REFLEKSI KASUS
Disusun oleh:
Wahyudi Bambang Sukoco
30101307097
Pembimbing:
dr. Zuhriah Hidajati, Sp. A, M.Si Med
dr. Lilia Dewiyanti, Sp. A, M.Si Med
dr. Neni Sumarni, Sp. A
dr. Adriana Lukmasari, Sp. A
dr. Harancang Pandih Kahayana, Sp. A
NIM : 30101307097
1. IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien : An. AO
Umur : 6 Bulan
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Pundenarum Karangawen
Bangsal : Bima
No. CM : 471XXX
Tanggal Masuk RS : 21 Maret 2019
2. DATA DASAR
2.1. ANAMNESIS (ALLOANAMNESIS)
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis dengan ibu kandung pasien pada
tanggal 21 April 2019 jam 15.00 WIB di BIMA dan didukung dengan catatan
medis.
2.1.1. Keluhan utama : Batuk (+)
2.1.2. Keluhan tambahan : Panas (+), pilek (+)
2.1.3. Riwayat Penyakit Sekarang
2 Minggu SMRS pasien mengeluh batuk dan pilek. Batuk
kadang kadang, batuk muncul paling sering pada malam hari. Batuk
disertai dahak berwarna bening yang susah dikeluarkan. Batuk berdahak,
tidak berdarah, ibu pasien mengatakan saat itu pasien panas slemenget,
tubuh pasien mencapai 37℃ saat diukur di rumah. Ibu pasien
memberikan obat batuk sirup dan obat penurun panas diapotik kemudian
panas berkurang batuk juga berkurang. Mual dan muntah disangkal,
BAB dan BAK dalam batas normal, Kejang disangkal, adanya bejolan
pada leher (+).
1 Minggu SMRS: ibu pasien mengeluhkan anaknya batuk lebih
parah dari sebelumnya sampai terdengar bunyi grok-grok dan dahak
kental semakin susah keluar disertai demam terus menerus, keluhan
keringat pada malam hari. Ibu pasien membawa anaknya ke bidan karena
pasien tampak sesak napas, sulit tidur dan nafsu makan dan minum mulai
berkurang. Mual dan muntah 1x kali, BAB dan BAK dalam batas
normal, kejang disangkal.
Saat hari MRS: demam anak masih tetap dan batuk disertai
suara grok-grok belum berkurang bahkan sampai anak terlihat sesak,
pasien sulit makan dari sebelumnya, kemudian ibu pasien memutuskan
untuk membawa anaknya ke IGD RSUD K.R.M.T. Wongsonegoro. Tidak
terdapat bunyi mengi saat pasien membuang nafas, terdapat Keluhan keringat
pada malam hari. Pasien tidak mempunyai riwayat alergi maupun riwayat
tersedak makanan maupun minuman. Pasien juga tidak memiliki riwayat kejang
dan perdarahan spontan sebelumnya. Tidak ada anggota keluarga yang
menderita batuk lama maupun dalam pengobatan TB, tetapi tetanga ada yang
batuk. Ayah pasien merupakan seorang perokok dan sering merokok didekat
pasien.
– Perkembangan
Personal Motorik Bahasa Motorik
Sosial Halus Kasar
c. TCM
Kesan : TCM : negatif
d. X foto thorax AP
COR : CTR = 49.65 %, bentuk dan letak menyempit letak retocardiac
dan retrosternal space tak menyempit
Pulmo : corakan vasikuler meningkat. Tampak bercak dikedua perihiler
dan parakardial serta retrocardiac.
KESAN :
Cor Konfigurasi Normal.
Gambaran Tb paru primer.
Parameter 0 1 2 3 Skor
Kontak TB Tidak - Laporan keluarga BTA + 0
BTA-/ tidak jelas /
jelas
tidak tau
Uji tuberkulin Negatif - - Positif(≥ 10mm) atau 0
(≥ 5mm) pada
(Mantoux)
imunokompremais
Berat badan/ - BB/TB<90% Klinis gizi buruk - 0
Atau atau BB/TB <
keadaan gizi
BB/TB<80% 70% atau BB/U
< 60%
Demam yang - ≥ 2minggu - - 1
tidak diketahui
penyebab
Batuk kronik - ≥ 3 minggu - - 1
Pembesaran - ≥ 1cm . lebih - - 1
kelenjar limfe dari 1 KGB
kolli, aksila, tidak nyeri
inguinal
Pembengkakan - Ada - - 0
tulang / sendi pembengkaka
panggul / lutut kan
falang
Foto Thorak N Mendukung - - 1
TB
SKOR : 4 (belum memenuhi TBC)
3. RESUME
4. DIAGNOSIS BANDING
1. Bronkopneumonia
Berdasarkan etiologi:
Viral
Bakterial
Jamur
3. Bronkiolitis
4. Status Gizi
Gizi normal
Gizi lebih
Gizi Buruk
5. DIAGNOSIS KERJA
Diagnosis utama : Bronkopneumonia
Diagnosis komorbid :-
Diagnosis komplikasi :-
Diagnosis gizi : Gizi baik
Diagnosis sosial ekonomi : Cukup
Diagnosis Imunisasi : Imunisasi dasar lengkap
Diagnosis Pertumbuhan : Tumbuh normal
Diagnosis Perkembangan : Perkembangan sesuai usia
6. TERAPI
a. (IGD)
Infus RL(500ml) 3cc/kgBB/jam (27cc/jam )
Nebul combivent 1/2 + flexotide 1/2 /8jam
Paracetamol drop 0,9cc/6jam
Ampisilin 3x300mg
Gentamisin 1x50mg
5. PROGNOSIS
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad sanam : ad bonam
Quo ad fungsionam : ad bonam
CATATAN KEMAJUAN
Hari ke-2 Hari ke-3 Har
Hari ke-1 perawatan
Tanggal perawatan perawatan pera
22/04/2019 (BIMA) 23/04/2019 (BIMA) 24/04/2019 (BIMA) 25/04/2019 (B
Keluhan Batuk (+) Pilek (+) Batuk (+) pilek (+) Batuk berkurang, pilek Batuk berkuran
Sesak (+) mual (+) Sesak (+) dahak masih
berkurang tidak ada keluha
Dahak susah keluar
sedikit susah keluar Sudah perbaikan.
