Anda di halaman 1dari 14

ANTI VGEF pada Retinopati Diabetikum

Pembimbing:

dr. Henry A. W, Sp.M (K)

Disusun oleh:

Naufal Kamal Yurnadi 1102014189

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT MATA

RUMAH SAKIT BHAYANGKARA TK. 1 RADEN SAID SUKANTO

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI

PERIODE JUNI 2019 - JULI 2019

1
BAB I
PENDAHULUAN

Retinopati diabetik merupakan salah satu penyebab berkurangnya tajam


pengelihatan pada penderita diabetes melitus (DM). DM adalah suatu kelompok
penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena
kelainan sekresi insulin (tipe 1), kerja insulin (tipe 2), atau kedua-duanya. Pasien
diabetes memiliki risiko 25 kali lebih mudah mengalami kebutaan dibanding
nondiabetes. Setiap tahun terjadi peningkatan insidensi DM di seluruh dunia.1
Retinopati diabetik adalah salah satu komplikasi mikroangiopati kronik dari
diabetes, ditandai dengan adanya kerusakan dan sumbatan pada pembuluh darah
kapiler retina. Retinopati diabetik meningkat sejalan dengan lamanya diabetes.1
Pada retinopati diabetik VEGF (vascular endothelial growth factor
memiliki peranan yang besar terhadap perkembangan proliferatif diabetik
retinopati dan diabetik makular edema. VEGF merupakan bagian dari growth
fartors yang berfungsi untuk memicu vaskulogenesis dan angioenesis. VEGF
disekresikan terutama dari sel epitel pigmen retina, pericytes, astrosit, sel Müller,
sel glial, dan sel endotel.Sekresi VEGF terutama dipicu oleh keadaan hipoksia
atau iskemia jaringan pada retina yang diakibatkan oleh komplikasi mikrovaskular
pada penderita DM.2
Pengobatan retinopati diabetik meliputi pengendalian glukosa darah,
tekanan darah, steroid intravitreus, serta fotokoagulasi laser. Baru-baru ini
berkembang penggunaan anti VEGF (vascular endothelial growth factor) pada
terapi retinopati diabetik setelah anti VEGF dipublikasi memberi hasil yang baik
pada ARMD (age-related macular degeneration). Pengobatan menggunakan anti
VEGF dinilai lebih aman dan meliliki sedikit komplikasi dibanding dengan
pengobatan laser.2
Tugas ini bertujuan untuk memahami peranan VEGF dalam patogenesis
retinopati diabetik serta pemakaian anti VEGF pada retinopati diabetik.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Diabetes melitus (DM)


Diabetes Melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin, atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan
dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ
tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah.1
Secara epidemiologi terjadi peningkatan jumlah kasus diabetes di seluruh
dunia. Penyakit ini seringkali tidak terdeteksi, dan dikatakan onset atau mulai
terjadinya diabetes adalah 7 tahun sebelum diagnosis ditegakkan.1
DM yang tidak dikelola dengan baik, diabetes melitus akan menyebabkan
terjadinya berbagai komplikasi kronik, baik mikroangiopati maupun
makroangiopati. Perubahan/disfungsi dasar pada DM terutama terjadi pada
endotel pembuluh darah, sel otot polos pembuluh darah maupun pada sel
mesangial ginjal. Patologi dimulai dari keadaan hiperglisolia, yaitu suatu keadaan
dimana sel kebanjiran masuknya glukosa akibat hiperglikemia kronik.
Hiperglisolia akan mengubah homeostasis biokimiawi sel melalui beberapa jalur
biokimiawi seperti jalur aldosa reduktase, stres oksidatif sitoplasmik, jalur protein
kinase C dan terbentuknya spesies glikosilasi lanjut intrasel. Salah satu
komplikasi mikroangiopati dari DM yaitu retinopati diabetik.3

2.2. Retinopati diabetik (RD)


Retinopati diabetik adalah suatu mikroangiopati progresif yang ditandai
oleh kerusakan dan sumbatan pembuluh-pumbuluh halus, meliputi arteriol
prekapiler retina, kapiler-kapiler dan vena-vena.4
Retinopati diabetik merupakan penyebab kebutaan paling sering ditemukan
pada usia dewasa antara 20-74 tahun di negara maju. Di Amerika terdapat 5000
kebutaan akibat retinopati diabetik. Pasien diabetes memiliki risiko 25 kali lebih

