Anda di halaman 1dari 32

CASE REPORT

POST PARTUM SPONTAN DENGAN PREEKLAMPSI RINGAN

DAN RETENSIO URIN

Disusun oleh :

Ery Riady Indrapriambada

1102014086

PEMBIMBING :

dr. Margaretha, Sp.OG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI

KEPANITERAAN KLINIK OBSTETRIK DAN GINEKOLOGI

RSUD DR DRADJAT PRAWIRANEGARA

JULI 2019
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Alhamdulillah, Puji dan syukur senantiasa saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, serta shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW,
dan para sahabat serta pengikutnya hingga akhir zaman. Karena atas rahmat dan ridha-Nya, penulis
dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “Post Partum Spontan dengan Preeklampsi
Ringan dan Retentio Urin”. Penulisan laporan kasus ini dimaksudkan untuk memenuhi tugas
dalam menempuh kepanitraan klinik di bagian obstetrik dan ginekologi di RSUD dr. Drajat
Prawiranegara.

Pada kesempatan ini, perkenankanlah penulis menyampaikan rasa terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang membantu, terutama kepada dr. Margaretha, Sp.OG
yang telah memberikan arahan serta bimbingan ditengah kesibukan dan padatnya aktivitas beliau.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang terdapat dalam penulisan
laporan kasus ini. Untuk itu penulis mengharapkan kritik maupun saran yang bersifat membangun
dari para pembaca. Akhir kata penulis berharap semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi
penulis khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya.

Wassalamualaikum Wr.Wb.

Serang, juli 2019

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

Sekitar delapan juta perempuan/tahun mengalami komplikasi kehamilan dan lebih dari
setengah juta diantaranya meninggal dunia. Tiga penyebab utama kematian ibu adalah
perdarahan (30%), hipertensi dalam kehamilan (25%), dan infeksi (12%). WHO
memperkirakan kasus preeklampsia tujuh kali lebih tinggi di negara berkembang daripada di
negara maju. Prevalensi preeklampsia di Negara maju adalah 1,3% - 6%, sedangkan di Negara
berkembang adalah 1,8%-18%. Insiden preeklampsia diIndonesia sendiri adalah
128.273/tahun atau sekitar 5,3%1.
Preeklampsia merupakan masalah kedokteran yang serius dan memiliki tingkat
kompleksitas yang tinggi. Besarnya masalah ini bukan hanya karena preeklampsia berdampak
pada ibu saat hamil dan melahirkan, namun juga menimbulkan masalah pasca persalinan
akibat disfungsi endotel di berbagai organ, seperti risiko penyakit kardiometabolik dan
komplikasi lainnya. Selain hipertensi dalam kehamilan, Retensi urin merupakan masalah yang
perlu diperhatikan pada masa intrapartum maupun post partum. Pada masa intrapartum,
Sebanyak 16-17 % kasus retensio plasenta diakibatkan oleh kandung kemih yang distensi
akibat retensi urin2.
Sedangkan insiden terjadinya retensi urin pada periode post partum, menurut hasil
penelitian Saultz et al berkisar 1,7% sampai 17,9.
Penelitian oleh Pribakti dkk secara restropektif. Penelitian yang dilakukan oleh Yip et
al menemukan insidensi retensi urin post partum sebesar 4,9 % dengan volume residu urin
150 cc sebagai volume normal paska berkemih spontan. Penelitian lain oleh Andolf et al
menunjukkan insidensi retensi urin post partum sebanyak 1,5%, dan hasil penelitian dari
Kavin G et al sebesar 0,7% 3. di bagian Obstetri dan Ginekologi RSUD Ulin Banjarmasin
selama tahun 2002-2003 didapatkan angka kejadian retensi urin post partum sebesar 0,38%
dari sebanyak 1.891 persalinan spontan dan 222 persalinan dengan vakum ekstraksi. Dimana,
usia penderita terbanyak adalah kelompok usia 26-30 tahun (36,3%) dan paritas terbanyak
adalah paritas 1 (54,5%)2.
Retensio urin post partum paling sering terjadi setelah terjadi persalinan pervaginam.
Penelitian oleh Yustini dkk di FKUI – RS. Cipto Mangunkusumo tahun 2009 menunjukkan
angka kejadian disfungsi kandung kemih post partum sebanyak 9-14 % dan setelah persalinan
menggunakan assisted labor (ekstraksi forsep), meningkat menjadi 38 %.
Retensi urin post partum menimbulkan komplikasi pada masa nifas. Beberapa
komplikasi akibat retensi urin post partum adalah terjadinya uremia, infeksi, sepsis, bahkan
ada penulis yang melaporkan terjadinya ruptur spontan vesika urinaria2.
BAB II

REKAM MEDIK

Tanggal masuk : 26 Juni 2019

Jam masuk : 11.40

Ruang/kelas : Wijaya Kusuma / Kelas II

Kamar No : 2D

Pengkajian tanggal : 27 Juni 2019

Jam : 10.00 WIB

A. IDENTITAS
Nama pasien : Ny.D

Umur : 26 th

Suku/ bangsa : Jawa / Indonesia

Agama : Islam

Pendidikan : Tamat SLTA

Pekerjaan : Ibu Rumah T angga

Nama Suami : Tn. A

Umur : 27 th

Suku/ bangsa :Jawa / Indonesia

Agama : Islam

Pendidikan : Tidak Tahu

Pekerjaan : Wiraswasta

Alamat : Perumahan Graha Rinjani Blok D.11, Kota Serang, Banten..

