Anda di halaman 1dari 55

BAB I

PENDAHULUAN

Demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit
infeksi yang disebabkan oleh virus dengue. Sampai saat ini, infeksi virus Dengue
tetap menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Indonesia dimasukkan dalam
kategori “A” dalam stratifikasi DBD oleh World Health Organization (WHO)
2001 yang mengindikasikan tingginya angka perawatan rumah sakit dan kematian
akibat DBD, khususnya pada anak.1 Data Departemen Kesehatan RI menunjukkan
pada tahun 2006 (dibandingkan tahun 2005) terdapat peningkatan jumlah
penduduk, provinsi dan kecamatan yang terjangkit penyakit ini, dengan case
fatality rate sebesar 1,01% (2007).2,3 Provinsi Jawa Timur ditetapkan status
Kejadian Luar Biasa (KLB) Demam Berdarah Dengue (DBD) sejak tanggal 1
Januari 2015. Terjadi peningkatan jumlah kasus DBD selama bulan Januari 2015
di Provinsi Jawa Timur KLB DBD terjadi di 37 Kabupaten/Kota, dengan total
jumlah kasus sebanyak 3.136 kasus DBD dan angka kematian sebanyak 52 kasus.3
Kabupaten/Kota yang mengalami KLB DBD di Provinsi Jawa Timur antara lain
Kab. Bangkalan 160 kasus, Kab. Banyuwangi 154 kasus, Kota Batu 10 kasus,
Kab. Blitar 53 kasus, Kota Blitar 12 kasus, Kab. Bojonegoro 30 kasus, Kab.
Bondowoso 180kasus, Kab. Gresik 33 kasus, Kab. Jember 270 kasus, Kab.
Jombang 136 kasus, Kab. Kediri 131 kasus, Kota Kediri 42 kasus, Kab. Lamongan
81 kasus, Kab. Lumajang 8 kasus, Kab. Madiun 58 kasus, Kota Madiun 36 kasus,
Kab. Magetan 38 kasus, Kab. Malang 95 kasus, Kota Malang 11 kasus, Kab.
Mojokerto 76 kasus, Kab. Nganjuk 90 kasus, Kab. Ngawi 91 kasus, Kab. Pacitan
198 kasus, Kab. Pamekasan 45 kasus, Kab. Pasuruan 34 kasus, Kota Pasuruan 12
kasus, Kab. Ponorogo 74 kasus, Kab. Probolinggo 136 kasus, Kota Probolinggo 15
kasus, Kab. Sampang 74 kasus, Kab. Sidoarjo 21 kasus, Kab. Situbondo 24 kasus,
Kab. Sumenep 380 kasus, Kota Surabaya 59 kasus, Kab. Trenggalek 111 kasus,
Kab. Tuban 24 kasus, dan Kab. Tulungagung 134 kasus.4
Dilihat dari banyaknya kasus yang terjadi di Indoesia, khususnya Jawa
Timur, termasuk di Probolinggo, membuat infeksi virus Dengue merupakan topik

1
bahasan yang menarik dan wajib diketahui oleh semua praktisi kesehatan. Infeksi
virus dengue memiliki spektrum klinik yang luas, mulai dari tanpa gejala, demam
tidak khas, demam dengue (DD) hingga demam berdarah dengue yang
mengancam jiwa. Gejala klinik dapat dibagi tiga fase yaitu fase demam (hari 1-3),
fase kritis/demam turun (hari 3-6), dan fase penyembuhan (hari 6-10). Demam
dengue mempunyai gejala demam, nyeri kepala dan nyeri otot/sendi, yang dapat
disertai trombositopenia dan perdarahan. Sedangkan DBD ditandai dengan
demam, perdarahan, pembesaran hati, trombositopenia, dan kebocoran plasma
(dapat berwujud hemokonsentrasi, efusi pleura, asites, dan hipoalbumin) yang jika
berat dapat menimbulkan syok.
Demam berdarah dengue hampir selalu terjadi pada dua kelompok umur
yaitu pasien dewasa dan anak dengan infeksi dengue sekunder yang heterolog,
sedangkan bayi dengan infeksi primer yang lahir dari ibu yang imun terhadap
Infeksi Virus Dengue (IVD). Mekanisme yang paling bertanggung jawab diyakini
adalah ADE (antibody dependent enhancement).5 Bayi yang menderita IVD
menjadi subjek yang menarik karena beberapa alasan. Pertama, angka kematian
bayi relatif lebih tinggi, sekalipun data berbagai penelitian sangat bervariasi.5
Kedua, bayi dengan IVD primer mempunyai karakteristik unik dan lebih
berpotensi menuju DBD/SSD dan membahayakan jiwa dibandingkan kelompok
usia yang lebih tua.5 Pada tulisan ini akan dibicarakan manifestasi dan perjalanan
klinis Demam Berdarah Dengue pada pasien anak yang dirawat di RSUD dr. Moh.
Saleh Probolinggo.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi DBD


Definisi Demam berdarah dengue (DBD) adalah salah satu manifestasi
simptomatik dari infeksi oleh virus dengue berupa demam akut yang
memenuhi kriteria WHO untuk DBD.6

Gambar 1. Spektrum klinis infeksi virus Dengue6

Manifestasi simptomatik infeksi virus dengue adalah sebagai berikut (gambar 1):
1. Demam tidak terdiferensiasi
2. Demam Dengue (dengan atau tanpa perdarahan): demam akut selama 2-7
hari, ditandai dengan 2 atau lebih manifestasi klinis (nyeri kepala, nyeri
retroorbital, mialgia/ atralgia, ruam kulit, manifestasi perdarahan [petekie
atau uji bendung positif], leukopenia) dan pemeriksaan serologi dengue
positif atau ditemukan pasien yang sudah dikonfirmasi menderita demam
dengue/ DBD pada lokasi dan waktu yang sama.
3. Demam Berdarah Dengue (dengan atau tanpa renjatan) dengan gejala klinis
sama dengan Demam Dengue tetapi ditambah adanya bukti plasma leakage
(dapat dilihat dari Hemokonsentrasi dan perpindahan cairan ke ruang
ketiga).

3
4. Expanded Dengue Syndrome adalah manifestasi yang tidak biasa pada
pasien dengan keterlibatan organ yang parah seperti hati, ginjal, otak atau
jantung yang berhubungan dengan infeksi dengue telah semakin dilaporkan
pada DBD dan juga pada pasien demam berdarah yang tidak memiliki
bukti kebocoran plasma. Manifestasi yang tidak biasa mungkin terkait
dengan koinfeksi, komorbiditas atau komplikasi syok berkepanjangan.
Investigasi lengkap harus dilakukan dalam kasus ini.
Kebanyakan pasien DBD yang memiliki manifestasi yang tidak biasa
adalah hasil dari syok berkepanjangan dengan kegagalan organ atau pasien
dengan komorbiditas atau koinfeksi.

2.2 Epidemiologi
Demam berdarah dengue (DBD) lebih sering terjadi pada anak-anak
kurang dari 15 tahun di daerah hiperendemis, berkaitan dengan infeksi virus
dengue berulang. Kejadian DBD pada orang dewasa lebih banyak. DBD
ditandai dengan onset akut dari demam tinggi dan berhubungan dengan tanda-
tanda dan gejala yang mirip dengan DF pada fase demam awal. Provinsi Jawa
Timur ditetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB) Demam Berdarah Dengue
(DBD) sejak tanggal 1 Januari 2015. Terjadi peningkatan jumlah kasus DBD
selama bulan Januari 2015 di Provinsi Jawa Timur KLB DBD terjadi di 37
Kabupaten/Kota, dengan total jumlah kasus sebanyak 3.136 kasus DBD dan
angka kematian sebanyak 52 kasus.3
Kabupaten/Kota yang mengalami KLB DBD di Provinsi Jawa Timur
antara lain Kab. Bangkalan 160 kasus, Kab. Banyuwangi 154 kasus, Kota Batu
10 kasus, Kab. Blitar 53 kasus, Kota Blitar 12 kasus, Kab. Bojonegoro 30
kasus, Kab. Bondowoso 180 kasus, Kab. Gresik 33 kasus, Kab. Jember 270
kasus, Kab. Jombang 136 kasus, Kab. Kediri 131 kasus, Kota Kediri 42 kasus,
Kab. Lamongan 81 kasus, Kab. Lumajang 8 kasus, Kab. Madiun 58 kasus,
Kota Madiun 36 kasus, Kab. Magetan 38 kasus, Kab. Malang 95 kasus, Kota
Malang 11 kasus, Kab. Mojokerto 76 kasus, Kab. Nganjuk 90 kasus, Kab.
Ngawi 91 kasus, Kab. Pacitan 198 kasus, Kab. Pamekasan 45 kasus, Kab.

4
Pasuruan 34 kasus, Kota Pasuruan 12 kasus, Kab. Ponorogo 74 kasus, Kab.
Probolinggo 136 kasus, Kota Probolinggo 15 kasus, Kab. Sampang 74 kasus,
Kab. Sidoarjo 21 kasus, Kab. Situbondo 24 kasus, Kab. Sumenep 380 kasus,
Kota Surabaya 59 kasus, Kab. Trenggalek 111 kasus, Kab. Tuban 24 kasus,
dan Kab. Tulungagung 134 kasus.1
Dilihat dari banyaknya kasus yang terjadi di Indoesia, khususnya Jawa
Timur, termasuk di Probolinggo, membuat infeksi virus Dengue merupakan
topik bahasan yang menarik dan wajib diketahui oleh semua praktisi
kesehatan. Infeksi virus dengue memiliki spektrum klinik yang luas, mulai
dari tanpa gejala, demam tidak khas, demam dengue (DD) hingga demam
berdarah dengue yang mengancam jiwa. Gejala klinik dapat dibagi tiga fase
yaitu fase demam (hari 1-3), fase kritis/demam turun (hari 3-6), dan fase
penyembuhan (hari 6-10). Demam dengue mempunyai gejala demam, nyeri
kepala dan nyeri otot/sendi, yang dapat disertai trombositopenia dan
perdarahan. Sedangkan DBD ditandai dengan demam, perdarahan, pembesaran
hati, trombositopenia, dan kebocoran plasma (dapat berwujud
hemokonsentrasi, efusi pleura, asites, dan hipoalbumin) yang jika berat dapat
menimbulkan syok.1

Gambar 2. Angka Insiden DBD per 100.000 Penduduk Menurut Provinsi di


Indonesia Tahun 2005 - 20093

5
2.3 Etiologi
Infeksi Dengue disebabkan oleh virus Dengue yang termasuk group B
arthropod borne virus (arbovirus) atau yang sekarang lebih dikenal sebagai
genus flavivirus. Berdasarkan etiologinya, flavivirus disebut dengan
“arbovirus” karena menunjukkan banyak diantara golongan virus tersebut yang
ditransmiskan di antara host vertebrata melalui nyamuk dan kutu (ticks). Aedes
aegypti dan Aedes abopictus merupakan vektor virus dengue yang paling
banyak di Indonesia. Pada daerah urban, 95% vektor pembawanya adalah
Ae.aeygypti.7 Virus dengue memiliki 4 jenis serotipe yaitu DENV-1, DENV-2,
DENV-3 dan DENV-4. Keempat jenis serotipe tersebut dapat ditemukan di
Indonesia. Infeksi pada salah satu dari serotipe tersebut dapat menyebabkan
antibodi seumur hidup pada serotipe yang bersangkutan namun hanya
memberikan perlindungan jangka pendek terhadap serotipe lain.8
Perbedaan serotipe virus dengue ini dapat menyebabkan perbedaan
manifestasi klinik pada demam DD, DBD dan SSD. Infeksi dengue primer
dengan serotipe DENV-2 dan 4 dianggap sebagian besar tanpa gejala, tanpa
memandang usia. Sedangkan infeksi primer dengan jenis dengue 1 dan 3 lebih
jelas gejalanya.9 Survai virologis memperlihatkan DENV-2 dan 3 merupakan
serotipe virus yang paling dominan di Indonesia. Jenis serotipe DENV-3
merupakan serotipe yang banyak berhubungan dengan kasus DBD berat.

