Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Hipertensi merupakan penyakit degeneratif yang menjadi masalah

serius saat ini. Hipertensi dikategorikan sebagai the silent disease atau the

silent killer karena penderita tidak mengetahui dirinya mengidap hipertensi

atau tidak mengetahui sebelum memeriksakan tekanan darahnya. Insiden

hipertensi meningkat seiring bertambahnya usia. Bahaya hipertensi yang

tidak dapat dikendalikan dapat menimbulkan komplikasi yang berbahaya,

seperti penyakit jantung koroner, stroke, ginjal dan gangguan penglihatan.

Kematian akibat hipertensi menduduki peringkat atas daripada penyebab-

penyebab lainnya (Bambang, 2011).

Menurut Susalit dalam Yeni (2010) hipertensi merupakan penyakit

yang dapat dicegah dengan mengendalikan faktor risiko yang sebagian besar

merupakan faktor prilaku dan kebiasaan hidup. Apabila seseorang mau

menerapkan gaya hidup sehat, maka kemungkinan besar akan terhindar dari

hipertensi. Penyakit ini berjalan terus seumur hidup dan sering tanpa adanya

keluhan yang khas selama belum terjadi komplikasi pada organ tubuh.

Menurut Kemenkes RI (2013) prevalensi hipertensi tertinggi diduduki

oleh kelompok umur di atas 75 tahun sebanyak 63,8%, rentang umur 65–74

tahun sebesar 57,6%, rentang umur 55–64 tahun sebesar 45,9%, rentang umur

45–54 tahun 35,6%, dan rentang umur 35–44 tahun sebesar 24,8%.

1
2

Semakin meningkatnya usia maka lebih beresiko terhadap peningkatan

tekanan darah terutama tekanan darah sistolik sedangkan diastolik meningkat

hanya sampai usia 55 tahun (Nurrahmani, 2011).

Laki-laki atau perempuan sama-sama memiliki kemungkinan beresiko

hipertensi. Namun, laki-laki lebih beresiko mengalami hipertensi

dibandingkan perempuan saat usia <45 tahun tetapi saat usia > 65 tahun

perempuan lebih beresiko mengalami hipertensi (Prasetyaningrum, 2014).

Hipertensi atau yang dikenal dengan tekanan darah tinggi merupakan

salah satu penyakit tidak menular yang berupa gangguan pada system

sirkulasi. Seseorang dikatakan hipertensi apabila keadaan tekanan darah

mengalami peningkatan diatas normal yaitu ≥ 140 mmHg untuk tekanan

sistolik dan atau ≥ 90 mmHg untuk tekanan diastolic secara terus-menerus.

Tahap hipertensi dikategorikan menjadi dua, yaitu hipertensi derajat 1 pada

rentang tekanan sistolik 140–159 mmHg dan diastolic 90–99 mmHg dan

hipertensi derajat 2 yaitu tekanan sistolik ≥ 160 mmHg dan diastolik ≥ 100

mmHg (Sheps, 2005).

Tekanan darah tinggi banyak mengganggu kesehatan masyarakat

karena sebagian besar orang tidak menyadari bahwa dirinya sedang menderita

hipertensi. Hal ini terjadi karena gejalanya yang tidak nyata dan pada stadium

awal belum memperlihatkan gangguan yang serius pada kesehatan. Gejala

yang sering menyertai hipertensi antara lain pusing, sakit kepala, rasa berat

atau kaku di tengkuk, sulit tidur dan hidung berdarah. Gejala akan terasa

secara tiba-tiba ketika terjadi peningkatan tekanan darah. Tanda dan gejala
3

yang khas tidak timbul sampai hipertensi tingkat lanjut yang membahayakan

nyawa penderita (Sheps, 2005).

Menurut WHO (2014), penyakit kardiovaskuler merupakan pembunuh

nomor 1 di dunia pada usia diatas 45 tahun dan diperkirakan 12 juta orang

meninggal tiap tahunnya. Secara global, hipertensi diperkirakan

menyebabkan 7,5 juta kematian, sekitar 12,8% dari total seluruh kematian.

