Anda di halaman 1dari 26

Diagnosa Endometriosis

Secara klasik, diagnosa endometriosis membutuhkan bukti pemeriksaan histologis adanya


kelenjar dan stroma endometrium ektopik, namun diagnosis histologis sendiri bukanlah suatu
keharusan untuk menegakkan diagnosa endometriosis sebab memiliki gambaran klinis yang
sangat khas dan mudah dikenali. Namun demikian, meskipun saat ini kita telah memiliki
pemahaman yang kian berkembang mengenai patogenesis endometriosis, tetapi masih juga
belum ditemukan teknik alternatif non invasif lain yang lebih baik daripada laparoskopi untuk
mendiagnosa penyakit ini.

Diagnosa Klinis

Gejala klinis dari endometriosis mencakup dismenorea, nyeri, dispareunia, keluhan-keluhan


siklik di saluran cerna dan kandung kemih , subfertil, perdarahan abnormal, dan kelelahan
kronik. Sebuah penelitian cross-sectional tahun 2008 yang melakukan survei pada 1000 orang
wanita dengan endometriosis mendapatkan bahwa dismenorhea (79%) dan nyeri (69%)
merupakan gejala yang paling umum dalam mengarahkan ke diagnosis endometriosis. Pada
perbandingan antara wanita dengan endometriosis ringan dengan endometriosis berat, secara
signifikan gejala dispareunia lebih sering ditemukan pada wanita dengan endometriosis ringan
(51% vs. 39%), sedangkan subfertilitas (22% vs. 30%) dan massa ovarium (7% vs. 29%) lebih
mengarah pada endometriosis berat. Menariknya, waktu yang dibutuhkan untuk diagnosis
adalah sama di antara semua wanita. Sebuah studi case-control skala besar yang dilakukan di
Inggris yang membandingkan prevalensi gejala spesifik pada wanita dengan dan tanpa
endometriosis mendapati adanya proporsi yang lebih besar pada wanita dengan endometriosis
dalam memiliki gejala nyeri perut/panggul, dismenorea, atau menorhagia (73% vs 20%).
Dibandingkan dengan kontrol, wanita dengan endometriosis mengalami peningkatan risiko nyeri
perut/panggul (OR = 5,2, CI = 4,7—5,7), dismenorea (OR = 8,1, CI = 7,2-9,3), menorhagia
(OR= 4,0, CI = 3,5-4,5), subfertil (OR = 8,2, CI = 6,9-9,9), dispareunia dan /atau perdarahan
pascacoitus (OR = 6,8, CI = 5,7-8,2), kista ovarium (OR = 7,3, CI = 5,7-9,4), dan untuk
diagnosis sindrom iritasi saluran cerna (OR = 1,6, CI = 1,3-1,8) dan penyakit radang panggul
(OR = 3,0, CI= 2,5-3,6). Data ini menunjukkan bahwa meskipun gejala spesifik ini berhubungan
dengan endometriosis, namun bukan berarti gejala yang sama ini menjadi hal yang tidak lumrah

1
didapatkan pada wanita tanpa endometriosis. Mereka juga mengungkapkan bahwa
endometriosis dapat terjadi bersamaan dengan atau didiagnosa menyimpang sebagai sindrom
iritasi usus atau penyakit radang panggul. Tidak mengherankan jika diagnosis ini bisa saja
terlambat ditegakkan, bahkan sering kali setelah berlalu beberapa tahun.

Dismenore dan nyeri yang baru muncul, progresif, atau berat sangat kuat untuk mencurigai suatu
endometriosis, tapi bukan merupakan suatu tanda yang dapat dipercaya untuk memprediksi
penyakit ini. Dismenorea yang terkait dengan endometriosis sering kali dimulai sebelum
terjadinya aliran menstruasi dan biasanya terus berlangsung selama menstruasi, bahkan kadang-
kadang melewati periode menstruasi. Rasa nyeri biasanya bersifat difus, terasa jauh di dalam
panggul, tumpul dan sakit, dan dapat menyebar ke belakang dan paha atau berhubungan dengan
tekanan rektal, mual, dan diare periodik. Nyeri mungkin saja sedang atau berat, dan terkait
dengan dispareunia dan nyeri saat buang air besar pada wanita dengan endometriosis infiltrasi
dalam yang melibatkan cul-de-sac dan septum rektovaginal. Keluhan dispareunia yang
berhubungan dengan endometriosis biasanya baru muncul dan paling sering merupakan
endometriosis penetrasi dalam, segera sebelum menstruasi. Setengah hingga dua pertiga dari
wanita dengan endometriosis yang disertai nyeri memiliki gejala nyeri intermenstrual.

Tingkat keparahan endometriosis tidak berhubungan dengan jumlah dan keparahan gejala;
wanita dengan endometriosis lanjut mungkin memiliki sedikit atau bahkan tanpa gejala dan
mereka dengan endometriosis yang minimal atau ringan mungkin memiliki nyeri yang sangat
berat. Namun, pada wanita dengan endometriosis infiltrasi dalam, tingkat keparahan nyeri
umumnya berkorelasi dengan kedalaman dan volume dari lesi endometriosis. Endometriosis
Extra-panggul dapat berhubungan dengan berbagai macam gejala siklik yang menggambarkan
organ yang terlibat (luka parut di perut, saluran cerna dan saluran kemih, diafragma, pleura, dan
saraf perifer).

Temuan fisik pada wanita dengan endometriosis sangat bervariasi dan, jika ada, berhubungan
dengan lokasi dan luasnya lesi. Genitalia eksterna biasanya normal. Kadang-kadang, pada
pemeriksaan spekulum dapat ditemukan lesi berwarna biru atau lesi proliferasi yang berwarna
merah yang mudah berdarah jika disentuh , kedua lesi ini biasanya berada di forniks posterior.
Endometriosis infiltrasi dalam pada septum rekto-vaginal seringkali dapat teraba, namun tidak
selalu dapat terlihat dan mungkin tidak memiliki gejala yang jelas. Uterus biasanya retroversi

2
dan dapat memberikan penurunan mobilitas atau terfiksasi. Wanita dengan endometrioma
ovarium memiliki massa adneksa kistik terfiksir. Penebalan, indurasi, dan nodular dari
ligamentum sakrouterina adalah hal yang paling umum, dan sering kali merupakan satu-satunya
temuan fisik Pemeriksaan fisik memiliki sensitivitas diagnostik yang terbesar bila dilakukan saat
menstruasi, tetapi jika kemudian pada pemeriksaan fisik didapatkan normal tidak berarti
menyingkirkan diagnosis endometriosis. Secara keseluruhan, dibandingkan dengan gold standar
untuk diagnosis yakni diagnosis bedah, maka pemeriksaan fisik memiliki sensitivitas,
spesifisitas, dan nilai diagnostik yang relatif lebih rendah.

CA-125
CA-125 adalah antigen permukaan sel yang diekspresikan oleh turunan dari epitel soelom
(termasuk endometrium) dan merupakan marker yang sangat baik untuk pemantauan wanita
dengan carcinoma ovarium tipe epitelial. Kadar CA-125 seringkali meningkat pada wanita
dengan endometriosis berat, tetapi juga dapat meningkat selama kehamilan awal dan menstruasi
normal, dan pada wanita dengan penyakit radang panggul akut atau leiomyomata. Konsentrasi
serum CA-125 bervariasi sepanjang siklus menstruasi; secara umum, kadar paling tinggi
adalah pada fase menstruasi dan terendah adalah selama fase midfollicular dan fase periovulasi
dari siklus. Namun, penelitian terhadap sensitivitas dan reproduktifitas yang bergantung siklus
memberikan hasil yang saling bertentangan, sehingga tidak ada satupun waktu yang dianggap
tepat untuk melakukan test.

Serum CA-125 telah dianjurkan sebagai skrining untuk diagnosis endometriosis, namun sebuah
studi meta-analisis mencakup 23 penelitian yang menggunakan pembedahan sebagai diagnosis
gold standar menyimpulkan bahwa marker ini kurang spesifik. Nilai cutoff yang memberikan
nilai spesifisitas sebesar 90% hanya memiliki sensitivitas kurang dari 30%, dan jika disesuaikan
untuk mencapai nilai sensitivitas setidaknya 50%, nilai spesifisitasnya malah jatuh sampai 70%.
Sebagai tes skrining dari endometriosis berat, nilai spesifisitas 90% dan memiliki nilai
sensitivitas kurang dari 50%. Secara keseluruhan, konsentrasi serum CA-125 tidak memiliki
sensitivitas yang diperlukan untuk menjadi skrining yang efektif untuk diagnosis endometriosis.
Kadar serum CA-125 mungkin bermakna dalam evaluasi pre-operatif wanita yang diketahui
atau diduga menderita endometriosis berat. Dalam sebuah penelitian yang melibatkan 685 wanita

3
yang menjalani operasi untuk endometriosis, didapatkan kadar serum rata-rata dari CA 125 yaitu
19, 40, 77, dan 182 IU / mL pada wanita dengan masing-masing endomeriosis minimal, ringan,
sedang, dan berat; persiapan pre-operatif untuk usus disarankan untuk wanita dengan kadar lebih
dari 65 IU / mL (batas atas yang normal 35 IU/mL), karena mereka lebih mungkin untuk
memiliki perlengketan omentum, endometrioma pecah, atau perlengketan di daerah cul-de-sac.
Kadar serum CA-125 juga dapat membantu untuk membedakan endometrioma ovarium dari
kista jinak lainnya, terutama bila dikombinasikan dengan pemeriksaan USG transvaginal.
Meskipun kadar CA-125 pada umumnya bukan merupakan prediktor yang dapat diandalkan
untuk menilai efektivitas terapi medis, namun adanya peningkatan yang berkelanjutan dari
kadar CA-125 setelah pengobatan bedah memberikan kemungkinan prognosis yang relatif
kurang baik.

