FUNDAMENTAL
BAB I PENDAHULUAN 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3
BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN 11
BAB IV METODE PENELITIAN 13
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 20
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 28
UCAPAN TERIMA KASIH 29
DAFTAR PUSTAKA 30
LAMPIRAN 32
v
DAFTAR TABEL
Halaman
vi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2. 1 Struktur kimia dari (a) asam galat dan (b) asam elagat 4
Gambar 2. 2 Sturktur kimia dari catechin 5
Gambar 2. 3 Daun jambu biji 7
Gambar 4.1 Skema Kerja Penelitian 13
Gambar 4.2 Percobaan yang akan digunakan untuk proses batch 14
Gambar 4.3 Plot data model isoterm Langmuir 18
Gambar 4.4 Plot data model isoterm Freundlich 19
Gambar 5.1 Hubungan waktu kontak dan dosis bio-sorbent terhadap
efisiensi penyerapan Cr (VI) 20
Gambar 5.2 Hubungan waktu kontak dan dosis adsorben terhadap
Kapasitas penyerapan \Cr(VI) 21
Gambar 5.3 Hubungan waktu kontak dan konsentrasi sorbat terhadap
efisiensi penyerapan Cr(VI) pada kondisi netral 23
Gambar 5.4 Hubungan waktu kontak dan konsentrasi adsorbat terhadap
kapasitas penyerapan Cr (VI) pada kondisi netral 24
Gambar 5.5 Hubungan Waktu kontak terhadap massa bio-sorbent akhir 25
Gambar 5.6 Laju kinetika orde satu semu penyerapan ion logam Cr (VI)
pada dosis bio-sorbent 1 gram 26
Gambar 5.7 Laju kinetika orde dua semu penyerapan ion logam Cr(VI) pada
dosis bio-sorbent 1 gram 26
vii
BAB I
PENDAHULUAN
Dewasa ini kegiatan perindustrian di dunia telah berkembang dengan pesat. Hal
ini selain menimbulkan dampak positif juga mendatangkan suatu masalah baru bagi
lingkungan sehingga dibutuhkan suatu penanganan yang efektif dan efisien. Salah satu
contoh pencemaran karena buangan industri adalah pencemaran yang ditimbulkan oleh
limbah yang mengandung logam berat terlarut. Limbah dengan kandungan logam-
logam berat yang cukup tinggi dapat menjadi polutan yang berbahaya. Salah satu logam
berat yang berbahaya adalah logam berat krom. Logam berat krom yang terkandung
dalam limbah biasanya memiliki valensi tiga (Cr3+) dan valensi enam (Cr6+). Limbah
logam berat krom diantaranya berasal dari industri pelapisan logam (electroplating),
industri cat/pigmen dan industri penyamakan kulit (leather tanning). Limbah Cr(VI)
menjadi perhatian karena sifat karsinogenik yang dimilikinya. Uniknya, hanya Cr(VI)
yang bersifat karsinogenik sedangkan Cr(III) tidak. Tingkat toksisitas Cr(III) hanya
sekitar 1/100 kali dari Cr(VI). Beberapa upaya penanganan dari limbah Cr(VI) yang
telah dilakukan yaitu reduksi kimia dan ion exchange (Slamet dkk. 2003).
Pada umumnya metode yang digunakan untuk penanganan limbah Cr(VI)
membutuhkan biaya yang besar dan proses yang panjang. Terdapat alternatif lain untuk
memisahkan krom dari limbah industri yakni dengan metode adsorpsi menggunakan
biomaterial. Cara ini merupakan metode yang sangat menjanjikan untuk mengolah
buangan industri, terutama karena harganya murah dan memiliki kapasitas penyerapan
yang tinggi. Beberapa contoh penelitian yang telah dilakukan dengan memanfaatkan
biomaterial sebagai bio-sorbent untuk menyerap Cr(III) dengan menggunakan rumput
laut (Sudiarta, 2009), pemanfaatan kulit kacang tanah sebagai bio-sorben zat warna
reaktif Cibacron Red (Aprilia Susanti, 2009), penyerapan ion tembaga dengan
menggunakan kitosan dari cangkang kepiting (Ajeng dkk, 2010).
