Anda di halaman 1dari 23

BAB 1

PENDAHULUAN

Evaluasi preanestesi adalah proses penilaian klinis sebelum pengiriman

perawatan anestesi untuk prosedur operasi maupun nonoperasi.1 Preoperatif

merupakan fase dimulainya keputusan untuk menjalani operasi atau pembedahan

dibuat dan berakhir ketika pasien dipindahkan ke meja operasi.2

Persiapan preanestesi dan preoperatif dilakukan untuk memantapkan

hubungan dokter dengan pasien. Penting untuk mendapatkan riwayat penyakit

pasien dan melakukan pemeriksaan yang benar untuk menilai kesehatan medis

dan surgical pasien, khususnya untuk menilai derajat berat suatu penyakit sistemik

dan risiko morbiditas perioperatif. Pasien sebaiknya diberi penjelasan yang

singkat dan tepat mengenai prosedur dan risikonya, menjawab pertanyaan mereka,

dan diharapkan dapat mengurangi ketakutan dan kecemasan mereka pada kasus-

kasus elektif.2

Penilaian preanestesi dan preoperatif sangat penting untuk mencapai jalur

operasi yang berhasil dan harus dilakukan oleh seorang yang terlatih.3 Layanan ini

umumnya diarahkan berdasarkan kuesioner standar dengan tujuan untuk

mengidentifikasi pasien yang berisiko tinggi mengalami komplikasi. Pasien

tersebut kemudian dirujuk ke tim anestesi untuk mendapatkan saran.4 Penilaian

preanestesi dan preoperatif yang efektif memastikan perencanaan telah tepat

berdasarkan protokol yang telah ditetapkan yaitu pedoman puasa dan pemberian

obat-obatan reguler.4 Pasien juga diberi kesempatan untuk mengajukan

pertanyaan tentang proses operasi untuk meminimalkan kecemasan.

1
2

Penilaian preanestesi dan preoperatif idealnya harus dilakukan sebelum

hari operasi untuk mengurangi tingkat pembatalan dan memaksimalkan efisiensi.5

Anestesi untuk operasi meliputi anestesi umum, regional, dan lokal. Jenis anestesi

yang dipilih akan dipengaruhi oleh persyaratan bedah, pertimbangan khusus

pasien, pengalaman ahli anestesi, dan fasilitas serta personil yang ada. Idealnya

harus cepat dalam onset dan offset, serta memberikan risiko minimal mual dan

muntah pascaoperasi, pusing, atau kantuk.4


3

BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Gambaran Pasien Preanestesi dan Preoperatif

Tindakan pembedahan merupakan ancaman potensial maupun aktual pada

integritas seseorang yang dapat membangkitkan reaksi stres fisiologis maupun

psikologis. Pasien preoperatif akan mengalami reaksi emosional berupa

kecemasan. Berbagai alasan yang dapat menyebabkan ketakutan atau kecemasan

pasien dalam menghadapi pembedahan antara lain:6

1. Takut nyeri setelah pembedahan.

2. Takut terjadi perubahan fisik, menjadi buruk rupa, dan tidak berfungsi

normal (body image).

3. Takut keganasan (bila diagnosis yang ditegakkan belum pasti).

4. Takut atau cemas mengalami kondisi yang sama dengan orang lain yang

mempunyai penyakit yang sama.

5. Takut menghadapi ruang operasi, peralatan pembedahan, dan petugas.

6. Takut mati saat dibius atau tidak sadar lagi.

7. Takut operasi gagal.

Ketakutan dan kecemasan yang mungkin dialami pasien dapat

mempengaruhi respon fisiologis tubuh yang ditandai dengan adanya perubahan-

perubahan fisik seperti: meningkatnya frekuensi nadi dan pernapasan, gerakan-

gerakan tangan yang tidak terkontrol, telapak tangan yang lembab, gelisah,

menanyakan pertanyaan yang sama berulang kali, sulit tidur, dan sering

berkemih.6
4

Persiapan yang baik selama periode operasi membantu menurunkan risiko operasi

dan meningkatkan pemulihan pasca bedah. Tujuan tindakan preanestesi dan

preoperatif dimaksudkan untuk kebaikan bagi pasien dan keluarganya yang

meliputi:7

1. Menunjukkan rasa takut dan cemasnya hilang atau berkurang (baik

ungkapan secara verbal maupun ekspresi muka).