Gambar 3. Vektor nyamuk aedes aegypti dan struktur virus dengue4

6
2.4 Patogenesis
Dua teori yang banyak dianut dalam menjelaskan patogenesis infeksi
dengue adalah hipotesis infeksi sekunder (secondary heterologous infection
theory) dan hipotesis konsep ADE (antibody dependent enhancement).10

Gambar 4. Hipotesis infeksi sekunder10

Menurut hipotesis infeksi sekunder yang diajukan oleh Suvatte, 1977


(gambar 2), sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berbeda,
respon antibodi anamnestik pasien akan terpicu, menyebabkan proliferasi dan
transformasi limfosit dan menghasilkan titer tinggi IgG antidengue. Karena
bertempat di limfosit, proliferasi limfosit juga menyebabkan tingginya angka
replikasi virus dengue. Hal ini mengakibatkan terbentuknya kompleks virus-
antibodi yang selanjutnya mengaktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan
C5a menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan
merembesnya cairan ke ekstravaskular. Hal ini terbukti dengan peningkatan kadar
hematokrit, penurunan natrium dan terdapatnya cairan dalam rongga serosa.10
Hipotesis konsep ADE (antibody dependent enhancement) menyatakan secara
tidak langsung bahwa mereka yang terkena infeksi kedua oleh virus heterolog
mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD berat. Antibodi
herterolog yang telah ada akan mengenali virus lain kemudian membentuk

7
kompleks antigen-antibodi yang berikatan dengan Fc reseptor dari membran
leukosit terutama makrofag. Sebagai tanggapan dari proses ini, akan terjadi sekresi
mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas
pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok.10
2.5 Gejala Klinis
DBD ditandai 4 manifestasi klinis, yaitu demam tinggi terus menerus
selama 2-7 hari pada sebagian kasus; diatesis hemoragik paling sering
ditampilkan sebagai petechia, uji torniquet positif, memar, epistaksis,
perdarahan gastro intestinal; hepatomegali dan kegagalan sirkulasi. Pada
pemeriksaan laboratorium terjadi trombositopenia (≤100.000/µl) dan
hemokosentrasi yang dapat dilihat dari peningkatan hematokrit ≥ 20%
dibandingkan dengan nilai hematrokit sebelum sakit.5 Setelah periode inkubasi
5-8 hari (rentang 3-14 hari), penyakit ini biasanya mulai dengan tiba-tiba dan
diikuti 3 fase: demam akut, kritis dan konvalesens (pemulihan).6

2.5.1 Fase Demam Akut


Biasanya pasien mengalami kenaikan temperatur secara tiba-tiba diikuti
dengan wajah memerah, erytema pada kulit, pusing dan nyeri otot. Temperatur
tubuh dapat meningkat hingga 40-41˚ C dan demam konvulsi dapat terjadi
terutama pada bayi. Gambaran klinik DBD pada bayi dan anak dapat ditandai
oleh suatu demam 1-5 hari, inflamasi pharyngeal, rhinitis dan batuk ringan.
Anoreksia, muntah dan nyeri abdomen sering ditemukan.6
Pada fase ini, demam biasanya berlangsung 2-7 hari. Gejala klinik DBD
menyerupai gambaran klinik DD dalam berbagai aspek, namun ruam
makulopapular dan myalgia/ artralgia lebih jarang terjadi pada kasus DBD.6
Tes torniquet positif pada fase ini meningkatkan kemungkinan terjadinya
dengue. Namun, gambaran klinik ini tidak bisa membedakan antara kasus
dengue berat dan dengue ringan. Oleh karena itu memonitor tanda peringatan
dan parameter klinis merupakan hal yang krusial untuk mengenali progres ke
fase kritis. Perdarahan ringan seperti petechiae dan pendarahan membaran

8
mukosa dapat terlihat. Hepar seringkali membesar dan teraba beberapa hari
sejak dimulainya demam.1
2.5.2 Fase Kritis
Fase kritis merupakan periode transisi 24-48 jam sekitar penurunan suhu,
ketika temperatur turun 37.5-38˚C, biasanya terjadi pada hari ke 3-7 sakit.
Kenaikan permeabilitas kapiler bersamaan dengan kenaikan hematrokit dapat
terjadi.1 Leukopenia progresif diikuti dengan penurunan cepat jumlah
trombosit biasanya mendahului kebocoran plasma. Pada saat ini pasien yang
tidak mengalami peningkatan permeabilitas kapiler akan membaik, sedangkan
yang yang mengalami kenaikan permeabilitas plasma akan memburuk sebagai
akibat dari kehilangan volume plasma.1
Pada kasus DBD berat, penyakit ini akan meningkat secara cepat ke
dalam stadium syok. Pada sebagian besar kasus ditemukan tanda kegagalan
peredaran darah, kulit dingin dan lembab sianosis sekitar mulut, nadi menjadi
cepat dan lembut. Pasien tampak lesu, gelisah, seringkali mengeluh nyeri
abdomen sebelum syok. Syok yang berkepanjangan seringkali berkomplikasi
memicu terjadinya Koagulasi Intravaskular Diseminata ke arah perdarahan
gastrointestinal berat, yang biasanya muncul sebagai hematemesis dan melena.
Kadang perdarahan dapat tersembunyi, namun menyebabkan komplikasi yang
serius jika tidak ditangani. Komplikasi jarang yang paling umum ditemukan
tetapi paling mempunyai manifestasi perdarahan yang paling fatal adalah
perdarahan intrakranial. Konvulsi dan koma banyak ditemukan pada pasien-
pasien di wilayah Indonesia dan Malaysia.6
Tatalaksana syok yang tidak adekuat dapat menimbulkan komplikasi
hipoksia, asidosis metabolik, perdarahan gastrointestinal hebat dengan
prognosis buruk. Sebaliknya dengan pengobatan yang tepat pasien segera
mengalami penyembuhan yang cepat.5
2.5.3 Fase Pemulihan
Jika pasien telah melewati pada 24-48 jam fase kritis, penyerapan
bertahap dari kompartemen cairan ekstravaskuler berlangsung pada 48-72 jam
berikutnya. Keadaan umum membaik, nafsu makan kembali, nyeri

9
gastrointestinal mereda, status haemodinamik stabil dan terjadi diuresis.1
Sebagian pasien mengalami ruam pethecial yang konfluen dengan karakterisik
tersebar, sekitar daerah kulit yang pucat (tanpa petechiae) pada ekstremitas,
lebih sering pada ekstremitas bawah, kadang disertai rasa gatal. Bradikardi
umum ditemukan selama fase ini.6

Gambar 5. Spektrum Manifestasi dan Gejala Klinis DHF6

2.6 Pemeriksaan penunjang


Pemeriksaan laboratorium meliputi kadar hemoglobin, kadar hematokrit,
jumlah trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif
disertai gambaran limfosit plasma biru (sejak hari ke 3). Trombositopenia
umumnya dijumpai pada hari ke 3-8 sejak timbulnya demam. Hemokonsentrasi
dapat mulai dijumpai mulai hari ke 3 demam.5 Pada DBD yang disertai manifestasi
perdarahan atau kecurigaan terjadinya gangguan koagulasi, dapat dilakukan
pemeriksaan hemostasis (PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP).
Pemeriksaan lain yang dapat dikerjakan adalah albumin, SGOT/SGPT, ureum/
kreatinin.
Untuk membuktikan etiologi DBD, dapat dilakukan uji diagnostik melalui
pemeriksaan isolasi virus, pemeriksaan serologi atau biologi molekular. Di antara
tiga jenis uji etiologi, yang dianggap sebagai baku emas adalah metode isolasi

10
virus. Namun, metode ini membutuhkan tenaga laboratorium yang ahli, waktu
yang lama (lebih dari 1–2 minggu), serta biaya yang relatif mahal. Oleh karena
keterbatasan ini, seringkali yang dipilih adalah metode diagnosis molekuler
dengan deteksi materi genetik virus melalui pemeriksaan reverse
transcriptionpolymerase chain reaction (RT-PCR). Pemeriksaan RT-PCR
memberikan hasil yang lebih sensitif dan lebih cepat bila dibandingkan dengan
isolasi virus, tapi pemeriksaan ini juga relatif mahal serta mudah mengalami
kontaminasi yang dapat menyebabkan timbulnya hasil positif semu.
Pemeriksaan yang saat ini banyak digunakan adalah pemeriksaan serologi,
yaitu dengan mendeteksi IgM dan IgG-anti dengue. Imunoserologi berupa IgM
terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke 3 dan menghilang
setelah 60-90 hari. Pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke 14,
sedangkan pada infeksi sekunder dapat terdeteksi mulai hari ke 2.5 Salah satu
metode pemeriksaan terbaru yang sedang berkembang adalah pemeriksaan antigen
spesifik virus Dengue, yaitu antigen nonstructural protein 1 (NS1). Antigen NS1
diekspresikan di permukaan sel yang terinfeksi virus Dengue. Masih terdapat
perbedaan dalam berbagai literatur mengenai berapa lama antigen NS1 dapat
terdeteksi dalam darah. Sebuah kepustakaan mencatat dengan metode ELISA,
antigen NS1 dapat terdeteksi dalam kadar tinggi sejak hari pertama sampai hari ke
12 demam pada infeksi primer Dengue atau sampai hari ke 5 pada infeksi sekunder
Dengue. Pemeriksaan antigen NS1 dengan metode ELISA juga dikatakan
memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi (88,7% dan 100%). Oleh karena
berbagai keunggulan tersebut, WHO menyebutkan pemeriksaan deteksi antigen
NS1 sebagai uji dini terbaik untuk pelayanan primer.12
Pemeriksaan radiologis (foto toraks PA tegak dan lateral dekubitus kanan)
dapat dilakukan untuk melihat ada tidaknya efusi pleura, terutama pada hemitoraks
kanan dan pada keadaan perembesan plasma hebat, efusi dapat ditemukan pada
kedua hemitoraks. Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan USG.12

2.7 Diagnosis
Penegakan diagnosis berdasarkan kriteria WHO tahun 1997 (1,2,4)

11
Demam Dengue
1. Probable
Demam akut disertai dua atau lebih manifestasi klinis berikut; nyeri kepala,
nyeri belakang mata, miagia, artralgia, ruam, manifestasi perdarahan,
leukopenia, uji HI >_ 1.280 dan atau IgM anti dengue positif, atau pasien
berasal dari daerah yang pada saat yang sama ditemukan kasus confirmed
dengue infection.
2. Corfirmed
Kasus dengan konfirmasi laboratorium sebagai berikut deteksi antigen
dengue, peningkatan titer antibodi > 4 kali pada pasangan serum akut dan
serum konvalesens, dan atau isolasi virus.

