Anda di halaman 1dari 15

CSS MODUL 3

LESI JARINGAN LUNAK RONGGA MULUT

Penanganan dan Bentuk Klinis : Penyakit Ulserative Apthous


Berulang

Diajukan untuk memenuhi syarat dalam melengkapi

Kepaniteraan Klinik di Bagian Oral Medicine

Oleh

MAULIDENIL GEBI WINANDA

121 007 0110 047

Pembimbing : drg. Abu Bakar, M.Med Ed

RUMAH SAKIT GIGI DAN MULUT


FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS BAITURRAHMAH
PADANG
2016
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat

dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ”White

Hairy Tongue” untuk memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan

kepanitraan klinik modul 3 (Lesi Jaringan Lunak Mulut) dapat diselesaikan.

Dalam penulisan laporan kasus ini penulis menyadari, bahwa semua

proses yang telah dilalui tidak lepas dari bimbingan drg. Abu Bakar, M.Med Ed

selaku dosen pembimbing, bantuan, dan dorongan yang telah diberikan berbagai

pihak lainnya. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak

yang telah membantu.

Penulis juga menyadari bahwa laporan kasus ini belum sempurna

sebagaimana mestinya, baik dari segi ilmiah maupun dari segi tata bahasanya,

karena itu kritik dan saran sangat penulis harapkan dari pembaca.

Akhir kata penulis mengharapkan Allah SWT melimpahkan berkah-Nya

kepada kita semua dan semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat serta dapat

memberikan sumbangan pemikiran yang berguna bagi semua pihak yang

memerlukan.

Padang, 19 September 2016

Maulidenil Gebi Winanda


Penanganan dan Bentuk Klinis : Penyakit Ulserative Apthous Berulang

V.Vucecevic Boras*, NW Savage

ABSTRAK

Recurent Apthous Ulceration (RAU) adalah jenis ulserasi paling umum


kedua yang terlihat di rongga mulut. Meskipun banyak literatur luas dan etiologi
diusulkan, penyebab penyakit ini masih belum jelas. Selain penanganan
konservatif saat lesi RU dengan pemberian kortikosteroid, telah ada pilihan
pengobatan baru yang tersedia dan terbukti berhasil dalam pengujian terbuka.
Tulisan ini merupakan hasil pemeriksaan dan penanganan pada pasien RAU.

KATA KUNCI : Recurent Apthous Ulceration (RAU), Mouth Ulser (Sariawan)

SINGKATAN DAN AKROMIN

FBE (Full Blood Examination) : Pemeriksaan darah lengkap, HAU (Herpetiform


Apthous Ulceration), MaAU (Major Apthous Ulceration) : Aptous Ulseration
Besar, MiAu (Minor Apthous Ulceration) : Aptous Ulseration Kecil, RAU
(Recurent Apthous Ulceration) : Ulseration Apthous Berulang.

(Diterima untuk publikasi 13 September 2006)

PENGANTAR

Recurent Apthous Ulceration (RAU) merupakan jenis paling umum kedua


ulserasi rongga mulut setelah ulserasi traumatik. Namun demikian, jenis yang
paling sering dari ulserasi berualang di mulut memiliki sejumlah tanda khusus
yang menempatkannya bersama dermatosis berulang dan kondisi mukokutan.
Konsep ini tidak dihargai oleh banyak dokter dan karnanya kondisi ini
diberhentikan dan sering dianggap “sariawan” dan tidak memerlukan pengobatan
anastesi antiseptik. Menariknya, jika tingakat kerusakan fungsional dan
pembatasan yang disebabkan oleh eksaserbasi ulserative apthous berulang yang
dipindahtangankan ke bagian tubuh lain, itu akan menerima perawatan dini dan
spesifik. Tujuan dari tulisan ini untuk menyajikan fitur/ ciri khas dari Recurent
Apthous Ulceration (RAU) dan menempatkan penyakit ini dalam posisi yang
benar sebagai penyakit mukosa imunologi dan menyarankan rencana
penanganannya.

DEFINISI

Sebuah ulkus berasal dari kerusakkan di mukosa mulut yang disebabkan


paparan pada lamina propia. Dapat diklasifikasikan berasal dari beberapa hal yang
secara umum tercantum dalam Tabel 1. Ulkus Apthous didefinisikan oleh penulis
sebagai penyakit berulang pada mukosa mulut non-infeksi, non vesikular dan
imunologi.

