkan darah dari rectum (hematoskezia)
d) Denyut nadi yang cepat, TD rendah
e) Akral teraba dingin dan basah
f) Nyeri perut
g) Nafsu makan menurun
h) Jika terjadi perdarahan yang berkepanjangan dapat menyebabkan terjadinya
anemia, seperti mudah lelah, pucat, nyeri dada dan pusing.

e. Pemeriksaan Diagnostik Hematemesis Melena


1) Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologic dilakukan dengan pemeriksaan esofagogram untuk
daerah esophagus dan diteruskan dengan pemeriksaan double kontrast pada
lambung dan duodenum. Pemeriksaan tersebut dilakukan pada berbagai posisi
terutama pada daerah 1/3 distal distal esophagus, kardia dan fundus lambung
untuk mencari ada atau tidaknya varises.
a) Pemeriksaan endoskopik
Dengan adanya berbagai macam tipe fiberendokop, maka pemeriksaan secara
endoskopik menjadi sangat penting untuk menentukan dengan tepat tempat

17
asal dan sumber perdarahan. keuntungan lain dari dari pemeriksaan
endoskopik adalah dapat dilakukan pengambilan foto untuk dokumentasi,
aspirasi cairan, dan infuse untuk pemeriksaan sitopatologik. Pada perdarahan
saluran makan bagian atas yang sedang berlangsung, pemeriksaan endoskopik
dapat dilakukan secara darurat atau sendiri mungkin setelah hematemesis
berhenti.
b) Pemeriksaan ultrasonografi dan scanning hati
Pemeriksaan dengan ultrasonografi atau scanning hati dapat mendeteksi
penyakit hati kronik seperti sirosis hati yang mungkin sebagai penyebab
perdarahan saluran makan bagian atas. Pemeriksaan ini memerlukan peralatan
dan tenaga khusus yang sampai sekarang hanya terdapat dikota besar saja.
Pemeriksaan laboratorium seperti kadar hemoglobin, hematokrit, leukosit,
trombosit, kadar ureum kreatinin dan uji fungsi hati segera dilakukan secara
berkala untuk dapat mengikuti perkembangan penderita

f. Penatalaksanaan Medik Hematemesis Melena


Tindakan umum terhadap pasien diutamakan airway-breathing-circulation (ABC).
Terhadap pasien yang stabil setelah pemeriksaan memadai, segera dirawat untuk
terapi lanjutan atau persiapan endoskopi
Untuk pasien risiko tinggi perlu tindakan lebih agresif seperti
1) Pemasangan iv-line minimal 2 dengan jarum (kateter) besar minimal no 18. Ini
penting untuk transfuse, dianjurkan pemasangan CVP
2) Oksigen sungkup/ kanula. Bila gangguan airway-breathing perlu ETT
3) Mencatat intake- output, harus dipasang kateter urine
4) Monitor tekanan darah, nadi, saturasi O2, keadaan lain sesuai komorbid
5) Melakukan bilas lambung agar mempermudah tindakan endoskopi
Pengobatan penderita perdarahan saluran makan bagian atas harus sedini mungkin
dan sebaiknya dirawat di rumah sakit untuk mendapatkan pengawasan yang diteliti
dan pertolongan yang lebih baik. Pengobatan penderita perdarahan saluran makan
bagian atas meliputi :
1) Pengawasan dan pengobatan umum.
a) Tirah baring.
b) Diet makanan lunak
c) Pemeriksaan Hb, Ht setiap 6 jam pemberian transfusi darah