Diagosa DHF bila:


Semua kriteria dibawah ini terpenuhi:
1. Demam akut dengan onset durasi 2-7 hari.
2. Manifestasi perdarahan, yang ditunjukkan dengan salah satu diantaranya:
tes tourniquet positif, petekie, ekimosis atau purpura, perdarahan dari
mukosa, traktus gastrointestinal, lokasi injeksi, atau lokasi lain.
3. Hitung trombosit ≤100 000 sel/mm3
4. Terdapat minimal 1 tanda kebocoran plasma sbb: Peningkatan hematokrit
>20% dibandingkan standar sesuai umur dan jenis kelamin. Penurunan
hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan dengan
nilai hematokrit sebelumnya. Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura,
asites, hipoproteinemia, hiponatremia.
Derajat keparahan DHF diklasifikasikan dalam 4 kategori.6 Adanya
hemokonsentrasi bersamaan dengan keadaan trombositiopenia membedakan DHF
grade I dan II dengan DF. Penilaian derajat keparahan DHF ini secara klinis dan
epidemiologi berguna pada kejadian epidemi DHF di Asia tenggara, Pasifik dan
Amerika.
]

12
Sindrom Syok Dengue
Seluruh kriteria DBD (4) disertai dengan tanda kegagalan sirkulasi yaitu :
- Penurunan kesadaran, gelisah
- Nadi cepat, lemah
- Hipotensi
- Tekanan nadi < 20 mmHg
- Perfusi perifer menurun
- Kulit dingin-lembab

PENENTUAN DERAJAT PENYAKIT


Karena spektrum klinis infeksi virus dengue yang bervariasi, derajat
klinis perlu ditentukan sehubungan dengan tatalaksana yang akan
dilakukan.(2,4)

Gambar 6. Derajat Penyakit Infeksi Virus Dengue

Perbedaan gejala dan tanda klinis pada setiap derajat terbagi dalam tabel berikut :

13
Klasifikasi Derajat Keparahan DHF
2.8 Diagnosis Banding6
Pada fase demam awal, diagnosis banding DF sangat luas, meliputi
infeksi virus, bakterial, dan protozoa yang dapat memberikan gejala mirip
dengan DF. Manifestasi perdarahan, misalnya tes tourniquet positif dan
leukopenia (≤5000 sel/mm3) mengindikasikan adanya infeksi virus dengue.
Adanya trombositopenia bersamaan dengan adanya hemokonsentrasi
mendiferesiasi DHF/DSS dari penyakit lainnya. Pada pasien tanpa peningkatan
nilai hematokrit yang signifikan dapat disebabkan oleh perdarahan yang masif,
dengan atau tanpa terapi cairan intravena awal, adanya efusi pleura atau asites
mengidikasikan adanya kebocoran plasma. Hipoproteinemia/albuminemia
mendukung adanya kebocoran plasma. Nilai laju endap darah (LED) yang
normal membantu mendiferensiasi infeksi Dengue dari infeksi bakterial dan
syok septik. Pada periode syok, nilai LED <10 mm/jam.6

2.9 Penatalaksanaan
Pada fase demam pasien dianjurkan :
• Tirah baring, selama masih demam.
• Obat antipiretik atau kompres hangat diberikan apabila diperlukan.
• Dianjurkan pemberian cairan dan elektrolit per oral, jus buah, sirop, susu,
dll

14
Pada pasien DD, saat suhu turun pada umumnya merupakan tanda
penyembuhan. Semua pasien harus diobservasi terhadap komplikasi yang
dapat terjadi selama 2 hari setelah suhu turun. Hal ini disebabkan oleh karena
kemungkinan sulit membedakan antara DD dan DBD pada fase demam.
Perbedaan akan tampak jelas saat suhu turun, yaitu pada DD akan terjadi
penyembuhan sedangkan pada DBD terdapat tanda awal kegagalan sirkulasi
(syok). (1,2,3,4)
Demam Berdarah Dengue dan Sindrom Syok Dengue
Tidak ada terapi spesifik untuk demam berdarah dengue, prinsip utama
adalah terapi suportif yaitu pemeliharaan volume cairan sirkulasi akibat
kebocoran plasma.
Protokol 1. Penanganan Tersangka (probable) DBD Tanpa Syok
Petunjuk dalam memberi pertolongan pertama pada penderita atau tersangka
DBD di Unit Gawat Darurat serta dalam memutuskan indikasi rawat.
Tersangka DBD di UGD dilakukan pemeriksaaan darah lengkap, minimal Hb,
Ht dan trombosit. Bila hasil trombosit normal atau turun sedikit (100.000 –
150.000) pasien dipulangkan, wajib kontrol 24 jam berikut atau bila memburuk
segera harus kembali ke UGD. Bila hasil Hb dan Ht normal, trombosit
<100.000, pasien dirawat. Bila hasil Hb, Ht meningkat, trombosit normal atau
turun, pasien dirawat. (1,4)

Gambar 7. Penanganan Tersangka (probable) DBD Tanpa Syok

15
Protokol 2. Pemberian Cairan Pada Tersangka DBD Dewasa di Ruang
Rawat
Tatalaksana kasus tersangka DBD tanpa perdarahan spontan dan masif dan
tanpa syok, diberi cairan infuse kristaloid dengan rumus volume cairan yang
diperlukan per hari :
1500 + (20 x (BB dalam kg – 20)
Monitor Hb, Ht, trombosit per 24 jam. Bila hasil Hb dan Ht meningkat >10-
20% dan trombosit turun <100.000 maka jumlah cairan tetap, lalu lanjutkan
monitor per 12 jam. Bila hasil Hb, Ht meningkat >20% dan nilai trombosit
<100.000 lanjutkan pemberian cairan sesuai Protokol 3.(1)

Gambar 8. Pemberian Cairan Pada Tersangka DBD Dewasa di Ruang Rawat

Protokol 3. Penatalaksanaan DBD dengan Peningkatan Hematokrit >20%


Peningkatan nilai Ht >20% menunjukkan tubuh mengalami defisit cairan
sebanyak 5%. Terapi awal pemberian cairan, infuse kristaloid dengan dosis 6-
7ml/kg/jam. Monitor dilakukan 3-4 jam setelah pemberian cairan. Parameter
nilai perbaikan adalah kadar Ht, frekuensi nadi, tekanan darah dan produksi
urin. Bila didapatkan tanda perbaikan maka dosis cairan dikurangi menjadi
5ml/kgBB/jam. Bila 2 jam kemudian keadaan tetap dan ada perbaikan, dosis
dikurangi menjadi 3 ml/kgBB/jam. Bila keadaan tetap membaik dalam 24-48
jam kemudian, pemberian cairan infuse dapat dihentikan. Bila keadaan tidak
membaik setelah terapi awal maka dosis cairan infus naik menjadi

16
10ml/kgbb/jam. Bila 2 jam keadaan membaik, cairan dikurangi menjadi 5
ml/kgbb jam. Bila memburuk, naik menjadi 15 ml/kgBB/jam.Bila tanda syok
(+) masuk ke protokol syok.(1)

Gambar 9. Penatalaksanaan DBD dengan Peningkatan Hematokrit >20%

Protokol 4. Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada DBD Dewasa


Sumber perdarahan masif dan spontan pada penderita DBD adalah epistaksis,
perdarahan saluran cerna (hematemesis, melena atau hematoskesia), saluran
kencing (hematuria), perdarahan otak, dan yang tersembunyi, dengan jumlah
perdarahan sebanyak 4-5 ml/kgBB/jam. Terapi cairan sama seperti kasus DBD
tanpa syok. Pemeriksaan tanda vital, Hb, Ht, trombosit dilakukan 4-6 jam serta
pemeriksaan trombosis dan hemostasis. Heparin diberi bila tanda KID (+).
Transfusi komponen darah diberikan sesuai indikasi, PRC diberi bila Hb <10 g/dl.

17
Trombosit hanya diberi pad pasien perdarahan spontan masif dengan kadar
trombosit <100.000 dengan atau tanpa tanda KID. FFP diberikan bila didapatkan
defisiensi faktor pembekuan (PT dan aPTT memanjang).(1)

Gambar 10. Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada DBD Dewasa

Protokol 5. Tatalaksana Sindrom Syok Dengue pada Dewasa


Resusitasi cairan merupakan terapi terpenting dalam menangani syok
hipovolemia pada SSD. Fase awal, guyur cairan kristaloid 10-20 ml/kgBB, lalu
evaluasi 15-30 menit kemudian. Bila renjatan telah teratasi jumlah cairan
dikurangi menjadi 7 ml/kgBB/jam. Bila dalam 60-120 menit keadaan tetap stabil,
pemberian cairan menjadi 5 ml/kgBB/jam. Bila dalam 60 – 120 menit kemudian
tetap stabil, dosis menjadi 3 ml/kgBB/jam. Bila stabil selama 24-48 jam, hentikan
infus karena jika reabsorpsi cairan plasma yang mengalami extravasasi terjadi
(ditandai dengan Ht yg turun), bila cairan tetap diberi bisa terjadi hipervolemi,
edema paru dan gagal jantung. (1)

Selain itu dapat diberikan oksigen 2-4 liter per menit, dengan pemeriksaan
darah perifer lengkap, hemostasis, AGD, elektrolit, ureum dan kreatinin. Harus

18
dilakukan pengawasan dini terhadap kemungkinan syok berulang dalam waktu 48
jam. Karena proses patogenesis penyakit masih berlangsung dan cairan kristaloid
hanya menetap 20% dalam pembuluh darah setelah 1 jam pemberian. Diuresis
diusahakan 2 ml/kgBB/jam.(1)

Bila setelah fase awal, renjatan belum teratasi, cairan ditingkatkan menjadi
20-30 ml/kgBB evaluasi dalam 20-30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi,
perhatikan nilai Ht. Bila ht meningkat, perembesan plasma masih berlangsung,
maka pilihan cairan koloid. Bila Ht menurun kemungkinan perdarahan dalam
(internal bleeding) maka dapat diberikan transfuse darah segar 10 cc/kgBB (dpt
diulang sesuai kebutuhan). Tanda hemodinamik masih belum stabil dengan nilai
Ht lebih dari 30°/o dianjurkan untuk memakai kombinasi kristaloid dan koloid
dengan perbandingan 4:1 atau 3:1.(1,2)

Koloid mula-mula diberikan dengan tetesan cepat 10-20 ml/kgBB,


evaluasi setelah 10-30 menit, dapat ditambah hingga jumlah maksimal 30
ml/kgBB. Pilihan sebaiknya yang tidak menggangu mekanisme pembekuan darah.
Gangguan mekanisme pembekuan darah ini dapat disebabkan terutama karena
pemberian dalam jumlah besar, selain itu karena jenis koloid itu sendiri. Oleh
sebab itu koloid dibatasi maksimal sebanyak 1000-1500 ml dalam 24 jam. Pada
kasus SSD apabila setelah pemberian cairan koloid syok dapat diatasi, maka
penatalaksanaan selanjutnya dapat diberikan ringer laktat dengan kecepatan sekitar
4-6 jam setiap 500cc. (1,2)

Pasang kateter vena sentral untuk pantau kecukupan cairan, Sasaran


tekanan vena sentral 15-18 cmH2O. Bila keadaan tetap belum teratasi, perhatian
dan koreksi ganggguan asam basa, elektrolit, hipoglikemia, anemia, KID dan
infeksi sekunder. Bila tekanan vena sentral sudah sesuai dengan target namun
renjatan belum teratasi, maka dapat diberikan obat inotropik/vasopresor (dopamin,
dobutamin, atau epinephrine). (1,2,4)

Hiponatremia danasidosis metabolik sering menyertai pasien SSD, dan


apabila asidosis tidak dikoreksi, akan memacu terjadinya KID, sehingga

19
tatalaksana pasien menjadi lebih kompleks.Pada umumnya, apabila penggantian
cairan plasma diberikan secepatnya dandilakukan koreksi asidosis dengan natrium
bikarbonat, maka perdarahansebagai akibat KID, tidak akan tejadi sehingga
heparin tidak diperlukan.(2)

Pemberian antibiotik perlu dipertimbangkan pada SSD mengingat


kemungkinan infeksi sekunder dengan adanya translokasi bakteri dari saluran
cerna. Indikasi lain pemakaian antibiotik pada DBD, bila didapatkannya infeksi
sekunder di tempat/organ lainnya, dan antibiotik yang digunakan hendaknya yang
tidak mempunyai efek terhadap sistem pembekuan.(2)

20
Gambar 10. Tatalaksana Sindrom Syok Dengue pada Dewasa

Gambar 11: Tata Laksana Pasien DBD (Rawat Inap) / Demam Dengue13

21
Gambar 12: Tata Laksana DBD derajat I dan II13

22
3.1 SINDROM SYOK DENGUE
Spektrum klinis infeksi virus dengue bervariasi tergantung dari faktor
yang mempengaruhi daya tahan tubuh dengan faktor-faktor yang
mempengaruhi virulensi virus. Dengan demikian infeksi virus dengue dapat
menyebabkan keadaan yang bermacam-macam, mulai dari tanpa gejala
(asimtomatik), demam ringan yang tidak spesifik (undifferentiated febrile
illness), Demam Dengue, atau bentuk yang lebih berat yaitu Demam Berdarah
Dengue (DBD) dan Sindrom Syok Dengue (SSD). (1,2,3)

