Anda di halaman 1dari 4

***

Cinta kepada Allah merupakan konsekuensi keimanan. Tidak akan sempurna tauhid
(peng-Esaan) kepada Allah hingga seorang hamba mencintai Tuhannya secara
sempurna. Kecintaa tidak bisa didefinisikan dengan lebih jelas keculai dengan kata
“kecintaan” itu sendiri. Dan tidak bisa disifatkan dengan yang lebih jelas seperti kata
“kecintaan ” itu sendiri. Tidak ada sesuatu yang esensinya patut dicintai dari segala
sisi selain Allah, yang memang tidak boleh ada penyembahan, peribadatan,
ketundukan dan kepatuhan serta kecintaan yang sempurna kecuali hanya kepada
Nya –Subhanahu wa Ta’ala-.

Cinta kepada Allah, bukanlah sembarang cinta; tidak ada suatu apapun yang lebih
dicintai dalam hati seseorang selain Sang Penciptanya, Kreatornya. Dialah
Tuhannya, Sesembahannya, Pelindungnya, Pengayomnya, Pengaturnya, Pemberi
rezekinya, dan Pemberi hidup dan matinya. Maka mencintai Allah –Subhanahu wa
Ta’ala– merupakan kesejukan hati, kehidupan jiwa, kebahagiaan sukma, hidangan
batin, cahaya akal budi, penyejuk pKitangan dan pelipur perasaan.
Tiada suatu apapun menurut hati yang bersih, sukma yang suci, pikiran yang jernih
lebih indah, lebih nyaman, lebih lezat, lebih menyenangkan dan lebih nikmat dari
pada kecintaan kepada Allah, perasaan tenteram damai di sisi-Nya dan kerinduan
akan perjumpaan dengan-Nya.

Yahya Bin Mu’adz berkata :


“Ampunan-Nya mencakup (menggugurkan) seluruh dosa, lalu bagaimana lagi
dengan ridho-Nya? Ridho-Nya begitu mendominasi seluruh cita-cita dan harapan,
lantas bagaimana dengan kecintaan-Nya? Kecintaan-Nya begitu mengagumkan akal
pikiran, lalu bagaimana dengan kasih sayang-Nya? Kasih sayangnya begitu
melupakan segala yang selainNya, lalu bagaimana dengan kelembutan-Nya?

Maka, terukur dengan sejauh mana cinta kasih seseorang kepada Allah, sejauh itu
pula ia akan merasakan lezat dan manisnya iman. Barangsiapa yang hatinya karam
dalam kecintaan kepada Allah, maka cukuplah hal itu menjadikannya tidak perlu
dengan kecintaan, kekhawatiran dan kepasrahan hati kepada selain Allah. Sebab
tidak ada yang dapat memuaskan hati, tidak bisa mengisi relung-relung cinta
hatinya, serta tidak bisa mengenyangkan rasa laparnya kecuali cinta kepada Allah –
Subhanahu wa Ta’ala-.

***
Katakan saja hati seseorang mendapatkan segala apa yang melezatkan, tidaklah ia
merasa damai dan tenteram kecuali dengan kecintaannya kepada Allah –
Subhanahu wa Ta’ala-. Jika seseorang kehilangan cinta kepada Allah dalam
hatinya, maka kepedihan yang dirasakannya jauh lebih parah dari pada kepedihan
mata karena kehilangan cahaya pengelihatan, atau kepedihan telinga karena
kehilangan pendengaran, hidung karena kehilangan penciuman dan mulut karena
kehilangan kemampuan berbicara, bahkan kerusakan hati akibat kekosongan dari
rasa cinta kepada Allah sebagai Penciptanya, Pencetus wujudnya dan Tuhan
sesembahannya yang sejati, jauh lebih berat dari pada kerusakan fisik karena
terpisah dari nyawanya.
Esensi (hakikat) cinta adalah bilamana Kita merelakan segala yang Kita miliki untuk
seseorang yang Kita cintai sehingga tidak menyisakan sedikitpun apa yang ada
pada diri Kita. Di sinilah, maka kecintaan seseorang kepada Allah hendaklah
mengalahkan mendominasi segala perkara yang dicintai, sehingga apapun yang
dicintai oleh seseorang tunduk kepada cinta yang satu ini yang menjadi penyebab
kebahagiaan dan kesuksesan bagi dirinya.

