Abstrak
Nyeri neuropati disebabkan oleh lesi atau penyakit pada sistem somatosensorik,
yang meliputi serabut saraf perifer (Aβ, Aδ, dan serabut tipe C) dan sentral, dan
mengenai sekitar 7-10% dari populasi secara umum. Berbagai penyebab nyeri
neuropati telah dijelaskan dan insidensnya cenderung meningkat seiring dengan
usia dari populasi, peningkatan insidens diabetes mellitus (DM) dan
meningkatnya angka ketahanan hidup dari kanker setelah kemoterapi. Tentu saja,
ketidakseimbangan antara sinyaling dari proses eksitatorik dan inhibitorik,
gangguan pada kanal-kanal ion dan keberagaman dalam cara rangsangan nyeri itu
sendiri disampaikan dan dimodulasi pada sistem saraf pusat juga telah
diimplikasikan pada dalam proses nyeri neuropati. Hal yang menjadi beban dari
nyeri neuropati ini sepertinya berkaitan dengan kompleksitas dari gejala
neuropati, luaran yang buruk dan sulitnya dalam menentukan pilihan pengobatan.
Penting juga diketahui, kualitas hidup juga mengalami penurunan pada pasien
dengan nyeri neuropati karena meningkatnya obat yang diresepkan dan seringnya
kunjungan ke fasilitas kesehatan, dan juga tentunya morbiditas dari nyeri itu
sendiri. Terlepas dari tantangan yang ada, kemajuan dalam pemahaman terhadap
patofisiologi dari nyeri neuropati memacu pengembangan prosedur diagnostik
terbaru dan intervensi secara personal, yang menegaskan bahwa diperlukan
pendekatan multidisiplin dalam menangani nyeri neuropati.
Epidemiologi
Perkiraan insidens dan prevalens dari nyeri neuropati sulit ditentukan karena
kurangnya kriteria diagnostik sederhana untuk survey epidemiologi besar dalam
populasi umum. Oleh karena itu, prevalensi dari nyeri neuropati pada populasi
dengan nyeri kronik terutama diperkirakan berdasarkan pada penelitian8 yang
dilakukan oleh pusat khusus dengan fokusnya pada kondisi-kondisi tertentu
seperti neuralgia postherpetik9,10, polineuropati diabetik yang nyeri1,11-13, nyeri
neuropati pasca pembedahan, sclerosis multipel15,16, trauma korda spinalis17,
stroke18 dan kanker19,20.
Perkembangan terbaru dari alat skrining sederhana dalam bentuk kuisioner 21
telah membantu dalam menjalankan beberapa survey epidemiologi besar pada
beberapa negara (United Kingdom, United States, France, dan Brazil) dan
memberikan informasi baru yang berharga tentang prevalensi umum dari nyeri
neuopatik4. Dalam penggunaan alat skrining, seperti Douleur Neuropathique 4
questions (DN4)22 atau skala nyeri dari Leeds Assessment of Neuropathic
Symptomps and Signs (LANSS)23 (BOX 2), diperkirakan angka prevalensi nyeri
kronik dengan karakteristik neuropati sekitar 7-10%8,24.
Nyeri neuropati kronis lebih sering terjadi pada wanita (8% versus 5,7%
pada pria) dan pada pasien berusia > 50 tahun (8,9% versus 5,6% pada pasien
berusia < 49 tahun), dan paling sering mengenai punggung bawah dan tungkai
bawah, leher, dan tungkai atas24. Nyeri radikulopati lumbar dan servikal
meungkin merupakan penyebab tersering dari nyeri neuropati kronis. Konsisten
dengan data tersebut, sebuah survey terhadap > 12.000 pasien dengan nyeri kronis
baik tipe nosiseptif dan neuropati, yang dirujuk ke spesialis nyeri di Jerman,
menunjukkan bahwa 40% dari semua pasien mengalami setidaknya beberapa
karakteristik dari nyeri neuropati (seperti rasa terbakar, baal, dan geli); pasien
dengan nyeri punggung dan radikulopati kronis sebagian juga terkena25.
