Disusun oleh :
AULIA ZAKIYAH INAS
A420160205
B. Latar Belakang
Pendidikan adalah suatu hal terpenting dalam kehidupan, dimana ia memiliki
arti bahwa setiap individu berhak mendapatkan dan berharap agar ia mampu menjadi
individu yang selalu berkembang, sehingga kedepannya ia mampu membawakan
perubahan. Dengan ini kita mengetahui bahwa pendidikan merupakan upaya
terorganisir, terencana dan akan berlangsung secara terus menerus sepanjang hayat agar
mampu membina anak didik menjadi manusia yang paripurna, dewasa dan berbudaya.
Permasalahan yang terjadi adalah saat pedidikan hanya menekankan pada intelektual
saja, hal ini dibuktikan dengan adanya UN yang dijadikan sebagai tolak ukur
keberhasilan dari sebuah pendidikan. Padahal sejatinya, berilmu tentu akan berdaya jika
dikaitkan dengan tujuan perubahan, tidak semata terjebak pada kepuasan intelektual
saja. Jika ditinjau kembali, pendidikan di Indonesia semakin hari kualitasnya semakin
rendah. Hal ini berdasarkan Survey United Nations Educational, Scientific and Cultural
Organization (UNESCO), terhadap kualitas pendidikan di negara-negara berkembang
di Asia Pasific, Indonesia menempati peringkat 10 dari 14 negara. Sedangkan untuk
kulitas para guru, kualitasnya berada pada level 14 dari 14 negara berkembang. Melihat
keadaan seperti ini maka seharusnya proses pembinaan dalam pendidikan seharusnya
berorientasi pada seluruh aspek potensi anak didik, yaitu diantaranya adalah aspek
kognitif, afektif, dan psikomotorik. Ketiga aspek tersebut saling melengkapi dan
seimbang, maka tidak boleh dipisah-pisahkan. Sehingga dengan ini peserta didik dapat
mengerti, paham, dan mampu menjadikan manusia lebih kritis dalam berfikir, karena
sejatinya berfikir kritis merupakan seni menganalisis suatu gagasan secara mendalam
berdasarkan penalaran yang logis, bukan berarti bertolak belakang. Namun nampaknya
pendidikan di Indonesia kurang mengedepankan dalam ranah afektif dan psikomotorik,
dengan ini yang terjadi adalah hanya melahirkan peserta didik yang minim akan inovasi
dan kreatif. Oleh karena itu siswa harus bisa meningkatkan kemampuan berpikir
kritisnya sehingga mereka mampu membuat keputusan yang baik dan masalah-masalah
kompleks sesuai dengan ketrampilannya dalam memecahkan masalah.
Tujuan dari pendidikan adalah membentuk siswa yang kreatif, kritis dan
inovatif. Dimana setiap individu dapat menemukan hal-hal yang baru, mampu
membuktikan kebenaran dari teori atau pengetahuan yang telah didapatkan, sehingga
tidak menjadi individu yang mudah percaya terhadap sesuatu tanpa adanya pembuktian
terlebih dahulu, dan ia mampu memberikan keputusan disertai solusi alternatif dari
segala persoalan yang sedang dihadapi. Namun nampaknya hal ini belum dapat
terwujudkan, karena pendidikan yang mereka terima seakan dipaksakan, yakni
cenderung pada hafalan dari suatu materi pembelajaran ditinjau dari adanya penargetan
jangka waktu untuk setiap materi yang diberikan. Sehingga tidak jarang saat guru
bertanya akan kepahaman dari para siswa, mereka semua menjawab dengan serentak
paham, tetapi saat diujikan dari tiap individu, hasilnya berlainan, bahkan mungkin
perbedaan hasil antara individu satu dengan yang lainnya sangat jauh. Hal ini sudah
menjadi karakter dari watak anak didik indonesia bahwa, mereka saling ikut-mengikut
antar teman. Karena sikap guru yang sering memaksakan kehendak mengenai
kemengertian siswa akan materi yang diajarkan, maka ketika peserta didik belum
mengerti, sang guru tidak sabar dan akan marah.
