Anda di halaman 1dari 12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. ASI
2. MP-ASI
3. Stunting
a. Definisi
Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita (bayi di bawah lima tahun)
akibat dari kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu pendek untuk usianya.
Kekurangan gizi terjadi sejak bayi dalam kandungan dan pada masa awal setelah bayi
lahir akan tetapi, kondisi stunting baru nampak setelah bayi berusia 2 tahun. Balita
pendek (stunted) dan sangat pendek (severely stunted) adalah balita dengan panjang
badan (PB/U) atau tinggi badan (TB/U) menurut umurnya dibandingkan dengan
standar baku WHO-MGRS (Multicentre Growth Reference Study) 2006. Sedangkan
definisi stunting menurut Kementerian Kesehatan (Kemenkes) adalah anak balita
dengan nilai z-scorenya kurang dari -2SD/standar deviasi (stunted) dan kurang dari –
3SD (severely stunted)(Kepmenkes, 1995).
b. Gejala stunting
Menurut Dinas Kesehatan Provinsi Sumatra Selatan (2016) anak yang mengalami
stunting ini memiliki ciri-ciri atau gejala-gejala sebagai berikut:

1) Anak yang stunted, pada usia 8-10 tahun lebih terkekang/tertekan (lebih
pendiam, tidak banyak melakukan eye-contact) dibandingkan dengan anak
non-stunted jika ditempatkan dalam situasi penuh tekanan.
2) Anak dengan kekurangan protein dan energi kronis (stunting) menampilkan
performa yang buruk pada tes perhatian dan memori belajar, tetapi masih baik
dalam koordinasi dan kecepatan gerak.
3) Pertumbuhan melambat, batas bawah kecepatan tumbuh adalah 5cm/tahun
decimal
4) Tanda tanda pubertas terlambat (payudara, menarche, rambut pubis, rambut
ketiak, panjangnya testis dan volume testis
5) Wajah tampak lebih muda dari umurnya
6) Pertumbuhan gigi yang terlambat
c. Penyebab Stunting
Stunting disebabkan oleh faktor multi dimensi dan tidak hanya disebabkan oleh
faktor gizi buruk yang dialami oleh ibu hamil maupun anak balita. Intervensi yang
paling menentukan untuk dapat mengurangi pervalensi stunting oleh karenanya perlu
dilakukan pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) dari anak balita. Secara lebih
detil, beberapa faktor yang menjadi penyebab stunting dapat digambarkan sebagai
berikut( Kalla, 2017):
1) Praktek pengasuhan yang kurang baik, termasuk kurangnya pengetahuan ibu
mengenai kesehatan dan gizi sebelum dan pada masa kehamilan, serta setelah
ibu melahirkan. Beberapa fakta dan informasi yang ada menunjukkan bahwa
60% dari anak usia 0-6 bulan tidak mendapatkan Air Susu Ibu (ASI) secara
ekslusif, dan 2 dari 3 anak usia 0-24 bulan tidak menerima Makanan
Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI). MP-ASI diberikan/mulai diperkenalkan
ketika balita berusia diatas 6 bulan. Selain berfungsi untuk mengenalkan jenis
makanan baru pada bayi, MPASI juga dapat mencukupi kebutuhan nutrisi
tubuh bayi yang tidak lagi dapat disokong oleh ASI, serta membentuk daya
tahan tubuh dan perkembangan sistem imunologis anak terhadap makanan
maupun minuman.
2) Masih terbatasnya layanan kesehatan termasuk layanan ANC-Ante Natal Care
(pelayanan kesehatan untuk ibu selama masa kehamilan) Post Natal Care dan
pembelajaran dini yang berkualitas. Informasi yang dikumpulkan dari
publikasi Kemenkes dan Bank Dunia menyatakan bahwa tingkat kehadiran
anak di Posyandu semakin menurun dari 79% di 2007 menjadi 64% di
2013 dan anak belum mendapat akses yang memadai ke layanan imunisasi.
Fakta lain adalah 2 dari 3 ibu hamil belum mengkonsumsi sumplemen zat besi
yang memadai serta masih terbatasnya akses ke layanan pembelajaran dini
yang berkualitas (baru 1 dari 3 anak usia 3-6 tahun belum terdaftar di layanan
PAUD/Pendidikan Anak Usia Dini).
3) Masih kurangnya akses rumah tangga/keluarga ke makanan bergizi. Hal ini
dikarenakan harga makanan bergizi di Indonesia masih tergolong
mahal.Menurut beberapa sumber (RISKESDAS 2013, SDKI 2012,