Mekanisme/patofisiologi
Penelitian di bidang nyeri berfokus pada pemahaman tentang perubahan dari segi
plastic pada sistem saraf setelah terjadinya cedera, menentukan target terapeutik
terbaru dan memfasilitasi transfer pengetahuan dari hewan coba pada praktik
klinis. Kami menjelaskan secara singkat berbagai penyebab dari nyeri neuropati
dan tinjauan terkini dari temuan pada hewan dan manusia yang memberikan
pemahaman tentang patofisiologi dari nyeri neuropati.
Teknik-teknik neurofisiologis
Laser-evoked potentials (LEPs) secara luas dianggap sebagai alat neurofisiologis
yang paling dapat dipercaya untuk menilai fungsi-fungsi nosiseptof67,72.
Contohnya, uji konduksi saraf, refleks trigeminal dan potensial bangkitan
somatosensorik— teknik-teknik neurofisiologis standar yang dimediasi serabut
Aβ— tidak memberikan informasi mengenai jalur nosiseptif. Akan tetapi, mereka
masih berguna untuk mengidentifikasi kerusakan di sepanjang jalur
somatosensorik dan secara luas digunakan untuk memeriksa penyakit perifer dan
SSP yang menyebabkan nyeri neuropati73. Stimulasi laser secara selektif
mengaktivasi nosiseptor Aδ dan C pada lapisan superficial kulit74.
LEP terkait pada aktivasi serabut Aδ telah menjadi standar untuk penggunaan
klinis. Respon terhadap stimulasi direkam dari kulit kepala dan terdiri dari
gelombang-gelombang dengan latensi yang berbeda-beda. Pada penyakit yang
berkaitan dengan kerusakan jalur nosiseptif, LEP bisa saja tidak ada, menurun
amplitudonya atau latensinya melambat75-77. Diantara potensial bangkitan
nosiseptif, potensial bangkitan panas kontak juga sering digunakan dalam menilai
nyeri neuropati78. Elektroda konsentrik juga telah diperkenalkan untuk mengukur
potensial bangkitan terkair nyeri dan keterlibatan serabut saraf kecil pada nyeri
neuropati79. Oleh sebab itu, beberapa penelitian menyatakan bahwa elektroda
konsentrik juga mengaktivasi serabut Aβ non-nosiseptif; Oleh karena itu, rekaman
bangkitan potensial terkait nyeri tidak cocok untuk menilai sistem nosiseptif78.
Biopsi Kulit
Biopsy kulit untuk memeriksa inervasi epidermal dianggap sebagai alat yang
paling sensitif untuk neuropati serabut kecil80. Teknik ini berguna karena kulit
memiliki banyak serabut saraf C terminal yang tidak bermyelin, dengan relatif
sedikit serabut Aδ yang kehilangan selubung myelinnya dan mencapai epidermis
sebagai ujung saraf bebas yang tidak bermyelin81,82. Akan tetapi, hubungan antara
data biospi kulit dan nyeri neuropati masih tidak jelas. Sebuah penelitian pada 139
pasien dengan neuropati perifer menunjukkan bahwa hilangnya sebagian serabut
saraf intraepidermal, seperti yang diperiksa dengan biopsy kulit, berkaitan dengan
bangkitan nyeri83.
Pencegahan
Oleh karena pengobatan yang tersedia untuk nyeri neuropati memiliki kelebihan
yang sedang namun bermakna (lihat tatalaksana), intervensi yang mencegah nyeri
neuropati dapat memiliki efek yang substansial pada kesehatan masyarakat. Tentu
saja, peningkatan perhatian terhadap pencegahan memiliki potensi untuk
mengurangi disabilitas yang dialami oleh banyak pasien dengan nyeri neuropati
kronis. Melakukan gaya hidup yang sehat dan edukasi tentang kondisi kesehatan
yang menyebabkan nyeri merupakan komponen yang penting dalam pencegahan,
khususnya pada mereka yang memiliki risiko besar menderinya nyeri neuropati87.