Prevalensi keseluruhan tekanan darah tinggi pada orang dewasa berusia ≥ 25

tahun sebesar 40% pada tahun 2008. Prevalensi hipertensi tertinggi berada di

Afrika yaitu sebesar 46% pada pria dan wanita (WHO, 2014).

Menurut data Global Status Report on Noncommunicable Diseases

2010, dari World Health Organization (2013) prevalensi hipertensi tertinggi

adalah di wilayah Afrika, yaitu 46% dari orang dewasa berusia di atas 25

tahun, sedangkan prevalensi terendah, yaitu 35% di Amerika. Prevalensi

hipertensi di Indonesian berdasarkan data Riskesdas tahun 2013 yang didapat

melalui pengukuran tekanan darah pada penduduk umur 18 tahun ke atas

yaitu sebesar 25,8% (Kemenkes, 2013).

Komplikasi hipertensi menyebabkan sekitar 9,4 kematian di seluruh

dunia setiap tahunnya. Hipertensi menyebabkan setidaknya 45% kematian

karena penyakit jantung dan 51% kematian karena penyakit stroke. Kematian

yang disebabkan oleh penyakit kardiovaskuler, terutama penyakit jantung

koroner dan stroke diperkirakan akan terus meningkat mencapai 23,3 juta

kematian pada tahun 2030 (Infodatin Jantung, 2014).


4

Pada risiko kurang olahraga atau aktivitas fisik terhadap kejadian

hipertensi telah dibuktikan melalui penelitian dari Rahajeng dan Tuminah

(2009) yang menyatakan bahwa berdasarkan aktivitas fisik, proporsi

responden yang kurang aktivitas fisik pada kelompok hipertensi ditemukan

lebih tinggi (42,9%) daripada kelompok kontrol atau tidak hipertensi (41,4%).

Olahraga merupakan serangkaian gerak raga yang teratur dan terencana

untuk memelihara kehidupan, meningkatkan kualitas hidup dan mencapai

tingkat kemampuan jasmani yang sesuai dengan tujuan (Giriwoyo dan Sidik,

2012).

Olahraga yang teratur dapat menurunkan risiko aterosklerosis yang

merupakan salah satu penyebab hipertensi. Selain itu, dengan melakukan

olahraga yang teratur khususnya aerobik seperti jalan cepat, jogging,

bersepeda, renang dan senam dapat menurunkan tekanan darah sebanyak 5–

10 mmHg (Sheps, 2005).

Namun, olahraga tidak dapat dilakukan pada seseorang yang memiliki

tekanan darah sistolik lebih dari 170 mmHg dan atau diastolik lebih dari 110

mmHg. Pada lansia mulai usia 45 tahun, olahraga secara teratur terbukti dapat

meningkatkan fungsi kardiovaskuler yang memperlambat penurunan fungsi

tubuh (Afriwardi, 2009).

Berdasarkan uraian yang sudah dijelaskan maka peneliti tertarik untuk

melakukan penelitian tentang “Hubungan Perilaku Olahraga dengan Kejadian

Hipertensi pada Lansia di Puskesmas Langsa Lama Tahun 2018.”


5

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah yang

ditentukan dalam penelitian ini adalah “apakah ada hubungan antara perilaku

olahraga dengan kejadian hipertensi pada lansia di Puskesmas Langsa Lama

Tahun 2018”.

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan perilaku olahraga dengan kejadian

hipertensi pada lansia di Puskesmas Langsa Lama Tahun 2018.

