Anda di halaman 1dari 29

Nyeri Neuropati

Abstrak
Nyeri neuropati disebabkan oleh lesi atau penyakit pada sistem somatosensorik,
yang meliputi serabut saraf perifer (Aβ, Aδ, dan serabut tipe C) dan sentral, dan
mengenai sekitar 7-10% dari populasi secara umum. Berbagai penyebab nyeri
neuropati telah dijelaskan dan insidensnya cenderung meningkat seiring dengan
usia dari populasi, peningkatan insidens diabetes mellitus (DM) dan
meningkatnya angka ketahanan hidup dari kanker setelah kemoterapi. Tentu saja,
ketidakseimbangan antara sinyaling dari proses eksitatorik dan inhibitorik,
gangguan pada kanal-kanal ion dan keberagaman dalam cara rangsangan nyeri itu
sendiri disampaikan dan dimodulasi pada sistem saraf pusat juga telah
diimplikasikan pada dalam proses nyeri neuropati. Hal yang menjadi beban dari
nyeri neuropati ini sepertinya berkaitan dengan kompleksitas dari gejala
neuropati, luaran yang buruk dan sulitnya dalam menentukan pilihan pengobatan.
Penting juga diketahui, kualitas hidup juga mengalami penurunan pada pasien
dengan nyeri neuropati karena meningkatnya obat yang diresepkan dan seringnya
kunjungan ke fasilitas kesehatan, dan juga tentunya morbiditas dari nyeri itu
sendiri. Terlepas dari tantangan yang ada, kemajuan dalam pemahaman terhadap
patofisiologi dari nyeri neuropati memacu pengembangan prosedur diagnostik
terbaru dan intervensi secara personal, yang menegaskan bahwa diperlukan
pendekatan multidisiplin dalam menangani nyeri neuropati.

Meskipun definisi dari nyeri neuropati yang berbeda digunakan selama


bertahun-tahun, definisi terbaru (2011) dan yang paling banyak dipakai adalah
nyeri yang disebabkan oleh lesi atau penyakit pada sistem somatosensorik. Sistem
somatosensorik memungkinkan persepsi raba, tekanan, nyeri, suhu, posisi,
gerakan dan getaran. Saraf-saraf somatosensorik terdapat pada kulit, otot, sendi
dan fasia dan terdiri dari termoreseptor, mekanoreseptor, kemoreseptor,
pruriseptor, dan nosiseptor yang mengirim sinyal ke korda spinalis dan selanjutna
ke otak untuk proses lebih lanjut (Box 1); kebanyakan proses sensorik melibatkan
nucleus thalamus yang menerima sinyal sensorik yang kemudian diteruskan ke
korteks serebri. Lesi atau penyakit pada sistem somatosensorik dapat
menyebabkan kelainan dan perubahan pada transmisi sinyal sensorik ke korda
spinalis dan otak; kondisi-kondisi umum yang berkaitan dengan nyeri neuropati
meliputi neuralgia postherpetik, neuralgia trigeminal, radikulopati nyeri, neuropati
diabetic, infeksi HIV, lepra, amputasi, nyeri karna cedera saraf perifer dan stroke
(dalam bentuk nyeri sentral post-stroke) (gambar 1). Tidak semua pasien dengan
neuropati perifer atau cedera saraf sentral akan mengalami nyeri neuropati;
sebagai contoh, sebuah penelitian kohort besar pada pasien dengan DM
menunjukkan bahwa prevalensi secara keseluruhan gejala nyeri neuropati sebesar
21% pada pasien dengan klinis neuropati. Akan tetapi, prevalensi nyeri neuropati
meningkat menjadi 60% pada pasien dengan klinis neuropati yang berat1. Penting
diingat nyeri neuropati secara mekanistik tidak serupa dengan kondisi nyeri kronis
lainnya seperti nyeri inflamasi yang terjadi, contohnya, pada artritis rheumatoid,
dimana penyebab utamanya adalah inflamasi dengan adanya perubahan kondisi
zat kimia pada lokasi inflamasi; nyeri seperti ini didiagnosis dan ditatalaksana
dengan cara yang berbeda2.
Nyeri neuropati berkaitan dengan meningkatnya jumlah obat yang
diresepkan dan kunjungan ke fasilitas kesehatan3,4. Pasien biasanya mengalami
kumpulan gejala yang berbeda, seperti sensasi terbakar dan tersengat listrik, dan
nyeri yang disebabkan oleh stimulasi yang seharusnya tidak nyeri (seperti
perabaan halus); gejala ini biasanya menetap dan memiliki kecenderungan
menjadi kronik dan kurang respons dengan baik dengan obat anti nyeri. Gangguan
tidur, ansietas dan depresi sering terjadi dan bersifat berat pada pasien dengan
nyeri neuropati, dan kualitas hidup juga lebih terganggu pada pasien dengan nyeri
neuropati kronis dibandingkan dengan orang dengan nyeri kronis non neuropati
yang tidak berasal dari saraf yang rusak atau teriritasi3,5.
Meskipun terjadi peningkatan respons plasebo6,7 yang disebabkan oleh
gagalnya berbagai obat-obat baru dalam percobaan klinis, kemajuan baru-baru ini
dalam pemahaman kita tentang patofisiologi dari nyeri neuropati memberikan
optimisme untuk pengembangan prosedur diagnostik baru dan intervensi secara
personal. Primer ini menjelaskan deskripsi terkini dari tampilan, penyebab,
diagnosis dan pengobatan untuk nyeri neuropati, dengan focus terhadap nyeri
neuropati perifer karena pengetahuan kita lebih besar tentang hal ini daripada
nyeri neuropati sentral.

Epidemiologi
Perkiraan insidens dan prevalens dari nyeri neuropati sulit ditentukan karena
kurangnya kriteria diagnostik sederhana untuk survey epidemiologi besar dalam
populasi umum. Oleh karena itu, prevalensi dari nyeri neuropati pada populasi
dengan nyeri kronik terutama diperkirakan berdasarkan pada penelitian8 yang
dilakukan oleh pusat khusus dengan fokusnya pada kondisi-kondisi tertentu
seperti neuralgia postherpetik9,10, polineuropati diabetik yang nyeri1,11-13, nyeri
neuropati pasca pembedahan, sclerosis multipel15,16, trauma korda spinalis17,
stroke18 dan kanker19,20.
Perkembangan terbaru dari alat skrining sederhana dalam bentuk kuisioner 21
telah membantu dalam menjalankan beberapa survey epidemiologi besar pada
beberapa negara (United Kingdom, United States, France, dan Brazil) dan
memberikan informasi baru yang berharga tentang prevalensi umum dari nyeri
neuopatik4. Dalam penggunaan alat skrining, seperti Douleur Neuropathique 4
questions (DN4)22 atau skala nyeri dari Leeds Assessment of Neuropathic
Symptomps and Signs (LANSS)23 (BOX 2), diperkirakan angka prevalensi nyeri
kronik dengan karakteristik neuropati sekitar 7-10%8,24.
Nyeri neuropati kronis lebih sering terjadi pada wanita (8% versus 5,7%
pada pria) dan pada pasien berusia > 50 tahun (8,9% versus 5,6% pada pasien
berusia < 49 tahun), dan paling sering mengenai punggung bawah dan tungkai
bawah, leher, dan tungkai atas24. Nyeri radikulopati lumbar dan servikal
meungkin merupakan penyebab tersering dari nyeri neuropati kronis. Konsisten
dengan data tersebut, sebuah survey terhadap > 12.000 pasien dengan nyeri kronis
baik tipe nosiseptif dan neuropati, yang dirujuk ke spesialis nyeri di Jerman,
menunjukkan bahwa 40% dari semua pasien mengalami setidaknya beberapa
karakteristik dari nyeri neuropati (seperti rasa terbakar, baal, dan geli); pasien
dengan nyeri punggung dan radikulopati kronis sebagian juga terkena25.

Mekanisme/patofisiologi
Penelitian di bidang nyeri berfokus pada pemahaman tentang perubahan dari segi
plastic pada sistem saraf setelah terjadinya cedera, menentukan target terapeutik
terbaru dan memfasilitasi transfer pengetahuan dari hewan coba pada praktik
klinis. Kami menjelaskan secara singkat berbagai penyebab dari nyeri neuropati
dan tinjauan terkini dari temuan pada hewan dan manusia yang memberikan
pemahaman tentang patofisiologi dari nyeri neuropati.