2. Dapat menjelaskan dan mendemonstrasikan mobilisasi yang dilakukan

setelah tindakan operasi.

3. Terpelihara keseimbangan cairan, elektrolit, dan nutrisi.

4. Tidak terjadi vomitus karena aspirasi selama pasien dalam pengaruh

anestesi.

5. Tidak ada atau berkurangnya kemungkinan terjadi infeksi setelah tindakan

operasi.

6. Mendapatkan istirahat yang cukup.

7. Menjelaskan tentang prosedur operasi, jadwal operasi, serta menandatangani

informed consent.

8. Kondisi fisiknya dapat dideteksi selama operasi berlangsung.

2.2 Konsultasi Anestesi

Konsultasi berbeda dengan penilaian atau asesmen. Penilaian (medis atau

keperawatan) berkontribusi pada penilaian status kesehatan pasien pada suatu

waktu tertentu sedangkan konsultasi (medis) melibatkan penilaian sebagai bagian

dari proses yang lebih luas dan meliputi:8


5

1. Memastikan bahwa kesehatan pasien telah optimal.

2. Menyiapkan rencana pengelolaan perioperatif.

3. Memungkinkan diskusi dengan pasien dan/ atau wali.

4. Mendapatkan informed consent untuk anestesi dan prosedur terkait.

Proses yang terlibat dalam memberikan konsultasi preanestesi yang aman

dan efektif akan berbeda dengan jenis praktik dan lingkungan di mana praktisi

medis bertanggung jawab atas tindakan anestesi. Kesulitan dalam melakukan

konsultasi preaestesi yang memadai untuk pasien yang dirawat pada hari

pembedahan atau prosedur medis dilakukan sering kali ditemukan. Idealnya

pasien tersebut harus ditinjau sebelum masuk ruang operasi. Jika baru akan

dilakukan saat pasien masuk, daftar perencanaan harus mengakomodasi waktu

tambahan yang diperlukan untuk konsultasi pra-anestesi.9

Sebagai bagian dari proses pra-penerimaan, kuesioner tertulis atau digital,

penilaian skrining, atau penilaian melalui telepon yang terdokumentasi oleh staf

medis atau perawat dapat digunakan untuk melengkapi konsultasi selama

persyaratan dipatuhi. Bahkan jika penilaian preanestesi awal telah dilakukan oleh

orang lain, ahli anestesi atau praktisi medis yang bertanggung jawab untuk

mengelola anestesi harus diyakinkan bahwa semua elemen penilaian tersebut

telah tertangani secara memadai.9 Konsultasi harus dilakukan pada waktu yang

tepat sebelum anestesi dan prosedur terencana dilakukan untuk memungkinkan

pertimbangan yang memadai atas semua faktor yang terkait dengan penilaian dan

pengoptimalan operasi, anestesi, dan manajemen nyeri. Hal ini sangat penting
6

karena terdapat beberapa kondisi yang mengharuskan persyaratan tersebut

dipenuhi, antara lain:10

1. Terdapat morbiditas pasien yang signifikan

2. Rencana operasi besar

3. Terdapat anestesi dan manajemen nyeri yang spesifik

Namun dalam beberapa kasus, konsultasi awal tidak akan mungkin

dilakukan (misalnya operasi darurat, pada bangsal persalinan, serta di departemen

perawatan darurat dan kritis) namun konsultasi tidak boleh diubah kecuali bila

kesejahteraan pasien secara keseluruhan akan menimbulkan risiko.8

Fasilitas konsultasi preanestesi harus mencakup peralatan yang sesuai

seperti fasilitas mencuci tangan atau desinfektan dan ruang yang memungkinkan

konsultasi dan pemeriksaan klinis secara privasi. Ruang konsultasi yang

dilengkapi dengan baik atau kamar tidur tunggal sangat ideal. Untuk prosedur

elektif, tidak tepat bila konsultasi terjadi di ruang operasi atau di ruang anestesi.