18
d) Pemberian tranfusi darah bila terjadi perdarahan yang luas (hematemesis
melena)
e) Infus cairan lagsung dipasang untuk mencegah terjadinya dehidrasi.
f) Pengawasan terhadap tekanan darah, nadi, kesadaran penderita dan bila
perlu CVP monitor.
g) Pemeriksaan kadar Hb dan Ht perlu dilakukan untuk mengikuti keadaan
perdarahan.
h) Tranfusi darah diperlukan untuk mengganti darah yang hilang dan
mempertahankan kadar Hb 50-70% harga normal.
i) Pemberian obat-obatan hemostatik seperti vitamin K, 4x10mg/hari,
karbosokrom (adona AC), antasida dan golongan H2 reseptor antagonis
berguna untuk menanggulangi perdarahan.
j) Dilakukan klisma dengan air biasa disertai pemberian antibiotika yang
tidak diserap oleh usus, sebagai timdakan sterilisasi usus. Tindakan ini
dilakukan untuk mencegah terjadinya peningkatan produksi amoniak oleh
bakteri usus, dan ini dapat menimbulkan ensefalopati hepatic.
2) Pemasangan pipa naso-gastrik
Tujuan pemasangan pipa naso gastrik adalah untuk aspirasi cairan lambung,
lavage (kumbah lambung) dengan air , dan pemberian obat-obatan. Pemberian
air pada kumbah lambung akan menyebabkan vasokontriksi lokal sehingga
diharapkan terjadi penurunan aliran darah di mukosa lambung, dengan
demikian perdarahan akan berhenti. Kumbah lambung ini akan dilakukan
berulang kali memakai air sebanyak 100- 150 ml sampai cairan aspirasi
berwarna jernih dan bila perlu tindakan ini dapat diulang setiap 1-2 jam.
Pemeriksaan endoskopi dapat segera dilakukan setelah cairan aspirasi lambung
sudah jernih.
3) Pemberian pitresin (vasopresin)
Pitresin mempunyai efek vasokoktriksi, pada pemberian pitresin per infus akan
mengakibatkan kontriksi pembuluh darah dan splanknikus sehingga
menurunkan tekanan vena porta, dengan demikian diharapkan perdarahan
varises dapat berhenti. Perlu diingat bahwa pitresin dapat menrangsang otot
polos sehingga dapat terjadi vasokontriksi koroner, karena itu harus berhati-
hati dengan pemakaian obat tersebut terutama pada penderita penyakit jantung

19
iskemik. Karena itu perlu pemeriksaan elektrokardiogram dan anamnesis
terhadap kemungkinan adanya penyakit jantung koroner/iskemik.
4) Pemasangan balon SB Tube
Dilakukan pemasangan balon SB tube untuk penderita perdarahan akibat
pecahnya varises. Sebaiknya pemasangan SB tube dilakukan sesudah penderita
tenang dan kooperatif, sehingga penderita dapat diberitahu dan dijelaskan
makna pemakaian alat tersebut, cara pemasangannya dan kemungkinan kerja
ikutan yang dapat timbul pada waktu dan selama pemasangan.
Beberapa peneliti mendapatkan hasil yang baik dengan pemakaian SB tube ini
dalam menanggulangi perdarahan saluran makan bagian atas akibat pecahnya
varises esofagus. Komplikasi pemasangan SB tube yang berat seperti laserasi
dan ruptur esofagus, obstruksi jalan napas tidak pernah dijumpai.
5) Pemakaian bahan sklerotik
Bahan sklerotik sodium morrhuate 5 % sebanyak 5 ml atau sotrdecol 3 %
sebanyak 3 ml dengan bantuan fiberendoskop yang fleksibel disuntikan
dipermukaan varises kemudian ditekan dengan balon SB tube. Tindakan ini
tidak memerlukan narkose umum dan dapat diulang beberapa kali. Cara
pengobatan ini sudah mulai populer dan merupakan salah satu pengobatan
yang baru dalam menanggulangi perdarahan saluran makan bagian atas yang
disebabkan pecahnya varises esofagus.
6) Tindakan operasi
Bila usaha-usaha penanggulangan perdarahan diatas mengalami kegagalan dan
perdarahan tetap berlangsung, maka dapat dipikirkan tindakan operasi .
Tindakan operasi yang basa dilakukan adalah : ligasi varises esofagus,
transeksi esofagus, pintasan porto-kaval. Operasi efektif dianjurkan setelah 6
minggu perdarahan berhenti dan fungsi hari membaik.

