Pemerintah;
MEMUTUSKAN:
BAB I
KETENTUAN UMUM
1
2. Pengelolaan darah adalah rangkaian kegiatan mulai dari
pengerahan dan pelestarian donor, seleksi donor, pengambilan darah,
pencegahan penularan penyakit, penyimpanan darah, pengolahan darah, dan
pendistribusian darah.
3. Darah Transfusi adalah darah yang diambil dan diolah
secara khusus untuk transfusi.
4. Donor Darah adalah orang yang menyumbangkan darah
atau komponennya kepada pasien untuk tujuan penyembuhan penyakit dan
pemulihan kesehatan.
5. Pasien adalah orang yang menerima darah atau
komponennya.
6. Fasilitas Pelayanan Kesehatan adalah sarana kesehatan
yang digunakan sebagai tempat untuk menyelenggarakan upaya pelayanan
kesehatan baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang
diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat.
7. Unit Transfusi Darah selanjutnya disingkat UTD adalah
fasilitas pelayanan kesehatan yang melaksanakan kegiatan pengelolaan
transfusi darah.
8. Bank Darah Rumah Sakit selanjutnya disingkat BDRS
adalah suatu unit pelayanan di rumah sakit yang berfungsi sebagai tempat
penyediaan darah yang diperoleh dari UTD, untuk kepentingan pelayanan
kesehatan di Rumah Sakit;
9. Pemerintah Pusat selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden
Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
10. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan
perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.
11. Menteri adalah menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di
bidang kesehatan.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
2
b. memudahkan akses mendapat darah untuk pengobatan dan
informasi tentang tersedianya darah;
c. memelihara dan meningkatkan mutu pelayanan transfusi;dan
d. memberikan perlindungan dan kepastian hukum.
BAB III
TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH
Pasal 3
Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengatur, membina, dan mengawasi
pelayanan transfusi darah dalam rangka melindungi masyarakat.
Pasal 4
Pasal 5
Pasal 6
BAB IV
DONOR DARAH
Pasal 7
Pasal 8
(1) Setiap orang dapat menjadi donor secara sukarela baik individual maupun
berkelompok tanpa imbalan apapun.
(2) Donor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat
kesehatan.
(3) Donor harus memberikan informasi yang benar perihal kesehatan dan
perilaku hidupnya.
3
(4) Ketentuan tentang persyaratan kesehatan donor diatur lebih lanjut dalam
Peraturan Menteri.
Pasal 9
Pasal 10
(1) Setiap donor harus dilakukan pendataan melalui suatu sistem informasi.
(2) Pendataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam rangka
pelestarian donor secara nasional.
(3) Ketentuan tentang pendataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri.
Pasal 11
BAB V
PENGELOLAAN DARAH
Bagian Kesatu
Pengambilan Darah
Pasal 12
Bagian Kedua
Pencegahan Penularan Penyakit
4
Pasal 13
(1) Dalam rangka pencegahan penularan penyakit dari donor kepada pasien
wajib dilakukan uji saring penyakit.
(2) Uji saring penyakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-
kurangnya meliputi penyakit HIV-AIDS, Hepatitis B, Hepatitis C, dan Sifilis.
(3) Pemeriksaan uji saring sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
harus dilakukan sesuai standar pelayanan.
Bagian Ketiga
Penyimpanan Darah
Pasal 14
Bagian Keempat
Pengolahan Darah
Pasal 15
5
(5) Fasilitas fraksionasi plasma sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
harus mendapat izin dari Menteri.
Bagian Kelima
Pelabelan
Pasal 16
(1) Darah yang telah diolah harus diberi label atau identitas.
(2) Label atau identitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-
kurangnya harus memuat keterangan mengenai jenis darah, nomor kantong
darah, golongan darah, hasil pemeriksaan uji saring, tanggal pengambilan,
tanggal kadaluarsa, dan jenis antikoagulan.
(3) Darah yang tidak memenuhi standar atau persyaratan untuk digunakan
dalam transfusi darah, harus dimusnahkan.