1.3.2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui distribusi perilaku olahraga pada lansia di Puskesmas

Langsa Lama tahun 2018.

b. Untuk mengetahui distribusi kejadian hipertensi pada lansia di Puskesmas

Langsa Lama tahun 2018.

c. Untuk mengetahui hubungan perilaku olahraga dengan kejadian hipertensi

pada lansia di Puskesmas Langsa Lama Tahun 2018.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis
6

Menambah ilmu pengetahuan khususnya di bidang keperawatan dalam

kasus hipertensi dan sebagai bahan pertimbangan untuk melakukan penelitian

selanjutnya.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Puskesmas

Dapat memberikan informasi mengenai pengaruh olahraga terhadap

hipertensi pada lansia sehingga dapat meningkatkan pelayanan di

Puskesmas khususnya pada pasien lansia dengan hipertensi.

b. Bagi Penderita Hipertensi

Setelah dilakukan penelitian diharapkan penderita hipertensi khususnya

lansia lebih termotivasi untuk melakukan olahraga agar dapat mengontrol

tekanan darah.

c. Bagi Peneliti

Setelah dilakukan penelitian diharapkan peneliti mendapat ilmu baru

tentang penyakit hipertensi dan memahami tentang penelitian selanjutnya

yang berkaitan tentang hipertensi.

d. Bagi Institusi Pendidikan

Dapat menambah referensi yang valid terkait dengan penelitian pada kasus

hipertensi pada lansia.

1.5. Hipotesis Penelitian


7

Ha : Ada hubungan perilaku olahraga dengan kejadian hipertensi pada lansia

di Puskesmas Langsa Lama tahun 2018

Ho : Tidak ada hubungan perilaku olahraga dengan kejadian hipertensi pada

lansia di Puskesmas Langsa Lama tahun 2018


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hipertensi

2.1.1. Pengertian

Hipertensi adalah peningkatan darah systole yang tingginya tergantung

umur individu yang terkena. Tekanan darah berfluktasi dalam batas-batas

tertentu tergantung keadaan posisi tubuh, umur, tingkat stress yang dialami

(Tambayong, 2009). Hipertensi merupakan keadaan ketika tekanan darah

sistolik lebih dari 120 mmHg dan tekanan diastolik lebih dari 80 mmHg

(Muttaqin, 2009).

Menurut WHO (2013), hipertensi didefinisikan sebagai keadaan

tekanan darah sistolik = 140 mmHg dan tekanan diastolik = 90 mmHg.

Hipertensi disebut sebagai silent killer karena jarang menimbulkan gejala

pada stadium awal dan banyak orang tidak terdiagnosa.

Tekanan darah tinggi (hipertensi) adalah keadaan yang ditandai dengan

terjadinya peningkatan tekanan darah didalam arteri (Junaidi, 2010). Tekanan

darah tinggi adalah kondisi medis yang terjadi akibat peningkatan tekanan

darah secara kronis (waktu yang lama) (Adib, 2011).

2.1.2. Etiologi

Menurut Tambayong (2009) etiologi dari penyakit hipertensi ialah (1)

Usia. Karena insidens hipertensi makin meningkat dengan meningkatnya

usia. Hipertensi pada yang berusia kurang dari 35 tahun dengan jelas

8
9

menaikkan insidens penyakt arteri koroner dan kematian premature (2)

Kelamin. Pada umumnya insidens pada pria lebih tinggi daripada wanita,

namun pada usia pertengahan dan lebih tua, insidens pada wanita mulai

meningkat sehingga pada usia di atas 65 tahun insiden pada wanita lebih

tinggi (4) Ras. Hipertensi pada yang berkulit hitam paling sedikit dua kalinya

pada yang yang berkulit putih. Akibat penyakit ini umumnya lebih berat pada

ras kulit hitam. Misalnya mortalitas pasien pria hitam dengan diastole 115

atau lebih 3,3 kali lebih tinggi daripada pria berkulit putih dan 5,6 kali bagi

wanita putih. (5) Pola Hidup. Faktor seperti pendidikan, penghasilan dan

faktor pola hidup lain telah diteliti tanpa hasil yang jelas. Penghasilan rendah,

tingkat pendidikan rendah dan kehidupan atau pekerjaan yang penuh stress

agaknya berhubungan dengan insidens hipertensi yang lebih tinggi.obesitas

dipandang sebagai faktor resiko utama. Merokok dipandang sebagai faktor

resiko tinggi bagi hipertensi dan penyakit arteri koroner. (6) Diabetes

Mellitus. Hubungan antara diabetes mellitus dan hipertensi kurang jelas,

namun secara statistic nyata ada hubungan antara hipertensi dan penyakit

arteri koroner. Penyebab utama kematian pasien diabetes mellitus adalah

penyakit kardiovaskular, terutama yang mulainya dini dan kurang control.

