Anda di halaman 1dari 59

Kepada Yth.

dr. Lilia Dewiyanti, Sp. A, M.Si Med

REFLEKSI KASUS

Seorang Anak Perempuan Usia 6 bulan dengan Bronkopneumonia


Suspek TBC Paru

Disusun oleh:
Wahyudi Bambang Sukoco
30101307097

Pembimbing:
dr. Zuhriah Hidajati, Sp. A, M.Si Med
dr. Lilia Dewiyanti, Sp. A, M.Si Med
dr. Neni Sumarni, Sp. A
dr. Adriana Lukmasari, Sp. A
dr. Harancang Pandih Kahayana, Sp. A

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RSUD KOTA SEMARANG
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Wahyudi Bambang Sukoco

NIM : 30101307097

Universitas : Universitas Islam Sultan Agung ( UNISSULA )

Tingkat : Program Pendidikan Profesi Dokter

Bagian : Ilmu Kesehatan Anak

Judul : Seorang Anak Perempuan Usia 6 bulan dengan Bronkopneumonia


Suspek TBC Paru

Pembimbing : dr. Lilia Dewiyanti, Sp. A, M.Si Med

Semarang, April 2019


Mengetahui dan Menyetujui
Pembimbing Kepaniteraan Klinik
Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota Semarang
Pembimbing,

dr. Lilia Dewiyanti, Sp. A, M.Si Med


Refleksi Kasus

1. IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien : An. AO
Umur : 6 Bulan
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Pundenarum Karangawen
Bangsal : Bima
No. CM : 471XXX
Tanggal Masuk RS : 21 Maret 2019

Nama Ayah : Tn. H


Umur : 42 tahun
Pekerjaan : Karyawan Swasta

Nama Ibu : Ny. S


Umur : 35 tahun
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga.

2. DATA DASAR
2.1. ANAMNESIS (ALLOANAMNESIS)
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis dengan ibu kandung pasien pada
tanggal 21 April 2019 jam 15.00 WIB di BIMA dan didukung dengan catatan
medis.
2.1.1. Keluhan utama : Batuk (+)
2.1.2. Keluhan tambahan : Panas (+), pilek (+)
2.1.3. Riwayat Penyakit Sekarang
2 Minggu SMRS pasien mengeluh batuk dan pilek. Batuk
kadang kadang, batuk muncul paling sering pada malam hari. Batuk
disertai dahak berwarna bening yang susah dikeluarkan. Batuk berdahak,
tidak berdarah, ibu pasien mengatakan saat itu pasien panas slemenget,
tubuh pasien mencapai 37℃ saat diukur di rumah. Ibu pasien
memberikan obat batuk sirup dan obat penurun panas diapotik kemudian
panas berkurang batuk juga berkurang. Mual dan muntah disangkal,
BAB dan BAK dalam batas normal, Kejang disangkal, adanya bejolan
pada leher (+).
1 Minggu SMRS: ibu pasien mengeluhkan anaknya batuk lebih
parah dari sebelumnya sampai terdengar bunyi grok-grok dan dahak
kental semakin susah keluar disertai demam terus menerus, keluhan
keringat pada malam hari. Ibu pasien membawa anaknya ke bidan karena
pasien tampak sesak napas, sulit tidur dan nafsu makan dan minum mulai
berkurang. Mual dan muntah 1x kali, BAB dan BAK dalam batas
normal, kejang disangkal.
Saat hari MRS: demam anak masih tetap dan batuk disertai
suara grok-grok belum berkurang bahkan sampai anak terlihat sesak,
pasien sulit makan dari sebelumnya, kemudian ibu pasien memutuskan
untuk membawa anaknya ke IGD RSUD K.R.M.T. Wongsonegoro. Tidak
terdapat bunyi mengi saat pasien membuang nafas, terdapat Keluhan keringat
pada malam hari. Pasien tidak mempunyai riwayat alergi maupun riwayat
tersedak makanan maupun minuman. Pasien juga tidak memiliki riwayat kejang
dan perdarahan spontan sebelumnya. Tidak ada anggota keluarga yang
menderita batuk lama maupun dalam pengobatan TB, tetapi tetanga ada yang
batuk. Ayah pasien merupakan seorang perokok dan sering merokok didekat
pasien.

2.1.4. Riwayat Penyakit Dahulu


- Riwayat sesak sebelumnya disangkal
- Riwayat batuk lama disangkal
- Riwayat alergi disangkal
- Riwayat asma disangkal

2.1.5. Riwayat Penyakit Keluarga


- Tidak terdapat keluarga yang memiliki riwayat keluhan
serupa.
- Riwayat keluhan batuk lama pada keluarga disangkal.
- Riwayat alergi pada keluarga disangkal.

2.1.6. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien tinggal bersama kedua orang tua. Total ada 5 orang yang tinggal
bersama. Ayah pasien adalah seorang petani, dan ibu pasien adalah Ibu
rumah tangga dan kakaknya SD. Sehari-hari pasien diasuh oleh ayah, ibu,
dan neneknya. Sumber biaya pengobatan ditanggung BPJS Non PBI
tinggal di rumah dengan ventilasi cukup dan rumah dengan ubin keramik
dan kayu.
Kesan : Sosial ekonomi cukup.

2.1.7. Riwayat Persalinan dan Kehamilan


Saat hamil, ibu pasien rutin memeriksakan kehamilannya ke bidan atau
puskesmas. Pasien merupakan anak perempuan yang lahir dari ibu
G2P1A0, usia 34 tahun, hamil 38 minggu, lahir secara spontan di bidan,
anak lahir langsung menangis, warna ketuban jernih, berat badan lahir 31
00 gram, panjang badan 51 cm, lingkar kepala dan lingkar dada saat lahir
ibu tidak ingat, tidak ada kelainan bawaan.
Kesan : neonatus aterm, lahir spontan, bayi berat lahir cukup, vigorous
baby.
2.1.8. Riwayat Pemeliharaan Prenatal
Ibu pasien rutin memeriksakan kandungannya secara teratur ke bidan
atau puskesmas terdekat dan mendapat suntikan TT 2 kali selama
kehamilan. Ibu mengaku tidak pernah menderita penyakit selama
kehamilan. Riwayat perdarahan dan trauma saat hamil disangkal.
Riwayat minum obat tanpa resep dokter ataupun minum jamu disangkal.
Kesan : riwayat pemeliharaan prenatal cukup.
2.1.9. Riwayat Pemeliharaan Postnatal
Pemeliharaan postnatal rutin dilakukan di bidan.
Kesan : riwayat pemeliharaan postnatal baik.

2.1.10. Riwayat Perkembangan dan Pertumbuhan Anak


– Pertumbuhan
• BB lahir : 3100 gram
• BB saat ini : 9 kg
• PB lahir : 51 cm
• PB saat ini : 73 cm

– Perkembangan
Personal Motorik Bahasa Motorik
Sosial Halus Kasar

 Menatap muka  Mengikuti ke  Bereaksi THD  Gerakan


 Membalas
garis Tengah bel seimbang
senyum  Mengikuti  Bersuara  Mengangkat
 Tersenyum  Oooahhh
lewat garis kepala
 Tertawa
spontan  Kepala
tengah  Beteriak
 Mengamati
 Memagang  Menoleh ke terangkat 48
tangannya  Kepala
icik- icik bunyi icik- icik
 Berusaha
 Tangan  Menoleh arah terangkat 90
mencapai  Duduk kepala
bersentuhan suara
mainan  Mingikuti 180  Satu silabel tegak
 Makan Sendiri  Mangamati  Meniru bunyi  Menumpu
manik manik kata kata beban pada kaki
 Meraih  Dada terangkat
 Mencari
menumpu satu
benang
lengan
 Membalik
 Bangkit kepala
tegak
 Duduk tanpa
pegangan.

Kesan: pertumbuhan dan perkembangan sesuai anak seusianya.


2.1.11. Riwayat Imunisasi
HepB : 4 kali, usia 0,2,3,4 bulan
Polio : 4 kali, usia 0,2,3,4 bulan
BCG : 1 kali, usia 1 bulan
DTP : 1 kali, usia 2 bulan
Kesan : Imunisasi lengkap sesuai usia pasien hanya berdasarkan
alloanamnesa dengan ibu pasien oleh karena buku KMS tidak dibawa.

2.1.12. Riwayat Lingkungan


Sanitasi lingkungan tempat pasien tinggal cukup baik. Tetangga sekitar
rumah ada yang mengeluhkan hal serupa.
Kesan : sanitasi cukup.

2.1.13. Riwayat Makan dan Minum Anak


Sejak lahir anak sudah mendapatkan ASI sampai sekarang dan susu
formula SGM . Sebelum menyusui ibu selalu cuci tangan terlebih
dahulu.
Kesan : kualitas dan kuantitas makanan cukup, kebersihan baik.
2.2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan tanggal 22 Maret 2019 di bangsal Bima RSUD
KRMT Wongsonegoro Semarang.
2.2.1. Keadaan umum :
Composmentis, tampak sakit sedang.
2.2.2. Tanda vital (IGD)
 Heart Rate : 108 x/menit
 Pernapasan : 24x/menit
 Suhu : 36,7 o C
 SpO2 : 100%
2.2.3. Status Gizi
Anak laki- laki, usia 3 bulan 26 hari.
BB sekarang : 9 kg
PB sekarang : 73 cm
Kesan : Status gizi baik, perawakan tubuh normal, BB normal.

2.2.4. Status Internus


- Kepala : Normosefal, Kulit kepala tidak ada kelainan, rambut hitam
dan distribusi merata, ubun-ubun besar cekung (-).
- Kulit : Sianosis (-)
- Mata : Cekung (+), refleks cahaya (+/+) normal, konjungtiva
anemis (-/-), sklera ikterik (-/-).
- Hidung : Bentuk normal, sekret (+/+), nafas cuping hidung (-)
- Telinga : Bentuk normal, serumen (-/-), discharge (-/-), nyeri (-/-).
- Mulut : Bibir kering (-), sianosis (-), lidah kotor (-).
- Tenggorok: Tonsil T1-T1 hiperemis (-) kripte melebar (-), mukosa
dinding faring hiperemis (-) granulasi (-).
- Leher : simetris, pembesaran kelenjar limfe mandibula (+).
- Thorax
1. Pulmo
 Inspeksi : Hemithoraks dextra et sinistra simetris dalam
keadaan statis maupun dinamis, retraksi suprasternal,
intercostal dan epigastrial (-).
 Palpasi : nyeri tekan (-), sterm fremitus dextra et sinistra
simetris.
 Perkusi : sonor di seluruh lapang paru sediki redup
 Auskultasi : suara dasar : vesikuler (+/+) menurun
suara tambahan : ronkhi basah (+/+),
wheezing (-/-)
2. Cor
 Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
 Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V, 2 cm medial linea
mid clavicula sinistra, tidak kuat angkat.
 Perkusi batas jantung: Tidak dilakukan pemeriksaan
 Auskultasi : BJ I-II normal, bising (-).
- Abdomen :
 Inspeksi : Datar
 Auskultasi : BU (+)
 Perkusi : Timpani (+)
 Palpasi : Supel, cubitan kulit kembali cepat, nyeri
tekan (-)
- Genitalia : prempuan, tidak ada kelainan
- Ekstremitas :
Superior Inferior
Akral Dingin -/- -/-
Akral Sianosis -/- -/-
Capillary Refill Time <2" <2"
2.3. Pemeriksaan Penunjang
a. 21/04/2019 WIB 15:58
Jenis Nilai
Hasil Satuan
Pemeriksaan Normal
Calsium 1.00-1.15 1.26 Mmol/L
GDS 70-110 86 Mg/dl
Hb 11-15 9.9 g/dl
Hematokrit 40-52 33.20 %
Kalium 3.50-5.0 5.70 mmol/L
Natrium 135.0-147.0 138.0 mmol/L
Trombosit 150-400 661 /ul
Leukosit 3.8-10.6 29.3 /ul

b. 24/04/2019 WIB 09:29


Jenis Nilai
Hasil Satuan
Pemeriksaan Normal
Hb 11-15 9.3 g/dl
Hematokrit 40-52 30.50 %
Trombosit 150-400 644 /ul
Leukosit 3.8-10.6 18.5 /ul
S typhi H negatif Negatif -
S typhi O negatif Negatif -

c. TCM
Kesan : TCM : negatif

d. X foto thorax AP
COR : CTR = 49.65 %, bentuk dan letak menyempit letak retocardiac
dan retrosternal space tak menyempit
Pulmo : corakan vasikuler meningkat. Tampak bercak dikedua perihiler
dan parakardial serta retrocardiac.