Status : Kawin selama 4 tahun


B. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis di ruang Wijaya Kusuma di rumah sakit umum
daerah dr drajat prawiranegara.
1. Keluhan Utama: Tidak dapat buang air setelah ngelahirin anak yang ketiga
2. Keluhan Tambahan: (-)
3. Riwayat Penyakit Sekarang: Pasien pindahan dari ruang bersalin ke ruang Wijaya
Kusuma jam 11 siang pada tanggal 26 juni 2019. Pasien sebelumnya datang ke IGD
maternal pada tanggal 25 juni 2019 jam 11 malam karena rujukan dari puskesmas curug
dengan G3P1A1 hamil 38 minggu inpartu kala 1 fase laten dengan preeklamsi ringan,
JTH dan Preskep. Pasien mengatakan mules mules dan ingin melahirkan sejak 12 jam
sebelum masuk rumah sakit. Pasien mengatakan keluar air dari jalan lahir tepat ketika
masuk ke rumah sakit. Pasien juga mengatakan tensi pada saat di puskesmas 140/80.
Pasien mengatakan hamil anak yang ketiga. Pasien partus spontan di ruang bersalin jam
setengah 1 pagi tanggal 26 juni 2019. Pasien mengatakan proses lahirannya kurang lebih
30 menit. Setelah dua jam pasca lahiran, pasien mengeluh tidak bisa buang air namun
terdapat rangsangan. Keluhan ini disertai dengan nyeri didaerah perut bagian bawah.
Pasien mengatakan dipasangkan urin bag dan keluar urin berwarna kuning sebanyak
kurang lebih 100cc.
4. Riwayat Penyakit Dahulu: Pasien mempunyai keluhan yang serupa yaitu tidak dapat
buang air kecil namun terdapat rangsangan setelah lahiran 3 tahun yang lalu. Pasien
mengatakan pada saat itu dibawa ke hermina dan dicek lab dan didapatkan bahwa pasien
terkena ISK dan setelah itu diberikan obat oleh dokter. Pasien juga mengaku tidak ada
keluhan tensi tinggi pada saat hamil anak yang pertama.
5. Riwayat Penyakit Keluarga: Pasien mengatakan dikeluarganya tidak ada yang
mempunyai keluhan yang serupa, riwayat hipertensi maupun riwayat penyakit jantung.
6. Riwayat Operasi: Pasien tiak memiliki riwayat operasi sebelumnya.
7. Riwayat Pengobatan: Pasien menyangkal adanya riwayat pengobatan sebelumnya
C. RIWAYAT KEPERAWATAN
1. Riwayat Obstetri :

a. Riwayat menstruasi :
 Menarche : umur 12 tahun dengan
 Siklus : 28 hari, teratur
 Banyaknya : ganti pembalut 3 x sehari
 Lamanya : 7 hari
 Dismenorhae :+
 HPHT : 26 - 09 - 18
 TP : 03 – 07 - 19
b. Kehamilan, persalinan, nifas yang lalu : Riwayat partus spontan pada persalinan yang
pertama dan Keguguran pada hamil yang kedua.
Anak Kehamilan Persalinan Anak

Umur
No Tahun Jenis Penolong Penyulit Laserasi Perdarahan kelamin BB
kehamilan

1 2016 9 bulan Spontan Bidan (-) (+) (-) Laki-Laki 3600


gram

2. 2018 6 Minggu Kuretase Dokter Aborsi (+) (-) (-)

3. Hari
ini

2. Riwayat Pernikahan dan Seksual


 Usia saat menikah : 22 tahun
 Coitarche : 22 tahun
 Jumlah Pernikahan : 1kali
 Lama Pernikahan Terkahir : 3 tahun

3. Riwayat Kontrasepsi
 Pasien menggunakan alat kontrasepsi berupa suntik 3 bulan selama 1 tahun dan berhenti
karena ingin hamil.

D. PEMERIKSAAN FISIK
Tanda Tanda Vital
 Keadaan umum : Sedang
 Kesadaran : Compos metis
 Tekanan darah : 130 / 70 MmHg
 Nadi :100 x/menit
 Respirasi : 20 kali / menit
 Suhu : 36 C

Status Generalis
Kulit : Berwarna sawo matang, tidak sianosis, tidak ikterik, tidak edema, turgor
kulit baik
Kepala : Normochepali, rambut lurus berwarna hitam, wajah simetris
Mata : Kelopak mata tidak terdapat edema, gerakan mata simetris, konjungtiva
tidak terlihat anemia, sclera tidak tampak icterus, pupil dalam batas
mormal.
Hidung : Bentuk dan ukuran normal, septum nasal ditengah, tidak ada secret, tidak
ada perdarahan
Telinga : Bentuk dan ukurna normal, simetris, tidak ada deformitas
Leher : Bentuk dan ukuran normal, tidak terdapat deviasi trakea maupun
pembesaran KGB

Jantung
 Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
 Palpasi : Iktus kordis tidak teraba di ICS V linea midclavikular sinistra
Perkusi : Batas Jantung dalam batas normal
Auskultasi : S1 S2 regular, tidak ada murmur, tidak ada gallop

Paru
 Inspeksi : Bentuk dan ukuran normal, pengembangan dada sietris
Palpasi : Tidak ditemukan deformitas
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Suara vesikuler simetris di kedua lapang paru. Tidak ditemukan
wheezing maupun rhonki

Abdomen
 Terlihat linea nigra dan striae albican
 Tidak terdapat luka bekas operasi
 Kontraksi uterus baik, TFU 2 jari bawah pusat
 Bising Usus dalam batas normal

Ekstremitas
 Superior : Warna palmer tidak pucat, deformitas (-), akral hangat (+)
 Inferior : Warna palmer tidak pucat. Deformitas (-). Akral hangat (+)

Status Ginekologi
 Perineum : baik, tak ada keluhan,
 Vesika Urinaria : tidak ada nyeri pada bladder dan teraba vesica urinaria
 Pengeluaran pervagina : lochea rubra (+)

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium Tanggal 26 Juli 2019 01:29
Hemotologi
Haemoglobin : 10,2 g/dl
Leukosit : 17.700 /ul
Hematokrit : 29,07 %
Trombosit : 478.000 /ul
Eritrosit : 3,45 10’3/ul
MCV : 86 fl
MCH : 29,4 pg
MCHC : 34,4 g/dl

Urine
Makroskopis
Warna : Kuning tua
Kekeruhan : Keruh
PH : 7,5
Berat jenis : 1.010
Albumin : +3
Glukosa :-
Protein :+
Keton :-
Billirubin :-
Darah samar : +3
Nitrit :-
Urobilinogen : normal
Sedimen Urin
Leukosit : 5-6/LPB
Eritrosit : Penuh
Epitel :+
Silinder :-
Kristal :-
Bakteri :-
Jamur :-
Lain – lain :-

Laboratorium tanggal 26 juni 2019 05:30D


Hemotologi
Hemoglobin : 10,9 g/dl
Leukosit : 21.000 /ul
Hematokrit : 31,40 %
Trombosit : 406.000 /ul
Kimia Darah
Natrium :133,30
Kalium : 4,08
Klorida : 99,00
Serologi
Hbs Ag :-
Protein Test
TP : 6,0 g/dl
ALBG : 3,0 g/dl
Globulin : 3,0 g/dl
ALT : 7 U/L
AST : 18 U/L
Ureum :17 mg/dl
Creatinin : 0,7 mg/dl
UA : 4,2 mg/dl
Cholesterol : 378 mg/dl
Trigelyserids : 349 mg/dl
UHDL : 70 mg/dl
DLDL : 257 mg/dl