Sutrasno dkk. (2008) sebelumnya telah melakukan penelitian dengan
memanfaatkan kulit batang jambu biji untuk menyerap ion logam Cr(VI). Hasil yang
didapat yaitu kulit batang jambu biji memiliki daya adsorpsi ion krom hingga lebih dari
90% pada pH=2. Penelitian ini menggunakan daun jambu biji sebagai bio-sorbent. Daun
1
merupakan bagian tumbuhan yang berpori, sehingga dapat digunakan sebagai proses
adsorpsi. Selain itu daun jambu biji mengandung zat tannin. Zat tannin dapat dijumpai
pada hampir semua jenis tumbuhan hijau di seluruh dunia baik tumbuhan tingkat tinggi
maupun tingkat rendah dengan kadar dan kualitas yang berbeda-beda. Zat tannin
merupakan senyawa polifenol yang dapat mengikat logam berat dan zat tannin juga
berperan dalam menyerap bakteri patogen sehingga dapat menyembuhkan penyakit
diare. Selain karena daun jambu biji merupakan material berpori, prinsip penyerapan
oleh zat tannin tersebut yang mendasari penggunaan daun jambu biji sebagai bio-
sorbent dalam penyerapan logam berat dari limbah cair.
Tannin adalah senyawa polifenol alami dan merupakan bagian yang penting
dalam unsur-unsur sekunder tanaman, bersifat larut dalam air dengan berat molekul
500-3000 g/mol serta mampu mengikat alkaloid, gelatin dan protein (Wiryawan,1999).
Kandungan tannin pada daun jambu biji sebesar 9-12% (www.litbang.deptan.go.id).
Mengingat ion logam krom Cr(VI) yang dihasilkan sangat banyak pada limbah
industri di Indonesia, maka biomaterial ini sangat potensial untuk dikembangkan
sebagai bio-sorbent karena disamping memanfaatkan limbah daun jambu biji juga
sangat ramah terhadap lingkungan. Penyerapan ion logam krom Cr(VI) dengan
menggunakan biomaterial ini mempunyai daya penyerapan yang lebih besar
dibandingkan dengan metode penyerapan yang telah dikembangkan sebelumnya
(Subiarto, 2000). Selain itu penggunaan bio-sorbent ini juga dapat memberikan nilai
tambah pada daun jambu biji yang selama ini belum dimanfaatkan secara optimal.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Porositas
Daun jambu biji merupakan material berpori. Pori yang dimiliki daun jambu biji
inilah yang membuat daun tersebut dapat dimanfaatkan sebagai biosorben. Pori-pori
pada daun jambu biji ini akan menyerap logam Cr(IV) yang terkandung di dalam suatu
limbah dimana lebih dikenal dengan adsorpsi fisika.
2.2 Tannin
Tannin adalah salah satu jenis senyawa yang termasuk kedalam golongan polifenol.
Senyawa tannin terdapat didalam tumbuhan, baik itu di daun, di batang, maupun di
buah. Salah satu kegunaan tannin adalah untuk penyamakan kulit yang mencegahnya
dari kebusukan karena sifat tannin yang dapat mengikat protein.
Tabel 2.1 Spesifikasi tannin
Massa jenis 0,65 gr/cm3
Temperatur
800C
maksimum
Jangkauan pH 2-11
Sumber: Subiarto, 2000
Menurut struktur kimianya, tannin dibagi menjadi 2 (dua) golongan yaitu tannin
terhidrolisis dan tannin terkondensasi.
1. Tannin terhidrolisis
Tannin terhidrolisis mengandung ikatan ester yang dapat terhidrolisis jika
dididihkan dalam asam klorida encer. Tannin terhidrolisis biasanya berupa senyawa
amorf, higroskopis, berwarna coklat kuning yang larut dalam air terutama air panas
yang membentuk larutan koloid. Tannin yang dapat dihidrolisis adalah ester asam
galat dan dimernya (asam digalat dan asam elagat) dengan monosakarida, terutama
glukosa. Tannin yang dapat dihidrolisis sering dibagi menjadi gallotannin yang
menghasilkan asam galat setelah dihidrolisis, dan elagitannin yang menghasilkan
3
asam elagat setelah dihidrolisis. Sturktur kimia dari asam galat dan asam elagat
dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1. Struktur kimia dari (a) asam galat dan (b) asam elagat
2. Tannin Terkondensasi
Tannin terkondensasi dikenal juga dengan nama flavotannin yang mempunnyai
berat molekul yang tinggi. Salah satu yang dapat diisolasi dari tannin terkondensasi
adalah catechin, suatu senyawa flavonoida dengan rumus empiris C15H14O6 yang
dapat digunakan sebagai bahan pewarna dan penyamak kulit. Senyawa flavonoida
adalah suatu kelompok senyawa alam yang mempunyai struktur dasar terdiri atas
cincin benzopiran dengan suatu substituen fenil terikat pada atom karbon yang
berdampingan dengan atom oksigen. Nama lain untuk tannin terkondensasi adalah
proantosianidin karena bila direaksikan dengan asam panas, beberapa ikatan karbon
penghubung satuan terputus dan akan membebaskan monomer antosianidin.