Hilus tampak membesar, Diafragma dan sinus kostofrenikus kanan kiri


normal. Tulang dan soft tissue baik

KESAN :
Cor Konfigurasi Normal.
Gambaran Tb paru primer.

Sistem Skoring TB pada Anak

Parameter 0 1 2 3 Skor
Kontak TB Tidak - Laporan keluarga BTA + 0
BTA-/ tidak jelas /
jelas
tidak tau
Uji tuberkulin Negatif - - Positif(≥ 10mm) atau 0
(≥ 5mm) pada
(Mantoux)
imunokompremais
Berat badan/ - BB/TB<90% Klinis gizi buruk - 0
Atau atau BB/TB <
keadaan gizi
BB/TB<80% 70% atau BB/U
< 60%
Demam yang - ≥ 2minggu - - 1
tidak diketahui
penyebab
Batuk kronik - ≥ 3 minggu - - 1
Pembesaran - ≥ 1cm . lebih - - 1
kelenjar limfe dari 1 KGB
kolli, aksila, tidak nyeri
inguinal
Pembengkakan - Ada - - 0
tulang / sendi pembengkaka
panggul / lutut kan
falang
Foto Thorak N Mendukung - - 1
TB
SKOR : 4 (belum memenuhi TBC)

3. RESUME

Seorang anak perempuan usia 6 bulan 2 Minggu SMRS pasien


mengeluh batuk dan pilek. Batuk kadang kadang, batuk muncul paling sering pada
malam hari. Batuk disertai dahak berwarna bening yang susah dikeluarkan. Batuk
berdahak, tidak berdarah, ibu pasien mengatakan saat itu pasien panas slemenget, 1
Minggu SMRS: ibu pasien mengeluhkan anaknya batuk lebih parah dari
sebelumnya sampai terdengar bunyi grok-grok dan dahak kental semakin susah
keluar disertai demam terus menerus, keluhan keringat pada malam hari. Mual dan
muntah 1x kali, BAB dan BAK dalam batas normal, kejang disangkal. Pasien tidak
mempunyai riwayat alergi maupun riwayat tersedak makanan maupun minuman. Pasien
juga tidak memiliki riwayat kejang dan perdarahan spontan sebelumnya. Tidak ada
anggota keluarga yang menderita batuk lama maupun dalam pengobatan TB, tetapi tetanga
ada yang batuk. Ayah pasien merupakan seorang perokok dan sering merokok didekat
pasien. Rumah ventilasi cukup dan ubin kramik dan kayu.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesan umum anak kompos mentis,
tampak sakit sedang, konjungtiva palpebra anemis (-/-), auskultasi paru terdengar
vesikuler (+/+) menurun , suara tambahan ronkhi basah (+/+) kesan gizi baik,
tanda vital : nadi 108 x/menit, pernapasan 24 x/menit, suhu 36,7o C, dan SpO2
100%
Pada pemeriksaan hematologi didapatkan Hb: 9.9g/dL, Ht:33.20 %,
Leukosit: 29.3/uL, trombosit:661 /uL. Pemeriksaan X Foto thorax AP didapatkan
kesan gambaran TB paru Primer

4. DIAGNOSIS BANDING
1. Bronkopneumonia

 Berdasarkan etiologi:

 Viral

 Bakterial

 Jamur

 Berdasarkan WHO (Anak 2 bulan – 5 Tahun):


 Pneumonia ringan
 Pneumonia berat
 Pneumonia sangat berat
2. TB paru

3. Bronkiolitis

4. Status Gizi

 Gizi normal

 Gizi lebih

 Gizi Buruk

5. DIAGNOSIS KERJA
Diagnosis utama : Bronkopneumonia
Diagnosis komorbid :-
Diagnosis komplikasi :-
Diagnosis gizi : Gizi baik
Diagnosis sosial ekonomi : Cukup
Diagnosis Imunisasi : Imunisasi dasar lengkap
Diagnosis Pertumbuhan : Tumbuh normal
Diagnosis Perkembangan : Perkembangan sesuai usia

6. TERAPI
a. (IGD)
 Infus RL(500ml) 3cc/kgBB/jam (27cc/jam )
 Nebul combivent 1/2 + flexotide 1/2 /8jam
 Paracetamol drop 0,9cc/6jam
 Ampisilin 3x300mg
 Gentamisin 1x50mg

b. Terapi saat di BIMA


 Infus RL(500ml) 3cc/kgBB/jam
 Paracetamol drop 3x0,9cc/6jam
 Ampisilin 3x300mg (inj)
 Gentamisin 1x50mg (inj)
PO (puyer) :
 Ambroxol 4mg
 Vit B6 2.5mg
 Methylprednisolon 1/3tab
 Cetirizine 1/4 tab
Inhalasi :
 Pulmicort resp 1/2
 Combivent 2,5ml 1/2
Selama /8jam

5. PROGNOSIS
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad sanam : ad bonam
Quo ad fungsionam : ad bonam
CATATAN KEMAJUAN
Hari ke-2 Hari ke-3 Har
Hari ke-1 perawatan
Tanggal perawatan perawatan pera
22/04/2019 (BIMA) 23/04/2019 (BIMA) 24/04/2019 (BIMA) 25/04/2019 (B
Keluhan Batuk (+) Pilek (+) Batuk (+) pilek (+) Batuk berkurang, pilek Batuk berkuran
Sesak (+) mual (+) Sesak (+) dahak masih
berkurang tidak ada keluha
Dahak susah keluar
sedikit susah keluar Sudah perbaikan.

Tampak sakit sedang, Tampak sakit sed


Tampak sakit sedang, Tampak sakit sedang,
Keadaan Umum composmentis composmentis c
composmentis, lemas (+) composmentis kurang aktif
Lemas (+) aktif

HR : 87 x/menit HR : 100 x/menit RR HR : 98 x/menit RR : HR : 90 x/menit


TTV
RR : 20 x/menit : 24 x/menit 20x/menit : 20 x/menit
Suhu : 37 0C Suhu : 36,8 0C Suhu : 36,60C Suhu : 36,50C

PF
- Kepala Mesocephale Mesocephale Mesocephale Mesocephale
- Mata CA -/-, SI -/-, cekung -/- CA -/-, SI -/-, cekung -/- CA -/-, SI -/-, cekung -/- CA -/-, SI -/-, ce
- Hidung Sekret -/-, dbn Sekret -/-, dbn Sekret -/-, dbn Sekret -/-, dbn
- Telinga Sekret -/-, dbn Sekret -/-, dbn Sekret -/-, dbn Sekret -/-, dbn
- Bibir Bibir kering - Bibir kering - Bibir kering - Bibir kering -
- Mulut Lidah kotor -, stomatitis Lidah kotor -, stomatitis -, Lidah kotor -, stomatitis -, Lidah kotor -, s
-, tonsil T1/T1, faring tonsil T1/T1, faring tonsil T1/T1, faring -, tonsil T1/T1
hiperemis - hiperemis - hiperemis - hiperemis -
- Leher
Dbn, pembesaran KGB + Dbn, pembesaran KGB + Dbn, pembesaran KGB + Dbn, pembesara
- Thorax
Inspeksi
Palpasi Datar, retraksi (-) Datar, retraksi (-) Datar, retraksi (-) Datar, retraksi (-
Perkusi Strem fremitus Strem fremitus kanan=kiri Strem fremitus kanan=kiri Strem
Auskultasi Cor : BJ I-II reguler, m(-), Cor : BJ I-II reguler, m(-),
kanan=kiri kanan=kiri
Cor :BJ I-II reguler, m(-), g(-), bising (-) g(-), bising (-) Cor : BJ I-II
Pulmo : Vesikuler (+/+), Pulmo : Vesikuler (+/+),
g(-), bising (-) m(-), g(-), bising
Pulmo:Vesikuler(+/+), Wheezing -/-, ronki (+/+) Wheezing -/-, ronki (+/+) Pulmo : Vesikul
Wheezing(-/-),ronki (+/+) Wheezing -/-, ro
- Abdomen
Inspeksi
Auskultasi
Datar Datar
Perkusi Datar Datar
BU (+) normal BU (+) normal
BU (+) normal BU (+) normal
timpani seluruh lapang timpani seluruh lapang
Palpasi timpani seluruh lapang timpani seluruh
Supel, nyeri tekan Supel, nyeri tekan
Supel, nyeri tekan Supel, nyeri
epigastrium -, epigastrium -,
epigastrium -, epigastrium
-Ekstremitas
hepatomegali (-) hepatomegali (-)
Akral dingin hepatomegali (-) hepatomegali (-)

Capillary reffil
- -
- -
Edem
< 2 detik < 2 detik
< 2 detik < 2 detik
- -
- -
Terapi  Infus RL(500ml)  Infus RL(500ml)  Infus RL(500ml)  BLPL
3cc/kgBB/jam 3cc/kgBB/jam 3cc/kgBB/jam  Obat pulang
TINJAUAN PUSTAKA
DEFINISI
Pneumonia adalah inflamasi dari parenkim paru yang meliputi alveolus dan
jaringan interstisial.5 Pneumonia biasanya disebabkan oleh mikroorganisme, namun
pneumonia yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis tidak termasuk.6 Bila
parenkim paru terkena infeksi dan mengalami inflamasi hingga meliputi seluruh
alveolus suatu lobus paru maka disebut pneumonia lobaris atau pneumonia klasik. Bila
proses tersebut tidak mencakup satu lobus dan hanya di bronkiolus dengan pola bercak
– bercak yang tersebar bersebelahan maka disebut bronkopneumonia.
Bronkopneumonia merupakan jenis pneumonia yang sering dijumpai pada anak – anak.
7,8