F. RESUME
Pasien wanita berusia 26 tahun dating ke RS Drajat Prawiranegara rujukan dari pkm curug
dengan G3P1A1 hamil 38 minggu inpartu kala I fase laten dengan preeklampsi ringan janin
tunggal hidup preskep. Pasien partus spontan diruang bersalin 2 jam setelah masuk ke RS.Proses
persalinan menurut pasien kurang lebih 30 menit. Pasien mengeluh susah buang air kecil disertai
dengan rasa tidak nyaman di perut bagian bawah dua jam setelah lahiran spontan. Pasien terdapat
riwayat retensi urin post partum ec ISK 3 tahun yang lalu dan mempunyai riwayat keguguran pada
saat hamil kedua. Riwayat kontrasepsi terakhir berupa suntik 3 bulan selama 1 tahun.
Pemeriksaan fisik didapatkan dalam batas normal dengan tinggi fundus uteri 2 jari dibawah
pusar dan lochea rubra (+). Pada pemeriksaan penunjang didapatkan leukosititas yang progresif
dari 17.7 00/ul hingga 21.000/ul. Pada pemeriksaan urin ditemukan albumin +3, leukosit sebanyak
8 – 9 /lpb, dan epitel +1

G. DIAGNOSIS
P3A1 post partum spontan dengan preeklampsi ringan dan retensi urin bayi hidup.

H. RENCANA TINDAKAN
 Memasang DC set pada ibu.
 Membantu pasien melakukan bladder training.
 Mengobservasi Kondisi umum, Kesadaran, dan Tanda tanda vital.
 Mengobservasi Kontraksi Uterus.
 Mengobservasi Lochea rubra.
 Mengobservasi Buang air kecil.

I. PROGNOSIS
Ad vitam : ad bonam
Ad funtionam : ad bonam
Ad Sanactionam : ad bonam
FOLLOW UP

Tanggal Jam Perjalanan Penyakit Terapi/Tindakan Medik

26/07/2019 05.00 Ruang wijaya kusuma P/


S/ Pasien mengatakan tidak
Medikamentosa:
bisa buang air kecil
O/ ku: sedang , ks: compos  Injeksi amoksisilin 3x1
mentis gram
TD: 120/80  Tab asam mefenamat 3 x
Nadi: 80x/m 500 gram
Respi: 20 x/m  Tab Fe 1 x 1
Suhu: 37 °C
Nonmedikametosa:
TFU 2 jari dibawah pusar,  Bladder training hari
kontraksi uterus baik pertama
 Observasi KU, KS
ASI +
 Observasi tekanan darah,
PPV + sedikit in aktif nadi, respirasi, suhu
 Observasi kontraksi
DC set terpasang 150 ml
uterus, TFU dan PPV
A/ P1A0 post partum spontan
dengan preeklampsi ringan
dan retensi urin bayi hidup.

27/07/2019 05.00 S/ pasien mengatakan tidak P/


ada keluhan
Medikamentosa:
O/ ku: sedang , ks: compos
mentis  Injeksi amoksisilin 3x1
TD: 100/80 gram
Nadi: 80x/m  Tab asam mefenamat 3 x
Respi: 24 x/m 500 gram
Suhu: 37 °C  Tab Fe 1 x 1
Nonmedikametosa
TFU 2 jari dibawah pusar,
 Bladder training hari
kontraksi uterus baik
kedua (rencana up DC
ASI + dikarenakan pasien
sudah tidak ada keluhan
DC set terpasang
susah buang air kecil)
A/ P1A0 post partum spontan  Observasi KU, KS
dengan preeklampsi ringan  Observasi tekanan
dan retensi urin bayi hidup darah, nadi, respirasi,
suhu
 Observasi kontraksi
uterus, TFU dan PPV
Pasien boleh pulang
Medikamentosa untuk
pulang: Tab Cefadroxil 2x1,
Asam Mefenamat 3x1, dan
Fe 1x1
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

1. Preeklampsi
a. Definisi
Preeklampsi merupakan penyulit kehamilan yang akut dan dapat terjadi saat ante,
intra, dan postpartum. Preeklampsii merupakan hiperteni yang timbul setelah 20
minggu kehamilan disertai dengan proteinuria dan dibagi menjadi ringan dan berat3.

b. Faktor Resiko
Faktor resiko dari preeklampsi antara lain adalah3:
a. Primigravida, primipaternitas
b. Hiperplasentosis seperti mola hidatinosa, kehamilan multiple, diabetes
mellitus, hidrops fetalis, dan bayi besar.
c. Umur yang ekstrim
d. Riwayat keluarga pernah preeclampsia/eklampsia
e. Penyakit ginjal dan hipertensi yang ada sebelum hamil
f. Obesitas.

c. Patofisiologi
Terdapat beberapa teori penyebab hipertensi dalam kehamilan. Teori teori yang
dianut adalah4:
a. Teori kelainan vaskularisasi plasenta
Teori ini menyebutkan bahwa pada persalinan normal, terjadi invasi trofoblas
ke dalam otot arteri spiralis yang menyebabkan terjadinya dilatasi dan distensi
sehingga aliran darah dan perfusi jaringan meningkat. Hal ini disebut sebagai
remodeling arteri spiralis. Pada preeklampsi, tidak terjadi atau kegagalan
remodelling arteri spiralis.
b. Teori Iskemia Plasenta
Teori ini menyebutkan bahwa plasenta yang mengalami iskemi akan
mengeluarkan radikal bebas. Radikal ini akan merusak membrane sel endotel
sehingga akan menyebabkan disfungsi endotel.
c. Teori intoleransi imunologik
Pada perempuna hamil normal terdapat HLA-G yang berfungsi untuk
modulasi respon imun sehingga ibu tidak menolak hasil konsepsi. Pada
hipertensi dalam kehamilan, terjadi penurunan HLA-G sehingga menghambat
terjadinya invasi trofoblas kedalam desidua
d. Teori adaptasi kardiovaskular
Pada kehamilan normal, terdapat pembuluh darah yang tidak peka terhadap
rangsangan bahan vasopressor. Pada hipertensi, pembuluh darah kehilangan
daya refrakter atau menjadi peka terhadap bahan vasopressor
e. Teori genetic
Ada faktor keturunan dan ffamilial dengan model gen tunggal
f. Teori defisiensi gizi
Minyak ikan mengandung banyak asam lemak tidak jenuh yang dapat
menghambat aktivasi trombosit, dan mencegah vasokontriksi pembuluh darah.
Defisiensi kalsium dapat mengakibatkan resiko terjadi preeklampsi.
g. Teori stimulus inflamasi
Pada kehamilan normal, plasenta akan menlepaskan debris trofoblas sehingga
akan merangsang timbulnya reaksi inflamasi namun dalam batas normal. Pada
preeklampsi, terjadi peningkatan stress oksidatif sehingga sisa debris dari
trofoblas akan menigkat. Hal ini akan menimbulkan reaksi inflamasi akan
menjadi jauh lebih besar.