Kebanyakan proantosianidin bila direaksikan dengan asam akan menghasilkan
sianidin. Tannin terkondensasi terdapat di dalam tanaman paku-pakuan dan
gimnospermae, serta tersebar luas dalam angiospermae, terutama pada jenis
tumbuhan berkayu. Tannin terkondensasi merupakan struktur yang stabil, dimana
terdiri dari gabungan ikatan karbon. Tannin terkondensasi dikenal juga dengan nama
flavotannin yang mempunnyai berat molekul yang tinggi. Salah satu yang dapat
diisolasi dari tannin terkondensasi adalah catechin, suatu senyawa flavonoida
dengan rumus empiris C15H14O6 yang dapat digunakan sebagai bahan pewarna dan
penyamak kulit. Struktur kimia dari catechin dapat dilihat pada Gambar 2.2.
4
Gambar 2.2. Sturktur kimia dari catechin
Menurut Iwan (2002) sifat utama tannin yang berasal dari tumbuh-tumbuhan
tergantung pada gugusan phenolic-OH yang terkandung dalam tannin, dan sifat tersebut
secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut:
1) Sifat Fisika
Sifat fisika dari tannin adalah sebagai berikut:
a. Jika dilarutkan dalam air akan membentuk koloid dan memiliki rasa
asam dan sepat.
b. Jika dicampur dengan alkaloid dan gelatin akan mengendap.
c. Tidak dapat mengkristal.
d. Mengendapkan protein dari larutannya dan bersenyawa dengan protein
tersebut.
2) Sifat Kimia
Sifat kimia dari tannin adalah:
5
a. Merupakan senyawa komplek dalam bentuk campuran polifenol yang
sukar dipisahkan sehingga sulit mengkristal.
b. Dapat diidentifikasi dengan kromotografi.
c. Senyawa fenol dari tannin mempunyai aksi adstrigensia, antiseptik dan
pemberi warna
Tannin bisa diperoleh dari hampir semua jenis tambuhan hijau di seluruh dunia
baik tumbuhan tingkat tinggi maupun tingkat rendah dengan kadar dan kualitas yang
berbeda-beda. Menurut Iwan (2002), sebagian besar flavonoid yang berasal dari hasil
biosintesa diubah menjadi tannin, sehingga flavonoid tersebut merupakan salah satu
fenol alam terbesar.
Ada beberapa jenis tumbuhan yang tumbuh diwilayah Indonesia yang dapat
menghasilkan tannin, antara lain: tanaman pinang (Areca catechu LINN), tanaman
akasia (Acasia sp), gabus (Quarcus infektoria), bakau (Rhizopora dpn), jambu biji
(Psidium guajava, L), pinus, gambir dan banyak lainnya. Tannin yang dihasilkan dari
tumbuh-tumbuhan mempunyai ukuran partikel dengan range yang besar. Tannin
tumbuh-tumbuhan diperoleh dari kayu, kulit, daun dan buah.
6
cocok untuk pertumbuhan tanaman jambu biji. Jambu biji juga dapat tumbuh dengan
baik diberbagai jenis tanah, baik pada tanah yang subur ataupun pada tanah yang
gembur serta banyak mengandung unsur nitrogen, bahan organik, atau pada keadaan
tanah yang liat dan sedikit pasir (Kemal, 2000).
Daun merupakan salah satu organ tumbuhan yang tumbuh dari batang,
umumnya berwarna hijau (mengandung klorofil) dan terutama berfungsi sebagai
penangkap energi dari cahaya matahari melalui fotosintesis. Daun merupakan organ
terpenting bagi tumbuhan dalam melangsungkan hidupnya karena tumbuhan adalah
organisme autotrof obligat, ia harus memasok kebutuhan energinya sendiri melalui
konversi energi cahaya menjadi energi kimia. Daun merupakan material yang berpori.