Hipertensi dengan diabetes mellitus meningkatkan mortalitas.

2.1.3. Patofisiologi

Hipertensi terjadi karena peningkatan tekanan pada pembuluh darah

secara terus-menerus yang mengakibatkan semakin cepat kerja jantung untuk


10

memompa darah. Jika hal ini terus-menerus maka otot jantung akan menebal

dan mengalami hipertrofi (Udjianti, 2011).

Empat sistem kontrol yang berperan dalam mempertahankan tekanan

darah antara lain sistem baroreseptor arteri, pengaturan volume cairan tubuh,

sistem renin-angiotensin, dan autoregulasi vaskular : (1) Baroreseptor ini

memonitor tekanan derajat arteri. Jika tekanan darah naik secara mendadak,

maka akan memberikan rangsangan pada baroreseptor yang selanjutnya

sinyal tersebut dikirim ke medulla oblongata dan akan menghambat pusat

vasokontriksi, serta merangsang pusat vagal sehingga terjadi vasodilatasi,

kontraktilitas menurun, juga bradikardi (2) Perubahan volume cairan

memengaruhi tekanan arteri sistemik, bila tubuh mengalami kelebihan garam

dan air, tekanan darah meningkat melalui mekanisme fisiologi kompleks yang

mengubah aliran balik vena ke jantung dan mengakibatkan peningkatan curah

jantung. (3) Renin dan angiotensin memegang peranan dalam pengaturan

tekanan darah. Ginjal memproduksi renin untuk memisahkan angiotensin I,

yang kemudian diubah oleh converting enzyme dalam paru menjadi bentuk

angiotensin II kemudian menjadi angiotensin III dan mempunyai aksi

vasokonstriktor yang kuat pada pembuluh darah dan merupakan mekanisme

kontrol terhadap pelepasan aldosterone (4) Autoregulasi vaskular adalah

suatu proses yang mempertahankan perfusi jaringan dalam tubuh relatif

konstan. Jika aliran berubah, proses-proses autoregulasi akan menurunkan

tahanan vaskular dan mengakibatkan pengurangan aliran, sebaliknya akan


11

meningkatkan tahanan vaskular sebagai akibat dari peningkatan aliran

(Udjianti, 2011).

2.1.4. Jenis Hipertensi

1. Hipertensi Esensial/Primer

Hipertensi primer merupakan tipe hipertensi yang paling sering

ditemukan dan 95% kasus hipertensi adalah penderita hipertensi primer.

Meskipun tidak terdapat penyebab tunggal yang dapat diidentifikasi,

namun faktor genetik, asupan garam yang berlebihan dan peningkatan

tonus adrenergik semuanya terlibat dalam hipertensi primer.

Komplikasinya meliputi aterosklerosis, stroke, penyakit ginjal kronis,

hipertrofi ventrikel kiri, gagal jantung, retinopati, diseksi aorta dan

penyakit jantung iskemik (lHD) (Kendall, 2013).

2. Hipertensi Sekunder

Hipertensi sekunder merupakan keadaan meningkatnya tekanan

arterial sistemik sebagai akibat dari keadaan lain yang dapat diidentifikasi.