g. Komplikasi Hematemesis Melena


1) Syok hipovolemik
Disebut juga dengan syok preload yang ditandai dengan menurunnya volume
intravaskuler oleh karena perdarahan. dapat terjadi karena kehilangan cairan
tubuh yang lain. Menurunnya volume intravaskuler menyebabkan penurunan
volume intraventrikel. Pada klien dengan syok berat, volume plasma dapat
berkurang sampai lebih dari 30% dan berlangsung selama 24-28 jam.

20
2) Gagal Ginjal Akut
Terjadi sebagai akibat dari syock yang tidak teratasi dengan baik. Untuk
mencegah gagal ginjal maka setelah syock, diobati dengan menggantikan volume
intravaskuler.
3) Penurunan kesadaran
Terjadi penurunan transportasi O2 ke otak, sehingga terjadi penurunan kesadaran.
4) Ensefalopati
Terjadi akibat kersakan fungsi hati di dalam menyaring toksin di dalam darah.
Racun-racun tidak dibuang karena fungsi hati terganggu. Dan suatu kelainan
dimana fungsi otak mengalami kemunduran akibat zat-zat racun di dalam darah,
yang dalam keadaan normal dibuang oleh hati.

3 Penanganan lanjutan pada kegawatdaruratan saluran cerna atas

C. Asuhan Keperawatan Trauma Abdomen


1. Pengkajian Emergency dan Kritis
a. Primary Survey
1) Airway
a) Sesak napas, hipoksia, retraksi interkosta, napas cuping hidung, kelemahan.
b) Sumbatan atau penumpukan secret.
c) Gurgling, snoring, crowing, wheezing, krekels, stridor.
d) Diaporesis
2) Brething
a) Sesak dengan aktivitas ringan atau istirahat.
b) RR lebih dari 24 kali/menit, irama ireguler dangkal.
c) Ronki, krekels.
d) Ekspansi dada tidak maksimal/penuh.
e) Penggunaan obat bantu nafas.
f) Tampak sianosis / pucat
g) Tidak mampu melakukan aktivitas mandiri
3) Circulation
Hipotensi (termasuk postural), takikardia, disritmia (hipovolemia, hipoksemia),
kelemahan/nadi perifer lemah, pengisian kapiler lambat/perlahan
(vasokontriksi), warna kulit: Pucat, sianosis, (tergantung pada jumlah

21
kehilangan darah, kelembaban kulit/membrane mukosa: berkeringat
(menunjukkan status syok, nyeri akut, respon psikologik).
a) Nadi lemah/tidak teratur.
b) Takikardi dan bradikardi bisa terjadi
c) TD meningkat/menurun.
d) Edema.
e) Gelisah.
f) Akral dingin.
g) Gangguan sistem termoregulasi (hipertermia dan Hipotermia)
h) Kulit pucat atau sianosis.
i) Output urine menurun / meningkat
4) Disability
a) Penurunan kesadaran.
b) Penurunan refleks.
c) Tonus otot menurun
d) kekuatan otot menurun karena kelemahan.
e) Kelemahan
f) Iritabilitas,
g) Turgor kulit tidak elastis
5) Exposure
Nyeri kronis pada abdomen, perdarahan peses, nyeri saat mau BAB dan BAK,
distensi abdomen, perkusi hipertimpani, hiperperistalitik usus, mual muntah,
hasil foto rontegen abdomen infeksi saluran cerna.
b. Secondary Survey
1) TTV
a) Tekanan darah bisa normal/naik/turun (perubahan postural di catat dari
tidur sampai duduk/berdiri.
b) Nadi dapat normal/penuh atau tidak kuat atau lemah/kuat kualitasnya
dengan pengisian kapiler lambat, tidak teratur (disritmia).
c) RR lebih dari 20 x/menit.
d) Suhu hipotermi/hipertermia.
2) Pemeriksaan fisik
a) Pemakaian otot pernafasan tambahan.