ETIOLOGI
Sebagian besar pneumonia disebabkan oleh infeksi mikroorganisme ( virus,
bakteri, jamur, parasit ) dan sebagain kecil disebabkan oleh hal lain, seperti aspirasi
makanan dan asam lambung, benda asing, senyawa hidrokarbon, reaksi
hipersensitivitas, dan drug – or radiation induced pneumonitis.6,9 Usia pasien
merupakan faktor yang memegang peranan penting pada perbedaan dan kekhasan
penumonia anak terutama dalam spektrum etiologi, gambaran klinis, dan strategi
pengobatan. 1
Pada neonatus sering terjadi pneumonia akibat transmisi vertikal ibu – anak
yang berhubungan dengan proses persalinan. Infeksi terjadi akibat kontaminasi dengan
sumber infeksi dari ibu, misalnya melalui aspirasi mekoneum, cairan amnion, atau dari
serviks ibu. Spektrum mikroorganisme penyebab pada neonatus dan bayi kecil meliputi
Streptococcus group B, Chlamydia trachomatis, dan bakteri Gram negatif seperti E.
coli, Pseudomonas sp, atau Klebsiella sp. disamping bakteri utama penyebab
pneumonia yaitu Streptococcus pneumoniae. Infeksi oleh Chlamydia trachomatis akibat
transmisi dari ibu selama proses persalinan sering terjadi pada bayi di bawah 2 bulan.
Penularan transplasenta juga dapat terjadi dengan mikroorganisme Toksoplasma,
Rubela, virus Sitomegalo, dan virus Herpes simpleks ( TORCH ), Varisela – Zoster, dan
Listeria monocytogenes.
Pada bayi yang lebih besar dan anak balita, pneumonia lebih sering disebabkan
oleh infeksi Streptococcus pneumoniae, Haemophillus influenzae tipe B, dan
Staphylococcus aureus, sedangkan pada anak yang lebih besar dan remaja, selain
bakteri tersebut, sering juga ditemukan infeksi Mycoplasma pneumoniae.1,9
Daftar etiologi pneumonia pada anak sesuai dengan kelompok usia yang
bersumber dari data di negara maju dapat terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Etiologi pneumonia pada anak sesuai dengan kelompok usia di negar maju1
USIA ETIOLOGI YANG ETIOLOGI YANG
SERING JARANG
Lahir – 20 hari BAKTERI BAKTERI
E. colli Bakteri anaerob
Streptococcus group B Streptococcus group D
Listeria monocytogenes Haemophillus influenzae
Streptococcus pneumoniae
Ureaplasma urealyticum
VIRUS
Virus Sitomegalo
Virus Herpes simpleks
3 minggu – 3 BAKTERI BAKTERI
Chlamydia trachomatis Bordetella pertussis
bulan Streptococcus pneumoniae Haemophillus influenzae tipe
B
VIRUS Moraxella catharalis
Virus Adeno Staphylococcus aureus
Virus Influenza Ureaplasma urealyticum
Virus Parainfluenza 1, 2, 3 VIRUS
Respitatory Syncytical Virus Virus Sitomegalo
4 bulan – 5 BAKTERI BAKTERI
Chlamydia pneumoniae Haemophillus influenzae tipe
tahun
B
Mycoplasma pneumoniae Moraxella catharalis
Streptococcus pneumoniae Neisseria meningitidis
VIRUS Staphylococcus aureus
Virus Adeno VIRUS
Virus Influenza Virus Varisela-Zoster
Virus Parainfluenza
Virus Rino
Respiratory Synncytial virus
5 tahun – BAKTERI BAKTERI
Chlamydia pneumoniae Haemophillus influenzae
remaja Mycoplasma pneumoniae Legionella sp
Streptococcus pneumoniae Staphylococcus aureus
VIRUS
Virus Adeno
Virus Epstein-Barr
Virus Influenza
Virus Parainfluenza
Virus Rino
Respiratory Syncytial Virus
Virus Varisela-Zoster

FAKTOR RISIKO
Faktor resiko yang menyebabkan tingginya angka mortalitas pneumonia pada
anak balita di negara berkembang, antara lain:
 pneumonia yang terjadi pada masa bayi

 berat badan lahir rendah ( BBLR )

 tidak mendapat imunisasi

 tidak mendapat ASI yang adekuat

 malnutrisi

 defisiensi vitamin A

 tingginya prevalens kolonisasi bakteri patogen di nasofaring

 tingginya pajanan terhadap polusi udara ( polusi industri atau asap rokok)

 imunodefisiensi dan imunosupresi ( HIV, penggunaan obat imunisupresif )

 adanya penyakit lain yang mendahului, seperti campak

 intubasi, trakeostomi

 abnormalitas anatomi 1,8


PATOGENESIS
Dalam keadaan sehat tidak terjadi pertumbuhan mikroorganisme di paru.
Keadaan ini disebabkan oleh mekanisme pertahanan paru antara lain, mekanisme
pertahanan awal yang berupa filtrasi bulu hidung, refleks batuk dan mukosilier aparatus
dan mekanisme pertahanan lanjut berupa sekresi Ig A lokal dan respon inflamasi yang
diperantarai leukosit, komplemen, sitokin, imunoglobulin, makrofag alveolar, dan
imunitas yang diperantarai sel. Apabila terjadi ketidakseimbangan antara daya tahan
tubuh, mikroorganisme dan lingkungan, maka mikroorganisme dapat berkembang biak
dan menimbulkan penyakit.
Risiko infeksi di paru sangat tergantung pada kemampuan mikroorganisme
untuk sampai dan merusak permukaan epitel saluran napas. Ada beberapa cara
mikroorganisme mencapai permukaan saluran napas: aspirasi sekret yang berisi
mikroorganisme patogen yang telah berkolonisasi pada orofaring, inhalasi aerosol yang
infeksius, dan penyebaran hematogen dari bagian ekstrapulomonal. Dari ketiga cara
tersebut, aspirasi dan inhalasi agen – agen infeksius adalah dua cara tersering yang
menyebabkan pneumonia, sementara penyebaran secara hematogen lebih jarang terjadi.
Secara inhalasi terjadi pada infeksi virus, mikroorganisme atipikal, mikrobakteria, atau
jamur. Kebanyakan bakteri dengan ukuran 0,5 – 2,0 mm melalui udara dapat mencapai
bronkus terminal atau alveol dan selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila terjadi
kolonisasi pada saluran napas atas ( hidung, orofaring ) kemudian terjadi aspirasi ke
saluran napas bawah dan terjadi inokulasi mikroorganisme, hal ini merupakan
permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru. Aspirasi dan sebagian sekret
orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur ( 50% ) juga pada keadaan penurunan
8–
kesadaran. Sekret dari faring tersebut mengandung konsentrasi bakteri yang tinggi 10
10
/mL, sehingga aspirasi dari sebagian kecil sekret ( 0,001 – 1,1 mL ) dapat memberikan
titer inokulum bakteri yang tinggi dan terjadi pneumonia. Pada pneumonia
mikroorganisme biasanya masuk secara inhalasi atau aspirasi. Umumnya
mikroorganisme yang terdapat di saluran napas bagian atas sama dengan saluran napas
bagian bawah, tetapi pada beberapa penelitian tidak ditemukan jenis mikroorganisme
yang sama. 1,6,8
PATOLOGI
Gambaran patologi tergantung dalam batas tertentu tergantung pada agen
etiologinya. Pneumonia yang disebabkan oleh bakteri ditandai dengan eksudat
intraalveolar supuratif disertai konsolidasi. Awalnya, mikroorganisme yang masuk
bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi radang berupa edema
seluruh alveoli yang mempermudah proliferasi dan penyebaran kuman ke jaringan
sekitarnya. Kemudian, disusul dengan konsolidasi, yaitu terjadi sebukan sel – sel PMN
dan diapedesis eritrosit sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuk
antibodi. Sel – sel PMN mendesak bakteri ke permukaan alveoli dan dengan bantuan
leukosit yang lain melalui pseudopodosis sitoplasmik mengelilingi bakteri tersebut
kemudian dimaakan.
Secara garis besar terdapat 3 stadium, yaitu stadium prodromal, stadium
hepatisasi, dan stadium resolusi. Pada stadium prodromal, yaitu 4 – 12 jam pertama,
alveolus – alveolus mulai terisi sekret dari pembuluh darah yang berdilatasi dan bocor
yang ditimbulkan infeksi dengan kuman patogen yang berhasil masuk. Pada 48 jam
berikutnya, paru tampak merah dan bergranulasi, seperti hati, dimana alveoli terisi
dengan sebukan sel – sel leukosit terutama sel PMN, fibrin, eritrosit, cairan edema, dan
kuman, yang disebut dengan stadium hepatisasi merah. Selanjutnya, selama 3 – 8 hari,
terjadi konsolidasi di dalam alveoli akibat deposit fibrin dan leukosit yang semakin
bertambah, yang disebut dengan hepatisasi kelabu.
Sebagai akibat dari proses ini, secara akut salah satu lobus tidak lagi dapat
menjalankan fungsi pernapasan ( jadi merupakan gangguan restriksi ). Di samping itu,
pada saat yang bersamaan juga ada peningkatan kebutuhan oksigen sehubung dengan
panas yang tinggi. Proses radang juga akan mengenai pleura viseralis yang
membungkus lobus tersebut. Dengan demikian akan timbul pula rasa nyeri setempat.
Nyeri dada ini juga akan menyebabkan ekspansi paru terhambat. Ketiga faktor ini akan
menyebabkan penderita mengalami sesak napas, tetapi karena tak ada obstruksi
bronkus, maka tidak akan terdengar wheezing.
Bila penderita dapat mengatasi infeksi akut ini, maka pada hari ke – 7 sampai 11
terjadi stadium resolusi dimana jumlah makrofag mingingkat di alveoli, sel akan
mengalami degenerasi, fibrin menipis, kuman dan debris menghilang, dan isi alveolus
akan melunak untuk berubah menjadi dahak dan yang akan dikeluarkan lewat batuk,
dan jaringan paru kembali kembali pada struktur semulanya.
Proses infeksi tersebut juga dapat diklasifikasikan berdasarkan anatomi,
dimanan pada pneumonia lobaris konsolidasi ditemuka pada seluruh lobus dan pada
bronkopneumonia terjadi penyebaran daerah infeksi yang berbercak dengan diameter 3
– 4 cm yang mengelilingi bronki. Pada pneumonia akibat virus atau Mycoplasma
pneumoniae, gambaran patologi ditandai dengan peradangan interstisial yang disertai
penimbunan infiltrat dalam dinding alveolus, meskipun rongga alveolar sendiri bebas
dari eksudat dan tidak ada konsolidasi. 1,6,7,8

KLASIFIKASI PNEUMONIA
1. Berdasarkan klinis dan epidemiologis:

a. Pneumonia komuniti ( community – acquired pneumonia ) : pneumonia


yang didapat di masyarakat dan sering disebabkan oleh kokus Gram
positif ( Pneumokokus, Staphylococcus ), basil Gram negatif (
Haemophillus influenzae ), dan bakteri atipik.

b. Pneumonia nosokomial ( hospital – acquired pneumonia ) : pneumonia


yang timbul setelah 72 jam dirawat di rumah sakit, yang lebih sering
disebabkan oleh bakteri gram negatif ( Staphylococcus aureus ) dan
jarang oleh pneumokokus atau Mycoplasma pneumoniae.

c. Pneumonia aspirasi : pneumonia yang terjadi akibat aspirasi antara lain


makanan dan asam lambung

d. Pneumonia pada penderita immunocompramised

2. Berdasarkan mikoorganisme penyebab

a. Pneumonia bakterial / tipikal

b. Pneumonia atipikal : disebabkan Mycoplasma, Legionella, dan Clamydia

c. Pneumonia virus
d. Pneumonia jamur : sering merupakan infeksi sekunder dengan predileksi
pada penderita dengan daya tahan tubuh lemah ( immunocompromised )