Penyebab dan distribusi


Nyeri neuropati sentral disebabkan oleh lesi atau penyakit pada korda spinalis
dan/atau otak. Penyakit serebrovaskular yang mengenai jalur somatosensorik
sentral (nyeri pasca stroke) dan penyakit neurodegeneratif (terutama Penyakit
Parkinson) merupakan kelainan pada otak yang seringkali menyebabkan nyeri
neuropati sentral26. Lesi korda spinalis atau penyakit yang menyebabkan nyeri
neuropati meliputi trauma korda spinalis, siringomelia dan penyakit demielinisasi,
seperti sclerosis multiple, myelitis transversa dan neuromyelitis optika27.
Sebaliknya, patologi dari kelainan perifer yang menyebabkan nyeri neuropati
terutama melibatkan serabut saraf kecil tipe C yang tidak bermyelin dan serabut
bermyelin tipe A, yaitu serabut Aβ dan Aδ5. Nyeri neuropati perifer mungkin akan
lebih sering karena penuaan dari populasi global, peningkatan insidens diabetes
mellitus dan meningkatnya angka kanker pada populasi global dan konsekuensi
dari kemoterapi, yang mengenai semua tipe serabut saraf (Aβ, Aδ dan C).
Gangguan nyeri neuropati perifer dapat dibagi menjadi distribusi generalisata
(biasanya simetris) dan yang memiliki distribusi fokal (GBR 2). Nyeri
generalisata dari neuropati perifer yang paling penting secara klinis meliputi
kondisi yang berkaitan dengan diabetes mellitus (BOX 3), pre-diabetes dan
disfungsi metabolik lainnya, penyakit infeksi (terutama infeksi HIV28 dan lepra29),
kemoterapi, imun (contohnya sindrom Guillain-Barre) dan penyakit inflamasi,
neuropati turunan dan kanalopati (seperti eritromelalgia turunan, sebuah penyakit
dimana pembuluh darah secara episodik terblok dan kemudian menjadi hiperemis
dan inflamasi).
Topografi dari nyeri pada kelainan ini biasanya terjadi di sekitar distal
ekstremitas yang sering disebut dengan distribusi “glove and stocking” telapak
kaki, betis, telapak tangan dan lengan bawah merupakan area yang paling
menonjol gejalanya. Pola distribusi seperti ini memiliki karakteristik neuropati
perifer distal yang hilang timbul, terkait-panjang yang meliputi hilangnya sensorik
progresif proksimal-distal, nyeri, dan yang lebih jarang kelemahan pada bagian
distal. Kemudian yang agak jarang juga adalah dimana nyerinya berdistribusi di
proksimal yaitu pada batang tubuh, paha, dan lengan atas yang khususnya terkena;
pola seperti ini terjadi jika patologi penyakitnya melibatkan ganglia sensorik.
Gangguan nyeri fokal perifer disebabkan oleh proses patologis yang melibatkan
satu atau lebih saraf perifer atau akar akar saraf. Gangguan seperti ini meliputi
neuralgia pascaherpetik, neuropati pasca-trauma, neuropati pasca-pembedahan,
poliradikulopati servikal dan lumbar, nyeri yang berkaitan dengan infeksi HIV,
lepra dan diabetes mellitus, sindroma nyeri kompleks regional tipe 2 dan neuralgia
trigeminal30.
Kanalopati turunan yang langka dapat memperlihatkan distribusi nyeri dan
faktor pencetus yang khas. Contohnya, eritomelalgia disebabkan oleh mutase pada
SCN9A, yang mengode kanal natrium NaV1.7 bergerbang voltase (terlibat dalam
pembentukan dan konduksi potensial aksi), dan ditandai dengan nyeri dan eritem
(kemerahan) pada ekstermitas yang diperberat oleh panas31. Gangguan nyeri
ekstrim paroksismal disebabkan oleh mutase pada set berbeda pada SCN9A yang
menghasilkan distribusi nyeru proksimal dan eriema pada daerah sacrum dan
mandibula32; pencetus nyeri pada orang dengan kondisi ini bisa meliputi stimulus
mekanik. Hampir sekitar 30% pasien dengan neuropati serabut halus idiopatik,
ditemui adanya mutase fungsional pada kanal Natrium Nav1.7 yang menyebabkan
neuron pada akar ganglion dorsal mudah tereksitasi33.

Perubahan sinyaling nyeri


Neuropati perifer mengubah properti elektrik dari saraf-saraf sensorik, yang
kemudian menyebabkan ketidakseimbangan antara sinyaling eksitatorik dan
inhibitorik sentral dimana sistem inhibitorik interneuronal dan kontrol
desendingnya juga mengalami gangguan. Oleh sebab itu, transmisi dari sinyal
sensorik dan mekanisme disinhibisi atau fasilitasi juga terganggu pada tingkatan
saraf-saraf kornu dorsalis korda spinalis. Tentu saja, penelitian preklinis telah
menunjukkan beberapa perubahan anatomis, molekuler, dan elektrofisiologis dari
sistem saraf perifer sampai sitem saraf pusat (SSP) yang membuahkan hasil,
memberikan pandangan lebih mengenai nyeri neuropati dan pengobatannya (BOX
4). Di bagian perifer, korda spinalis dan otak, peningkatan eksitasi dan fasilitasi
dan hilangnya fungsi inhibisi jelas adanya. Perubahan ini mengubah kondisi jalur
sensorik menjadi status yang hipereksitabilitas, dan perubahan yang berjalan
berkepanjangan ini dari perifer sampai ke otak dapat berkontribusi menjadi
penyebab nyeri neuropati menjadi kronik.
Aktivitas ektopik pada serabut saraf aferen primer mungkin memiliki peran
kunci dalam patofisiologi dari nyeri neuropati setelah cedera saraf perifer. Pasien
dengan nyeri diabetic polineuropati dan kerusakan saraf perifer traumatik
memperlihatkan hilangnya rasa nyeri spontan dan yang dibangkitkan pada bagian
ipsilateral saat diberi blok saraf perifer (dengan lidocaine, yang memblok kanal
Natrium bergerbang-voltase)34. Sama dengan hal itu, blokade pada akar ganglion
dorsal dengan pemberian lidocaine intraforamen epidural menghasilkan perbaikan
rasa nyeri dan sensasi non-nyeri pada pasien dengan delusi nyeri pada anggota
gerak35. Penelitian mikroneurografi juga telah mengidentifikasi aktivitas spontan
– terutama pada serabut C – yang berhubungan dengan nyeri, menunjukkan
potensi mekanisme perifer untuk nyeri neuropati36,37.
Secara keseluruhan, penyebab dasar hipereksitabilitas pada nyeri neuropati
disebabkan oleh perubahan pada fungsi dan ekspresi dari kanal ionn, perubahan
pada fungsi neuronal nosispetif orde-kedua dan perubahan pada fungsi inhbitorik
interneuronal.

Perubahan pada kanal ion


Neuropati menyebabkan perubahan pada kanal-kanal ion (natrium, kalsium, dan
kalium) disepanjang saraf yang terkena, yang dapat melibatkan semua jenis
serabut aferen dan kemudian mengganggu sinyaling oleh spinal dan otak.
Contohnya, peningkatan ekspresi dan fungsi dari kanal natrium pada saraf
sensoris korda spinalis terminus (dicerminkan dengan penigkatan ekspresi dari
subunit α2δ dari kanal kalsium) menyebabkan peningkatan eksitabilitas,
transduksi sinyal dan pelepasan neurotransmitter. Tentu saja, peran krusial dari
kanal natrium diperlihatkan oleh hilang atau meningkatnya rasa nyeri pada
manusia dengan kanalopati turunan ini31. Pada waktu yang sama, hilangnya kanal
kalium yang normalnya memodulasi aktivitas saraf juga terbukti. Jika serabut
aferen terputus dari perifer akibat cedera ataupun lesi, maka akan terjadi
hilangnya fungsi sensorik. Akan tetapi, remnant dari serabut tersebut pada lokasi
cedera dapat membangkitkan aktivitas ektopik (contohnya, neuroma pada serabut
C aferen), dan sehingga terjadi rasa nyeri pada area yang “mati rasa” tersebut 38.
Serabut saraf lain yang masih intak menjadi hipereksitabel, sehingga disebut
nosiseptor yang iritabel39. Sebagai akibatnya, pasien dapat merasakan nyeri yang
terus-menerus, mati rasa dan nyeri bangkitan. Gangguan input pada korda spinalis
digabungkan dengan peningkatan fungsi kanal kalsium (melalui ekspresi yang
lebih tinggi pada terminal saraf) menyebabkan peningkata pelepasan
neurotransmitter dan meningkatkan transimisi eksitatorik sinaps pada sirkuit
nosiseptif.

Perubahan pada neuron nosiseptif tingkat dua


Peningkatan eksitabilitas pada neuron-neuron spinal membentuk peningkatan
respon terhadap banyak modalitas sensorik, memungkinkan serabut aferen Aβ dan
Aδ mekanosensitif berambang rendah untuk mengaktivasi neuron-neuron
nosiseptif tingkat dua (yang meneruskan informasi sensorik ke otak) dan
memperluas lapangan reseptifnya sehingga stimulus yang diberikan mengeksitasi
lebih banyak lagi neuron-neuron nosiseptif tingkat 2, membentuk sesuatu yang
disebut dengan sensitisasi sentral40,41. Secara khusus, aliran yang berlangsung
pada serabut aferen perifer dengan pelepasan bersamaan asam amino eksitatorik
dan neuropeptida menyebabkan perubahan post sinaptik pada neuron-neuron
nosiseptif tingkat 2, sinyaling yang berlebiha seperti ini disebabkan oleh
fosforilasi dari reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA) dan α-amino-3-hydroxy-
5-methyl-4-isoxazolepropionic acid (AMPA). Perubahan tingkat 2 ini mungkin
dapat menjelaskan alodinia fisik dan dicerminkan oleh peningkatan aktivitas
sensorik neuronal thalamic, seperti yang didukung oleh data dari penelitian
hewan42 dan manusia43. Hipereksitabilitas juga dapat disebabkan oleh hilangnya
interneuron inhibitorik pelepas ℽ-aminobutyric acid (GABA) yang juga dapat
berubah untuk menggunakan aksi eksitatorik tersebut pada tingkat spinal44. Selain
itu, terdapat perubahan fungsional yang tidak terlalu dipahami pada sel-sel non-
neuronal di sepanjang korda spinalis, seperti microglia dan astrosit, yang
berkontribusi terhadap terjadinya hipersensitivitas45.