Pada keadaan tertentu (seperti operasi darurat) konsultasi dapat terjadi di ruang

tunggu (holding room), ruang anestesi, atau ruang pemulihan (recovery room)

selama tidak menimbulkan masalah mengenai kerahasiaan pasien, privasi,

keterlibatan orang lain jika diperlukan, otonomi, agama, dan budaya.9

2.3 Persiapan Preanestesi

2.3.1 Anamnesis

Anamnesis pada preanestesi meliputi:

1. Keluhan utama
7

2. Riwayat penyakit sekarang

3. Riwayat anestesi dan operasi sebelumnya

4. Riwayat penyakit sistemik (diabetes melitus, hipertensi, kardiovaskuler,

TB, asma)

5. Pemakaian obat tertentu, seperti antidiabetik, antikoagulan, kortikosteroid,

antihipertensi

6. Riwayat diet (makan atau minum terakhir. Jelaskan perlunya puasa

sebelum operasi)

7. Riwayat sosial atau kebiasaan-kebiasaan pasien (perokok berat, pemakai

alkohol atau obat-obatan)

8. Riwayat penyakit keluarga

2.3.2 Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik pada preanestesi berpatokan pada B6:11

1. Breath

Keadaan jalan napas, bentuk pipi dan dagu, mulut dan gigi, lidah dan

tonsil. Nilai apakah jalan napas mudah tersumbat, apakah intubasi akan sulit,

apakah pasien ompong atau menggunakan gigi palsu atau mempunyai rahang

yang kecil yang akan mempersulit laringoskopi. Nilai juga apakah terdapat

gangguan membuka mulut atau kekakuan leher, pembengkakan abnormal pada

leher yang mendorong saluran napas bagian atas.

Tentukan pula frekuensi napas, tipe napas (abdominal, torakal),

keberadaan napas dengan bantuan otot pernapasan (retraksi kosta). Nilai pula

keberadaan ronki, wheezing, dan suara napas tambahan (stridor).


8

2. Blood

Nilai tekanan nadi, pengisian nadi, tekanan darah, perfusi perifer. Nilai

syok atau perdarahan. Lakukan pemeriksaan jantung.

3. Brain

Nilai skor Glasgow Coma Scale (GCS). Nilai adakah kelumpuhan saraf

atau kelainan neurologis dan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakrnial (TIK).

4. Bladder

Nilai produksi urin dan lakukan pemeriksaan faal ginjal.

5. Bowel

Nilai adakah pembesaran hepar, bising usus dan peristaltik usus, cairan

bebas dalam perut, atau massa abdominal.

6. Bone

Nilai apakah terdapat kaku kuduk atau patah tulang. Periksa bentuk leher

dan tubuh, serta kelainan tulang belakang.

2.3.3 Pemeriksaan laboratorium dan radiologi

Pemeriksaan standar yaitu darah rutin (kadar hemoglobin, leukosit,

trombosit, bleeding time, clotting time atau APTT dan PPT). Pemeriksaan

penunjang lain yang diperlukan adalah: pemeriksaan kadar gula darah puasa, liver

function test, renal function test, pemeriksaan foto toraks, serta pemeriksaan

pelengkap atas indikasi seperti gula darah 2 jam post prandial, pemeriksaan EKG
9

untuk pasien >40 tahun. Pada operasi besar dan mungkin bermasalah periksa juga

kadar albumin, globulin, elektrolit darah, CT scan, faal paru, dan faal hemostasis.1