Konsep berpikir kritis, kreatif, dan kemampuan inerpersonal masih banyak
menjadi perhatian para peniliti, ditandai dengan munculnya isu-isu mengenai,
banyaknya keluhan akan kurangnya kemampuan lulusan dalam berpikir kritis, kreatif,
dan kemampuan interpersonal. Kita ketahui bahwa persaingan untuk memasuki dunia
kerja ataupun perkuliahan tidaklah mudah. Banyak sekali persaingan yang harus
dihadapi oleh lulusan SMA. Ketika sebagian siswa ditanya hendak kemana mereka
ketika lulus, sering menjawab dengan kalimat “tidak tahu”, dikarenakan bingung
hendak kemana serta belum memiliki gambaran mengenai dunia yang hendak mereka
jelajahi setelah lulus. Hal ini mencerminkan bahwa belum siapnya sebagian dari siswa
MA masuk ke dunia kerja maupun perkuliahan. Menuntut ilmu baik di SMA, SMK,
atau MA bukan lagi menjadi jaminan bahwa seseorang akan mudah menerima
pekerjaan.dan diterimanya di perguruan tinggi yang dinginkan. Bermula dari sinilah,
maka diperlukannya penanaman sejak awal SMP untuk memiliki gambaran masa
depannya, sehingga selain mereka berusaha mempertahankan prestasinya mereka juga
mampu mengambangkan diri mereka melalui pembelajaran di sekolah.
Fenomena yang terjadi yaitu hasil belajar siswa yang masih berada pada standar
KKM 70 pada mata pelajaran biologi. Penyebab munculnya problematika ini adalah
karena dalam praktik pembelajaran lebih menfokuskan pada penguasaan materi
daripada membekali siswa dari sudut kompetensi dan pemahaman yang mendalam yaitu
berpikir kreatif dan kritis. Disisi lain karena terbatasnya waktu dalam perihal kegiatan
sekolah terdapat kegiatan wajib menghafal Al-Qur’an, dikarenakan lulusan yang
diinginkan juga diharapkan mampu memiliki hafalan Al-Qur’an yang ditargetkan, guna
menjadi bekal mereka sebagai prinsip menghadapi berbagai macam pemikiran yang
mampu merubah pola pikir yang seharusnya mereka miliki dan mereka mampu
mengaitkan, mengimplementasikan, mengkomparasikan atas apa yang sudah mereka
terima selama pembelajaran di sekolah dengan segala yang dihadapi tanpa
meninggalkan nilai-nilai islam.
Tinggi atau rendahnya kualitas pendidikan yang dihasilkan dari sekolah untuk
siswa tidak terlepas dari beberapa faktor diantaranya yaitu pengemasan pembelajaran.
Kurang adanya interaksi antara peserta didik dan pengajar, kurang beragam metode
belajar, kemampuan mental dan kecerdasan manusia yang lemah, kurang usaha dalam
meningkatkan modul ajar.lingkungan pembelajaran siswa yang kurang memadai serta
kurang mempunyai emampuan komunikasi adalah ciri dari rendahnya kualitas
pendidikan khususnya berpikir kritis. Proses pembelajaran Biologi di kelas bisa
dikatakan tidak maksimal karena rasa ingin tahu siswa yang rendah berkaitan dengan
mereka belum mampu mengaitkan dari ilmu yang telah didapatkan dengan sebagian
besar kehidupan yang sedang dijalani. Dimana semua yang telah dihadapi dan dijalani
maka tidak lepas dari ilmu biologi. Jika hal ini berjalan terus-menerus, maka dapat
mengakibatkan daya berfikir siswa menjadi rendah sehingga berakibat mereka tidak
mampu mengembangkan dirinya untuk berpikir kritis tehadap sesuatu, dan mereka
hanya sekedar menjalani saja suatu kehidupan.