Gambaran hipertensi sekunder dapat meliputi mula timbul hipertensi pada

usia <20 tahun atau >50 tahun, TD >180/110 mmHg, bunyi bruit abdomen,

dan/atau riwayat keluarga penyakit renal atau hipertensi yang tidak

terkontrol kendati sudah diberikan tiga obat antihipertensi dengan dosis

maksimal. Penyebabnya meliputi: stenosis arteri renalis: penyebabnya

mencakup aterosklerosis (pasien berusia lanjut yang biasanya menderita

stenosis secara bilateral) dan displasia fibrosa yang memberikan

“gambaran seperti tasbih/beaded appearance" pada arteriogram., penyakit


12

parenkim ginjal: diobati dengan preparat inhibitor ace yang memperlambat

progresivitasnya, penggunaan pil kontrasepsi. glukokortikoid, fenilefrin,

dan/atau nonsteroidal anti-inflamatory drug (nsaid) (terutama konstriksi

arteri aferen), feokromositoma: tumor adrenal yang mensekresikan

katekolamin. bermanifestasi lewat trias hipertensi, diaforesis dan

takikardia, aldosteronisme primer: tumor yang memproduksi aldosteron

dengan menyebabkan trias hipertensi, hipokalemia dan alkalosis

metabolik (peningkatan kadar aldosteron, penurunan kadar renin),

hipertiroidisme, sindrom cushing, koarktasio aorta: konstriksi segmen

aorta yang biasanya terjadi di sebelah distal arteri subklavia kiri.

menimbulkan td yang tinggi pada ekstremitas atas, td yang rendah pada

ekstremitas bawah dan sianosis diferensial, displasia fibromuskular:

penyakit yang mengakibatkan penyempitan arteri berukuran-kecil dan -

sedang (terutama arteri renalis) sehingga terjadi hipertensi. kerapkali

didiagnosis pada wanita muda yang menderita sakit kepala dan hipertensi

yang tidak terkontrol.

3. Hipertensi Maligna

Hipertensi maligna merupakan peningkatan TD yang cepat dan berat

biasanya sampai >240/ 120 mmHg dengan disertai kerusakan organ (“flea-

bitten kidney/ginjal seperti dimakan kutu”). Keadaan ini paling sering

terlihat pada populasi pria ras Afrika-Amerika yang berusia muda. Secara

klinis hipertensi maligna ditandai oleh hipertrofi ventrikel kiri, papiledema

dan perdarahan retina di samping keluhan nyeri dada, dispnea, angina atau
13

pun sakit kepala. Kerusakan end-organ dapat bermanifestasi sebagai

edema pulmonal. azotemia, perdarahan retina, ensefalopati, kejang dan

koma.

2.1.5. Diagnosis

Diagnosis hipertensi dengan pemeriksaan fisik paling akurat

menggunakan sphygmomanometer air raksa. Sebaiknya dilakukan lebih dari

satu kali pengukuran dalam posisi duduk dengan siku lengan menekuk di atas

meja dengan posisi telapak tangan menghadap ke atas dan posisi lengan

sebaiknya setinggi jantung. Pengukuran dilakukan dalam keadaan tenang.

Pasien diharapkan tidak mengonsumsi makanan dan minuman yang dapat

mempengaruhi tekanan darah misalnya kopi, soda, makanan tinggi kolesterol,

alkohol dan sebagainya. Pasien yang terdiagnosa hipertensi dapat dilakukan

tindakan lebih lanjut yakni :

a. Menentukan sejauh mana penyakit hipertansi yang diderita. Tujuan

pertama program diagnosis adalah menentukan dengan tepat sejauh mana

penyakit ini telah berkembang, apakah hipertensinya ganas atau tidak,

apakah arteri dan organ-organ internal terpengaruh, dan lain- lain.

b. Mengisolasi penyebabnya. Tujuan kedua dari program diagnosis adalah

mengisolasi penyebab spesifiknya.

c. Pencarian faktor risiko tambahan. Aspek lain yang penting dalam

pemeriksaan, yaitu pencarian faktor-faktor risiko tambahan yang tidak

boleh diabaikan.
14

d. Pemeriksaan dasar. Setelah terdiagnosis hipertensi maka akan dilakukan

pemeriksaan dasar, seperti kardiologis, radiologis, tes laboratorium, EKG

(electrocardiography) dan rontgen.

e. Tes khusus. Tes yang dilakukan antara lain adalah :1) X- ray khusus

(angiografi) yang mencakup penyuntikan suatu zat warna yang digunakan

untuk memvisualisasi jaringan arteri aorta, renal dan adrenal. 2)

Memeriksa saraf sensoris dan perifer dengan suatu alat

electroencefalografi (EEG), alat ini menyerupai electrocardiography

(ECG atau EKG) (Kendall, 2013).