EPIDEMIOLOGI

Sekitar 20% dari pemyebabnya dipengaruhi oleh Recurent Apthous


Ulceration (RAU) dengan onset mulai dari masa anak-anak sampai ke usia
pertengahan. Beberapa populasi memiliki tingkat kejadian yang lebih tinggi
setidaknya dalam beberapa kasus, peningkatan ini terkait dengan tingkat
pendidikan seseorang dan berhubungan juga dengan pekerjaan yang dimiliki.
Misalnya, di Universitas Of Queensland Dental Scholl sekitar 50% dari siswa
menderita RAU. Munculnya Recurent Apthous Ulceration (RAU) dewasa ini
mungkin diakibatkan akibat buruknya kondisi penyakit sistemik termasuk
hematopatologi, kondisi jaringan imunologi dan ikat yang memerlukan
penyelidikan dan eliminasi. Setidaknya 40-50% pasien melaporkan penyebab hal
ini berasal dari keluarga pada banyak kasus. Hal ini berkolerasi dengan kedua
onset awal dan menyebabkan penyakit yang lebih parah. Nampaknya ada dasar
genetik untuk membuktikannya dengan baik ditunjang dengan pemeriksaan
laboratorium berbasis mekanisme yang sudah ditentukan1. Relevansi klinis
langsung adalah gen ekspresi 90% pada anak-anak yang kedua orang tuanya yang
memiliki RAU aktif2. Penelitian terakhir menyarankan kepada orang tua bahwa
ulser dapat mewakili penyakit menular. Penulis memiliki kenyakian yang kuat hal
ini juga disebabkan oleh pengaruh kuat transmisi genetik. Ini menempatkan RAU
dalam perspektif sebagai penyakit yang disebakan oleh kondisi genetik yang
terus menerus. Tingkat pemahaman oleh pasien juga harus dibatasi karna menjadi
penyebab yang sulit dipahami dengan kondisi yang bertentangan dengan
kemungkinan pemicu kekambuhan.

Tabel 1. Penyebab umum dan contoh ulserasi dari mukosa mulut

Etiologi Contoh
Trauma Akut atau kronik
Virus Minor, mayor herpetiform herpetik
gingivostomatitis, herpangina.
Mukocutanneus/ Imunologi RAU, Liken planus, Pempigus, Pempigoid
Neoplasia Squamos Sel Karsinoma
Iskemia Nekrosis Sialometaplasia

ETIOLOGI

Pemicu dari Recurent Apthous Ulceration (RAU) tidak diketahui, tapi


penyelidikan ekstensif pada pasien diidentifikasikan banyak berasal dari penyakit
lokal, hamatopatologi, gastrotestinal, imunologi, genetik, gizi, alergi, psikologis
dan reaksi obat sebagai kemungkinan pemicu dari pasien Recurent Apthous
Ulceration (RAU)3-5. Namun, pada sebagian pasien tidak ada penyebab yang
konsisisten bertepatan dengan eksaserbasi. Namun, dalam presentase kecil pasien
berasal dari penyakit sistemik yang dipunyai seperti penyakit radang usus maka
aktivitas Recurent Apthous Ulceration (RAU) cendrung mencerminkan aktivitas
kondisi terkait. Kondisi ini tercantum dalam tabel 2.

Pemeriksaan laboratorium dan bukti premis mendukung bahwa Recurent


Apthous Ulceration (RAU) berasal dari kondisi imunologi. Dari tingkatan
temporal didefinisikan berasal dari perubahan sel dalam lesi ulseratif karna
berlansung melalui tahap-tahap yang berbeda-beda. Ulserasi dan sistem kekebalan
tubuh sistemik menunjukkan berbagai parameter yang berubah mencerminkan
kerentanan aktivitas penyakit6-7. Penelitian menyatakan Recurent Apthous
Ulceration (RAU) memiliki sebuah imunopatogenesis dan ini menempatkannya
sama dengan komdisi kulit yang dimediasi oleh sistem kekebalan tubuh.