3
mudah mengalami kebutaan dibanding nondiabetes. Risiko mengalami retinopati
pada pasien diabetes meningkat sejalan dengan lamanya diabetes. Pada waktu
diagnosis DM tipe 1 ditegakkan, RD hanya ditemukan pada kurang dari 5%
pasien. Setelah 10 tahun, prevalensi meningkat menjadi 40-50% dan sesudah 20
tahun lebih dari 90% pasien sudah menderita RD. Pada DM tipe 2 ketika
diagnosis DM ditegakkan, sekitar 25% sudah menderita RD nonproliferatif.
Setelah 20 tahun, prevalensi RD meningkat menjadi lebih dari 60% dalam
berbagai derajat.5,6
Kelaian dasar dari retinopati diabetik terletak pada kapiler retina yang terdiri
dari 3 lapisan dari luar ke dalam yaitu sel perisit, membrana basalis, dan sel
endotel. Sel perisit berfungsi mempertahankan struktur kapiler, mengatur
kontraktilitas, mempertahankan fungsi barier dan transportasi kapiler, serta
mengendalikan proliferasi endotel. Dalam kedaan normal perbandingan sel perisit
dengan endotel kapiler retina adalah 1:1. Membrana basalis berfungsi sebagai
barier dengan mempertahankan permeabilitas kapiler agar tidak terjadi kebocoran.
Perubahan histopatologis kapiler retina pada RD dimulai dari penebalan membran
basalis, hilangnya perisit, dan proliferasi endotel dimana pada keaadaan lanjut
perbandingan antara endotel dan perisit dapat mencapai 10:1. Patofisiologi RD
melibatkan 5 proses dasar yang terjadi di tingkat kapiler yaitu:1) Pembentukan
mikroaneurisme, 2) Peningkatan permeabilitas pembuluh darah, 3) Penyumbatan
pembuluh darah, 4) Proliferasi pembuluh darah baru (neovaskularisasi sebagai
respons VEGF) dan jaringan fibrosa di retina, 5) Kontraksi dari jaringan fibrosis
kapiler dan jaringan vitreus.6

Gambar 1. Sel Perisit pada kapiler.7

4
Kebutaan akibat retinopati diabetik dapat terjadi melalui beberapa
mekanisme berikut: 1) Edema makula atau nonperfusi kapiler, 2) Pembentukan
pembuluh darah baru pada RD proliferatif dan kontraksi jaringan fibrosis
menyebabkan ablasio retina, 3) Pembuluh darah baru yang terbentuk
menimbulkan perdarahan preretina dan vitereus, 4) Pembentukan pembuluh darah
baru dapat menimbulkan glaukoma. 6
Diagnosis retinopati diabetik didasarkan atas hasil pemeriksaan funduskopi.
Pemeriksaan fundal fluorescein angiography (FFA) merupakan metode diagnosis
yang paling diercaya. Namun dalam klinik, pemeriksaan dengan oftalmoskopi
masih dapat digunakan untuk skrining.6
Early Treatment Diabetic Retinopathy Study Reasearch Group (ETDRS)
membagi retinopati diabetik atas nonproliferatif dan proliferatif. Pertemuan Airlie
House membagi RD atas 3 stadium yaitu stadium nonproliferatif, preproliferatif,
dan proliferatif. Klasifikasi RD menurut Ilyas S yaitu: Derajat 1, terdapat
mikroaneurisma dengan atau tanpa eksudat lemak pada fundus okuli. Derajat 2,
terdapat mikroaneurisma, perdarahan bintik dan bercak dengan atau tanpa eksudat
lemak pada fundus okuli. Derajat 3, terdapat mikroaneurisma, perdarahan bintik
dan bercak, serta terdapat neovaskularisasi dan proliferasi pada fundus okuli. 5,6