Program-program pencegahan yang menggabungkan secara bersamaan intervensi
medis dan kebiasaan dapat membuat kelebihan preventif yang lebih baik.
Identifikasi factor risiko penting untuk mencegah nyeri neuroaptik terjadi pada
individu yang berisiko. Strategi pencegahan utama (pada individu yang secara
umum sehat namun berisiko) meliputi vaksin herpes zoster hidup yang
dilemahkan88,89 dan subunit tambahan90,91, keduanya mengurangi kemungkinan
terjadinya infeksi herpes zoster pada individu berusia >= 50 tahun88-91, sehingga,
mengurangi kemungkinan terjadinya neuralgia pasca herpetic. Pencegahan
sekunder meliputi pemberian intervensi preventif pada individu yang sedang sakit,
cedera atau pengobatan yang dapat menyebabkan nyeri neuropati kronik. Contoh
dari pendekatan ini adalah pengobatan perioperatif pada pasien pembedahan untuk
mencegah nyeri kronik pasca bedah92 dan penggunaan antiviral atau pengobatan
analgetik pada pasien dengan infeksi herpes zoster93. Selanjutnya, manajemen
yang tepat dari kondisi kesehatan, seperti DM, dapat mencegah nyeri neuropati
bahkan sebelum ia muncul.
Tatalaksana
Tatalaksana dari nyeri neuropati secara umum focus pada mengobati gejalanya
Karena penyebab dari nyeri tersebut jarang kali dapat disembuhkan; selanjutnya,
tatalaksana dari kondisi etiologi, seperti DM, biasanya tidak cukup untuk
menghilangkan nyeri neuropati. Pasien dengan nyeri neuropati secara umum tidak
respon terhadap analgetik seperti asetaminofen, OAINS, atau opioid lemah seperti
kodein. Pendekatan tradisional untuk tatalaksana pasien dengan nyeri neuropati
adalah dengan memulai dengan farmakologi konservatif dan teraoi-terapi
pelengkap sebelum strategi intervensional, seperti blok saraf dan neuromodulasi,
digunakan. Akan tetapi, kurangnya efikasi dari obat-obatan, populasi pasien yang
menua, polifarmasi pada pasien-pasien tua, dan efek samping terkait opioid telah
menyebabkan meningkatnya penggunaan terapi intervensional. Penelitian klinis
kurang dapat membantu mengarahkan para dokter untuk memberikan urutan
terapi yang optimal pada pasien ini.
Intervensi obat-obatan
Berbagai rekomendasi terapeutik, dengan kelas obat-obatan yang berbeda, untuk
nyeri neuropati telah diajukan95-99. Berdasarkan tinjauan sistematik dan
metaanalisis dari seluruh penelitian obat-obatan yang dilaporkan sejak 1966,
termasuk percobaan yang tidak dipublikasikan100, pregabalin (analog GABA),
gabapentin (inhibitor GABA), duloxetine (SNRI) dan berbagai antidepresan
trisiklik memiliki rekomendasi yang kuat untuk digunakan dan direkomendasikan
sebagai terapi lini pertama untuk nyeri neuropati perifer dan sentral. Patch
Capsaicin konsentrasi tinggi (komponen aktif dari cabe), patch lidokain dan
tramadol (opioid dengan efek SNRI) memiliki bukti yang lemah dalam
mendukung kegunaannya dan direkomendasikan sebagai terapi lini kedua untuk
nyeri neuropati perifer saja. Opioid kuat dan toksin botulinum A (yang diresepkan
oleh spesialis) memiliki rekomendasi yang lemah untuk digunakan sebagai terapi
lini 3. Akan tetapi, kebanyakan dari terapi ini memiliki efikasi yang sedang
berdasarkan pada angka number needed to treat (NNT merupakan jumlah pasien
yang diperlukan untuk diobati untuk memperoleh 1 responder yang lebih dari
terapi pembandingnya, biasanya plasebo) untuk memperoleh perbaikan nyerii
sebesar 50%101 (tabel 1). Selanjutnya, terapi farmakologi untuk nyeri neuropati
kronis efektif pada <50% pasien dan mungkin berkaitan dengan efek samping
yang membatasi kegunaan klinisnya101.