2.4 Persiapan Penyulit yang Akan Terjadi

2.4.1 Penyakit kardiovaskular

Zat anestesi membuat jantung sensitif terhadap kerja katekolamin yang

dilepaskan. Selanjutnya dapat terjadi kemunduran hemodinamik dan dapat terjadi

aritmia, takikardi ventrikular sampai fibrilasi ventrikular. Terapi oksigen dan

pemantauan EKG harus diteruskan sampai pasca operasi. Pada pasien dengan

gagal jantung, perfusi organ menjadi buruk. Ambilan gas dan uap inhalasi

terhalangi.12

Pada pasien hipertensi, terapi antihipertensi harus diteruskan sepanjang

operasi. Bahaya hipertensi dengan risiko gangguan kardiovaskular setelah

penghentian obat jauh lebih berat dibandingkan dengan risiko karena meneruskan

terapi.12

2.4.2 Penyakit pernapasan

Penyakit saluran napas dan paru-paru mempengaruhi oksigenasi, eliminasi

karbondioksida, ambilan gas-gas inhalasi, dan meningkatkan insidens infeksi

pascaoperasi. Bronkospasme berat yang mengancam jiwa kadang-kadang timbul

pada pasien asma atau pecandu nikotin. Penundaan operasi elektif pada pasien

yang menderita infeksi saluran napas atas karena efek obat sedatif dan atropin,

dan penurunan respon imunologi yang terjadi karena anestesi umum dapat

meningkatkan risiko infeksi pascaoperasi.13


10

2.4.3 Diabetes mellitus

Hampir semua obat anestesi bersifat meningkatkan glukosa darah.

Penderita diabetes yang tidak stabil seharusnya tidak dianestesi untuk

pembedahan elektif, kecuali jika kondisi bedah itu sendiri merupakan penyebab

ketidakstabilan tersebut.14

2.4.4 Penyakit hati

Metabolisme obat-obatan anestesi akan terganggu akibat adanya gagal

hati. Obat-obatan analgesik dan sedatif juga menjadi memiliki masa kerja yang

panjang karena metabolisme oleh otak juga berubah karena penyakit hati.

Anestesi pada pasien ikterus mempunyai dua risiko nyata. Pertama adalah

perdarahan akibat kekurangan protrombin. Risiko yang kedua adalah gagal ginjal

akibat bilirubin yang berakumulasi pada tubulus renalis.15

2.5 Persiapan Preoperatif

Secara umum, persiapan pembedahan antara lain:

2.5.1 Pengosongan lambung

Pengosongan lambung dilakukan dengan cara puasa atau memasang

NGT. Lama puasa pada orang dewasa kira-kira 6-8 jam, anak-anak 4-6 jam, bayi

2 jam (stop ASI). Pada operasi darurat, pasien tidak puasa, maka dilakukan

pemasangan NGT untuk dekompresi lambung.

Tujuan puasa sebelum prosedur bedah adalah mengurangi risiko

regurgitasi perioperatif yang dapat menyebabkan sindrom aspirasi. Hal ini

mungkin terkait dengan pneumonitis kimia, pneumonia bakteri, atau sumbatan


11

jalan napas tergantung pada apakah bahan asing (makanan) dan/ atau cairan

gastrointestinal (asam lambung, empedu, atau isi usus lainnya) yang teraspirasi ke

dalam paru-paru. Pasien tersebut mungkin memerlukan perawatan di ICU.

Pedoman puasa tidak hanya mengacu pada situasi yang berkaitan dengan

pemberian anestesi umum tetapi juga mencakup anestesi regional dan sedasi.9

Puasa berkepanjangan selama lebih dari 6 jam yang gagal mencapai

pengosongan perut secara optimal memiliki efek metabolik yang mengganggu

serta berdampak pada kesehatan pasien. Pertimbangan dapat diberikan untuk

pemberian cairan bening bebas karbohidrat yang dikembangkan secara khusus

untuk penggunaan perioperatif hingga dua jam sebelum dimulainya anestesi.

Durasi puasa harus cukup untuk meminimalkan risiko aspirasi tetapi orang

dewasa dan anak-anak harus diminta untuk minum cairan bening hingga 2 jam

sebelum operasi elektif. Volume hingga 200 ml per jam sampai dua jam sebelum

prosedur saat ini direkomendasikan untuk orang dewasa. Batas volume yang aman

belum diidentifikasi secara jelas dan bervariasi dari satu pasien ke pasien lainnya,

namun banyak penelitian menunjukkan bahwa pada orang dewasa, aman untuk

pemberian cairan hingga 400 mL sebelum operasi. Usulan waktu anestesi atau

sedasi harus diperhitungkan dan pasien diinstruksikan sesuai dengan hal tersebut.

Praktik "puasa dari tengah malam" untuk prosedur bedah pada pagi hari sesuai

untuk makanan padat tapi tidak sesuai untuk cairan bening dalam kebanyakan

keadaan.16

Pedomannya adalah sebagai berikut:9,16


12

1. Untuk orang dewasa dengan prosedur elektif, pembatasan makanan padat

dapat diberikan hingga enam jam sebelum anestesi dan cairan bening

dapat diambil hingga dua jam sebelum anestesi. Cairan bening dianggap

sebagai air, jus buah bebas pulp, teh hijau, dan kopi yang jernih, tidak

termasuk minuman berbasis partikulat atau susu.