Perubahan modulasi inhibitorik


Sebagai tambahan dari perubahan pada neuron-neuron transmisi nyeri,
interneuron inhibitorik dan sistem kontrol modulatorik desending juga mengalami
disfungsi pada pasien dengan nyeri neuropati. Disfungsi interneuron ini
berkontribusi terhadap keseluruhan perubahan keseimbangan antara inhibisi dan
eksitasi desending; khususnya, neuropati menyebabkan perubahan dimana
sekarang proses eksitasi lebih mendominasi. Akibatnya, otak menerima pesan-
pesan sensorik yang telah berubah dan abnormal. Perubahan proyeksi ke thalamus
dan korteks dan jalur parallel ke regio limbic menyebabkan nilai nyeri yang tinggi
dan ansietas, depresi, dan gangguan tidur, yang dianggap sebgai pesan nyeri yang
mendominasi fungsi limbic.
Area seperti korteks cingulata dan amigdala telah terlibat dalam kondisi nyeri
yang terus menerus daan komorbiditas yang terkait nyeri neuropati46. Proyeksi
dari area otak depan ini memodulasi kontrol desending yang berjalan dari
substansia grisea periaqueductal (pusat kontrol primer untuk modulasi nyeri
desending) ke batang otak dan kemudian bekerja pada sinyaling spinal. Tentu
saja, banyak penelitian yang telah menunjukan bahwa jalur eksitatori batang otak
lebih penting dalam mempertahankan status nyeri daripada induksinya.
Inhibisi noradrenergic, yang dimediasi melalui reseptor α2 adrenergic pada korda
spinalis, melemah pada nyeri neuropati, dan peningkatan sinyaling serotonin
melalui reseptor serotonin 5-HT2 dan 5-HT3 menjadi dominan. Sistem
noradrenergic memediasi diffuse noxious inhibitory controls (DNICs), padanan
pada hewan bagi condition pain modulation (CPM; gambar 3) pada manusia,
dimana satu nyeri menghambat nyeri lainnya melalui jalur desending. DNIC (dan
CPM) hilang atau setidaknya terganggu secara parsial pada orang dengan
neuropati. Hewan yang merekrut inhibisi noradrenergic menunjukan pengurangan
hipersensitivitas yang bermakna setelah neuropati meskipun tingkat kerusakan
sarafnya sama47, hal ini menjelaskan keuntungan menggunakan obat-obat yang
memanipulasi sistem monoamine untuk meningkatkan DNIC pada pasien dengan
cara memblok fasilitasi desending.

Mekanisme modulasi nyeri


Beberapa pasien dengan nyeri neuropati menderita nyeri yang sedang, sedangkan
sebagian lain menderita nyeri yang sangat berat. Terlebih lagi, pasien
memperlihatkan variabilitas yang sangat luas dalam respon terhadap pengobatan
farmakologikal yang berbeda (baik tipe dan dosis) dan nonfarmakologikal. Faktor
kunci dari variabilitas ini mungkin adalah bagaimana pesan nyeri tersebut
dimodulasi di sistem saraf pusat (SSP). Sinyal nyeri dapat ditingkatkan atau
dikurangi sesaat setelah ia naik dari titik masuknya (kornu dorsalis), diteruskan ke
SSP dan sampai ke korteks serebri (area penting untuk kesadaran). Oleh sebab itu,
beragam jalur dan gangguannya dapat memodifikasi dugaan korelasi antara
luasnya patologi perifer dan tingkatan dari sindrom nyerinya. Kebanyakan pasien
dengan nyeri neuropati mengekspresikan profil modulasi nyeri pro-nosiseptif—
yaitu, pesan nyeri menjadi ditingkatkan di SSP48. Oleh karena itu, persepsi nyeri
dapat didisinhibisi sesuai dengan penurunan inhibisi desending endogen yang
digambarkan oleh CPM yang kurang efisien (box 1), yang difasilitasi melalui
sensitisasi dari jalur nyeri asending, yang digambarkan oleh peningkatan jumlah
dari stimulasi nyeri temporal, atau kedua-duanya. Penjumlahan temporal tersebut
meningkat pada nyeri neuropati dan non neuropati, akan tetapi pasien dengan
nyeri neuropati memperlihatkan peningkatan yang lebih tinggi48. CPM telah
diketahui menjadi kurang efisien pada pasien dengan bermacam sindrom-sindrom
nyeri dibandingkan dengan kontrol yang sehat49.
Prospek dari memanfaatkan modulasi nyeri tampaknya menjanjikan untuk
pendekatan manajemen nyeri yang lebih terindividualisasi. Memang benar,
beberapa pmenunjukan bahwa profil modulasi nyeri dapat memprediksi
perkembangan dan tingkatan dari nyeri kronik pasca operatif50-52. Jika temuan-
temuan ini dikonfirmasi oleh penelitian yang lebih besar, kita dapat menduga
bahwa pasien yang mengekspresikan profil fasilitatorik pro-nosiseptif dapat
diterapi dengan obat yang mengurangi fasilitasi (seperti gabapentinoid) dan pasien
yang mengekspresikan profil inhibitorik pronosiseptif dapat diterapi dengan obat
yang meningkatkan kapasitas inhibitorik (contohnya, serotonin-noradrenaline
reuptake inhibitors)50. Pasien yang mengekspresikan baik CPM yang kurang
efisien dan peningkatan penjumlahan temporal mungkin memerlukan pengobatan
kombinasi. Memang benar, tingkatan dari CPM memprediksi efikasi dari
duloxetine (selective serotonin-noradrenaline reuptake inhibitor) pada pasien;
CPM mengalami perbaikan baik dengan duloxetine dan tapentadol (noradrenaline
reuptake inhibitor). Selain itu, perubahan pada profil modulasi nyeri pada pasien
dapat dikembalikan menuju normal jika pasien ditangani, seperti yang
dicontohkan dengan pembedahan artroplasti pada pasien dengan osteoarthritis;
disaat sendi yang sakit diganti, kebanyakan pasien akan bebas dari nyeri dan
proses sentral dan perifer menjadi normal34,53,54.
Penting diketahui, modulasi nyeri sangat terpengaruh oleh analgesia terinduksi
ekspektansi, dimana perubahan yang disebabkan oleh kepercayaan dan keinginan
dari pasien dan yang mengobati55 mempengaruhi respon terhadap nyeri neuropati.
Pada kondisi laboratorium, analgesia terinduksi ekspektansi mempengahuri nyeri
klinis pada irritable bowel syndrome56-58, nyeri idiopatik dan neuropati59. Sebagai
contoh, Petersen et al60,61, menguji analgesia terinduksi ekspektansi pada pasien
yang mengalami nyeri neuropati setelah torakotomi. Pasien memperoleh lidokain
dengan cara terbuka (yaitu, pasien diberitahu: “Obat yang baru saja diberikan
kepadamu diketahui sangat kuat dalam menghilangkan nyeri pada pasien-pasien
lain”) atau dengan cara tersembunyi (“ini merupakan kondisi kontrol untuk
pengobatan aktif”) bersamaan dengan protocol yang telah dijelaskan
sebelumnya62; hasilnya menunjukan pengurangan yang luas pada nyeri yang
sedang berlangsung, nyeri dan area hiperalgesia yang seakan-akan hilang secara
maksimal pada kelompok terbuka, menyimpulkan laporan-laporan
sebelumnya59,60. Temuan ini menunjuk kepada mekanisme inhibitorik nyeri
endogen yang relevan secara klinis dengan implikasi untuk mengelompokan
pasien dengan nyeri neuropati pada desain percobaan klinis ataupun praktik. Efek
seperti ini seharusnya berkurang dalam percobaan klinis dan diinginkan
meningkat pada praktik klinis sehari-hari sebagai strategi untuk mengooptimalkan
manajemen nyeri.
Diagnosis, skrining, dan pencegahan
Sebuah sistem diajukan untuk menentukan tingkat kepastian dengan dimana
pertanyaan nyeri yang dibuat ialah neuropati berlawanan dengan, contohnya, nyeri
nosiseptif5(gambar 4a). Jika anamnesis pasien mengarah pada adanya lesi atau
penyakit neurologis dan nyerinya berkaitan dengan hal tersebut (contohnya,
menggunakan alat skrining yang tervalidasi) dan distribusi nyeri nya tersebut
secara neuroanatomi masuk akal, maka nyerinya kemudian disebut ‘possible’
nyeri neuropati. ‘Probable’ nyeri neuropati membutuhkan bukti pendukung yang
diperoleh dengan pemeriksaan klinis tanda-tanda sensorik (contohnya pengujian
bedside dan pengujian sensorik kuantitatif). ‘Definite’ nyeri neuropati
membutuhkan uji diagnostic objektif mengkonfirmasi lesi ataupun penyakit pada
sistem saraf somatosensorik (contohnya, uji neurofisiologis dan biopsi kulit).
Temuan setidaknya ‘probable’ nyeri neuropati harus diberikan pengobatan.
Berdasarkan asumsi bahwa adanya indikasi kualitas dari nyeri neuropati dalam hal
persepsi sensorik, beberapa alat skrining telah dikembangkan untuk
mengidentifikasi kondisi nyeri neuropati atau komponen neuropati terhadap
sindroma nyeri kronis63 (box 2). Kuisioner laporan pasien yang mudah digunakan
berikut ini, contohny DN4 atau painDETECT22,64, menilai karakteristik gejala dari
nyeri neuropati (seperti terbakar, geli, sensitive terhadap perabaan, nyeri yang
disebabkan oleh tekanan ringan, nyeri yang menyerupai sengatan listrik, nyeri
terhadap dingin atau panas, dan rasa baal) dan dapat membedakan antara nyeri
neuropati dan non-neuropati dengan spesifisitas dan sensirtivitas yang tinggi jika
diterapkan pada pasien dengan nyeri kronik. Tools lainnya, seperti Neuropathic
Pain Symptom Inventory (NPSI)65, lebih dikembangkan untuk kuantifikasi dan
dimensi dari gejala neuropati dan telah berkontribusi lebih lanjut dalam
pengelompokan individu pasien khususnya pada percobaan klinis.