Kadar kecintaan dalam hati orang yang mencintai Allah adalah bertingkat-tingkat.
Itulah sebabnya, Allah –Subhanahu wa Ta’ala– melukiskan betapa besarnya
kecintaan orang-orang mukmin kepada-Nya dalam firman-Nya :
]165 / ‫ِل [ البقرة‬ َ َ ‫َوٱلَّ ِذينَ َءا َمنُ ٓواْ أ‬
ِ ‫ش ُّد ُحبّا ِ َّ ه‬
“Orang-orang yang beriman sangat mendalam cintanya kepada Allah.”. Qs Al-
Baqarah : 165

Kata “Asyaddu” (sangat mendalam) menjadi bukti adanya tingkatan cinta dalam hati
mereka. Artinya, ada cinta yang lebih tinggi dan kemudian ada lagi yang lebih tinggi.
Cinta kepada Allah berarti kita mengutamakan segala sesuatu yang disenangi Allah
di atas diri kita, jiwa kita dan harta benda kita, lalu ketaatan kita kepada Allah dalam
kesendirian dan keramaian, kemudian kesadaran diri akan kelalaian Kita dalam
mencintai Allah. Seharusnya secara totalitas kita mencintai Allah dengan
mencurahkan jiwa dan raga serta pengembaraan hati dalam upaya mencari Sang
Kekasih, dengan lisan yang selalu bergerak untuk menyebut nama-Nya.
Rasulullah –shallallahu alaihi wa sallam– bersabda :“Aku memohon kepada-Mu agar
dapat mencintai-Mu, mencintai orang-orang yang mencintai-Mu dan mencintai amal
yang mendekatkan diriku untuk mencinta-Mu.”

Suatu kecintaan yang apabila telah melekat di hati seseorang dan memuncak, akan
menjadi al-Walah (ketundukan/peribadatan), dan al-Walah adalah kecintaan yang
sangat dalam. Karenanya at-taalluh (ketundukan dan peribadatan) kepada Allah
adalah bentuk kecintaan yang dalam kepada Allah dan kecintaan terhadap perkara
yang datang dari sisi Allah.

Seorang mukmin ketika mengenal Tuhannya, pastilah ia cinta kepada-Nya. Ketika


itulah dirinya memusatkan perhatian kepada-Nya. Jika ia telah dapat merasakan
manisnya konsentrasi kepada-Nya, maka ia tidak lagi melihat dunia dengan kaca
mata syahwat (kelezatan sesaat) dan tidak pula melihat akhirat dengan pKitangan
pesimistis (kendur semangat).
Cinta kepada Allah mendorong seseorang melakukan kewajiban dan meninggalkan
larangan, memacu seorang hamba melaksanakan amal ibadah sunnah, dan
mencegahnya berbuat hal-hal yang makruh (tidak selayaknya dilakukan).
Cinta kepada Allah memenuhi hati seseorang dengan kelezatan dan manisnya iman.

***
“Akan dapat merasakan manisnya iman, seorang yang ridha Allah sebagai Tuhan-
nya, Islam sebagai agamanya, dan Muhammad –shallallahu alaihi wa sallam–
sebagai rasul.”