Terapi terbaru
Beberapa obat yang menargetkan mekanisme aksi baru sedang dalam
pengembangan klinis untuk terapi nyeri neuropati perifer. Obat ini meliputi,
khususnya agen-agen bloker subtype kanal natrium selektif, khususnya antagonis
Nav1.7114 dan EMA401, sebuah antagonis angiotensin tipe 2 baru yang telah
ditemukan efektif pada percobaan fase 2 pada neuralgia pasca herpetik115.
Meskipun masih dalam fase preklinis, penelitian-penelitian memperlihatkan hasil
yang menjanjikan dari terapi sel punca untuk nyeri neuropati116-117.
Terapi intervensional
Terapi intervensional, seperti blok saraf atau prosedur pembedahan yang
mengantarkan obat langsung ke area target, atau modulasi dari struktur neural
tertentu, memberikan strategi pengobatan alternatif pada pasien-pasien terpilih
dengan nyeri neuropati refrakter118-119 (gambar 6). Meskipun secara umum aman,
stimulasi korda spinalis dan saraf perifer telah dihubungkan dengan komplikasi-
komplikasi terkait peralatan maupun biologis, seperti iinfeksi dan efek samping
terkait pemograman atau terkait pengobatan (termasuk di dalamnya nyeri
parestesia)120-121.
Stimulasi akar ganglion dorsal, saraf perifer dan lapangan saraf perifer
Neurostimulasi pada serabut aferen diluar korda spinalis (contohnya, akar
ganglion dorsal, yang terdiri dari badan sel dari neuron sensorik, dan saraf perifer)
dan stimulasi lapangan saraf perifer subkutan telah dilaporkan memberikan
pengobatan nyeri pada berbagai kondisi nyeri neuropati, termasuk neuralgia
oksipitak dan neuralgia pasca herpetik142,143. Penelitian kohort prospektif
multisenter pada pasien dengan nyeri neuropati kronis melaporkan bahwa
stimulasi akar ganglion dorsal memberikan pengurangan nyeri sebesar 56%
dengan angka responder sebesar 60% (>50% pengurangan nyeri)144. Observasi
preliminer ini diperiksa dengan percobaan terkontrol.
Terapi intratekal
Terapi intratekaltelah dikembangkan untuk mengantarkan obat ke saraf target
melalui pompa yang ditanamkan dan dapat diisi ulang pada pasien dengan nyeri
berat dan kronis yang refrakter terhadap pengobatan konservatif, termasuk
psikologis, fisik, farmakologis, dan terapi neuromodulasi150,151. Laporan dari
Polyanalgesic Consensus Conference 2012 menegaskan bahwa terapi ini berkaitan
dengan risiko morbiditas dan mortalitas yang serius dan membuat rekomendasi
untuk mengurangi insidens dari efek samping yang serius ini152. Satu-satunya obat
yang disetujui oleh FDA adalah untuk digunakan dengan alat ini adalah morfin
dan zicotonide (sebuah antagonis kanal kalsium tipe N)153. Efek samping yang
paling sering dilaporkan yang berkaitan dengan zicotonide adalah pusing, mual,
meracau, gangguan memori, nystagmus (gerakan mata yang tidak terkendali) dan
peningkatan kadar serum kreatinin kinase. Zicotonide dikontraindikasikan pada
pasien dengan riwayat psikosis, dan pasien harus diawasi akan tanda-tanda
gangguan kognitif, halusinasi atau perubahan mood dan kesadaran. Tidak
percobaan acak kualitas tinggi yang pernah dilakukan untuk menilai efikasi dari
zicotonide dan morfin; oleh sebab itu, rekomendasi terapi ini ialah konsensus dari
ahli berdasarkan pengalaman klinis atau seri kasus.