3. Berdasarkan predileksi infeksi

a. Pneumonia lobaris

b. Bronkopneumonia

c. Pneumonia interstisial 6,10

MANIFESTASI KLINIS
Sebagian besar gambaran klinis pneumonia pada anak berkisar dari ringan
hingga sedang. Hanya sebagian kecil yang berat, mengancam kehidupan, dan mungkin
terjadi komplikasi sehingga perlu dirawat. Beberapa faktor yang mempengaruhi
gambaran klinis pada anak adalah imaturitas anatomik dan imunologik, mikroorganisme
penyebab yang luas, gejala klinis yang tidak khas terutama pada bayi, terbatasnya
penggunaan prosedur diagnostik invasif, etiologi noninfeksi yang relatif lebih sering,
dan faktor patogenesis.
Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung berat ringannya
infeksi, tetapi secara umum adalah sebagai berikut:
 Gambaran infeksi umum :

o demam: suhu bisa mencapai 39 – 40 oC

o sakit kepala

o gelisah

o malaise

o penurunan nafsu makan

o keluhan gastrointestinal, seperti mual, muntah, atau diare

o kadang – kadang ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner


 Gambaran gangguan respiratori:

o batuk yang awalnya kering kemudian menjadi produktif

o sesak nafas

o retraksi dada

o takipnea

o napas cuping hidung

o penggunaan otat pernafasan tambahan

o air hunger

o merintih

o sianosis

Bronkopneumonia biasanya di dahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas


selama beberapa hari. Batuk mungkin tidak dijumpai pada anak – anak. Bila terdapat
batuk, batuk berawal kering lalu berdahak. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan
tanda klinis seperti vokal fremitus yang meningkat pada daerah terkena, pekak perkusi
atau perkusi yang redup pada daerah yang terkena, suara napas melemah, suara napas
bronkial, dan ronki. Akan tetapi pada neonatus dan bayi kecil, gejala dan tanda
pnuemonia lebih beragam dan tidak selalu terlihat jelas. Pada perkusi dan auskultasi
paru umumnya tidak ditemukan kelainan.1,7,1
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Darah Perifer Lengkap

Pada pneumonia virus dan mikoplasma, umumnya ditemukan leukosit


dalam batas normal atau sedikit meningkat. Akan tetapi pada pneumonia
bakteri didapatkan leukositosis yang berkisar antara 15.000 – 40.000 / mm 3
dengan predominan PMN. Leukopenia ( < 5.000 / mm3 ) menunjukkan
prognosis yang buruk. Leukositosis hebat hampir selalu menunjukkan
adanya infeksi bakteri sering ditemukan pada keadaan bakteremi, dan risiko
terjadinya komplikasi lebih tinggi. Pada infeksi Clamydia pneumoniae
kadang – kadang ditemukan eosinofilia. Efusi pleura merupakan cairan
eksudat dengan sel PMN berkisar antara 300 – 100.000 / mm3, protein > 2,5
g/dL, dan glukosa relatif lebih rendah dibandingkan glukosa darah. Kadang
– kadang terdapat anemia ringan dan laju endap darah ( LED ) yang
meningkat. Trombositopeni dapat ditemukan pada 90% penderita pneumonia
dengan empiema. Secara umum hasil pemeriksaan darah perifer tidak dapat
membedakan antara infeksi virus dan infeksi bakteri secara pasti.1

2. C – Reaktive Protein ( CRP ) dan LED


CRP adalah suatu protein fase akut yang disintesis oleh hepatosit.
Sebagai respon infeksi atau inflamasi jaringan, produksi CRP secara cepat
distimulasi oleh sitokin, terutama IL – 6, IL – 1, dan TNF. Secara klinis CRP
digunakan sebagai alat diagnostik untuk membedakan antara faktor infeksi
dan non infeksi, infeksi virus dan bakteri, atau infeksi bakteri superfisialis
dan profunda, dimana kadar CRP biasanya lebih rendah pada infeksi virus
dan infeksi bakteri superfisialis dibandingkan infesksi bakteri profunda.1

3. Uji Serologis

Uji serologis untukj mendeteksi antigen dan antibodi pada infeksi bakteri
tipik mempunyai sensitivitas yang rendah dan secara umum tidak terlalu
bermanfaat dalam mendiagnosis infeksi bakteri atipik.1

4. Pemeriksaan Mikrobiologis

Pemeriksaan mikrobiologis untuk diagnosis pneumonia anak tidak rutin


dilakukan kecuali pada pneumonia berat yang dirawat di RS. Untuk
pemeriksaan mikrobiologik, spesimen dapat berasal dari usap tenggorok,
sekret nasofaring, bilasan bronkus, darah, pungsi pleura, atau aspirasi paru.
Pemeriksaan sputum kurang berguna.

5. Analisa Gas Darah


Analisa gas darah (AGDA) menunjukkan hipoksemia dan
hiperkarbia.Pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis metabolik.

6. Pemeriksaan Rontgen Thorax

Foto toraks dengan proyeksi antero – posterior merupakan dasar


diagnosis untuk pneumonia. Foto lateral dilakukan bila diperlukan informasi
tambahan, misalnya efusi pleura. Kelainan foto toraks pada pneumonia tidak
selalu berhubungan dengan gambaran klinis. Kadang – kadang bercak –
bercak sudah ditemukan pada gambaran radiologis sebelum timbul gejala
klinis. Akan tetapi, resolusi infiltrat sering memerlukan waktu yang lebih
lama setelah gejala klinis menghilang. Pada pasien dengan pneumonia tanpa
komplikasi, ulangan foto rontgen tidak diperlukan. Ulangan foto rontgen
toraks diperlukan bila gejala klinis menetap, penyakit memburuk, atau untuk
tidak lanjut. Bronkopneumonia : ditandai dengan gambaran difus merata
pada kedua paru, berupa bercak – bercak infiltrat halus yang dapat meluas
hingga daerah perifer paru, disertai dengan peningkatan corakan peribronkial

Gambar 6. Perbedaan Bronkopneumonia dan Pneumonia Klasik


Gambaran foto rontgen toraks pada anak meliputi infiltrat ringan pada
satu paru hingga konsolidasi luas pada kedua paru. Pada suatu penelitian
ditemukan pneumonia pada anak terbanyakk di paru kanan, terutama lobus
atas. Bila ditemukan di lobus kiri, dan terbanyak di lobus bawah, maka hal
tersebut merupakan prediktor perjalanan penyakit yang lebih berat dengan
risiko terjadinya pleuritis lebih meningkat.
Gambaran foto toraks pada pneumona dapat membantu mengarahkan
kecenderungan etiologi pneumonia. Penebalan peribronkial, infiltrat
interstisial merata, dan hiperinflasi cenderung terlihat pada pneumonia
virus. Infiltrat alveolar berupa konsolidasi segmen atau lobar,
bronkopnumonia, dan air bronchogram sangat mungkin disebabkan oleh
bakteri. Pada pneumonia Stafilokokus sering ditemukan abses – abses kecil
dan pneumoatokel dengan berbagai ukuran.
Gambaran foto toraks pada pneumonia Mikoplasma sangat bervariasi.
Pada beberapa kasus terlihat sangat mirip dengan gambaran foto rontgen
toraks pneumonia virus. Selain itu, dapat juga ditemukan gambaran
bronkopneumonia terutama di lobus bawah, inflitrat interstisial
retikulonodular bilateral, dan yang jarang adalah konsolidasi segmen atau
subsegmen. Biasanya gambaran foto toraks yang jauh lebih berat
dibandingkan gejala klinis. Meskipun tidak terdapat gambaran foto toraks
yang khas, tetapi bila ditemukan gambaran retikulonodular fokal pada satu
lobus, hal ini cenderung disebabkan oleh infeksi Mikoplasma. Demikian
pula bila ditemukan gambaran perkabutan atau ground – glass
consolidation, serta transient pseudoconsolidation.

DIAGNOSIS
WHO mengembangkan pedoman diagnosis sederhana yang ditujukan untuk
Pelayanan Kesehatan Primer dan sebagai pendidikan kesehatan untuk masyarakat di
negara berkembang. Gejala klinis sederhana tersebut meliputi: napas cepat, sesak napas,
dan berbagai tanda bahaya agar anak segera dirujuk ke rumah sakit. Napas cepat dinilai
dengan menghitung napas anak dalam 1 menit penuh dalam keadaan tenang. Sesak
napas dinilai dengan melihat adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam ketika
menarik napas ( retraksi epigastrium ). Tanda bahaya pada anak berusia 2 bulan – 5
tahun adalah tidak dapat minum, kejang, kesadaran menurun, stridor, dan gizi buruk,
sedangkan tanda bahaya pada anak berusia dibawah 2 bulan adalah malas minum,
kejang, kesadaran menurun, stridor, mengi, dan demam/badan terasa dingin. Berikut
adalah klasifikasi pneumonia berdasarkan pedoman tersebut:

Tabel 2. Diagnosis Pneumonia Untuk Bayi dan Anak Usia 2 Bulan – 5 Tahun.1
Bayi dan anak berusia 2 bulan – 5 tahun
Pneumonia berat
 bila ada sesak napas

 harus dirawat dan diberikan antibiotik

Pneumonia
 bila tidak ada sesak napas

 ada napas cepat dengan laju napas

o > 50 x/menit untuk anak usia 2 bulan – 1 tahun

o > 40 x/menit untuk anak > 1 – 5 tahun

 tidak perlu dirawat, diberikan antibiotik oral

Bukan pneumonia
 bila tidak ada napas cepat dan sesak napas

 tidak perlu dirawat dan tidak perlu antibiotik, hanya


diberikan pengobatan simptomatis seperti penurun panas

Pada bayi berusia di bawah 2 bulan, perjalanan penyakitnya lebih bervariasi,


mudah terjadi komplikasi, dan sering menyebabkan kematian. Klasifikasi pneumonia
pada kelompok usia ini adalah sebagai berikut:
Tabel 3. Diagnosis Pneumonia Untuk Bayi Di Bawah 2 Bulan.1
Bayi di bawah 2 bulan
Pneumonia
 bila ada napas cepat ( > 60 x/menit ) atau sesak napas

 harus dirawat dan diberikan antibiotik

Bukan pneumonia
 bila tidak ada napas cepat dan sesak napas

 tidak perlu dirawat dan tidak perlu antibiotik, hanya


diberikan pengobatan simptomatis seperti penurun panas

Namun, menurut Pelayanan Kesehatan Medik Rumah Sakit ( WHO ), pneumonia dapat
dibagi menjadi pneumonia ringan dan berat:
1. Pneumonia ringan: Disamping batuk atau kesulitan napas, hanya terdapat napas
cepat saja, dimana napas cepat adalah:

a. pada usia 2 bulan – 11 bulan : ≥ 50 kali / menit

b. pada usia 1 tahun – 5 tahun : ≥ 40 kali / menit

2. Pneumonia berat: Batuk dan atau kesulitan bernapas ditambah minimal salah
satu hal berikut ini:

a. kepala terangguk – angguk

b. pernapasan cuping hidung

c. tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam

d. foto dada menunjukkan gambaran pneumonia ( infiltrat luas, konsolidasi,


dll. )

Selain itu bisa didapatkan pula tanda berikut ini:


 Napas cepat

o anak umur < 2 bulan : ≥ 60 kali / menit

o anak umur 2 – 11 bulan : ≥ 50 kali / menit

o anak umur 1 – 5 tahun : ≥ 40 kali / menit

o anak umur ≥ 5 tahun : ≥ 30 kali / menit

 Suara merintih ( grunting ) pada bayi muda

 Pada auskultasi terdengar

o crackles ( ronki )

o suara pernapasan menurun

o suara pernapasan bronkial

Dalam keadaan yang sangat berat dapat dijumpai:


 tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan semuanya

 kejang, letargi, atau tidak sadar

 sianosis

 distress pernapasan berat 12

DIAGNOSIS BANDING 12
1. Pneumonia lobaris
Biasanya pada anak yang lebih besar disertai badan menggigil dan
kejang pada bayi kecil. Suhu naik cepat sampai 39 – 40 oC dan biasanya tipe
kontinua. Terdapat sesak nafas, nafas cuping hidung, sianosis sekitar hidung dan
mulut dan nyeri dada. Anak lebih suka tidur pada sisi yang terkena. Pada foto
rotgen terlihat adanya konsolidasi pada satu atau beberapa lobus.