Tabel 2. Kondisi yang berkaitan dengan timbulnya RAU pada beberapa


pasien

Trauma Fisik Sikat gigi, bracket ortodontik


Trauma Kimia Panas akibat bahan kimia
Obat-obatan NSAIDS, Beta-Blokers kardioselektif, Stres yang
Psykologik berhubungan dengan pekerjaan
Nutrisi Kekurangan zat besi
Kekurangan Asam Folat (Penyakit GIT)
Vitamin B1, B2, B6, B12
Penyakit Pencernaan Sindrom Mal-absorbsi
Enteropathi regional (Penyakit Crohn’s)
Enteropathi sensitive gluten ( Penyakit Coalic)
Colitis Ulserative
Pre menstruasi
Endokrinologikal Neutropenia clinik
Hematological Anemia
Malignasis haematologikal
HIV Infeksi, Imunodefisiensi
Immunologi Makanan (tomat, coklat, kacang-kacangan, susu
Alergi/ Hipersensitivitas dan gandum)
Daging
Streptococus, virus herpes, Epstaein Barr virus
Mikrobiologikal Penyakit Behcets (keterlibatan multi organ
termasuk mulut, alat kelamin dan lesi mata)
Sindrom Associations Sindrom PFAPA/ Marshall (demam periodik,
aphthae, faringitis, adenitis servikal)
Sindrom Magic (ulkus pada mulut dan kelamin
dengan tulang rawan yang meradang/
polichondritis.
Dua karakteristik dari sifat genetik dan imunopatogenesis adalah poin
penting bagi pasien untuk meningkatkan pemahaman mereka tentang sifat
berulang dari ulkus. Hal ini juga memungkinkan bagi pasien untuk meningkatkan
pemahaman tentang pengobatan yang disarankan dan strategi pencegahannya.
Tabel 2 menguraikan sejumlah kondisi yang berhubungan baik dengan
kecendrungan untuk mengembangkan aphthae serta inisiasi episode tertentu. Dan
dapat dikelompokkan menjadi 4 faktor yakni faktor lokal, faktor sistemik, agen
infeksi dan sinrom asosiasi.

Faktor lokal biasanya dicontohkan dengan trauma. Pasien non apthous


akan mengalami trauma mukosa mulut dan ulserasi dengan bentuk yang tidak
teratur secara garis besar. Hal ini menunjukan bukti durasi minimal dan pendek
dari tanda-tanda kardinal inflamasi (panas, kemerahan, bengkak, nyeri dan
hilangnya fungsi) dan akan hilang dalam beberapa hari tergantung keparahan
cedera dan jaringan lunak yang dilibatkan. Pasien apthous akan mengikuti rute
yang berbeda. Lesi akan berubah dalam satu atau dua hari dari ulkus traumatikus
yang tidak teratur akan menjadi lesi apthous dengan garis reguler yang khas yang
berlarut-larut menjadi sariawan. Variasi ini telah diteliti di laboratorium dan ada
perbedaan yang sangat jelas dalam reaksi jaringan yang melibatkan ekspresi
respon inflamasi dari dua pasien. Hal ini menunjukan adanya perbedaan tingkat
reaktivitas jaringan lokal yang ada pada pasien Recurent Apthous Ulceration
(RAU) dan tidak ada pada pasien non-apthous dan peristiwa sistemik yang
mengarah ke pengembangan dari lesi apthous dapat dipicu oleh jaringan lokal
misalnya trauma. Hal ini juga menunjukan bahwa reaksi jaringan pada pasien
non-apthous dirancang untuk meminimalkan reaksi inflamasi dan mengaktifkan
fase penyembuhan sesegera mungkin. Ini tidak terjadi pada pasien Recurent
Apthous Ulceration (RAU).

Faktor sistemik mencakup beberapa faktor predisposisi kondisi termasuk


sifat genetik. Hal ini bertindak dengan memulai lesi ulseratif melalui reaktivitas
dari sistem kekebalan tubuh daripada immunoreactivity menjadi respon terhadap
faktor lokal. Aspek ini tidak begitu jelas dipahami , tetapi ada bagian tubuh yang
signifikan yang melibatkan disfungsi imunologi sistemik dalam etiologi Recurent
Apthous Ulceration (RAU). Pasien Recurent Apthous Ulceration (RAU)
mengalami peningkatan jumlah limfosit dalam sirkulasi darah serta mengalami
perubahan bahkan kehancuran di permukaan sel epitel pada tahap awal
pengembangan lesi Recurent Apthous Ulceration (RAU). Untungnya, lesi
Recurent Apthous Ulceration (RAU) cendrung membatasi dari dan tidak
berkembang menjadi penyakit muscocal kronis seperti yang terjadi pada lichen
planus8.