2.1.6. Tanda dan Gejala

Pada umumnya hipertensi tidak menimbulkan gejala yang jelas dan

sering tidak disadari kehadirannya. Ada kalanya secara tidak sengaja

beberapa gejala terjadi bersamaan dan dipercaya berhubungan dengan

tekanan darah tinggi (padahal sebenarnya tidak selalu). Gejala yang dimaksud

adalah sakit kepala, perdarahan dari hidung, wajah kemerahan, kelelahan.

Semua gejala tersebut bisa terjadi pada siapa saja, baik pada penderita

hipertensi maupun seseorang yang tekanan darahnya normal.

Pada hipertensi berat atau yang telah menahun, bisa timbul gejala-

gejala yang berasal dari kerusakan omk, mata, iantung, dan ginjal, seperti:

sakit kepala, kelelahan, mual dan muntah, sesak napas, gelisah , pandangan

menjadi kabur , pada hipertensi berat, penurunan kesadaran sampai koma

dapat teriadi, karena adanya pembengkakan otak yang disebut ensefalopati

hipertensi (Junaidi, 2010).


15

Gejala hipertensi sekunder berbeda dengan hipertensi primer. Berikut

akan dijelaskan gejala-gejala yang berkaitan dengan hipertensi sekunder:

1. Terkait dengan kelainan pada ginjal: terdapat riwayat penyakit ginjal

dalam keluarga, sering terserang infeksi saluran kemih, sering haus dan

buang air kecil, pernah mengalami trauma atau benturan keras di

pinggang.

2. Terkait dengan penyakit feokromositoma, terdapat gejala-gejala di bawah

ini yang umumnya berulang, tidak teratur, dan tekanan darah selalu sangat

tinggi. Sakit kepala akut dan tiba tiba, jantung berdebar-debar, keringat

berlebihan, wajah pucat.

3. Hipertiroidisme (hormon tiroid tinggi). Kelainan ini meningkatkan

tekanan sistolik, sehingga menimbulkan gejala-gejala seperti:mudah

gugup, banyak keringat, selalu merasa kepanasan berdebar-bedar, tremor

atau gemetaran, cepat lelah, berat badan turun, bola mata menonjol dan

terdapat pembesaran atau benjolan kelenjar tiroid.

4. Hipotiroidisme (hormon tiroid rendah). Kelainan ini dapat meningkatkan

tekanan darah sistolik maupun diastolik sehingga menimbulkan gejala:

Tidak tahan dingin, Cepat lelah, Melambatnya fungsi tubuh, Berat badan

naik/ kegemukan, Kulit kasar, Suara patau atau rendah , Sembab pada

mata, kaki, dan tangan.

5. Gejala akibat kelebihan hormon kortisol: Hormon kortisol diproduksi oleh

kelenjar adrenal yang dapat meningkatkan tekanan darah. jika produksinya

berlebihan. maka akan timbul gejala-gejala berikut ini: peningkatan


16

penuhpukan lemak di wajah, leher, atau badan, kulit menipis, tanda

guratan ungu, mudah memar, rambut tumbuh berlebihan, emosi labil,

kenaikan berat badan yang drastis dan tubuh melemah (Junaidi, 2010).

2.1.7. Pembagian Hipertensi Menurut JNC VII

Klasifikasi hipertensi menurut JNC VII yaitu kondisi normal dengan

tekanan darah sistol <120 mmHg tekanan darah diastole <80 mmHg,

Prehipertensi dengan tekanan darah sistol 120-139mmHg tekanan darah

diastole 80-89 mmHg, Hipertensi Stage 1 dengan tekanan darah sistol 140-

159 mmHg tekanan darah diastole 90-99 mmHg, dan Hipetensi Stage 2

dengan tekanan darah sistol 160 -179 mmHg dan tekanan darah diastole 100

– 109 mmHg sedangkan Hipetensi Stage 3 dengan tekanan darah sistol >180

mmHg dan tekanan darah diastole >110 mmHg (JNC VII, 2004).