Terapi fisik
Terapi fisik, latihan dan teknik gerakan representasi (yaitu, terapi seperti terapi
pencerminan dan bayangan motor yang menggunakan observasi dan/atau
imajinasi dari gerakan bebas nyeri) telah jelas baik pada tatalaksana nyeri
neuropati154,155. Sebagai contoh, terapi cerminan dan bayangan motor efektif
dalam mengatasi nyeri dan disabilitas terkait dengan sindroma nyeri regional
kompleks tipe I dan tipe II156. Kualitas bukti yang mendukung intervensi ini untuk
nyeri neurropatik lemah dan diperluka penelitian lebih lanjut154,157.
Terapi psikologis
Orang dengan nyeri kronis tidaklah pasif; mereka secara aktif berusaha untuk
mengubah penyebab dari nyeri dan mengubah kebiasaan mereka sebagai respons
terhadap nyeri. Akan tetapi, bagi kebanyakan pasien, perubahan seperti itu tanpa
pertolongan terapeutik tidaklah dapat dicapai, dan usaha salah arah yang berulang
untuk menyelesaikan masalahn nyeri membawa mereka lebih jauh ke dalam siklus
nyeri, depresi dan disabilitas158. Saat ini, tidak ada penelitian untuk
mengidentifikasi siapa yang berisiko tidak dapat ditangani, nyeri neuropati yang
susah dikendalikan dan siapa yang mungkin dapat terbantu dengan intervensi
psikologis, meskipun penelitian akan hal ini sedang berjalan159.
Intervensi psikologis dirancang untuk membantu manajemen nyeri dan
mengurangi konsekuensi yang tidak diinginkan. Pengobatan ini seringkali
diberikan setelah intervensi farmakologis atau fisik telah gagal, meskipun mereka
dapat diperkenal lebih awal dan diterapi bersama dengan intervensi non
psikologis. Cognitive behavioural therapy (CBT) memperoleh pehatian penelitian
yang paling banyak; akan tetapi, CBT bukanlah terapi tunggal dan dapat berguna
dianggap sebagai teknik keluarga yang dijalankan bersama oleh naratif klinis
‘perubahan individu’ yang disampaikan oleh terapis yang dengan aktif mengatur
terapi ini. Terapi seperti ini menargetkan mood (biasanya ansietas dan depresi),
fungsi (termasuk disabilitas) dan kontak social, dan sekaligus secara tidak
langsung menargetkan analgesia. Luaran sekunder, terkadang dilaporkan karena
mereka biasanya penting dalam penyampaian terapi (contohnya, terapi gabungan
dan efikasi diri sendiri) atau karena mereka dinilai oleh satu atau lebih stakeholder
(contohnya, kembali ke pekerjaan dan penggunaan analgesik).
Tinjauan sistematik Cochrane mengenai intervensi psikologis untuk nyeri kronis
menganalisa data dari 35 percobaan, yang menunjukkan efek kecil sampai sedang
dari CBT dengan pembanding seperti edukasi, relaksasi dan pengobatan seperti
biasa160. Pada tinjauan bersama dari 15 percobaan yang memberikan terapi via
internet, konklusi positif yang serupa bermunculan, meskipun tinkat
konfidensialnya dari yang diperkirakan rendah161. Terapi psikologis selain dari
terapi perilaku dan CBT dipertimbangkan dalam tinjauan ini, namun tidak ada
diantaranya memiliki kualitas yang cukup untuk diinklusikan. Tinjauan Cochrane
lain mengenai percobaan yang dilakukan khusus pada pasien dengan nyeri
neuropati tidak ditemukan fakta yang mendukung atau melawan efikasi dan
kemanan dari intervensi psikologis untuk nyeri neuropati kronis162, dimana hal ini
tidak mengejutkan karena temuan serupa juga terlihat pada intervensi non –
psikologis163. Terdapat kebutuhan yang mendesak untuk penelitian mengenai