Pori-pori daun disebut dengan stomata. Stoma berfungsi sebagai organ respirasi. Stoma
mengambil CO2 dari udara untuk dijadikan bahan fotosintesis dan mengeluarkan O2
sebagai hasil fotosintesis.
Sejak dahulu daun jambu biji telah banyak digunakan sebagai salah satu obat
tradisional. Penyakit-penyakit yang bisa diatasi oleh daun jambu biji antara lain adalah
penyakit demam berdarah, diare, dan lain-lain. Penyakit-penyakit tersebut bisa diatasi
oleh daun jambu biji karena kandungan jambu biji yang dapat menghambat
pertumbuhan bakteri dan virus (anonymous, 2010).
Bentuk daun jambu biji biasanya bercorak bulat telur dengan ukuran yang agak besar.
Pada daun jambu biji terkandung zat tannin sebagai kandungan utama. Selain itu daun
7
juga mengandung minyak atsiri dengan komponen penyusunnya adalah α-‐pinene,
β-‐pinene, limonene, mentol, terpenyl asetat, isopropyl alkohol, longicyclene,
caryophyllene, β-‐bisabolene, oksida caryophyllene, β-‐copanene, farnesene, humulene,
selinene, cardinene dan curcumene. Selain minyak atsiri, daun mengandung, nerolidiol,
β-‐sitosterol, ursolat, krategolat, dan asam guayavolat. Daun juga mengandung minyak
lemak 6%, dan avikularin (Kemal, 2000).
8
dalam proses pelapisan logam untuk menghasilkan permukaan logam yang keras dan
indah dan juga dapat mencegah korosi. Krom memberikan warna hijau emerald pada
kaca. Industri refraktori menggunakan kromit untuk membentuk batu bata, karena
kromit memiliki titik cair yang tinggi, pemuaian yang relatif rendah dan kestabilan
struktur kristal.
Beberapa senyawa kromium digunakan sebagai katalis, misalnya Phillips
katalis untuk produksi polietilen adalah campuran dari kromium dan silikon dioksida
atau campuran dari krom dengan titanium dan aluminium oksida. Kromium merupakan
logam tahan korosi (tahan karat) dan dapat dipoles menjadi mengkilat. Dengan sifat ini,
kromium banyak digunakan sebagai pelapis pada ornamen-ornamen bangunan,
komponen kendaraan, seperti knalpot pada sepeda motor, maupun sebagai pelapis
perhiasan seperti emas. Emas yang dilapisi oleh kromium ini lebih dikenal dengan
sebutan emas putih.
Perpaduan Kromium dengan besi dan nikel menghasilkan baja tahan karat.
Kromium (IV) oksida digunakan untuk pembuatan pita magnetik yang digunakan dalam
performa tinggi dan standar kaset audio. Asam kromat adalah agen oksidator yang kuat
dan merupakan senyawa yang bermanfaat untuk membersihkan gelas laboratorium dari
setiap senyawa organik. Kalium dikromat merupakan zat kimia reagen, digunakan
dalam membersihkan gelas laboratorium dan sebagai agen titrating.
Logam krom (Cr) adalah salah satu jenis polutan logam berat yang bersifat
toksik, dalam tubuh logam krom biasanya berada dalam keadaan sebagai ion Cr3+.
Krom dapat menyebabkan kanker paru-paru, kerusakan hati (liver) dan ginjal. Jika
kontak dengan kulit menyebabkan iritasi dan jika tertelan dapat menyebabkan sakit
perut dan muntah. Kromium (III) adalah zat esensial bagi manusia dan apabila
kekurangan kromium (III) dalam tubuh manusia dapat menyebabkan kondisi jantung
melemah, gangguan metabolisme dan diabetes. Tetapi jika terlalu banyak kromium (III)
didalam tubuh manusia juga dapat menyebabkan efek negatif bagi kesehatan, misalnya
ruam kulit. Kromium (VI) adalah zat yang berbahaya bagi kesehatan manusia. Orang-
orang yang bekerja di industri baja, tekstil, dan juga orang-orang yang merokok sangat
rentan terkena dampak dari kromium (VI). Kromium (VI) menyebabkan berbagai efek
kesehatan. Apabila kromium (VI) terhirup maka dapat menyebabkan iritasi dan hidung
mimisan.