22
b) Nyeri abdomen, hiperperistalitik usus, produksi, Anoreksia, mual, muntah
(muntah yang memanjang diduga obstruksi pilorik bagian luar sehubungan
dengan luka duodenal), masalah menelan; cegukan, nyeri ulu hati, sendawa
bau asam, mual/muntah, tidak toleran terhadap makanan, contoh makanan
pedas, coklat; diet khusus untuk penyakit ulkus sebelumnya, penurunan
berat badan.
Tanda : Muntah: Warna kopi gelap atau merah cerah, dengan atau tanpa
bekuan darah, membran mukosa kering, penurunan produksi mukosa,
turgor kulit buruk (perdarahan kronis), berat jenis urin meningkat. urin
menurun, pekat,
c) Peningkatan frekuensi pernafasan, nafas sesak, bunyi nafas (bersih, krekels,
mengi, whwzing, ), sputum.
d) Odem ekstremitas, kelemahan, diaporesis
3) Pemeriksaan selanjutnya
a) Keluhan nyeri abdomen.
b) Obat-obat anti biotic, analgeti.
c) Makan-makanan tinggi natrium.
d) Penyakit penyerta DM, Hipertensi, hepatitis, gastroenteritis.
e) Riwayat alergi.

c. Tirtiery Survey
1) Pemeriksaan Laboratorium
a) Patologi Klinis : Darah lengkap, hemostasis (waktu perdarahan,
pembekuan, protrombin), elektrolit (Na,K Cl), Fungsi hati (SGPT/SGOT,
albumin, globulin)
b) Patologi Anatomi : Pertimbangkan dilakukan biopsi lambung
c) CPKMB, LDH, AST
d) Elektrolit, ketidakseimbangan (hipokalemi).
e) Sel darah putih (10.000-20.000).
f) GDA (hipoksia).
g) Radiologi : Endoskopi SCBA, USG hati

2. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut b.d trauma atau diskontinuitas jaringan

23
2. Resiko kehilangan cairan b.d kehilangan volume cairan aktif
3. Resiko infeksi b.d kerusakan integritas kulit
4. Kerusakan integritas kulit b.d cedera tusuk
3. Intervensi Keperawatan
DX1.
DIAGNOSA
NOC NIC
KEPERAWATAN
Nyeri akut b.d 1. Kontrol Nyeri 1. Lakukan pengkajian nyeri secara
trauma atau 2. Tingkat Nyeri menyeluruh meliputi lokasi, durasi,
diskontinuitas Kriteria Hasil : kualitas, keparahan nyeri dan faktor
jaringan 1) Mengetahui faktor penyebab pencetus nyeri.
nyeri 2. Observasi ketidaknyamanan non
2) Mengetahui permulaan verbal.
terjadinya nyeri 3. Ajarkan untuk teknik nonfarmakologi
3) Menggunakan tindakan misal relaksasi, guide imajeri, terapi
pencegahan musik, distraksi.
4) Melaporkan gejala 4. Kolaborasi : pemberian Analgetik
5) Melaporkan kontrol nyeri sesuai indikasi
6) Melaporkan nyeri berkurang 5. Monitor tanda – tanda vital sebelum
atau hilang dan setelah pemberian analgetik.
7) Frekuensi nyeri berkurang
8) Lamanya nyeri berlangsung
9) Ekspresi wajah saat nyeri
10) Posisi tubuh melindungi