Gambar 2. Funduskopi pada Retinopati Diabetik.8

5
2.2.1. Retinopati diabetik nonproliferatif (NPDR)
Retinopati diabetik nonproliferatif (NPDR)merupakan bentuk yang
paling ringan dan sering tidak memperlihatkan gejala. Stadium ini sulit
dideteksi hanya dengan pemeriksaan oftalmoskopi langsung maupun tidak
langsung. Cara yang paling baik adalah dengan menggunakan foto fundus
dan FFA. Mikroaneurisma yang terjadi pada kapiler retina merupakan tanda
paling awal yang dapat dilihat pada NPDR. Mikroaneurisma diduga
berhubungan dengan faktor vasoproliferatif yang dihasilkan endotel,
kelemahan dinding kapiler akibat berkurangnya sel perisit, serta
meningkatnya tekanan intraluminal kapiler. Kelainan morfologi lain ialah
penebalan membrana basalis, perdarahan ringan, eksudat keras yang tampak
sebagai bercak berwarna kuning dan eksudat lunak yang tampak sebagai
cotton wool spot. Perdarahan terjadi akibat kebocoran eritrosit, eksudat
terjadi akibat kebocoran dan deposisi lipoprotein plasma, sedangkan edema
terjadi akibat kebocoran cairan plasma. NPDR berat sering disebut juga
sebagai retinopati diabetik iskemik, obstruktif atau preproliferatif.
Gambaran yang dapat ditemukan yaitu bentuk kapiler yang berkelok tidak
teratur akibat dilatasi yang tidak beraturan dan cotton wool spot , yaitu
gambaran bercak berwarna putih pucat karena kapiler mengalami sumbatan.
Dalam waktu 1-3 tahun, NPDR berat sering berkembang menjadi RD
proliferatif.6
2.2.2. Retinopati diabetik proliferatif (PDR)
Retinopati diabetik proliferatif (PDR)ditandai dengan pembentukan
pembuluh darah baru, yang hanya terdiri dari satu lapisan sel endotel tanpa
sel perisit dan membrana basalis sehingga bersifat sangat rapuh dan mudah
mengalami perdarahan. Pembuluh darah baru tersebut sangat berbahaya
karena tumbuh secara abnormal keluar dari retina meluas sampai ke vitreus,
menyebabkan perdarahan dan dapat menimbulkan kebutaan. Apabila
perdarahan terus berulang, dapat terjadi jaringan fibrosis atau sikatrik pada
retina. Sikatriks dan jaringan fibrosis yang terjadi dapat menarik retina
sampai terlepas sehingga terjadi ablasio retina. Pembuluh darah baru dapat

6
juga terbentuk di dalam stroma dari iris dan bersama dengan jaringan
fibrosis yang terjadi dapat meluas sampai ke sudut dari kamera okuli
anterior sehingga menyebabkan galukoma neovaskular.6
2.2.3. Makulopati diabetik
Makulopati diabetik merupakan penyebab kebutaan paling sering pada
retinopati diabetik. Makulopati retinopatik cenderung berhubungan dengan
DM tipe 2 usia lanjut, sedangkan retinopati proliferatif cenderung
ditemukan pada usia muda. Makulopati diabetik dibedakan menjadi
makulopati iskemik, makulopati eksudatif, dan edema makula. Makulopati
iskemik terjadi akibat penyumbatan yang luas dari kapiler di daerah sentral
retina. Makulopati eksudatif terjadi karena kebocoran setempat sehingga
terbentuk eksudat keras seperti pada NPDR. Edema makula terjadi akibat
kebocoran yang difus. Apabila keadaan tersebut menetap, maka akan
terbentuk kista berisi cairan yang dikenal sebagai edema makula kistoid
(CME). Optical coherence tomography (OCT) merupakan metode yang
paling baik untuk mendiagnosis makulopati diabetik.6

2.3. Peranan VEGF Pada Diabetik Retinopati


Vascular Endothelial Growth Factors (VEGF) adalah bagian daari Growth
Factors yang berfungsi sebagai sinyal protein untuk kedua vasculogenesis
(pembentukan de novo dari sistem peredaran darah embrio) dan angiogenesis
(pertumbuhan pembuluh darah dari pembuluh darah yang sudah ada). VEGF
disekresikan terutama dari epitel pigmen retina sel, pericytes, astrosit, sel Müller,
sel glial, dan sel-sel endotel. VEGF memiliki beberapa anggota termasuk VEGF-
A, VEGF-B, VEGF-C, VEGF-D dan placental growth factors (PGF).Sekresi
VEGF terutama dipicu oleh keadaan hipoksia atau iskemia jaringan pada retina
yang diakibatkan oleh mikroangiopati pada penderita DM.2
Semua anggota VEGF merangsang respon seluler dengan mengikat reseptor
kinase tirosin pada permukaan sel endotel, yang menjadikan molekul-molekul