Agen infeksi diduga selama ini menjadi penyebab dalam periode yang
sangat panjang. Pengetahuan saat ini menunjukan tidak ada komponen bakteri
yang berperan dalam terjadinya Recurent Apthous Ulceration (RAU) meskipun
Streptococus khususnya menerima banyak perhatian sekitar 30 tahun yang lalu.
Jika ada etiologi infeksi yang tetap maka belum dapat dikonfirmasi dan bukti-
bukti yang menunjukan etiologi dari virus yang memberikan respon positif pada
beberapa pasien dengan pengobatan antiviral9-10. Penulis merasakan tidak ada
etiologi dari infeksi berdasarkan pengetahuan saat ini keberhasilan penggunaan
agen kortikosteroid topikal yang akan akan menyebabkan reaksi negatif dengan
adanya agen infeksi11-12.

PRESENTASI KLINIK

Bentuk dari aphthae didasarkan pada tiga parameter dimulai dari ukuran
lesi, durasi dan adanya sisa jaringan parut. Namun, setiap lesi cendrung mengikuti
presentasi yang sama, meskipun dengan variasi dalam durasi dan ukuran lesi.
Secara klinis, pasien dan dokter seringkali mampu memetakan urutan presentasi
melalui revolusi pada tahap berikut: (1) prodromal- gejalanya ada tapi tanpa ada
tanda-tanda klinis yang terlihat; (2) pra-colitis – presentasi awal, biasanya eritema
dan mengembung; (3) colitis – jaringan epitel yang rusak; (4) penyembuhan –
gejala pengurangan dan penyembuhan progresif; (5) remisi – tidak ada bukti lesi.

Tahap prodromal ditandai dengan masuknya limfosit ke aliran darah


perifer (ikut tersebar dalam sirkulasi limfosit). Pada periode ini kita bisa melihat
penerapan kortikosteroid topikal dapat menghambat perkembangan lebih lanjut
dari lesi atau setidaknya menimalkan keparahan dan durasi dari setiap lesi dalam
melakukan kemajuan ke tahap ulserasi.

Tahap pra-ulserasi juga merupakan tahap penting untuk menerapkan


kortikosteroid topikal . ini merupakan periode ketika respon vaskuler lokal telah
mengalami pengembangan secara klinis ditandai dengan kemerahan dan
pembengkakan. Secara histologi, limfosit kini memasuki lapisan epitel basal dan
memulai proses sitotoksik yang akan mengakibatkan kematian sel epitel dan
perkembangan ke tahap ulseratif.

Tahap ulseratif adalah tahap dominan dan tercata pasien sering


mengeluhkan sakit karna lokasinya yang jelas. Hal ini mengakibatkan kehancuran
pada epitel karna adanya daerah trobosan menyebabkan secara klinis ulkus dapat
berkembang penuh pada lesi tertentu. Ukuran lesi paling sering dengan diameter
0,3-0,5 cm. Lesi mengalami umblikasi atau creterifrom dengan margin yang jelas,
tajam, eritema dan daerah sekitarnya udem. Lesi umumnya bulat dan oval, zona
pusatnya tertekan ke bawah yang mengakitkan pseudomembran keropeng pada
lesi kulit. Hal ini bisa menjadi pembeda antara aphthae dengan lesi traumatikus
yang memiliki garis yang cendrung tidak teratur dengan komponen inflamasi
secara klinis lebih jelas. Tahap ulserasi berlansung selama 3-7 hari.
Gambar 1. Apthous ulserasi berulang minor. Lesinya diskrit, creatifrom seragam dalam
garis besar dengan diameter kurang dari 1 cm.

Tahap penyembuhan diidentifikasi dengan berhentinya rasa sakit secara


mendadak, munculnya jaringan granulasi serta permukaan eksudat yang menurun.
Penyembuhan skunder berlangsung dengan tumbuhnya epitel marginal akibat efek
dari daerah sentiperal yang terbuka.

Tahap remisi merupakan periode ulkus yang bebas. Hal ini dapat di
perpanjang atau di perpendek, teratur atau tidak teratur dalam tahap
perkembangan ke tahap preulcerative atau dipicu oleh sebuah peristiwa yang
dapat diprediksi misalnya, disebakan oleh faktor makanan atau fase pra
menstruasi1.