3.2. DEFINISI
Sindrom Syok Dengue (SSD) adalah keadaan klinis yang memenuhi
kriteria DBD disertai dengan gejala dan tanda kegagalan sirkulasi atau syok.
SSD adalah kelanjutan dari DBD dan merupakan stadium akhir perjalanan
penyakit infeksi virus dengue, derajat paling berat, yang berakibat fatal. (1,2,3)

3.3 PATOGENESIS
Patogenesis DBD dan SSD masih merupakan masalah yang
kontroversial. Dua teori yang banyak dianut adalah hipotesis infeksi sekunder
(teori secondary heterologous infection) dan hipotesis immune enhancement.
(1,2,3)

Halstead (1973) menyatakan mengenai hipotesis secondary heterologous


infection. Pasien yang mengalami infeksi berulang dengan serotipe virus
dengue yang heterolog mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk
menderita DBD/Berat. Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan
mengenai virus lain yang akan menginfeksi dan membentuk kompleks antigen
antibodi kemudian berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel leukosit
terutama makrofag. Oleh karena antibodi heterolog maka virus tidak
dinetralisasikan oleh tubuh sehingga akan bebas melakukan replikasi dalam sel
makrofag (respon antibodi anamnestik)(1,2,3).
Dalam waktu beberapa hari terjadi proliferasi dan transformasi limfosit
dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue. Terbentuknya virus

23
kompleks antigen-antibodi mengaktifkan sistem komplemen (C3 dan C5),
melepaskan C3a dan C5a menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding
pembuluh darah sehingga plasma merembes ke ruang ekstravaskular. Volume
plasma intravaskular menurun hingga menyebabkan hipovolemia hingga syok.
(1,2,3)

Gambar 13. Imunopatogenesis Infeksi Virus Dengue

Hipotesis kedua antibody dependent enhancement (ADE), suatu proses


yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel
mononuklear. Sebagai tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi
mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas
pembuluh darah, sehingga mengakibatkan perembesan plasma kemudian
hipovolemia dan syok. Perembesan plasma ini terbukti dengan adanya,
peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar natrium, dan terdapatnya
cairan di dalam rongga serosa (efusi pleura, asites). Virus dengue dapat
mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu virus mengadakan

24
replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh nyamuk. Ekspresi
fenotipik dari perubahan genetik dalam genom virus dapat menyebabkan
peningkatan replikasi virus dan viremia, peningkatan virulensi dan mempunyai
potensi untuk menimbulkan wabah. (1,2)

Gambar 14. Patogenesis terjadinya syok pada DBD

Kompleks antigen-antibodi selain mengaktivasi sistem komplemen, juga


menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivasi sistem koagulasi melalui
kerusakan sel endotel pembuluh darah. Kedua faktor tersebut akan
menyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat
dari perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit
mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin di phosphat), sehingga trombosit

25
melekat satu sama iain. Hal ini akan menyebabkan trombosit dihancurkan oleh
RES (reticulo endothelial system) sehingga terjadi trombositopenia. Kadar
trombopoetin dalam darah pada saat terjadi trombositopenia justru
menunjukkan kenaikan sebagai mekanisme kompensasi stimulasi
trombopoesis saat keadaan trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan
menyebabkan pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan terjadinya
koagulopati konsumtif (KID = koagulasi intravaskular diseminata), ditandai
dengan peningkatan FDP (fibrinogen degradation product) sehingga terjadi
penurunan faktor pembekuan.(2,3)

Gambar 15. Patogenesis Pendarahan pada DBD

26
Gambar 16. Tata Laksana DBD derajat III dan II13

27
Jenis Cairan Resusitasi (rekomendasi WHO): (2)
1. Kristaloid
Larutan ringer laktat (RL)
Larutan ringer asetat (RA)
Larutan garam faali (GF)
Dekstrosa 5% dalam larutan ringer laktat (D5/RL)
Dekstrosa 5% dalam larutan ringer asetat (D5/RA)
Dekstrosa 5% dalam 1/2 larutan garam faali (D5/1/2LGF)
(Catatan:Untuk resusitasi syok dipergunakan larutan RL atau RA tidak
boleh
larutan yang mengandung dekstran)
2. Koloid
Dekstran 40, Plasma, Albumin

Pilihan Cairan Koloid pada Resusitasi Cairan SSD


Saat ini ada 3 golongan cairan koloid yang masing-masing mempunyai
keunggulan dan kekurangannya, yaitu golongan Dekstran, Gelatin, Hydroxy ethyl
starch (HES).(2)
Golongan Dekstran mempunyai sifat isotonik dan hiperonkotik, maka
pemberian dengan larutan tersebut akan menambah volume intravaskular oleh
karena akan menarik cairan ekstravaskular. Efek volume 6% Dekstran 70
dipertahankan selama 6-8 jam, sedangkan efek volume 10°/o Dekstran 40
dipertahankan selama 3-5 jam. Kedua larutan tersebut dapat menggangu
mekanisme pembekuan darah dengan cara menggangu fungsi trombosit dan
menurunkan jumlah fibrinogen serta faktor VIII, terutama bila diberikan lebih dari
1000 ml/24 jam. Pemberian dekstran tidak boleh diberikan pada pasien dengan
KID.(2)
Golongan Gelatin (Hemacell dan gelafundin merupakan larutan gelatin yang
mempunyai sifat isotonik dan isoonkotik. Efek volume larutan gelatin menetap
sekitar 2-3 jam dan tidak mengganggu mekanism pembekuan darah.(2)

28
Hydroxy ethyl starch (HES) 6% HES 200/0,5; 6% HES 200/0,6; 6% HES
450/0,7 adalah larutan isotonik dan isonkotik, sedangkan 10% HES 200/0,5 adalah
larutan isotonik dan hiponkotik. Efek volume 6%/10°/o HES 200/0,5 menetap
dalam 4-8 jam, sedangkan larutan 6% HES 200/0,6 dan 6% HES 450/0,7 menetap
selama 8-12 jam. Gangguan mekanisme pembekuan tidak akan terjadi bila
diberikan kurang dari 1500cc/24 jam, dan efek ini terjadi karena pengenceran
dengan penurunan hitung trombosit sementara, perpanjangan waktu protrombin
dan waktu tromboplastin parsial, serta penurunan kekuatan bekuan.(2)

Ruang Rawat Khusus Untuk DBD/SSD


Untuk mendapatkan tatalaksana DBD lebih efektif, maka pasien DBD
seharusnya dirawat di ruang rawat khusus, yang dilengkapi dengan perawatan
untuk kegawatan. Ruang perawatan khusus tersebut dilengkapi dengan fasilitas
laboratorium untuk memeriksa kadar hemoglobin, hematokrit dan trombosit yang
tersedia selama 24 jam. Pencatatan merupakan hal yang penting dilakukan di
ruang perawatan DBD. Paramedis dapat didantu oleh keluarga pasien untuk
mencatatjumlah cairan baik yang diminum maupun yang diberikan secara
intravena, serta menampung urin serta mencatat jumlahnya.(2)

Kriteria Memulangkan Pasien :(2)


Pasien dapat dipulang apabila, memenuhi semua keadaan dibawah ini
1. Tampak perbaikan secara klinis
2. Tidak demam selaina 24 jam tanpa antipiretik
3. Tidak dijumpai distres pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asidosis)
4. Hematokrit stabil
5. Jumlah trombosit cenderung naik > 50.000/ul
6. Tiga hari setelah syok teratasi
7. Nafsu makan membaik

29
3.4 Prognosis
Prognosis pasien demam berdarah dengue derajat adalah dubia ad bonam
apabila terapi cairan dilakukan dengan tepat dan benar. Monitoring tanda-tanda
vital dan hematokrit serta hitung trombosit secara simultan dengan terapi yang
diberikan untuk mengetahui apakah ada perbaikan serta komplikasi.

30
BAB IV
LAPORAN KASUS

3.1 IDENTITAS
Nama : An. Nanik
Umur : 13tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Ibu : Ny. Amirah, 30 tahun, IRT
Alamat : Desa Sumbersari 5/3 Kedaung - Kuripan
Tanggal masuk : 14 November 2015 Pukul 11.30
Ruangan : Mawar Kelas III

3.2 SUBJEKTIF
Keluhan utama: Panas
Riwayat penyakit sekarang (RPS):
- Panas sejak kurang lebih 5 hari yang lalu naik turun, turun dengan
konsumsi obat penurun panas dari bidan
- Pasien tidak mau makan kurang lebih sudah semingguan, hanya mau
minum susu (pasien mengatakan tidak ada nafsu makan)
- Muntah 4x di rumah berisi air susu
- Nyeri pada ulu hati mulai tadi pagi
- Tidak BAB 5hari, sebelumnya tidak ada mencret
- Kencing seperti biasa, tidak berkurang, jernih, tidak merah.
- Mimisan (-), Gusi berdarah (-), Muntah darah (-)

Riwayat penyakit dahulu:


- Tidak ada riwayat MRS sebelumnya
- Tidak ada riwayat sesak napas
- Tidak ada riwayat alergi
- Tidak ada riwayat kejang.

31
Riwayat penyakit keluarga:
- Tidak ada keluarga yang sakit seperti ini, tetangga ada yang dirawat
dirumah sakit karena demam berdarah
- Tidak riwayat sesak napas
- Tidak ada riwayat alergi
- Tidak ada riwayat kejang.

Riwayat imunisasi: Imunisasi lengkap

Riwayat diet: Pasien sehari-hari makan nasi dan lauk pauk, makan tidak
teratur, hanya 1x atau 2x dalam sehari.

Riwayat kehamilan ibu: Selama hamil ibu tidak pernah menderita penyakit
berat dan kontrol secara teratur ke bidan. Usia kehamilan 9 bulan.

Riwayat kelahiran: Anak lahir normal di bidan. Tidak ada riwayat KPD,
menangis setelah dilakukan hisapan lendir, BBL 3,1kg

Riwayat pertumbuhan dan perkembangan:


- Pada saat bayi hingga sekarang pertumbuhan dan perkembangannya baik
- Tidak pernah ketinggalan kelas, nilai pelajaran sekolah bisa mengikuti dan
nilainya dalam batas normal

3.3 OBJEKTIF
Keadaan umum : Lemah
Kesadaran : Composmentis
Tekanan darah : 100/70 mmHg
Nadi : 81x/menit
RR : 20x/menit
Suhu : 37 oC
Berat badan : 36kg

32
Panjang badan : 118 cm
Status gizi
BB/PB = 87,5 %
Interpretasi : Kurang

Kepala : a/i/c/d: +/-/-/-


Mata cowong +
Telinga tidak ada kelainan
Hidung tidak ada kelainan (PCH -)
Faring : hiperemi (+), Tonsil membesar T2 T2
Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening
Tidak ada tortikolis
Dada : Simetris kanan kiri
Tidak ada retraksi
Jantung : S1 S2 tunggal
Murmur – Gallop -
Paru-paru : Vesikuler kanan kiri
Wheezing -, rhonki -
Abdomen : Soefl, meteorismus +, bising usus +, asites -, nyeri tekan
(+), Hepar dan lien tidak teraba, Turgor baik
Genetalia : Perempuan, tidak ditemukan kelainan
Ekstremitas : Akral hangat, CRT > 2 detik, Rash (-), Ptekie (+) pada
antebrachii dextra makin menghilang.
Status neurologis : GCS 456, kaku kuduk -

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Tanggal 14/11/2015 (pada saat datang di UGD)
Nama Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
DARAH LENGKAP
Hematokrit 50 % 36-40
Hemoglobin 16,9 g/dl 12-16

33
Leukosit 4,690 mm3 4.000-11.000
HITUNG JENIS
Eosinofil 0 % 0-8
Basofil 0 % 0-3
Neutrofil 42 % 45-70
Limfosit 38 % 16-48
Monosit 10 % 4-11
Trombosit 17,000 /mm3 150.000-600.000
Eritrosit 5,9 juta/uL 4,1-5,1
FUNGSI HATI
Bilirubin total 1,42 mg/dl <1
Bilirubin Direk 0,43 mg/dl < 0,5
Alkali Phospat 109 UL 30-100
AST (SGOT) 147 UL 10-25
ALT (SGPT) 39 UL 10-25