Kondisi belajar merupakan suatu keadaan yang dapat mempengaruhi proses dan
hasil belajar siswa. Upaya untuk mencapai pendidikan yang berkualitas yaitu mampu
mengembangkan daya nalar atau kreativitas dari anak didik, dimana dalam
pencapaiannya diperlukan upaya untuk memberikan peluang-peluang kepada mereka
dalam bertanya, berpendapat, menilai, menyelesaikan persoalan tentang berbagai hal
yang terkait dengan pelajaran atau hal-hal yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Dengan
ini pembelajaran di kelas sebaiknya diarahkan tidak semata-mata pada penguasaan dan
pemahaman konsep saja, tetapi juga pada peningkatan kemampuan berpikir siswa. Saat
sistem pendidikan kita cenderung lebih senang mempersaingkan antara siswa satu
dengan yang lainnya, bukannya memahami potensi pengembangan kreatifitas dari
setiap siswa dan berusaha mengupayakan dalam mengembangkannya maka tak heran
jika kecintaan mereka terhadap ilmu pengetahuan sangatlah rendah. Maka dari guru
perlu untuk membimbing siswanya agar mampu belajar berpikir (teaching of thingking),
sehingga dalam prosesnya guru harus memiliki teknik dan strategi mengajar yang baik
agar tercipta suasana yang efektif, kondusif, menarik, dan menyenangkan sehingga
memudahkan siswa dalam menerima informasi.
Pembelajaran kooperatif adalah salah satu pembelajaran yang umum digunakan
oleh para guru untuk mengatasi hasil belajar siswa. Pembelajaran kooperatif merupakan
pengembangan kemampuan siswa untuk belajar bekerjasama. Beberapa hasil penelitian
menunjukkan model pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan kemampuan
akademik, ketrampilan berpikir, mengintegrasikan dan menerapkan konsep
pengetahuan, memecahkan masalah.
Salah satu alternatif model pembelajaran yang dapat mengaktifkan siswa di
dalam kelas yaitu dengan menerapkan penbelajaran Team Assisted Individualization.
Pembelajaran model ini mempunyai strategi pembelajaran bimbingan antar teman atau
tutor teman sebaya. Ia menggabungkan pembelajaran kooperatif dengan pembelajaran
individual (Supriyono, 2007). Team Assisted Individualization menggabungkan antara
metode pembelajaran kooperatif dengan pembelajaran klasikal berbasis individual,
bantuan individu dalam kelompok ini mendorong siswa untuk berpikir baik secara
individu maupun dalam suatu tim kompetitif pada tim kelompok siswa, metode ini dapat
meningkatkan kemampuan berpikir karena tanpa menyusun teknik dan strategi, siwa
tidak dapat melanjutkan ke kemampuan berikutnya (Slavin,2005).
Metode Pembelajaran yang lainnya yaitu Metode Pembelajaran TGT (Team
Games Tournament) yang menggunakan permainan akademik. Dimana siswa dalam
permainan ini mewakili timnya dengan anggota tim-tim yang setara dalam kinerja
akademik mereka yang lalu. Selanjutnya, guru menyampaikan pelajaran, lalu siswa
berpikir dalam tim.
Kedua metode teknik pembelajaran diatas mengacu pada upaya merangsang
proses berpikir kritis peserta didik, peserta didik diberikan kesempatan untuk saling
membagikan ide-ide dan menimbang jwaban yang paling tepat serta mendorong peserta
didik untuk meningkatkan kerjasama. Peningkatan kemampuan berpikir kritis
menggunakan pendekatan teori belajar kontruktivisme Piaget dan Vygotsky yang
menekankan pada pentingnya lingkungan sosial dalam belajar dengan menyatakan
bahwa integrasi kemampuan dalam belajar kelompok akan dapat meningkatkan
perubahan secara konseptual. Selain itu menurut teori ini, satu prinsip yang mendasar
adalah guru tidak hanya memberikan pengetahuan kepada siswa, namun siswa juga
harus berperan aktif membangun sendiri pengetahuan di dalam memorinya.