2. Bronkioloitis
Diawali infeksi saluran nafas bagian atas, subfebris, sesak nafas, nafas
cuping hidung, retraksi intercostal dan suprasternal, terdengar wheezing, ronki
nyaring halus pada auskultasi. Gambaran labarotorium dalam batas normal,
kimia darah menggambarkan asidosis respiratotik ataupun metabolik.

3. Aspirasi benda asing

Ada riwayat tersedak, stridor atau distress pernapasan tiba – tiba,


wheezing atau suara pernapasan yang menurun yang bersifat fokal.

4. Tuberkulosis

Pada TB, terdapat kontak dengan pasien TB dewasa, uji tuberkulin


positif ( > 10 mm atau pada keadaan imunosupresi > 5 mm ), demam 2 minggu
atau lebih, batuk 3 minggu atau lebih, pertumbuhan buruk/kurus atau berat
badan menurun, pembengkakan kelenjar limfe leher, aksila, inguinal yang
spesifik, pembengkakan tulang/sendi punggung, panggulm lutut, dan falang, dan
dapat disertai nafsu makan menurun dan malaise yang dapat ditegakkan melalui
skor TB.

5. Atelektasis

Adalah pengembangan tidak sempurna atau kempisnya bagian paru yang


seharusnya mengandung udara. Dispnoe dengan pola pernafasan cepat dan
dangkal, takikardia, sianosis. Perkusi mungkin batas jantung dan mediastinum
akan bergeser dan letak diafragma mungkin meninggi.

TATALAKSANA 1,5,12
Sebagian besar pneumonia pada anak tidak perlu dirawat inap. Indikasi
perawatan terutama berdasarkan berat – ringannya penyakit, misalnya toksis, distres
pernapasan, tidak mau makan/minum, atau bila ada penyakit dasar yang lain,
komplikasi, dan terutama mempertimbangkan usia pasien. Neonatus dan bayi kecil
dengan kemungkinan klinis pneumonia harus dirawat inap. Dasar tatalaksana pada
pneumonia rawat inap adalah pengobatan kasual dengan antibiotik yang sesuai, serta
tindakan suportif. Pengobatan suportif meliputi pemberian cairan intravena, terapi
oksigen, koreksi terhadap gangguan keseimbangan asm – basa dan elektrolit, dan gula
darah. Untuk nyeri dan demam dapat diberikan analgetik/antipiretik. Penggunaan
antibiotik yang tepat merupakan kunci utama keberhasilan pengobatan. Terapi antibiotik
harus segera diberikan pada anak dengan pneumonia yang diduga disebabkan oleh
bakteri. Karena identifikasi dini mikroorganisme tidak umum dilakukan, maka
pemilihan antibiotik dipilih berdasarkan pengalaman empiris yang didasarkan pada
kemungkinan etiologi penyebab dengan mempertimbangkan usia dan keadaan klinis
pasien serta faktor epidiemiologis.

1. Pneumonia Rawat Jalan


Pada pneumonia ringan rawat jalan dapat diberikan antibiotik lini
pertama secara oral, misalnya amoksisilin 25 mg/kgBB atau kotrimoksazol 4
mg/kgBB TMP dan 20 mg/kgBB sulfametoksazol dua kali sehari selama 3 hari.
Makrolid, baik eritromisin maupun makrolid baru, dapat digunakan sebagai
terapi alternatif beta – laktam untuk pengobatan inisial pneumonia, dengan
pertimbangan adanya aktivitas ganda terhadap S. pneumoniae dan bakteri atipik.
Setalah itu, anjurkan ibu untuk memberi makan anak. Nasihati ibu untuk
membawa kembali anaknya setelah 2 hari atau lebih kalau keadaan anak
memburuk atau tidak dapat minum atau menyusui. Bila pernapasannya membaik
( melambat ), demam berkurang, nafsu makan membaik, lanjutkan pengobatan
sampai selesai 3 hari. Jika frekuensi pernapasan, demam, dan nafsu makan tidak
ada perubahan, ganti ke antibiotik lini kedua dan nasihati ibu untuk kembali 2
hari lagi. Jika ada tanda pneumonia berat, rawat anak di rumah sakit dan tangani
sesuai pedoman pneumonia berat.

2. Pneumonia Rawat Inap


Terapi Antibiotik
Pemilihan antibiotik lini pertama dapat menggunakan golongan beta –
laktam atau kloramfenikol. Pada pneumonia yang tidak responsif terhadap beta –
laktam dan kloramfenikol, dapat diberikan antibiotik seperti gentamisin,
amikasin, atau sefalosporin, sesuai dengan petunjuk etiologi yang ditemukan.
Antibiotik diteruskan selama 7 – 10 hari pada pasien dengan pneumonia tanpa
komplikasi. Pada neonatus dan bayi kecil, terapi awal antibiotik intravena harus
dimulai sesegera mungkin. Oleh karena pada neonatus dan bayi kecil sering
terjadi sepsis dan meningitis, antibiotik yang direkomendasikan adalah antibiotik
spektrum luas seperti kombinasi betalaktam / klavulanat dengan aminoglikosid,
atau sefalosporin generasi ketiga.
WHO menganjurkan pemberian ampisilin/amoksisilin 25 – 50
mg/kgBB/kali IV atau IM setiap 6 jam yang dipantau dalam 24 jam selama 72
jam pertama. Bila anak memberi respons yang baik maka diberikan selama 5
hari. Selanjutnya terapi dilanjutkan di rumah atau di rumah sakit dengan
amoksisilin oral 15 mg/kgBB/kali tiga kali sehari untuk 5 hari berikutnya.
Pada balita dan anak yang lebih besar, antibiotik yang direkomendasikan
adalah antibiotik beta – laktam dengan/tanpa klavulanat; pada kasus yang lebih
berat diberikan beta – laktam/klavulanat dikombinasikan dengan makrolid baru
intravena, atau sefalosporin generasi ketiga. Bila pasien sudah tidak demam atau
keadaan sudah stabil, antibiotik diganti dengan antibiotik oral dan berobat jalan
selama 10 hari.
Bila keadaan klinis memburuk sebelum 48 jam atau terdapat keadaan
yang berat maka ditambahkan kloramfenikol 25 mg/kgBB/kali IV atau IM setiap
8 jam. Bila pasien datang dengan keadaan klinis yang berat segera berikan
oksigen dan pengobatan kombinasi ampisilin – kloramfenikol atau ampisilin –
gentamisin. Sebagai alternatif, beri seftriakson 80 – 100 mg/kgBB IV atau IM
sekali sehari. Bila tidak membaik dalan 48 jam, maka bila mungkin foto toraks.
Apabila diduga pneumonia stafilokokal, ganti antibiotik dengan
gentamisin 7,5 mg/kgBB IM sekali sehari dan klokasilin 50 mg/kgBB IM atau
IV setiap 6 jam atau klindamisin 15 mg/kgBB/hari hingga 3 kali pemberian. Bila
keadaan anak membaik, lanjutkan kloksasilin atau diklokasilin secara oral 4 kali
sehari sampai secara keseluruhan mencapai 3 minggu atau klindamisin oral
selama 2 minggu.

Terapi Oksigen
Beri oksigen pada semua anak dengan pneumonia berat. Bila tersedia
pulse oksimeter, gunakan sebagai panduan untuk terapi oksigen ( berikan pada
anak dengan saturaso < 90%, anak yang tidak stabil. Hentikan pemberian
oksigen bila saturasi tetap stabil > 90%. Pemberian oksigen setelah saat ini tidak
berguna.

Terapi Penunjang
Bila anak disetai demam yang tampaknya menyebabkan distres, beri
antipiretik seperti parasetamol. Bila ditemukaan adanya wheezing, beri
bronkodilator kerja cepat. Bila terdapat sekret kental di tenggorokan yang tidak
dapat dikeluarkan oleh anak, hilangkan dengan alat penghisap secara perlahan.
Pastikan anak mendapatkan kebutuhan cairan runatan yang sesuai, tetapi hati –
hati terhadap kelebihan cairan/overhidrasi. Anjurkan pemberian ASI dan cairan
oral. Jika anak tidak dapat minum, pasang pipa nasogastrik dan berikan cairan
rumatan dalam jumlah sedikit tapi sering. Jika asupan cairan oral mencukupi,
jangan menggunakan pipa nasogastrik untuk meningkatkan asupan, karena akan
meningkatkan risiko pneumonia aspirasi. Jika oksigen diberikan bersamaan
dengan cairan nasogastrik, pasang keduanya pada lubang hidung yang sama.

Tuberkulosis
Definisi

Tuberkulosis adalah penyakit infeksi menular yang bersifat sistemik dan disebabkan
oleh Mycobacterium tuberculosis yang mayoritas (>95%) menyerang paru. Penularan
tuberkulosis anak sebagian besar melalui udara sehingga fokus primer berada di paru
dengan kelenjar getah bening membengkak serta jaringan paru mudah terinfeksi kuman
tuberkulosis. Selain itu dapat melalui mulut saat minum susu yang mengandung kuman
Mycobacterium bovis dan melalui luka atau lecet di kulit. Beberapa istilah dalam
definisi kasus TB anak:
 Terduga pasien TB anak: setiap anak dengan gejala atau tanda mengarah ke TB
Anak
 Pasien TB anak berdasarkan hasil konfirmasi bakteriologis adalah pasien TB
anak yang hasil pemeriksaan sediaan biologinya positif dengan pemeriksaan
mikroskopis langsung atau biakan atau diagnostik cepat yang direkomendasi
oleh Kemenkes RI. Pasien TB paru BTA positif masuk dalam kelompok ini.
 Pasien TB anak berdasarkan diagnosis klinis: pasien TB anak yang TB yang
tidak memenuhi kriteria bakteriologis dan mendapat pengobatan TB berdasarkan
kelainan radiologi dan histopatologi sesuai gambaran TB. Termasuk dalam
kelompok pasien ini adalah Pasien TB Paru BTA negatif, Pasien TB dengan
BTA tidak diperiksa dan Pasien TB Ekstra Paru.

Penentuan klasifikasi dan tipe kasus TB pada anak dibedakan menurut :

A. Lokasi / organ yang terinfeksi


1) Tuberkulosis Paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang
jaringan (parenkim) paru, tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar
pada hilus.
2) Tuberkulosis Ekstra Paru. Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain
selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium),
kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat
kelamin, dan lain-lain. Anak dengan gejala hanya pembesaran kelenjar tidak
selalu menderita TB Ekstra Paru.
B. Riwayat pengobatan sebelumnya
1. Baru : kasus TB anak yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT
atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (28 dosis) dengan
hasil pemeriksaan bakteriologis sesuai definisi di atas, lokasi penyakit bisa
paru atau ekstra paru.
2. Pengobatan ulang : kasus TB Anak yang pernah mendapat pengobatan
dengan OAT lebih dari 1 bulan ( 28 dosis) dengan hasil pemeriksaan
bakteriologis sesuai definisi di atas, lokasi penyakit bisa paru atau ekstra
paru. Berdasarkan hasil pengobatan sebelumnya, anak dapat diklasifikasikan
sebagai kambuh, gagal atau pasien yang diobati kembali setelah putus
berobat (lost to follow-up).
C. Berat dan ringannya penyakit
1. TB ringan: tidak berisiko menimbulkan kecacatan berat atau kematian,
misalnya TB primer tanpa komplikasi, TB kulit, TB kelenjar, dan lain
sebagainya.
2. TB berat: TB pada anak yang berisiko menimbulkan kecacatan berat atau
kematian, misalnya TB meningitis, TB milier, TB tulang dan sendi, TB
abdomen, termasuk TB hepar, TB usus, TB paru BTA positif, TB resisten
obat, TB HIV.