SUSENAS), komoditas makanan di Jakarta 94% lebih mahal dibanding
dengan di New Delhi, India. Harga buah dan sayuran di Indonesia lebih mahal
daripada di Singapura. Terbatasnya akses ke makanan bergizi di Indonesia
juga dicatat telah berkontribusi pada 1 dari 3 ibu hamil yang mengalami
anemia.
4) Kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi.Data yang diperoleh di lapangan
menunjukkan bahwa 1 dari 5 rumah tangga di Indonesia masih buang air besar
(BAB) diruang terbuka, serta 1 dari 3 rumah tangga belum memiliki akses ke
air minum bersih.
Menurut Bappenas R.I (2013) terdapat banyak faktor yang menyebabkan
terjadinya keadaan stunting pada anak. Faktor-faktor tersebut dapat berasal dari diri
anak itu sendiri maupun dari luar diri anak tersebut. Faktor penyebab stunting adalah
asupan gizi dan adanya penyakit infeksi sedangkan penyebab tidak langsungnya
adalah pola asuh, pelayanan kesehatan, ketersedian pangan, faktor budaya, ekonomi
dan masih banyak lagi faktor lainnya
a. Faktor Langsung
1) Asupan Gizi Balita
Saat ini Indonesia mengahadapi masalah gizi ganda, permasalahan gizi ganda
tersebut adalah adanya masalah kurang gizi dilain pihak masalah kegemukan atau gizi
lebih telah meningkat. Keadaan gizi dibagi menjadi 3 berdasarkan pemenuhan
asupannya yaitu:
a) Kelebihan gizi adalah suatu keadaan yang muncul akibat pemenuhan asupan
zat gizi yang lebih banyak dari kebutuhan seperti gizi lebih, obesitas atau
kegemukan.
b) Gizi baik adalah suatu keadaan yang muncul akibat pemenuhan asupan zat
gizi yang sesuai dengan kebutuhan.
c) Kurang gizi adalah suatu keadaan yang muncul akibat pemenuhan asupan zat
gizi yang lebih sedikit dari kebutuhan seperti gizi kurang dan buruk, pendek,
kurus dan sangat kurus (Depkes R.I, 2008).
Asupan gizi yang adekuat sangat diperlukan untuk pertumbuhan dan
perkembangan tubuh balita. Masa kritis ini merupakan masa saat balita akan
mengalami tumbuh kembang dan tumbuh kejar. Balita yang mengalami kekurangan
gizi sebelumnya masih dapat diperbaiki dengan asupan yang baik sehingga dapat
melakukan tumbuh kejar sesuai dengan perkembangannya. Namun apabila
intervensinya terlambat balita tidak akan dapat mengejar keterlambatan
pertumbuhannya yang disebut dengan gagal tumbuh. Begitu pula dengan balita yang
normal kemungkinan terjadi gangguan pertumbuhan bila asupan yang diterima tidak
mencukupi. Dalam penelitian yang menganalisis hasil Riskesdas menyatakan bahwa
konsumsi energi balita berpengaruh terhadap kejadian balita pendek, selain itu pada
level rumah tangga konsumsi energi rumah tangga di bawah rata-rata merupakan
penyebab terjadinya anak balita pendek.
Dalam upaya penanganan masalah stunting ini, khusus untuk bayi dan anak telah
dikembangkan standar emas makanan bayi dalam pemenuhan kebutuhan gizinya yaitu
a) Inisiasi Menyusu Dini (IMD) yang harus dilakukan sesegera mungkin setelah
melahirkan;
b) Memberikan ASI eksklusif sampai bayi berusia 6 bulan tanpa pemberian
makanan dan minuman tambahan lainnya;
c) Pemberian makanan pendamping ASI yang berasal dari makanan keluarga,
diberikan tepat waktu mulai bayi berusia 6 bulan;
d) Pemberian ASI diteruskan sampai anak berusia 2 tahun (Bappenas R.I, 2013).
Asupan gizi yang sesuai dengan kebutuhan akan membantu pertumbuhan dan
perkembangan anak. Sebaliknya asupan gizi yang kurang dapat menyebabkan
kekurangan gizi salah salah satunya dapat menyebabkan stunting.
2) Penyakit Infeksi
Penyakit infeksi merupakan salah satu faktor penyebab langsung stunting, Kaitan
antara penyakit infeksi dengan pemenuhan asupan gizi tidak dapat dipisahkan.
Adanya penyakit infeksi akan memperburuk keadaan bila terjadi kekurangan asupan
gizi. Anak balita dengan kurang gizi akan lebih mudah terkena penyakit infeksi.
Penyakit infeksi akan ikut menambah kebutuhan akan zat gizi untuk membantu
perlawanan terhadap penyakit ini sendiri. Pemenuhan zat gizi yang sudah sesuai