3.4 ASSESSMENT
Diagnosis: Febris
Trombositopenia
DHF Grade I
Gastritis Diagnosa
Vomiting Klinis

3.5 PLANNING
Terapi:
 IUFD Asering 1600cc/24jam (maintenance)
 Infus Sanmol 3x360mg (IV)  bila suhu ≥ 38°C
 Ranitidin 2x30mg intravena
 Per oral : Curvit syr 2xcth I
Trolit 1x1 sachet

34
 Makan dan minum ditingkatkan, bila memungkinkan diberi nutrisi
lebih banyak
 Rawat inap di Mawar

Planning:
 DL ulang

Monitoring:
 Tanda tanda vital (Tekanan darah, Nadi, Suhu, Akral, Produksi urine)
 Frekuensi BAB
 Frekuensi muntah
 Hematokrit
 Tanda kebocoran plasma

FOLLOW UP
(SOAP 14/11/2015 – 17/11/2015)
14 November 2015 15 November 2015 16 November 2015
(Hari ke 1) (Hari ke 2) (Hari ke 3)
Subjektif Subjektif Subjektif
Keluarga mengatakan panas (+) Keluarga mengatakan panas (+) Batuk Keluarga mengatakan Panas (-) Batuk(-)
Batuk (-) Pilek (-) Muntah (-) Sesak (- (-) Pilek (-) Muntah (-) Sesak (-) Pilek (-) Muntah (-) Sesak (-) BAK +,
) BAK (+) jernih, BAB (-) 5hari BAK + , jernih, Makan/minum +/+ jernih. BAB (-), Makan/minum +/ +
Makan/minum -/+ menurun, Kejang sudah membaik dari pada kemarin, menurun, Nyeri epigastrium (-), pasien
(-), Mimisan (-) Nyeri perut (+) masih susah di ajak bicara
Objektif Objektif Objektif
KU: lemah KU: cukup KU: cukup
Kesadaran: CM Kesadaran: CM Kesadaran: CM
TD : 110/60 mmHg TD : 100/70 mmHg TD : 110/70 mmHg
Suhu: 37oC Suhu: 36oC Suhu: 36,7 ᵒC
RR: 18 x/menit RR: 20 x/menit RR: 20 x/menit
HR: 88 x/menit HR: 84x/menit HR: 84x/menit

K/L: a/i/c/d: -/-/-/- K/L: a/i/c/d: -/-/-/- K/L: a/i/c/d: -/-/-/-


Pembesaran KGB - Mukosa bibir kering (+) Mukosa bibir kering (+)
PCH - Pembesaran KGB - PCH - Pembesaran KGB - PCH –
Dada: simetris, retraksi - Dada: simetris, retraksi - Tenggorokan : Tonsil T2 T2, hiperemi (-
Pulmo: vesikuler, wh -, rh - Pulmo: vesikuler, wh -, rh - ), debritus (-)
Jantung: S1 S2 tunggal, murmur - Jantung: S1 S2 tunggal, murmur - Dada: simetris, retraksi -
Abdomen: ascites -, met -, bising usus Abdomen: ascites -, met -, bising usus Pulmo: vesikuler, wh -, rh -
+, hepar dan lien tidak teraba, turgor +, hepar 3jari dan lien tidak teraba, Jantung: S1 S2 tunggal, murmur -
baik turgor baik Abdomen: ascites -, met -, bising usus
Genitalia: DBN Genitalia: DBN +, hepar dan lien tidak teraba, turgor
Ektremitas: akral dingin, rumplee test Ektremitas: akral dingin, oedema -, baik
(+) tangan kanan, oedema -, CRT < 2 CRT < 2 detik. Ptekie Cruris D & S. Genitalia: DBN
detik. Ptekie Cruris D & S Rash wajah & dada. Ektremitas: akral hangat, oedema -,
Status neurologis: GCS 456, kaku Status neurologis: GCS 456 CRT < 2 detik. Ptekie Cruris D & S.
kuduk- Rash wajah & dada.

35
Status neurologis: GCS 456
Pemeriksan Lab Pemeriksan Lab Pemeriksaan Lab
Hematokrit : 50 Hematokrit : 38 Hematokrit : 40
Hb : 16,9 Hb : 13,4 Hb : 13,4
Leukosit : 4690 Leukosit : 5890 Leukosit : 7,650
Trombosit : 17000 Trombosit : 22,000 Trombosit : 23,000
Monosit : 10 Monosit : 15 Monosit : 16
Eritrosit : 5,9 Eritrosit : 4,7 Eritrosit : 4,8
Assessment Assessment Assessment
DHF grade I (Hari ke V) DHF grade I (Hari ke VI) DHF grade I (hari ke VII), Tonsilitis

Planning Pemeriksaan Lab Planning


Terapi: Hematokrit : 50 Terapi:
- Bed rest Hb : 16,9 - Bed rest
- Assering 2000cc/24 jam Leukosit :4690 - Assering 108cc/jam
- Sanmol injeksi 500mg Trombosit : 17,000 - Infus Sanmol 3x360mg
- Ranitidin 2x40mg Monosit : 10 - Curvit syrup 2 dd cth I
- Trolit 3x1 sachet Eritrosit : 5,9 - Trolit 1 x 1 sach
- Curvit 2x1cth - Makan dan minum ditingkatkan
- Makan dan minum ditingkatkan Diagnosa: DL serial
Diagnosa: DL ulang, LFT, SE Monitoring:
Monitoring: - Tanda tanda vital (Suhu, akral)
- Tanda tanda vital - Hematokrit
- Frekuensi BAB - Tanda kebocoran plasma
- Hematokrit
- Tanda kebocoran plasma

17 November 2015 18 November 2015 PULANG


(Hari ke 4) (Hari ke 5)
Subjektif Subjektif
Keluarga mengatakan panas (+) hari ke Keluarga mengatakan panas (+) hari ke
VIII, Batuk (-) Pilek (-) Muntah (-) IX, Batuk (-) Pilek (-) Muntah (-) Sesak
Sesak (-) BAK (+) jernih, BAB (+) (-) BAK (+) jernih, BAB (+) 5hari PULANG
5hari Makan/minum +/+ habis banyak, Makan/minum +/+ habis banyak, nyeri
Kejang (-), Mimisan (-), nyeri perut perut (-), Nyeri tenggorokan (-)
(+), Nyeri tenggorokan (+)
Objektif Objektif
KU: cukup KU: cukup
Kesadaran: CM Kesadaran: CM
TD : 110/70 mmHg TD : 110/70 mmHg
Suhu: 36,7 ᵒC Suhu: 36,7 ᵒC
RR: 20 x/menit RR: 20 x/menit
HR: 84x/menit HR: 84x/menit

K/L: a/i/c/d: -/-/-/- K/L: a/i/c/d: -/-/-/-


Mukosa bibir kering (+) Mukosa bibir kering (+)
Pembesaran KGB - PCH – Pembesaran KGB - PCH –
Tenggorokan : Tonsil T2 T2, hiperemi Tenggorokan : Tonsil T2 T2, hiperemi
(-), debritus (-) (-), debritus (-) PULANG
Dada: simetris, retraksi - Dada: simetris, retraksi -
Pulmo: vesikuler, wh -, rh - Pulmo: vesikuler, wh -, rh -
Jantung: S1 S2 tunggal, murmur - Jantung: S1 S2 tunggal, murmur -
Abdomen: ascites -, met -, bising usus Abdomen: ascites -, met -, bising usus
+, hepar dan lien tidak teraba, turgor +, hepar dan lien tidak teraba, turgor
baik baik
Genitalia: DBN Genitalia: DBN
Ektremitas: akral hangat, oedema -, Ektremitas: akral hangat, oedema -,
CRT < 2 detik. Ptekie Cruris D & S. CRT < 2 detik. Ptekie Cruris D & S.
Rash wajah & dada. Rash wajah & dada.
Status neurologis: GCS 456 Status neurologis: GCS 456

36
Pemeriksaan Lab Pemeriksaan Lab
Hematokrit : 38 Hematokrit : 39
Hb : 13,4 Hb : 14.0
Leukosit :5890 Leukosit :5,740 PULANG
Trombosit : 22,000 Trombosit : 65,000
Monosit : 15 Monosit : 16
Eritrosit : 4,7 Eritrosit : 5,0
Assessement Assessement
DHF grade I, Tonsilitis DHF grade I, Tonsilitis
(Hari ke VIII) (Hari ke XI) PULANG

Planning Planning
Terapi: Terapi:
- Bed rest - Bed rest
- Assering 2000cc/24 jam - Assering 2000cc/24 jam
- Sanmol injeksi 500mg - Sanmol injeksi 500mg
- Ranitidin 2x40mg - Ranitidin 2x40mg
- Curvit 2x1cth - Curvit 2x1cth PULANG
- Trolit 2x1 sach - Trolit 2x1 sach
Monitoring: Monitoring:
- Tanda tanda vital - Tanda tanda vital
- Frekuensi BAB - Frekuensi BAB
- Hematokrit - Hematokrit
- Tanda kebocoran plasma - Tanda kebocoran plasma

BAB V

37
PEMBAHASAN

5.1. RESUME
Anak perempuan berusia 13tahun, diibawa ke IGD RSUD Dr. Moh.
Saleh dengan keluhan panas sejak 5 hari lalu, panas naik turun dengan
penggunaan obat penurun panas, namun kecenderungan panas tinggi. Tidak
ada sesak nafas dan sianosis. Muntah 4 kali semenjak 5 hari yang lalu, isi
muntahan air susu , tidak ada lendir maupun darah. Nafsu makan dan minum
menurun, terkesan pasien malas untuk makan dan hanya mau minum susu.
Pasien juga merasakan nyeri pada ulu hati sejak 5 hari yang lalu. BAK seperti
biasa, warna kuning jernih, tidak berbuih, tidak merah. Tidak BAB selama 5
hari sebelumnya BAB warna kuning mencret (-). mimisan (-), kejang (-),
muntah darah (-), gusi berdarah (-). Riwayat MRS sebelumnya tidak ada.
Riwayat asma, sesak napas, alergi dan kejang tidak didapatkan. Keluarga
pasien tidak ada yang menderita sakit seperti ini, tidak ada yang memiliki
riwayat alergi, sesak napas, atau kejang.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien lemah,
kesadaran compos mentis, tekanan darah 100/70 mmHg, nadi 81x/menit, RR
20x/menit, Suhu 37oC. BB 36kg dan PB 118cm, dengan status gizi malnutrisi
ringan (87,5%). Dari status general terdapat kelainan pada mata yaitu mata
cowong, didapatkan sekret pada kedua hidung, mukosa bibir kering.
Pembesaran KGB tidak didapatkan, faring hiperemi (+), tonsil T2 T2, jantung
dan paru dalam batas normal, turgor baik, akral hangat dan CRT < 2 detik,
ptekial rash pada antebrachii dextra.
Dari pemeriksaan penunjang yang menunjukkan kelainan adalah:
Dari hasil lab darah lengkap (14/6/2015) didapatkan penurunan leukosit yaitu
4690/m3 (leukopenia) dan penurunan trombosit yaitu 17.000/mm3
(trombositopenia). Dengan Hb 16,9 g/dl dan Hematokrit 50%.
Dari follow up hari panas ke 1 (14/6/2015) didapatkan anak masih
demam tinggi serta tidak bisa buang air besar sejak kurang lebih 5 harian.

38
Dan didapatkan adanya manifestasi perdarahan spontan berupa ptekial rash
pada antebrachii dextra.
Pada follow up hari panas ke 2 (15/6/2015) masih didapatkan ptekie
pada cruris dextra dan sinistra, dengan hasil DL ulang didapatkan penurunan
trombosit 20.000/mm3,penurunan hematokrit 45%, peningkatan eritrosit
5,6juta/uL Pada follow up hari panas ke 3 (16/6/2015) hasil DL ulang
didapatkan peningkatan trombosit 23.000/mm3, penurunan hematokrit
menjadi 40% dan pembesaran tonsil T2 T2, hiperemi (-). Pada follow up hari
panas ke 4 (17/6/2015) Hasil DL ulang didapatkan penurunan trombosit
22.000/mm3, penurunan hematokrit menjadi 38%, dari nilai hematokrit
didapatkan konfirmasi adanya hemokonsentrasi sebesar 25% sehingga
diagnosa Dengue Fever disingkirkan dan pasien didiagnosa Dengue
Hemorrhagic Fever grade II.
Pada follow up hari panas ke 5 (18/6/2015) ptekial rash pada
antebrachii dextra makin menghilang. Hasil DL ulang didapatkan
peningkatan nilai trombosit 65.000/mm3, peningkatan hematokrit menjadi
39%. Pada hari ke 6 pasien di perbolehkan pulang.