C. Pembatasan Masalah
Agar peneliti terarah dan dapat menghindari meluasnya permasalahan maka perlu
adanya pembatasan masalah berikut :
1. Subyek Penelitian : SMP Muhammadiyah 1 Surakarta.
2. Obyek Penelitian : Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Melalui
Metode Pembelajaran TAI dan TGT.
3. Parameter Penelitian : Nilai pretest dan posttest dengan KKM 70, kemampuan
dalam menulis laporan atau resume, kemampuan menyampaikan hasil di sepan
kelas (presentasi).
D. Perumusan Masalah
Berdasarkan penelitian di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Apakah terdapat perbedaan peningkatan berpikir kritis siswa sebelum dan sesudah
pembelajaran pada kelas yang menggunakan metode TGT ?
2. Apakah terdapat perbedaan peningkatan berpikir kritis siswa sebelum dan sesudah
pembelajaran pada kelas yang menggunakan metode TGT ?
3. Apakah terdapat perbedaan peningkatan berpikir kritis siswa antara kelas yang
menggunakan metode TGT dengan kelas yang menggunakan TAI ?
E. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah
1. Mengetahui perbedaan tingkat berpikir kritis siswa sebelum dan sesudah
pembelajaran pada kelas yang menggunakan metode TGT.
2. Mengetahui perbedaan tingkat berpikir kritis siswa sebelm dan sesudah
pembelajaran pada kelas yang menggunakan metode TAI.
3. Mengetahui perbedaan peningkatan berpikir kritis siswa antara kelas yang
menggunakan metode TGT dengan kelas yang menggunakan metode TAI.
F. Manfaat Penelitian
Dari penulisan ini diharapkan mendatangkan manfaat berupa :
1. Sebagai salah satu alternatif untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa.
2. Sebagai pijakan untuk mengembangkan penelitian yang menggunakan metode
TGT dan TAI.
3. Sebagai alternatif bagi pelaksana pendidikan dalam menggunakan metode
pembelajaran yang tepat, sehingga apat dijadikan standar dalam penilaian pada
kurikulum.
G. Tinjauan Pustaka
Pentingnya berpikir kritis dalam pendidikan didukung dalam puluhan tahun kajian
teoritis dan praktis (Lai,2011) dalam (Miquel and L’opez 2016). Dimasukkannya
berpikir kritis dalam kuruulum sekolah telah banyak dilaporkan sejak pertengahan abad
ke-20. Berpikir kritis telah digambarkan sebagai landasan pendidikan tinggi di seluruh
perangkat akademik (Facione,1998). Berpikir kritis merupakan definisi dari berpikir
normatif dimana berpikir kritis berhubngan erat dengan pemikiran yang mengandung
makna nilai-nilai. Berpikir kritis memungkinkan untuk berpikir bukan hanya tentang
kecakapan berpikir dan kreatif (ketrampilan orde pertama) tetapi juga tentang proses
berpikir itu sendiri (orde kedua ketrampilan). Ditinjau dari perspektif deskriptif ,
berpikir kritis merupakan analisis situasi masalah melalui evaluasi potensi, pemecahan
masalah dan sintesis informasiuntuk menentukan keptusan. Keputusan dilakukan
secara parsial dengan cara membuat daftar isian informasi yang selanjutnya dievaluasi,
disintesis, dan pemecahan masalah yang akhirnya menjadi sebuah keputusan. Ennis
dalam Kuswana (2001: 21). Berpendapat bahwa berpikir kritis pada dasarnya
tergantung pada dua disposisi. Pertama, perhatian untuk bisa melakukannya dengan
benarsejauh mungkin dan kepedualian untuk menyajikan posisi jujur dan kejelasan.
Kedua, tergantung pada proses evaluasi, (menerapkan kriteria untuk menilai
kemungkinan jawaban), baik secara proses implisit maupun eksplisit. Menurut Richard
Paul dalam Fisher (2009: 4) memberikan definisi mengenai berpikir kritis bahwa
“Berpikir kritis adalah mode berpikir mengenai hal, substansi atau masalah apa saja di
mana si pemikir meningkatkan kualitas pemikirannya dengan menangani secara
terampil struktur-struktur yang melekat dalam pemikiran dan menerapkan standar-
standar intelektual padanya”.