d. Diagnosis
Diagnosis preeklampsi ringan ditegakan berdasarkan timbulnya hipertensi disertai
dengan proteinuria dan atau edema setelah kehamilan 20 minggu3.
 Hipertensi: sistolik/diastolic > dari 140/90 mmHg.
 Proteinuria: >300 mg/24 jam atau > 1+dipstick
 Edema: edema pada lengan, mukam dan perut, edema generalisata.
Diagnosis preeklampsi berat adalah antara lain4:
 Tekanan darah sistolik > 160 mmHg dan diastolic > 110 mmHg.
 Proteinuria lebih 5g/24 jam atau 4+ dalam pemeriksaan kualitatif
 Oliguria yaitu produksi urin kurang dari 500 cc/24 jam
 Kenaikan kadar kreatinin plasma
 Gangguan visus dan serebral
 Nyeri epigastrium atau nyeri kuadran kanan atas abdomen
 Edema paru paru dan sianosis
 Hemolysis mikroangipatik
 Trombositopenia
 Gangguan fungsi hepar
 IUGR
 Sindroma HELPP

e. Penatalaksanaan
Preeklampsi Ringan
Tujuan utama erawatan preeklampsi ringan dalah mencegah kejang, perdarah,
gangguan fungsi organ, dan melahirkan bayi sehat. Ibu hamil dengan preeklampsi
ringan dapat rawat jalan dengan dianjurkan istirahat banyak dengan berbaring atau tidur
miring. Tidur miring ini daoat menghilangkan tekanan Rahim pada vena kava inferior
sehingga aliran darah akan meningkat dan akan menambah curah jantung. Diet
mengandung 2 g natrium atau 4 0 6 g NaCL adalah cukup4.
Pada keadaan tertentu ibu hamil dengan preeklampsi ringan perlu dirawat
dirumah sakit. Kriterianya adalah tidak ada perbaikan dalam waktu 2 minggu dan
adanya satu atau lebih gejala dan tanda tanda preeklampsi berat. Pada kehamilan < 37
minggu, bila tekanan darah mencapai normotensive, persalinannya ditunggu sampai
aterm. Sementara pada kehamilan > 37 minggu, persalinan ditunggu sampai terjadi
onset atau memakai induksi3.
Preeklampsi Berat
Penderita preekalmpsi berat harus segera masuk rumah sakit untuk rawat inap dan
dianjurkan tirah baring ke kiri. Pengelolaan cairan harus diawaso dengan ketat. Cairan
yang dapat diberikan berupa 5% Ringer dextrose < 125 cc/jam atau dextrose 5% yang
tiap 1 liternya diselilingi dengan infus ringer laktat (60 – 125 cc/jam) 500 cc. psien juga
dipasang folley catheter untuk mengukur pengeluaran urin3.
Pemberian obat antikejang adalah mangnesium sulfat, diazepam, dan fenitoin.
Pemberina magnesium sulfat lebih ef/ektif dibandingkan dengan fenitoin. Magnesium
sulfat menghambat atu menurunkan kadar asetikolin pada rangsangan serat saraf
sehingga aliran rangangan tidak terjadi3.
 Loading dose
4 gram MgSO4 iv 40% dalam 10 cc selama 15 menit
 Maintenance dose
 Infus 6 gram dalam Ringer/6 jam atau 4 – 5 gram i.m. selanjutnya 4 gram i.m.
tiap 4 – 6 jam.
 Syarat pemberian
Harus sedia antidotum MgSO4 yaitu kalsium glukonas 10%, Reflex patella +
kuat, Frekuensi pernafasan > 16 x/menit. MgSO4 diberhentikan jika ada tanda
tanda intoksikasi.

Diuretikum tidak diberikan secara rutin kecuali terdapat edema paru paru.
Pemberian antihipertensi apabila sistolik > 180 mmHg atau diastolic > 110 mmHg. Anti
hipertensi lini pertama adalah nifedipin dengan dosis 10 – 20 mg / oral. Lini kedua adalah
sodium nitroprusside 0,25 ug i.v./kg/menit, infus ditngkatkan 0,25 ug i.v/kg/5 menit.
Pemberian glukokortikoid untuk pematangan paru janin tidak merugikan ibu. Diberikan
pada kehamilan 32 – 4 minggu 2x 24 jam4.
Perawatan aktif dilakukan jika terdapat indikasi sebagai berikut:
 Umur kehamilan > 37 minggu
 Ada tanda tanda impending eklampsi
 Kegagalan terapi
 Diduga terjadi solusio plasenta
 Timbul onset persalinan, ketuban pecah, atau perdarahan.
 Adanya tanda fetal distress pada janin
 Adanya tanda IUGR
 Terjadinya oligohidromion
 NST nonreaktif dengan profil biofisik abnormal.
 Adanya tanda tanda sindroma HELLP.
Sedangkan perawatan konservatif ialah bila kehamilan < 37 minggu tanpa ada tanda
impending eklampsi.

f. Pencegahan
Pencegahan preeklampsi dapat dilakukan dengan nonmedical dan medical. Pencegahan
nonmedical yaitu dengan cara tirah baring dan diet makanan seperti mengkomsumsi
suplemen yang mengandung minyak ikan, antioksidan dan elemen logam berat.
Sedangkan pencegahan medical dengan cara pemberian kalsium 1500-2000 mg/hari,
zinc 200 mg/hari, magbesium 365 mg/hari, dan obat antitrombotik seperti aspirin dosis
rendah dibawah 100 mg/hari3.