2. Untuk anak-anak di atas usia enam bulan dengan prosedur elektif,

pembatasan ASI atau susu formula dan makanan padat dapat diberikan

hingga enam jam dan cairan bening sampai dua jam sebelum anestesi.

3. Untuk bayi yang berusia di bawah enam bulan dengan prosedur elektif,,

pemberian susu formula dapat diberikan sampai empat jam, ASI sampai

tiga jam, dan cairan bening sampai dua jam sebelum anestesi.

4. Obat yang telah diresepkan dapat diambil kembali degan menghirup air

kurang dari dua jam sebelum anestesi kecuali jika terdapat indikasi lain

(misalnya obat hipoglikemia oral dan antikoagulan).

5. Antagonis H2, proton pump inhibitor, atau agen lain yang mengurangi

sekresi dan keasaman lambung harus dipertimbangkan untuk pasien

dengan peningkatan risiko regurgitasi lambung.

Pedoman puasa ini mungkin tidak berlaku untuk kelompok pasien tertentu

pada peningkatan risiko regurgitasi perioperatif atau muntah. Hal ini termasuk

pasien yang memiliki prosedur darurat dan mereka yang diketahui atau dicurigai

terdapat penudaan pengosongan lambung atau terdapat gangguan motilitas

esofagus, serta pasien kebidanan dalam persalinan. Pasien yang telah menjalani

operasi bariatrik juga termasuk dalam kategori ini. Praktisi yang bertanggung
13

jawab perlu mengeluarkan kebijaksanaan mengenai kecukupan puasa

dibandingkan dengan risiko aspirasi. Dalam situasi seperti ini, mungkin perlu

untuk menunda prosedur yang direncanakan dan/ atau menggunakan manuver

pelindung saluran napas, baik fisik maupun farmakologis.9

2.5.2 Pengosongan kandung kemih

Pengosongan kandung kemih dilakukan dengan melakukan pemasangan

kateter. Selain untuk pengosongan isi bladder tindakan kateterisasi juga

diperlukan untuk mengobservasi keseimbangan cairan.17

2.5.3 Informed consent (surat izin operasi dan anestesi)

Selain dilakukannya berbagai macam pemeriksaan penunjang terhadap

pasien, hal lain yang sangat penting terkait dengan aspek hukum dan tanggung

jawab dan tanggung gugat, yaitu informed consent. Baik pasien maupun

keluarganya harus menyadari bahwa tindakan medis, operasi sekecil apapun

mempunyai risiko. Oleh karena itu setiap pasien yang akan menjalani tindakan

medis, wajib menuliskan surat pernyataan persetujuan dilakukan tindakan medis

(pembedahan dan anastesi).18

Informed consent adalah wujud dari upaya rumah sakit menjunjung tinggi

aspek etik hukum, maka pasien atau orang yang bertanggung jawab terhdap

pasien wajib untuk menandatangani surat pernyataan persetujuan operasi dan

anestesi. Artinya apapun tindakan yang dilakukan pada pasien terkait dengan

pembedahan, keluarga mengetahui manfaat dan tujuan serta segala risiko dan

konsekuensinya. Pasien maupun keluarganya sebelum menandatangani surat


14

pernyataan tersebut akan mendapatkan informasi yang detail terkait dengan segala

macam prosedur pemeriksaan, pembedahan, serta pembiusan yang akan dijalani.

Jika petugas belum menjelaskan secara detail, maka pihak pasien atau

keluarganya berhak untuk menanyakan kembali sampai betul-betul paham. Hal ini

sangat penting untuk dilakukan karena jika tidak maka penyesalan akan dialami

oleh pasien atau keluarga setelah tindakan operasi yang dilakukan ternyata tidak

sesuai dengan gambaran keluarga.18

Berikut ini merupakan contoh form informed consent:19

Gambar 2.1 Contoh Form Informed Consent


15

2.5.4 Pemeriksaan fisik ulang

1. Keadaan umum: berat badan, tinggi badan, tanda-tanda vital

2. Status gizi: obesitas, kaheksia

3. Status psikis

4. Sistemik:

a. Kepala leher:

i. Mulut : bentuk lidah, derajat Mallampati

ii. Gigi geligi: gigi palsu, gigi goyah

iii. Mandibula: bentuk mandibular

iv. Hidung: tes patensi lubang hidung, obstruksi

v. Leher: bentuk leher (kesan: pendek atau kaku), penyakit di leher

(sikatrik, struma, tumor) yang akan menyulitkan intubasi.