Berdasarkan beberapa definisi di atas berpikir kritis merupakan kegiatan
menganalisis ide atau gagasan ke arah yang lebih spesifik, membedakan secara tajam
memilih, mengidentifikasi, mengkaji, dan mengembangkannya ke arah yang lebih
sempurna. Proses mental ini menganalisis ide dan informasi yang diperoleh dari hasil
pengamatan, pengalaman, akal sehat atau komunikasi. Berpikir kritis merupakan
ketrampilan berpikir universal yang berguna untuk semua profesi dan jenis pekerjaan.
Berpikir kritis mencakup kemampuan untuk menggali masalah lebih tajam,
menemukan cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut,
mengumpulkan informasi yang relevan, mengenali asumsi dan nilai-nilai yang ada
dibalik keyakinan, pengetahuan maupun kesimpulan.
Perspektif psikologi kognitif dapat ditelusuri ke teori Bloom (1956),
memperkenalkan berpikir kritis sebagai ketrampilan pada skala lebih tingginya
taksonomi tentang tujuan pendidikan (Kek & Huijser, 2011). Hal ini berari taksonomi
bloom tingkatan kognitif Higher Order Thingkings Skill menandakan kemampuan
berpikir kritis siswa. Ennis dalam (Mabruroh, 2017) mengidentifikasi indikator
berpikir kritis yang dikelompokkan dalam lima besar aktivitas, yaitu:
1. Memberikan penjelasan sederhana : memfokuskan pertanyaan ; menganalisis
argumen; bertanya dan menjawab pertanyaan tentang sesuatu penjelasan atau
tantangan.
2. Membangun ketrampilan dasar : mempertimbangkan kredibilitas (kriteria) atau
sumber; mengobservasi dan mempertimbangkan hasil obesrvasi.
3. Menyimpulkan : membuat deduksi dan mempertimbangkan hasil deduksi;
membuat induksi dan mempertimbangkan hasil induksi, membuat dan
mempertimbangkan nilai keputusan.
4. Memberikan penjelasan lanjut : mendefinisikan dan mempertimbangkan istilah;
mengidentifikasi asumsi.
5. Mengatur strategi dan taktik : memutuskan suatu tindakan; berinteraksi dengan
orang lain.
Salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas proses pembelajaran, kemampuan
berpikir kritis dan hasil belajar yang lebih baik adalah penggunaan metode
pembelajaran. Proses pembelajaran akan lebih efektif dan efisien apabila ditunjang
dengan metode pembelajaran yang melbatkan siswa secara aktif dapat mengarah pada
kreatifitas dan hasil belajar yang optimal.
Suprijono (2009: 54) “Pembelajaran kooperatif adalah konsep yang lebih luas
meliputi semua jenis kerja kelompok termasuk bentuk-bentuk yang lebih dipimpin oleh
guru atau diarahkan oleh guru”. Pemilihan strategi, model, metode, media, teknik
dalam proses pembelajaran akan sangat mempengaruhi pencapaian hasil belajar
(Joyce: 2003).