Bagian Keenam
Pendistribusian Darah
Paragraf Kesatu
Umum
Pasal 17
(2) Distribusi darah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui
sistem tertutup dan metode rantai dingin.
(3) Distribusi darah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat
dilakukan oleh tenaga kesehatan atau petugas UTD atau BDRS dengan
memperhatikan keamanan dan mutu darah.
Paragraf Kedua
Penyaluran dan Penyerahan
6
Pasal 18
(1) Darah hanya dapat disalurkan dan diserahkan oleh UTD kepada UTD lain,
UTD kepada BDRS, atau UTD kepada fasilitas pelayanan kesehatan lain
sesuai kebutuhan.
(2) Dalam keadaan darurat, bencana atau kondisi pasien yang tidak
memungkinkan pasien dikirim ke rumah sakit, darah dapat disampaikan ke
fasilitas pelayanan kesehatan diluar rumah sakit dengan permintaan tertulis
dari dokter yang merawat pasien.
BAB VI
PEMBERIAN DARAH DAN KOMPONEN DARAH
Pasal 19
(2) Sebelum dilakukan pemberian darah dan komponen darah kepada pasien
harus dilakukan uji silang serasi antara darah donor dengan darah pasien.
BAB VII
PENGIRIMAN DAN PENERIMAAN DARAH
DARI DAN KE LUAR INDONESIA
Pasal 20
(1) Pengiriman atau penerimaan darah dan atau komponennya dari dan ke
luar Indonesia harus memperoleh izin Menteri.
(2) Pengiriman dan penerimaan darah dari dan ke Indonesia hanya dapat
dilakukan oleh Badan dan/atau Lembaga Penelitian, Institusi pendidikan,
sarana kesehatan dan organisasi palang merah.
7
(3) Izin pengiriman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
diberikan untuk tujuan:
a. Penelitian dan pengembangan di bidang ilmu dan teknologi
transfusi darah.
b. Pemenuhan kebutuhan darah langka.
c. Dalam rangka kerja sama non-komersial antara Palang Merah
Indonesia dengan Palang Merah lain atau Badan-badan lain di luar negeri,
dalam menanggulangi musibah masal seperti perang, bencana alam dan
bencana buatan manusia.
d. Pemeriksaan spesimen darah yang belum bisa dilakukan di
Indonesia.
BAB VIII
PELAYANAN APHERESIS
Pasal 21
(2) Pelayanan apheresis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
dilakukan pada fasilitas kesehatan yang memenuhi persyaratan yang
ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 22
(1) Pelayanan Apheresis hanya dapat dilakukan oleh tenaga medis yang
memiliki kompetensi dalam rangka pengobatan dan pemulihan kesehatan
berdasarkan atas indikasi medis.
8
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pelayanan apheresis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan
Peraturan Menteri.
BAB IX
PENYELENGGARAAN
Bagian Kesatu
UTD dan BDRS
Pasal 23
(1) Pengelolaan darah untuk tujuan pelayanan transfusi darah hanya dapat
dilakukan pada UTD.
Pasal 24
(2) UTD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat merupakan UTD milik
Pemerintah, Pemerintah Daerah, atau UTD PMI.
(4) Izin pembentukan UTD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus
memenuhi persyaratan yang meliputi persyaratan lokasi, bangunan,
prasarana, peralatan dan ketenagaan serta manajemen penggalangan donor.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan dan persyaratan
UTD diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 25
(1) Untuk memenuhi kebutuhan dan ketersediaan darah di Rumah Sakit, dapat
didirikan BDRS yang merupakan bagian dari unit pelayanan Rumah Sakit.
9
b. menyimpan darah dan memantau persediaan darah;
f. melakukan rujukan bila ada kesulitan hasil uji silang serasi dan
tersebut;
sakit; dan
(3) Ketentuan lebih lanjut tentang persyaratan dan tatacara pendirian BDRS
Bagian Kedua
Pasal 26
Menteri.