dengan kebutuhan namun penyakit infeksi yang diderita tidak tertangani akan tidak
dapat memperbaiki status kesehatan dan status gizi anak balita. Untuk itu penanganan
terhadap penyakit infeksi yang diderita sedini mungkin akan membantu perbaikan gizi
dengan diiimbangi pemenuhan asupan yang sesuai dengan kebutuhan anak balita.
Penyakit infeksi yang sering diderita balita seperti cacingan, Infeksi saluran
pernafasan Atas (ISPA), diare dan infeksi lainnya sangat erat hubungannya dengan
status mutu pelayanan kesehatan dasar khususnya imunisasi, kualitas lingkungan
hidup dan perilaku sehat (Bappenas R.I, 2013). Ada beberapa penelitian yang meneliti
tentang hubungan penyakit infeksi dengan stunting yang menyatakan bahwa diare
merupakan salah satu faktor risiko kejadian stunting pada anak usia dibawah 5 tahun.
b. Faktor Tidak Langsung
1) Ketersediaan Pangan
Akses pangan pada rumah tangga menurut Bappenas adalah kondisi penguasaan
sumberdaya (sosial, teknologi, finansial/keuangan, alam, dan manusia) yang cukup
untuk memperoleh dan/atau ditukarkan untuk memenuhi kecukupan pangan, termasuk
kecukupan pangan di rumah tangga. Masalah ketersediaan ini tidak hanya terkait
masalah daya beli namun juga pada pendistribusian dan keberadaan pangan itu
sendiri, sedangkan pola konsumsi pangan merupakan susunan makanan yang biasa
dimakan mencakup jenis dan jumlah dan frekuensi dan jangka waktu tertentu.
Aksesibilitas pangan yang rendah berakibat pada kurangnya pemenuhan konsumsi
yang beragam, bergizi, seimbang dan nyaman di tingkat keluarga yang mempengaruhi
pola konsumsi pangan dalam keluarga sehingga berdampak pada semakin beratnya
masalah kurang gizi masyarakat (Bappenas R.I, 2013).
Ketersediaan pangan yang kurang dapat berakibat pada kurangnya pemenuhan
asupan nutrisi dalam keluarga itu sendiri. Ratarata asupan kalori dan protein anak
balita di Indonesia masih di bawah Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dapat
mengakibatkan anak balita perempuan dan anak balita laki-laki Indonesia mempunyai
rata-rata tinggi badan masing-masing 6,7 cm dan 7,3 cm lebih pendek dari pada
standar rujukan WHO 2005 (Bappenas R.I, 2013). Oleh karena itu penanganan
masalah gizi ini tidak hanya melibatkan sektor kesehatan saja namun juga melibatkan
lintas sektor lainnya.
Ketersediaan pangan merupakan faktor penyebab kejadian stunting, ketersediaan
pangan di rumah tangga dipengaruhi oleh pendapatan keluarga, pendapatan keluarga
yang lebih rendah dan biaya yang digunakan untuk pengeluaran pangan yang lebih
rendah merupakan beberapa ciri rumah tangga dengan anak pendek. Penelitian di
Semarang Timur juga menyatakan bahwa pendapatan perkapita yang rendah
merupakan faktor risiko kejadian stunting (Nasikhah dan Margawati, 2012). Selain itu
penelitian yang dilakukan di Maluku Utara dan di Nepal menyatakan bahwa stunting
dipengaruhi oleh banyak faktor salah satunya adalah faktor sosial ekonomi yaitu
defisit pangan dalam keluarga (Ramli et all, 2009; Paudel et all, 2012).
2) Status Gizi Ibu saat Hamil
Status gizi ibu saat hamil dipengaruhi oleh banyak faktor, faktor tersebut dapat
terjadi sebelum kehamilan maupun selama kehamilan. Beberapa indikator pengukuran
seperti 1) kadar hemoglobin (Hb) yang menunjukkan gambaran kadar Hb dalam darah
untuk menentukan anemia atau tidak; 2) Lingkar Lengan Atas (LILA) yaitu gambaran
pemenuhan gizi masa lalu dari ibu untuk menentukan KEK atau tidak; 3) hasil
pengukuran berat badan untuk menentukan kenaikan berat badan selama hamil yang
dibandingkan dengan IMT ibu sebelum hamil.
a) Pengukuran LILA
Pengukuran LILA dilakukan pada ibu hamil untuk mengetahui status KEK ibu
tersebut. KEK merupakan suatu keadaan yang menunjukkan kekurangan energi
dan protein dalam jangka waktu yang lama (Kemenkes R.I, 2013). Faktor
predisposisi yang menyebabkan KEK adalah asupan nutrisi yang kurang dan