5.2 DISKUSI
Pada pasien keluhan panas sejak 5 hari, panas naik turun, dengan
penggunaan obat penurun panas, namun kecenderungan panas tinggi. Hal ini
sesuai dengan perjalanan klinis DF maupun DHF yaitu demam mendadak
tinggi selama 2-7 hari. Demam pada penderita DF maupun DHF juga
memiliki kecenderungan terus tinggi. Menurut PPM IDAI biasanya panas
disertai lesu, tidak mau makan dan muntah, juga dapat ditemukan diare
kadang-kadang, serta ditemukan nyeri kepala, nyeri otot dan nyeri perut.13 Hal
ini sesuai dengan keadaan klinis yang didapatkan pada pasien, yaitu
didapatkan muntah 1x sebelum dibawa ke IGD dan nafsu makan pasien
cenderung menurun. Selain demam, diare, mual serta nafsu makan menurun,
pada pasien didapatkan pula batuk tanpa di sertai lendir. Gejala non spesifik
seperti batuk dan BAB lembek 1x berwarna hitam dapat tampak pada sekitar

39
39% dan 28% anak dengan IVD.9 Demam didapatkan pada 100% anak
penderita infeksi dengue, baik, DF maupun DHF.9 Penurunan nafsu makan
juga dapat merupakan manifestasi dari DHF pada bayi ditemukan pada 38%
dari penelitian di Nicaragua9. Namun presentase gejala klinis non spesifik ini
ditemukan bervariasi pada berbagai penelitian yang dilakukan di berbagai
tempat. Pada penelitian Husada di Surabaya didapatkan demam, diare, dan
hepatomegali merupakan gejala dan tanda klinik yang sering.5 Virus dengue
yang telah masuk ketubuh penderita akan menimbulkan viremia. Hal tersebut
menyebabkan pengaktifan complement sehingga terjadi komplek imun
Antibodi – virus pengaktifan tersebut akan membetuk dan melepaskan zat
(3a, C5a, bradikinin, serotinin, trombin, Histamin), yang akan merangsang
PGE2 di Hipotalamus sehingga terjadi termo regulasi instabil yaitu
hipertermia. Data tahun 2000 menyebutkan muntah (60%), batuk (55%) dan
diare (40%) sebagai gejala klinik yang paling banyak didapatkan pada bayi
dengan DBD di luar kriteria WHO.5 Dari data ini dapat dilihat bahwa
manifestasi awal DHF pada bayi mungkin non spesifik dan dapat menyerupai
gejala infeksi saluran nafas atas, ataupun gangguan gastrointestinal berupa
diare. Oleh karena itu kemungkinan diagnosa DF maupun DHF harus selalu
dipikirkan pada setiap anak dengan keluhan panas, baik dengan atau tanpa
gejala penyerta lain. Demam pada penderita DHF mungkin tidak bisa
dibedakan dengan berbagai demam akibat berbagai agen infeksi lain, oleh
karena itu manifestasi perdarahan pada anak yang sedang demam perlu
dicari, untuk memperkuat diagnosa. Perlu diingat pula demam tinggi yang
timbul akibat infeksi virus Dengue, dapat menyebabkan presipitasi terjadinya
kejang pada anak-anak dengan ataupun tanpa riwayat kejang demam
sebelumnya terutama pada anak usia 6 bulan hingga 5 tahun, terutama pada
anak-anak dengan ambang batas kejang yang rendah dan kenaikan suhu tubuh
yang overshoot. Pemberian antipiretik-analgetik pada bayi dengan DHF
sangat berguna untuk menurunkan suhu tubuh, yang dapat mencegah
terjadinya kejang demam, selain itu dapat juga berfungsi sebagai analgetik
terhadap nyeri kepala, nyeri otot dan nyeri perut. Hepatomegali merupakan

40
tanda dari pemeriksaan klinis yang sering ditemukan pada anak dengan DHF,
menurut penelitian pada periode 2003-2005 di Petchaburi Thailand
menjumpai 14 anak dengan DHF, hepatomegali ditemukan pada keseluruhan
kasus.5 Namun pada kasus pasien ini hepatomegali tidak ditemukan dari awal
hingga akhir perjalanan klinis penyakit.
Pada pasien, diagnosa awal sebelum didukung oleh hasil pemeriksaan
laboratorium adalah DSS, panas naik turun, vomiting dan batuk serta low
intake. Diagnosa vomiting didapat dari manifestasi klinis pasien yang
mengalami muntah 4 kali sebelum dibawa ke RS. Selain diagnosa diatas, pada
pasien juga ditegakkan diagnosa low intake berdasarkan penurunan makan
dan minum secara drastis, turgor masih baik (<2 detik). Pada pasien ini juga
di diagnosa DSS karena di temukan kegagalan sirkulasi pada pasien ini seperti
tekanan darah diastole yang tidak bisa di ukur menggunakan tensi meter
namun harus menggunakan palpasi, nadi pasien juga cepat, CRT >. Pada
pasien juga diusulkan pemeriksaan Serum Elektrolit untuk mengetahui adanya
gangguan elektrolit akibat adanya dehidrasi dan sekresi elelktrolit dari saluran
cerna.
Pada pasien setelah follow up selama 1 hari post MRS baru didapatkan
penurunan trombosit yang begitu drastis mencapai 23,000. Keadaan pasien
yang lemah. Penurunan jumlah trombosit memudahkan terjadinya perdarahan
pada pembuluh darah kecil seperti kapiler yang bermanifestasi sebagai bercak
kemerahan. Perdarahan terbanyak adalah perdarahan kulit/petekie (58%), dan
SSD dialami oleh 32% dari seluruh anakdengan IVD. Namun pada pasien ini
tidak di dapatkan manifestasi pendarahan.5 Hal ini sesuai dengan kriteria
diagnosa DHF yaitu didapatkan manifetasi perdarahan, minimal uji torniquet
positif. Uji torniquet dan pengukuran tekanan darah tidak dilakukan secara
rutin pada pasien bayi. Pada pasien juga tidak dilakukan tes torniquet, dengan
alasan ketidaknyamanan pada anak bayi dan adanya pemeriksaan penunjang
lain yang lebih spesifik. Pemeriksaan tes torniquet (Rumple Leed) dapat
positif dalam keadaan lain selain infeksi Dengue yaitu pada keadaan
defisiensi vitamin C, ITP, dan Henoch Scolein purpura. Tanda perdarahan

41
bisa didapatkan baik pada penderita DF maupun DHF, oleh karena itu dalam
menentukan diagnosa DHF selain tanda perdarahan perlu dibuktikan adanya
kebocoran plasma. Tanda kebocoran plasma antara lain adanya peningkatan
hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai umur dan jenis kelamin,
penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan
dengan nilai hematokrit sebelumnya. Tanda kebocoran plasma lain seperti
efusi pleura, asites, hipoproteinemia, hiponatremia. Pada pasien tanda
kebocoran plasma yang ditemukan yaitu adanya hemokonsentrasi sebesar
25% yang mendukung diagnosa DHF. Pada pasien tidak ditemukan asites
maupun efusi pleura.
Pemeriksaan penunjang sederhana yang dapat dilakukan untuk
menetapkan diagnosa DF maupun DHF adalah dengan melakukan
pemeriksaan darah lengkap untuk menilai adanya leukopenia,
trombositopenia dan kemungkinan adanya hemokonsentrasi. Leukopenia
didapatkan pada infeksi oleh agen viral, dimana keadaan trombositopenia
disertai leukopenia lebih spesifik mengarah pada infeksi virus dengue,
terutama bila disertai dengan klinis panas. Selain akibat infeksi virus,
leukopenia dapat terjadi pada sepsis, leukimia, anemia aplastik, gangguan
sistem imun (HIV/AIDS, SLE, Remathoid Artritis), limfoma Hodgkin,
defisiensi folat, zink, cuprum. Keadaan trombositopenia juga dapat
dihubungkan dengan berbagai kelainan lain seperti anemia aplastik, sepsis,
ITP (Idiopatik Trombositopenik Purpura), HUS (Hemolitik Uremik
Syndrome), penggunaan obat-obatan seperti sulfonamide, carbamazepine,
digoxin, kina, dll. Hemokonsentrasi ≥ 20% merupakan syarat diagnosa DHF
menurut WHO.6 Sama seperti keadaan trombositopenia serta leukopenia,
hemokonsentrasi dapat pula ditemukan pada keadaan selain DHF, seperti
dehidrasi. Pada keadaan dehidrasi saja dapat ditemukan hemokonsentrasi,
namun biasanya tidak disertai adanya trombositopenia. Oleh karena itu
interpretasi pemeriksaan penunjang tidak dapat dilakukan secara sepihak saja,
melainkan diinterpretasikan secara bersama-sama dengan pemeriksaan
penunjang lain didukung dengan data keadaan klinis pasien. Anamnesa dan

42
pemeriksaan fisik memegang peranan paling penting dalam menegakkan
diagnosa pada sebagian besar pasien, namun dalam keadaan tertentu,
misalnya pada DHF 2 hal ini saja tidak cukup, karena diperlukan data
pemeriksaan penunjang untuk memastikan diagnosis. Pada pasien didapatkan
tromositopenia dan leukopenia pada DL pertama kali, hasil ini didukung
dengan keadaan klinis pasien mendukung diagnosa DF dengan diagnosa
banding DHF, karena bukti hemokonsentrasi ataupun kebocoran plasma
belum ditemukan. Dengan penegakan diagnosa DF dapat dianalisis bahwa
manifestasi panas, diare, mual, muntah, nafsu makan menurun, batuk dan
pilek merupakan gejala dari infeksi virus Dengue pada pasien ini. Keadaan
hemokonstentrasi dan dehidrasi dapat menunjukkan hasil laboratorium yang
sama yaitu peningkatan hematokrit, dimana pada pasien keadaan
hemokonsentrasi terjadi bersamaan dengan dehidrasi. Tanda yang dapat
digunakan untuk membedakan kedua kondisi ini adalah melihat parameter
lain, yaitu adanya trombositopenia pada pasien. Trombositopenia terjadi
akibat pemendekan umur trombosit akibat destruksi berlebihan oleh virus
dengue dan sistem komplemen (pengikatan fragmen C3g); depresi fungsi
megakariosit, serta supresi sumsum tulang.
Menurut WHO, adanya hemokonsentrasi dan trombositopenia secara
bersamaan mengindikasikan DHF.6 Hemokonsentrasi diketahui dengan cara
membandingkan nilai hematokrit tertinggi dan terendah kemudian dihitung
presentase selisih hematokrit tersebut dimana pada DHF hemokonsentrasi
bermakna dengan nilai ≥ 20%. Nilai hematokrit tertinggi biasanya didapatkan
pada fase kritis dimana terjadi kebocoran plasma dan adanya kemungkinan
terjadi shock, dan nilai hematokrit akan berangsur-angsur menurun pada fase
konvalesen. Parameter lain yang dapat digunakan adalah terapi cairan
rehidrasi. Pada kondisi dehidrasi, bila dilakukan pemeriksaan ulang terhadap
nilai hematokrit akan terjadi penurunan yang nyata setelah kondisi pasien
terehidrasi. Keadaan ini tidak terjadi pada pasien ini, membuktikan bahwa
penurunan hematokrit yang terjadi bukan hanya merupakan manifestasi