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Ketiga
Penelitian dan Pengembangan
Pasal 27
(1) Untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, UTD
Bagian Keempat
Pengelolaan Limbah
Pasal 28
UTD wajib melaksanaan pengelolaan limbah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Bagian Kelima
Audit
11
Pasal 29
(1) Dalam rangka meningkatkan keamanan dan mutu pelayanan
transfusi darah, setiap UTD wajib dilakukan audit.
(3) Audit dilakukan oleh suatu Tim yang dibentuk dan ditetapkan oleh
Menteri.
Bagian Keenam
Jejaring
Pasal 30
(2) Jejaring sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi semua institusi
terkait dengan pelayanan transfusi darah.
(3) Jejaring sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari jejaring tingkat
Nasional, Propinsi dan Kabupaten/kota.
Bagian Ketujuh
Tanda Penghargaan
Pasal 31
12
(3)Ketentuan tentang persyaratan dan tatacara pemberian penghargaan
diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri.
BAB X
PEMBIAYAAN
Pasal 32
(1) Pembiayaan pengelolaan darah transfusi dapat bersumber dari
penerimaan UTD, anggaran Pemerintah, anggaran Pemerintah Daerah,
subsidi Pemerintah, subsidi Pemerintah Daerah atau sumber lain sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mengalokasikan dana
untuk subsidi pembiayaan pengelolaan darah transfusi.
(3) Subsidi pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
berupa bahan, peralatan, dana atau fasilitas lainnya.
Pasal 33
(1) Penggunaan darah untuk kepentingan pelayanan kesehatan dapat
dikenakan biaya.
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan
Menteri.
BAB XI
13
TANGGUNG JAWAB HUKUM
Pasal 34
Risiko transfusi darah atau kejadian ikutan pasca transfusi darah tidak menjadi
BAB XII
PENCATATAN DAN PELAPORAN
Pasal 35
(1) UTD dan BDRS wajib melakukan pencatatan dan pelaporan
penyelenggaraan pengelolaan dan pelayanan transfusi darah.
BAB XIII
Pasal 36
14
d. meningkatkan kerjasama antara UTD dan BDRS.
Pasal 37
(2) Komite nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari
unsur-unsur Wakil Pemerintah, PMI, Perguruan Tinggi, Perhimpunan
Rumah Sakit, Organisasi Profesi, dan Lembaga Kemasyarakatan terkait
lainnya.
(3) Komite sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) bertugas
:
a. memberikan masukan pertimbangan kepada Pemerintah dalam
rangka pengambilan langkah kebijakan;
b. merumuskan arah kebijakan dan strategi nasional transfusi darah.
c. melakukan kerja sama dengan berbagai instansi pemerintah terkait
dan badan internasional;
BAB XIV
KETENTUAN SANKSI
Pasal 38
(1) Dengan tidak mengurangi ancaman pidana sebagaimana diatur
dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, tenaga
kesehatan dan fasilitas kesehatan yang melakukan pelanggaran terhadap
ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini dapat
dikenakan tindakan administratif.
(2) Setiap UTD atau BDRS yang telah ada, dalam jangka waktu 2
(dua) tahun sejak ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini harus
menyesuaikan dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan
Pemerintah ini.
BAB XVI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 40
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor
18 Tahun 1980 tentang Transfusi Darah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1980 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3165), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 41
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal …………….
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal .....................
16
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ANDI MATTALATA
PENJELASAN
ATAS
RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
TENTANG
PELAYANAN TRANSFUSI DARAH
UMUM
Dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-
tingginya perlu diselenggarakan berbagai upaya kesehatan yang dilaksanakan
melalui kegiatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit,
penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan.
Pelayanan transfusi darah sebagai salah satu upaya kesehatan dalam rangka
penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan sangat membutuhkan
ketersediaan darah atau komponen darah yang cukup, aman, mudah diakses
dan terjangkau oleh masyarakat.
17
Keberhasilan pengelolaan pelayanan transfusi darah sangat tergantung pada
ketersediaan donor, sarana, tenaga, dan pendanaan, oleh karena itu
pengelolaannya harus dilakukan secara terpadu dan berkesinambungan dan
dilaksanakan secara terkoordinasi antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan
partisipasi aktif masyarakat termasuk Palang Merah Indonesia sebagai mitra
Pemerintah.