PF
- Kepala Mesocephale Mesocephale Mesocephale Mesocephale
- Mata CA -/-, SI -/-, cekung -/- CA -/-, SI -/-, cekung -/- CA -/-, SI -/-, cekung -/- CA -/-, SI -/-, ce
- Hidung Sekret -/-, dbn Sekret -/-, dbn Sekret -/-, dbn Sekret -/-, dbn
- Telinga Sekret -/-, dbn Sekret -/-, dbn Sekret -/-, dbn Sekret -/-, dbn
- Bibir Bibir kering - Bibir kering - Bibir kering - Bibir kering -
- Mulut Lidah kotor -, stomatitis Lidah kotor -, stomatitis -, Lidah kotor -, stomatitis -, Lidah kotor -, s
-, tonsil T1/T1, faring tonsil T1/T1, faring tonsil T1/T1, faring -, tonsil T1/T1
hiperemis - hiperemis - hiperemis - hiperemis -
- Leher
Dbn, pembesaran KGB + Dbn, pembesaran KGB + Dbn, pembesaran KGB + Dbn, pembesara
- Thorax
Inspeksi
Palpasi Datar, retraksi (-) Datar, retraksi (-) Datar, retraksi (-) Datar, retraksi (-
Perkusi Strem fremitus Strem fremitus kanan=kiri Strem fremitus kanan=kiri Strem
Auskultasi Cor : BJ I-II reguler, m(-), Cor : BJ I-II reguler, m(-),
kanan=kiri kanan=kiri
Cor :BJ I-II reguler, m(-), g(-), bising (-) g(-), bising (-) Cor : BJ I-II
Pulmo : Vesikuler (+/+), Pulmo : Vesikuler (+/+),
g(-), bising (-) m(-), g(-), bising
Pulmo:Vesikuler(+/+), Wheezing -/-, ronki (+/+) Wheezing -/-, ronki (+/+) Pulmo : Vesikul
Wheezing(-/-),ronki (+/+) Wheezing -/-, ro
- Abdomen
Inspeksi
Auskultasi
Datar Datar
Perkusi Datar Datar
BU (+) normal BU (+) normal
BU (+) normal BU (+) normal
timpani seluruh lapang timpani seluruh lapang
Palpasi timpani seluruh lapang timpani seluruh
Supel, nyeri tekan Supel, nyeri tekan
Supel, nyeri tekan Supel, nyeri
epigastrium -, epigastrium -,
epigastrium -, epigastrium
-Ekstremitas
hepatomegali (-) hepatomegali (-)
Akral dingin hepatomegali (-) hepatomegali (-)
Capillary reffil
- -
- -
Edem
< 2 detik < 2 detik
< 2 detik < 2 detik
- -
- -
Terapi Infus RL(500ml) Infus RL(500ml) Infus RL(500ml) BLPL
3cc/kgBB/jam 3cc/kgBB/jam 3cc/kgBB/jam Obat pulang
TINJAUAN PUSTAKA
DEFINISI
Pneumonia adalah inflamasi dari parenkim paru yang meliputi alveolus dan
jaringan interstisial.5 Pneumonia biasanya disebabkan oleh mikroorganisme, namun
pneumonia yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis tidak termasuk.6 Bila
parenkim paru terkena infeksi dan mengalami inflamasi hingga meliputi seluruh
alveolus suatu lobus paru maka disebut pneumonia lobaris atau pneumonia klasik. Bila
proses tersebut tidak mencakup satu lobus dan hanya di bronkiolus dengan pola bercak
– bercak yang tersebar bersebelahan maka disebut bronkopneumonia.
Bronkopneumonia merupakan jenis pneumonia yang sering dijumpai pada anak – anak.