Cinta kepada Allah dapat mengusir dari dalam hati segala bentuk kecintaan kepada
apa saja yang tidak disenangi Allah. Organ-organ tubuh dengan dorongan kecintaan
kepada Allah akan tergugah untuk beribadah kepada-Nya, dan jiwa menjadi
tenteram karenanya.
Seseorang yang sedang mencintai, karena keasyikan dan kelezatan cintanya ia
akan melupakan segala derita cobaan, tidak terasa baginya kepedihan yang
dirasakan orang lain. Cinta kepada Allah merupakan kekuatan yang sangat kuat
untuk mendorong seseorang mampu bertahan untuk tidak melanggar dan
mendurhakai Allah.
ُّ ‫ب ِل َم ْن يُ ِح‬
“‫ب ُم ِطيْع‬ َّ ‫” إنَّ ال ُم ِح‬
“Orang yang mencintai tunduk kepada sang kekasih yang dicintainya.”
Semakin kuat dorongan cinta dalam hati seseorang, akan semakin kuat pula
dorongan untuk melaksanakan ketaatan serta menghindari kemaksiatan dan
pelanggaran. Sebab kemaksiatan dan pelanggaran hanya terjadi akibat lemahnya
dorongan cinta dalam diri seseorang.

Cinta yang sejati, membuat seseorang merasa dikawal oleh pengawas dari sang
kekasih untuk membimbing hatinya berikut organ-organ tubuhnya. Hanya sekedar
cinta tidak akan berdampak positif seperti ini selama tidak disertai sikap
pengagungan dan pemuliaan terhadap sang kekasih. Jika cinta itu disertai sikap
pengagungan dan rasa hormat, maka akan melahirkan rasa malu berikut ketaatan.
Namun jika kosong dari sikap pengagungan dan rasa hormat, maka cinta model itu
hanya membuahkan semacam kemesraan, kepuasan, keharuan dan kerinduan
belaka. Itulah sebabnya, mengapa pengaruh positif cinta tersebut tidak ada. Ketika
yang bersangkutan memeriksa hatinya, ternyata ia pun menemukan rasa cinta
kepada Allah, tetapi cinta yang tidak mendorong dirinya untuk meninggalkan
kemaksiatan kepada-Nya.

Sebabnya adalah, kehampaan cinta tersebut dari sikap pengagungan dan rasa
hormat. Padahal tidak ada sesuatu yang mampu memakmurkan hati setara dengan
cinta yang disertai sikap pengagungan dan rasa hormat. Itulah anugerah Allah –
Subhanahu wa Ta’ala– yang paling besar dan paling utama bagi seorang hamba,
dan itu pula karunia Allah yang berikan kepada orang yang dikehendaki-Nya.

Cinta yang hampa dari sikap ketundukan dan kerendahan hati, sesungguhnya
hanyalah pengakuan cinta yang tidak bermutu. Sama seperti orang yang mengaku
dirinya cinta kepada Allah, tetapi tidak mau melaksanakan perintah-Nya dan tidak
patuh kepada sunnah Nabi-Nya Muhammad –shallallahu alaihi wa sallam-; tidak
meneladaninya dalam ucapan, perbuatan dan amal ibadah.

Tidak disebut cinta kepada Allah dan tidak pantas mengaku cinta kepada-Nya orang
yang tidak meneladani Rasulullah –shallallahu alaihi wa sallam-. Oleh karena itu,
Allah menceritakan tentang ucapan orang-orang Yahudi dan Nasrani dalam firman-
Nya :
ٓ
]18 / ‫ٱِل َوأ َ ِح َٰبَّ ُؤهُۥۚ [ المائدة‬ ِ َّ ْ‫ص َر َٰى نَ ۡحنُ أ َ ۡب َٰ َن ُؤا‬َ َٰ َّ‫ت ۡٱل َي ُهو ُد َوٱلن‬
ِ َ‫َوقَال‬
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan: “Kami ini adalah anak-anak
Allah dan kekasih-kekasih-Nya”. Qs Al-Maidah : 18
Pengakuan semata tanpa bukti nyata, semua orang pun bisa berbuat seperti itu. Di
sinilah Allah memadamkan seluruh pengakuan dan menyingkap kedok
kepalsuannya dalam firmanNya :
َ ُ‫َّللا‬
]31/‫غفُور َر ِحيم [ آل عمران‬ َّ ‫َّللا َفاتَّبِعُونِي يُحْ بِ ْب ُك ُم‬
َّ ‫َّللاُ َويَ ْغ ِف ْر لَ ُك ْم ذُنُوبَ ُك ْم َو‬ َ َّ َ‫قُ ْل إِ ْن ُك ْنت ُ ْم ت ُِحبُّون‬
“Katakanlah jika kalian benar mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah
mencintai kalian dan memaafkan dosa-dosa kalian, dan Allah maha pengampun lagi
penyayang.” Qs Ali-Imron : 31
Diantara indikasi cinta kepada Allah adalah mencintai orang-orang yang taat kepada
Allah, loyal kepada wali-wali Allah, dan memusuhi orang-orang yang membangkang
kepada-Nya, berjihad melawan musuh-musuh-Nya dan menolong para penolong-
Nya. Semakin kuat kecintaan hamba kepada Allah maka semakin kuat pula praktik
amal-amalnya.