Indikator metode pembelajaran Teams Games Tournament menurut (Joyce: 2003)
yaitu :
1. Pembelajaran tterousat pada siswa
2. Proses pembelajaran dengan suasana berkompetisi
3. Pembelajaran bersifat aktif (sifat berlomba untk dapat menyelesaikan persoalan)
4. Pembelajaran diterapkan dengan mengelompokkan siswa menjadi tim-tim
5. Dalam konpetisi diterapkan system point
6. Dakam kompetisi disesuaikan dengan kemampuan siswa atau dikenal kesetaraan
dalam kinerja akademik
7. Kemajuan kelompok dapat diikuti oleh seluruh kelas melalui jurnal kelas yang
diterbitkan secara mingguan
8. Dalam pemberian bimbingan guru mengacu pada jurnal
9. Adanya system penghargaan bagi siswa yang memperoleh point banyak
Rusman (2012: 224) menjelaskan Team Games Tournament adalah saah satu tipe
pembelajaran kooperatif yang menempatkan siswa kelompok-kelompok belajar yang
beranggotakan 5-6 orang siswa yang memiliki kemampuan, jenis kelamin, dan suku
atau ras yang berbeda. Guru menyejikan materi dan siswa bekerja dalam kelompok
mereka masing-masing. Dalam kerja kelompok, guru memberikan Lembar Kerja
Siswa kepada setiap kelompok. Tugas yang diberikan dikerjakan secara bersama-sama
dengan anggota kelompoknya. Apabila ada dari anggota kelompok yang tidak
mengerti dengan tugas yang diberikan, maka anggota kelompok lain bertanggung
jawab untuk memberikan jawaban atau menjelaskannya sebelum mengajukan
pertanyaan tersebut kepada guru. Sehingga komponen metode pembelajaran team
games tournament ini yaitu presentasi kelas, kelompok belajar, turnamen, dan
penghargaan kelompok.
Langkah-langkah (sintaks) Metode Pembelajaran Kooperatif TAI
Adapun langkah-langkah dalam model pembelajaran TAI adalah sebagai berikut:
1. Guru menyiapkan materi bahan ajar yang akan diselesaikan oleh kelompok siswa.
2. Guru memberikan pre-test kepada siswa atau melihat rata-rata nilai harian siswa
agar guru mengetahui kelemahan siswa pada bidang tertentu. (Mengadopsi komponen
Placement Test).
3.Guru memberikan materi secara singkat. (Mengadopsi komponen Teaching Group).
4. Guru membentuk kelompok kecil yang heterogen tetapi harmonis berdasarkan nilai
ulangan harian siswa, setiap kelompok 4-5 siswa. (Mengadopsi komponen Teams).
5. Setiap kelompok mengerjakan tugas dari guru berupa LKS yang telah dirancang
sendiri sebelumnya, dan guru memberikan bantuan secara individual bagi yang
memerlukannya. (Mengadopsi komponen Team Study).
6. Ketua kelompok melaporkan keberhasilan kelompoknya dengan mempresentasikan
hasil kerjanya dan siap untuk diberi ulangan oleh guru. (Mengadopsi komponen
Student Creative).
7. Guru memberikan post-test untuk dikerjakan secara individu. (Mengadopsi
komponen Fact Test).
8. Guru menetapkan kelompok terbaik sampai kelompok yang kurang berhasil (jika
ada) berdasarkan hasil koreksi. (Mengadopsi komponen Team Score and Team
Recognition).
9. Guru memberikan tes formatif sesuai dengan kompetensi yang ditentukan.
Pembelajaran Team Assisted Individualization adalah salah satu metode
pembelajaran kooperatif yang mudah diterapkan, melibatkan peran siswa sebagai tutot
sebaya dan mengandung unsur permainan dan reinforcement. Aktifitas belajar dalam
metode Team Assisted Individualization melibatkan pengakuan tim dan tanggung
jawab kelompok untuk pembelajaran individu anggota. (Suyitno, 2007: 20) jadi
metode Team Assisted Individualization (TAI) menggabungkan pembelajaran
kooperatif dengan pengajaran yang individual. Pembelajaran kooperatif TAI, siswa
membagi tugas diantara mereka sendiri, membantu satu dengan yang lain (khususnya
anggota lambat), pujian dan mengkritik satu dengan yang lain (khususnya anggota
lambat), pujian dan mengkritik satu dengan yang lain ini upaya dan kontribusi, dan
menerima skor kelompok performance.
Langkah-langkah (sintaks) Metode Pembelajaran Kooperatif TAI
Adapun langkah-langkah dalam model pembelajaran TAI adalah sebagai berikut:
1. Guru menyiapkan materi bahan ajar yang akan diselesaikan oleh kelompok
siswa.