9
Bahaya kesehatan yang berkaitan dengan kromium bergantung pada keadaan
oksidasinya. Krom yang mempunyai valensi 3 memiliki tingkat toksisitas yang rendah,
sedangkan krom yang hexavalent memiliki tingkat toksisitas yang tinggi sehingga bisa
dikatakan beracun.
10
BAB III
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
11
4. Sebagai upaya untuk mengejar ketinggalan Indonesia dalam bidang ”Neraca
Massa dan Energi”, sementara di luar negeri sudah sampai pada aplikasi ke
industri
5. Menambah wawasan dan ketrampilan peneliti melalui aktivitas penelitian dan
pendidikan yang berkesinambungan, sehingga dapat menangani problem-
problem yang dihadapi oleh industri-indutri kimia di Naggroe Aceh Darussalam.
6. Publikasi pada jurnal ilmiah dan seminar nasional
7. Pengembangan ipteks
12
BAB IV
METODE PENELITIAN
Metode penelitian dilakukan dengan dua metode, yaitu metode percobaan dan
pemanfaatan model matematik yang ada.
4.1 Percobaan
Persiapan bahan yang diperlukan meliputi pengadaan bahan-bahan berupa: (1)
daun jambu biji; (2) aquades; dan (3) larutan K2Cr2O7 sebagai sumber Cr(VI).
Sedangkan peralatan yang dipersiapkan meliputi: (1) erlemenyer; (2) pipet volum; (3)
aluminium foil; (4) corong pemisah; (5) gelas ukur; (6) magnetic stirrer/water batch; (7)
Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS); (8) oven listrik; (9) blender; (10)
timbangan; (11) kertas saring; dan (12) labu ukur.
PROSES ADSORPSI
Dimasukkan larutan Cr6+ kemudian diaduk dengan waktu dan dosis adsorben yang telah
ditentukan dan pada suhu kamar untuk menentukan pengaruh laju kinetika terhadap reaksi
PROSES ANALISA
Larutan Cr6+ yang telah diadsorb dianalisa dengan menggunakan alat AAS (Atom Adsorbstion
Spectrofotometer)
13
Bahan baku berupa daun jambu biji dibersihkan dari kotoran-kotoran yang
menempel dengan menggunakan air bersih. Setelah itu daun jambu bij dikeringkan
dengan menggunakan oven dryer pada suhu 50OC sampai berat bahan baku menjadi
konstan. Terakhir bahan baku dihaluskan dengan menggunakan blander dengan ukuran
biosorben > 25 mesh untuk memperbesar luas permukaan kontak antara biosorben
dengan adsorbat.
Pembuatan larutan logam Cr(IV) dengan konsentrasi yang ditentukan.
Ditimbang K2Cr2O7 sesuai yang ditentukan dan dilarutkan dengan aquades.
Sampel krom diuji dengan menggunakan variabel konsentrasi bio-sorbent, sorbat dan
waktu kontak yang telah ditentukan. Sampel Cr(IV) dengan konsentrasi yang ditentukan
dimasukkan kedalam Erlenmeyer yang telah berisi adsorben. Dosis adsorben tetap.
Waktu tinggal untuk proses adsorpsi divariasikan. Filtrat disaring dengan kertas saring
Whatman 41 dan siap untuk dianalisa dengan menggunakan spektrofotometer serapan
atom (AAS).
Analisa sampel dan Cr(IV) sisa menggunakan AAS (Atom Adsorbstion
Spectrofotometer).
1. Erlenmeyer (300mL)
2. Batang pengaduk (Stirring bar)
Daun Jambu 3. Constant-temperature bath (25oC)
Biji 4. Pengaduk (Magnetic stirrer )
3
2
Krom (K2Cr2O7).
14
Tabel 4.1 Kondisi percobaan yang akan dilakukan pada proses batch
Parameter Nilai
15
menghasilkan pemutusan ikatan, sehingga molekul yang terfisisorpsi tetap
mempertahankan identitasnya
16
4. konsentrasi adsorben, konsentrasi larutan pada kondisi isotermal memperlihatkan
adanya kecenderungan peningkatan adsorpsi dengan peningkatan konsentrasi.
waktu kontak antara adsorbat dengan adsorben, waktu kontak dan lamanya
pengadukan bergantung pada keaktifan adsorben yang digunakan.
q0 bc e
q e =
(4.1)
1 + bc e
dimana q 0 adalah jumlah maksimum ion logam persatuan berat adsorben (mg
adsorbat/g adsorben), b merupakan hubungan afinitas ikatan (L/mg adsorbat) dan ce (mg
adsorbat/L) adalah konsentrasi. Kurva kesetimbangannya diperoleh dengan memplot
1/qe terhadap 1/ce, sehingga diperoleh slope K / q0 dan intersep 1 / q0 . Nilai K sama
dengan 1/b. Plot data isoterm Langmuir ditunjukkan oleh Gambar 4.3.