2.1.8. Tatalaksana Hipertensi

1. Non Farmakologis

Menjalani pola hidup sehat telah banyak terbukti dapat menurunkan

tekanan darah, dan secara umum sangat menguntungkan dalam

menurunkan risiko permasalahan kardiovaskular. Pada pasien yang

menderita hipertensi derajat 1, tanpa faktor risiko kardiovaskular lain,

maka strategi pola hidup sehat merupakan tatalaksana tahap awal, yang

harus dijalani setidaknya selama 4 – 6 bulan. Bila setelah jangka waktu

tersebut, tidak didapatkan penurunan tekanan darah yang diharapkan atau

didapatkan faktor risiko kardiovaskular yang lain, maka sangat dianjurkan

untuk memulai terapi farmakologi.(Perki, 2015).


17

2. Farmakologis

Secara umum, terapi farmakologi pada hipertensi dimulai bila pada

pasien hipertensi derajat 1 yang tidak mengalami penurunan tekanan darah

setelah > 6 bulan menjalani pola hidup sehat dan pada pasien dengan

hipertensi derajat ≥ 2. Beberapa prinsip dasar terapi farmakologi yang

perlu diperhatikan untuk menjaga kepatuhan dan meminimalisasi efek

samping, yaitu : (1) Bila memungkinkan, berikan obat dosis tunggal (2)

Berikan obat generic (non-paten) bila sesuai dan dapat mengurangi biaya

(3) Berikan obat pada pasien usia lanjut ( diatas usia 80 tahun ) seperti pada

usia 55 – 80 tahun, dengan memperhatikan faktor komorbid (4) Jangan

mengkombinasikan angiotensin converting enzyme inhibitor (ACE-i)

dengan angiotensin II receptor blockers (ARBs) (5) Berikan edukasi yang

menyeluruh kepada pasien mengenai terapi farmakologi (6) Lakukan

pemantauan efek samping obat secara teratur (Perki, 2015).

2.2 Olahraga

Menurut Giriwijoyo (2005) olahraga adalah serangkaian suatu gerakan

raga yang teratur dan terencana yang dapat dilakukan orang dengan sadar

untuk meningkatkan kemampuan fungsionalnya. Olahraga merupakan suatu

bentuk aktivitas fisik yang terencana dan tersetruktur yang telah melibatkan

semua gerakan tubuh yang dilakukan berulang-ulang dan ditunjukkan untuk

meningkatkan kebugaran atau kesegaran jasmani (Karim, 2002).

Olahraga dihubungkan dengan pengelolaan tekanan darah. Olahraga

yang teratur dapat menurunkan tahanan perifer yang akan menurunkan


18

tekanan darah. Kurang olahraga akan meningkatkan kemungkinan obesitas

dan asupan garam dalam tubuh. Kurang olahraga memiliki risiko 30-50%

lebih besar mengalami hipertensi (Mac Mahon S. et al, 2004).

Latihan fisik atau olahraga yang teratur dapat meningkatkan kesehatan

jasmani dan rohani secara menyeluruh. Metabolisme tubuh akan membaik

dari segi fisik, dan mental. Peningkatan pada sistem tubuh selama tingginya

berolahraga, tekanan darah pasti naik selama olahraga. Pada umumnya,

tekanan darah sistolik naik 8-12 mmHg untuk setiap ekuvalen metabolik

(MET lebih tinggi) diatas saat istirahat. Satu MET adalah jumlah oksigen

yang dipergunakan atau dikonsumsi saat beristirahat. Suatu aktivitas yang

setara dengan 2 MET membutuhkan dua kali jumlah oksigen, 3 MET

membutuhkan tiga kali jumlah oksigen, dan seterusnya. Karena aliran darah

lebih banyak dibutuhkan selama berolahraga, tubuh akan secara otomatis

menurunkan tingkat ketahanan terhadap aliran darah didalam pembuluh

darah selama melakukan olahraga untuk memenuhi kebutuhan ini. demikian

tekanan diastolik akan turun dengan melakukan olahraga (Divine, 2009)