2. Guru memberikan pre-test kepada siswa atau melihat rata-rata nilai harian siswa
agar guru mengetahui kelemahan siswa pada bidang tertentu. (Mengadopsi komponen
Placement Test).
3. Guru memberikan materi secara singkat. (Mengadopsi komponen Teaching
Group).
4. Guru membentuk kelompok kecil yang heterogen tetapi harmonis berdasarkan
nilai ulangan harian siswa, setiap kelompok 4-5 siswa. (Mengadopsi komponen
Teams).
5. Setiap kelompok mengerjakan tugas dari guru berupa LKS yang telah dirancang
sendiri sebelumnya, dan guru memberikan bantuan secara individual bagi yang
memerlukannya. (Mengadopsi komponen Team Study).
6. Ketua kelompok melaporkan keberhasilan kelompoknya dengan
mempresentasikan hasil kerjanya dan siap untuk diberi ulangan oleh guru.
(Mengadopsi komponen Student Creative).
7. Guru memberikan post-test untuk dikerjakan secara individu. (Mengadopsi
komponen Fact Test).
J. Metode Penelitian
1. Tempat Penelitian dan Waktu Penelitian
a. Tempat Penelitian : SMP Muhammadiyah 1 Boyolali
b. Waktu Penelitian : Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus-November
Kegiatan Bulan
Agustus September Oktober November
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Observasi ke
sekolah
Penyusunan
Proposal
Konsultasi
Proposal
Pengambilan
Data
Analisis
Data
Penyusunan
Laporan
Melaporkan
Hasil
Penelitian
2. Variabel Penelitian
a. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pembelajaran dengan model
pembelajaran TAI dan TGT.
b. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah peningkatan kemampuan berpikir
kritis siswa melalui metode pembelajaran TAI dan TGT.
3. Populasi, Sampel dan Sampling
a. Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VII SMP
Muhammadiyah 1 Surakarta.
b. Sampel
Sampel pada penelitian ini adalah sebanyak 2 kelas.
c. Sampling
Sampling pada penelitian ini adalah Random Sampling (diambil secara
acak) dengan
4. Desain Penelitian
Desain penelitian dalam penelitian ini menggunakan “Nonquivalent Pretest
Posttest Design” dengan kelompok kelas eksperimen I dan kelompok eksperimen
II. Rancangan eksperimen tersebut sebagai berikut :
Keterangan :
P1 : tes awal pada kelompok eksperimen I
P2 : tes akhir pada kelompok eksperimen I
P3 : tes awal pada kelompok eksperimen II
P4 : tes akhir pada kelompok eksperimen II
X1 : perlakuan dengan model pembelajaran TGT
X2 : perlakuan dengan model pembelajaran TGT
5. Langkah Penelitian
a. Persiapan
1. Mengumpulkan informasi mengenai sejauh mana permasalahan yang
dihadapi dalam proses pembelajaran seperti hasil belajar, dan rata-rata nilai
UAS tahun ajaran 2018-2019.
2. Menganalisis butir soal mata pelajaran biologi tipe C4, C5, dan C6.
3. Membuat kesepakatan antara guru bidang studi biologi dan peneliti untuk
membuat materi yang akan diajarkan, sedangkan proses pembelajaran
menggunakan metode TAI dan TGT
4. Merancang program pembelajaran, yang meliputi silabus, rencana
pembelajaran (RPP) dan soal pretest dan posttest.
b. Pelaksanaan atau tindakan
Pada tahap pelaksanaan, peneliti melaksanakan pembelajaran dengan
menggunakan metode TAI dan TGT dalam suatu usaha yang mengarah
pada hasil pembelajaran.
Andyana, M.E; Ristiati, N.P; & Setiawan, I.G.A.N. 2014. “Pengaruh Model
Pembelajaran Team Games Tournament Universitas Pendidikan Ganesha
Singaraja Indonesia e-Journal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan
Ganesha Program Studi IPA. E-Journal Program Pascasarjana Universitas
Pendidikan Ganesha. No: 4. Vol: 1. Hal: 1.