DX2.
DIAGNOSA
NOC NIC
KEPERAWATAN

24
Resiko kehilangan 1. Keseimbangan intake dan 1. Timbang popok jika diperlukan
cairan b.d output dalam 24 jam 2. Pertahan intake dan output yang
kehilangan volume 2. Tidak terlihat mata cekung akurat
cairan aktif 3. Kelembaban kulit dalam batas 3. Monitor status hidrasi (kelembaban
normal membran mucosa, nadi adekuat,
4. Membran mukosa lembab tekanan darah)
5. Berat badan stabil 4. Monitor vital sign
5. Dorong masukan oral
6. Dorong keluarga untuk membantu
pasien makan
7. Kolaborasi
8. Pemberian cairan IV
9. Pemberian tranfusi darah jika
perlukan

DX3
DIAGNOSA
NOC NIC
KEPERAWATAN
Resiko infeksi b.d Kriteria Hasil : 1. Bersikan lingkungan setelah di
kerusakan 1. Klien bebas dari tanda dan pakai pasien lain
integritas kulit gejala infeksi 2. Ajarkan pasien dan keluarga tanda
2. Mendeskripsikan proses dan gejala infeksi
penularan penyakit , factor 3. Batasi pengunjung bila perlu
yang mempengaruhi penularan 4. Cuci tangan setiap sebelum dan
serta penatalaksaannya sesudah tindakan keperawatan
3. Menunjukan kemampuan 5. Pertahankan lingkungan antiseptik
untuk mencegah timbulnya selama pemasangan alat
infeksi 6. Monitor tanda dan gejala infeksi
4. Jumlah leukosit dalam batas sistemik dan local
normal 7. Monitor kerentanan terhadap
infeksi
8. Berikan perawatan kulit pada area
epidema
9. Inpeksi kulit dan membran mukosa
terhadap kemerahan,panas,drainase

DX4
DIAGNOSA
NOC NIC
KEPERAWATAN

25
Kerusakan 1. Integritas kulit yang baik 1. Anjurkan klien meggunakan
integritas kulit b.d dapat dipertahankan pakaian yang longgar
cedera tusuk 2. Tidak ada luka/lesi pada 2. Jaga kebersihan kulit agar
kulit tetap bersih dan kering
3. Perfusi jaringan baik 3. Mobilisasi klien 2jam sekali
4. Menunjukan pemahaman 4. Monitor adanya kemerahan
dalam perbaikan kulit 5. Oleskan lotion/ minyak pada
daerah tekan

D. Asuhan Keperawatan Trauma Abdomen


1. Pengkajian
a) Primary survey
(1) Airway: Memastikan kepatenan jalan napas tanpa adanya sumbatan atau
obstruksi
(2) Breathing: memastikan irama napas normal atau cepat, pola napas teratur, tidak
ada dyspnea, tidak ada napas cuping hidung, dan suara napas vesikuler,
(3) Circulation: nadi lemah/ tidak teraba, cepat >100x/mt, tekanan darah dibawah
normal bila terjadi syok, pucat oleh karena perdarahan, sianosis, kaji jumlah
perdarahan dan lokasi, capillary refill >2 detik apabila ada perdarahan.
Penurunan kesadaran
(4) Disability: kaji tingkat kesadaran sesuai GCS, respon pupil anisokor apabila
adanya diskontinuitas saraf yang berdampak pada medulla spinalis.
(5) Exposure/Environment: fraktur terbuka di femur dekstra, luka laserasi pada wajah
dan tangan, memar pada abdomen, perut semakin menegang.
b) Secondary survey
Fokus Asesment
 Kepala: Wajah, kulit kepala dan tulang tengkorak, mata, telinga, dan mulut.
Temuan yang dianggap kritis:
 Pupil tidak simetris, midriasis tidak ada respon terhadap cahaya ?
 Patah tulang tengkorak (depresi/non depresi, terbuka/tertutup)?
 Robekan/laserasi pada kulit kepala?
 Darah, muntahan atau kotoran di dalam mulut?
 Cairan serebrospinal di telinga atau di hidung?
 Battle sign dan racoon eyes?