Pencitraan
Ultrasonografi transvaginal dapat membantu untuk mengidentifikasi wanita dengan
endometriosis berat. Ultrasonografi transvaginal dapat mendeteksi endometrioma ovarium, tapi
tidak bisa memberikan gambaran perlengketan di rongga panggul atau lesi superfisial pada
peritoneum. endometrioma dapat memiliki berbagai gambaran USG tetapi biasanya khas tampak
sebagai struktur kistik dengan hipoekhoik internal difus yang dikelilingi oleh kapsul ekhogenik.
Beberapa memiliki internal septa atau dinding noduler yang menebal. Jika gambaran khasnya
ada, maka ultrasonografi transvaginal memiliki sensitivitas 90% atau lebih tinggi dan hampir
100% untuk spesifisitasnya pada endometrioma. USG transvaginal atau transrektal dapat sangat
membantu ketika mencurigai adanya endometriosis infiltrasi dalam yang melibatkan kandung
kemih, ligamentum sakrouterina, atau septum rekto-vagina.

Seperti ultrasonografi transvaginal, magnetic resonance imaging (MRI) dapat membantu


untuk deteksi dan diferensiasi endometrioma ovarium dari massa ovarium kistik lainnya, tetapi
lebih dapat diandalkan untuk deteksi lesi endometriosis pada peritoneum. Untuk deteksi adanya
lesi peritoneal, MRI lebih unggul daripada ultrasonografi transvaginal tapi masih hanya mampu
mengindentifikasi hanya 30-40% dari lesi yang diamati dengan operasi. Untuk deteksi penyakit
yang sudah dikonfirmasi dengan pemeriksaan histopatologi, sensitifitas MRI mendekati 70% dan
spesifisitasnya yaitu 75%. Kelebihan utama MRI dibanding dari ultrasonografi adalah

4
kemampuannya yang lebih handal untuk membedakan antara perdarahan akut dan produk darah
degeneratif. Endometrioma biasanya memperlihatkan homogenitas dengan intensitas yang relatif
lebih tinggi atau hiperekhoik pada gambar T1 dan hipoekhoik pada T-2 gambar ("shading"),
sedangkan perdarahan akut umumnya memiliki intensitas rendah atau hipoekhoik pada kedua T-
1 dan T-2. Namun, pada pengamatan jangka pendek selama kista hemoragik mengalami regresi,
juga memberikan hasil akhir yang sama. Penggunaan kontras gadolinium tidak memberikan
tambahan nilai dianostik. MRI juga dapat digunakan untuk membantu dalam diagnosis
endometriosis rektovaginal.

Diagnosis Dengan Uji Terapi


Pengobatan medikamentosa untuk dismenorea tentunya sangat dipertimbangkan sebelum
memilih evaluasi dan pengobatan dengan cara operatif untuk tersangka endometriosis, terutama
pada remaja. Pengobatan uji terapi dengan menggunakan obat anti-inflamasi non steroid
(NSAID), idealnya dikombinasikan dengan estrogen/progestin atau kontrasepsi murni progestin,
adalah wajar bila gejala yang ada tidak mengarah ke suatu proses akut. Untuk wanita dewasa
yang diduga menderita endometriosis, beberapa menganjurkan untuk uji terapi medis dengan
gonadotropin releasing hormone (GnRH) agonis ketika tidak ada indikasi lain untuk tindakan
bedah (misalnya, massa adneksa yang mencurigakan), berdasarkan pada pemikiran dari data
empiris yang menunjukkan bahwa pada pasien dengan nyeri panggul kronik dan probabilitas
tinggi untuk suatu endometriosis sering kali dapat menghindari prosedur bedah diagnostik.

Bukti yang mendukung terapi medis empirik dengan agonis GnRH berasal terutama
dari satu percobaan klinis, di mana wanita dengan nyeri panggul kronis sedang atau berat yang
tidak terkait menstruasi dan tidak hilang dengan pengobatan dengan NSAID dan antibiotik,
diacak untuk menerima depot leuprolide asetat (3,75 mg im tiap bulan selama 3 bulan) atau
plasebo sebelum laparoskopi diagnostik. Mereka yang diobati dengan leuprolida amenore dan
memiliki perbaikan gejala yang lebih besar sebelum operasi, menunjukkan adanya endometriosis
pada 78/95 subyek (82%).

Meskipun kriteria klinis ketat yang digunakan terbukti cukup spesifik (82%) untuk
diagnosis endometriosis dan meskipun pengobatan adalah lebih efektif daripada plasebo,
respon terhadap pengobatan leuprolida tidak meningkatkan akurasi diagnosis; perempuan

5
dengan endometriosis yang tidak dibuktikan melalui tindakan operatif memiliki kemungkinan
yang sama dengan mereka yang terdokumentasikan dengan diagnosis endometriosis untuk
mendapatkan perbaikan gejala dari pengobatan yang diberikan. Ada kemungkinan bahwa
pengobatan yang diberikan dapat menghilangkan atau mengaburkan penyakit pada wanita yang
tidak terdokumentasikan sebagai endometriosis atau bahwa beberapa wanita yang mengalami
perbaikan dari gejala sebenarnya telah memiliki endometriosis penetrasi dalam yang terlewatkan
dari deteksi. Namun, setidaknya pengobatan tersebut memiliki kemungkinan yang sama bahwa
pengobatan yang diberikan menekan gejala yang berhubungan dengan penyebab lain, amenorea
dan gejala defisiensi estrogen pada wanita yang diterapi membawa mereka ke dugaan bahwa
mereka menerima obat aktif, mempengaruhi tanggapan mereka yang dilaporkan, atau bahwa
hipoestrogenisme yang terinduksi oleh leuprolide telah meningkatkan ambang nyeri. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa akurasi diagnostik dari kriteria klinis yang ketat dan
keampuhan pengobatan empirik dengan leuprolide pada wanita dengan nyeri panggul kronis,
tidak mendukung kesimpulan bahwa respons klinis terhadap pengobatan memiliki nilai
diagnostik.

Diagnosis Bedah
Laparoskopi yang dilanjutkan dengan pemeriksaan histologis jaringan yang diambil saat
operasi merupakan gold standar untuk diagnosis endometriosis. Waktu optimal dalam siklus
menstruasi untuk melakukan laparoskopi tidak jelas, tetapi untuk menghindari kondisi yang sulit
untuk menegakkan diagnosis, maka pembedahan umumnya tidak boleh dilakukan selama atau
dalam waktu 3 bulan setelah pengobatan hormonal. Kesadaran yang lebih baik terhadap adanya
berbagai tampilan yang bervariasi dari lesi endometriosis telah meningkatkan frekuensi dimana
endometriosis dapat didiagnosa dengan laparoskopi saat dilakukan pemeriksaan yang cermat dan
sistematis.

Lesi peritoneal klasik yakni "powder burn" yang berwarna biru-hitam (mengandung deposit
hemosiderin dari darah yang terperangkap) dengan jumlah yang bervariasi di sekitar jaringan
fibrosis, biasanya ditemukan pada ovarium dan pada permukaan peritoneum di daerah cul-de-
sac, ligamentum sakrouterina, dan fossa ovarica. Namun, sebagian besar implan sifatnya
"atipik," tampak sebagai lesi putih dan opaq, merah terang, atau vesikular. Yang lebih jarang,

6
lesi endometriosis mungkin ditemukan dalam perlengketan ovarium, plak kuning-coklat, cacat
peritoneal, atau melibatkan apendiks. Lesi yang berwarna merah sangat vaskular, proliferatif,
dan merupakan tahap awal dari endometriosis. Lesi berpigmen menggambarkan endometriosis
tahap lanjut. Keduanya aktif secara metabolik dan lebih sering berhubungan dengan gejala. Lesi
putih kurang aktif dan kurang memiliki pembuluh darah, dan biasanya tidak bergejala. Studi
yang melibatkan laparoskopi serial telah mengemukakan tentang perkembangan alami dari
penampilan lesi endometriosis dari waktu ke waktu, dan mengungkap bahwa berbagai lesi dapat
ditemukan pada satu waktu pada seorang individu.