Tiga presentasi klinis dari Recurent Apthous Ulceration (RAU) terdiri


atas: minor, mayor dan herpetiform13. Minor Apthous Ulseration (MiAU), lesi ini
muncel lebih dari 80% kasus, dengan diameter lesinya kurang dari 1 cm (2-6mm)
dan sembuh secara spontan dalam 7-14 hari tanpa bekas luka pada sebahagian
besar penelitian. Gejala prodromal dapat hasir mulai dari hyperaesthesi atau rasa
terbakar dan efek dari hiperemi yang menandakan lokasi awal dari munculnya
ulkus. Mereka memiliki kecendrungan untuk muncul pada lapisan bergerak dan
mukosa non-kreatin. Daerahnya didominasi pada bagian bukal dan mukosa bibir,
bagian ventral lidah dan langit-langit lunak. MiAU juga dapat hadir pada bagian
dorsal lidah dan tapi pada palatum durum dan gingiva jarang terjadi. Lesi non-
vesikuler dapat muncul 2 sampai 6 kali dalam 1 tahun. Kelenjar submandibularis,
kelenjar parotis dan kelenjar getah bening pada leherpada keadaan tertentu dapat
teraba tergantung keparahan lesi pada individu (Gambar 1).

Mayor Apthous Ulseration (MaAU) adalah lesi yang diameternya lebih


dari 1 cm, hal ini dapat hilang 4-6 minggu tanpa pengobatan dan menimbulkan
bekas luka serta jaringan parut. Tingkat ulkusnya melibatkan submukosa di dalam
jaringan bukan hanya terbatas pada lamina propia dan submukosa dangkal seperti
yang terjadi pada MiAU dikarenakan adanya bekas jaringan skiatrik/parut.
Frekuensi, durasi kejadian dan tingkat morbiditasnya jauh lebih hebat
dibandingkan kondisi dari MiAU.

Pada umunya MaAU sering terlihat pada bagian langit-langit lunak, lidah,
mukosa bukal serta labial. Ulser sering ganda dan asimetris. Menimbulkan daerah
sisa/parut yang dalam. Sama halnya seperti MiAU, ulser ini cendrung memilih
daerah kreatin secara umum serta nantinya meninggalkan margin yang tidak
teratur. Pasien biasanya mengalami sakit yang parah dan terkait dengan
limfadenopati (Gambar 2).

Gambar 2. Apthous ulserasi berulang mayor. Lesi berdiameter lebih besar dari 1 cm sering
melibatkan lapisan serta jaringan yang lebih dalam

Herpetiform Apthous Ulseration (HAU) adalah bentuk yang relatif langka


karna memiliki pola non-cluster dengan lesi non-vesikuler dengan diameter 1-3
mm berbeda dengan ulser yang disebapkan oleh ulcer. Lesinya berjumlah 50-100
lesi dengan nyeri lokal terkait. Khasnya, lokasinya bisanya pada anterior mulut,
lidah bagian lateral dan ventral serta dasar mulut tapi sangat jarang di bibir. Lesi
biasnya tumbuh tanpa jaringan parut selama 7-14 har. Berbeda dengan infeksi
herpes simplek virus, pasien HAU biasanya mengalami gejala sistemik prodromal
(malaise, demam dan nyeri) serta tidak terdapat vesikel dan tidak memiliki
keterlibatan pada ulserasi gingiva yang luas (Gambar 3).

Gambar 3. Apthous ulserasi berulang herpetiform. Lesi non-vaskuler dengan diameter 2-3
mm.
PEDOMAN PENGELOLAAN PASIEN RAU (Recurent Apthous Ulseration)

Keberhasilan pengelolaan Recurent Apthous Ulceration (RAU) tergantung


atas kerjasama dan kepatuhan yang baik dari pasien, diagnosis yang benar dan
penjelasan awal kepada pasien saat ulser tersebut timbul. Hal ini juga memerlukan
pemahaman dari pasien tentang datangnya penyakit itu secara alamiah. Seorang
pasien yang meninggalkan konsultasi tanpa pemahaman tentang sifat kondisi
penyakit itu merupakan suatu kelemahan karna sering menganggap kondisi itu
sama dengan sariawan biasanya. Ini adalah kondisi yang berbeda. Diagnosis dan
manajemen Recurent Apthous Ulceration (RAU) membutuhkan waktu konsultasi
yang baik dan baik juga untuk penempatannya.