43
dehidrasi saja, melainkan juga merupakan manifestasi DHF dimana terjadi
hemokonsentrasi, yang akan menurun sesuai perjalanan klinis penyakit DHF.
Pada pasien dilakukan pemeriksaan membuktikan etiologi DHF, yaitu
pemeriksaan serologi dengan mendeteksi IgM dan IgG-anti dengue.
Pemeriksaan diagnostik dapat dilakukan dengan pemeriksaan isolasi virus,
pemeriksaan serologi atau biologi molekular. Di antara tiga jenis uji etiologi,
yang dianggap sebagai baku emas adalah metode isolasi virus. Namun,
metode ini membutuhkan tenaga laboratorium yang ahli, waktu lama, serta
biaya yang relatif mahal. Salah satu metode pemeriksaan terbaru yang sedang
berkembang adalah pemeriksaan antigen spesifik virus Dengue, yaitu antigen
nonstructural protein 1 (NS1). Antigen NS1 diekspresikan di permukaan sel
yang terinfeksi virus Dengue. Pemeriksaan Antigen NS1 direkomendasikan
WHO sebagai pemeriksaan terbaik pada pelayanan primer, namun
pemeriksaan ini tidak dapat dilakukan di RSUD Moh. Saleh Probolinggo.
Pengambilan sampel dan pemeriksaan NS1 dapat dilakukan sedini mungkin,
karena telah dapat dideteksi sejak hari pertama febris hingga maksimal hari ke
5 atau 6. NS1 (Nonstructural Protein 1) adalah produk glikoprotein yang
diproduksi oleh semua flavivirus dan esensial untuk replikasi dan viabilitas
virus. NS1 akan memberikan hasil positif sejak hari pertama febris. Pada An.
Nanik sebenarnya masih dapat dilakukan pemeriksaan NS1 dan masih dapat
diharapkan hasil yang positif karena pasien datang pada hari ke 3 panas.
Pemeriksaan NS1 sebenarnya sangat bermanfaat pada An. Nanik seandainya
dilakukan, sebab kecurigaan IVD pada By. Diko cukup besar karena adanya
tetangga pasien yang terdiagnosa DB pada sekitar 2 minggu sebelum pasien
sakit. Pemeriksaan NS1 bisa digunakan sebagai konfirmasi diagnosa dini pada
IVD. Hasil pemeriksaan imunoserologi pada pasien yaitu IgM positif dan IgG
negatif dimana sampel darah diambil pada hari ke-5 sakit. Waktu
pengambilan sampel penting diperhatikan karena perbedaan waktu
terdeteksinya antibodi di dalam darah. IgM terdeteksi mulai hari ke 3-5,
meningkat sampai minggu ke 3 dan menghilang setelah 60-90 hari. Pada
infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke 14, sedangkan pada infeksi

44
sekunder dapat terdeteksi mulai hari ke 2.5 Dari pemeriksaan serologis
disimpulkan bahwa infeksi dengue pada An. Nanik adalah infeksi dengue
primer. Manifestasi infeksi primer pada bayi, anak maupun dewasa sering
nampak sebagai demam yang tidak terdiferensiasi dari infeksi viral lain
dengan gejala penyerta yang sering berupa gejala sistem pernafasan dan
gastrointestinal, serta dapat timbul ruam makulopapular. Namun infeksi
primer pada bayi di daerah endemis dengue lebih sering bermanifestasi berat
sebagai DHF dan kadang-kadang DF. Penelitian di dua rumah sakit di
Vietnam menjumpai proporsi infeksi primer hampir 100% diantaranya
menjadi DHF/DSS.5 Beberapa penelitian juga menyebutkan bahwa DHF/SSD
pada bayi biasanya timbul pada infeksi dengue primer dengan hipotesis
bahwa beratnya penyakit berhubungan dengan antibodi yang ditransmisikan
secara vertikal dari ibunya.5 Bayi di bawah usia 1 tahun yang pada keadaan
normal memperoleh antibodi IgG anti dengue dari ibunya, keadaan ini
menyebabkan bayi rentan mengalami DHF/DSS pada infeksi primer.
Menghilangnya antibodi yang diturunkan dari ibu tersebut terbukti
berhubungan dengan usia puncak IVD pada bayi, risiko DHF bayi muncul
apabila antibodi maternal mencapai kadar subneutralizing.5 Antibodi dengue
dari ibu akan didapatkan pada saat lahir di hampir semua bayi karena
prevalensi tinggi pada populasi dewasa (Balmaseda A et all, data tidak
dipublikasikan).9 Pada saat baru dilahirkan antibodi ibu melindungi bayi dari
infeksi virus dengue, namun selanjutnya setelah IgG dikatabolisasi sehingga
kadarnya terus menerus menurun, risiko mengalami DHF/DSS meningkat.
Antibodi yang diturunkan dari ibu akan menghilang pada 3, 4, 6, dan 9 bulan
bertut-turut 3%, 19%, 72%, dan 99%. Setelah mencapai usia satu tahun,
seluruh antibodi terhadap virus dengue yang didapat dari ibunya telah
musnah.5 Antibodi itu umumnya adalah IgG subklas 1 dan mempertahankan
spesifisitasnya terhadap baik protein struktural maupun non struktural. IgG
subklas 1 mungkin juga berperan besar dalam aktivasi komplemen dan
terjadinya kebocoran plasma. Proses patogenesis yang dijumpai pada bayi
dengan infeksi virus dengue tidak sepenuhnya dapat dijelaskan dengan model

45
secondary heterologue infection. Epidemiologi IVD sesuai kelompok umur
(termasuk patogenesis DBD pada bayi) lebih dijelaskan dengan konsep ADE
(antibody dependent enhancement). Derajat penyakit dalam presentasi klinis
IVD pada bayi sangat berhubungan dengan respon imun pejamu. Aktivasi
imun selular banyak berhubungan dengan besar derajat presentasi klinis
dengue baik pada infeksi primer bayi maupun pada infeksi sekunder pada
anak yang lebih tua.9 Penemuan tersebut konsisten dengan adanya hubungan
antara besarnya inflamasi sistem imun dengan kebocoran plasma. Peningkatan
bermakna kadar IFN-gamma dan IL-10 yang dijumpai pada anak dengan
infeksi dengue sekunder setara dengan bayi yang mengalami infeksi primer.9
Peningkatan sitokin tersebut berkorelasi dengan gambaran klinis dan
laboratoris.Temuan ini konsisten dengan studi yang menunjukkan bahwa
penyakit akibat DEN2 adalah terutama terkait dengan infeksi sekunder,
sedangkan DEN1 dan DEN3 dapat menyebabkan penyakit gejala dan DHF /
DSS pada infeksi primer (Balmaseda A et all, data tidak dipublikasikan).9
Namun pada pasien tidak dilakukan pembuktian serotipe virus mana yang
menimbulkan infeksi karena keterbatasan sarana serta biaya.
Pada pasien dilakukan pemeriksaan fungsi hepar (4/6/15) dengan
hasil nilai bilirubin dalam normal, peningkatan alkali phospatase 162 U/L,
peningkatan SGOT: 226 U/L dan peningkatan SGPT: 70 U/L. Hal ini
menunjukkan adanya gangguan fungsi hatiyang dapat dijelaskan sebagai
akibat destruksi trombosit dan infeksi virus dengue. Destruksi trombosit
terjadi di hepar, lien, dan sumsum tulang. Hal ini mmenyebabkan sering
didapatkan hepatomegali pada pasien DBD terjadi akibat kerja berlebihan
hepar untuk mendestruksi trombosit dan untuk menghasilkan albumin. Selain
itu, sel-sel hepar terutama sel Kupffer mengalami banyak kerusakan akibat
infeksi virus dengue. Penelitian telah menunjukkan peningkatan kadar enzim
hati sebagai indikator awal keparahan penyakit.9 Namun pada pasien tidak
didapatkan tanda hepatomegali.
Tatalaksana pada pasien dengan DHF tergantung pada derajat
keparahan penyakitnya. Penatalaksanaan DHF terdiri dari pemberian cairan

46
dan perawatan suportif. Pada pasien pemberian carian harian dengan infus
Assering sejumlah 700cc/24 jam yang dihitung dengan rumus kebutuhan
cairan Holliday-Segar berdasarkan berat badan pasien. Penatalaksanaan ini
sebenarnya kurang tepat bila mengacu pada pedoman terapi cairan WHO.
Terapi cairan pada DHF Grade I dan II menurut WHO adalah dengan
pemberian cairan awal 7ml/kgBB/jam bila tanda vital, Hb dan Hct stabil,
maka terapi cairan diturunkan menjadi berturut-turut 5ml/kgBB/jam dan
3ml/kgBB/jam. Menurut konsenus IDAI terbaru tentang terapi cairan pada
DHF yang stabil, terapi cairan rumatan dapat diturunkan hingga sebesar
1,5ml/kgBB/jam. Pemberian cairan dilakukan hingga 2x24 jam tanda vital,
Hb dan Hct stabil, tidak ada perdarahan aktif dan diuresis cukup. Bila dengan
terapi cairan awal terdapat perburukan ataupun tidak ada perbaikan secara
klinis, anak tetap gelisah, timbul distres nafas, frekuensi nadi meningkat,
diuresis kurang dan Hb serta Hct tetap tinggi makan terapi cairan dapat
dinaikkan menjadi 10-15ml/kgBB/jam. Bila dengan terapi cairan yang
dinaikkan masih terjadi perburukan klinis maka anak dapat di berikan terapi
cairan koloid ataupun transfusi darah segar sesuai indikasi. Terapi cairan
pada pasien memang tidak sesuai dengan pedoman terapi cairan WHO,
namun hal ini cukup beralasan, karena keadaan klinis pasien stabil dan tidak
menunjukkan tanda perlunya resusitasi cairan. Cairan awal yang dipilih
adalah cairan Kristaloid, dalam kasus ini yang dipilih adalah assering.
Assering dipilih karena keunggulannya yaitu tidak mengandung laktat. Laktat
menimbulkan efek yang merugikan pada pasien infeksi Dengue, dalam kasus
ini DHF, karena metabolisme laktat yang terjadi pada hepar. Dimana pada
kasus ini telah terbukti adanya gangguan fungsi hepar dilihat dari nilai tes
fungsi hepar yang abnormal. Assering mengandung asam asetat yang
metabolismenya terjadi dalam otot sehingga tidak memberatkan fungsi hepar.
Selama terapi cairan pada DHF perlu dimonitor tanda bahaya berupa
kemungkinan terjadinya shock (akral dingin, tensi turun/tidak terukur, CRT
memanjang, pulse pressure melebar) yang memerlukan resusitasi cairan lebih

47
agresif. Perlu juga dimonitoring tanda-tanda overload terapi cairan yang dapat
bermanifestasi sebagai edema, atau ronki pada paru.
Pada pasien saat fase konvalesen didapatkan ruam ptekial pada tangan
serta kaki, yang lazim disebut dengan shoe and handglove like appearence.
Ruam pada pasien didapatkan mulai hari sakit ke-6 (5/6/2015) dimana ruam
didapatkan bersamaan dengan nilai trombosit yang mulai menunjukkan tren
meningkat. Hal ini sesuai dengan teori yang menyebutkan ruam konvalesen
muncul pada fase konvalesen. Ruam ini dapat muncul baik pada penderita DF
maupun DHF. Ruam konvalesen memiliki karakteristik berupa ptekial
konfluens yang mengelilingi area kulit normal yang berwarna pucat dan
tersebar. Ruam ini sering digambarkan sebagai “white island in the sea of
red”. Pasien pulang paksa pada hari ke-8 panas, dengan keadaan sudah bebas
panas 2 hari, gejala klinis telah membaik, makan dan minum baik, tidak ada
distres nafas, nilai hematokrit cenderung turun ke nilai normal, dan hitung
trombosit 47.000/mm3. Keadaan pasien pada saat pulang telah cukup baik dan
stabil, namun berdasarkan kriteria pemulangan pasien, masih ada kriteria
pasien pulang yang belum terpenuhi. Kriteria pemulangan pasien MRS
dengan infeksi virus Dengue antara lain tidak demam selama 24 jam tanpa
antipiretik, nafsu makan membaik, secara klinis tampak perbaikan, tidak ada
distress pernafasan, tiga hari setelah syok teratasi, hematorit stabil, jumlah
trombosit > 50.000/ml. Kriteria pemulangan pasien yang belum terpenuhi
pada saat pemulangan By. Diko adalah hitung trombosit lebih dari
50.000/mm3. Pemulangan pasien sebelum nilai hitung trombosit lebih dari
50.000/mm3 memiliki resiko kemungkinan terjadinya perdarahan walaupun
perjalanan penyakit pasien telah memasuki fase konvalesen dan memiliki
tren jumah trombosit yang semakin meningkat. Prognosis pada pasien adalah
baik, karena selama perjalanan penyakit, secara klinis tidak ditemukan tanda
syok dan keadaan klinis pasien stabil.