Kriteria histologis yang ketat menentukan diagnosis bedah suatu endometriosis pada sekitar 50-
65% dari jaringan lesi yang didapatkan dari operasi. Bila diagnosis diragukan, maka perlu
dilakukan biopsi pada daerah yang mencurigakan untuk mencegah misdiagnosis dan
menghindari pengobatan yang tidak perlu; lesi yang mirip dengan endometriosis mencakup
endosalpingiosis, hiperplasia mesothelial, deposit hemosiderin, hemangioma, adrenal rest,
perubahan inflamasi, dan splenosis. Sebaliknya, laparoskopi negatif sangat dapat diandalkan
untuk menyingkirkan diagnosis endometriosis. Bukti mikroskopik endometriosis pada
peritoneum yang tampilannya kesan normal sering terjadi pada wanita infertil asimtomatik
dengan dan tampilan endometriosis lainnya yang jelas (6-13%), tapi dari signifikans klinis yang
tidak pasti karena mungkin saja ada pada sebagian besar wanita namun berkembang hanya pada
beberapa orang saja.

Endometrioma biasanya muncul sebagai kista yang halus, berwarna gelap, biasanya disertai
dengan perlengketan dan mengandung cairan kental berwarna seperti cokelat. Endometrioma
yang lebih besar biasanya multilokular. Inspeksi visual yang teliti terhadap ovarium pada
umumnya sangat dapat diandalkan untuk mendeteksi endometrioma, tetapi jika dicurigai dengan
kuat adanya endometrioma sedangkan tampilannya belum tampak khas, eksplorasi yang teliti
dengan punksi dan aspirasi ovarium dapat sangat membantu. Jika endometrioma ovarium
biasanya disertai dengan berbagai lesi peritoneal yang dapat dilihat, maka endometriosis infiltrasi
dalam sebagian besar retroperitoneal, sering kali tidak mudah dilihat, dan biasanya terisolasi;
bahkan mungkin merupakan entitas dasar penyakit yang berbeda, yang timbul dari sisa mullerian
yang terletak dalam septum rektovaginal.

7
Sistem Klasifikasi dan Penentuan Stadium (Staging)
Sebuah sistem klasifi kasi yang seragam untuk endometriosis yang mempertimbangkan baik
distribusi dan keparahan penyakit adalah berguna, sebab akan menentukan dalam dua hal yakni
pengobatan dan prognosis pada wanita dengan endometriosis, sampai batas tertentu, berdasarkan
luasnya penyakit. Sebuah klasifikasi seragam yang valid juga sangat penting untuk
membandingkan hasil pengobatan uji terapi yang dilakukan di berbagai tempat yang berbeda.
Pada tahun 1979, American Fertility Society (sekarang American Society for Reproductive
Medicine; ASRM) memperkenalkan sistem klasifikasi yang berdasarkan pada temuan bedah saat
laparoskopi atau laparotomi yang dibuat setelah digunakan untuk penentuan stadium penyakit
ganas. Sistem ini diberi skor untuk beberapa kategori, berdasarkan ukuran, kedalaman, dan
lokasi lesi dan adanya perlengketan. Sistem klasifi kasi ini kemudian direvisi pada tahun 1985,
dan lagi pada tahun 1996, untuk mengakui adanya berbagai morfologi endometriosis dan untuk
meningkatkan kualitas dari sistem skoring dan nilai prognostik untuk wanita dengan nyeri atau
infertil. Versi yang sudah direvisi yang ada saat ini merupakan alat klasifi kasi yang paling
banyak diterima, tetapi juga masih memiliki keterbatasan yang serius. Diantaranya yang paling
utama adalah korelasi yang kurang dengan laju kehamilan. Revisi lebih lanjut
pada skema klasifikasi diantisipasi sejalan dengan kemajuan pemahaman kita tentang
patogenesis infertilitas lanjut, dan mungkin akan mencakup secara empiris bobot dan ambang
batas untuk menentukan stadium penyakit; faktor lain dapat dimasukkan jika terbukti memiliki
nilai prognostik.

Klasifikasi endometriosis paling sering digunakan dalam praktek klinis cukup deskriptif
dan relatif sederhana:
● Endometriosis minimal – terisolasi pada permukaan peritoneum tanpa perlengketan.
● Endometriosis ringan – tersebar pada permukaan peritonum dan ovarium, dengan jumlah
total agregat kurang dari 5 cm, tanpa perlengketan yang berarti.
●Endometriosis sedang - multifokal, terdapat di permukaan dan juga invasif, yang
bisa saja terdapat perlengketan yang melibatkan tuba dan / atau kedua ovarium.
● Endometriosis berat - multifokal, terdapat di permukaan dan juga invasif, termasuk
endometrioma ovarium yang besar, biasanya terdapat perlengketan baik ringan maupun
berat yang melibatkan tuba falopi, kedua ovarium, dan cul-de-sac.

8
Pada tahun 2009, diusulkan suatu sistem staging yang baru, yang disebut Endometriosis Fertility
Indeks (EFI), dengan menggabungkan faktor-faktor yang paling baik untuk prediksi kehamilan
(tanpa IVF) setelah dilakukan analisis pada data klinis dan bedah (275 variabel) yang
dikumpulkan dari 579 pasien infertil dengan endometriosis. Skor EFI (0-10, dengan nilai 0
mewakili yang nilai prognostik yang paling rendah dan 10 adalah nilai prognostik yang terbaik)
divalidasi dengan mengumpulkan data pembanding dari tambahan 222 pasien, menghitung skor
untuk masing-masing, dan mengamati korelasi yang baik antara angka kehamilan prediksi
dengan angka kehamilan yang sebenarnya. Elemen kunci dari sistem staging yang baru, terlepas
dari sistem staging yang lama, adalah pengukuran numerik anatomi fungsional, berdasarkan
pada penilaian yang seksama pada tuba (luasnya cedera lapisan serosa, mobilitas, dan patensi),
fimbrie (luasnya cedera, morfologinya) dan ovarium (ukuran, luasnya cedera permukaan). Skor
EFI memprediksi angka kehamilan kumulatif 3 tahun setelah operasi, yang berkisar dari yang
terendah yaitu 10% (EFI 0-3) sampai yang tertinggi 75% (EFI 9-10). Berdasarkan laporan asli,
metode ini menjanjikan sebuah alat klinis untuk mengembangkan rencana pengobatan pada
pasien-pasien infertil dengan diagnosis bedah endometriosis. Pada akhirnya, utilitas klinis dari
EFI akan bergantung pada validasi independen tambahan dan penerimaan umum oleh dokter.

Ringkasan
Evaluasi klinis yang cermat dapat mengidentifikasi perempuan yang cenderung memiliki
endometriosis tapi tidak bisa menegakkan diagnosis. Meskipun konsentrasi serum CA-125 dapat
memberikan bukti-bukti yang nyata dari endometriosis, sensitivitas tes ini terlalu rendah untuk
menjadikannya sebagai sebuah alat skrining yang efektif. Ultrasonografi transvaginal dan MRI
keduanya sangat sensitif dan spesifik untuk mendeteksi endometrioma ovarium tetapi tidak dapat
diandalkan untuk memberikan gambaran infiltrasi peritoneum dari endometriosis. Meskipun dari
data empiris didapatkan bahwa pengobatan medis dapat membantu wanita yang diduga
endometriosis untuk menghindari operasi diagnostik, namun respon klinis yang timbul terhadap
pengobatan tidak menegakkan diagnosis endometriosis. Pada sebagian besar perempuan,
diagnosis endometriosis memerlukan pemeriksaan laparoskopi cermat dan sistematis.
Pemeriksaan histologis dari jaringan yang diambil saat operasi dapat memberikan kepastian
terhadap kesan yang didapatkan saat operasi, dan lebih disukai, tetapi tidak menjadi suatu
keharusan, untuk menegakkan diagnosis secara layak tentunya.

9
Pengobatan Endometriosis
Pengobatan endometriosis tergantung pada manifestasi klinisnya, yang terbagi dalam dua
kategori dasar: nyeri pelvis dan infertilitas. Karena keduanya bisa sangat sulit untuk dinilai
secara obyektif, maka hasil uji pengobatan harus ditafsirkan dengan hati-hati.

Agar benar-benar informatif, studi tentang efek pengobatan pada nyeri harus menggunakan
pengukuran tervalidasi yang obyektif terhadap nyeri, dan memantau pasien selama suatu interval
waktu yang lama karena kekambuhan nyeri bervariasi tergantung waktu, dan juga menyiapkan
kelompok kontrol plasebo karena efek plasebo dalam beberapa studi tentang nyeri seringkali
cukup besar (30-50%). Studi efek terapi terhadap volume sulit untuk dilakukan dan
diinterpretasikan endometriosis sebab pada endometriosis dapat terjadi regresi secara spontan
dan juga bisa kambuh atau bertambah setelah penghentian terapi. Studi efek terapi pada fetilitas
harus mempertimbangkan bahwa sebagian besar wanita dengan endometriosis
dan infertilitas sebenarnya hanyalah subfertil, bukannya steril; mereka bisa hamil, tapi sulit.
Idealnya, siklus fekunditas untuk interval waktu tertentu harus dibandingkan dengan kelompok
perempuan yang berada dibawah pengaruh yang sama tapi yang tidak mendapatkan pengobatan.