26
 Leher: lihat bagian depan, trachea, vena jugularis, otot-otot leher bagian
belakang.. Temuan yang dianggap kritis: Distensi vena jugularis, deviasi trakea
atau tugging, emfisema kulit
 Dada: Lihat tampilan fisik, tulang rusuk, penggunaan otot-otot asesoris,
pergerakan dada, suara paru. Temuan yang dianggap kritis: Luka terbuka, sucking
chest wound, Flail chest dengan gerakan dada paradoksikal, suara paru hilang
atau melemah, gerakan dada sangat lemah dengan pola napas yang tidak adekuat
(disertai dengan penggunaaan otot-otot asesoris).
 Abdomen: Memar pada abdomen dan tampak semakin tegang, lakukan auskultasi
dan palpasi dan perkusi pada abdomen. Temuan yang dianggap kritis ditekuannya
penurunan bising usus, nyeri tekan pada abdomen bunyi dullness.
Pemeriksaan fisik difokuskan pada daerah abdomen:
(1) Inspeksi : Fraktur terbuka di femur dekstra, luka laserasi pada wajah dan
tangan, memar pada abdomen, perut semakin menegang.
(2) Auskultasi : Bising usus
(3) Perkusi : Bunyi redup bila ada hemoperitoneum.
(4) Palpasi : kekauan dan spasme pada perut karena akumulasi darah atau
cairan.
 Pelvis: Daerah pubik, Stabilitas pelvis, Krepitasi dan nyeri tekan. Temuan yang
dianggap kritis: Pelvis yang lunak, nyeri tekan dan tidak stabil serta
pembengkakan di daerah pubik
 Extremitas: ditemukan fraktur terbuka di femur dextra da luka laserasi pada
tangan. Anggota gerak atas dan bawah, denyut nadi, fungsi motorik, fungsi
sensorik. Temuan yang dianggap kritis: Nyeri, melemah atau menghilangnya
denyut nadi, menurun atau menghilangnya fungsi sensorik dan motorik.
 Pemeriksaan tanda-tanda vital yang meliputi : suhu, nadi, pernafasan dan tekanan
darah.
 Pemeriksaan status kesadaran dengan penilaian GCS (Glasgow Coma Scale):
terjadi penurunan kesadaran pada pasien.

2. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut b.d trauma atau diskontinuitas jaringan
2. Resiko ketidakseimbangan elektrolit b.d diare
3. Resiko ketidakefektifan perfusi gastrointestinal b.d Aneurime aourta abdomen

27
4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d ketidakmampuan untuk
memproses (mencerna) makanan
5. Ansietas b.d kurang pengetahuan tentang perawatan penyakitnya

3. Intervensi Keperawatan
DX1
DIAGNOSA
NOC NIC
KEPERAWATAN
Nyeri akut b.d 1. Kontrol Nyeri 1. Lakukan pengkajian nyeri secara
trauma atau 2. Tingkat Nyeri menyeluruh meliputi lokasi,
diskontinuitas Kriteria Hasil : durasi, kualitas, keparahan nyeri
jaringan 1) Mengetahui faktor penyebab dan faktor pencetus nyeri.
nyeri 2. Observasi ketidaknyamanan non
2) Mengetahui permulaan verbal.
terjadinya nyeri 3. Ajarkan untuk teknik
3) Menggunakan tindakan nonfarmakologi misal relaksasi,
pencegahan guide imajeri, terapi musik,
4) Melaporkan gejala distraksi.
5) Melaporkan kontrol nyeri 4. Kolaborasi : pemberian
6) Melaporkan nyeri berkurang Analgetik sesuai indikasi
atau hilang 5. Monitor tanda – tanda vital
7) Frekuensi nyeri berkurang sebelum dan setelah pemberian
8) Lamanya nyeri berlangsung analgetik.
9) Ekspresi wajah saat nyeri
10) Posisi tubuh melindungi