2. Retensi Urin
A. Definisi
Retensio urin postpartum merupakan tidak adanya proses berkemih secara spontan di
dalam 6 jam pelahiran pervaginam atau setelah kateter menetap dilepaskan, atau dapat
berkemih spontan dengan urin sisa kurang dari 150 ml. Menurut Stanton, retensio urin
adalah tidak bisa berkemih selama 24 jam yang membutuhkan pertolongan kateter, dimana
tidak dapat mengeluarkan urin lebih dari 50% kapasitas kandung kemih. Jika gangguan
berkemih ini tidak diketahui, akan memperparah disfungsi berkemih sehinga dapat
menyebabkan infeksi salura berkemih dan inkontinesi urin4,5.

B. Etiologi
Beberapa hal yang dapat menyebabkan terjadinya retensi urin post partum, yaitu :
a. Trauma Intrapartum
Trauma intrapartum merupakan penyebab utama terjadinya retensi urin, dimana
terdapat trauma pada uretra dan kandung kemih. Hal ini terjadi karena adanya
penekanan yang cukup berat dan berlangsung lama terhadap uretra dan kandung kemih
oleh kepala janin yang memasuki rongga panggul, sehingga dapat terjadi perlukaan
jaringan, edema mukosa kandung kemih dan ekstravasasi darah di dalamnya. Trauma
traktus genitalis dapat menimbulkan hematom yang luas dan meyebabkan retensi urin
post partum.
b. Refleks kejang (cramp) sfingter uretra.
Hal ini terjadi apabila pasien post partum tersebut merasa ketakutan akan timbul perih
dan sakit jika urinnya mengenai luka episiotomi sewaktu berkemih. Gangguan ini
bersifat sementara.
c. Hipotonia selama masa kehamilan dan nifas
Tonus otot otot (otot detrusor) vesika urinaria sejak hamil dan post partum tejadi
penurunan karena pengaruh hormonal ataupun pengaruh obat-obatan anestesia pada
persalinan yang menggunakan anestesi epidural.
d. Posisi tidur telentang pada masa intrapartum membuat ibu sulit berkemih spontan.

C. Faktor Resiko
Banyak faktor resiko yang diidentifikasi sebagai penyebab retensi urin post partum.
Beberapa faktor resiko sebagai berikut3:
- Primipara
- Instrumental delivery
- Analgesia epidural
- Persalinan lama
- Trauma perineum

Tabel 1.
Menurut beberapa peneliti, faktor resiko retensi urin dibagi menjadi 3 yaitu saat
kehamilan, saat lahiran, dan ginekologi. Faktor faktor resiko ini sesuai dengan tabel 14.
D. Klasifikasi
Retensi urin dapat dibagi berdasarkan penyebab lokasi kerusakan saraf, yaitu5 :
a. Supravesikal
Berupa kerusakan pada pusat miksi di medulla spinalis sakralis S2–4 dan Th1- L1.
Kerusakan terjadi pada saraf simpatis dan parasimpatis baik sebagian atau seluruhnya,
misalnya : retensi urin karena gangguan persarafan.
b. Vesikal
Berupa kelemahan otot destrusor karena lama teregang, berhubungan dengan masa
kehamilan dan proses persalinan, misalnya : retensi urin akibat iatrogenik,
cedera/inflamasi, psikis.
c. Intravesikal
Berupa kekakuan leher vesika, striktur oleh batu kecil atau tumor pada leher vesika
urinaria, misalnya : retensi urin akibat obstruksi.
Retensi urin post partum dibagi atas dua yaitu6 :
a. Retensi urin covert (volume residu urin>150 ml pada hari pertama post partum tanpa
gejala klinis)
Retensi urin post partum yang tidak terdeteksi (covert) oleh pemeriksa. Bentuk yang
retensi urin covert dapat diidentifikasikan sebagai peningkatkan residu setelah
berkemih spontan yang dapat dinilai dengan bantuan USG atau drainase kandung
kemih dengan kateterisasi. Wanita dengan volume residu setelah buang air kecil ≥ 150
ml dan tidak terdapat gejala klinis retensi urin, termasuk pada kategori ini.

b. Retensi urin overt (retensi urin akut post partum dengan gejala klinis).
Retensi urin post partum yang tampak secara klinis (overt) adalah ketidakmampuan
berkemih secara spontan setelah proses persalinan. Insidensi retensi urin postpartum
tergantung dari terminologi yang digunakan. Penggunaan terminologi tidak dapat
berkemih spontan dalam 6 jam setelah persalinan, telah dilakukan penelitian analisis
retrospektif yang menunjukkan insidensi retensi urin jenis yang tampak (overt) secara
klinis dibawah 0,14%. Sementara itu, untuk kedua jenis retensi urin, tercatat secara
keseluruhan angka insidensinya mencapai 0,7%
E. Patofisiologi
Proses berkemih melibatkan dua proses yang berbeda yaitu 7 :
1. pengisian dan penyimpanan urin, serta
2. pengosongan urin dari kandung kemih.
Proses ini sering berlawanan dan bergantian secara normal. Aktivitas otot detrusor
kandung kemih dalam hal penyimpanan dan pengeluaran urin dikontrol oleh sistem saraf
otonom dan somatik7.
Selama fase pengisian, pengaruh sistem saraf simpatis terhadap kandung kemih
menjadi bertekanan rendah dengan meningkatkan resistensi saluran kemih. Penyimpanan
urin dikoordinasikan oleh hambatan sistem simpatis dari aktivitas kontraksi otot detrusor
yang dikaitkan dengan peningkatan tekanan otot dari leher kandung kemih dan uretra
proksimal5. Pengeluaran urin secara normal timbul akibat adanya kontraksi yang simultan
dari otot detrusor dan relaksasi sfingter uretra. Hal ini dipengaruhi oleh sistem saraf
parasimpatis yang mempunyai neurotransmiter utama yaitu asetilkolin. Penyampaian
impuls dari saraf aferen ditransmisikan ke saraf sensoris pada ujung ganglion medulla
spinalis di segmen S2 - S4 dan selanjutnya sampai ke batang otak. Impuls saraf dari
batang otak menghambat aliran parasimpatis dari pusat kemih sakral spinal. Selama fase
pengosongan kandung kemih, hambatan pada aliran parasimpatis sakral dihentikan,
sehingga timbul kembali kontraksi otot detrusor5.
Retensi urin post partum paling sering terjadi akibat disinergis dari otot detrusor dan
sfingter uretra. Terjadinya relaksasi sfingter uretra yang tidak sempurna menyebabkan
nyeri dan edema. Sehingga ibu post partum tidak dapat mengosongkan kandung
kemihnya dengan baik3.