Manajemen untuk endometriosis dapat dengan ekspektansi atau terbatas pada penggunaan
analgesik, atau bisa melibatkan satu atau kombinasi dari beberapa pengobatan medikamentosa,
bedah konservatif atau definitif, atau kombinasi pengobatan medikamentosa dan bedah.
Manajemen ekspektansi umumnya dilakukan untuk pasien tanpa gejala yang signifikan dan bagi
mereka yang mendekati menopause. Namun, bahkan mereka dengan gejala yang hanya sedikit
dapat mengambil manfaat dari pengobatan untuk mencegah berkembangnya endometriosis.
Karena endometriosis biasanya mengalami gregresi setelah menopause, yang dikarenakan oleh
penurunan drastis produksi estrogen ovarium, wanita perimenopause dengan
gejala ringan dapat memilih manajemen ekspektansi, atau pengobatan yang terbatas pada
analgesik non-narkotika, untuk jangka pendek. Wanita muda dengan gejala yang signifikan
umumnya akan memerlukan pengobatan medis yang lebih luas ataupun manajemen bedah.

Pengobatan Medikamentosa
Wanita dengan nyeri panggul, dicurigai endometriosis, dan tidak ada indikasi lain untuk
pengobatan bedah dapat ditangani secara efektif dengan pengobatan empiris medikamentosa

10
tanpa menetapkan diagnosis bedah, dengan tetap mengingat bahwa respon terhadap pengobatan
tidak dapat menegakkan diagnosis endometriosis, seperti yang sudah ditekankan dalam bagian
awal bab ini. Pengobatan medikamentosa empiris mungkin melibatkan pengobatan dengan
menggunakan obat anti-inflamasi non steroid (NSAID) atau kontrasepsi estrogen-progestin
untuk wanita dengan gejala ringan, atau dengan agonis gonadotropin-releasing hormone (GnRH)
bagi mereka dengan nyeri panggul yang sedang atau berat. Meskipun sebagian besar akan
mengalami perbaikan, penting untuk menekankan bahwa pengobatan medikamentosa tidak
memiliki efek yang dapat diukur terhadap kesuburan dan bukan merupakan pengobatan yang
efektif untuk pasien dengan endometrioma atau perlengketan di panggul. Maka dari itu,
wanita infertil dan mereka yang dicurigai endometrioma atau endometriosis yang lebih berat
lebih baik ditangani dengan pembedahan.

Penanganan medis konservatif pada endometriosis didasarkan pada teori menstruasi retrograde
dan implantasi dari Sampson, dan pada pendapat lainnya bahwa endometrium ektopik
diharapkan dapat berespon terhadap penanganan seperti pada endometrium yang normal. Maka
dari itu, penanganan ini ditujukan untuk menurunkan atau mengeliminasi siklus menstruasi,
sehingga dapat menurunkan terpaparnya darah haid pada peritoneum dan kemungkinan
implantasi yang baru, dan untuk menekan pertumbuhan dan aktifitas endometrium yang
memungkinkan implantasi endometriosis. Konsep sederhana ini menjadi dasar penatalaksanaan
endometriosis selama beberapa dekade, tetapi dengan perkembangan ilmu pengetahuan
khususnya mengenai patogenesis endometriosis hingga di tingkat molekular, mulailah
dikembangkan strategi penatalaksanaan yang baru.

Kontrasepsi Estrogen-Progestin
Kontrasepsi Estrogen-progestin, baik yang dipakai secara siklik ataupun terus-menerus, telah
menjadi andalan dalam penanganan endometriosis yang disertai gejala sejak pertama kali
diperkenalkan. Bahkan saat ini, mereka adalah pengobatan yang paling sering diresepkan untuk
penanganan endometriosis ini. Pemberian yang berkelanjutan akan menimbulkan efek seperti
pseudopregnancy karena kombinasi estrogen-progestin menginduksi terjadinya amenore dan
desidualisasi endometrium dan menyerupai estrogen yang tinggi, kondisi progesteron yang tinggi
pada kehamilan dipercaya dapat menyembuhkan atau menekan terjadinya endometriosis. Hanya

11
ada sedikit bukti yang menunjukkan bahwa kontrasepsi estrogen-progestin juga dapat
meningkatkan apoptosis pada jaringan endometrium eutopik pada wanita adengan endometriosis.

Kontrasepsi estrogen-progestin adalah pilihan awal yang baik untuk wanita dengan gejala ringan
yang juga membutuhkan kontrasepsi. Pengobatan ini diharapkan dapat secara efektif mengurangi
atau menghilangkan nyeri yang berhubungan dengan endometriosis pada 75-90% penderita,
terutama ketika dikonsumsi secara terus-menerus. Kontrasepsi kombinasi ini juga dapat
membantu mencegah perkembangan endometriosis. Belum ada ada bukti bahwa terdapat
formulasi lain yang lebih unggul. Satu keuntungan lebih yang dimiliki kontrasepsi estrogen-
progestin dibanding terapi medis lainnya adalah mereka bisa dikonsumsi terus-menerus.
Suplementasi estrogen (estrogen terkonjugasi 1,25 mg atau micronized estradiol 2,0 mg setiap
hari, selama 7-10 hari) dapat digunakan untuk mengendalikan breaktrough bleeding periodik,
yang lebih umum terjadi pada pemberian yang terus menerus dibandingkan dengan terapi siklik.

Progestin
Obat-obat progestin telah lama digunakan untuk mengobati endometriosis yang bergejala karena
kemampuannya untuk menghambat pertumbuhan endometrium (dan mungkin, juga menghambat
pertumbuhan jaringan endometriosis), awalnya memicu desidualisasi, kemudian atrofi. Pada
dosis tinggi, juga dapat menghambat sekresi gonadotropin dari pituitari dan menghambat
ovulasi, menginduksi amenore. Tersedia berbagai macam jenis progestin yang berbeda, termasuk
yang berasal dari progesteron seperti medroxyprogesterone acetate dan lain-lain yang berasal
dari 19-nortestosteron, dengan sediaan norethindrone. Penekanan terhadap endometrial matrix
metalloproteinase (sekarang diakui memberikan peranan terhadap patogenesis endometriosis)
bisa menjadi cara lain yang berguna Meskipun aktivitas matriks metalloproteinase pada
endometrium eutopik wanita dengan endometriosis tahan terhadap penekanan progesteron, dosis
yang lebih tinggi yang digunakan dalam pengobatan endometriosis mungkin cukup untuk
mengatasi efek yang muncul.

Beberapa progestin yang berbeda telah digunakan secara efektif untuk pengobatan nyeri
(dismenore, dispareunia, nyeri intermenstruasi) yang berhubungan dengan endometriosis.
Medroxyprogesterone asetat dapat diberikan secara oral (20-100 mg per hari) atau dengan
injeksi (150 mg i.m. setiap 3 bulan). Efek samping termasuk mual, penambahan berat badan,
retensi cairan, tegang pada payudara, perdarahan yang tidak teratur, dan depresi. Perdarahan

12
breaktrough biasa terjadi (35-50%) tetapi umumnya ditoleransi dengan baik dan biasanya dapat
dihilangkan dengan pemberian singkat estrogen tambahan (estrogen terkonjugasi 1,25 mg atau
estradiol 2.0 mg sehari selama 7-10 hari). Depresi tidak jarang terjadi (sekitar 5%) dan bisa
cukup parah hingga memerlukan penghentian pengobatan. Sebuah uji coba tunggal acak
terkontrol menunjukkan bahwa dosis tinggi medroxyprogesterone acetate (100 mg setiap hari
selama 6 bulan) memberikan remisi komplit pada 50% wanita terhadap semua endometriosis
yang dapat dilihat, dibandingkan dengan kelompok yang menerima plasebo mengalami remisi
komplit hanya 12 %, sedangkan remisi inkomplit 13%, dibandingkan dengan 6% pada kelompok
kontrol plasebo. Norethindrone acetat (5-15 mg per hari) dan megestrol acetat (40 mg per hari)
juga telah digunakan dalam pengobatan endometriosis dan memiliki efek samping yang sama
dengan medroxyprogesterone acetate. Alat kontrasepsi dalam rahim yang dapat melepaskan
levonorgestrel adalah pilihan lain yang mungkin memiliki nilai khusus bagi wanita dengan
endometriosis rektovaginal yang infiltrasi dalam, dan bukti yang terbatas menunjukkan bahwa
implan etonogestrel subdermal (Implanon) juga bisa efektif untuk mengurangi rasa sakit yang
berhubungan dengan endometriosis.