7
VEGF berdimerisasi dan menjadi aktif melalui jalur transfosforilasi.VEGF-A
memiliki dua jenis reseptor: VEGF reseptor 1 (VEGFR-1 atau Flt-1) dan 2
(VEGFR-2 atau KDR). Pada manusia, VEGFR-1 adalah protein yang dikodekan
oleh gen Flt-1 dan VEGFR-2 adalah Kinase insert Domain Receptors (KDR, tipe
III reseptor tirosin kinase) yang dikodekan oleh gen KDR.
VEGFR-2 tampaknya menjadi reseptor utama yang berperan dalam hampir semua
respon seluler untuk VEGF-A.Reseptor VEGF memiliki tiga bagian: bagian yang
ekstraseluler terdiri dari tujuh domain yang menyerupai imunoglobulin, satu
rentang transmembran tunggal yang bersifat hidrofobik, dan bagian intraseluler
mengandung sebuah pecahandomain tyrosine kinase.9 Ketika molekul VEGF
mengikat bagian ekstraseluler dari reseptor VEGF, bagian intraseluler
menyebabkan fosforilasi residu asam amino tirosin dan sinyal seluler
tertransduksi. transduksi pada gilirannya ini menyebabkan riam jalur sinyal
intraselular. Salah satu jalur yang diinduksi dalam sel dengan VEGF adalah
protein kinase C (PKC) jalur. Jalur lainnya berkontribusi angiogenesis oleh
sintesis oksida nitrat dan induksi proliferasi sel.10
VEGF merupakan faktor penting patogenesis PDR dan DME,
mempengaruhi permeabilitas kapiler retina dengan meningkatkan fosforilasi
protein yang terlibat dengan tight-junction seperti seperti zonula occludens.
Indukksi VEGF mangaktifkan mitogen-activated protein (MAP), yang
mengakibatkan proliferasi sel endotel. kaskade ini bertepatan dengan aktivasi jalur
phophatidylinositol 3-kinase (PI3) / Akt setelah induksi VEGFR-2. VEGF-A
merangsang sel-sel endotel untuk melepaskan matriks metaloproteinase (MMP)
dan urokinase-type plasminogen activator, yang mengakibatkan degradasi
membran basement dan membuat migrasi sel memungkinkan. Sel endotel yang
diaktifkan menghasilkan integrin seperti αvβ3 dan αvβ5, yang membantu dalam
migrasi melalui matriks yang terdegradasi. Proliferasi dan migrasi sel endotel
yang diikuti oleh sintesis membran basement untuk membentuk kapiler baru.
Stabilitas kapiler ini dicapai dengan perekrutan pericytes dan sel-sel otot polos
yang diatur oleh platelet-derived growth factor (PDGF).2

8
Hipoksia (Saturasi Oksigen
<5%
HIF-1 (hypoxia induced factor a DNA
Binding protein
Transkripsi gen VEGF
*Bevasirnab
↑ transkripsi VEGF mRNA

protein ORP 150 dari mentransfer VEGF dari retikulum endoplasma ke


badan golgi

VEGF dikeluarkan *Ranibizumab, bavacizumab,


macugen
Ligand berikatak dengan reseptor tirosine kinase pada sel endotel *Afibercept
(decay receptor)
3 jalur fosforilasi

PIP2 PI3K Phosphatidylinositol 3 Ras membrane associated


Phosphatidylin kinase guanine nucleotide binding
sitol-4,5, protein
biphosphat Raf threonin serine
IP3 kinase
DAG
Inositol (diacylglicero
triphosph l) MEK
at
Pengeluaran PKC
MAPK (Mitogen activated protein
Ca
kinase)
Sintesis nitrit
oksida Ekspresi gen
nitrit oksida
Proliferasi sel

ANGIOGENESIS

Gambar 3. Flowchart dari kaskade VEGF menunjukkan peristiwa rantai molekul yang terjadi setelah hipoksia
jaringan retina memicu pada angiogenesis.2