7,8
ETIOLOGI
Sebagian besar pneumonia disebabkan oleh infeksi mikroorganisme ( virus,
bakteri, jamur, parasit ) dan sebagain kecil disebabkan oleh hal lain, seperti aspirasi
makanan dan asam lambung, benda asing, senyawa hidrokarbon, reaksi
hipersensitivitas, dan drug – or radiation induced pneumonitis.6,9 Usia pasien
merupakan faktor yang memegang peranan penting pada perbedaan dan kekhasan
penumonia anak terutama dalam spektrum etiologi, gambaran klinis, dan strategi
pengobatan. 1
Pada neonatus sering terjadi pneumonia akibat transmisi vertikal ibu – anak
yang berhubungan dengan proses persalinan. Infeksi terjadi akibat kontaminasi dengan
sumber infeksi dari ibu, misalnya melalui aspirasi mekoneum, cairan amnion, atau dari
serviks ibu. Spektrum mikroorganisme penyebab pada neonatus dan bayi kecil meliputi
Streptococcus group B, Chlamydia trachomatis, dan bakteri Gram negatif seperti E.
coli, Pseudomonas sp, atau Klebsiella sp. disamping bakteri utama penyebab
pneumonia yaitu Streptococcus pneumoniae. Infeksi oleh Chlamydia trachomatis akibat
transmisi dari ibu selama proses persalinan sering terjadi pada bayi di bawah 2 bulan.
Penularan transplasenta juga dapat terjadi dengan mikroorganisme Toksoplasma,
Rubela, virus Sitomegalo, dan virus Herpes simpleks ( TORCH ), Varisela – Zoster, dan
Listeria monocytogenes.
Pada bayi yang lebih besar dan anak balita, pneumonia lebih sering disebabkan
oleh infeksi Streptococcus pneumoniae, Haemophillus influenzae tipe B, dan
Staphylococcus aureus, sedangkan pada anak yang lebih besar dan remaja, selain
bakteri tersebut, sering juga ditemukan infeksi Mycoplasma pneumoniae.1,9
Daftar etiologi pneumonia pada anak sesuai dengan kelompok usia yang
bersumber dari data di negara maju dapat terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Etiologi pneumonia pada anak sesuai dengan kelompok usia di negar maju1
USIA ETIOLOGI YANG ETIOLOGI YANG
SERING JARANG
Lahir – 20 hari BAKTERI BAKTERI
E. colli Bakteri anaerob
Streptococcus group B Streptococcus group D
Listeria monocytogenes Haemophillus influenzae
Streptococcus pneumoniae
Ureaplasma urealyticum
VIRUS
Virus Sitomegalo
Virus Herpes simpleks
3 minggu – 3 BAKTERI BAKTERI
Chlamydia trachomatis Bordetella pertussis
bulan Streptococcus pneumoniae Haemophillus influenzae tipe
B
VIRUS Moraxella catharalis
Virus Adeno Staphylococcus aureus
Virus Influenza Ureaplasma urealyticum
Virus Parainfluenza 1, 2, 3 VIRUS
Respitatory Syncytical Virus Virus Sitomegalo
4 bulan – 5 BAKTERI BAKTERI
Chlamydia pneumoniae Haemophillus influenzae tipe
tahun
B
Mycoplasma pneumoniae Moraxella catharalis
Streptococcus pneumoniae Neisseria meningitidis
VIRUS Staphylococcus aureus
Virus Adeno VIRUS
Virus Influenza Virus Varisela-Zoster
Virus Parainfluenza
Virus Rino
Respiratory Synncytial virus
5 tahun – BAKTERI BAKTERI
Chlamydia pneumoniae Haemophillus influenzae
remaja Mycoplasma pneumoniae Legionella sp
Streptococcus pneumoniae Staphylococcus aureus
VIRUS
Virus Adeno
Virus Epstein-Barr
Virus Influenza
Virus Parainfluenza
Virus Rino
Respiratory Syncytial Virus
Virus Varisela-Zoster
FAKTOR RISIKO
Faktor resiko yang menyebabkan tingginya angka mortalitas pneumonia pada
anak balita di negara berkembang, antara lain:
pneumonia yang terjadi pada masa bayi
malnutrisi
defisiensi vitamin A
tingginya pajanan terhadap polusi udara ( polusi industri atau asap rokok)
intubasi, trakeostomi
KLASIFIKASI PNEUMONIA
1. Berdasarkan klinis dan epidemiologis:
c. Pneumonia virus
d. Pneumonia jamur : sering merupakan infeksi sekunder dengan predileksi
pada penderita dengan daya tahan tubuh lemah ( immunocompromised )
a. Pneumonia lobaris
b. Bronkopneumonia
MANIFESTASI KLINIS
Sebagian besar gambaran klinis pneumonia pada anak berkisar dari ringan
hingga sedang. Hanya sebagian kecil yang berat, mengancam kehidupan, dan mungkin
terjadi komplikasi sehingga perlu dirawat. Beberapa faktor yang mempengaruhi
gambaran klinis pada anak adalah imaturitas anatomik dan imunologik, mikroorganisme
penyebab yang luas, gejala klinis yang tidak khas terutama pada bayi, terbatasnya
penggunaan prosedur diagnostik invasif, etiologi noninfeksi yang relatif lebih sering,
dan faktor patogenesis.
Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung berat ringannya
infeksi, tetapi secara umum adalah sebagai berikut:
Gambaran infeksi umum :
o sakit kepala
o gelisah
o malaise
o sesak nafas
o retraksi dada
o takipnea
o air hunger
o merintih
o sianosis
3. Uji Serologis
Uji serologis untukj mendeteksi antigen dan antibodi pada infeksi bakteri
tipik mempunyai sensitivitas yang rendah dan secara umum tidak terlalu
bermanfaat dalam mendiagnosis infeksi bakteri atipik.1
4. Pemeriksaan Mikrobiologis
DIAGNOSIS
WHO mengembangkan pedoman diagnosis sederhana yang ditujukan untuk
Pelayanan Kesehatan Primer dan sebagai pendidikan kesehatan untuk masyarakat di
negara berkembang. Gejala klinis sederhana tersebut meliputi: napas cepat, sesak napas,
dan berbagai tanda bahaya agar anak segera dirujuk ke rumah sakit. Napas cepat dinilai
dengan menghitung napas anak dalam 1 menit penuh dalam keadaan tenang. Sesak
napas dinilai dengan melihat adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam ketika
menarik napas ( retraksi epigastrium ). Tanda bahaya pada anak berusia 2 bulan – 5
tahun adalah tidak dapat minum, kejang, kesadaran menurun, stridor, dan gizi buruk,
sedangkan tanda bahaya pada anak berusia dibawah 2 bulan adalah malas minum,
kejang, kesadaran menurun, stridor, mengi, dan demam/badan terasa dingin. Berikut
adalah klasifikasi pneumonia berdasarkan pedoman tersebut:
Tabel 2. Diagnosis Pneumonia Untuk Bayi dan Anak Usia 2 Bulan – 5 Tahun.1
Bayi dan anak berusia 2 bulan – 5 tahun
Pneumonia berat
bila ada sesak napas
Pneumonia
bila tidak ada sesak napas
Bukan pneumonia
bila tidak ada napas cepat dan sesak napas
Bukan pneumonia
bila tidak ada napas cepat dan sesak napas
Namun, menurut Pelayanan Kesehatan Medik Rumah Sakit ( WHO ), pneumonia dapat
dibagi menjadi pneumonia ringan dan berat:
1. Pneumonia ringan: Disamping batuk atau kesulitan napas, hanya terdapat napas
cepat saja, dimana napas cepat adalah:
2. Pneumonia berat: Batuk dan atau kesulitan bernapas ditambah minimal salah
satu hal berikut ini:
o crackles ( ronki )
sianosis
DIAGNOSIS BANDING 12
1. Pneumonia lobaris
Biasanya pada anak yang lebih besar disertai badan menggigil dan
kejang pada bayi kecil. Suhu naik cepat sampai 39 – 40 oC dan biasanya tipe
kontinua. Terdapat sesak nafas, nafas cuping hidung, sianosis sekitar hidung dan
mulut dan nyeri dada. Anak lebih suka tidur pada sisi yang terkena. Pada foto
rotgen terlihat adanya konsolidasi pada satu atau beberapa lobus.
2. Bronkioloitis
Diawali infeksi saluran nafas bagian atas, subfebris, sesak nafas, nafas
cuping hidung, retraksi intercostal dan suprasternal, terdengar wheezing, ronki
nyaring halus pada auskultasi. Gambaran labarotorium dalam batas normal,
kimia darah menggambarkan asidosis respiratotik ataupun metabolik.
4. Tuberkulosis
5. Atelektasis
TATALAKSANA 1,5,12
Sebagian besar pneumonia pada anak tidak perlu dirawat inap. Indikasi
perawatan terutama berdasarkan berat – ringannya penyakit, misalnya toksis, distres
pernapasan, tidak mau makan/minum, atau bila ada penyakit dasar yang lain,
komplikasi, dan terutama mempertimbangkan usia pasien. Neonatus dan bayi kecil
dengan kemungkinan klinis pneumonia harus dirawat inap. Dasar tatalaksana pada
pneumonia rawat inap adalah pengobatan kasual dengan antibiotik yang sesuai, serta
tindakan suportif. Pengobatan suportif meliputi pemberian cairan intravena, terapi
oksigen, koreksi terhadap gangguan keseimbangan asm – basa dan elektrolit, dan gula
darah. Untuk nyeri dan demam dapat diberikan analgetik/antipiretik. Penggunaan
antibiotik yang tepat merupakan kunci utama keberhasilan pengobatan. Terapi antibiotik
harus segera diberikan pada anak dengan pneumonia yang diduga disebabkan oleh
bakteri. Karena identifikasi dini mikroorganisme tidak umum dilakukan, maka
pemilihan antibiotik dipilih berdasarkan pengalaman empiris yang didasarkan pada
kemungkinan etiologi penyebab dengan mempertimbangkan usia dan keadaan klinis
pasien serta faktor epidiemiologis.
Terapi Oksigen
Beri oksigen pada semua anak dengan pneumonia berat. Bila tersedia
pulse oksimeter, gunakan sebagai panduan untuk terapi oksigen ( berikan pada
anak dengan saturaso < 90%, anak yang tidak stabil. Hentikan pemberian
oksigen bila saturasi tetap stabil > 90%. Pemberian oksigen setelah saat ini tidak
berguna.
Terapi Penunjang
Bila anak disetai demam yang tampaknya menyebabkan distres, beri
antipiretik seperti parasetamol. Bila ditemukaan adanya wheezing, beri
bronkodilator kerja cepat. Bila terdapat sekret kental di tenggorokan yang tidak
dapat dikeluarkan oleh anak, hilangkan dengan alat penghisap secara perlahan.