Urutan untuk proses diagnostik yang digunakan penulis adalah:

1. Riwayat medis umum


Tampilan/performa ditulis
Termasuk sejarah obat
Tanya jawab dengan pasien
Ditandatangani oleh pasien dan dokter
2. Riwayat penyakit ulseratif
Usia saat paparan
Durasi kondisi
Frekuensi kambuhan
Periode remisi
Faktor yang mempeburuk/peristiwa/obat
Intoleransi makanan (susu, gandum, kacang-kacangan, tomat, coklat)
Trauma
Hubungan dengan stres atau kecemasan
Riwayat keluarga
3. Gambaran klinis lesi-sejarah
Satu atau beberapa
Ukuran rata-rata
Margin – tidak teratur(trauma), linear (Penyakit Crohn)
Vesikular atau non-vesikular
Durasi lesi individu
Kematian jaringan
Tingakt kematian fungsional dan daerah batasan
Tingkat onset (eritema multiform)
4. Fitur ekstra oral
Lesi okular atau genital (Penyakit Behcets dan sindrom Reiter)
Lesi kulit (eritema multiform)
Gejala GIT (penyakit inflamasi usus)
Kelainan hematologi
Faringitis (PFAPA Sindrom)
Chondritis (MAGIC Sindrom)
5. Penilaian sebelumnya
Medis
Spesialis
Hematologi, serologi
Histopatologi
Mikrobiologi
6. Penilaian sesudahnya
Obat yang dikonsumsi
Resep obat
Perubahan klinis
7. Pemeriksaan klinis
Integritas umum dari mukosa mulut
Jaringan parut dari lesi sebelumnya
Bukti kebiasaaan parafungsional
Lesi saat ini
Fungsi saliva
Mata dan kulit
Kelenjar getah bening
Pireksia
8. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan darah lengkap (full blood examination)
Zat besi (iron serum, ferritin, TIBC, saturasi transferin)
Serum dan folat sel darah merah
Serum vitamin B12
Kondisi mukosa lainnya, misalnya lichen planus

Penulis menggunakan layar hematologi rutin meliputi pemeriksaan darah


lengkap, studi besi, folat dan vitamin B12 untuk semua pasien dengan kondisi
Recurent Apthous Ulceration (RAU). Hanya sebgian kesil pasien menunjukan
gejala anemia atau defisiensi hematologis lain pada pasien Recurent Apthous
Ulceration (RAU) tapi pemeriksaan lengkap ini harus dilakukan. Penulis juga
mencatat bahwa 10-20% pasien dengan Recurent Apthous Ulceration (RAU)
menunjukan kecendrungan sideropenia dan ini membutuhkan perhatian lebih.
Mata, kulit dan permukaan mukosa lainnya juga diperiksa baik secara lansung
ataupun dengan pertanyaan sebagai rutinitas. Ini merupakan tindakan lanjutan dari
pasien dengan penyakit mukosa dan dapat dalam kondisi sangat informatif.
Demikian pula, tingkat asam folat merupakan indikator penting untuk penyerapan
usus tapi pasien juga menanyakan gejala perut tanpa penyebab yang dapat
diidentifikasi.
MANAJEMEN KLINIS

Keberhasilan pengobatan terhadap Recurent Apthous Ulceration (RAU)


berbeda-beda setiap individu. Banyak strategi-strategi khusus yang disesuaikan
untuk masing-masing pasien. Hal ini membutuhkan pengetahuan pasien mengenai
pemahaman sifat berulang dari penyakit ini. Sebelum memulai pengobatan, pasien
harus didiagnosa dengan akurat terhadap tingkat kematian jaringan. Pasien dengan
ulserasi luas khususnya MaAU umumnya tidak cocok dengan praktek manajemen
umum dan memerlukan rujukan. Pengobatan khusus untuk kelompok itu berfokus
pada bantuan gejala cepat dan perbaikan resolusi lesi mungkin melibatkan
kortikosteroid sistemik atau agen imunomodulator lainnya. Pembahasan saat ini
akan fokus pada MiAU sebagai kejadian paling umum dan paling mudah diobati.

Manajemen MiAU dibagi menjadi 3 tahap : (1) gejala dan pengobatan


suporatif; (2) pengobatan khusus; (3) pengobatan pencegahan.