adanya faktor medis seperti terdapatnya penyakit kronis. KEK pada ibu hamil
dapat berbahaya baik bagi ibu maupun bayi, risiko pada saat prsalinan dan
keadaan yang lemah dan cepat lelah saat hamil sering dialami oleh ibu yang
mengalami KEK (Direktorat Bina Gizi dan KIA, 2012).
Pada wanita hamil dan WUS digunakan ambang batas LILA <23,5 cm
dikategorikan risiko KEK (Kemenkes R.I, 2013) Pengukuran LILA ini dilakukan
dengan mengukur lengan atas ibu hamil tangan yang jarang digunakan dengan
menggunakan alat pengukur LILA.
Penelitian di Sulawesi Barat menyatakan bahwa faktor yang berhubungan
dengan kejadian KEK adalah pengetahuan, pola makan, makanan pantangan dan
status anemia (Rahmaniar dkk, 2013). Kekurangan energi secara kronis
menyebabkan cadangan zat gizi yang dibutuhkan oleh janin dalam kandungan
tidak adekuat sehingga dapat menyebabkan terjadinya gangguan baik
pertumbuhan maupun perkembangannya. Status KEK ini dapat memprediksi hasil
luaran nantinya, ibu yang mengalami KEK mengakibatkan masalah kekurangan
gizi pada bayi saat masih dalam kandungan sehingga melahirkan bayi dengan
panjang badan pendek. Selain itu, ibu hamil dengan KEK berisiko melahirkan
bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR). Panjang badan lahir rendah dan
BBLR dapat menyebabkan stunting bila asupan gizi tidak adekuat. Hubungan
antara stunting dan KEK telah diteliti di Yogyakarta dengan hasil penelitian
tersebut menyatakan bahwa ibu hamil dengan riwayat KEK saat hamil dapat
meningkatkan risiko kejadian stunting pada anak balita usia 6-24 bulan.
b) Kadar Hemoglobin
Pemeriksaan darah dilakukan pada ibu hamil untuk mengetahui kadar Hb ibu
sehingga dapat diketahui status anemia yang dialami ibu saat hamil. Anemia pada
saat kehamilan merupakan suatu kondisi terjadinya kekurangan sel darah merah
atau hemoglobin (Hb) pada saat kehamilan. Ada banyak faktor predisposisi dari
anemia tersebut yaitu diet rendah zat besi, vitamin B12, dan asam folat, adanya
penyakit gastrointestinal, serta adanya penyakit kronis ataupun adanya riwayat
dari keluarga sendiri. Ibu hamil dengan anemia sering dijumpai karena pada saat
kehamilan keperluan akan zat makanan bertambah dan terjadi perubahan-
perubahan dalam darah dan sumsum tulang. Nilai cutoff anemia ibu hamil adalah
bila hasil pemeriksaan Hb<11,0 g/dl (Kemenkes R.I, 2013) penyebab anemia pada
ibu hamil adalah karena gangguan penyerapan pada pencernaan, kurangnya
asupan zat besi dan protein dari makanan, perdarahan akut maupun kronis,
meningkatkan kebutuhan zat besi, kekurangan asam folat dan vitamin,
menjalankan diet miskin zat besi pola makan yang kurang baik maupun karena
kelainan pada sumsum tulang belakang.
Akibat anemia bagi janin adalah hambatan pada pertumbuhan janin, bayi lahir
prematur, bayi lahir dengan BBLR, serta lahir dengan cadangan zat besi kurang
sedangkan akibat dari anemia bagi ibu hamil dapat menimbulkan komplikasi,
gangguan pada saat persalinan dan dapat membahayakan kondisi ibu seperti
pingsan, bahkan sampai pada kematian (Direktorat Bina Gizi dan KIA, 2012).
Kadar hemoglobin saat ibu hamil berhubungan dengan panjang bayi yang
nantinya akan dilahirkan, semakin tinggi kadar Hb semakin panjang ukuran bayi
yang akan dilahirkan. Prematuritas, dan BBLR juga merupakan faktor risiko
kejadian stunting, sehingga secara tidak langsung anemia pada ibu hamil dapat
menyebabkan kejadian stunting pada balita.
c) Kenaikan Berat Badan Ibu saat Hamil
Menurut Almatsier, Ibu hamil akan membutuhkan tambahan energi dari pada
ibu yang tidak hamil, penambahan tersebut dibedakan berdasarkan umur
kehamilannya yaitu:
1) Trimester I ibu hamil membutuhkan tambahan energi 150- 200 kal/hari;
2) Trimester II ibu hamil membutuhkan tambahan energi 250-350 kal/hari;
3) Trimester III ibu hamil membutuhkan tambahan energi 400 kal/hari dan
jumlah cairan yang dibutuhkan minimal 1500 ml/hari.