Pelayanan darah dalam arti luas mencakup kepentingan publik yang mendasar
yang menjangkau kebutuhan jutaan manusia, oleh karena itu kebijakan
pengaturan dalam Peraturan Pemerintah ini harus dilaksanakan dengan tetap
berlandaskan pada asas perikemanusiaan, perlindungan dan keselamatan
pasien dan mendahulukan kepentingan masyarakat luas.
18
pasien, tenaga kesehatan dan donor yang memperoleh pelayanan transfusi
darah;
2. Tanggung jawab pemerintah, pemerintah daerah dan peran serta aktif
masyarakat dalam membantu pemerintah;
3. Pengaturan persyaratan donor, pendataan, dan pelestarian donor;
4. Penyelenggaraan pelayanan transfusi darah mulai dari pengambilan,
penyimpanan, pengolahan pendistribusian, penyaluran dan penyerahan
darah untuk pelayanan kesehatan;
5. Pengaturan organisasi pelayanan transfusi darah;
6. Pengaturan pengiriman dan penerimaan darah dari dan ke luar Indonesia;
7. Pengaturan penerapan teknologi kedokteran dalam pelayanan transfusi
darah;
8. Pengaturan pembiayaan, pemberian penghargaan, pencatatan dan
pelaporan, tanggung jawab hukum, serta pembinaan dan pengawasan.
Pasal 1
Cukup Jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan:
a. Asas kemanusiaan yaitu bahwa dalam pelayanan transfusi
darah harus memberikan perlakuan yang sama dengan tidak
membedakan suku, bangsa, agama, status sosial, dan ras;
b. Asas keseimbangan yaitu bahwa dalam pelayanan transfusi
darah tetap menjaga keserasian serta keselarasan antara
kepentingan individu dan masyarakat;
c. Asas perlindungan dan keselamatan pasien, tenaga
kesehatan dan donor yaitu bahwa pelayanan transfusi darah tidak
hanya memberikan pelayanan kesehatan semata, tetapi harus
mampu memberikan peningkatan derajat kesehatan dengan tetap
memperhatikan perlindungan dan keselamatan pasien, tenaga
kesehatan dan donor.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Ketersediaan darah untuk kepentingan pelayanan kesehatan tidak hanya
menjadi tanggung jawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah semata,
19
namun memerlukan peran serta aktif masyarakat. Peran serta aktif
masyarakat dapat dilakukan melalui keikutsertaan menjadi donor darah
secara sukarela dan berkesinambungan.
Pelaksanaan tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah yang
dimaksud dalam pasal ini adalah tanggung jawab yang sesuai dengan
tugas dan fungsinya masing-masing sejalan dengan amanat pelaksanaan
otonomi daerah.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ”pengerahan” adalah kegiatan
mengumpulkan orang-orang yang bersedia menjadi donor darah.
Ayat (2)
Peranan PMI, Pemerintah Daerah dan Organisasi kemasyarakatan
dimaksudkan untuk dapat menjaring sebanyak-banyaknya donor
darah dalam rangka pemenuhan kebutuhan dan ketersediaan darah
untuk pelayanan kesehatan.
Pasal 8
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “tanpa imbalan apapun” adalah donor darah
harus didasarkan pada kesukarelaan, tanpa mengharapkan
penggantian uang maupun barang.
Ayat (2)
Syarat kesehatan yang dimaksud dalam ayat ini antara lain meliputi
keadaan umum calon donor tidak tampak sakit, tidak dalam
pengaruh obat-obatan, memenuhi ketentuan umur donor, berat
badan, suhu tubuh, nadi, tekanan darah, hemoglobin, ketentuan bagi
calon donor setelah haid, kehamilan dan menyusui, jarak
penyumbangan darah dan persyaratan lainnya meliputi keadaan
kulit donor, riwayat transfusi darah, penyakit infeksi, riwayat imunisasi
dan vaksinasi, riwayat operasi, riwayat pengobatan, obat-obat
narkotika dan alkohol serta ketentuan tato, tindik, dan tusuk jarum.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “perilaku hidupnya” adalah kebiasaan yang
berdampak buruk bagi kesehatan seperti penyalahgunaan obat
dengan jarum suntik, seks bebas (termasuk homoseksualitas,
biseksualitas), melakukan pelukaan kulit, tato dan upacara dengan
darah (melukai).