Progestin dapat memiliki efek buruk pada kadar lipoprotein serum. Progestin yang berasal dari
19-nortestosterone menurunkan kadar HDL secara signifikan; sedangkan efek dari
medroxyprogesterone asetat tidak terlalu berat. Namun, efek ini tidak mungkin memiliki
kepentingan klinis yang bermakna selama waktu beberapa bulan yang relatif singkat. Pada dosis
yang lebih tinggi, efek supresif progestin pada sumbu hipotalamus-hipofisis-ovarium mungkin
cukup untuk menimbulkan keadaan hipogonadisme, yang mengakibatkan penurunan densitas
mineral tulang belakang sebesar 2-4% pada interval waktu 6-12 bulan; Pengobatan jangka
panjang dapat mengakibatkan efek yang lebih besar, namun pemulihan biasanya cepat terjadi
setelah pengobatan dihentikan dan dampak pada risiko patah tulang tidak dimungkinkan.
Meskipun progestin adalah pengobatan yang efektif untuk nyeri yang berhubungan dengan
endometriosis, efek negatifnya terhadap kesuburan membatasi penggunaan obat ini pada wanita
infertil yang sedang mengharapkan kehamilan.

Agonis Gonadotropin-Releasing Hormone (GnRH)


Agonis GnRH berasal dari GnRH alami dengan menggantikan L-amino acid alami di posisi 6
rantai decapeptide dengan sebuah gugus D-amino acid. Substitusi atau penggantian gugus ini

13
menghasilkan suatu agonis yang tahan terhadap degradasi, meningkatkan waktu paruh dan waktu
ikatan reseptor. Sekresi Follicle Stimulating Hormone dari hipofisis (FSH) dan Luteinizing
Hormone (LH) membutuhkan stimulus pulsatil dari GnRH, yang memungkinkan konsentrasi
reseptor diisi ulang diantara pulsasi; infus GnRH intravena yang konstan menghasilkan respon
awal ("flare"), diikuti oleh down-regulasi dari konsentrasi reseptor, yang menimbulkan
desensitasi hipofisis terhadap rangsangan yang terus-menerus. Agonis GnRH yang long-acting
(leuprolide, nafarelin, goserelin, buserelin, triptorelin) memiliki efek yang sama, menimbulkan
keadaan hipogonadisme yang telah disebut "pseudomenopause" atau "ooforektomi medis,"
meskipun kedua istilah ini sebenarnya kurang tepat. Pada kondisi menopause, ovarium tidak
menghasilkan estrogen karena telah kehabisan folikel dan karena tidak bisa lagi, sedangkan pada
kondisi kastrasi, ovarium memang sama sekali tidak ada; dalam kedua kasus ini, kadar
gonadotropin serum secara nyata meningkat. Sebaliknya, perempuan di bawah pengobatan
agonis GnRH tidak menghasilkan estrogen ovarium mereka tidak menerima stimulasi
gonadotropin yang efektif; sehingga kadar keduanya FSH dan LH sangat rendah. Agonis GnRH
efektif untuk pengobatan endometriosis karena mereka menginduksi keadaan hipogonadisme
yang meniadakan dukungan estrogen terhadap penyakit ini, dan menimbulkan amenore yang
mencegah implantasi baru pada peritoneum.

Agonis GnRH dapat diberikan intramuskuler, subkutan, atau intranasal, rutenya bervariasi dari
berbagai obat spesifik. Sekitar 75% wanita mencapai status hipogonadisme dalam waktu 4

14
minggu pengobatan dan hampir semua dalam waktu 8 minggu. Efek samping GnRH agonis
adalah oleh karena keadaan hipogonadismenya seperti semburan panas, kekeringan vagina yang
progresif, penurunan libido (produksi estrogen dan androgen ditekan), depresi, lekas marah,
kelelahan, sakit kepala, perubahan tekstur kulit, dan penurunan densitas mineral tulang. Lebih
dari 80% melaporkan adanya gejala vasomotor dan 30% gejala vagina dan sakit kepala. Terapi
agonis GnRH tidak memiliki efek buruk pada kadar lipid serum dan konsentrasi lipoprotein
seperti yang timbul dengan pemberian danazol atau pengobatan dengan progestin dosis tinggi.
Penurunan densitas mineral tulang yang berhubungan dengan regimen standar agonis
GnRH (6 bulan) adalah bermakna; osteoporosis terjadi baik pada tulang belakang lumbal
(tulang trabecular) dan femoral neck (tulang kortikal) dan dapat mendekati atau bahkan
melebihi 1% per bulan.

Setelah pengobatan dihentikan, maka osteoporosis perlahan-lahan akan pulih, tapi tidak semua
wanita mengalami pemulihan komplit. Hilangnya tulang trabekular dapat menyebabkan
kerusakan pada struktur tulang yang tidak dapat pulih sempurna secara efektif.

Dalam upaya untuk mencegah penurunan densitas mineral tulang yang menyertai terapi agonis
GnRH, sejumlah strategi pengobatan “add-back” yang berbeda telah dikembangkan. Regimen
add-back dengan kombinasi estrogen-progestin dosis rendah (estrogen terkonjugasi 0,625 mg
dan medroxyprogesterone acetate 2,5 mg per hari atau norethindrone 5,0 mg per hari) didasarkan
pada pemikiran bahwa kadar estrogen yang diperlukan untuk mendukung endometriosis lebih
besar dari yang diperlukan untuk mencegah timbulnya gejala vasomotor atau penurunan densitas
mineral tulang. Hasil yang dicapai gabungan regimen add-back kombinasi estrogen-progestin
dosis rendah mendukung hipotesis "estrogen threshold”. Namun, regiman add-back dengan
estrogen-only tidak disarankan; sebuah uji klinis (estradiol oral, 1 mg per hari) telah dihentikan
lebih awal oleh karena pada pengamatan didapatkan nyeri berulang pada pasien yang
diperlakukan. Banyak regimen add-back lainnya telah dijelaskan, termasuk progestin
(norethindrone 2,5-5 mg per hari), Tibolone (2,5 mg per hari), bifosfonat (cyclic etidronate 400
mg sehari selama 2 minggu setiap 2 bulan; alendronate 10 mg per hari), dan modulator reseptor
estrogen selektif, raloxifene (60 mg per hari). Regimen add-back kombinasi estrogen-progestin
melindungi tulang dan memiliki manfaat tambahan yakni mencegah semburan panas dan
proses atrofi traktus urogenital. Regimen add-back yang hanya menggunakan progestin kurang

15
efektif. Penyakit endometriosis sendiri tidak berhubungan dengan osteoporosis. Dari percobaan
uji kontrol acak membuktikan bahwa pemberian hormon pada regimen add-back dapat
melindungi tulang dan mengurangi gejala defisiensi estrogen tanpa meniadakan kontrol nyeri
yang berhubungan dengan endometriosis.

Agonis GnRH terbukti efektif dalam mengurangi rasa sakit pada wanita dengan endometriosis;
semua agonis memiliki kemampuan yang sama. Sejumlah uji klinis yang membandingkan
pengobatan menggunakan agonis GnRH dengan dan tanpa disertai regimen add-back hormon
steroid pengobatan agonis dengan dan tanpa terapi hormon add-back steroid telah menyimpulkan
bahwa terapi kombinasi sama efektifnya dengan pengobatan yang hanya menggunakan agonis
saja tetapi menghasilkan efek samping yang lebih sedikit yang berkaitan dengan defisiensi
estrogen. Banyak yang memilih untuk tidak memulai terapi add-back sampai nyeri terkendali,
padahal bukti menunjukkan bahwa menunda terapi add-back pada sebagian besar wanita adalah
tidak perlu. Nyeri dengan intensitas yang lebih rendah atau sama bisa kambuh segera setelah
penghentian pengobatan; tingkat kekambuhan sekitar 10-20% per tahun. keseluruhan tingkat
kekambuhan kumulatif 5 tahun setelah pengobatan dengan agonis GnRH adalah sekitar 55%,
lebih rendah pada wanita dengan endometriosis minimal dan ringan (37%) dibandingkan mereka
dengan endometrisis berat (74%).

Dalam sebuah uji coba tanpa kontrol skala besar, pengobatan dengan leuprolida menurunkan
volume endometriosis pada hampir 90% wanita. Sejumlah penelitian lain yang membandingkan
agonis GnRH dengan danazol telah menyimpulkan bahwa keduanya memiliki kemampuan yang
sama. Studi lain yang membandingkan agonis GnRH (leuprolide) dengan progestin (lynestrenol)
mendapatkan perbaikan yang lebih besar pada wanita yang diobati dengan agonis. Pengobatan
dengan agonis GnRH kadang-kadang dapat mengurangi ukuran endometrioma, tetapi tidak
menghilangkannya.

Danazol
Danazol merupakan obat yang pertama kali dikembangkan sebagai pengobatan untuk
endometriosis di Amerika Serikat. Obat ini merupakan derivat isoxazol 17α-ethiniltestosteron
yang diberikan secara oral dengan mekanisme kerja utamanya adalah menghambat terjadinya
lonjakan LH pada pertengahan siklus dan menginduksi keadaan anovulatorik yang panjang,
tetapi obat ini juga menghambat sejumlah enzim steroidogenik dan meningkatkan kadar

16
testosterone bebas. Berbagai efek yang berbeda pada pemberian danazol bergabung untuk
menghasilkan kadar androgen yang tinggi, suasana yang rendah estrogen yang akhirnya
menghambat pertumbuhan endometriosis. Amenorea yang merupakan efek yang sering muncul
pada pemberian danazol juga dapat menurunkan terjadinya pertumbuhan atau implantasi baru
endometriosis ke dalam kavum peritoneum.