Penambahan berat badan ibu hamil dihubungkan dengan IMT saat sebelum
ibu belum hamil. Apabila IMT ibu sebelum hamil dalam status kurang gizi maka
penambahan berat badan seharusnya lebih banyak dibandingkan dengan ibu yang
status gizinya normal atau status gizi lebih. Penambahan berat badan ibu selama
kehamilan berbeda pada masing–masing trimester. Pada trimester pertama berat
badan bertambah 1,5-2 Kg, trimester kedua 4-6 Kg dan trimester ketiga berat
badan bertambah 6-8 Kg. Total kenaikan berat badan ibu selama hamil sekitar 9-
12 Kg (Direktorat Bina Gizi dan KIA, 2012).

Pada penelitian yang dilakukan oleh Yongky tahun 2004 menyatakan bahwa
pertambahan berat badan saat hamil merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi status kelahiran bayi (BBLR). Penambahan berat badan saat hamil
perlu dikontrol karena apabila berlebih dapat menyebabkan obesitas pada bayi
sebaliknya apabila kurang dapat menyebabkan bayi lahir dengan berat badan
rendah, prematur yang merupakan faktor risiko kejadian stunting pada anak
balita.

d) Berat Badan Lahir


Berat badan lahir sangat terkait dengan pertumbuhan dan perkembangan
jangka panjang anak balita, pada penelitian yang dilakukan oleh Anisa tahun 2012
menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara berat lahir dengan
kejadian stunting pada balita di Kelurahan Kalibaru. Bayi yang lahir dengan berat
badan lahir rendah (BBLR) yaitu bayi yang lahir dengan berat badan kurang dari
2500 gram, bayi dengan berat badan lahir rendah akan mengalami hambatan pada
pertumbuhan dan perkembangannya serta kemungkinan terjadi kemunduran
fungsi intelektualnya selain itu bayi lebih rentan terkena infeksi dan terjadi
hipotermi (Direktorat Bina Gizi dan KIA, 2012).
Banyak penelitian yang telah meneliti tentang hubungan antara BBLR dengan
kejadian stunting diantaranya yaitu penelitian di Klungkung dan di Yogyakarta
menyatakan hal yang sama bahwa ada hubungan antara berat badan lahir dengan
kejadian stunting. Selain itu, penelitian yang dilakukan di Malawi juga
menyatakan prediktor terkuat kejadian stunting adalah BBLR.
e) Panjang Badan Lahir
Asupan gizi ibu yang kurang adekuat sebelum masa kehamilan menyebabkan
gangguan pertumbuhan pada janin sehingga dapat menyebabkan bayi lahir dengan
panjang badan lahir pendek. Bayi yang dilahirkan memiliki panjang badan lahir
normal bila panjang badan lahir bayi tersebut berada pada panjang 48-52 cm
(Kemenkes R.I, 2013).
Penentuan asupan yang baik sangat penting untuk mengejar panjang badan
yang seharusnya. Berat badan lahir, panjang badan lahir, usia kehamilan dan pola
asuh merupakan beberapa faktor yang mempengaruhi kejadian stunting. Panjang
badan lahir merupakan salah satu faktor risiko kejadian stunting pada balita.
Menurut Riskesdas tahun 2013 kategori panjang badan lahir dikelompokkan
menjadi tiga, yaitu <48 cm, 48-52 cm, dan >52 cm, panjang badan lahir pendek
adalah bayi yang lahir dengan panjang <48 cm (Kemenkes R.I, 2013). Panjang
badan lahir pendek dipengaruhi oleh pemenuhan nutrisi bayi tersebut saat masih
dalam kandungan.
f) ASI Eksklusif
ASI Eksklusif menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33
tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif adalah pemberian Air Susu
Ibu (ASI) tanpa menambahkan dan atau mengganti dengan makanan atau
minuman lain yang diberikan kepada bayi sejak baru dilahirkan selama 6 bulan
(Kemenkes R.I, 2012). Pemenuhan kebutuhan bayi 0-6 bulan telah dapat
terpenuhi dengan pemberian ASI saja. Menyusui eksklusif juga penting karena
pada usia ini, makanan selain ASI belum mampu dicerna oleh enzim-enzim yang
ada di dalam usus selain itu pengeluaran sisa pembakaran makanan belum bisa
dilakukan dengan baik karena ginjal belum sempurna (Kemenkes R.I, 2013).
Manfaat dari ASI Eksklusif ini sendiri sangat banyak mulai dari peningkatan
kekebalan tubuh, pemenuhan kebutuhan gizi, murah, mudah, bersih, higienis serta
dapat meningkatkan jalinan atau ikatan batin antara ibu dan anak.
Penelitian yang dilakukan di Kota Banda Aceh menyatakan bahwa kejadian
stunting disebabkan oleh rendahnya pendapatan keluarga, pemberian ASI yang
tidak eksklusif, pemberian MP-ASI yang kurang baik, imunisasi yang tidak
lengkap dengan faktor yang paling dominan pengaruhnya adalah pemberian ASI
yang tidak eksklusif. Hal serupa dinyatakan pula oleh Arifin pada tahun 2012
dengan hasil penelitian yang menyatakan bahwa kejadian stunting dipengaruhi
oleh berat badan saat lahir, asupan gizi balita, pemberian ASI, riwayat penyakit
infeksi, pengetahuan gizi ibu balita, pendapatan keluarga, jarak antar kelahiran
namun faktor yang paling dominan adalah pemberian ASI (Arifin dkk, 2013).
Berarti dengan pemberian ASI eksklusif kepada bayi dapat menurunkan
kemungkinan kejadian stunting pada balita, hal ini juga tertuang pada gerakan
1000 HPK yang dicanangkan oleh pemerintah Republik Indonesia.
g) MP-ASI