Ayat (4)
20
Cukup jelas.
Pasal 9
Darah sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa kepada setiap insan
tidaklah sepantasnya dijadikan obyek jual beli untuk mencari keuntungan,
biarpun dengan dalih untuk menyambung hidup.
Darah bukanlah komoditi yang diperdagangkan akan tetapi bersifat upaya
kemanusiaan yang kebutuhannya sangat diperlukan dalam rangka upaya
menyelamatkan nyawa manusia dari kematian. Oleh karena itu darah
tidak selayaknya diperjual belikan dengan alasan apapun.
Pasal 10
Ayat (1)
Pendataan melalui sistem informasi dilakukan dalam rangka
pelestarian donor menjadi donor tetap dan penilaian untuk
pemberian penghargaan. Disamping itu dalam pendataan juga perlu
dibuat catatan dalam bentuk kartu peserta/kegiatan donor, catatan
berkaitan rincian pribadi donor, catatan medis donor dan catatan
hasil penilaian berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan pada
donasi sebelumnya. Melalui sistem kartu dapat disusun donor
berdasarkan tanggal kapan yang bersangkutan harus kembali untuk
mendonasikan diri lagi, disusun menurut abjad atau disusun
berdasarkan golongan darah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 11
Kerahasiaan adalah bagian vital dari pelayanan profesional. Informasi
yang diberikan oleh donor adalah bersifat pribadi dan diberikan hanya
untuk membantu pelayanan dalam menjamin keamanan penyediaan
darah. Rahasia ini tidak dapat dibuka tanpa seizin donor atau sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tindakan
pelayanan transfusi darah juga harus dicatat secara lengkap, tepat waktu
dan akurat sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Catatan donor memuat
informasi tentang data pribadi, pernyataan persetujuan, riwayat medis
donor, catatan hasil pemeriksaan termasuk hasil tes laboratorium atas
darah donor dan apakah donor termasuk yang ditunda baik sementara
atau seterusnya.
Pasal 12
Ayat (1)
Tempat tertentu adalak tempat di luar fasilitas pelayanan kesehatan
yang memenuhi persyaratan kesehatan untuk dapat dilkukannya
pengambilan darah.
21
Ayat (2)
Penentuan persyaratan pemeriksaan kesehatan donor dimaksudkan
untuk tetap menjaga kesehatan donor dan untuk mencegah
terjadinya kemungkinan penularan penyakit kepada pasien yang
menerima darah.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan ”Fraksionasi Plasma” adalah pemilahan
derivat plasma menjadi produk plasma dengan menerapkan
teknologi dalam pengolahan darah.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
22
Yang dimaksud dengan ”Sistem Tertutup” adalah suatu mekanisme
pendistribusian darah yang mengikuti standar operasional prosedur
pelayanan di rumah sakit tanpa melibatkan pihak lain seperti
keluarga pasien.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ”Fasilitas Pelayanan Kesehatan Lain” adalah
rumah sakit yang tidak memiliki BDRS.
Darah yang disalurkan dan diserahkan adalah darah yang telah
menjalani proses skrining/uji saring terhadap Infeksi Menular Lewat
Transfusi Darah (IMLTD).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan uji silang serasi dalam ayat ini adalah
tindakan pengujian terhadap kesesuaian antara darah donor dengan
darah pasien sebelum tindakan transfusi dilakukan. Uji silang
dilakukan untuk memastikan bahwa tidak ada antibodi-antibodi pada
darah pasien yang akan bereaksi dengan darah donor bila
ditransfusikan atau sebaliknya.