terapi yang dirancang khusus untuk pasien dengan nyeri neuropati, khususnya
pada pasien dengan nyeri neuropati diabetic, yang merupakan masalah yang
masih terus berkembang164. Khususnya, penelitian tentang CBT diperlukan denga
nisi yang secara khusus dirancang untuk memenuhi kebutuhan psikososial dari
pasien dengan neuropati, khususnya, bersamaan dengan berbagai tantangan
sensorik, komorbiditas, dan polifarmasi165. Pengetahuan bahwa nyeri neuropati
meningkat dengan usia juga bermakna bahwa pemahaman tentang akomodasi
penyakit di masa tua akan menjadi penting166. Selain itu, focus metodologis pada
pengalaman individu dan perubahan lintasan diperlukan, baik melalui pengalaman
satu kasus saja atau melalui pemeriksaan momentary ekologikal167. Selanjutnya,
teknologi komunikasi, khususnya, penggunaan inovasi kesehatan mobile,
cenderung memainkan peranan penting untuk solusi masa depan. Akan tetapi,
untuk mengatur hubungan terapeutik yang efektif dari jarak jauh, dan bagaimana
teknologi dan meningkat dan memperbaiki CBT secara tatap muka masih perlu
dijelaskan lebih lanjut168. Variable psikologikal teknis – seperti pemikiran
katastropik, penerimaan dan kesiapan untuk berubah – dipindahkan ke variable
proses. Sebaliknya, focus pragmatic terhadap luaran berbasi laporan pasien akan
penting dalam mengurangi nyeri, memperbaiki mood dan mengurangi disabilitas,
yang nanti selanjutnya akan memperbaiki kualitas hidup.
Kualitas hidup
Nyeri neuropati dapat secara substansial mengganggu kualitas hidup seperti yang
sering berkaitan dengan masalah-masalah lain, seperti kehilangan fungsi, ansietas,
depresi, gangguan fungsi, dan gangguan kognitif. Pengukuran dengan health-
related quality of life (HRQOL) yang mencakup berbagai dimensi kesehatan yang
meliputi fungsi fisik, mental, emosi, dan sosial sering digunakan ketika menilai
efikasi intervensi-intervensi yang lainnya dalam penalataksanaan nueri neuropati
dan non-neuropati kronis. Hal ini mungkin berguna ketika mengukur quality-
adjusted life years, yang perlu dalam analisis penggunaan biaya.
Instrumen HRQOL paling sering digunakan, sementara yang lainnya telah
didesain khusus untuk nyeri neuropati. Meyer-Rosberg et al memvalidasi the 36-
Item Short From Health Survey (SF-36) dan the Nottingham Health Profile (NHP)
dalam menilai HRQOL pada nyeri neuropati yang terkait dengan lesi di saraf
perifer atau akar serabut saraf pada pasien yang datang ke klinik nyeri169. Skor
dari 8 dimensi (vitalitas, fungsi fisik, nyeri jasmani, persepsi kesehatan general,
fungsi peran fisik, fungsi peran emosi, fungsi peran sosial, dan kesehatan mental)
pada SF-36 secara signifikan lebih rendah pada mereka dengan nyeri neuropati
dibandingkan dengan populasi umum, yang sejalan dengan penelitian lain170.
Onset terjadinya neuropati pada pasien dengan DM telah menunjukkan penurunan
yang signifikan pada semua aspek kualitas hidup171. Ketika polineuropati diabetic
disertai dengan nyeri, baik itu komponen fisik maupun mental pada kualitias
hidup akan lebih terpengaruh172. Penelitian terbaru juga menunjukan bahwa baik
kuisioner EuroQol five dimensions (EQ-5D) dan Short Form-6 dimension (SF-
6D) dapat membedakan antara nyeri kronik dengan atau tanpa nyeri neuropati173.