48
5.3 TANYA JAWAB
1. Manifestasi klinis pada infeksi primer dan infeksi sekunder oleh virus Dengue
apakah dapat dibedakan dari gejala klinisnya? Membedakan infeksi primer dan
sekunder apakah berdasarkan hasil pemeriksaan penunjang saja?
Manifestasi klinis pada infeksi Dengue primer dan sekunder dapat sama ataupun
berbeda, namun biasanya manifestasi klinis infeksi Dengue primer akan muncul
sebagai demam yang tidak spesifik maupun asimptomatis, karena belum adanya
antiodi spesifik yang terbentuk terhadap virus Dengue sehingga respon terhadap
infeksi belum memberikan gejala yang hebat. Infeksi sekunder oleh virus
Dengue biasanya memiliki manifestasi lebih berat daripada infeksi primer,
biasanya timbul sebagai DF ataupun DHF dan bila terdapat komorbid atau
koinfeksi dapat bermanifestasi sebagai Expanded Dengue Syndrome. Pada
laporan kasus infeksi pada By. Diko adalah infeksi primer namun memberikan
gejala klinis sebagai DHF, manifestasi infeksi primer pada bayi, anak maupun
dewasa seharusnya nampak sebagai demam yang tidak terdiferensiasi dari
infeksi viral lain. Namun bayi di daerah endemis Dengue seperti By. Diko
memiliki antibodi yang ditransmisikan secara vertikal dari ibunya. Karena
sebagian besar orang dewasa di daerah endemis memiliki antibodi terhadap virus
Dengue. Infeksi primer dan sekunder terhadap virus Dengue hanya dapat
dibedakan dengan melihat pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan serologis
dengan mengukur kadar Ig G dan Ig M anti dengue.
2. Apa alasan memilih assering daripada RL sejak hari pertama pada An. Nanik
padahal belum ada bukti gangguan hepar dan hasil tes fungsi hati baru ada pada
hari ke-8?
Assering dipilih sebagai cairan maintenace pada By. Diko walaupun belum ada
bukti gangguan hepar pada pasien adalah berdasarkan patogenesis dari virus
Dengue yang dapat menyerang sel-sel hepar terutama sel Kupffer yang dapat
dilihat dari hasil laboratorium sebagai peningkatan enzim hati. Assering dipilih
karena keunggulannya yaitu tidak mengandung laktat. Laktat menimbulkan efek
yang merugikan pada pasien infeksi Dengue karena metabolisme laktat yang

49
terjadi pada hepar. Assering mengandung asam asetat yang metabolismenya
terjadi dalam otot sehingga tidak memberatkan fungsi hepar.
3. Mengapa angka kejadian Demam Berdarah Dengue semakin tinggi sekarang ini?
Bagaimana pencegahan yang efektif?
Angka demam berdarah yang semakin tinggi dapat dikaitkan dengan
meningkatnya jumlah penduduk dan semakin padatnya lingkungan perumahan.
Hal ini mendukung semakin banyaknya transmisi virus Dengue. Selain itu
kemungkinan pencegahan yang dilakukan dimasyarakat kurang maksimal akibat
pengetahuan masyarakat tentang pencegahan terhadap gigitan nyamuk Aedes
aegypti kurang memadai, walaupun 3M plus sudah banyak disosialisasikan.
Pencegahan yang efektif tidak hanya melibatkan masyarakat namun juga dinas
kesehatan, setiap kejadian Demam Berdarah seharusnya dilaporkan dan dinkes
seharusnya merespon dengan studi epidemiologis di daerah tersebut, salah
satunya dikaitkan dengan Angka Bebas Jentik (ABJ), yang seharusnya diatas
95%, bila ABJ dibawah 95% mengindikasikan untuk dilakukan tindakan fogging
dan abatisasi.
4. Bila seseorang mengalami SSD jumlah cairan yang diberikan kapan 10ml/kg BB
kapan 20ml/kg BB?
Sesuai dengan tatalaksana SSD menurut WHO dapat diberikan cairan kristaloid
sejumlah 20 ml/kg secepatnya (biasanya dalam 30 menit) dan keadaan klinis
pasien dipantau apakah syok sudah teratasi atau pasien mengalami overload
cairan. Bila syok teratasi pemberian cairan diturunkan perjam menjadi 10, 7, 5, 3,
1.5ml/kg BB/jam. Bila syok tidak teratasi pemberian kristaloid sebanyak 20ml/kg
BB secepatnya dapat diulang kembali dan bila perlu dapat ditambahkan koloid
atau plasma 10-20ml/kg BB. Tanda-tanda syok yang membaik yaitu CRT < 2
detik, akral hangat, kering, merah, nadi kuat angkat, tekanan darah normal dan
terukur sesuai usia, tekanan nadi lebar. Sedangkan tanda-tanda overload cairan
dapat timbul sebagai odem (palpebra, ekstremitas), asites yang semakin parah,
efusi pleura dengan sesak yang bertambah, suara nafas ronki, juga dapat muncul
pada bayi dengan hepatomegali yang muncul mendadak. Tanda overload cairan
dan syok yang teratasi harus dimonitor, dan berdasarkan tanda-tanda ini berapa

50
kebutuhan cairan serta kapan harus memulai dan menghentikan resusitasi
diputuskan.
5. Apabila seorang anak yang sedang dirawat akibat menderita DF ataupun DHF
kemudian di tengah perjalanan penyakitnya pasien tersebut kembali digigit
nyamuk yang mengandung virus Dengue, apa yang akan terjadi terhadap
perjalanan klinis penyakitnya?
Apabila seseorang telah terinfeksi salah satu serotipe virus Dengue, maka akan
muncul kekebalan spesifik seumur hidup terhadap virus tersebut, namun tidak
memiliki kekebalan terhadap virus serotipe lain, hanya mendapatkan kekebalan
sementara saja terhadap serrotipe virus lain. Maka pada anak yang terinfeksi
virus Dengue, kemungkinan besar anak tersebut akan imun sementara waktu
terhadap infeksi Dengue serotipe lain, sehingga kemungkinan besar virus
serotipe lain tersebut tidak menimbulkan gejala klinis baru. Perjalanan klinis
pasien tersebut akan mengikuti perjalanan klinis infeksi virus Dengue yang
menginfeksinya di awal saja.
6. Pemeriksaan NS1 akan mulai positif sejak kapan? Apakah ada tempat untuk
pemeriksaan NS1 pada An. Nanik?
Antigen NS1 diekspresikan di permukaan sel yang terinfeksi virus Dengue.
Pengambilan sampel dan pemeriksaan NS1 dapat dilakukan sedini mungkin,
karena telah dapat dideteksi sejak hari pertama febris hingga maksimal hari ke 5
atau 6. NS1 (Nonstructural Protein 1) adalah produk glikoprotein yang
diproduksi oleh semua flavivirus dan esensial untuk replikasi dan viabilitas virus.
NS1 akan memberikan hasil positif sejak hari pertama febris. Pada By. Diko
sebenarnya masih dapat dilakukan pemeriksaan NS1 dan masih dapat diharapkan
hasil yang positif karena pasien datang pada hari ke 3 panas. Pemeriksaan NS1
sebenarnya sangat bermanfaat pada By. Diko seandainya dilakukan, sebab
kecurigaan IVD pada By. Diko cukup besar karena adanya tetangga pasien yang
terdiagnosa DB pada sekitar 2 minggu sebelum pasien sakit. Pemeriksaan NS1
bisa digunakan sebagai konfirmasi diagnosa dini pada IVD.

51
8. Nama lain Aedes aegypti?
Stegomyia aegypti

52
BAB VI
KESIMPULAN

1. Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) adalah manifestasi penyakit infeksi virus


Dengue yang sering dijumpai pada bayi dengan gejala utama demam dan.
Gejala penyerta lain dapat nonspesifik berupa gejala traktus respiratori (batuk,
pilek), gejala gastrointestinal (diare, nyeri perut).
2. Kriteria diagnosis DHF :Demam akut dengan onset durasi 2-7 hari, manifestasi
perdarahan, yang ditunjukkan dengan salah satu diantaranya: tes tourniquet
positif, petekie, ekimosis atau purpura, perdarahan dari mukosa, traktus
gastrointestinal, lokasi injeksi, atau lokasi lain, hitung trombosit ≤100 000
sel/mm3,terdapat minimal 1 tanda kebocoran plasma (peningkatan hematokrit
>20% dibandingkan standar sesuai umur dan jenis kelamin. Penurunan
hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, efusi pleura, asites,
hipoproteinemia, hiponatremia)
3. Penatalaksanaan DHF bersifat simtomatik yaitu mengobati gejala penyerta dan
suportif yaitu mengganti cairan yang hilang.
4. Infeksi primer Dengue pada anak sering bermanifestasi sebagai DHF pada
negara endemis infeksi Dengue, oleh karena itu pemantauan klinis dan
laboratoris yang teliti dapat memperbaiki prognosis dan mencegah komplikasi
syok.

53
BAB VII
DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization. 2001. Prevention and control of dengue and


dengue haemorrhagic fever: comprihensive guidelines. New Delhi.
Halaman 5-17.
2. Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Departemen Kesehatan RI. 2007.Profil pengendalian penyakit dan
penyehatan lingkungan. Jakarta.
3. Departemen Kesehatan RI. 2005. Pedoman tatalaksana klinis infeksi
dengue di sarana pelayanan kesehatan. Halaman19-34
4. Depkes. 2015. KLB demam berdarah dengue di Provinsi Jawa Timur dan
provinsi Sumatera Selatan. Data Bencana Dan Sumber Daya PKK diakses
dari http://www.penanggulangankrisis.depkes.go.id/ 9 Juni 2015.
5. Husada, Dominicus,dkk. 2012. Profil Klinik Infeksi Virus Dengue pada
Bayi di Surabaya. Sari Pediatri , Vol. 13, No. 6, April 2012. Halaman 437-
444.
6. World Health Organization. 2011. Comprehensive Guidelines for
Prevention and Control of Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever,
Revised and expanded edition. India.
7. Suharti C. 2001. Dengue Hemorrhagic Fever in Indonesia : The role of
cytocines in plasma leakage, coagulation and fibrinolysis. Dinsdag :
Nijmegen University Press.
8. Wahab, Samik (Editor). 2000. Arbovirus dalam Nelson, Ilmu Kesehatan
Anak. Halaman 1132-1139. Jakarta: EGC.
9. Hamond SN, Balmaseda A, Perez L, Tellez Y, Saborio SI, Mercado JC,
Videa E, et al. 2005. Differences in Dengue Severity in Infants, Children,
and Adults in A-3 Year Hospital-Based Study in Nicaragua; 73(6):1063-
70. diakses dari Pubmed 9 Juni 2015.

54
10. Hadinegoro SRH, Satari HI, editor. 1999 Perkembangan patogenesis
demam berdarah dengue. Dalam: Demam Berdarah Dengue: Naskah
Lengkap. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Halaman 32-43.
11. Kalayanaarooj S, Nimmannitya S. 2004.Guidelines for Dengue
Hemorragic Fever Case Management. Bangkok : WHO Collaborating
Centre.
12. Chen, Khie , Herdiman T. Pohan, Robert Sinto. 2009. Diagnosis dan
Terapi Cairan pada Demam Berdarah Dengue dalam Medicinus Vol 22,
No.1, Edisi Maret - Mei 2009. Halaman 3-7.
13. IDAI. 2009. Pedoman Pelayanan Medis Edisi I.

55

Anda mungkin juga menyukai