DX2
DIAGNOSA
NOC NIC
KEPERAWATAN
Resiko Kriteria hasil : 1. Timbang popok/pembalut jika
ketidakseimbangan 1. Mempertahankan urine diperlukan
elektrolit b.d diare output dengan usia dan BB, 2. Pertahankan catatan intake dan
BJ urine normal, HT output yang akurat
normal 3. Monitor status hidrasi (kelembapan
2. Tekanan darah, nadi, suhu membran mukosa, nadi adekuat,
tubuh dalam batas normal tekanan darah ortostatik)
3. Tidak ada tanda-tanda 4. Monitor vital sign
dehidrasi 5. Monitor masukan makanan/cairan
4. Elastisitas turgor kulit baik, dan hitung intake kalori harian
membran mukosa lembab,

28
tidak ada rasa haus yang 6. Kolaborasi pemberian cairan IV
berlebihan 7. Monitor status nutrisi

DX3
DIAGNOSA
NOC NIC
KEPERAWATAN
Resiko Kriteria hasil : 1. Monitor TTV
ketidakefektifan 1. Jumlah, warna, konsistensi 2. Monitor status cairan dan elektrolit
perfusi dan bau feses dalam batas 3. Monitor bising usus
gastrointestinal b.d normal 4. Catat intake dan output secara akurat
Aneurime aourta 2. Tidak ada nyeri perut 5. Kaji tanda-tanda gangguan
abdomen 3. Bising usus normal keseimbangan cairan dan elektrolit
4. Tekanan systole diastole (membrane mukosa kering, sianosis,
dalam rentang normal jaundice)
5. Intake output seimbang 6. Kelola pemberian suplemen
6. Tidak ada oedem perifer elektrolit sesuai intruksi dokter
dan asites 7. Monitor diare
7. Membrane mukosa lembab
Hematokrit dalam batas
normal

DX4
DIAGNOSA
NOC NIC
KEPERAWATAN

29
Ketidakseimbangan 1. Mempertahankan berat badan 1. Kaji tentang makanan yang
nutrisi kurang dari dalam batas normal membuat klien alergi.
kebutuhan tubuh 2. Toleransi terhadap diet yang 2. Dorong pasien untuk memilih
b.d dianjurkan makanan yang lunak.
ketidakmampuan 3. Melaporkan keadekuatan tingkat 3. Anjurkan pasien untuk
untuk memproses energi meningkatkan protein dan vitamin C
(mencerna) 4. Nilai laboratorium dalam batas 4. Monitor jumlah pemasukan nutrisi
makanan normal dan kalori.
5. Kolaborasi :
Diskusikan dengan ahli gizi dalam
menentukan jumlah kebutuhan
kalori dan protein.

DX5
DIAGNOSA
NOC NIC
KEPERAWATAN
Ansietas b.d 1. Klien mampu mengidentifikasi 1. Gunakan pendekatan yang
kurang dan mengungkapkan gejala menengangkan
pengetahuan cemas 2. Temani klien untuk memberikan
tentang perawatan 2. TTV dalam batas normal keamanan dan mengurangi takut
penyakitnya 3. Postur tubuh, ekspresi wajah, 3. Dengarkan dengan penuh perhatian
dan tingkat aktivitas 4. Berikan obat untuk mengurangi
menunjukan kekurangan kecemasan
kecemasan

30
Daftar Pustaka

Brunner & Suddarth (2015). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Vol 2. Ed. 8. EGC:
Jakarta.
RSHS, Tim PPGD, (2010). Penanganan Penderita Gawat Darurat (PPGD Basic 2). RSHS
Bandung
Nurarif, A. (2015). Aplikasi Asuhan keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis Dan NIC
NOC Jilid 3. Jogjakarta: MediAction
Tanto, C., Liwang, F., Hanifati, S., Pradipta., E. (2014). Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 4,
Jilid 1. Jakarta: Media Aesculapius
Purwadianto, A. & Budi S. Hematemesis & Melena : dalam Kedaruratan Medik. Jakarta :
Binarupa Aksara. 2010 : 105 – 10

31

Anda mungkin juga menyukai