Selain itu, peran dari factor-faktor psikologis dalam mengurangi kualitas hidup
pada nyeri neuropati telah dianalisis174. SF-36 dan EQ-5D telah menjadi
instrument yang paling sering digunakan pada uji coba klimis untuk menilai
efikasi dari terapi, seperti gabapentin pada neuralgia post herpetik175,
polineuropati diabetik176, dan nyeri neuropati karena injuri saraf perifer170,; efikasi
duloxetine pada neuropati perifer diabetic177; dan efikasi stimulasi korda spinalis
pada polineuropati diabetik178.
Outlook
Meskipun mekanisme sistem saraf yang mendasari nueri neuropati kronis telah
diketahui melalui penelitian pada hewan dan manusia, perkembangan intervensi-
intervensi terbaru dengan peningkatan efikasi dan tolerabilitas berjalan lambat.
Pendekatan pada terapi terbaru dan juga membaiknya desain-desain uji klinis,
yang khusus mengarah pada profil genotipik dan fenotipik, memiliki prospek
yang baik untuk membangun kemajuan yang ada saat ini dalam penelitian dasar
dan translasi.
Fenotiping
Beberapa uji klinis memberikan dukungan pada hubungan subgrouping fenotipik
pasien, yang memiliki potensi dalam membuat terapi nyeri yang lebih
terpersonalisasi di masa mendatang107,110,185,186. Khususnya, 2 fenotip – adanya
alodinia mekanik dan fungsi nosiseptif yang dipertahankan— yang sering
digabungkan dan tampaknya berespon pada bloker kanal natrium sistemik dan
topikal, toksin botulinum A, dan gel klonidin pada berbagai uji klinis
terbaru107,110,185. Memang benar, pada setiap terapi nyeri yang terpersonalisasi
akan bergantung pada kemampuan memilih pasien yang kemungkinan akan
berespon187.
Bukti klinis terkuat menunjukan bahwa profil dari tanda dan gejala mampu
mengidentifikasi treatment responders stems dari sebuah percobaan yang mana
pasien yang disebut memiliki fenotip nosiseptor iritabel memperlihatkan
penurunan rasa nyeri yang lebih besar dengan oxcarbazepin dibanding placebo
daripada pasien yang tanpa fenotip ini186. Penelitian ini merupakan satu-satunya
percobaan dimana analisis primer prespesifikasi memperlihatkan respon
pengobatan vs placebo yang berbeda pada kelompok pasien yang diidentifikasi
dengan cara fenotiping. Hasil ini sangat menjanjikan, namun memerlukan
replikasi sekaligus menggunakan pemeriksaan fenotiping yang cocok untuk uji
konfirmatori dan digunakan dalam praktik klinis188 Fenotiping juga mampu
digunakan untuk menilai apakah pada pasien tertentu memiliki respon yang lebih
baik pada terapi non-farmakologi, contohnya, intervensi invasive, psikologis, dan
komplementer188, dan juga untuk mengidentifikasi pasien-pasien yang paling
berespon pada terapi kombinasi. Memang benar, mengingat pentingnya harapan
dan factor psikologis dan sosial— meliputi mekanisme penyesuaian dan traumatik
adaptif— pada perkembangan dan perawatan nyeri neuropati, tidak
mengherankan bahwa fenotiping memiliki peran besar dalam menunjukan efikasi
intervensi psikologis seperti efeknya sebagai pengobatan sendiri.
Untuk meningkatkan desain, eksekusi, analisis, dan interpretasi dari uji klinis
terapi nyeri, beberapa kemitraan swasta telah melalukan usaha sistematik untuk
meningkatkan sensitivitas pemeriksaan dan menyediakan pendekatan yang
tervalidasi untuk melakukan fenotiping pasien dan mengidentifikasi pasien mana
yang paling berespon pada terapi. Usaha-usaha ini – termasuk ACTTION
(www.acttion.org), EuroPain (www.imieuropain.org) dan German Reseacrh
Network on Neuropathic Pain (www.neuro.med.tu-muenchen.de/dfns/) –
menyediakan dasar bukti untuk mendesain uji klinis nyeri neuropati di masa
mendatak dan untuk pengembangan pendekatan berdasarkan mekanisme terapi
nyeri neuropati personal.