9
2.4. VEGF Sebagai Target Terapi
Banyak penelitian yang telah dilakukan untuk mempelajari mekanisme
VEGF dengan harapan mengurangi neovaskularisasi dan kebocoran pembuluh
darah serta efek dari VEGF. Pada gambar 3 ditunjukan lokasi obat bekerja dari
obat yang menargetkan neovaskularisasi abnormal.2
Produksi VEGF dibutuhkan pada banyak proses fisiologis normal seperti
pada keadaan perkembangan embrionik, pembentukan pembuluh darah baru pada
jaringan yang mengalami trauma (termasuk penyembuhan luka), dan kolateral
pada pembuluh darah yang tersumbat. VEGF juga dihasilkan pada proses
patologis, antara lain pada pertumbuhan pembuluh darah tumor dan pertumbuhan
pembuluh darah baru pada penyakit retina yang juga dikenal dengan wet macular
degeneration. Terapi anti-VEGF ditujukan untuk mencegah pembentukan
pembuluh darah baru pada kasus tersebut dengan memblok aksi VEGF.11
Sejarah awal penggunaan anti-VEGF berawal dari teori Judah Folkman,
seorang ahli bedah anak Harvard. Dia berpendapat angiogenesis berperan penting
pada pertumbuhan tumor, dan berhipotesis penghentian angiogenesis dapat
bermanfaat pada terapi kanker. Berdasaran teori tersebut para peneliti
mengembangkan Bevacizumab sebagai terapi kanker. Hal ini telah diterima US
FDA pada tahun 2004 untuk terapi kanker kolorektal dan juga telah digunak untuk
terapi kanker lainnya seperti kanker paru, payudara dan ginjal. Kemudian
berkembang bahwa terapi ini juga dapat dimanfaatkan menekan neovaskularisasi
koroid retina pada ARMD melalui injeksi intravitreal.12
2.5 Anti VGEF pada Diabetic retinopathy (DR)

DR mengenai sekitar 28 juta orang di dunia. Sekitar satu dari tiga pasien
dengan diabetes memiliki DR (tiga dari empat mengalami DR selama 10 tahun).
Bentuk DR, yang proliferatif dan edema makula diabetik (DME) adalah sepertiga
dari pasien dengan DR. 5% dengan bentuk yang ringan, 20% dengan bentuk yang
sedang dan 50% dengan bentuk DR non-proliferatif yang parah dapat berkembang
dalam satu tahun ke bentuk proliferatif. Selama ini fotokoagulasi laser telah
menjadi pengobatan standar untuk DME dan retinopati diabetik proliferatif
(PDR), meskipun terapi laser memiliki efek buruk yang signifikan karena sifat

10
destruktif pada retina. Meskipun injeksi intraokular dengan steroid telah
digunakan selama lebih dari satu dekade untuk mengurangi DME dan
meningkatkan penglihatan, efek menguntungkan ini juga terkait dengan efek
samping yang signifikan seperti katarak dan hipertensi okular10.

Indikasi yang berkembang untuk terapi anti-VEGF sebagai terapi dengan


injeksi intravitreal sekarang termasuk DME dan PDR. Uji klinis telah
menunjukkan bahwa pengobatan anti-VEGF lebih baik daripada laser mengenai
Pemeliharaan dan peningkatan penglihatan pada pasien DME. Jika dibandingkan
dengan terapi laser saja, ranibizumab lebih efektif dalam monoterapi atau
dikombinasikan dengan laser. Dari mereka yang menggunakan injeksi
ranibizumab, 46% pasien meningkatkan penglihatan dibandingkan 18% dengan
laser saja11. Hasil visual terbaik pada pasien yang telah menerima pengobatan
ranibizumab dan laser dicapai dengan inisiasi injeksi intravitreal diikuti dengan
terapi laser yang lakukan 6 bulan kemudian11.

Gambar-9 Perbandingan ranibizumab and bevaciz

Grafik yang menunjukkan perubahan rata-rata dalam ketajaman visual pada


kunjungan tindak lanjut11

11
DRCRnet (Diabetic Retinopathy Clinical Research Network) mengusulkan
bahwa jumlah rata-rata injeksi intravitreal dalam tiga tahun pertama untuk
mempertahankan penglihatan yang diperoleh dalam pengobatan DME adalah 9, 3
dan masing-masing 2 injeksi / tahun10. Panduan oleh NICE (Institut Nasional
untuk Kesehatan dan Perawatan Unggulan) menyarankan bahwa untuk DME,
dosis hingga 0,5 mg ranibizumab intravitreal harus digunakan setiap bulan hingga
VA maksimum tercapai (VA stabil selama tiga bulan berturut-turut). FDA
menyetujui dosis lebih rendah 0,3 mg10.