Di sini penting bagi kita untuk mengenal sebab-sebab yang mendatangkan


kecintaan kepada Allah. Diantaranya :
1. Mengenal nikmat dan karunia Allah kepada para hambaNya yang tidak
terhitung dan tidak terhingga.
ِ َّ َ‫َو ِإ ْن تَعُدُّوا نِ ْع َمة‬
ُ ْ‫َّللا ََل تُح‬
]18 / ‫صو َها [ النحل‬
“Dan jika kalian menghitung nikmat-nikmat Allah maka kalian tidak akan mampu
menghitungnya” (QS An-Nahl : 18)

2. Mendatangkan kecintaan kepada Allah adalah mengenal Allah –


Subhanahu wa Ta’ala– melalui nama-namaNya yang terindah dan sifat-
sifatNya serta perbuatan-perbuatanNya. Siapa yang mengenal Allah maka ia
akan mencintai Allah, siapa yang mencintai Allah maka ia akan taat
kepadaNya, siapa yang taat kepada Allah maka Allah akan memuliakannya,
dan siapa yang dimuliakan Allah maka Allah akan menempatkannya di
sisiNya, dan siapa yang ditempatkan oleh Allah di sisi-Nya maka sungguh
mujur nasibnya.

3. Merenungkantentang kerajaan-Nya di langit dan di bumi. Semua yang


Allah ciptakan merupakan tKita-tKita yang melambangkan keagungan-Nya,
kemaha-kuasaan-Nya, kemuliaan-Nya, kesempurnaan-Nya, keperkasaan-
Nya, kelembutan dan kasih sayang-Nya, dan nama-nama Allah yang
demikian indah serta sifat-sifatNya yang luhur lainnya. Maka semakin kuat
makrifat (pengenalan) hamba tentang Allah, maka semakin kuat pula rasa
cintanya kepada Allah dan kecintaannya untuk mentaati-Nya.

4. Bersikap tulus dan ikhlas dalam bermu’amalah dengan Allah, serta tidak
menuruti kemauan hawa nafsu. Hal ini merupakan penyebab turunnya
karunia Allah kepada hambaNya sehingga anugerah cinta kepada-Nya dapat
diraih.
Diantara sebab terbesar untuk mendatangkan kecintaan kepada Allah adalah
memperbanyak dzikir ( mengingat) Allah.
“‫َب ش ْيئ ًا أ ْكث َ َر ِم ْن ِذك ِْر ِه‬َّ ‫”فَ َم ْن أح‬
“Siapa yang cinta kepada sesuatu, maka ia akan sering menyebutnya.
Allah berfirman :
]28 / ‫وب [ الرعد‬ ِ َّ ‫أ َ ََل بِ ِذك ِْر‬
ُ ُ‫َّللا ت َ ْط َمئِنُّ ا ْلقُل‬
“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tentram.” Qs Ar-Ra’du : 28

Anda mungkin juga menyukai