Pengobatan simtomatikdan suporatif cukup jelas dan berfokus pada tingkat


kematian jaringan pasien. Fase ini didefinisikan berdasarkan resep persiapan
properti yang jelas untuk pasien: (a) persiapan antiseptik atau anastesi; (b)
analgesia yang memadai; (c) pemeliharaan keseimbangan cairan; dan (d) asupan
makanan yang memadai.

Banyak dampak yang dimiliki dari penyakit Recurent Apthous Ulceration


(RAU) baik secara lokal di mulut maupun sistemik jika ada. Pendekatan secara
tradisional sangat mungkin dilakukan untuk meningkatkan pemahaman pasien
tentang Recurent Apthous Ulceration (RAU) dan memperkuat strategi pengobatan
secara keseluruhan untuk indifidu tertentu sehingga menghilangkan rasa nyeri
yang dimiliki pasien.

Pengobatan khusus dari MiAU membutuhkan penerimaan dan


keterlibatannya dengan imunopatogenesis Recurent Apthous Ulceration (RAU),
terlepas dari faktor yang mempeburuknya pada episode tertentu. Pada tahap ini
akan dibahas tentang migrasinya limfosit ke daerah lesi sehingga menyebabkan
kerusakan sitotoksik cellmediated. Tujuannya adalah untuk mencegah kerusakan
sel epitel dan strategi umum yang paling efektif dari tahap ini adalah penggunaan
kortikosteroid yang tepat14. Penggunaan obat itu bersifat peredam berbasis luas
sehingga efeknya dapat mengurangi peradangan dan udema pada sel. Lesi ini
berbeda pada setiap pasien baik jumlah, durasi dan ukurannya. Efek dari
penggunaan kortikosteroid intra-oral telah dibahaas pada penelitian sebelumnya15.
Petunjuk penting dari penggunaan kortikosteroid adalah instruksi yang tepat untuk
melihat kemajuannya. Tentu banyak kasus yang memerlukan pengetahuan yang
signifikan dari dokter tentang Recurent Apthous Ulceration (RAU) dan tidak
hanya mengobati sariawannya15
Perimbangan pengobatan pencegahan pada pasien Recurent Apthous
Ulceration (RAU) untuk melaporkan eksaserbasi reguler kondisi mereka. Ini
berfokus pada tahap awal, tahap prodromal dan upaya untuk menghambat
perkembangan ulkus dengan menggunakan imunosupresan topikal khususnya
kortikosteroid. Pengalaman klinis menunjukan bahwa banyak pasien Recurent
Apthous Ulceration (RAU) akan memasuki fase klinis lengkap setelah
penggunaan jangka menengah dari obat kumur kortikosteroid setiap hari pada
tahap awalnya kemudian pada dosis minimal selama 1-2 bulan. Pasien yang
Apthous Ulserasi biasnya melaporkan penurunan yang tajam dari rasa sakit yang
dialaminya. Baik menyertakan ukuran lesi, keparahan lesi, dan kerusakkan
jaringan terkait.

PENGOBATAN LAIN

Berbagai agen imunodulator telah digunakan terhadap Recurent Apthous


Ulceration (RAU) selama kurun waktu yang lama. Sebagian besar pengobatan
kurang sukses dari strategi yang diusulkan, selain presentase kecil pasien untuk
disembuhkan terutama mereka dengan kondisi Recurent Apthous Ulceration
(RAU) yang berhubungan dengan penyakit sistemik. Obat-obatannya meliputi
thalidhomine, pentoxifyline, colchicine dan etanercept tidak sesuia dengan
praktek umum tetapi praktisi harus menyadari bahwa obat yang baru sedang
dikembangkan dan beberapa uji coba dinyatakan berhasil.

KESIMPULAN

Pengalaman penulis dengan mayoritas kegagalan pada pengobatan cukup


mendapatkan peerhatian yang mendasar. Dokter gigi memiliki keahlian khusus
dalam upaya pencegahan Recurent Apthous Ulceration (RAU) dan dapat
menerima komplant atas tindakan yang dilakukan. Langkah kerja dari upaya
pencegahan terhadap individu meliputi, dukungan awal, pemantauan berkala dan
kepatuhan pasien. Jika parameter pada frekuensi Recurent Apthous Ulceration
(RAU) meningkat jauh hal ini menyatakan pengobatan berhasil. Dalam banyak
manajemen RAU mirip dengan pengelolaan penyakit preventif pada gigi yang
tidak dapat diberantas secara lansung dan harus mendapatkan perhatian yang
ditail.