vi. Asesori: lensa kontak

b. Toraks (jantung dan paru): periksa tanda-tanda penyakit pernapasan dan

sirkulasi.

c. Abdomen: sirosis, distensi

d. Ekstremitas: lihat bentuk vena, tanda-tanda edema

e. Vertebra: jika akan dilakukan anestesi subaraknoid ataupun epidural.

Lihat adanya skoliosis, athrosis, infeksi kulit di punggung

f. Sistem persarafan

2.5.5 Pelepasan kosmetik, gigi palsu, lensa kontak, dan asesori lainnya.

2.5.6 Premedikasi
16

Dalam praktik sehari-hari sering diberikan kombinasi beberapa obat untuk

mendapat hasil yang diinginkan, misalnya:20

1. Kombinasi Narkotik + Benzodiazepin + Antikolinergik

2. Kombinasi Narkotik + Butyrophenon + Antikolinergik

3. Kombinasi Narkotik + Antihistamin + Antikolinergik

Pada keadaan tertentu (misalnya pasien obstetrik) perlu diberikan antasida.

1. Barbiturat

Kebanyakan pasien yang telah direncanakan untuk menjalani operasi akan

lebih baik bila diberikan hipnotik malam sebelum hari operasi, karena rasa cemas,

hospitalisasi, atau keadaan sekitar yang tidak biasa dapat menyebabkan insomnia.

Untuk itu dapat digunakan golongan barbiturat per oral sebelum waktu tidur.

Selain itu barbiturat juga digunakan untuk obat premedikasi.

Keuntungan penggunaan obat ini ialah dapat menimbulkan sedasi, efek

terhadap depresi respirasi minimal (ini dibuktikan dengan tidak berubahnya

respon ventilasi terhadap CO2), depresi sirkulasi minimal, dan tidak menimbulkan

efek mual dan muntah. Obat ini efektif bila diberikan per oral. Sayang untuk

bangsa Indonesia, premedikasi per oral belum dapat dibudayakan (terutama bagi

golongan menengah ke bawah) karena masih ditakutkan bila di samping minum

obat, pasien tidak dapat menahan diri untuk tidak minum lebih banyak. Kerugian

penggunaan barbiturat termasuk tidak adanya efek analgesik, terjadinya

disorientasi terutama pada pasien yang kesakitan, serta tidak ada antagonisnya.

2. Narkotik
17

Morfin dan petidin merupakan narkotik yang paling sering digunakan

untuk premedikasi. Keuntungan penggunaan obat ini ialah memudahkan induksi,

mengurangi kebutuhan obat anestesi, menghasilkan analgesia pra dan pasca-

bedah, memudahkan dalam melakukan pemberian pernapasan buatan, dapat

diantagonisir dengan naloxon. Narkotik ini dapat menyebabkan vasodilatasi

perifer, sehingga dapat menyebabkan hipotensi ortostatik. Hal ini akan lebih berat

lagi bila digunakan pada pasien dengan hipovolemia.

Berlawanan dengan barbiturat, narkotik ini dapat menyebabkan depresi

pusat pernapasan di medulla oblongata yang akan dapat ditunjukkan dengan

turunnya respon terhadap CO2. Mual dan muntah menunjukkan adanya stimulasi

narkotik pada pusat muntah di medulla. Bila pasien dalam posisi tidur akan

mengurangi efek tersebut. Morfin diberikan dengan dosis 0,1–2,2 mg/kg BB,

sedang petidin dengan dosis 1–2 mg/kg BB. Pada orang tua dan anak-anak dosis

diberikan lebih kecil.