Ketika membandingkan ranibizumab dan bevacizumab dalam pengobatan


DME, agen anti-VEGF ini telah menunjukkan kemanjuran yang sama dalam
pengurangan ketebalan subbidang sentral berdasarkan tomografi koherensi optik.
Ranibizumab memberikanpeningkatan yang lebih besar pada BCVA
dibandingkan dengan bevacizumab pada beberapa studi, tetapi hasil yang berbeda
pada hasil visual tidak konklusif12.

Aflibercept juga disetujui untuk pengobatan gangguan penglihatan akibat


DME. Dosis aflibercept intravitreal yang direkomendasikan untuk DME adalah 2
mg. Pada tahun pertama pengobatan harus dimulai dengan satu suntikan / bulan
selama 5 bulan berturut-turut, diikuti oleh satu injeksi intravitreal setiap 2 bulan
dengan kemungkinan perpanjangan berdasarkan hasil anatomi dan visual13.

DAFTAR PUSTAKA

12
1. Gustaviani R. Diagnosis dan klasifikasi diabetes melitus. Dalam: Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Editor: Sudoyo dkk. Pusat Penerbitan
Departemen IPD FKUI. Jakarta.2006. Jilid III; Hal: 1857.
2. Gupta, N., Mansoor, S., Sharma, A., Sapkal, A., Sheth, J., Falatoonzadeh, P.,
et al. Diabetic Retinopathy and VEGF. The Open Opthtamology
Journal.2003.7. Hal: 4-10.
3. Waspadji S. Komplikasi kronik diabetes: mekanisme terjadinya, diagnosis
dan strategi pengelolaan. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV.
Editor: Sudoyo dkk. Pusat Penerbitan Departemen IPD FKUI. Jakarta, 2006.
Jilid III; 1884.
4. Vaughan DG, Asbury T, Eva PR.Oftalmologi umum. Edisi 14. Widya
Medika. Jakarta,.2000.Hal:211-14.
5. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Ed 3. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 2008. Hal:
217-20
6. Pandelaki K. Retinopati Diabetik. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Edisi IV. Editor: Sudoyo dkk. Pusat Penerbitan Departemen IPD FKUI.
Jakarta, 2006. Jilid III; 1889.
7. http://www.diabetescatalog.com/diabetic-retinopathy/diabetic-retinopathy-
stages-background [diakses 23 Juli 2019].
8. http://www.frontiersin.org/neuroenergetics/10.3389/fnene.2010.00005/full[di
akses 23 Juli 2019].
9. Witmer AN, Vrensen GF, Van Noorden CJ, Schlingemann RO. Vascular
endothelial growth factors and angiogenesis in eye disease. Prog Retin Eye
Res 2003; 22(1): 1-29.Crocker DJ, Murad TM, Geer JC. Role of the pericyte
in wound healing: an ultrastructural study. Exp Mol Pathol 1970; 13(1): 51-
65.
10. Cornel Stefan, Adriana Iliescu Daniela, Mihaela Timaru Cristina, Speranta
Schmitzer, Algerino De Simone, Mehdi Batras, Jalaladin Hosseini-
Ramhormozi. Anti-vascular endothelial growth factor indications in ocular
disease. Romanian Journal of Ophthalmology. 2015; 59:235-242

13
11. Elman MJ, Qin H, Aiello LP, Beck RW, Bressler NM, Ferris FL 3rd,
Glassman AR, Maturi RK, Melia M. Intravitreal ranibizumab for diabetic
macular edema with prompt versus deferred laser treatment: three-year
randomized trial results., Ophthalmology, 2012, pp. 119(11):2312-8.
12. Nepomuceno AB, Takaki E, Paes de Almeida FP, Peroni R, Cardillo JA,
Siqueira RC, Scott IU, Messias A, Jorge R. A prospective randomized trial of
intravitreal bevacizumab versus ranibizumab for the management of diabetic

macular edema. 2013, Am J Ophthalmol., pp. 156(3):502-10.


13. Tah V, Orlans HO, Hyer J, Casswell E, Din N, Sri Shanmuganathan V,


Ramskold L, Pasu S. Anti-VEGF Therapy and the Retina: An Update. J
Ophthalmol., 2015, p. 2015:627674.

14

Anda mungkin juga menyukai