Kebutuhan anak balita akan pemenuhan nutrisi bertambah seiring


pertambahan umurnya. ASI eksklusif hanya dapat memenuhi kebutuhan nutrisi
balita sampai usia 6 bulan, selanjutnya ASI hanya mampu memenuhi kebutuhan
energi sekitar 60-70% dan sangat sedikit mengandung mikronutrien sehingga
memerlukan tambahan makanan lain yang biasa disebut makanan pendamping
ASI (MP-ASI). Pengertian dari MP-ASI menurut WHO adalah
makanan/minuman selain ASI yang mengandung zat gizi yang diberikan selama
pemberian makanan peralihan yaitu pada saat makanan/ minuman lain yang
diberikan bersamaan dengan pemberian ASI kepada bayi.

Pemberian MP-ASI merupakan proses transisi dimulainya pemberian


makanan khusus selain ASI secara bertahap jenis, jumlah, frekuensi maupun
tekstur dan kosistensinya sampai seluruh kebutuhan gizi anak dipenuhi oleh
makanan keluarga. Jenis MPASI ada dua yaitu MP-ASI yang dibuat secara khusus
baik buatan rumah tangga atau pabrik dan makanan biasa dimakan keluarga yang
dimodifikasi agar mudah dimakan oleh bayi. MP-ASI yang tepat diberikan secara
bertahap sesuai dengan usia anak baik jenis maupun jumlahnya. Resiko terkena
penyakit infeksi akibat pemberian MP-ASI terlalu dini disebabkan karena usus
yang belum siap menerima makanan serta kebersihan yang kurang. Menurut
Global Strategy for infant and Young Child Feeding ada 4 persyaratan pemberian
MP-ASI yaitu:

i. Tepat waktu yaitu pemberian MP-ASI dimulai saat kebutuhan energi


gizi melebihi yang di dapat dari ASI yaitu pada umur 6 bulan.
ii. Adekuat yaitu pemberian MP-ASI harus cukup energi, protein, dan
mikronutrien sesuai dengan kebutuhan.
iii. Tepat cara pemberian yaitu pemberian MP-ASI sejalan dengan tanda
lapar dan nafsu makan yang ditunjukkan serta frekuensi dan cara
pemberiannya sesuai dengan umur
iv. Aman yaitu pemberian MP-ASI harus diawasi baik dari penyimpanan,
persiapan, dan saat diberikan MP-ASI harus higienis.

Penelitian yang dilakukan di Purwokerto, menyatakan bahwa usia makan


pertama merupakan faktor resiko terhadap kejadian stunting pada balita.
Pemberian MP-ASI terlalu dini dapat meningkatkan risiko penyakit infeksi seperti
diare hal ini terjadi karena MP-ASI yang diberikan tidak sebersih dan mudah
dicerna seperti ASI. Zat gizi seperti zink dan tembaga serta air yang hilang selama
diare jika tidak diganti akan terjadi malabsorbsi zat gizi selama diare yang dapat
menimbulkan dehidrasi parah, malnutrisi, gagal tumbuh bahkan kematian
(Meilyasari dan Isnawati, 2014).
d. Klasifikasi Stunting

Menurut Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Penilaian
status gizi balita yang paling sering dilakukan adalah dengan cara penilaian
antropometri. Secara umum antropometri berhubungan dengan berbagai macam
pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan
tingkat gizi. Antropometri digunakan untuk melihat ketidakseimbangan asupan
protein dan energi. Beberapa indeks antropometri yang sering digunakan adalah
berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), berat
badan menurut tinggi badan (BB/TB) yang dinyatakan dengan standar deviasi unit
z (Z- score). Stunting dapat diketahui bila seorang balita sudah ditimbang berat
badannya dan diukur panjang atau tinggi badannya, lalu dibandingkan dengan
standar, dan hasilnya berada dibawah normal. Jadi secara fisik balita akan lebih
pendek dibandingkan balita seumurnya.