23
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Pelayanan Apheresis” adalah penerapan
teknologi medis berupa proses pengaliran darah dari donor atau
pasien melalui suatu alat yang memisahkan salah satu pilihan dan
mengembalikan selebihnya ke dalam sirkulasi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Penentuan indikasi medis sekurang-kurangnya oleh 2 (dua) orang
dokter yang kompeten.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
24
Koordinasi dimaksudkan untuk melibatkan peran aktif pemerintah
daerah dalam penyelenggaraan pengelolaan darah.
Pasal 24
Ayat (1)
Pembentukan UTD harus mempertimbangkan kebutuhan darah dan
kemampuan tersedianya penyumbang darah di wilayah tersebut.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Penelitian dilakukan melalui penapisan (assesment) dan penerapan
teknologi transfusi darah yang sesuai dengan kebutuhan setempat.
Kegiatan pengembangan meliputi pengembangan produksi lokal dan
peralatan yang memungkinkan dapat dibuat oleh UTD.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
25
Pasal 30
Ayat (1)
Pelaksanaan pelayanan transfusi darah membutuhkan kerjasama
yang erat. Jejaring ini merupakan wadah komunikasi aktif antar
unsur-unsur terkait yaitu UTD, rumah sakit dan Dinas Kesehatan
dengan pelayanan transfusi darah sehingga permasalahan yang
dapat menyebabkan tidak terwujudnya pelayanan yang berkualitas
dapat dihindari/ditanggulangi. Dalam upayanya perlu didukung oleh
Pemerintah, Pemerintah Daerah, organisasi profesi dan masyarakat
sehingga dapat tersedia darah yang aman, jumlah cukup, tepat
waktu, mudah diakses dan pemakaian rasional.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Ayat (1)
Perhitungan biaya pengganti darah ditetapkan berdasarkan atas
komponen-komponen sebagai berikut:
a. Komponen jasa
b. Komponen administrasi
c. Komponen bahan dan alat habis pakai
Ayat (2)
26
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
27
Nomor : HK.01.01/i/294/2009 Jakarta, 28 April 2009
Lampiran : 1 (satu)
Perihal : RPP Transfusi Darah
Kepadayang terhormat,
SAM BIDANG TEKNOLOGI KESEHATAN
DAN GLOBALISASI
di
J A K A R T A.
Dengan hormat,
28
dilakukan proses harmonisasi secara interdep sebelum
diteruskan kepada Bapak Presiden untuk ditetapkan menjadi
Peraturan Pemerintah
4. Apabila Ibu telah menyetujuinya kami telah siapkan laporan
kepada Pimpinan Departemen Kesehatan untuk
memperoleh persetujuan dan surat pengantar Ibu Menteri
Kesehatan kepada Menteri Hukum dan Ham sebagaimana
drat surat terlampir.
ttd
BUDI SAMPURNA
Tembusan kepada Yth
Bapak Sekretaris Jenderal (sebagai laporan)
Kepadayang terhormat,
PIMPINAN DEPARTEMEN KESEHATAN
di
J A K A R T A.
Dengan hormat,
29
tuntutan dalam rangka penyediaan darah untuk kebutuhan
pelayanan kesehatan maupun antisipasi kebutuhan darah
dalam keadaan bencana, oleh karena itu perlu
disempurnakan.
ttd
BUDI SAMPURNA
30
Nomor : 358/MENKES/V/2009 Jakarta, 13 Mei 2009
Lampiran : 1 (satu)
Perihal : RPP Transfusi Darah
31
Tahun 1982 tentang Transfusi Darah yang telah dilakukan
pembahasan sesuai ketentuan Peraturan Presiden No. 68
Tahun 2004 tentang Tatacara Mempersiapkan RUU dan
RPP.
4. Selanjutnya bersama ini kami sampaikan kepada Saudara
RPP dimaksud untuk dilakukan harmonisasi dan
penyelesaian selanjutnya sesuai ketentuan yang berlaku.
(Terlampir)
MENTERI KESEHATAN,
ttd
32