Pastikan anak mendapatkan kebutuhan cairan runatan yang sesuai, tetapi hati –
hati terhadap kelebihan cairan/overhidrasi. Anjurkan pemberian ASI dan cairan
oral. Jika anak tidak dapat minum, pasang pipa nasogastrik dan berikan cairan
rumatan dalam jumlah sedikit tapi sering. Jika asupan cairan oral mencukupi,
jangan menggunakan pipa nasogastrik untuk meningkatkan asupan, karena akan
meningkatkan risiko pneumonia aspirasi. Jika oksigen diberikan bersamaan
dengan cairan nasogastrik, pasang keduanya pada lubang hidung yang sama.
Tuberkulosis
Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit infeksi menular yang bersifat sistemik dan disebabkan
oleh Mycobacterium tuberculosis yang mayoritas (>95%) menyerang paru. Penularan
tuberkulosis anak sebagian besar melalui udara sehingga fokus primer berada di paru
dengan kelenjar getah bening membengkak serta jaringan paru mudah terinfeksi kuman
tuberkulosis. Selain itu dapat melalui mulut saat minum susu yang mengandung kuman
Mycobacterium bovis dan melalui luka atau lecet di kulit. Beberapa istilah dalam
definisi kasus TB anak:
Terduga pasien TB anak: setiap anak dengan gejala atau tanda mengarah ke TB
Anak
Pasien TB anak berdasarkan hasil konfirmasi bakteriologis adalah pasien TB
anak yang hasil pemeriksaan sediaan biologinya positif dengan pemeriksaan
mikroskopis langsung atau biakan atau diagnostik cepat yang direkomendasi
oleh Kemenkes RI. Pasien TB paru BTA positif masuk dalam kelompok ini.
Pasien TB anak berdasarkan diagnosis klinis: pasien TB anak yang TB yang
tidak memenuhi kriteria bakteriologis dan mendapat pengobatan TB berdasarkan
kelainan radiologi dan histopatologi sesuai gambaran TB. Termasuk dalam
kelompok pasien ini adalah Pasien TB Paru BTA negatif, Pasien TB dengan
BTA tidak diperiksa dan Pasien TB Ekstra Paru.
Epidemiologi
Epidemiologi Tuberkulosis adalah rangkaian gambaran informasi yang menjelaskan
beberapa hal terkait orang, tempat, waktu dan lingkungan. Secara sistematis dan
informatif menguraikan sejarah penyakit tuberkulosis, prevalens tuberkulosis, kondisi
infeksi tuberkulosis dan cara/ risiko penularan serta upaya pencegahannya. Tuberkulosis
adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium
tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai
organ tubuh lainnya. TB Anak adalah penyakit TB yang terjadi pada anak usia 0-14
tahun. Cara Penularannya adalah sebagai berikut :
Sumber penularan adalah pasien TB paru BTA positif, baik dewasa maupun
anak.
Anak yang terkena TB tidak selalu menularkan pada orang di sekitarnya,
kecuali anak tersebut BTA positif atau menderita adult type TB.
Faktor risiko penularan TB pada anak tergantung dari tingkat penularan,
lama pajanan, daya tahan pada anak. Pasien TB dengan BTA positif
memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar daripada pasien TB
dengan BTA negatif.
Pasien TB dengan BTA negatif masih memiliki kemungkinan menularkan
penyakit TB. Tingkat penularan pasien TB BTA positif adalah 65%, pasien
TB BTA negatif dengan hasil kultur positif adalah 26% sedangkan pasien TB
dengan hasil kultur negatif dan foto Toraks positif adalah 17%.
Tuberkulosis anak merupakan faktor penting di negara-negara berkembang karena
jumlah anak berusia kurang dari 15 tahun adalah 40-50% dari jumlah seluruh populasi.
Etiologi
Patogenesis Tuberkulosis
Paru merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi Tuberkulosis karena
ukuran mikroorganisme yang sangat kecl dalam bentuk percik renik (droplet nuclei)
yang terhirup dapat mencapai alveolus. Masuknya mikroorganisme penyebab
Tuberkulosis ini akan mengaktifkan reaksi imunologis non-spesifik, yaitu makrofag
yang akan memfagosit mikroorganisme. Namun, pada sebagian kecil kasus, makrofag
tidak mampu menghancurkan seluruh mikroorganisme tersebut sehingga
mikroorganisme tersebut akan melakukan replikasi di dalam makrofag. Mikroorganisme
yang terus berkembang biak di dalam makrofag itu akhirnya akan menyebabkan
makrofag mengalami lisis dan membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama di
jaringan paru tempat mikroorganisme tersebut berkoloni disebut fokus primer Ghon.
Selanjutnya mikroorganisme penyebab Tuberkulosis ini akan menyebar melalui saluran
limfe menuju ke kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran
limfe ke lokasi fokus primer. Hal ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe
(limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak
di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe
parahilus. Sedangkan, jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah
kelenjar paratrakeal. Terbentuklah kompleks primer yang terdiri dari fokus primer,
kelenjar lmfe regional yang membesar (limfadenitis), dan saluran limfe yang meradang
(limfangitis).