Agar darah secara efisien terkirim ke otot-otot pada saat melakukan

olahraga, ketahanan dalam pembuluh harus diturunkan. Ketika intensitas

olahraga meningkat, pembuluh nadi tubuh melebar memungkinkan lebih

banyak aliran yang tidak terhalang ke otot-otot aktif. Selain pelebaran

pembuluh nadi ke otot-otot yang berkerja, aliran pembuluh nadi kejaringan

tidak aktif lainnya dalam tubuh juga diturunkan atau dijauhkan dari aliran

darah ekstra yang tidak dilakukan pada saat itu. Proses ini dicapai dengan
19

kontraksi tak sadar otot polos dalam pembuluh darah. Peningkatan kontraksi

otot polos mengakibatkan penurunan aliran darah melalui kontraksi. Jumlah

total ketahanan atau resistensi perifer total (total peripheral resistence/ TPR)

kealiran darah biasanya turun selama melakukan olahraga (Divine, 2009).

Olahraga yang teratur yaitu rata-rata selama 30 menit per hari. Dan akan

lebih baik apabila dilakukan rutin setiap hari. Diperkirakan sebanyak 17%

kelompok usia produktif memiliki aktifitas fisik yang kurang. Dari angka

prevalensi tersebut, antara 31% sampai dengan 51% hanya melakukan

aktifitas fisik < 2 jam/minggu (WHO, 2005).

Aktivitas olahraga dikelompokan menjadi 3 kelompok, yaitu:

1. Baik, jika dilakukan ≥ 30 menit, ≥ 3 kali per minggu.

2. Cukup, jika dilakukan ≥ 30 menit, < 3 kali per minggu.

3. Kurang, jika dilakukan < 30 menit, < 3 kali per minggu (WHO, 2005).

2.3 Lanjut Usia

Lansia adalah keadaan yang ditandai oleh kegagalan seseorang untuk

mempertahankan keseimbangan terhadap kondisi stres fisiologis. Kegagalan

ini berkaitan dengan penurunan daya kemampuan untuk hidup serta

peningkatan kepekaan secara individual (Efendi, 2009).

1. Karakteristik Lansia

Lansia memiliki karakteristik sebagai berikut : (1) Berusia lebih dari

60 tahun (sesuai dengan pasal 1 ayat UU NO. 13 tentang Kesehatan). (2)

Kebutuhan dan masalah yang bervariasi dari rentang sehat sampai sakit,

dari kebutuhan biopsikososial sampai spiritual, serta dari kondisi adatif


20

hingga maladatif. (3) Lingkuangan tempat tinggal yang bervariasi

(Maryam, 2008).

2. Perubahan pada Lansia

Macam-macam penuaan berdasarkan perubahan biologis, fisik,

kejiwaan, dan sosial dalam Fatimah (2010) : (1) Penuaan biologik :

Merujuk pada perubahan struktur dan fungsi yang terjadi sepanjang

kehidupan. (2) Penuaan fungsional: Merujuk pada kapasitas individual

mengenai fungsinya dalam masyarakat, dibandingkan dengan orang lain

yang sebaya.(3) Penuaan psikologik :Perubahan prilaku, perubahan dalam

persepsi diri, dan reaksinya terhadap perubahan biologis. (4) Penuaan

sosiologik:Merujuk pada peran dan kebiasaan sosial individu di

masyarakat. (5) Penuaan spiritual :Merujuk pada perubahan diri dan

persepsi diri, cara berhubungan dengan orang lain atau menempatkan diri

di dunia dan pandangan dunia terhadap dirinya.

Anda mungkin juga menyukai