17
Gambar 4.3 Plot data model isoterm Langmuir
dimana KF dan ce adalah konstan dan diperoleh dari percobaan. Nilai 1/n adalah slope
dari plot log qe dengan log ce. Nilai KF sangat bergantung pada nilai n. Persamaan ini
biasa sesuai dengan data untuk adsorpsi gas hidrokarbon oleh arang aktif (Geankoplis,
1993). Gambar 4.4 menunjukkan plot data isoterm Freundlich.
18
F
19
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambar 5.1 Hubungan waktu kontak dan dosis bio-sorbent terhadap efisiensi
penyerapan Cr (VI)
20
Gambar 5.1 menunjukkan bahwa pada awal proses penyerapan adsorbat
berlangsung sangat cepat sampai menit ke-30 dan ion logam Cr (VI) yang terserap
terus meningkat. Akan tetapi setelah dikontakkan selama 60 sampai 150 menit efisiensi
penyerapannya cenderung stabil. Menurut Muktamar, dkk.(2004) semakin lama waktu
kontak maka pori-pori adsorben yang semula kosong akan terisi penuh sehingga
menyebabkan kuantitas adsorbat yang diserap oleh adsorben pada waktu tertentu akan
mulai memasuki keadaan statis atau dengan peningkatan yang relatif rendah.
Berdasarkan Gambar diatas dapat diambil kesimpulan bahwa proses penyerapan yang
paling optimum yaitu pada waktu kontak selama 30 menit.
Gambar 5.2 Hubungan waktu kontak dan dosis adsorben terhadap kapasitas
penyerapan Cr(VI)
21
Gambar 5.2 juga memperlihatkan hubungan dosis adsorben terhadap kapasitas
penyerapan Cr (VI). Berdasarkan data tersebut dapat dilihat bahwa semakin banyak
adsorben yang digunakan maka kapasitas penyerapan akan semakin kecil. Hal ini
disebabkan karena semakin banyak adsorben yang digunakan maka pori-pori kosong
yang tersedia dalam adsorben juga akan semakin banyak. Oleh karena itu jika
digunakan untuk menyerap adsorbat dengan konsentrasi yang sama maka kapasitas
penyerapannya akan semakin kecil.
5.3 Pengaruh Waktu Kontak dan Konsentrasi Sorbat Terhadap Efisiensi Penyerapan
Cr(VI)
Waktu kontak antara sorbat dengan bio-sorbent sangat mempengaruhi proses
adsorpsi. Tujuan penentuan waktu kontak di dalam proses adsorbsi ini adalah untuk
mengetahui bagaimana pengaruh waktu kontak terhadap efisiensi penyerapan. Sehingga
dapat diketahui pada variabel waktu berapakah terjadi proses adsorbsi yang optimum.
Pada Gambar 5.3 menunjukkan bahwa semakin lama waktu kontak antara keduanya,
maka semakin besar pula efisiensi penyerapan yang terjadi. Nurhayati (2009)
menyebutkan bahwa proses adsorpsi dimulai dengan pergerakan sebagian besar
adsorbat dari fluida menuju lapisan film adsorben. Kemudian adsorbat berdifusi menuju
permukaan adsorben hingga terserap ke permukaan pori bagian dalam dari adsorben
tersebut .
Berdasarkan hal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pada proses adsorpsi
terjadi beberapa tahapan agar terjadinya penyerapan yang baik. Sehingga dengan
adanya waktu kontak antara adsorbat dengan adsorben yang semakin lama, tahapan-
tahapan tersebut dapat terjadi dengan baik dan menyebabkan daya penyerapannya
semakin tinggi.
Namun pada rentang waktu antara 60 sampai 120 menit, efisiensi penyerapan
tidak mengalami kenaikan yang signifikan yaitu cenderung stabil. Menurut muktamar,
dkk, (2004) semakin lama waktu kontak maka pori-pori adsorben yang semula kosong
akan terisi penuh sehingga menyebabkan kuantitas adsorbat yang diserap oleh adsorben
pada waktu tertentu akan mulai memasuki keadaan statis atau dengan peningkatan yang
relatif rendah.