Epidemiologi
Epidemiologi Tuberkulosis adalah rangkaian gambaran informasi yang menjelaskan
beberapa hal terkait orang, tempat, waktu dan lingkungan. Secara sistematis dan
informatif menguraikan sejarah penyakit tuberkulosis, prevalens tuberkulosis, kondisi
infeksi tuberkulosis dan cara/ risiko penularan serta upaya pencegahannya. Tuberkulosis
adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium
tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai
organ tubuh lainnya. TB Anak adalah penyakit TB yang terjadi pada anak usia 0-14
tahun. Cara Penularannya adalah sebagai berikut :
 Sumber penularan adalah pasien TB paru BTA positif, baik dewasa maupun
anak.
 Anak yang terkena TB tidak selalu menularkan pada orang di sekitarnya,
kecuali anak tersebut BTA positif atau menderita adult type TB.
 Faktor risiko penularan TB pada anak tergantung dari tingkat penularan,
lama pajanan, daya tahan pada anak. Pasien TB dengan BTA positif
memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar daripada pasien TB
dengan BTA negatif.
 Pasien TB dengan BTA negatif masih memiliki kemungkinan menularkan
penyakit TB. Tingkat penularan pasien TB BTA positif adalah 65%, pasien
TB BTA negatif dengan hasil kultur positif adalah 26% sedangkan pasien TB
dengan hasil kultur negatif dan foto Toraks positif adalah 17%.
Tuberkulosis anak merupakan faktor penting di negara-negara berkembang karena
jumlah anak berusia kurang dari 15 tahun adalah 40-50% dari jumlah seluruh populasi.
Etiologi

Penyebab tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis, Mycobacterium bovis,


dan Mycobacterium africanum, merupakan family Mycobactericeae. Basil tuberkel
adalah batang lengkung, gram positif lemah, pleiomorfik, tidak bergerak, tidak
membentuk spora, panjang sekitar 2,4 µm. Mereka dapat tampak sendiri-sendiri atau
dalam kelompok pada specimen klinis yang diwarnai atau media biakan. Mereka
merupakan aerob wajib (obligat) yang tumbuh pada media sintetis yang mengandung
gliseol sebagai sumber karbon dan garam ammonium sebagai sumber nitrogen.
Mikobakteria ini tumbuh paling baik pada suhu 37 – 41 0C, menghasilkan niasin dan
tidak ada pigmentasi. Dinding sel kaya lipid menimbulkan resistensi terhadap daya
bakterisid antibodi dan komplemen. Tanda semua mikobakteria adalah ketahanan
asamnya kapasitas membentuk kompleks mikolat stabil dengan pewarnaan arilmetan
seperti Kristal violet, karbolfukhsin, auramin, dan rodamin. Bila diwarnai, mereka
melawan perubahan warna dengan etanol dan hidrokhlorida atau asam lain.

Mycobacterium tumbuh lambat, waktu pembentukannya adalah 12 – 24 jam. Isolasi


dari specimen klinis pada media sintetik padat biasanya memerlukan waktu 3 – 6
minggu, dan uji kerentanan obat memerlukan 4 minggu tambahan. Namun pertumbuhan
dapat dideteksi dalam pada medium cairan selektif dengan menggunakan nutrient
radiolabel (sistem radiometric BACTEC), dan kerentanan obat dapat ditentukan dalam 3
– 5 hari tambahan. M. tuberculosis mempunyai morfologi koloni khas, menghasilkan
niasin tetapi bukan pigmen, mampu mereduksi nitrat, dan menghasilkan katalase.
Beberapa strain resisten isoniazid kehilangan kemampuan untuk membiat katalase.
Adanya M. tuberculosis dalam spesiem klinik dapat dideteksi dalam beberapa jam
dengan menggunakan reaksi rantai polymerase (RRP) yang menggunakan probe DNA
yang merupakan pelengkap terhadap DNA atau RNA mikobakteria. Data dari anak
terbatas, tetapi sensitivitas beberapa tehnik RRP serupa dengan sensitivitas untuk
biakan.

Patogenesis Tuberkulosis

Paru merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi Tuberkulosis karena
ukuran mikroorganisme yang sangat kecl dalam bentuk percik renik (droplet nuclei)
yang terhirup dapat mencapai alveolus. Masuknya mikroorganisme penyebab
Tuberkulosis ini akan mengaktifkan reaksi imunologis non-spesifik, yaitu makrofag
yang akan memfagosit mikroorganisme. Namun, pada sebagian kecil kasus, makrofag
tidak mampu menghancurkan seluruh mikroorganisme tersebut sehingga
mikroorganisme tersebut akan melakukan replikasi di dalam makrofag. Mikroorganisme
yang terus berkembang biak di dalam makrofag itu akhirnya akan menyebabkan
makrofag mengalami lisis dan membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama di
jaringan paru tempat mikroorganisme tersebut berkoloni disebut fokus primer Ghon.
Selanjutnya mikroorganisme penyebab Tuberkulosis ini akan menyebar melalui saluran
limfe menuju ke kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran
limfe ke lokasi fokus primer. Hal ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe
(limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak
di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe
parahilus. Sedangkan, jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah
kelenjar paratrakeal. Terbentuklah kompleks primer yang terdiri dari fokus primer,
kelenjar lmfe regional yang membesar (limfadenitis), dan saluran limfe yang meradang
(limfangitis).

Masa inkubasi Tuberkulosis adalah waktu yang diperlukan sejak masuknya


kuman Tuberkulosis hingga terbentuknya kompleks primer secara lengkap, yaitu
berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang waktu antara 2-12 minggu.
Dalam masa inkubasi, mikroorganisme tumbuh hingga mencapai jumlah 103-104 dimana
jumlah tersebut cukup untuk mengaktifkan respon imun seluler dan belum terbentuk
proses hipersensitivitas sehingga jika dilakukan uji tuberculin hasilnya akan negatif.
Jika sudah terbentuk kompleks primer maka juga terbentuk hipersensitivitas terhadap
tuberkuloprotein, sehingga uji tuberculin akan menghasilkan respon positif. Setelah
imunitas selular terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya akan mengalami
resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah terjadi nekrosis
perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan
enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer di
jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam
kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan gejala sakit TB. Kompleks primer dapat juga
mengalami komplikasi akibat fokus di paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus
primer di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika
terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar
melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar
limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal pada awal infeksi, akan
membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga bronkus dapat terganggu.
Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal menimbulkan hiperinflasi di
segmen distal paru melalui mekanisme ventil (ball-valve mechanism). Obstruksi total
dapat menyebabkan atelektasis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis
perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga
menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan
obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan
atelektasis, yang sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi.
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat terjadi
penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke
kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer, atau berlanjut menyebar secara
limfohematogen. Dapat juga terjadi penyebaran hematogen langsung, yaitu kuman
masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran
hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik. Penyebaran
hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran hematogenik
tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara
sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB
kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh, bersarang di organ yang
mempunyai vaskularisasi baik, paling sering di apeks paru, limpa, dan kelenjar limfe
superfisialis. Selain itu, dapat juga bersarang di organ lain seperti otak, hati, tulang,
ginjal, dan lain-lain. Pada umumnya, kuman di sarang tersebut tetap hidup, tetapi tidak
aktif (tenang), demikian pula dengan proses patologiknya. Sarang di apeks paru disebut
dengan fokus Simon, yang di kemudian hari dapat mengalami reaktivasi dan terjadi TB
apeks paru saat dewasa.

Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran hematogenik


generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah
besar kuman TB masuk dan beredar di dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini
dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut
TB diseminata. Tuberkulosis diseminata ini timbul dalam waktu 2−6 bulan setelah
terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB
yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi
karena tidak adekuatnya sistem imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB,
misalnya pada anak bawah lima tahun (balita) terutama di bawah dua tahun.

Bentuk penyebaran yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic spread.


Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan di dinding vaskuler pecah dan
menyebar ke seluruh tubuh, sehingga sejumlah besar kuman TB akan masuk dan
beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe ini tidak dapat
dibedakan dengan acute generalized hematogenic spread.
Gambar 1. Algoritma Tuberkulosis pada Anak`1

Diagnosis

Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan


fisik/jasmani, pemeriksaan bakteriologik, radiologik dan pemeriksaan penunjang
lainnya Pasien TB anak dapat ditemukan dengan cara melakukan pemeriksaan pada :
1. Anak yang kontak erat dengan pasien TB menular.
Kontak erat adalah anak yang tinggal serumah atau sering bertemu dengan
pasien TB menular. Pasien TB menular adalah terutama pasien TB yang hasil
pemeriksaan sputumnya BTA positif dan umumnya terjadi pada pasien TB
dewasa. Pemeriksaan kontak erat ini akan diuraikan secara lebih rinci dalam
pembahasan pada bab profilaksis TB pada anak.
2. Anak yang mempunyai tanda dan gejala klinis yang sesuai dengan TB anak.
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi sistemik dan organ yang paling sering
terkena adalah paru. Gejala klinis penyakit ini dapat berupa gejala
sistemik/umum atau sesuai organ terkait. Perlu ditekankan bahwa gejala klinis
TB pada anak tidak khas, karena gejala serupa juga dapat disebabkan oleh
berbagai penyakit selain TB.

Gejala sistemik/umum TB anak sifatnya tidak khas, yaitu sebagai berikut:


 Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau berat badan tidak naik dengan
adekuat atau tidak naik dalam 1 bulan setelah diberikan upaya perbaikan gizi
yang baik.
 Demam lama (≥2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan
demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain). Demam
umumnya tidak tinggi. Keringat malam saja bukan merupakan gejala
spesifik TB pada anak apabila tidak disertai dengan gejala-gejala
sistemik/umum lain.
 Batuk lama ≥3 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak pernah reda atau
intensitas semakin lama semakin parah) dan sebab lain batuk telah dapat
disingkirkan.
 Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai gagal tumbuh
(failure to thrive).
 Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.
 Diare persisten/menetap (>2 minggu) yang tidak sembuh dengan pengobatan
baku diare.