F. Diagnosis
Gejala klinis yang timbul pada pasien denga retensio urin diantaranya adalah:
a. Mengedan bila miksi
b. Rasa tidak puas sehabis miksi
c. Frekuensi miksi bertambah
d. Nokturia atau pancaran kurang kuat
e. Ketidak nyamanan daerah pubis
f. Distensi vesika urinaria
Pemeriksaan klinis pada pasien dengan retensio urin didapatkan adalanya massa sekitar
daerah pelvik. Vesika urinaria dapat teraba transabdominal jika isinya berkisar antara 150-
300 ml. Pemeriksaan bimanual biasanya meraba vesika urinaria bila terisi > 200 ml.
Pemeriksaan uroflowmetri merupakan salah satu pemeriksaan yang sederhana untuk
melihat adanya gangguan berkemih yang pada pasien normal akan terlihat gambaran
dengan flow rate >15-20 ml/detik untuk volume urin minimal 150 ml. Pada pasien dengan
gangguan berkemih ditemukan penurunan peak flow rate dan perpanjangan waktu
berkemih5.
Pemeriksaan urin residu adalah sisa volume urin dalam kandung kemih setelah
penderita berkemih spontan. Pada pasien pasca bedah ginekologi setelah kateter dilepas
selama 6 jam didapatkan retensi urin apabila urin residu > 100 ml, sedangkan pada pasien
pasca bedah obstetrik setelah kateter dilepas selama 6 jam didapatkan volume residu > 200
ml. Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah dengan ultrasonografi untuk mengukur
volume residu urin6.
Diagnosis nilai normal fungsi bekemih pada wanita adalah :
a. Volume residu < 50 ml
b. Keinginan yang kuat timbul setelah pengisisan >250 ml
c. Kapasitas sistometri <50 cm H2O
d. Flow rate > 15 ml/detik
Diagnosis menggunakan ultrasound kantung kemih tidak terlalu akurat dikarenakan
bentuk dan ukuran uterus, sifat echogenic dari Rahim, bekas luka diperut, dinding perut
wania yang gemuk, dan darah yang berada di rahim. Berbeda pendapat menurut yip et al.
(2004) mengatakan bahwa pencitraan kantung kemih merupakan metode diagnosis yang
akurat non invasive dan diperlukan kateterisasi untuk membuktikan secara pasti retensi
urin. Barrington et al (2001) menemukan bahwa pencitraan akurat untuk menentukan
volume kantung kemih untuk wanita yang post section cesare4.
G. Penatalaksanaan
1. Bladder Training

Bladder training adalah kegiatan melatih kandung kemih untuk mengembalikan


pola normal berkemih dengan menstimulasi pengeluaran urin. Dengan bladder training
diharapkan fungsi eliminasi berkemih spontan pada ibu post partum spontan dapat
terjadi dalam 2- 6 jam post partum.
Ketika kandung kemih menjadi sangat mengembang diperlukan kateterisasi,
kateter Foley ditinggal dalam kandung kemih selama 24-48 jam untuk menjaga
kandung kemih tetap kosong dan memungkinkan kandung kemih menemukan kembali
tonus otot normal dan sensasi. Bila kateter dilepas, pasien harus dapat berkemih secara
spontan dalam waktu 2-6 jam. Setelah berkemih secara spontan, kandung kemih harus
dikateter kembali untuk memastikan bahwa residu urin minimal. Bila kandung kemih
mengandung lebih dari 150 ml residu urin , drainase kandung kemih dilanjutkan lagi.
Residu urin setelah berkemih normalnya kurang atau sama dengan 50 ml1.
Program latihan bladder training meliputi : penyuluhan, upaya berkemih terjadwal,
dan memberikan umpan balik positif. Tujuan dari bladder training adalah melatih
kandung kemih untuk meningkatkan kemampuan mengontrol, mengendalikan, dan
meningkatkan kemampuan berkemih8.
a. Secara umum, pertama kali diupayakan berbagai cara yang non invasif agar
pasien tersebut dapat berkemih spontan.
b. Pasien post partum harus sedini mungkin berdiri dan jalan ke toilet untuk
berkemih spontan Terapi medikamentosa
c. Diberikan uterotonika agar terjadi involusio uteri yang baik. Kontraksi uterus
diikuti dengan kontraksi kandung kemih.
d. Apabila semua upaya telah dikerjakan namun tidak berhasil untuk
mengosongkan kandung kemih yang penuh, maka perlu dilakukan kateterisasi
urin, jika perlu lakukan berulang.
2. Hidroterapi