Pemeriksaan untuk mengonfirmasi kerusakan saraf


Bermacam pemeriksan psikofisikal dan diagnostik objektif tersedia untuk
memeriksa fungsi jalur somatosensorik, meliputi penilaian pemeriksaan secara
bedside dan pemeriksaan tanda-tanda sensorik dan juga teknik-teknik
neurofisiologis, biopsy kulit dan mikroskopi korneal konfokal (GBR 4b). Diantara
hal tersebut, penilaian sensorik, teknik neurofisiologis dan pemeriksaan sensorik
kuantitatif yang secara rutin digunakan.

Pmeriksaan sensorik secara bedside untuk tanda-tanda sensorik


Nyeri neuropati muncul dengan kombinasi dari berbagai gejala dan tanda66.
Sensasi raba, pinprick/tusuk lidi, tekanan, dingin, panas, getaran, penjumlahan
temporal dan setelahnya dapat diperiksa secara bedside, dimana pasien
menjelaskan sensasi yang dirasakan setelah stimulus yang tepat dan berulang
diberikan67. Untuk menilai apakah kehilangan (tanda sensorik negative) ataupun
peningkatan (tanda sensorik positif) fungsi somatosensorik, maka responsnya
dikelompokkan menjadi normal, menurun atau meningkat. Tipe bangkitan
stimulus nyeri (positif) dikelompokkan menjadi hiperalgesik (perasaan nyeri berat
dari stimulus yang normalnya tidak terlalu nyeri) atau allodinik (perasaan nyeri
dari stimulus yang normalnya tidak memicu respons nyeri), dan berdasarkan pada
karakter dinamis atau statis dari stimulus.

Pemeriksaan sensorik kuantitatif


Pemeriksaan sensorik kuantitatif menggunakan stimulus mekanik dan termal yang
terstandarisasi untuk menguji sistem aferen nosiseptif dan non-nosiseptif di
perifer dan SSP. Pemeriksaan sensorik kuantitatif menilai kehilangan dan
peningkatan fungsi pada seluruh kelas serabut saraf aferen (Aβ, Aδ, dan serabut
tipe C), yang masing-masing metode tersebut memiliki kelebihan dibandingkan
yang lain68. The German Research Network on Neuropathic Pain69 mengajukan
pemeriksaan sensorik kuantitatif yang terdiri dari 13 parameter untuk membantu
mengidentifikasi fenotip somatosensorik pada pasien dengan nyeri neuropati.
Pemeriksaan termal dan mekanik ini meliputi penentuan deteksi ambang dingin,
hangat, sensasi panas paradoksal, dan perabaan dan getaran; penentuan dari
ambang nyeri untuk stimulasi dingin dan panas, tusukan dan tekanan tumpul; dan
penentuan dari alodinia dan sumasi nyeri. Bru-baru ini, data normative dari
database besar dari individu sehat telah membantu menentukan apakah terjadi
peningkatan atau pengurangan fungsi sensorik pada pasien nyeri neuropati yang
usia dan jenis kelaminnya disesuaikan70,71. Oleh karena itu, nilai patologi dari
tanda positif dan negatif telah ditetapkan untuk kebanyakan variable (gambar 5).

Teknik-teknik neurofisiologis
Laser-evoked potentials (LEPs) secara luas dianggap sebagai alat neurofisiologis
yang paling dapat dipercaya untuk menilai fungsi-fungsi nosiseptof67,72.
Contohnya, uji konduksi saraf, refleks trigeminal dan potensial bangkitan
somatosensorik— teknik-teknik neurofisiologis standar yang dimediasi serabut
Aβ— tidak memberikan informasi mengenai jalur nosiseptif. Akan tetapi, mereka
masih berguna untuk mengidentifikasi kerusakan di sepanjang jalur
somatosensorik dan secara luas digunakan untuk memeriksa penyakit perifer dan
SSP yang menyebabkan nyeri neuropati73. Stimulasi laser secara selektif
mengaktivasi nosiseptor Aδ dan C pada lapisan superficial kulit74.
LEP terkait pada aktivasi serabut Aδ telah menjadi standar untuk penggunaan
klinis. Respon terhadap stimulasi direkam dari kulit kepala dan terdiri dari
gelombang-gelombang dengan latensi yang berbeda-beda. Pada penyakit yang
berkaitan dengan kerusakan jalur nosiseptif, LEP bisa saja tidak ada, menurun
amplitudonya atau latensinya melambat75-77. Diantara potensial bangkitan
nosiseptif, potensial bangkitan panas kontak juga sering digunakan dalam menilai
nyeri neuropati78. Elektroda konsentrik juga telah diperkenalkan untuk mengukur
potensial bangkitan terkair nyeri dan keterlibatan serabut saraf kecil pada nyeri
neuropati79. Oleh sebab itu, beberapa penelitian menyatakan bahwa elektroda
konsentrik juga mengaktivasi serabut Aβ non-nosiseptif; Oleh karena itu, rekaman
bangkitan potensial terkait nyeri tidak cocok untuk menilai sistem nosiseptif78.

Biopsi Kulit
Biopsy kulit untuk memeriksa inervasi epidermal dianggap sebagai alat yang
paling sensitif untuk neuropati serabut kecil80. Teknik ini berguna karena kulit
memiliki banyak serabut saraf C terminal yang tidak bermyelin, dengan relatif
sedikit serabut Aδ yang kehilangan selubung myelinnya dan mencapai epidermis
sebagai ujung saraf bebas yang tidak bermyelin81,82. Akan tetapi, hubungan antara
data biospi kulit dan nyeri neuropati masih tidak jelas. Sebuah penelitian pada 139
pasien dengan neuropati perifer menunjukkan bahwa hilangnya sebagian serabut
saraf intraepidermal, seperti yang diperiksa dengan biopsy kulit, berkaitan dengan
bangkitan nyeri83.

Mikroskopi corneal confocal


Sebagai sebuah teknik in vivo non invasive, mikroskopi corneal confocal dapat
digunakan untuk menghitung kerusakan serabut saraf corneal (serabut saraf Aδ
bermielin dan serabut C tidak bermielin) pada pasien dengan neuropati perifer84,85.
Akan tetapi, teknik ini memiliki beberapa keterbatasan, seperti biayanya yang
tinggi dan ketersediaannya yang rendah pada kebanyakan pusat kesehatan. Lebih
lagi, apakah beberapa kondisi (seperti sindrom mata kering dan sindrom Sjogren,
penyakit mata atau pembedahan mata sebelumnya) mempengaruhi variable
corneal confocal masih belum jelas86. Tidak ada penelitian yang dapat dipercaya
yang meneliti hubungan antara variable mikroskopi corneal confocal dan nyeri
neuropati.

Pencegahan
Oleh karena pengobatan yang tersedia untuk nyeri neuropati memiliki kelebihan
yang sedang namun bermakna (lihat tatalaksana), intervensi yang mencegah nyeri
neuropati dapat memiliki efek yang substansial pada kesehatan masyarakat. Tentu
saja, peningkatan perhatian terhadap pencegahan memiliki potensi untuk
mengurangi disabilitas yang dialami oleh banyak pasien dengan nyeri neuropati
kronis. Melakukan gaya hidup yang sehat dan edukasi tentang kondisi kesehatan
yang menyebabkan nyeri merupakan komponen yang penting dalam pencegahan,
khususnya pada mereka yang memiliki risiko besar menderinya nyeri neuropati87.
Program-program pencegahan yang menggabungkan secara bersamaan intervensi
medis dan kebiasaan dapat membuat kelebihan preventif yang lebih baik.
Identifikasi factor risiko penting untuk mencegah nyeri neuroaptik terjadi pada
individu yang berisiko. Strategi pencegahan utama (pada individu yang secara
umum sehat namun berisiko) meliputi vaksin herpes zoster hidup yang
dilemahkan88,89 dan subunit tambahan90,91, keduanya mengurangi kemungkinan
terjadinya infeksi herpes zoster pada individu berusia >= 50 tahun88-91, sehingga,
mengurangi kemungkinan terjadinya neuralgia pasca herpetic. Pencegahan
sekunder meliputi pemberian intervensi preventif pada individu yang sedang sakit,
cedera atau pengobatan yang dapat menyebabkan nyeri neuropati kronik. Contoh
dari pendekatan ini adalah pengobatan perioperatif pada pasien pembedahan untuk
mencegah nyeri kronik pasca bedah92 dan penggunaan antiviral atau pengobatan
analgetik pada pasien dengan infeksi herpes zoster93. Selanjutnya, manajemen
yang tepat dari kondisi kesehatan, seperti DM, dapat mencegah nyeri neuropati
bahkan sebelum ia muncul.