PENGAKUAN

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Daug Harbrow atas bantuan


ilmu dengan fotodrafi klinis.
DAFTAR PUSTAKA
1 Savage NW, Seymour GJ, Kruger BJ. T-lymphocyte subset changes in recurrent
aphthous stomatitis. Oral Surg Oral Med Oral Pathol 1985;60:175-181.
2 Porter SR, Scully C, Pedersen A. Recurrent aphthous stomatitis. Crit Rev Oral Biol Med
1998;9:306-321.
3 Akintoye SO, Greenberg MS. Recurrent aphthous stomatitis. Dent Clin North Am
2005;49:31-47.
4 Greenberg MS, Pinto A. Aetiology and management of recurrent aphthous stomatitis.
Curr Infect Dis Rep 2003;5:194-198.
5 Rogers RS III. Recurrent aphthous stomatitis: clinical characteristics and associated
systemic disorders. Semin Cutan Med Surg 1997;16:278-283.
6 Savage NW, Seymour GJ, Kruger BJ. Expression of class I and class II major
histocompatibility complex antigens on epithelial cells in recurrent aphthous stomatitis. J
Oral Pathol 1986;15:191-195.
7 Sistig S, Cekic-Arambasin A, Rabatic S, Vucicevic Boras V, Kleinheinz J, Piffko J.
Natural immunity in recurrent aphthous ulceration. J Oral Pathol Med 2001;30:275-280.
8 Scully C, Gorsky M, Lozada-Nur F. Aphthous ulcerations. Dermatol Ther 2002;15:185-
205.
9 Ghodratnama F, Riggio MP, Wray D. Search for human herpes virus 6, human
cytomegalovirus and varicella zoster virus DNA in recurrent aphthous stomatitis tissue. J
Oral Pathol Med 1997;26:192-197.
10 Sun A, Chang JG, Chu CT, Liu BY, Yuan JH, Chiang CP. Preliminary evidence for an
association of Epstein-Barr virus with pre-ulcerative oral lesions in patients with
recurrent aphthous ulcers or Behcet’s disease. J Oral Pathol Med 1998;27:168-175.
11 Imai H, Motegi M, Mizuki N, et al. Mouth and genital ulcers with inflamed cartilage
(MAGIC syndrome): a case report and literature review. Am J Med Sci 1997;314:330-
332.
12 Berlucchi M, Meini A, Plebani A, Bonvini MG, Lombardi D, Nicolai P. Update on
treatment of Marshall’s syndrome (PFAPA syndrome): report of five cases with review
of the literature. Ann Otol Rhinol Laryngol 2003;112:365-369.
13 Jurge S, Kuffer R, Scully C, Porter SR. Mucosal disease series Number VI. Recurrent
aphthous stomatitis. Oral Dis 2006;12:1- 21.
14 Silverman S Jr, Lozada-Nur F, Migliorati C. Clinical efficacy of prednisone in the
treatment of patients with oral inflammatory ulcerative diseases: a study of fifty-five
patients. Oral Surg Oral Med Oral Pathol 1985;59:360-363.
15 Savage NW, McCullough MJ. Topical corticosteroids in dental practice. Aust Dent J
2005;50 Suppl 2:S40-S44.
16 Wahba-Yahav AV. Pentoxifylline in intractable recurrent aphthous stomatitis: an open
trial. J Am Acad Dermatol 1995;33:680-682.
17 Fontes V, Machet L, Huttenberger B, Lorette G, Vaillant L. Recurrent aphthous
stomatitis: treatment with colchicine. An open trial of 54 cases. Ann Dermatol Venereol
2002;129:1365- 1369.
18 Revuz J, Guillaume JC, Janier M, et al. Crossover study of thalidomide vs. placebo in
severe recurrent aphthous stomatitis. Arch Dermatol 1990;126:923-927.
19 Scheinberg MA. Treatment of recurrent aphthous ulcers with etanercept. Clin Exp
Rheumatol 2002;20:733-734.
Address for correspondence/reprints:
Associate Professor Neil W Savage
Oral Medicine and Pathology
School of Dentistry
The University of Queensland
200 Turbot Street
Brisbane, Queensland 4000
Email: n.savage@uq.edu.au

Anda mungkin juga menyukai