Diagnosis
Selain itu terdapat juga gejala klinis yang terkait dengan organ jika terjadi infeksi
tuberculosis ekstrapulmoner, seperti di bawah ini :
Tuberkulosis kelenjar (terbanyak di daerah leher atau regio colli):
o Pembesaran KGB multipel (>1 KGB), diameter ≥1 cm, konsistensi
kenyal, tidak nyeri, dan kadang saling melekat atau konfluens.
Tuberkulosis otak dan selaput otak:
o Meningitis TB: Gejala-gejala meningitis dengan seringkali disertai
gejala akibat keterlibatan saraf-saraf otak yang terkena.
o Tuberkuloma otak: Gejala-gejala adanya lesi desak ruang.
Tuberkulosis sistem skeletal:
o Tulang belakang (spondilitis): Penonjolan tulang belakang (gibbus).
o Tulang panggul (koksitis): Pincang, gangguan berjalan, atau tanda
peradangan di daerah panggul.
o Tulang lutut (gonitis): Pincang dan/atau bengkak pada lutut tanpa
sebab yang jelas.
o Tulang kaki dan tangan (spina ventosa/daktilitis).
Skrofuloderma = ditandai adanya ulkus disertai dengan jembatan kulit antar
tepi ulkus (skin bridge).
Tuberkulosis mata:
o Konjungtivitis fliktenularis (conjunctivitis phlyctenularis).
o Tuberkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi).
Tuberkulosis organ-organ lainnya, misalnya peritonitis TB, TB ginjal
dicurigai bila ditemukan gejala gangguan pada organ-organ tersebut tanpa
sebab yang jelas dan disertai kecurigaan adanya infeksi TB.
Pemeriksaan Penunjang
Uji Tuberkulin
Cara melakukan uji tuberculin (Mantoux Test) ini sangat sederhana, yaitu dengan
menyuntikkan 0.1 ml tuberculin PPD secara intrakutan di bagian volar lengan dengan
arah suntikan memanjang lengan (longitudinal). Reaksi diukur 48-72 jam setelah
penyuntikan. Indurasi transversal diukur dan dilaporkan dalam millimeter berapapun
ukurannya, termasuk cantumkan 0 milimeter jika tidak ada indurasi sama sekali.
Indurasi 10 milimeter ke atas dinyatakan positif. Indurasi < 5 milimeter dinyatakan
negative, sedangan indurasi 5-9 milimeter meragukan dan perlu diulang dengan jarak
waktu minimal 2 minggu. Uji tuberculin positif menunjukkan adanya infeksi TB dan
kemungkinan TB aktif pada anak. Reaksi uji tuberculin positif biasanya bertahan lama
hingga bertahun-tahun walau pasiennya sudah sembuh, sehingga uji tuberculin tidak
digunakan untuk memantau pengobatan TB.
Pemeriksaan Mikrobiologi
Spesimen atau bahan pemeriksaan yang diambil berasal dari bilasan lambung atau
sputum, untuk mencari basil tahan asam (BTA) pada pemeriksaan langsung, dan
Mycobacterium tuberculosis dari biakan. Hasil biakan positif merupakan diagnosis pasti
TB. Hasil BTA atau biakan negative tidak menyingkirkan diagnosis TB.
Pemeriksaan Patologi : dilakukan biopsi kelenjar, kulit, atau jaringan lain yang dicurigai
TB.
Penatalaksanaan
1. Isoniazid
INH adalah obat antituberkulosis yang efektif saat ini bersifat bakterisid dan
sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolit aktif yaitu kuman
yang sedang berkembang dan bersifat bakteriostatik terhadap kuman yang
diam. Obat ini efektif pada intrasel dan ekstrasel kuman, dapat berdifusi
kedalam seluruh jaringan dan cairan tubuh termasuk cairan serebrospinal
(CSS), cairan pleura, cairan asites, jaringan caseosa dan angka timbulnya
reaksi simpang (adverse reaction) sangat rendah. Dosis harian INH biasa
diberikan 5-15 mg/kgBB/hari, max 300 mg/hari, secara peroral, diberikan 1x
pemberian. INH yang tersedia umumnya dalam bentuk tablet 100 mg dan
300 mg dan dalam bentuk sirup 100 mg/5 ml.
INH mempunyai 2 efek toksik utama yaitu hepatotoksik dan neuritis perifer,
tetapi keduanya jarang terjadi pada anak, tetapi frekuensinya meningkat
dengan bertambahnya usia. Hepatotoksik mungkin terjadi pada remaja atau
anak-anak dengan tuberkulosis berat. Idealnya perlu pemantauan kadar
transaminase pada 2 bulan pertama. Hepatotoksik akan meningkat apabila
INH diberikan bersama dengan Rifampisin dan PZA. Penggunaan INH
bersama dengan fenobartbital atau fenitoin dapat meningkatkan resiko
hepatotoksik. INH tidak dilanjutkan pemberiannya pada keadaan kadar
transaminase serum naik lebih dari 3x harga normal atau terjadi manifestasi
klinik hepatitis, berupa mual, muntah, nyeri perut dan kuning. Neuritis
perifer timbul akibat inhibisi kompetitif karena metabolisme piridoksin.