Selain itu terdapat juga gejala klinis yang terkait dengan organ jika terjadi infeksi
tuberculosis ekstrapulmoner, seperti di bawah ini :
 Tuberkulosis kelenjar (terbanyak di daerah leher atau regio colli):
o Pembesaran KGB multipel (>1 KGB), diameter ≥1 cm, konsistensi
kenyal, tidak nyeri, dan kadang saling melekat atau konfluens.
 Tuberkulosis otak dan selaput otak:
o Meningitis TB: Gejala-gejala meningitis dengan seringkali disertai
gejala akibat keterlibatan saraf-saraf otak yang terkena.
o Tuberkuloma otak: Gejala-gejala adanya lesi desak ruang.
 Tuberkulosis sistem skeletal:
o Tulang belakang (spondilitis): Penonjolan tulang belakang (gibbus).
o Tulang panggul (koksitis): Pincang, gangguan berjalan, atau tanda
peradangan di daerah panggul.
o Tulang lutut (gonitis): Pincang dan/atau bengkak pada lutut tanpa
sebab yang jelas.
o Tulang kaki dan tangan (spina ventosa/daktilitis).
 Skrofuloderma = ditandai adanya ulkus disertai dengan jembatan kulit antar
tepi ulkus (skin bridge).
 Tuberkulosis mata:
o Konjungtivitis fliktenularis (conjunctivitis phlyctenularis).
o Tuberkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi).
 Tuberkulosis organ-organ lainnya, misalnya peritonitis TB, TB ginjal
dicurigai bila ditemukan gejala gangguan pada organ-organ tersebut tanpa
sebab yang jelas dan disertai kecurigaan adanya infeksi TB.

Pemeriksaan Penunjang
Uji Tuberkulin
Cara melakukan uji tuberculin (Mantoux Test) ini sangat sederhana, yaitu dengan
menyuntikkan 0.1 ml tuberculin PPD secara intrakutan di bagian volar lengan dengan
arah suntikan memanjang lengan (longitudinal). Reaksi diukur 48-72 jam setelah
penyuntikan. Indurasi transversal diukur dan dilaporkan dalam millimeter berapapun
ukurannya, termasuk cantumkan 0 milimeter jika tidak ada indurasi sama sekali.
Indurasi 10 milimeter ke atas dinyatakan positif. Indurasi < 5 milimeter dinyatakan
negative, sedangan indurasi 5-9 milimeter meragukan dan perlu diulang dengan jarak
waktu minimal 2 minggu. Uji tuberculin positif menunjukkan adanya infeksi TB dan
kemungkinan TB aktif pada anak. Reaksi uji tuberculin positif biasanya bertahan lama
hingga bertahun-tahun walau pasiennya sudah sembuh, sehingga uji tuberculin tidak
digunakan untuk memantau pengobatan TB.

Foto Toraks Antero-Posterior (AP) dan Lateral Kanan

Gambaran radiologis yang sugestif TB diantaranya adalah pembesaran kelanjar hilus


atau paratrakeal, konsolidasi segmen/lobus paru, milir, kavitas, efusi pleura, atelektasis,
atau kalsifikasi.

Pemeriksaan Mikrobiologi

Spesimen atau bahan pemeriksaan yang diambil berasal dari bilasan lambung atau
sputum, untuk mencari basil tahan asam (BTA) pada pemeriksaan langsung, dan
Mycobacterium tuberculosis dari biakan. Hasil biakan positif merupakan diagnosis pasti
TB. Hasil BTA atau biakan negative tidak menyingkirkan diagnosis TB.

Pemeriksaan Patologi : dilakukan biopsi kelenjar, kulit, atau jaringan lain yang dicurigai
TB.

Pemeriksaan lainnya yang perlu dilakukan bila terjadi TB ekstrapulmoner adalah


funduskopi, pungsi lumbal, foto tulang, dan pungsi pleura. Selain itu dapat dilakukan
pemeriksaan laju endap darah, pemeriksaan urin rutin, dan feses rutin sebagai pelengkap
data namun tidak berperan penting dalam diagnostic TB.

Penatalaksanaan

1. Isoniazid

INH adalah obat antituberkulosis yang efektif saat ini bersifat bakterisid dan
sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolit aktif yaitu kuman
yang sedang berkembang dan bersifat bakteriostatik terhadap kuman yang
diam. Obat ini efektif pada intrasel dan ekstrasel kuman, dapat berdifusi
kedalam seluruh jaringan dan cairan tubuh termasuk cairan serebrospinal
(CSS), cairan pleura, cairan asites, jaringan caseosa dan angka timbulnya
reaksi simpang (adverse reaction) sangat rendah. Dosis harian INH biasa
diberikan 5-15 mg/kgBB/hari, max 300 mg/hari, secara peroral, diberikan 1x
pemberian. INH yang tersedia umumnya dalam bentuk tablet 100 mg dan
300 mg dan dalam bentuk sirup 100 mg/5 ml.

INH mempunyai 2 efek toksik utama yaitu hepatotoksik dan neuritis perifer,
tetapi keduanya jarang terjadi pada anak, tetapi frekuensinya meningkat
dengan bertambahnya usia. Hepatotoksik mungkin terjadi pada remaja atau
anak-anak dengan tuberkulosis berat. Idealnya perlu pemantauan kadar
transaminase pada 2 bulan pertama. Hepatotoksik akan meningkat apabila
INH diberikan bersama dengan Rifampisin dan PZA. Penggunaan INH
bersama dengan fenobartbital atau fenitoin dapat meningkatkan resiko
hepatotoksik. INH tidak dilanjutkan pemberiannya pada keadaan kadar
transaminase serum naik lebih dari 3x harga normal atau terjadi manifestasi
klinik hepatitis, berupa mual, muntah, nyeri perut dan kuning. Neuritis
perifer timbul akibat inhibisi kompetitif karena metabolisme piridoksin.
Kadar piridoksin berkurang pada anak yang menggunakan INH tetapi
manifestasi klinisnya jarang sehingga tidak diperlukan piridoksin tambahan.
Manifestasi klinis neuritis perifer yang paling sering adalah mati rasa atau
kesemutan pada tangan dan kaki. Piridoksin diberikan 1x sehari 25-50 mg
atau 10 mg piridoksin tiap 100 mg INH. Manifestasi alergi atau
hipersensitivitas yang disebabkan INH jarang terjadi. Efek samping yang
jarang terjadi antara lain pelagra, anemia hemolitik pada pasien dengan
defisiensi enzim G6PD, dan reaksi mirip lupus yang disertai ruam dan
artritis.

2. Rifampisin

Rifampisin bersifat bakteriosid pada intrasel dan ekstrasel, dapat


memasuki semua jaringan, dapat membunuh kuman semi-dormand yang
tidak dapat dibunuh oleh INH. Rifampisin diabsorpsi dengan baik melalui
sistem gastrointestinal pada saat perut kosong, dan kadar serum puncak
tercapai dalam 2 jam. Saat ini rifampisin diberikan dalam bentuk oral dengan
dosis 10-20mg/kgbb/hari, maksimal 600mg/hari dengan dosis 1 kali
pemberian perhari. jika diberikan bersama INH, dosis rifampisin tidak
melebihi 15mg/kgbb/hari dan dosis INH tidak melebihi 10mg/kgbb/hari.
Seperti halnya INH, rifampisin didistribusikan secara luas ke jaringan dan
cairan tubuh, termasuk CSS. Ekskresi rifampisin terutama terjadi melalui
traktus biliaris. Kadar yang efektif juga dapat ditemukan diginjal dan urin.
Efek samping rifampisin lebih sering terjadi daripada INH. Efek samping
rifampisin adalah gangguan gastrointestinal (mual dan muntah) dan
hepatotoksisitas (ikterus atau hepatitis) yang biasanya ditandai oleh
peningkatan kadar transaminase serum yang asimptomatik. Rifampisin dapat
menyebabkan trombositopenia. Rifampisin umumnya tersedia dalam sediaan
kapsul 150mg, 300mg dan 450mg. sehingga kurang sesuai untuk digunakan
pada anak-anak dengan berbagai kisaran berat badan.

3. Pirazinamid

Pirazinamid adalah derivat dari nikotinamid berpenetrasi baik pada


jaringan dan cairan tubuh termasuk SSP, cairan serebrospinal, bakterisid
hanya pada intrasel pada suasana asam, diresorbsi baik pada saluran
pencernaan. Pemberian PZA secara oral dengan dosis 15-30mb/kgbb/hari
dengan dosis maksimal 2g/hari. Pirazinamid tersedia dalam bentuk tablet
500mg. efek samping PZA adalah hepatotoksisitas, anoreksia, dan iritasi
saluran cerna. Reaksi hipersensisitivitas dan hiperurisemia jarang timbul
pada anak.

4. Etambutol

Etambutol jarang diberikan pada anak karena potensi toksisitasnya pada


mata. Dosis etambutol (EMB) 15-20mg/kg/hari. Maksimal 1,25g/hari
dengan dosis tunggal. Ekskresi terutama lewat ginjal dan saluran cerna.
EMB tersedia dalam tablet 250mg dan 500mg. Memiliki aktivitas
bakteriostatik dan berdasarkan pengalaman, dapat mencegah timbulnya
resistensi terhadap obat-obat lain. EMB dapat bersifat bakteriosid, jika
diberikan dengan dosis tinggi dengan terapi intermiten. EMB tidak
berpenetrasi baik pada SSP, demikian juga pada keadaan meningitis. EMB
ditoleransi dengan baik pada dewasa dan anak-anak pada pemberian oral
dengan dosis 1 atau 2 kali sehari. Kemungkinan toksisitas utama adalah
neuritis optik dan buta warna merah-hijau. Tidak terdapat laporan toksisitas
optik pada anak-anak.

5. Streptomisin

Streptomisin bersifat bakteriosid dan bakteriostatik. Kuman ekstraseluler


pada keadaan basa atau netral, jadi tidak efektif membunuh kuman
intraseluler. Streptomisin dapat diberikan secara IM dengan dosis 15-40
mg/kgBB/hari, maksimal 1 gram perhari, kadar puncak 40-50 mikrogram
permilliliter dalam waktu 1-2 jam. Streptomicin sangat baik melewati
selaput otak yang meradang, tetapi tidak dapat melewati selaput otak yang
tidak meradang. Streptomisin berdifusi dengan baik pada jaringan dan cairan
pleura, dieksresi melalui ginjal. Toksisitas utama streptomisin terjadi pada
nervus kranial VIII yang mengganggu keseimbangan dan pendengaran
berupa telinga berdengung (tinismus) dan pusing.

Di Indonesia digunakan sistem skoring TB anak untuk menentukan tatalaksana yang


akan diberikan kepada anak tersebut :
Gambar 2. Skoring Tuberkulosis pada Anak

Lalu ditentukan apabila skor ≥6 maka diberikan terapi OAT selama 2 bulan dan
kemudian dilakukan pemeriksaan ulang untuk melihat terapi OAT tersebut memberikan
respon perbaikan pada anak. Jika terjadi respon perbaikan makan terapi OAT
diteruskan, sedangkan jika respons negative maka dipikirkan adanya faktor lain seperti
gizi buruk, pengobatan yang tidak rutin, ataupun TB multidrug resistance (TB MDR).

Terapi TB terdiri dari 2 fase :

1. Fase intensif : diberikan 3-5 OAT selama 2 bulan awal


2. Fase lanjutan : paduan 2 OAT (INH-Rifampisin) hingga 6-12 bulan.
Pada anak OAT diberikan secara harian baik pada fase intensif maupun fase lanjutan.