Tatalaksana
Tatalaksana dari nyeri neuropati secara umum focus pada mengobati gejalanya
Karena penyebab dari nyeri tersebut jarang kali dapat disembuhkan; selanjutnya,
tatalaksana dari kondisi etiologi, seperti DM, biasanya tidak cukup untuk
menghilangkan nyeri neuropati. Pasien dengan nyeri neuropati secara umum tidak
respon terhadap analgetik seperti asetaminofen, OAINS, atau opioid lemah seperti
kodein. Pendekatan tradisional untuk tatalaksana pasien dengan nyeri neuropati
adalah dengan memulai dengan farmakologi konservatif dan teraoi-terapi
pelengkap sebelum strategi intervensional, seperti blok saraf dan neuromodulasi,
digunakan. Akan tetapi, kurangnya efikasi dari obat-obatan, populasi pasien yang
menua, polifarmasi pada pasien-pasien tua, dan efek samping terkait opioid telah
menyebabkan meningkatnya penggunaan terapi intervensional. Penelitian klinis
kurang dapat membantu mengarahkan para dokter untuk memberikan urutan
terapi yang optimal pada pasien ini.

Intervensi obat-obatan
Berbagai rekomendasi terapeutik, dengan kelas obat-obatan yang berbeda, untuk
nyeri neuropati telah diajukan95-99. Berdasarkan tinjauan sistematik dan
metaanalisis dari seluruh penelitian obat-obatan yang dilaporkan sejak 1966,
termasuk percobaan yang tidak dipublikasikan100, pregabalin (analog GABA),
gabapentin (inhibitor GABA), duloxetine (SNRI) dan berbagai antidepresan
trisiklik memiliki rekomendasi yang kuat untuk digunakan dan direkomendasikan
sebagai terapi lini pertama untuk nyeri neuropati perifer dan sentral. Patch
Capsaicin konsentrasi tinggi (komponen aktif dari cabe), patch lidokain dan
tramadol (opioid dengan efek SNRI) memiliki bukti yang lemah dalam
mendukung kegunaannya dan direkomendasikan sebagai terapi lini kedua untuk
nyeri neuropati perifer saja. Opioid kuat dan toksin botulinum A (yang diresepkan
oleh spesialis) memiliki rekomendasi yang lemah untuk digunakan sebagai terapi
lini 3. Akan tetapi, kebanyakan dari terapi ini memiliki efikasi yang sedang
berdasarkan pada angka number needed to treat (NNT merupakan jumlah pasien
yang diperlukan untuk diobati untuk memperoleh 1 responder yang lebih dari
terapi pembandingnya, biasanya plasebo) untuk memperoleh perbaikan nyerii
sebesar 50%101 (tabel 1). Selanjutnya, terapi farmakologi untuk nyeri neuropati
kronis efektif pada <50% pasien dan mungkin berkaitan dengan efek samping
yang membatasi kegunaan klinisnya101.

Terapi lini pertama


Anti depresan dan antiepilepsi menjadi obat yang peling sering diteliti pada nyeri
neuropati. Diantara antidepresan, antidepresan trisiklik, seperti amitriptilin, dan
SNRI, seperti duloxetine, telah dikonfirmasi efikasinya pada berbagai kondisi
nyeri neuropati. Efikasi analgesic obat-obat ini sepertinya sebagian besar
diperantarai oleh aksinya pada kontrol inhibitorik modulatori desending, namun
mekanisme lain juga telah diajukan (termasuk aksinya terhadap adrenoreseptor
β2)102. Diantara anti epileptic, efikasi dari pregabalin dan gabapentin, termasuk
formula yang extended release ditemukan terbaik untuk pengobatan nyeri
neuropati perifer dan pada tingkatan yang lebih rendah nyeri pada cedera korda
spinalis. Akan tetapi, beberapa percobaan-percobaan negatif telah meningkat
dalam lebih dari 5 tahun terakhir. Efek analgesic dari obat-obatan ini terutama
terkait dengan penurunan sensitisasi melalui ikatan terhadap subunit α2δ pada
gerbang voltase kanal kalsium103.
Kombinasi dari pregabalin dan gabapentin dengan antidepresan trisiklik atau
opioid pada dosis yang lebih rendah menghasilkan efek yang baik jika
dibandingkan dengan monoterapi pada nyeri neuropati perifer100,101, 104
. Akan
tetapi, efikasi dan efek samping dari monoterapi dosis tinggi mirip dengan terapi
kombinasi dosis menengah pada apsien dengan nyeri neuropati diabetic yang
tidak respon terhadap monoterapi pada dosis menengah105. Penelitian ini
memberikan rasional untuk penggunaan kombinasi obat, pada dosis menengah,
pada pasien yang tidak dapat mentoleransi monoterapi dosis tinggi.

Terapi lini dua


Lidokain juga bekerja pada aliran neuronal ektopik melalui kerja memblok kanal
kalsiumnya. Efikasi dari patch lidokain 5% telah dinilai pada neuralgia pasca
herpetic perifer fokal, namun capaian terapeutiknya tidak terlalu tinggi
dibandingkan dengan plasebo106,107. Capsaicin awalnya mengaktivasi kanal
bergerbang ligan transient receptor potential cation channel subfamily V member
1 (TRPV1) pada serabut nosiseptif, menyebabkan desensitisasi dan
defungsionalisasi dari TRPV1. Ketahanan efikasi dari pemakaian patch capsaicin
konsentrasi tinggi tunggal (8%) telah dilaporkan pada neuralgia pasca herpetic108,
dan juga nyeri neuropati diabteik104 dan non diabetic109. Kemanan jangka panjang
dengan pemakaian berulang sepertinya baik berdasarkan penelitian terbuka, akan
tetapi tidak ada data jangka panjang mengenai efeknya terhadap serabut saraf
epidermal pada pasien dengan nyeri neuropati101. Tramadol, sebuah agonis opioid
dan SNRI tampaknya juga efektif terutama pada nyeri neuropati perifer;
efikasinya kurang diketahui pada nyeri neuropati sentral101.

Terapi lini tiga


Toksin botulinum A meurpakan neurotoksin yang biasanya digunakan untuk
pengobatan hiperaktivitas otot fokal dan menunjukan efikasi dengan pemberian
berulang selama 6 bulan, dengan peningkatan efek pada injeksi kedua110. toksin
ini memiliki peran yang bagus dalam mengobati nyeri neuropati perifer
(contohnya, nyeri neuropati diabetic, neuralgia pasca herpetic, dan neuralgia
trigeminal)110-112.
Agonis opioid, seperti oksikodon dan morfin, hanya sedikit efektif101, namun
terdapat kekhawatiran mengenai overdosis terkait pemberian opioid, kematian,
penyelewengan, penyalahgunaan, dan morbiditas113.
Terdapat rekomendasi yang lemah, negatif, atau inkonklusif untuk penggunaan
semua obat-obat lain untuk nyeri neuropati secara umum. Antiepilepsi selain dari
ligan α2δ (contohnya topiramat, oxcarbazepine, carbamazepine, valproat,
zonisamide, lacosamide, dan levetiracetam) masuk dalam kategori ini, meskipun
beberapa agen mungkin saja efektif pada kelompok-kelompok pasien tertentu.
Kanabinoid oromukosal telah ditemukan efektif dengan beragam pada nyeri yang
berkaitan dengan sklerosis multipel dan dan nyeri neuropati perifer dengan
alodinia, namun beberapa percobaan yang belum diterbitkan memiliki hasil
negatif untuk luaran utama yang dicari. Hasil untuk SSRI, antagonis NMDA,
mexyletine (sebuah bloker gerbang voltase kanal natrium non selektif) dan
klonidin topikal (sebuah agonis adrenergik α2 dan agonis reseptor imidazoline)
secara umum mempunyai hasil yang inkonsisten atau negatif kecuali pada
kelompk-kelompok tertentu.

Terapi terbaru
Beberapa obat yang menargetkan mekanisme aksi baru sedang dalam
pengembangan klinis untuk terapi nyeri neuropati perifer. Obat ini meliputi,
khususnya agen-agen bloker subtype kanal natrium selektif, khususnya antagonis
Nav1.7114 dan EMA401, sebuah antagonis angiotensin tipe 2 baru yang telah
ditemukan efektif pada percobaan fase 2 pada neuralgia pasca herpetik115.
Meskipun masih dalam fase preklinis, penelitian-penelitian memperlihatkan hasil
yang menjanjikan dari terapi sel punca untuk nyeri neuropati116-117.