Penghitungan ini menggunakan standar Z score dari WHO. Normal, pendek


dan Sangat Pendek adalah status gizi yang didasarkan pada indeks Panjang Badan
menurut Umur (PB/U) atau Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) yang merupakan
padanan istilah stunted (pendek) dan severely stunted (sangat pendek) (Nailis,
2016).

Berikut klasifikasi status gizi stunting berdasarkan indikator tinggi badan per
umur (TB/U).

I. Sangat pendek : Zscore < -3,0


II. Pendek : Zscore < -2,0 s.d. Zscore ≥ -3,0
III. Normal : Zscore ≥ -2,0 13

Dan di bawah ini merupakan klasifikasi status gizi stunting berdasarkan


indikator TB/U dan BB/TB.

I. Pendek-kurus : -Zscore TB/U < -2,0 dan Zscore BB/TB < -2,0
II. Pendek-normal : Z-score TB/U < -2,0 dan Zscore BB/TB antara - 2,0
s/d 2,0
III. Pendek-gemuk : Z-score ≥ -2,0 s/d Zscore ≤ 2,0
e. Pencegahan

Menurut Ninditya (2016), berikut merupakan upaya pencegahan terjadinya


stunting :

1) Upaya tindakan antisipasi perawakan pendek sebaiknya dimulai dari masa


kehamilan. Bagi ibu hamil, upaya yang dapat dilakukan yaitu melakukan
pemeriksaan kehamilan secara teratur, menghindari asap rokok dan memenuhi
nutrisi yang baik selama masa kehamilan antara lain dengan menu sehat
seimbang, asupan zat besi, asam folat, yodium yang cukup.
2) Melakukan kunjungan secara teratur ke dokter atau pusat pelayanan kesehatan
lainnya untuk memantau pertumbuhan dan perkembangan anak, yaitu

a) setiap bulan ketika anak anda berusia 0 sampai 12 bulan


b) setiap 3 bulan ketika anak anda berusia 1 sampai 3 tahun
c) setiap 6 bulan ketika anak anda berusia 3 sampai 6 tahun
d) setiap tahun ketika anak anda berusia 6 sampai 18 tahun

3) Memberikan ASI eksklusif sampai anak anda berusia 6 bulan dan pemberian
MPASI yang memadai

4) Mengikuti program imunisasi terutama imunisasi dasar.

Menurut Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Selatan stunting atau tubuh


pendek dapat dicegah dengan beberapa cara, antara lain:

1) Pemberian ASI secara baik dan tepat disertai dengan pengawasan berat badan
secara teratur dan terus menerus
2) Menghindari pemberian makanan buatan kepada anak untuk mengganti ASI
sepanjang ibu masih mampu menghasilkan ASI, terutama pada usia dibawah
empat bulan
3) Meningkatkan pendapatan keluarga yang dapat dilakukan dengan upaya
mengikutsertakan para anggota keluarga yang sudah cukup umur untuk
bekerja dengan diimbangi dengan penggunaan uang yang terarah dan efisien.
Cara lain yang dapat ditempuh ialah pemberdayaan melalui peningkatan
keterampilan dan kewirausahaan
4) Meningkatkan intensitas komunikasi informasi edukasi (KIE) kepada
masyarakaat, terutama para ibu mengenai pentingnya konsumsi zat besi yang
diatur sesuai kebutuhan. Hal ini dapat dikoordinasikan dengan kegiatan
posyandu.

Menurut Millenium Challenge Account-Indonesia (2015) stunting dapat


dicegah dengan beberapa cara yaitu:

1) Pemenuhan kebutuhan zat gizi bagi ibu hamil. Ibu hamil harus mendapatkan
makanan yang cukup gizi, suplementasi zat gizi (tablet zat besi atau Fe), dan
terpantau kesehatannya. Namun, kepatuhan ibu hamil untuk meminum tablet
tambah darah hanya 33%. Padahal mereka harus minimal mengkonsumsi 90
tablet selama kehamilan.
2) ASI eksklusif sampai umur 6 bulan dan setelah umur 6 bulan diberi makanan
pendamping ASI (MPASI) yang cukup jumlah dan kualitasnya. c. Memantau
pertumbuhan balita di posyandu merupakan upaya yang sangat strategis untuk
mendeteksi dini terjadinya gangguan pertumbuhan. d. Meningkatkan akses
terhadap air bersih dan fasilitas sanitasi, serta menjaga kebersihan lingkungan.