Danazol telah terbukti efektif untuk mengurangi endometriosis yang berhubungan dengan nyeri
(dismenorea, dispareunia dalam, nyeri intermenstrual) pada lebih dari 90% wanita yang diobati.
waktu rata-rata untuk kekambuhan nyeri setelah penghentian pengobatan adalah sekitar 6 bulan.
Beberapa studi yang mengobservasi efek danazol pada lesi endometriosis (biasanya dinilai
setelah 6 bulan pengobatan) secara konsisten mendapatkan penurunan volume dari lesi
endometriosis antara 40% hingga 90%. Satu percobaan terkontrol secara acak mendapatkan
regresi lesi endometriosis sebesar 60% pada wanita yang mendapat terapi dengan danazol, dan
sebesar 18% dari mereka yang menerima plasebo.

Meskipun danazol efektif untuk penatalaksaan nyeri yang berhubungan dengan endometriosis,
dosis yang direkomendasikan untuk terapi endometriosis (400-800 mg per hari) memiliki efek
samping dari pengaruh sifat androgenik dan hipoestrogenik sehingga penggunaan klinis obat ini
dibatasi. Efek tersebut diantaranya peningkatan berat badan, retensi cairan, kelelahan, pengecilan
ukuran payudara, akne, kulit berminyak, hirsutisme, atrofi vagina, semburan panas, kram otot,
dan emosi yang labil. Beberapa dapat dilakukan manajemen ekspentasi dalam memantau efek
samping ini pada 80% wanita yang menggunakan danazol, tetapi kurang dari 10% mengalami
efek samping yang kuat sehingga pengobatannya tidak dilanjutkan. Danazol juga dikaitkan
dengan terjadinya virilisasi bayi perempuan in utero, dan tidak boleh diberikan pada wanita yang
dicurigai hamil. Efek androgenik danazol juga dapat memperberat suara yang sifatnya
17
ireversibel. Gangguan pada profil lipid juga merefleksikan efek androgenik obat. Gangguan
tersebut berupa peningkatan kolesterol total dan LDL dengan HDL yang rendah. Namun efek ini
tidak begitu bermakna pada pengobatan jangka pendek. Efek lain dapat berupa kerusakan pada
hati dan trombosis arteri, tapi ini jarang terjadi. Dosis rendah danazol lebih mudah ditoleransi
tetapi memiliki efektifitas yang rendah. Danazol juga dapat digunakan pervaginam, namun
penelitian mengenai hal ini masih sangat terbatas.

Aromatase Inhibitor
Meskipun tidak disetujui untuk pengobatan endometriosis, aromatase inhibitor menawarkan
pendekatan baru dan menjanjikan untuk pengelolaan endometriosis. Aromatase inhibitor efektif
menekan produksi estrogen di perifer (misalnya, otak, adiposa) dan pada jaringan endometriosis
itu sendiri, sama seperti pada ovarium.

Dalam berbagai laporan kasus dan seri kecil, aromatase inhibitor (anastrozole 1 mg per hari,
letrozole 2,5 mg per hari) telah didapatkan efektif untuk pengelolaan nyeri yang terkait dengan
endometriosis. Uji coba secara acak yang membandingkan pengobatan antara agonis GnRH
saja dengan pengobatan kombinasi agonis dan anastrozole sebagai pengobatan pasca operasi
wanita yang menerima tindakan bedah untuk endometriosis, menemukan bahwa penambahan
aromatase inhibitor akan memperpanjang waktu hingga terjadinya kekambuhan gejala yang
bermakna; sebanyak 14/40 wanita (35%) yang diobati hanya dengan analog GnRH saja dan 3/40
(7,5%) yang juga diobati dengan tambahan anatrozole memiliki gejala berulang setelah 24 bulan
observasi pasca operasi. Sebuah tinjauan sistematis tahun 2008 termasuk delapan penelitian yang
menyangkut pengobatan dengan aromatase inhibitor untuk nyeri yang berhubungan dengan
endometriosis menyimpulkan bahwa bukti-bukti yang ada masih terbatas untuk mendukung
efektivitas obat ini.

Aromatase inhibitor diduga dapat menyebabkan penurunan densitas tulang secara signifikan
pada penggunaan jangka panjang dan tidak dapat digunakan secara tunggal pada wanita
premenopause karena dapat menstimulasi pelepasan FSH, yang menyebabkan berkembangnya
kista ovarium multipel. Untuk menghindari komplikasi ini, maka pada penggunaan obat ini
harus dikombinasikan dengan agonis GnRH atau norethindrone acetate (5 mg setiap hari) pada
wanita premenopause. Dalam sebuah penelitian, kombinasi pengobatan dengan letrozole dan
norethindrone didapatkan lebih efektif daripada norethindrone saja untuk mengurangi nyeri dan

18
dispareunia dalam pada wanita dengan endometriosis rektovaginal infiltrasi dalam, tetapi juga
adalah berhubungan dengan efek samping yang lebih buruk dan tidak meningkatkan kepuasan
pasien atau mempengaruhi kekambuhan endometriosis.

Ringkasan
Terapi medikamentosa yang sudah ditetapkan untuk pengobatan nyeri yang terkait dengan
endometriosis yakni mencakup kontrasepsi estrogen-progestin (pil KB kombinasi), progestin,
agonis GnRH, dan danazol. Bukti menunjukkan bahwa tingkat efektivitas dalam menghilangkan
rasa nyeri dan tingkat kekambuhannya adalah sama untuk semua golongan obat dan bahwa tidak
ada satu pengobatan sebagai yang terbaik. Maka dari itu, keputusan dalam menentukan
pengobatan harus individual, setelah dengan hati-hati mempertimbangkan tingkat keparahan dari
gejala, luasnya endometriosis, keinginan untuk kehamilan di kemudian hari, usia, efek samping,
dan biaya. Aromatase inhibitor merupakan pilihan terapi baru yang menjanjikan ditujukan untuk
salah satu kunci pada mekanisme pathogenesis endometriosis. Terapi medis umumnya tidak
efektif untuk manajemen endometrioma yang ukurannya lebih besar dari 1 cm.

Tidak ada bukti kuat bahwa pengobatan medikamentosa untuk endometriosis dapat
meningkatkan fertilitas. Selain itu, karena semua pengobatan medis untuk endometriosis
menghambat ovulasi, sehingga kesuburan dieliminasi selama pengobatan. Terapi medis bahkan
mungkin member efek samping yang buruk terhadap kesuburan, karena waktu yang terlewatkan
selama pengobatan, khususnya pada wanita yang lebih tua yang memiliki jendela kesempatan
yang menyempit untuk memperoleh tujuan reproduksi mereka.

Pengobatan Operatif
Tujuan tata laksana bedah untuk endometriosis adalah untuk mengembalikan hubungan
anatomi yang normal, untuk menghilangkan atau menghancurkan sebanyak mungkin semua
penyakit yang dapat terlihat, dan untuk mencegah atau memperlambat kekambuhan penyakit.
Bagi wanita yang berharap dapat mengembalikan atau mempertahankan kesuburannya namun
memiliki endometriosis sedang atau berat yang mendistorsi anatomi organ reproduksinya,
pembedahan merupakan pilihan pengobatan, karena perawatan medis tidak dapat digunakan
untuk mencapai tujuan tersebut. Bila penyakitnya kurang parah, pengobatan medikamentosa

19
efektif untuk mengontrol nyeri pada sebagian besar wanita, namun tidak memperbaiki fertilitas;
operasi paling tidak sama efektifnya dengan pengobatan medikamentosa dalam hal
menghilangkan nyeri dan juga dapat memperbaiki fertilitas.

Meskipun pembedahan untuk pengobatan endometriosis dapat dilakukan dengan laparotomi atau
laparoskopi, pengembangan teknik instrumentasi dan teknik pembedahan umum memungkinkan
pendekatan teknik endoskopik untuk mengatasi semua, namun bagi pasien yang memerlukan
enterolysis luas atau reseksi usus; ahli bedah yang sangat terampil bahkan dapat mencapai tujuan
tersebut dengan menggunakan laparoskopi. Laparoskopi memberikan keuntungan visualisasi
yang lebih baik, trauma dan pengeringan jaringan yang lebih sedikit, sayatan yang lebih kecil,
dan pemulihan pasca operasi yang lebih cepat. Adhesi dan komplikasi pascaoperasi
kemungkinan juga lebih kurang dibandingkan dengan laparotomi. Hal yang paling penting
adalah bahwa hasil yang diperoleh pasien dengan laparoskopi setara dengan atau bahkan lebih
baik dibandingkan pasien dengan laparotomi.