Terapi intervensional
Terapi intervensional, seperti blok saraf atau prosedur pembedahan yang
mengantarkan obat langsung ke area target, atau modulasi dari struktur neural
tertentu, memberikan strategi pengobatan alternatif pada pasien-pasien terpilih
dengan nyeri neuropati refrakter118-119 (gambar 6). Meskipun secara umum aman,
stimulasi korda spinalis dan saraf perifer telah dihubungkan dengan komplikasi-
komplikasi terkait peralatan maupun biologis, seperti iinfeksi dan efek samping
terkait pemograman atau terkait pengobatan (termasuk di dalamnya nyeri
parestesia)120-121.

Blok saraf dan injeksi steroid


Injeksi steroid perineural memberikan perbaikan yang bersifat transien (1-3 bulan)
untuj nyeri neuropati perifer terkait trauma atau terkait kompresi122. Tinjauan
sistematis dan meta-analisis mengenai injeksi steroid untuk oengobatan
radikulopati servikal dan lumbar menunjukkan penurunan sedang dari nyeri dan
fungs dengan durasi < 3bulan, namun tidak memiliki efek dalam menurunkan
119,123,124
risiko untuk pembedahan selanjutnya . Anestesi lokal epidural dan blok
saraf steroid diberi rekomendasi lemah untuk pengobatan radikulopati lumbabr
dan nyeri neuropati terkait zoster yang akut119. Meskipun blok ganglion simpatis
telah digunakan untuk mengatasi nyeri pada pasien dengan sindroma nyeri
regional (disebut juga dengan causalgia dan distrofi refleks simpatis), namun
bukti untuk efe jangka panjangnya lemah119.

Stimulasi korda spinalis


Stimulasi elektrik intensitas rerndah pada serabut besar Aβ bermyelin
diperkenalkan berdasarkan pada teori kendali gerbang125 sebagai strategi untuk
memodulasi sinyal nyeri yang ditransmisikan oleh serabut C yang tidak
bermyelin. Strategi neuromodulasi yang paling banyak digunakan dan banyak
diteliti adalah stimulasi korda spinalis, dimana sebuah gelombang monofasik
(rentang frekuensi 30-100 Hz) diberikan, menyebabkan parastesia pada area yang
nyeri126. Parameter stimulasi yang lebih baru, seperti stimulasi korda spinalisburst
(40 Hz burst dengan lima gelombang paku pada 500 Hz per burst) dan frekuensi
tinggi (10 kHz dengan gelombang sinusoid), memberikan stimulasi tanpa
paraestesia dan hasilnya ekivalen atau lebih baik dalam mengurangi nyeri
dibandingkan dengan gelombang kejut monofasik127,128.
Sifatnya yang relatif aman dan reversibilitas dari stimulasi korda spinalis, dan
juga harganya jika dihitung dalam jangka panjang membuatnya menjadi strategi
yang menarik untuk mengobati pasien dengan nyeri neuropati kronik refrakter129-
131
. Tinjauan sistematik, randomized controlled trials dan beberapa kasus
memberikan bukti jangka panjang mengenai efikasi dari stimulasi korda spinalis
kila dikombinasikan dengan terapi obat-obatan dibandingkan dengan terapi obat-
obatan pada berbagai nyeri neuropati132-134, dan telah memperlihatkan mampu
memberi ketahanan hasil selama 24 bulan pengobatan135,136. Dua percobaan acak
pada individu dengan nyeri neuropati diabetik melaporkan penurunan nyeri yang
lebih besar dan perbaikan kualitas hidup dibandingkan dengan kontrol137,138.
Panduan terbaru dari Eropa memberikan rekomendasi lemah untuk stimulasi
korda spinalis (dikombinasikan dengan terapi obat-obatan) dalam, contohnyam
nyeri neuropati diabetik118,119,139. Keberhasilan dari stimulasi korda spinalis untuk
nyeri neuropati mungkin tergantung pada pemilihan pasien yang tepat
berdasarkan kondisi psikologis, fenotip, peningkatan sensitisasi sentral dan
penurunan CPM140,141.

Stimulasi akar ganglion dorsal, saraf perifer dan lapangan saraf perifer
Neurostimulasi pada serabut aferen diluar korda spinalis (contohnya, akar
ganglion dorsal, yang terdiri dari badan sel dari neuron sensorik, dan saraf perifer)
dan stimulasi lapangan saraf perifer subkutan telah dilaporkan memberikan
pengobatan nyeri pada berbagai kondisi nyeri neuropati, termasuk neuralgia
oksipitak dan neuralgia pasca herpetik142,143. Penelitian kohort prospektif
multisenter pada pasien dengan nyeri neuropati kronis melaporkan bahwa
stimulasi akar ganglion dorsal memberikan pengurangan nyeri sebesar 56%
dengan angka responder sebesar 60% (>50% pengurangan nyeri)144. Observasi
preliminer ini diperiksa dengan percobaan terkontrol.

Neurostimulasi epidural dan kortikal transcranial


Epidural motor cortex stimulation (ECMS), repetitive transcranial magnetic
stimulation (rTMS) dan transcranial direct current stimulation (tDCS) pada
korteks motor pre-sentral pada tingkatan dibawah ambang motoric telah diajukan
sebagai pilihan pengobatan untuk pasien dengan nyeri neuropati kronik
refrakter145,147. Neurostimulasi kortikal dapat mengurangi hiperaktivitas thalamus
terkait nyeri atau mengaktifkan jalur inhibitorik desending. Laporan meta-analisis
menunjukkan bahwa 60-65% pasien berespon (>40% pengurangan nyeri)
terhadap EMCS147. ECMS merupakan prosedur neurosurgical yang memerlukan
penempatan intra-operatif yang tepat dari elektroda di seluruh region korteks
motorik yang terhubung dengan bagian tubuh yang nyeri untuk luaran yang
optimal.
rTMS dan tDCS merupakan terapi non-invasif yang melibatkan neurostimulasi
pada area otak dengan kawat magnetic atau elektroda pada kulit kepala. Sesi
berulang (5-10 sesi selama 1-2 minggu) dengan rTMS frekuensi tinggi (5-20 Hz)
memperlihatkan hasil yang pada kondisi campuran nyeri neuropati sentral, perifer,
dan fasial, dengan efeknya berlangsung selama > 2 minggu setelah stimulasi.
tDCS dilaporkan bagus dalam mengurangi beberapa kondisi neuropati perifer148.
Panduan Eropa terbaru mencakup rekomendasi yang lemah untuk penggunaan
EMCS dan rTMS pada nyeri neuropati kronis refrakter dan tDCS untuk nyeri
neuropati perifer133. Kontraindikasi dari rTMS meliputi riwayat epilepsi dan
terdapatnya klip aneurisma, elektroda dalam otak, alat pacu jantung, dan implant
kokhlea.

Stimulasi otak dalam


Penggunaan jangka panjang dari stimulasi intracranial untuk nyeri neuropati
masih kontroversial. Beberapa lokasi untuk stimulasi otak dalam, seperti kapsula
interna, berbagai nucleus sensorik di thalamus, substansi grisea periaqueductal
dan periventricular, septum, nucleus akumbens, hipotalamus posterior dan korteks
cingulate anterior, telah diperiksa sebagai potensi target otak untuk kontrol
nyeri149. Panduan dari The UK National Institute for Health and Care Excellence
(NICE) mengakui bahwa prosedur ini dapat efektif pada beberapa pasien yang
refrakter terhadap bentuk lain dari kontrol nyeri, namun bukti terbaru mengenai
keamanan stimulasi otak dalam menunjukkan potensi risiko yang signifikan,
seperti kejang intra-operatif, fraktur dan infeksi luka98. Berlawanan dengan
panduan dari NICE, panduan Eropa terbaru memberikan rekomendasi yang
inkoklusif139.

Terapi intratekal
Terapi intratekaltelah dikembangkan untuk mengantarkan obat ke saraf target
melalui pompa yang ditanamkan dan dapat diisi ulang pada pasien dengan nyeri
berat dan kronis yang refrakter terhadap pengobatan konservatif, termasuk
psikologis, fisik, farmakologis, dan terapi neuromodulasi150,151. Laporan dari
Polyanalgesic Consensus Conference 2012 menegaskan bahwa terapi ini berkaitan
dengan risiko morbiditas dan mortalitas yang serius dan membuat rekomendasi
untuk mengurangi insidens dari efek samping yang serius ini152. Satu-satunya obat
yang disetujui oleh FDA adalah untuk digunakan dengan alat ini adalah morfin
dan zicotonide (sebuah antagonis kanal kalsium tipe N)153. Efek samping yang
paling sering dilaporkan yang berkaitan dengan zicotonide adalah pusing, mual,
meracau, gangguan memori, nystagmus (gerakan mata yang tidak terkendali) dan
peningkatan kadar serum kreatinin kinase. Zicotonide dikontraindikasikan pada
pasien dengan riwayat psikosis, dan pasien harus diawasi akan tanda-tanda
gangguan kognitif, halusinasi atau perubahan mood dan kesadaran. Tidak
percobaan acak kualitas tinggi yang pernah dilakukan untuk menilai efikasi dari
zicotonide dan morfin; oleh sebab itu, rekomendasi terapi ini ialah konsensus dari
ahli berdasarkan pengalaman klinis atau seri kasus.