Hidroterapi merupakan terapi alternatif yang sudah lama dikenal dan dilakukan
secara luas pada bidang naturopathy akhir-akhir ini. Sejumlah penelitian dilakukan
untuk mengetahui manfaat dari hidroterapi. Dari beberapa literatur, diketahui manfaat
dari hidroterapi adalah untuk memperbaiki sirkulasi darah sehingga dapat
memperbaiki fungsi jaringan dan organ. Hidroterapi banyak digunakan sebagai terapi
alternatif untuk pemulihan, salah satunya dapat mencegah terjadinya retensi urin pada
masa post partum dengan pertimbangan non invasif, mudah dilakukan, murah, efek
samping minimal dan dapat dikerjakan sendiri9.
a. Rasionalisasi hidroterapi dengan air hangat
Beberapa literatur mendukung hidroterapi dengan air hangat dengan suhu
106-110°F (41-43°C). Batas suhu tersebut dianggap fisiologis untuk hidroterapi
dan telah diuji melalui beberapa penelitian dengan risiko terjadinya heatstroke
yang minimal. Terapi air hangat pada kulit, khususnya pada organ urogenitalia
eksterna menimbulkan sensasi suhu pada nerve ending (ujung saraf) pada
permukaan kulit. Sensasi ini mengaktivasi transmisi dopaminergik dalam jalur
mesolimbik sistem saraf pusat9.
Diketahui pada jalur persarafan, perangsangan oleh satu fungsi sensasi
akan menghambat fungsi sensasi yang lain. Sebagai contoh, beberapa area di
medulla spinalis menghantarkan sinyal yang diperoleh dari nosiseptor (reseptor
rasa nyeri) dan reseptor taktil (reseptor sensasi suhu). Perangsangan reseptor
taktil oleh suhu akan menghambat transmisi impuls nyeri dari nosiseptor,
sebaliknya stimulasi nyeri dapat menekan transmisi siyal yang diterima dari
reseptor taktil. Hal ini dikenal dengan teori pintu gerbang (gate teory)10.
Transmisi sinyal yang diperoleh dari reseptor saraf yang satu akan
menghambat jalur transmisi untuk sensasi lain. Hal ini disebut “blocking the
gate” atau dengan kata lain, sensasi suhu dari air hangat yang diterima reseptor
taktil akan menghambat jalur transmisi rasa nyeri yang diterima oleh reseptor
nosiseptor. Sehingga sensasi rasa nyeri dapat berkurang10.
Terapi air hangat memberikan efek “crowding process” (proses
pengacauan) pada sistem saraf karena mengakibatkan rasa nyeri terhambat oleh
sensasi suhu yang diterima oleh nerve ending yang bertanggung jawab terhadap
sensasi suhu (nerve endings Ruffini dan Krause). sehingga memberikan efek
penekanan atau pengurangan rasa nyeri (analgesia)10.
Selain itu, manfaat paparan lokal air hangat dapat mengakibatkan
peningkatan kadar beta endorphin dalam darah. Beta endorfin diketahui sebagai
anti nyeri endogen yang dapat menimbulkan perasaan relaksasi.
b. Rasionalisasi hidroterapi dengan air dingin
Seperti halnya hidroterapi dengan air hangat, rasionalisasi hidroterapi
dengan air dingin juga mengakibatkan terjadinya proses “blocking the gate”
(sensasi suhu dari air dingin yang diterima reseptor taktil akan menghambat jalur
transmisi rasa nyeri yang diterima oleh reseptor nosiseptor.). Pada hidroterapi air
dingin juga terjadi efek pengacauan “crowding process”. Sehingga air dingin
juga dapat menekan sensasi rasa nyeri10.
Selain itu, air dingin juga menghasilkan efek elektroshock ringan pada
korteks serebri karena kuantitas yang banyak dari nerve ending yang bertanggung
jawab terhadap reseptor dingin pada kulit. Hidroterapi dengan air dingin dapat
mengirim sejumlah besar impuls dari ujung saraf perifer (nerve endings) ke otak,
sehingga menghasilkan efek analgesia yang lebih besar10.
Karena itu, hidroterapi dengan air dingin pada ibu post partum spontan
yang mengalami laserasi perineum dapat menjadi salah satu manajemen luka
perineum untuk penanganan edema perineum selain penanganan higienis
perineum dan kuratif dengan medisinal. Dari satu penelitian dilaporkan insidensi
penyembuhan luka laserasi perineum dengan hidroterapi sebesar 84 % pada
sepuluh hari periode post partum. Penyembuhan lambat sebesar 4,3 %, kejadian
Infeksi perineum 1,2 % dan penyembuhan tidak sempurna sebesar 4,8 %.
Sedangkan kejadian edema perineum ringan akan sembuh pada 3 – 4 hari post
partum10.
c. Jenis-jenis Hidroterapi10
1) Hidroterapi Kontras
Alternatif terapi menggunkan air hangat dan dingin merupakan salah satu
jenis hidroterapi. Penggunaan air hangat adalah untuk membuat terjadinya
vasodilatasi, sedangkan penggunaan air dingin untuk membuat terjadinya
vasokonstriksi. Aplikasi dari terapi ini dapat dilakukan pada jaringan atau
organ tubuh yang inflamasi dan kongesti.
2) Berendam dan Mandi
Berendam dan mandi dengan air hangat dan dingin, akhir-akhir ini diteliti
mempunyai manfaat untuk kesehatan dan membantu proses penyembuhan
karena dapat membantu relaksasi dan mengurangi stres. Mandi dengan air
dingin dapat menstimulasi sistem imun dan memperbaiki sirkulasi darah.
3) Hot Foot Bath
Terapi rendam kaki dengan air hangat direkomendasikan untuk kaki yang
kram, nausea, demam, insomnia, kongesti pelvis.
4) Heating Compress
Kompres dengan air hangat dianggap bermanfaat untuk memperbaiki
sirkulasi darah, terutama pada engorgement payudara post partum.
5) Constitutional Hidroterapi
Ahli Naturopati sering menggunakan alternatif terapi air untuk kesehatan dan
memperbaiki sistem imun. Metode ini menggunakan handuk yang direndam
ke dalam air hangat dan dingin lalu di aplikasikan pada punggung dan dada
yang nyeri.
3. Bladder training dengan Sitz Bath

Dari berbagai literatur, Sitz bath terbukti bermanfaat untuk terapi pemulihan.
Terapi ini menggunakan prinsip hidroterapi pada posisi duduk (Sitz bath). Aplikasi
prinsip hidroterapi ini untuk menstimulasi sirkulasi daerah pelvis. Hidroterapi ini
menggunakan alternatif air dingin dan hangat. Kontraindikasi metode ini adalah pada
pasien dengan penyakit tromboemboli vena seperti deep vein thrombosis (DVT),
infeksi kandung kemih dan gangguan sensasi saraf perifer (penyakit
serebrovaskular10.
Petunjuk melakukan metode ini, diawali dengan pengisian air hangat pada
kantung air alat Sitz bath sampai 1500 ml. Setelah pasien diposisikan duduk pada alat
Sitz bath, kemudian klem pada selang dibuka sehingga terpancar aliran air mengenai
organ urogenitalia eksterna dan mengisi alat Sitz bath sampai mencapai ukuran
kedalam air 3-4 inchi dari dasar alat Sitz bath, sehingga air dapat merendam sebagian
bokong dan organ urogenital eksterna pada air yang dialirkan pada selang ke dalam
alat Sitz bath. Aplikasi ini menggunakan air hangat (106-110°F, 41-43°C), setelah itu
diganti dengan menggunakan air dingin (55-75°F, 12-24°C). Berdasarkan literatur,
proses berendam diupayakan senyaman mungkin selama + 10 – 20 menit. Dimana
alat terapi Sitz bath disesuaikan dengan bentuk dan ukuran pasien10.
0 0
Hidroterapi dengan suhu air hangat (106-110°F, 41 C – 43 C) merupakan
suhu air dalam batas fisiologis yang menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah dan
meningkatkan pasokan darah yang akan meningkatkan oksigenisasi ke jaringan.
Selain itu, dapat menimbulkan sensasi suhu terhadap nerve endings kulit pada organ
urogenitalia eksterna, menstimulus jalur persarafan, menghilangkan rasa nyeri dan
membantu proses relaksasi dari sfingter uretra sehingga dapat tercapai fungsi
eliminasi berkemih spontan dari ibu post partum spontan. Hidroterapi dengan air
dingin bersuhu 55-75°F, 12-24°C juga dapat menimbulkan efek analgesia dan
membantu mengurangi edema jaringan, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya
pada rasionalisasi hidroterapi dengan air hangat dan dingin10.