Kadar piridoksin berkurang pada anak yang menggunakan INH tetapi
manifestasi klinisnya jarang sehingga tidak diperlukan piridoksin tambahan.
Manifestasi klinis neuritis perifer yang paling sering adalah mati rasa atau
kesemutan pada tangan dan kaki. Piridoksin diberikan 1x sehari 25-50 mg
atau 10 mg piridoksin tiap 100 mg INH. Manifestasi alergi atau
hipersensitivitas yang disebabkan INH jarang terjadi. Efek samping yang
jarang terjadi antara lain pelagra, anemia hemolitik pada pasien dengan
defisiensi enzim G6PD, dan reaksi mirip lupus yang disertai ruam dan
artritis.
2. Rifampisin
3. Pirazinamid
4. Etambutol
5. Streptomisin
Lalu ditentukan apabila skor ≥6 maka diberikan terapi OAT selama 2 bulan dan
kemudian dilakukan pemeriksaan ulang untuk melihat terapi OAT tersebut memberikan
respon perbaikan pada anak. Jika terjadi respon perbaikan makan terapi OAT
diteruskan, sedangkan jika respons negative maka dipikirkan adanya faktor lain seperti
gizi buruk, pengobatan yang tidak rutin, ataupun TB multidrug resistance (TB MDR).
TB paru : INH, Rifampisin, dan Pirazinamid selama 2 bulan fase intensif, lalu
dilanjutkan dengan INH dan RIfampisin hingga genap 6 bulan terapi (2RHZ-
4HR)
TB paru berat (milier, destroyed lung) dan TB ekstraparu : diberikan 4-5 OAT
selama 2 bulan fase intensif, lalu dilanjutkan dengan INH dan Rifampisin hingga
genap 9-12 bulan terapi.
TB kelenjar superficial : terapinya sama dengan TB paru.
TB milier dan efusi pleura TB diberikan prednisone 1-2 mg/kgBB/hari selama 2
minggu, lalu dosis diturunkan bertahap selama 2 minggu (total pemberian waktu
1 bulan).
Gambar 3. Penatalaksanaan Tuberkulosis pada Anak sesuai dengan Sistem Skoring
1. Profilaksis primer
Mencegah tertular/infeksi pada kelompok yang mengalami kontak erat dengan
pasien TB dewasa dengan uji BTA (+). Diberikan selama 3 bulan lalu dievaluasi
kembali apakan uji tuberculin menjadi positif.
2. Profilaksis sekunder
Mencegah terjadinya sakit TB pada kelompok yang telah terinfeksi TB tapi
belum sakit TB. Diberikan selama 6-12 bulan (waktu risiko tertinggi terjadinya
sakit TB pada pasien yang baru terinfeksi TB).
Kejadian TB resisten obat pada anak secara global masih belum pasti karena
kesulitan mendapatkan konfirmasi bakteriologis pada anak. Kejadian TB kebal obat di
Indonesia belum pasti, tetapi kewaspadaan terhadap kasus ini perlu ditingkatkan
mengingat penatalaksanaan kasus TB pada anak masih belum optimal dan angka
kejadian TB kebal obat pada dewasa yang terus meningkat. Diperkirakan banyak anak
yang kontak dengan kasus TB dewasa kebal obat, sehingga kejadian TB kebal obat pada
anak akan mencerminkan pengendalian TB kebal obat pada dewasa.
Resistensi obat pada pasien TB ada 3 yaitu monoresisten, MDR, dan XDR.
Dikatakan monoresisten bila hasil uji kepekaan mendapatkan resisten terhadap isoniazid
atau rifampisin. Seorang pasien TB anak dikatakan mengalami MDR bila hasil uji
kepekaan mendapatkan hasil basil M. tuberkulosis yang resisten terhadap isoniazid dan
rifampisin, sedangkan extensively drug-resistant (XDR)-TB bila hasil uji kepekaan
mendapatkan hasil MDR ditambah resisten terhadap fluoroquinolon dan salah satu obat
injeksi lini kedua (second-line injectable agents). Prinsip dasar paduan terapi
pengobatan untuk anak sama dengan paduan terapi dewasa pasien TB MDR, yaitu :
Gunakan sedikitnya 4 obat lini kedua yang kemungkinan strain itu masih
sensitif; satu darinya harus injectable, satu fluorokuinolon (lebih baik
kalau generasi kuinolon yang lebih akhir bila ada), dan PZA harus
dilanjutkan
Gunakan high-end dosing bila memungkinkan
Semua dosis harus diberikan dengan menggunakan DOT
Durasi pengobatan harus 18-24 bulan
Semua obat diminum setiap hari dan dengan pengawasan langsung
Pemantauan pengobatan TB MDR pada anak sesuai dengan alur pada
dewasa dengan TB MDR
Obat-obatan yang dipakai untuk anak MDR TB juga sama dengan dosis disesuaikan
dengan berat badan pada anak. Bagaimanapun, kebanyakan obat lini kedua tidak child-
friendly.