Terapi fisik
Terapi fisik, latihan dan teknik gerakan representasi (yaitu, terapi seperti terapi
pencerminan dan bayangan motor yang menggunakan observasi dan/atau
imajinasi dari gerakan bebas nyeri) telah jelas baik pada tatalaksana nyeri
neuropati154,155. Sebagai contoh, terapi cerminan dan bayangan motor efektif
dalam mengatasi nyeri dan disabilitas terkait dengan sindroma nyeri regional
kompleks tipe I dan tipe II156. Kualitas bukti yang mendukung intervensi ini untuk
nyeri neurropatik lemah dan diperluka penelitian lebih lanjut154,157.

Terapi psikologis
Orang dengan nyeri kronis tidaklah pasif; mereka secara aktif berusaha untuk
mengubah penyebab dari nyeri dan mengubah kebiasaan mereka sebagai respons
terhadap nyeri. Akan tetapi, bagi kebanyakan pasien, perubahan seperti itu tanpa
pertolongan terapeutik tidaklah dapat dicapai, dan usaha salah arah yang berulang
untuk menyelesaikan masalahn nyeri membawa mereka lebih jauh ke dalam siklus
nyeri, depresi dan disabilitas158. Saat ini, tidak ada penelitian untuk
mengidentifikasi siapa yang berisiko tidak dapat ditangani, nyeri neuropati yang
susah dikendalikan dan siapa yang mungkin dapat terbantu dengan intervensi
psikologis, meskipun penelitian akan hal ini sedang berjalan159.
Intervensi psikologis dirancang untuk membantu manajemen nyeri dan
mengurangi konsekuensi yang tidak diinginkan. Pengobatan ini seringkali
diberikan setelah intervensi farmakologis atau fisik telah gagal, meskipun mereka
dapat diperkenal lebih awal dan diterapi bersama dengan intervensi non
psikologis. Cognitive behavioural therapy (CBT) memperoleh pehatian penelitian
yang paling banyak; akan tetapi, CBT bukanlah terapi tunggal dan dapat berguna
dianggap sebagai teknik keluarga yang dijalankan bersama oleh naratif klinis
‘perubahan individu’ yang disampaikan oleh terapis yang dengan aktif mengatur
terapi ini. Terapi seperti ini menargetkan mood (biasanya ansietas dan depresi),
fungsi (termasuk disabilitas) dan kontak social, dan sekaligus secara tidak
langsung menargetkan analgesia. Luaran sekunder, terkadang dilaporkan karena
mereka biasanya penting dalam penyampaian terapi (contohnya, terapi gabungan
dan efikasi diri sendiri) atau karena mereka dinilai oleh satu atau lebih stakeholder
(contohnya, kembali ke pekerjaan dan penggunaan analgesik).
Tinjauan sistematik Cochrane mengenai intervensi psikologis untuk nyeri kronis
menganalisa data dari 35 percobaan, yang menunjukkan efek kecil sampai sedang
dari CBT dengan pembanding seperti edukasi, relaksasi dan pengobatan seperti
biasa160. Pada tinjauan bersama dari 15 percobaan yang memberikan terapi via
internet, konklusi positif yang serupa bermunculan, meskipun tinkat
konfidensialnya dari yang diperkirakan rendah161. Terapi psikologis selain dari
terapi perilaku dan CBT dipertimbangkan dalam tinjauan ini, namun tidak ada
diantaranya memiliki kualitas yang cukup untuk diinklusikan. Tinjauan Cochrane
lain mengenai percobaan yang dilakukan khusus pada pasien dengan nyeri
neuropati tidak ditemukan fakta yang mendukung atau melawan efikasi dan
kemanan dari intervensi psikologis untuk nyeri neuropati kronis162, dimana hal ini
tidak mengejutkan karena temuan serupa juga terlihat pada intervensi non –
psikologis163. Terdapat kebutuhan yang mendesak untuk penelitian mengenai
terapi yang dirancang khusus untuk pasien dengan nyeri neuropati, khususnya
pada pasien dengan nyeri neuropati diabetic, yang merupakan masalah yang
masih terus berkembang164. Khususnya, penelitian tentang CBT diperlukan denga
nisi yang secara khusus dirancang untuk memenuhi kebutuhan psikososial dari
pasien dengan neuropati, khususnya, bersamaan dengan berbagai tantangan
sensorik, komorbiditas, dan polifarmasi165. Pengetahuan bahwa nyeri neuropati
meningkat dengan usia juga bermakna bahwa pemahaman tentang akomodasi
penyakit di masa tua akan menjadi penting166. Selain itu, focus metodologis pada
pengalaman individu dan perubahan lintasan diperlukan, baik melalui pengalaman
satu kasus saja atau melalui pemeriksaan momentary ekologikal167. Selanjutnya,
teknologi komunikasi, khususnya, penggunaan inovasi kesehatan mobile,
cenderung memainkan peranan penting untuk solusi masa depan. Akan tetapi,
untuk mengatur hubungan terapeutik yang efektif dari jarak jauh, dan bagaimana
teknologi dan meningkat dan memperbaiki CBT secara tatap muka masih perlu
dijelaskan lebih lanjut168. Variable psikologikal teknis – seperti pemikiran
katastropik, penerimaan dan kesiapan untuk berubah – dipindahkan ke variable
proses. Sebaliknya, focus pragmatic terhadap luaran berbasi laporan pasien akan
penting dalam mengurangi nyeri, memperbaiki mood dan mengurangi disabilitas,
yang nanti selanjutnya akan memperbaiki kualitas hidup.

Kualitas hidup
Nyeri neuropati dapat secara substansial mengganggu kualitas hidup seperti yang
sering berkaitan dengan masalah-masalah lain, seperti kehilangan fungsi, ansietas,
depresi, gangguan fungsi, dan gangguan kognitif. Pengukuran dengan health-
related quality of life (HRQOL) yang mencakup berbagai dimensi kesehatan yang
meliputi fungsi fisik, mental, emosi, dan sosial sering digunakan ketika menilai
efikasi intervensi-intervensi yang lainnya dalam penalataksanaan nueri neuropati
dan non-neuropati kronis. Hal ini mungkin berguna ketika mengukur quality-
adjusted life years, yang perlu dalam analisis penggunaan biaya.
Instrumen HRQOL paling sering digunakan, sementara yang lainnya telah
didesain khusus untuk nyeri neuropati. Meyer-Rosberg et al memvalidasi the 36-
Item Short From Health Survey (SF-36) dan the Nottingham Health Profile (NHP)
dalam menilai HRQOL pada nyeri neuropati yang terkait dengan lesi di saraf
perifer atau akar serabut saraf pada pasien yang datang ke klinik nyeri169. Skor
dari 8 dimensi (vitalitas, fungsi fisik, nyeri jasmani, persepsi kesehatan general,
fungsi peran fisik, fungsi peran emosi, fungsi peran sosial, dan kesehatan mental)
pada SF-36 secara signifikan lebih rendah pada mereka dengan nyeri neuropati
dibandingkan dengan populasi umum, yang sejalan dengan penelitian lain170.
Onset terjadinya neuropati pada pasien dengan DM telah menunjukkan penurunan
yang signifikan pada semua aspek kualitas hidup171. Ketika polineuropati diabetic
disertai dengan nyeri, baik itu komponen fisik maupun mental pada kualitias
hidup akan lebih terpengaruh172. Penelitian terbaru juga menunjukan bahwa baik
kuisioner EuroQol five dimensions (EQ-5D) dan Short Form-6 dimension (SF-
6D) dapat membedakan antara nyeri kronik dengan atau tanpa nyeri neuropati173.
Selain itu, peran dari factor-faktor psikologis dalam mengurangi kualitas hidup
pada nyeri neuropati telah dianalisis174. SF-36 dan EQ-5D telah menjadi
instrument yang paling sering digunakan pada uji coba klimis untuk menilai
efikasi dari terapi, seperti gabapentin pada neuralgia post herpetik175,
polineuropati diabetik176, dan nyeri neuropati karena injuri saraf perifer170,; efikasi
duloxetine pada neuropati perifer diabetic177; dan efikasi stimulasi korda spinalis
pada polineuropati diabetik178.

Outlook
Meskipun mekanisme sistem saraf yang mendasari nueri neuropati kronis telah
diketahui melalui penelitian pada hewan dan manusia, perkembangan intervensi-
intervensi terbaru dengan peningkatan efikasi dan tolerabilitas berjalan lambat.
Pendekatan pada terapi terbaru dan juga membaiknya desain-desain uji klinis,
yang khusus mengarah pada profil genotipik dan fenotipik, memiliki prospek
yang baik untuk membangun kemajuan yang ada saat ini dalam penelitian dasar
dan translasi.