H. Prognosis
Bagi sebagian wanita, fungsi dari kantung kemih akan kembali normal. Yip et
al.(1997) menemukan bahwa 67 pasien postpartum dengan retensi urin akan kembali
normal dalam waktu 4 hari. Carley et al. (2002) meneliti sebanyak 51 pasien, 45,1% akan
kembali normal selama 48 jam, 29,4% sebanyak 72 jam, dan 25,5% lebih dari 72 jam. 10
pasien yang memiliki retensi urin persisten akan kembali normal dalam waktu 45 hari
postpartum9.
BAB IV
DISKUSI KASUS

Permasalahan:
1. Apakah diagnosis sudah tepat?
2. Apakah penatalaksanaan sudah tepat?
Pembahasan

1. Apakah diagnosis sudah tepat?


Diagnosis

P1A0 post partum spontan dengan preeklampsi ringan dan retensi urin, bayi hidup.
Retensi urin pada kasus ini kemungkinan karena ada trauma pada saat intrapartum. Selain
itu sesuai dengan teori mengenai faktor resiko retensi urin ini adalah salah satunya proses
persalinan lama. Pada pasien ini terjadi proses persalinan lama yang menurut pasien selama
30 menit untuk proses persalinan
Dari anamnesa, ditemukan bahwa pasien
 Tidak dapat membuang air kecil disertai rasa tidak nyaman diperut bagian bawah
Dari Pemeriksaan Fisik ditemukan bahwa pasien
 Tekanan Darah 120/100
 Nyeri tekan didaerah suprapubik.
Pemeriksaan Laboratorium pertama

Haemoglobin : 10,2 g/dl


Leukosit : 17.700 /ul
Hematokrit : 29,07 %
Trombosit : 478.000 /ul
Eritrosit : 3,45 10’3/u

Urine
Bakteri :-
Jamur :-
Epitel :+
Darah samar : ++
Albumin :+
Leukosit : 5 – 6/LPB

2. Apakah penatalaksanaan sudah tepat?


Pada kasus Ny. D dilakukan penanganan dengan kateterisasi terlebih dahulu untuk
mengeluarkan urin dari Vesica Urinaria, dan untuk mengambil sampel urin untuk urinalisis
serta diberikan antibiotika. Hal ini sesuai dengan penatalaksanaan dengan yang disebutkan.

Pada kasus Ny. D sebanyak 100cc urin keluar pada DC set pada saat dilakukan
kateterisasi awal di ruang bersalin. Oleh sebab itu pasien diobservasi hingga keluar urin
yang kedua. Pada saat diruangan wijaya kusuma didapatkan jumlah urin sekitar 150 cc dan
diobservasi lagi dalam waktu sehari. Penatalaksanaan tersebut sesuai dengan teori juga.

Pada hari ke tiga di Ruang Wijaya Kusuma DC set dilepas pada pagi hari untuk melihat
apakah ibu dapat BAK secara spontan, apabila pasien dapat BAK scara spontan maka
pasien diperbolehkan pulang. Hal ini sesuai dengan teori untuk melakukan bladder training.
DAFTAR PUSTAKA

1. ACOG. Hypertension in Pregnancy. Obs Gynecol. 2013;122(January):1122–31


2. Andi. Retensio Urin Post Partum. Dalam : Jurnal kedokteran Indonesia, Vol. 20,
Februari 2008.
3. Pribakti B. Tinjauan kasus Retensi urin postpartum di RS.Unlam/RS.Ulin
Banjarmasin 2002-2003. Dexa Medica, 2006.
4. Kearney R, Cutner A. Review Postpartum voiding dysfunction. The Obstetrician &
Gynaecologist. 2008;10:71–74.
5. Institute of Obstetricians and Gynaecologists, Royal College of Physicians of
Ireland and Directorate of Clinical Strategy and Programmes Health Service
Executive. Management of urinary retention in pregnancy, post-partum and after
gynaecological surgery. Institute of Obstetrician & Gynaecologist. 2018
6. Andolf E, Losif CS, Jorgenense M, et al. Insidious urinary retention after vaginal
delivery, prevalence and symptoms at follow up in population based study. Gynecol
Obstet Invest 1995; 38:51-3.
7. Junizaf. Penanganan Retensi Urin Pasca Persalinan, Uroginekologi 1 Sub bagian
Uroginekologi Rekonstruksi Bagian Obstetri Ginecologi FKUI Jakarta, 2002
8. Japardi I,Manifestasi Neurologis Gangguan Miksi, Bagian Bedah, FKUSU, 2000
9. Rizki, TM, Tesis Kejadian retensi urin paska seksio sesarea dan bedah ginekologi di
RSUP. H. Adam malik Medan, Departemen Obstetri dan Ginekologi FK-USU,
2009.
10. Ganong W F, Fungsi Ginjal dan Miksi. Fisiologi Kedokteran Edisi 20 EGC Jakarta,
2000.
11. Yustini,E, dkk. Efektivitas Bladder training terhadap BAK spontan post partum.
Majalah Obstetri Ginekologi Indonesia. Vol.32:4. Oktober 2008
12. Nikolai A, Shevchuk. Hydrotherapy as a possible neuroleptic and sedative
treatment. Molecular Radiobiology Section. USA. 2008.
13. Jenny G. Evidence for Effective Hydrotherapy. Physiotherapy, Systematic review,
evidence-basedresearch, 2002;88, 9, 514-529.
14. Teo, Roderick. Jaenatte Punter, Keith Abrams, Christoper Mayne, Douglas Tincello.
2007. Clinically overt postpartum urinary retention after vaginal delivery: a
retrospective case control study. The International Urogynecology. 18:521-524
15. Hamburg, Joerg, Carolyn Troeger, Wolfgang Holgreve, Irene Hoesli. Risk Factor in
Prolonged Postpartum Urinary Retention : an Analysis of six case.2011 Arch
Gynecol Obstet. 283:179-183.

Anda mungkin juga menyukai