3. Benzodiazepin

Golongan ini sangat spesifik untuk menghilangkan rasa cemas. Diazepam

bekerja pada reseptor otak yang spesifik, menghasilkan efek antiansietas yang

selektif pada dosis yang tidak menimbulkan sedasi yang berlebihan, deperesi

napas, mual atau muntah. Kerugian penggunaan diazepam untuk premedikasi ini

ialah kadang-kadang pada orang tertentu dapat menyebabkan sedasi yang

berkepanjangan. Selain itu juga rasa sakit pada penyuntikan intramuskular. Serta

absorpsi sistemik yang jelek setelah pemberian IM. Sekarang sudah ada obat baru

dari golongan Benzodiazepin IM, yaitu Midazolam. Keuntungan obat ini tidak
18

menimbulkan rasa nyeri pada penyuntikan baik secara IM maupun IV. Diazepam

dapat diberikan pada orang dewasa dengan dosis 10 mg, sedang pada anak kecil

0,2–0,5 mg/kg BB. Midazolam dapat diberikan dengan dosis 0,1 mg/kg BB.

Penggunaan midazolam ini harus dengan pengawasan yang ketat, karena

kemungkinan terjadi depresi respirasi.

4. Butyrophenon

Obat golongan ini adalah droperidol dengan dosis 2,5 – 5 mg IM

digunakan sebagai obat premedikasi dengan kombinasi narkotik. Keuntungan

yang sangat besar dari penggunaan obat ini ialah efek antiemetik yang sangat kuat

dan bekerja secara sentral pada pusat muntah di medulla. Obat ini ideal digunakan

untuk pasien-pasien dengan risiko tinggi, misalnya pada operasi mata, pasien

dengan riwayat sering muntah, dan obesitas. Dapat juga diberikan secara

intravena dengan dosis 1-1,25 mg. Kadang-kadang pada pasien tertentu droperidol

ini dapat menimbulkan dysphoria (pasien merasa takut mati). Droperidol juga

mempunyai efek blokade terhadap dopaminergik pada pasien yang normal. Selain

itu juga mempunyai efek alfa adrenergik antagonis yang ringan, sehingga

menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah perifer. Efek ini dapat digunakan pada

pasien hipertermi sebelum diberikan kompres basah seluruh tubuh. Namun perlu

diingat akan terjadinya relatif hipovolemia. Pada pasien dengan riwayat alergi

atau rinitis vasomotorika sebaiknya penggunaan obat ini dihindari.

5. Antihistamin
19

Dari golongan ini yang sering digunakan sebagai obat premedikasi ialah

promethazin (phenergan) dengan dosis 12,5–25 mg intramuskular pada orang

dewasa. Digunakan pada pasien dengan riwayat asma bronkial.

6. Antikolinergik

Atropin mempunyai efek kompetitif inhibitor terhadap efek muskarinik

dari asetilkolin. Atropin ini dapat menembus barier lemak misalnya blood-brain

barrier, placenta barrier, dan gastrointestinal tract. Reaksi tersering dari

pemakaian obat ini ialah:

a. Menghasilkan efek antisialogog

b. Mengurangi sekresi ion H asam lambung

c. Menghambat refleks bradikardia

d. Efek sedativa dan amnesik (terutama scopolamin)

Efek yang kurang menyenangkan dari golongan obat ini ialah:

a. CMS toxicity (gelisah, agitasi)

b. Naiknya nadi

c. Mydriasis dan cycloplegia

d. Kenaikan suhu tubuh

e. Mengeringkan sekret jalan napas

7. Antasida

Pemberian antasida 15-30 menit pra induksi hampir 100% efektif untuk

menaikkan pH asam lambung di atas 2,5. Seperti diketahui, aspirasi cairan asam

lambung dengan pH yang rendah dapat menimbulkan Acid Aspiration Syndrome


20

atau disebut juga Mendelson Syndrome . Preparat yang dianjurkan adalah yang

mengandung Mg-trisilikat.

Histamin H2-reseptor antagonis melawan kemampuan histamin dalam

meningkatkan sekresi cairan lambung yang mengandung ion H tinggi. Dari

kepustakaan disebutkan bahwa pemberian cimetidin oral 300 mg 1–1,5 jam pra

induksi dapat menaikkan pH cairan lambung di atas 2,5 sebanyak lebih dari 80%

pasien. Dapat pula diberikan secara intravena dengan dosis yang sama 2 jam

sebelum induksi dimulai.