Pencegahan
Vaksin BCG
Vaksin BCG adalah vaksin hidup yang dilemahkan yang berasal dari
Mycobacterium bovis. Pemberian vaksinasi BCG berdasarkan Program Pengembangan
Imunisasi diberikan pada bayi 0-2 bulan. Pemberian vaksin BCG pada bayi > 2 bulan
harus didahului dengan uji tuberkulin. Petunjuk pemberian vaksinasi BCG mengacu
pada Pedoman Program Pemberian Imunisasi Kemenkes. Secara umum perlindungan
vaksin BCG efektif untuk mencegah terjadinya TB berat seperti TB milier dan TB
meningitis yang sering didapatkan pada usia muda. Saat ini vaksinasi BCG ulang tidak
direkomendasikan karena tidak terbukti memberi perlindungan tambahan. Perhatian
khusus pada pemberian vaksinasi BCG yaitu :
1. Bayi terlahir dari ibu pasien TB BTA positif
Bayi yang terlahir dari ibu yang terdiagnosis TB BTA positif pada trimester 3
kehamilan berisiko tertular ibunya melalui placenta, cairan amnion maupun
hematogen. Sedangkan bayi yang terlahir dari ibu pasien TB BTA positif selama
masa neonatal berisiko tertular ibunya melalui percik renik. Pada kedua kondisi
tersebut bayi sebaiknya dilakukan rujukan
2. Bayi terlahir dari ibu pasien infeksi HIV/AIDS
Bayi yang dilahirkan dari ibu yang terbukti infeksi HIV/AIDS tidak dianjurkan
diberikan imunisasi BCG, bayi sebaiknya dilakukan rujukan untuk pembuktian
apakah bayi sudah terinfeksi HIV atau tidak.
Sekitar 50-60% anak yang tinggal dengan pasien TB paru dewasa dengan BTA sputum
positif, akan terinfeksi TB juga. Kira-kira 10% dari jumlah tersebut akan mengalami
sakit TB. Infeksi TB pada anak kecil berisiko tinggi menjadi TB berat (misalnya TB
meningitis atau TB milier) sehingga diperlukan pemberian kemoprofilaksis untuk
mencegah terjadinya sakit TB.
Obat yang diberikan adalah INH (Isoniazid) dengan dosis 10 mg/kgBB (7-15 mg/kg)
setiap hari selama 6 bulan. Setiap bulan (saat pengambilan obat Isoniazid) dilakukan
pemantauan terhadap adanya gejala TB. Jika terdapat gejala TB pada bulan ke 2, ke 3,
ke 4, ke 5 atau ke 6, maka harus segera dievaluasi terhadap sakit TB dan jika terbukti
sakit TB, pengobatan harus segera ditukar ke regimen terapi TB anak dimulai dari awal.
Jika rejimen Isoniazid profilaksis selesai diberikan (tidak ada gejala TB selama 6 bulan
pemberian), maka rejimen isoniazid profilaksis dapat dihentikan. Bila anak tersebut
belum pernah mendapat imunisasi BCG, perlu diberikan BCG setelah pengobatan
profilaksis dengan INH selesai.
DAFTAR PUSTAKA
1. Raharjoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB. Buku Ajar Respirologi Anak. 1st
ed. Jakarta: Badan Penerbit IDAI. 2010. hal. 350 -365.
2. Hudoyo A. Anatomi Saluran Napas.. 2009 April
http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/11/e4e3ff458efaa961c32c1e9163a7
7a24964c5c0a.pdf
3. Ellis H. Clinical Anatomy: Applied Anatomy for Students and Junior
Doctors. 11th ed. [ e – book ]. Massachussets : Blackwell Publishing. 2006
4. Sherwood L. Human Physiology. 6th ed. China: Thomson Brooks/Cole;
2007. hal. 451 - 455
5. Pusponegoro HD, Hadinegoro SRS, Firmanda D, Tridjaja B, Pudjadi AH,
Kosim MS, et. al. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. 1st ed. Jakarta:
Badan Penerbit IDAI. 2004. hal. 351 - 354.
6. Priyanti ZS, Lulu M, Bernida I, Subroto H, Sembiring H, Rai IBN, et al.
Pneumonia Komuniti: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di
Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2002.
7. Danusantosos H. Buku Saku Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: Penerbit
Hipokrates. 2000. Hal. 74 – 92
8. Price S, Wilson LM. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses – proses Penyakit.
Vol 2. 6th ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2006. Hal. 804 – 810
9. Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. Nelson Textbook of
Pediatrics. 18th ed. [ e – book ]. Philadelphia: Saunders Elsevier. 2007
10. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid 2. 4th ed. Jakarta: Pusat Penerbit Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Indonesia. 2007. Hal 984.
11. Iwantono HS. Bronkopneumoni2008 Mar. Available from: http:// /
2008/03/bronkopneumonia.html
12. Tim Adaptasi Indonesia. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak Di Rumah
Sakit: Pedoman Bagi Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama Di
Kabupaten/Kota. Jakarta: World Health Organization. 2009. hal. 83 – 113
13. Petunjuk teknis manajemen TB anak. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI;
2013.
14. Pudjiaji AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati
ED. Pedoman pelayanan medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jilid pertama.
Jakarta: IDAI; 2009. 323-8.
15. Treatment of tuberculosis guidelines. 4th ed. WHO; 2010.
16. Kemenkes RI. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta:
Kemenkes; 2011.