Baharuddin. 2008. Teori Belajar dan Pembelajaran. Jogjayarta: Ar-Ruzz Media Group.
Fisher, Alec. 2009. Berpikir Kritis Sebuah Pengantar. Terjemahan: Benyamin
Hadinata. Jakarta: Erlangga.
Joyce, Bruce R. 2003. Models of Teaching: Fifth Edition. New Delhi: Prantice Hall of
India.
Kek, M. Y. C. A; & Huijser, H. 2011. The Power of Problem Based Learning In
Developing Critical Thinking Skills: Preparing Student For Tomorrow’s Digital
Futures in Today’s Classrooms. Higher Education Research & Development. No:
30. Vol: 3. Hal: 329-341.
Kuswana,Wowow Sunaryo. 2011. Taksonomi Berpikir. Bandung: PT Remaja
Rodakarya.
Lie, Anita. 2008. Cooperative Learning. Jakarta: Gramedia.
Mabruroh, F, Suhadi, A. 2017. “Constrution Of Critical Thinking Skills Test
Instrument Related The Cocept On Sound Wave”. Journal Of Phycs: Conference
Seroes 812 012056. IOP Publishing. doi: 10.1088/1742-6596/812/1/012056.
Number 1. Vol: 1. Page: 1.
Michael, van Wyk.2011. “The Effect of Teams Games Tournament on Achievement,
Retention, and Attitudes of Economic Education Student. University of the Free
State, Bloemfontein, South Africa”. J Soc Sci. Number: 26. Vol: 3. Page: 183-
193.
Pangabean, Yusri. 2006. Strategi Model dan Evaluasi Pembelajaran Kurukulum 2006.
Bandung: Bina Media Informatika.
Rusman.2012. Model-Model Pembelajaran Edisi II. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Rusnadi, Ni Md. 2013. “Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Team Games
Tournament Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Hasil Belajar
IPA”. Jurnal Universitas Pendidikan Ganesha. No: 1. Vol: 1. Hal: 1.
Samson, P.L. 2016. “Critical Thinking in Social Work Education: A Reseach Synthesis
Critical Thinking in Social Work Education: A Reseach Education”. Journal of
Social Work. Education. Number: 52. Vol: 2. Hal: 147-156
Sepe, Florentina Yasinta. 2010. “Pembelajaran Metakognitif Pada Strategi
Pembelajaran Kooperatif Team Assisted Individualization dan Pengaruhnya
Terhadap Ketrampilan Metakognitif, Kemampuan Berpikir Kritis dan Hasil
Belajar Kognitif Sains Biologi pada Siswa SMP Swasta di Kota Kupang”.
Journal of Malang University. No: 1. Vol: 1. Hal: 1.
Sudaryanto. 2007. Pembelajaran Kemampuan Berpikir Kritis. Semarang: UNDIP.
Slavin, R. E. 2005. Cooperative Learning. Jakarta: Nusa Media.
Suprijono, Agus. 2009. Cooperative Learning (Teori dan Aplikasi PAIKEM).
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suyitno, A. 2007. Pemilihan Model-Model Pembelajaran dan Penerapannya di
Sekolah. Jakarta: Pusdiklat Tenaga Teknis Keagamaan-Depag.
NB
1. Aini
-Penulisan daftar pustaka
2. Zainul
-Di tinjauan pustaka mengenai standar laboratorium
3. Rika
- kenapa CTL, kenapa di tempat tersebut di cantumkan di latar belakang
- PTK tidak dipakai
- subyek, obyek=yg dicari : hasil belajar siswa menggunakan CTL
CTL = tidak bisa hanya kognitif, tetapi afektif: cara penulisan fisik proposal, kerapian,
bertanya dan psikomotorik: saat presentasi
-persiapan itu yang jelas alat bahan juga = seperti mau mbuat nasi goreng
- pelaksanaan juga harus urut
- muka orang keluar skripsi itu macem2, ada yang nangis, ada yang cemberut, ada yang
senang tergantung penyajiannya