22
Gambar 5.3 Hubungan waktu kontak dan konsentrasi sorbat terhadap efisiensi
penyerapan Cr(VI) pada kondisi netral
23
Hal yang sama juga berlaku untuk konsentrasi adsorbat yang juga berbanding
lurus dengan kapasitas penyerapan. Hal ini kemungkinan disebabkan karena semakin
banyak adsorben yang digunakan maka pori-pori kosong yang tersedia dalam adsorben
juga akan semakin banyak. Oleh karena itu jika digunakan untuk menyerap adsorbat
dengan konsentrasi yang sama maka kapasitas penyerapannya akan semakin kecil.
Hubungan antara kedua faktor tersebut terhadap kapasitas penyerapan ditunjukkan pada
Gambar 5.4.
Dosis Sorbat:
Gambar 5.4 Hubungan waktu kontak dan konsentrasi adsorbat terhadap kapasitas
penyerapan Cr (VI) pada kondisi netral
Gambar 5.4 menunjukkan bahwa semakin lama waktu kontak, maka semakin
besar pula kapasitas penyerapan yang terjadi. Hal ini sesuai dengan teori, dimana waktu
kontak dan konsentrasi adsorbat berbanding lurus dengan sebagaimana yang telah
disebutkan sebelumnya
24
meningkatnya efisiensi dan kapasitas penyerapan, maka semakin besar pula massa bio-
sorbent akhir yang didapatkan.
Dosis Sorbat:
Gambar 5.5 menunjukan bahwa waktu kontak berbanding lurus terhadap massa
akhir bio-sorbent. Hal ini juga berhubungan dengan efisiensi penyerapan Cr(VI) oleh
bio-sorbent. Semakin besar efisiensi penyerapan, maka semakin banyak sorbat yang
terserap ke dalam bio-sorbent.
Pada konsentrasi sorbat yang lebih tinggi yaitu 19 ppm, massa bio-sorbent akhir
yang didapat lebih rendah untuk kondisi netral. Menurut Refilda (2001) hal ini
disebabkan karena pada konsentrasi yang lebih tinggi, jumlah ion logam dalam larutan
tidak sebanding dengan jumlah biosorben yang tersedia sehingga permukaan adsorben
akan mencapai titik jenuh dan efisiensi penyerapan pun menjadi menurun. Sehingga
menyebabkan massa biosorben akhir yang didapat semakin berkurang.
25
didapat sebesar 0,0835 mg/g. Gambar 5.6 memperlihatkan laju kinetika orde dua semu
dimana nilai k yang didapat sebesar 14,5825 g/mg.menit dan nilai qe yang diperoleh
sebesar 0,1291 mg/g.
Gambar 5.6 Laju kinetika orde satu semu penyerapan ion logam Cr (VI) pada
dosis bio-sorbent 1 gram.
Gambar 5.7 Laju kinetika orde dua semu penyerapan ion logam Cr(VI) pada dosis
bio-sorbent 1 gram.
Bedasarkan Gambar 5.6 dan 5.7 dapat disimpulkan bahwa proses penyerapan
ion Cr(VI) dengan menggunakan daun jambu biji mengikuti orde dua semu dengan
26
nilai k sebesar 14,5825 g/mg.menit dan nilai qe sebesar 0,1291 mg/g dengan nilai R2
sebesar 0,9967 sehingga diperoleh persamaan:
dq t 2
= k (qe − qt )
dt (4.5)
27
BAB VI
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh kesimpulan sebagai
berikut:
1. Waktu kontak berbanding lurus dengan efisiensi penyerapan Cr(VI) dan
kapasitas penyerapan Cr(VI).
2. Proses penyerapan ion logam Cr(VI) dengan menggunakan daun jambu biji
yang paling optimum terjadi yaitu pada waktu kontak selama 30 menit dalam
range variable yang dilakukan.
3. Efisiensi penyerapan Cr(VI) berbanding lurus dengan konsentrasi bio-
sorbent pada konsentrasi sorbat yang sama. Sedangkan kapasitas penyerapan
Cr(VI) berbanding terbalik dengan konsentrasi bio-sorbent pada konsentrasi
sorbat yang sama
4. Efisiensi penyerapan Cr(VI) berbanding lurus dengan konsentrasi sorbat
pada konsentrasi bio-sorbent yang sama.Sedangkan kapasitas penyerapan
Cr(VI) berbanding terbalik dengan konsentrasi sorbat pada konsentrasi bio-
sorbent yang sama
5. Massa bio-sorbent berbanding lurus dengan dosis sorbat pada konsentrasi
bio-sorbent yang sama.