(Gambar 2.2 Contoh Premedikasi Anestesi)

2.4 Status Fisik (Physical Status=PS)

Pasien yang akan mendapatkan prosedur anestesi dan pembedahan dapat

dikategorikan dalam beberapa kelas status fisik, yang semula diusulkan dan
21

digunakan oleh American Society of Anestesiologist (ASA), karena itu status fisik

diberi nama ASA. Status fisik diklasifikasikan menjadi 5 kelas yaitu ASA 1

sampai dengan ASA 5, dengan uraian sebagai berikut:

1. ASA kelas 1: Pasien tanpa gangguan organik, fisiologik, biokemik,

maupun psikiatrik. Proses patologis yang akan dilakukan operasi terbatas

lokasinya dan tidak akan menyebabkan gangguan sistemik. Contoh:

seorang dewasa muda sehat akan menjalani operasi hernia inguinalis atau

seorang wanita muda sehat dengan myoma uteri akan dilakukan

myomektomi.

2. ASA kelas 2: Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai sedang,

yang disebabkan baik oleh keadaan yang harus diobati dengan jalan

pembedahan maupun oleh proses patofisiologis. Contoh: pasien dengan

penyakit jantung organik tanpa pembatasan aktivitas atau dengan

pembatasan ringan, direncanakan untuk operasi hernia, pasien dengan DM

ringan direncanakan untuk operasi appendektomi, pasien dengan anemia,

pasien dengan hipertensi esensial Dalam kelas ini dapat juga dimasukkan:

pasien dengan umur ekstrim (neonatus atau geriatri) tanpa penyakit

sistemik, obesitas, bronkitis kronis.

3. ASA kelas 3: Pasien dengan gangguan sistemik yang berat, apapun

penyebabnya, contoh: DM berat dengan komplikasi vaskuler yang

memerlukan tindakan pembedahan, insufisiensi paru sedang sampai berat

yang perlu pembedahan misalnya herniotomi, angina pectoris atau infark

miokard lama.
22

4. ASA kelas 4: Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam

jiwa, yang tidak selalu dapat dikoreksi dengan pembedahan. Contoh:

pasien dengan dekompensasi jantung, angina pectoris yang terus-menerus,

insufisiensi berat dari faal paru, hepar, ginjal, atau endokrin.

5. ASA kelas 5: Pasien yang hanya mempunyai peluang hidup yang kecil.

Contoh: Pasien syok karena perdarahan, trauma kepala hebat dengan

tekanan intrakranial yang meningkat. Pada umumnya pasien-pasien ini

memerlukan operasi untuk resusitasi dan umumnya hanya perlu anestesi

sedikit atau bahkan tanpa obat anestesi.


23

BAB 3
KESIMPULAN

Evaluasi preanestesi adalah proses penilaian klinis sebelum pengiriman

perawatan anestesi untuk prosedur operasi maupun nonoperasi. Preoperatif

merupakan fase dimulainya keputusan untuk menjalani operasi atau pembedahan

dibuat dan berakhir ketika pasien dipindahkan ke meja operasi. Pasien preoperatif

akan mengalami reaksi emosional berupa kecemasan. Berbagai alasan dapat

menyebabkan ketakutan atau kecemasan pasien dalam menghadapi pembedahan

maka dari itu perlu dilakukan konsultasi anestesi. Konsultasi anestesi

berkontribusi pada penilaian status kesehatan pasien sebagai bagian dari proses

yang lebih luas dari penilaian atau asesmen biasa.

Persiapan preanestesi meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik berdasarkan

pada B6, pemeriksaan penunjang (laboratorium dan radiologi), serta perlunya

persiapan menghadapi penyulit yang mungkin saja akan datang. Sedangkan untuk

persiapan preoperatif yang diperlukan adalah pengosongan lambung,

pengosongan kandung kemih, informed consent, pemeriksaan fisik ulang,

pelepasan kosmetik, gigi palsu, lensa kontak, dan asesori lainnya, serta

premedikasi. Pada akhirnya, akan ditetapkan kesan anestesi meliputi diagnosis

pasca pembedahan dilengkapi dengan klasifikasi ASA sesuai dengan kondisi

masing-masing pasien.

Anda mungkin juga menyukai