Endometriosis Minimal dan Ringan


Lesi peritoneum pada endometriosis dapat diablasi dengan alat elektro-bedah unipolar atau
bipolar atau laser, atau pemotongan dengan alat bedah tajam. Pendapat mengenai keunggulan
salah satu metode di atas dibandingkan metode lain cukup beralasan kuat, namun tidak didukung
dengan hasil perbandingan langsung. Bagi mereka yang lebih menyukai eksisi dibandingkan
ablasi menekankan bahwa, karena kedalaman penyakit dan prosedur ablasi tidak dapat
dipastikan, maka risiko kemungkinan kurang adekuatnya perawatan akan lebih besar ketika
penyakit di ablasi dibandingkan eksisi. Perlengketan yang berhubungan dengan endometriosis
yang merusak anatomi reproduksi harus dieksisi, meskipun terjadinya perlengketan ulangan
terjadi pada sebagian besar kasus. Eksisi lebih disukai dibandingkan dengan lisis sederhana
karena adhesi sering mengandung penyakit. Ketaatan pada prinsip-prinsip pembedahan mikro
yang sama, yang digunakan dalam pembedahan rekonstruksi panggul sebelum munculnya teknik
laparoskopi modern, meningkatkan hasil luaran dari operasi -penggunaan pembesaran, trauma
jaringan dan terpapar jahitan yang minimal, dan hemostasis yang cermat.

20
Hanya beberapa percobaan yang telah membandingkan hasil dari operasi laparoskopi tanpa
medikamentosa, pengobatan lain, atau plasebo dalam pengelolaan nyeri panggul yang
berhubungan dengan endometriosis. Dalam satu percobaan informatif, hasil setelah ablasi laser
laparoskopi terhadap endometriosis dan ablasi saraf sakrouterina dibandingkan dengan
kelopmpok mereka yag setelah operasi diagnostik dilanjutkan dengan manajemen ekspentasi.
Enam bulan setelah operasi, nyeri dihilangkan atau mengalami perbaikan pada lebih dari 60%
wanita yang mendapat pengobatan bedah penyakit mereka (minimal, ringan, atau sedang) dan
hanya kurang dari 25% pada wanita yang penyakitnya tidak diablasi. Setelah rata-rata 6 tahun
masa follow-up, dua-pertiga dari perempuan dalam studi ini bisa dihubungi untuk menilai hasil
jangka panjang dari operasi mereka sebelumnya. Nyeri sudah kambuh pada hampir 75% subyek,
dengan interval median untuk kekambuhan mendekati 20 bulan (kisaran
5-60 bulan), namun lebih dari 50% wanita melaporkan hilangnya rasa nyeri yang memuaskan;
setengah dari mereka tidak merasakan hilangnya rasa nyeri yang memuaskan setelah menjalani
pengobatan bedah definitif (histerektomi dengan atau tanpa ooforektomi bilateral). Percobaan
lainnya mendapatkan keberhasilan dalam menghilangkan gejala nyeri sebesar 70-100% pada
wanita dengan endometriosis.

Sayangnya, seperti halnya dengan pengobatan medikamentosa, endometriosis dan nyeri yang
rekuren setelah eksisi lokal atau ablasi endometriosis juga bisa terjadi; gejala muncul kembali
sekurang-kurangnya pada 10-20% dari wanita yang diobati per tahun. Sebuah penelitian
mengenai laparoskopi second look setelah pengobatan operatif dari endometriosis minimal atau
endometriosis ringan menemukan bahwa endometriosis paling sering berulang di tempat yang
sama atau berdekatan dari panggul, menunjukkan adanya kemungkinan baik itu karena eksisi
yang inkomplit pada operasi awal atau karena tempat tersebut merupakan tempat tertentu yang
sangat sesuai untuk implantasi endometriosis. Serangkaian studi kasus pada 120 pasien yang
diperlakukan dengan eksisi lokal endometriosis menemukan bahwa 20% harus dioperasi lebih
lanjut dalam 2 tahun, dan 45-55% dalam waktu 5-7 tahun. Kejadian penyakit berulang mungkin
lebih tinggi setelah tindakan operatif pada fase luteal daripada fase folikuler karena sel
endometrium yang mengalami regurgitasi mungkin lebih cenderung untuk tertanam pada bagian
peritoneum yang mengalami trauma saat operasi ketika jarak waktu dari operasi ke fase
menstruasi berikutnya dekat.

21
Efek dari operasi pada kesuburan wanita dengan endometriosis minimal dan ringan telah diteliti
dalam dua uji coba terkontrol secara acak. Dalam uji coba multi-center di Kanada, perempuan
dengan unexplained infertility menjalani laparoskopi diagnostik dan mereka dengan
endometriosis minimal atau ringan secara acak mendapatkan manajemen pengobatan (eksisi atau
ablasi) atau manajemen ekspektansi dan kemudian dipantau selama 36 minggu atau sampai 20
minggu usis kehamilan jika kehamilan terjadi selama masa pemantauan. Peluang kehamilan pada
wanita yang diobati adalah dua kali lipat dibandingkan dengan wanita yang tidak diobati (OR =
2,03, CI = 1,28-3,24). Secara keseluruhan, 50/172 (0.29) perempuan yang mendapat pengobatan
secara acak berhasil memperoleh kehamilan, dibandingkan dengan 29/169 (0.17) dari mereka
yang dikelola dengan manajemen ekspektansi, menghasilkan efek pengobatan 0,12 dan sejumlah
yang diperlukan untuk diobati (kebalikan dari efek pengobatan) dari 8.3, dibulatkan ke atas
menjadi 9. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar sembilan wanita infertil dengan
endometriosis minimal atau ringan harus menjalani pengobatan operatif untuk mendapat
satu kehamilan tambahan, efek kecil tapi berpotensi penting. Namun, dalam penelitian lain
yang lebih kecil di Italia dengan desain serupa (n = 96), didapatkan tidak ada perbedaan hasil
observasi antara yang mendapat perlakuan dan yang tidak. Sebuah meta-analisis yang
menggabungkan data dari kedua studi tersebut menyimpulkan bahwa pengobatan operatif pada
endometriosis minimal dan ringan dapat meningkatkan fertilitas (OR = 1,64, CI = 1,05-2,57);
jumlah yang diperlukan untuk mengobati adalah 12.

Endometriosis Sedang dan Berat


Manajemen bedah optimum untuk endometrioma ovarium masih agak kontroversial.
Endometrioma telah diperlakukan oleh reseksi baji, enukleasi (stripping), dan drainase dengan
dan tanpa ablasi dindng internal kista. Beberapa studi histologis telah menunjukkan bahwa
endometriosis selalu dapat ditemukan dalam dinding kista, melibatkan sedikitnya 10% hingga
lebih dari 90% dari permukaan (median 60%), tetapi tidak menembus lebih
dalam dari 1,5-2,0 mm. Sebuah meta-analisis tahun 2003 terhadap data yang diambil dari empat
studi uji komparatif mendapatkan bahwa endometrioma terulang pada 39/212 perempuan (18%)
yang diobati dengan koagulasi atau vaporisasi laser, dibandingkan dengan 19/295 perempuan
(6%) yang diterapi dengan enukleasi kista. Sebuah tinjauan sistematis tahun 2003 menyimpulkan
bahwa eksisi dinding kista perlaparoskopi dikaitkan dengan tingkat kekambuhan endometrioma

22
yang lebih rendah (OR = 0,41, CI = 0,18-0,93), penurunan kemungkinan untuk operasi lebih
lanjut (OR = 0,21, CI = 0,05-0,79), mengurangi kekambuhan dismenore (OR = 0,15, CI = 0,06-
0,38), dispareunia OR = 0,08, CI = 0,01-0,51) dan nyeri panggul non-menstruasi (OR = 0,10,
CI= 0,02-0,56), dan peningkatan angka kehamilan pada wanita yang sebelumnya infertil (OR =
5,21, CI = 2,04-13,29). Teknik bedah yang cermat sangatlah penting karena fungsi ovarium
dapat terganggu dengan eksisi jaringan yang berlebihan atau kerusakan pembuluh darah hilus;
Risiko kegagalan fungsi ovarium setelah eksisi endometrioma ovarium bilateral adalah sekitar
2,5%. Studi yang melibatkan operasi second-look juga menunjukkan bahwa perlengketan
adneksa pasca operasi reseksi baji lebih mungkin terjadi dibandingkan dengan tindakan bedah
lainnya dan pada wanita yang saat operasi dilakukan adhesiolisis.

Endometriosis infiltrasi dalam yang melibatkan septum rekto-vagina memerlukan operasi yang
luas. Karena endometriosis di lokasi ini biasanya mencakup otot polos serta kelenjar dan stroma
endometrium, beberapa melihatnya sebagai entitas yang jelas berbeda, yakni sebagai nodul dari
adenomiosis yang timbul oleh karena metaplasia di sisa mullerian dan bukan sebagai
endometriosis di permukaan peritoneum yang mengalami perluasan ke bawah. Prosedur bedah
mencakup diseksi menyeluruh dan pemaparan dari rektum anterior, vagina posterior, dan lesi
endometriosis nodular. Seringkali, ada bagian dari vagina posterior yang harus dieksisi, dan
kadang-kadang, baian kecil dari segmen rektum harus direseksi, dan dilanjutkan dengan
anatamosis. Di tangan yang berpengalaman, eksisi bedah dari penyakit ini umumnya mencapai
hasil yang sangat baik. Lebih dari 3 tahun, tingkat kekambuhan pasca operasi
untuk dismenore, dispareunia dalam, dan nyeri panggul bervariasi antara 15-30% dan lebih
rendah bila bagian vagina atau rektum yang terlibat juga dieksisi.