Intervensi gizi saja belum cukup untuk mengatasi masalah stunting. Faktor
sanitasi dan kebersihan lingkungan berpengaruh pula untuk kesehatan ibu hamil
dan tumbuh kembang anak, karena anak usia di bawah dua tahun rentan terhadap
berbagai infeksi dan penyakit.

Paparan terus menerus terhadap kotoran manusia dan binatang dapat


menyebabkan infeksi bakteri kronis. Infeksi tersebut, disebabkan oleh praktik
sanitasi dan kebersihan yang kurang baik, membuat gizi sulit diserap oleh tubuh.

Rendahnya sanitasi dan kebersihan lingkungan pun memicu gangguan saluran


pencernaan, yang membuat energi untuk pertumbuhan teralihkan kepada
perlawanan tubuh menghadapi infeksi. Sebuah riset menemukan bahwa semakin
sering seorang anak menderita diare, maka semakin besar pula ancaman stunting
untuknya. Selain itu, saat anak sakit, lazimnya selera makan mereka pun
berkurang, sehingga asupan gizi makin rendah. Maka, pertumbuhan sel otak yang
seharusnya sangat pesat dalam dua tahun pertama seorang anak menjadi
terhambat. Dampaknya, anak tersebut terancam menderita stunting, yang
mengakibatkan pertumbuhan mental dan fsiknya terganggu, sehingga potensinya
tak dapat berkembang dengan maksimal.

Penelitian lain menunjukkan potensi stunting berkurang jika ada intervensi


yang terfokus pada perubahan perilaku dalam sanitasi dan kebersihan. Adapun akses
terhadap sanitasi yang baik berkontribusi dalam penurunan stunting sebesar 27%.

Untuk memotong rantai buruknya sanitasi dan kebersihan serta kaitannya


dengan stunting, ibu hamil dan anak perlu hidup dalam lingkungan yang bersih. Dua
cara utama adalah dengan tidak buang air besar sembarangan, serta mencuci tangan
dengan sabun.

f. S
g. S
h.

DAFPUS

Kepmenkes 1995/MENKES/SK/XII/2010

Kalla, M J (2017) 100 Kabupaten/Kota Prioritas untuk Intervensi Anak Kerdil


(Stunting). Jakarta : 2017

Ninditya, L (2016). Mencegah Anak Berperawakan Pendek


http://www.idai.or.id/artikel/seputar-kesehatan-anak/mencegah-anak-berperawakan-pendek

Dinas Kesehatan Sumatera Selatan. Tersedia:


http://dinkes.sumselprov.go.id/download/unggah/stunting_anak-2016-01-04.pdf [12
September 2017]
Millennium Challenge Account – Indonesia. Backgrounder : Stunting Dan Masa
Depan Indonesia. [Online]. Tersedia: http://mca-
indonesia.go.id/wpcontent/uploads/2015/01/BackgrounderStunting-ID.pdf [11 September
2017]

Nailis, Anisa. (2016). Hubungan Konsumsi Ikan dengan Kejadian Stunting pada Anak Usia
2-4 Tahun. Thesis. Fakultas Kedokteran. Universitas Diponegoro. Semarang

Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak. Kemenkes RI
no195/MENKES/SK/XII/2010: Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak. Jakarta;
2011. 14.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Riset kesehatan
dasar (Riskesdas) 2013. [Online]. Tersedia:
http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas%20 2013.pdf [10
September 2017]

Departemen Kesehatan RI. 2008. Laporan Riset Kesehatan Dasar Provinsi Nusa
Tenggara Timur Tahun 2007. www.scribd.com/Laporan_ Hasil_ Riskesdas_ NTT_ 2007.pdf [11
September 2017]

Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak. Kemenkes RI
no195/MENKES/SK/XII/2010: Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak. Jakarta; 2011. 14.

Meilyasari, F. & Isnawati, M. (2014). Faktor risiko kejadian stunting pada balita usia 12 bulan di Desa
Purwokerto Kecamatan Patebon, Kabupaten Kendal.
Journal of Nutrition College, 3(2), 16-25. Tersedia: http://www,ejournals1.undip.ac.id [10 September
2017]

Nasikhah, R dan Margawati, A. (2012). Faktor risiko kejadian stunting pada balita usia 24-36 bulan di
Kecamatan Semarang Timur. Journal of Nutrition
College,1(1). Tersedia: http:// www.ejournal-s1.undip.ac.id [9 September 2017]

Ramli, Agho, K. E., Inder, K. J., Bowe, S. J. Jacobs, J. & Dibley, M. J. (2009). Prevalence And Risk
Factors For Stunting And Severe Stunting Among Under-Fi Ves In North Maluku Province Of
Indonesia. BMC Pediatrics, 9-64. doi:10.1186/1471-2431-9-64

Anda mungkin juga menyukai