Desain Uji Klinis


Penjelasan tentang lambatnya progress dari pengidentifikasian terapi dengan
efikasi yang lebih baik yang mendapatkan perhatian terbesar adalah inadekuatnya
pemeriksaan sensitivitas uji klinis dan keperluan untuk menargetkan terapi pada
pasien yang paling mungkin berespon179-180. Sensitivitas pemeriksaan yang
dimaksud adalah kemampuan uji klinis yang mampu membedakan terapi yang
efektif dengan placebo (atau pembanding lainnya). Kemungkinan bahwa uji klinis
nyeri neuropati saat ini megalami kekurangan sensitivitas pemeriksaan konsisten
dengan temuan bahwa sejumlah besar uji klinis pada pasien dengan nyeri
neuropati yang meneliti obat-obatan dengan efikasinya sudah jelas diketahui
membuahkan hasil yang negatif7,181. Sebagai contoh, analisis baru-baru ini tentang
uji pada nyeri neuropati menunjukan bahwa sensitivitas pemeriksaan mengalami
penurunan karena penelitian tersebut memasukan pasien-pasien dengan tingkatan
nyeri awal yang sangat beragam182, yang menunjukan bahwa penelitian-penelitian
tersebut mungkin akan memiliki sensitivitas pemeriksaan yang lebih tinggi jika
pasien-pasien yang tingkatan nyeri yang sangat beragam tersebut dijadikan
kriteria eksklusi115.
Luaran uji klinis pada nyeri neuropati secara umum menunjukan efikasi yang
sedang, dengan NNT 50% pengurangan nyeri berkisar dari 6 sampai 8 pada meta-
analisis terakhir101. Beberapa alasan dapat menjelaskan hasil-hasil ini179-181,
termasuk tingginya respon placebo, variabilitas pada kriteria diagnostic yang
digunakan untuk nyeri neuropati pada uji klinis dan sensitivitas pemeriksaan yang
terbatas. Dengan demikian, diusulkan bahwa pendekatan terapeutik alternatif pada
nyeri neuropati sebaiknya menggabungkan pasien berdasarkan fenotip klinisnya
(tanda dan gejala)66,77,183,184, sedangkan kebanyakan percobaan menggunakan
klasifikasi pasien berdasarkan etiologinya.

Fenotiping
Beberapa uji klinis memberikan dukungan pada hubungan subgrouping fenotipik
pasien, yang memiliki potensi dalam membuat terapi nyeri yang lebih
terpersonalisasi di masa mendatang107,110,185,186. Khususnya, 2 fenotip – adanya
alodinia mekanik dan fungsi nosiseptif yang dipertahankan— yang sering
digabungkan dan tampaknya berespon pada bloker kanal natrium sistemik dan
topikal, toksin botulinum A, dan gel klonidin pada berbagai uji klinis
terbaru107,110,185. Memang benar, pada setiap terapi nyeri yang terpersonalisasi
akan bergantung pada kemampuan memilih pasien yang kemungkinan akan
berespon187.
Bukti klinis terkuat menunjukan bahwa profil dari tanda dan gejala mampu
mengidentifikasi treatment responders stems dari sebuah percobaan yang mana
pasien yang disebut memiliki fenotip nosiseptor iritabel memperlihatkan
penurunan rasa nyeri yang lebih besar dengan oxcarbazepin dibanding placebo
daripada pasien yang tanpa fenotip ini186. Penelitian ini merupakan satu-satunya
percobaan dimana analisis primer prespesifikasi memperlihatkan respon
pengobatan vs placebo yang berbeda pada kelompok pasien yang diidentifikasi
dengan cara fenotiping. Hasil ini sangat menjanjikan, namun memerlukan
replikasi sekaligus menggunakan pemeriksaan fenotiping yang cocok untuk uji
konfirmatori dan digunakan dalam praktik klinis188 Fenotiping juga mampu
digunakan untuk menilai apakah pada pasien tertentu memiliki respon yang lebih
baik pada terapi non-farmakologi, contohnya, intervensi invasive, psikologis, dan
komplementer188, dan juga untuk mengidentifikasi pasien-pasien yang paling
berespon pada terapi kombinasi. Memang benar, mengingat pentingnya harapan
dan factor psikologis dan sosial— meliputi mekanisme penyesuaian dan traumatik
adaptif— pada perkembangan dan perawatan nyeri neuropati, tidak
mengherankan bahwa fenotiping memiliki peran besar dalam menunjukan efikasi
intervensi psikologis seperti efeknya sebagai pengobatan sendiri.
Untuk meningkatkan desain, eksekusi, analisis, dan interpretasi dari uji klinis
terapi nyeri, beberapa kemitraan swasta telah melalukan usaha sistematik untuk
meningkatkan sensitivitas pemeriksaan dan menyediakan pendekatan yang
tervalidasi untuk melakukan fenotiping pasien dan mengidentifikasi pasien mana
yang paling berespon pada terapi. Usaha-usaha ini – termasuk ACTTION
(www.acttion.org), EuroPain (www.imieuropain.org) dan German Reseacrh
Network on Neuropathic Pain (www.neuro.med.tu-muenchen.de/dfns/) –
menyediakan dasar bukti untuk mendesain uji klinis nyeri neuropati di masa
mendatak dan untuk pengembangan pendekatan berdasarkan mekanisme terapi
nyeri neuropati personal.

Obat nyeri personal


Perawatan medis personal berpegang pada prinsip bahwa pasien dapat
digolongkan sedemikian rupa sehingga masing-masing pasien menerima terapi
yang paling efektif dan paling dapat ditoleransi sesuai dengan kebutuhan
individual mereka. Pasien dapat digolongkan menjadi beberapa tingkatan: fenotip
klinis, rincian profil sensorik, genetic dan potensi (di masa depan) menggunakan
model seluler untuk memfasilitasi pilihan terapi. Konsultasi yang dekat dengan
pasien diperlukan dan hal ini mencakup diskusi sekitar ketidakpastian risiko
genetic dan keseimbangan antara efikasi dan tolerabilitas untuk terapi yang
berpotensi digunakan. Penelitian genetic pada manusia menunjukan bahwa Na v1.7
merupakan target nyeri yang sangat penting189, dan terapi yang bertujuan
menargetkan Nav1.7 memberikan contoh situasi dimana pemeriksaan untuk
mutasi genetic tertentu dapat membantu dalam pengobatan pasien. Mutasi
kehilangan fungsi menyebabkan inses=nsitivitas congenital terhadap nyeri dan
mutasi peningkatan fungsi menyebabkan kelainan nyeri turunan yang jarang,
meliputi eryhtromelalgia turunan31, kelainan nyeri paroksismal ekstrim32 dan
neuropati serabut saraf kecil idiopatik (yang meliputi nyeri dan degenerasi pada
serabut saraf kecil di ekstremitas)33.
Oleh karena itu informasi genetic dapat membantu diagnostic; akan tetapi,
interpretasi dari hasil pemeriksaan genetic bersifat kompleks dan harus diiringi
oleh analisis fungsional dari kanal ion mutan jika memungkinkan190.
Sederhananya, dalam konteks neuropati serabut saraf kecil, mutasi yang terjadi
mungkin tidak sepenuhnya jelas fenotipnya. Menemukan mutasi pada SCN9A
mungkin dapat segera berefek pada pemilihan terapi dengan obat yang
aktivitasnya menghambat gerbang voltase kanal natrium (normalnya bukan
merupakan agen lini pertama dalam terapi nyeri neuropati), seperti mexiletine,
yang tidak direkomendasikan dalam terapi nyeri neuropati tetapi digunakan pada
erythrimelalgia turunan, dimana mexiletine terlah terbukti efikasinya dalam
menormalkan kembali property kanal yang abnormal secara in vitro191 dan efikasi
klinisnya pada kasus-kasus individual. Langkah selanjutnya telah diambil dalam
menggunakan model structural dari Nav1.7 untuk memprediksi terapi apa yang
akan direspon oleh mutasi tertentu192; hasil modeling tersebut digunakan untuk
memprediksi efikasi dari karbamazepin (pemblok gerbang kanal voltase natrium)
pada erythomelalgia turunan yang berkaitan dengan mutasi SCN9A S24t193.
Terlebih lagi, pembuatan nosiseptor secara invitro menggunakan sel punca
pluripoten terinduksi yang diambil dari pasien saat ini sudah dapat dilakukan.
Pada kasus kelainan nyeri Mendelian yang jarang (seperti erythromelalgia
turunan), nosiseptor ini mengalami hipereksitabilitas194. Terapi yang menargetkan
Nav1.7 dapat diskrining pada model selular tersebut dan terkait pada efikasi
klinisnya sebagai konsep yang nyata sebelum digunakan pada pasien (nosiseptor
ini terbukti mengalami hipereksitabilitas pada erythromelalgia turunan194).
Pengelompokan genetic lebih sulit dilakukan pada kondisi nyeri neuropati biasa
yang didapat, seperti pada nyeri neuropati diabetic, karena kondisi seperti itu
bersifat poligenik dan dipengaruhi oleh interaksi lingkungan yang cukup
signifikan. Oleh sebab itu, relevansi dari target individu seperti Nav1.7 pada
kondisi ini masih kurang jelas. Meskipun dengan keterbatasannya, prospek dari
pengobatan personal membawa kita satu langkah lebih maju dalam strategi
penatalaksanaan nyeri yang menjanjikan.

Anda mungkin juga menyukai