Meskipun tidak ada penelitian yang pernah membandingkan efektivitas tindakan bedah tanpa
pengobatan atau yang disertai dengan pengobatanpada wanita infertil dengan endometriosis
sedang hingga berat, angka kehamilan kumulatif 1-3 tahun setelah tindakan bedah adalah sekitar
50% untuk wanita dengan endometriomas dan sekitar 30% untuk wanita dengan tindakan
invasive komplit di daerah cul-de-sac dalam berbagai variasi kasus. Tingkat keberhasilan
kumulatif ini lebih rendah, tetapi tidak secara dramatis lebih rendah, daripada mereka wanita
infertil dengan endometriosis minimal dan ringan yang diobati dengan pembedahan (44-62%)
dan, secara intuitif, lebih tinggi secara bermakna dari yang tanpa pengobatan mengingat bahwa

23
kebanyakan wanita dengan endometriosis sedang hingga berat telah mengalami distorsi anatomi
reproduksi yang cukup parah. Penggunaan penghambat adhesi mengurangi terjadinya
perlengketan pasca-bedah pada wanita infertile, tapi tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa
penghambat adhesi atau strategi pencegahan adhesi lainnya meningkatkan angka kehamilan
setelah penanganan bedah. Dalam sebuah studi kohort prospektif yang melibatkan
169 wanita infertil di bawah umur 38 tahun dengan gejala endometriosis infiltrasi dalam, tingkat
kehamilan yang dicapai dengan IVF secara signifikan lebih tinggi pada wanita yang memilih
untuk menjalani tindakan bedah awal.

Pada wanita dengan gejala endometriosis berat yang telah memiliki anak dan pasien yang
pengobatan bedah konservatif dan medikamentosanya gagal, maka tindakan bedah definitif
sangat layak dipertimbangkan dengan serius. Pada wanita tanpa penyakit yang berarti di ovarium
yang diseleksi secara ketat, tindakan histerektomi sendiri dapat dipertimbangkan, meskipun
risiko penyakit berulang yang memerlukan tambahan pengobatan tambahan sekitar 6 kali lipat
lebih tinggi ketika ooforektomi tidak dilakukan. Faktor risiko lain untuk endometriosis dan nyeri
persisten atau berulang mancakup eksisi inkomplit dari penyakit dan terapi estrogen pasca
operasi pada wanita dengan endometriosis luas atau residual. Namun, ketika semua
endometriosis yang dapat terlihat diangkat, risiko nyeri berulang pada wanita yang menerima
terapi hormon baik segera atau tertunda adalah sama saja. Ovarian remnant syndrome adalah
penyakit atau nyeri persisten atau berulang yang berhubungan dengan jaringan ovarium residual
fungsional. Sindrom ini bukanlah hal yang langka dan paling sering terjadi ketika ovarium
membesar atau padat melekat pada dinding samping panggul dan saat melakukan diseksi
dirasakan sulit secara teknis sulit.

Prosedur adjuvant
Neurektomi presacral adjuvant dan laparoskopic uterosacral nerve ablation (LUNA) telah
dianjurkan untuk pengelolaan dismenore dan nyeri pelvis berat yang tidak responsif terhadap
pengobatan medikamentosa atau tindakan bedah sebelumnya untuk endometriosis. neurektomi
presacral mengganggu persarafan simpatis uterus pada tingkat plexus hipogastrik superior dan
LUNA menghancurkan midportion dari ligamentum sakrouterin. Hasil dari sejumlah percobaan
uji kontrol acak memeriksa hasil kedua prosedur tersebut didapatkan bahwa mereka bisa efektif
pada beberapa wanita dan umumnya tidak menghilangkan gejala dispareunia dan nyeri

24
intermenstruasi. Singkatnya, Hasil uji coba terkontrol belum memberikan bukti kuat bahwa
prosedur ini dapat menambah nilai dari bedah konservatif. komplikasi Operasi dan gangguan
usus dan kandung kemih pasca operasi, meskipun jarang, tapi memang terjadi dan dapat
melemahkan. Menimbang manfaatnya yang belum pasti dan potensi risiko, maka tindakan
presacral neurectomy atau LUNA di saat operasi konservatif untuk endometriosis tidak dapat
direkomendasikan. kedua prosedur hanya disediakan untuk individu yang sudah diseleksi dengan
seksama, yang harus diberi informed consent dengan sangat hati-hati.

Perawatan Medis Pra dan Pasca Operasi


Nilai perawatan medis pra dan pasca operasi dalam penatalaksanaan endometriosis sedang dan
berat telah menjadi kontroversi. Beberapa pemberian obat pra operasi dengan agonis GnRH,
dipercaya bahwa hal tersebut mungkin menawarkan keuntungan tertentu, termasuk penurunan
volume penyakit yang memerlukan tindakan bedah, pengangkatan kista ovarium fungsional yang
mungkin sudah menimbulkan masalah teknis, kenyamanan yang lebih besar dari penjadwalan
bedah, dan hasil lebih baik secara keseluruhan. Namun, dengan kemungkinan pengecualian pada
endometriosis rektovaginal dimana pemberian terapi obat sebelum operasi dapat mengurangi
kemungkinan penyakit dan gejala berulang, tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa pemberian
obat sebelum operasi meningkatkan baik kontrol nyeri atau fertilitas dibandingkan dengan hanya
pengobatan bedah saja.

Terapi dengan obat-obatan supresif pasca operasi juga telah menjadi kontroversi. Beberapa
penelitian telah mengamati interval bebas nyeri yang lebih lama atau angka kehamilan yang
lebih tinggi ketika tindakan bedah diikuti dengan pemberian agonis GnRH, danazol, progestin,
atau pil KB kombinasi. Yang lain menemukan bahwa tidak ada perbedaan antara prevalensi
nyeri rekuren atau angka kehamilan 1-3 tahun setelah perawatan bedah pada wanita yang
mendapatkan atau tidak menerima pengobatan pasca operasi. Menimbang bahwa tingkat
kehamilan tertinggi setelah operasi konservatif pada wanita infertil umumnya terjadi pada tahun
pertama setelah operasi, kebanyakan dokter enggan untuk menggunakan obat-obatan pasca
operasi yang akan mencegah kehamilan setelah tindakan bedah. Ketika tujuan utama dari
tindakan bedah untuk endometriosis adalah menghilangkan nyeri dan kehamilan bukanlah
merupakan tujuan yang harus segera dicapai, maka penggunaan obat pasca operasi mungkin

25
memiliki nilai, terutama pada wanita dengan endometriosis yang luas dan orang-orang
dengan endometriosis residual yang benar-benar tidak dapat dieksisi komplit.

Setelah pengobatan bedah konservatif dari endometriosis pada wanita infertil, pilihan antara
manajemen ekspektansi dan pengobatan aktif harus mempertimbangkan usia, hasil bedah, dan
pengaruh dan keparahan dari faktor-faktor infertilitas lainnya. Mengingat peningkatan sederhana
fekundabilitas wanita dengan endometriosis minimal dan ringan setelah perawatan bedah, wanita
muda dengan penyakit terbatas dan infertilitas yang tidak jelas penyebabnya yang relatif singkat
mungkin sebaiknya dilakukan manajemen ekspektansi, tapi tidak lebih dari 6-9 bulan. Sebuah
pendekatan yang lebih agresif yang melibatkan langsung pengobatan empiris lebih lanjut dengan
kombinasi clomiphene citrate atau gonadotropin eksogen dan inseminasi intrauterine atau bahkan
bayi tabung dipertimbangkan yaitu pada mereka jangka waktu infertil yang lebih lama atau lebih
endometriosis yang lebih berat, dan pada wanita tua.

Setelah operasi radikal (histerektomi dan salpingo-ooforektomi bilateral) untuk endometriosis


persisten atau berulang, terapi hormon dapat segera dimulai pada sebagian besar wanita dengan
mengabaikan risiko terinduksinya pertumbuhan dari residu penyakit residu dan gejala berulang.
Namun, pada mereka dengan penyakit yang luas, sebuah interval waktu tanpa pengobatan
hormon atau pengobatan hanya dengan progestin saja mungkin lebih bijaksana. Progestin
mungkin memiliki nilai baik untuk efek penekan langsungnya terhadap lesi residual dari
endometriosis dan untuk meringankan gejala vasomotor yang tak terelakkan yang menyertai
pengangkatan ovarium. Pengobatan dengan dosis rendah kombinasi estrogen-progestin sangat
dianjurkan dibandingkan pengobatan dengan estrogen saja, meskipun
uterus tidak ada, karena banyak laporan dari adenokarsinoma yang timbul dari endometriosis
pada wanita yang diobati dengan unopposed estrogen tidak dapat diabaikan.

26

Anda mungkin juga menyukai