 TB paru : INH, Rifampisin, dan Pirazinamid selama 2 bulan fase intensif, lalu
dilanjutkan dengan INH dan RIfampisin hingga genap 6 bulan terapi (2RHZ-
4HR)
 TB paru berat (milier, destroyed lung) dan TB ekstraparu : diberikan 4-5 OAT
selama 2 bulan fase intensif, lalu dilanjutkan dengan INH dan Rifampisin hingga
genap 9-12 bulan terapi.
 TB kelenjar superficial : terapinya sama dengan TB paru.
 TB milier dan efusi pleura TB diberikan prednisone 1-2 mg/kgBB/hari selama 2
minggu, lalu dosis diturunkan bertahap selama 2 minggu (total pemberian waktu
1 bulan).
Gambar 3. Penatalaksanaan Tuberkulosis pada Anak sesuai dengan Sistem Skoring

Pada kelompok risiko tinggi memerlukan medikamentosa profilaksis yang


menggunakan INH 5-10 mg/kgBB/hari yang terbagi menjadi 2, yaitu :

1. Profilaksis primer
Mencegah tertular/infeksi pada kelompok yang mengalami kontak erat dengan
pasien TB dewasa dengan uji BTA (+). Diberikan selama 3 bulan lalu dievaluasi
kembali apakan uji tuberculin menjadi positif.
2. Profilaksis sekunder
Mencegah terjadinya sakit TB pada kelompok yang telah terinfeksi TB tapi
belum sakit TB. Diberikan selama 6-12 bulan (waktu risiko tertinggi terjadinya
sakit TB pada pasien yang baru terinfeksi TB).

Gambar 4. Dosis Obat Anti-Tuberkulosis Anak

Penatalaksanaan bedah diindikasikan bagi TB paru berat dengan destroyed lung, TB


tulang yang telah diberikan terapi OAT selama minimal 2 bulan, kecuali jika terjadi
kompresi medulla spinalis atau ada abses paravertebra maka dapat dilakukan lebih awal.
Selain itu asupan gizi yang adekuat juga dapat membantu keberhasilan terapi TB.

Kombinasi dosis tetap OAT (KDT) / Fixed Dose Combination (FDC)

Gambar 5. Kombinasi Dosis Tetap OAT (KDT)1

Untuk mempermudah pemberian OAT sehingga meningkatkan keteraturan minum obat,


paduan OAT disediakan dalam bentuk paket KDT/ FDC. Satu paket dibuat untuk satu
pasien untuk satu masa pengobatan. Paket KDT untuk anak berisi obat fase intensif,
yaitu rifampisin (R) 75mg, INH (H) 50 mg, dan pirazinamid (Z) 150 mg, serta obat fase
lanjutan, yaitu R 75 mg dan H 50 mg dalam satu paket.

Tuberkulosis Resisten Obat pada Anak

Kejadian TB resisten obat pada anak secara global masih belum pasti karena
kesulitan mendapatkan konfirmasi bakteriologis pada anak. Kejadian TB kebal obat di
Indonesia belum pasti, tetapi kewaspadaan terhadap kasus ini perlu ditingkatkan
mengingat penatalaksanaan kasus TB pada anak masih belum optimal dan angka
kejadian TB kebal obat pada dewasa yang terus meningkat. Diperkirakan banyak anak
yang kontak dengan kasus TB dewasa kebal obat, sehingga kejadian TB kebal obat pada
anak akan mencerminkan pengendalian TB kebal obat pada dewasa.
Resistensi obat pada pasien TB ada 3 yaitu monoresisten, MDR, dan XDR.
Dikatakan monoresisten bila hasil uji kepekaan mendapatkan resisten terhadap isoniazid
atau rifampisin. Seorang pasien TB anak dikatakan mengalami MDR bila hasil uji
kepekaan mendapatkan hasil basil M. tuberkulosis yang resisten terhadap isoniazid dan
rifampisin, sedangkan extensively drug-resistant (XDR)-TB bila hasil uji kepekaan
mendapatkan hasil MDR ditambah resisten terhadap fluoroquinolon dan salah satu obat
injeksi lini kedua (second-line injectable agents). Prinsip dasar paduan terapi
pengobatan untuk anak sama dengan paduan terapi dewasa pasien TB MDR, yaitu :

 Gunakan sedikitnya 4 obat lini kedua yang kemungkinan strain itu masih
sensitif; satu darinya harus injectable, satu fluorokuinolon (lebih baik
kalau generasi kuinolon yang lebih akhir bila ada), dan PZA harus
dilanjutkan
 Gunakan high-end dosing bila memungkinkan
 Semua dosis harus diberikan dengan menggunakan DOT
 Durasi pengobatan harus 18-24 bulan
 Semua obat diminum setiap hari dan dengan pengawasan langsung
 Pemantauan pengobatan TB MDR pada anak sesuai dengan alur pada
dewasa dengan TB MDR
Obat-obatan yang dipakai untuk anak MDR TB juga sama dengan dosis disesuaikan
dengan berat badan pada anak. Bagaimanapun, kebanyakan obat lini kedua tidak child-
friendly.
Pencegahan
Vaksin BCG
Vaksin BCG adalah vaksin hidup yang dilemahkan yang berasal dari
Mycobacterium bovis. Pemberian vaksinasi BCG berdasarkan Program Pengembangan
Imunisasi diberikan pada bayi 0-2 bulan. Pemberian vaksin BCG pada bayi > 2 bulan
harus didahului dengan uji tuberkulin. Petunjuk pemberian vaksinasi BCG mengacu
pada Pedoman Program Pemberian Imunisasi Kemenkes. Secara umum perlindungan
vaksin BCG efektif untuk mencegah terjadinya TB berat seperti TB milier dan TB
meningitis yang sering didapatkan pada usia muda. Saat ini vaksinasi BCG ulang tidak
direkomendasikan karena tidak terbukti memberi perlindungan tambahan. Perhatian
khusus pada pemberian vaksinasi BCG yaitu :
1. Bayi terlahir dari ibu pasien TB BTA positif
Bayi yang terlahir dari ibu yang terdiagnosis TB BTA positif pada trimester 3
kehamilan berisiko tertular ibunya melalui placenta, cairan amnion maupun
hematogen. Sedangkan bayi yang terlahir dari ibu pasien TB BTA positif selama
masa neonatal berisiko tertular ibunya melalui percik renik. Pada kedua kondisi
tersebut bayi sebaiknya dilakukan rujukan
2. Bayi terlahir dari ibu pasien infeksi HIV/AIDS
Bayi yang dilahirkan dari ibu yang terbukti infeksi HIV/AIDS tidak dianjurkan
diberikan imunisasi BCG, bayi sebaiknya dilakukan rujukan untuk pembuktian
apakah bayi sudah terinfeksi HIV atau tidak.

Sejumlah kecil anak-anak (1-2%) mengalami komplikasi setelah vaksinasi BCG.


Komplikasi paling sering termasuk abses lokal, infeksi bakteri sekunder, adenitis
supuratif dan pembentukan keloid lokal. Kebanyakan reaksi akan sembuh selama
beberapa bulan. Pada beberapa kasus dengan reaksi lokal persisten dipertimbangkan
untuk dilakukan rujukan. Begitu juga pada kasus dengan imunodefisiensi mungkin
memerlukan rujukan.

Skrining dan Manajemen Kontak


Skrining dan manajemen kontak adalah kegiatan investigasi yang dilakukan secara aktif
dan intensif untuk menemukan 2 hal yaitu anak yang mengalami paparan dari pasien TB
BTA positif, dan orang dewasa yang menjadi sumber penularan bagi anak yang
didiagnosis TB. Tujuan utama skrining dan manajemen kontak adalah :
1. Meningkatkan penemuan kasus melalui deteksi dini dan mengobati temuan kasus
sakit TB.
2. Identifikasi kontak pada semua kelompok umur yang asimtomatik TB, yang
berisiko untuk berkembang jadi sakit TB
3. Memberikan terapi pencegahan untuk anak yang terinfeksi TB, meliputi anak usia
< 5 tahun dan infeksi HIV pada semua umur.

Kasus TB yang memerlukan skrining kontak adalah semua kasus TB dengan


BTA positif dan semua kasus anak yang didiagnosis TB. Skrining kontak ini
dilaksanakan secara sentripetal dan sentrifugal.
Pencegahan dengan Isoniazid

Sekitar 50-60% anak yang tinggal dengan pasien TB paru dewasa dengan BTA sputum
positif, akan terinfeksi TB juga. Kira-kira 10% dari jumlah tersebut akan mengalami
sakit TB. Infeksi TB pada anak kecil berisiko tinggi menjadi TB berat (misalnya TB
meningitis atau TB milier) sehingga diperlukan pemberian kemoprofilaksis untuk
mencegah terjadinya sakit TB.

Gambar 7. Tatalaksana Pencegahan Tuberkulosis dengan Isoniazid1

Obat yang diberikan adalah INH (Isoniazid) dengan dosis 10 mg/kgBB (7-15 mg/kg)
setiap hari selama 6 bulan. Setiap bulan (saat pengambilan obat Isoniazid) dilakukan
pemantauan terhadap adanya gejala TB. Jika terdapat gejala TB pada bulan ke 2, ke 3,
ke 4, ke 5 atau ke 6, maka harus segera dievaluasi terhadap sakit TB dan jika terbukti
sakit TB, pengobatan harus segera ditukar ke regimen terapi TB anak dimulai dari awal.
Jika rejimen Isoniazid profilaksis selesai diberikan (tidak ada gejala TB selama 6 bulan
pemberian), maka rejimen isoniazid profilaksis dapat dihentikan. Bila anak tersebut
belum pernah mendapat imunisasi BCG, perlu diberikan BCG setelah pengobatan
profilaksis dengan INH selesai.

DAFTAR PUSTAKA

1. Raharjoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB. Buku Ajar Respirologi Anak. 1st
ed. Jakarta: Badan Penerbit IDAI. 2010. hal. 350 -365.
2. Hudoyo A. Anatomi Saluran Napas.. 2009 April
http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/11/e4e3ff458efaa961c32c1e9163a7
7a24964c5c0a.pdf
3. Ellis H. Clinical Anatomy: Applied Anatomy for Students and Junior
Doctors. 11th ed. [ e – book ]. Massachussets : Blackwell Publishing. 2006
4. Sherwood L. Human Physiology. 6th ed. China: Thomson Brooks/Cole;
2007. hal. 451 - 455
5. Pusponegoro HD, Hadinegoro SRS, Firmanda D, Tridjaja B, Pudjadi AH,
Kosim MS, et. al. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. 1st ed. Jakarta:
Badan Penerbit IDAI. 2004. hal. 351 - 354.
6. Priyanti ZS, Lulu M, Bernida I, Subroto H, Sembiring H, Rai IBN, et al.
Pneumonia Komuniti: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di
Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2002.
7. Danusantosos H. Buku Saku Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: Penerbit
Hipokrates. 2000. Hal. 74 – 92
8. Price S, Wilson LM. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses – proses Penyakit.
Vol 2. 6th ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2006. Hal. 804 – 810
9. Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. Nelson Textbook of
Pediatrics. 18th ed. [ e – book ]. Philadelphia: Saunders Elsevier. 2007
10. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid 2. 4th ed. Jakarta: Pusat Penerbit Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Indonesia. 2007. Hal 984.
11. Iwantono HS. Bronkopneumoni2008 Mar. Available from: http:// /
2008/03/bronkopneumonia.html
12. Tim Adaptasi Indonesia. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak Di Rumah
Sakit: Pedoman Bagi Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama Di
Kabupaten/Kota. Jakarta: World Health Organization. 2009. hal. 83 – 113
13. Petunjuk teknis manajemen TB anak. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI;
2013.
14. Pudjiaji AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati
ED. Pedoman pelayanan medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jilid pertama.
Jakarta: IDAI; 2009. 323-8.
15. Treatment of tuberculosis guidelines. 4th ed. WHO; 2010.
16. Kemenkes RI. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta:
Kemenkes; 2011.

Anda mungkin juga menyukai