6. Proses penyerapan ion Cr (VI) dengan menggunakan daun jambu biji
mengikuti orde dua semu dengan nilai R2 sebesar 0,9967.
7. Daun jambu biji dapat digunakan sebagai bioadsorben untuk menyerap ion
logam Cr (VI).
.
6.2 Saran-saran
Berdasarkan hasil dan pembahasan pada penulisan laporan ini, disarankan untuk
melakukan penelitian selanjutnya untuk mempelajari kinetika adsorpsi baik adsorpsi
fisika maupun adsorbsi kimia serta melakukan penelitian untuk proses kontinyu.
Sehingga performance proses penyisihan Cr(VI) menggunakan bio-sorbent daun jambu
biji dapat diketahui.
28
Ucapan terima kasih
Dengan selesainya penelitian ini kami mengucapkan terima kasih atas bantuannya
sehingga penelitian ini berjalan dengan baik. Terima kasih kepada member Lab Operasi
Teknik Kimia, Unsyiah. Terima kasih khusus kepada Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, sesuai dengan Surat Perjanjian Penugasan Dalam Rangka Pelaksanaan
Program Penelitian Fundamental Tahun Anggaran 2012 Nomor:
140/UN11/A.01/APBN-P2T/2012 tanggal 2 April 2012
29
DAFTAR PUSTAKA
Apsari, Ajeng Tanindya., Dina Fitriasti., “Studi Kinetika Penyerapan Ion Khromium
Dan Iom Tembaga Menggunakan Kitosan Produk Dari Cangkang
Kepiting”, Jurusan Teknik Kimia Universitas Diponegoro, Semarang.
Geankoplis, C. J., “Transport Processes and Unit Operation”, 3nd Edition, Prentice
Hall, Inc, U.S.A (1993)
Juwita, Sri Ratna., “Penyisihan Cr(III) dalam LImbah Cair dengan Larutan Basa
NaOH/Ca(OH)2 Menggunakan Reaktor Batch Berpengaduk (Model dan
Percobaan)”, Program Pascasarjana Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh
(2007).
Muktamar, Z., dkk., “Adsorbsi dan Desorpsi Herbisida Paraquat oleh Bahan
Organik Tanah”, Jurnal Akta Agrasia, 7, 1, p.11-17 (2004)
Risnasari, Iwan, “Tannin”, Jurusan Ilmu Kehutanan Universitas Sumatra Utara, Medan
(2002)
30
Slamet., dkk., “Pengolahan Limbah Logam Berat Chromium (VI) Dengan Foto
Katalis TiO2”, Departemen Teknik Gas dan Petrokimia Universitas
Indonesia, Jakarta (2003).
Smith, J. M., “Chemical Engineering Kinetics”, 3th edition, McGraw Hill Book
Company, Singapore (1981)
Susanti, Aprilia., “Potensi Kulit Kacang Tanah sebagai Adsorben Zat Warna
Reaktif Cibacron Red”, Departemen Kimia FMIPA Institut Pertanian
Bogor, Bogor (2009).
31
Lampiran 1
INSTRUMEN PENELITIAN
Tabel L.1 Sarana pendukung penelitian ini yang tersedia di Laboratorium Operasi
Teknik Kimia Unsyiah, Laboratarium Kimia Fakultas MIPA Unyiah dan
Laboratorium Teknik Kimia, POLITEKNIK Provinsi Aceh Lhoksemawe
Peralatan yang
No Kegunaan Kemampuan Keterangan
ada
1. Untuk mengeringkan slurry
sorbent setelah dicampur
Dapat digunakan Lab OTK
dengan DE
1 Oven driyer sampai temperature Teknik Kimia
2. Untuk mengkalsinasi
> 1000oC Unsyiah
sorbent Ca(OH)2/DE setelah
dikeringkan
1. Untuk memanaskan slurry
(air + Ca(OH)2 + DE)
sehingga sesuai dengan
Lab OTK
yang diinginkan pada proses
2 Water batch Sangat bagus Teknik Kimia
persiapan sorbent
Unsyiah
2. Untuk menjaga temperatur
slurry tetap konstant pada
proses persiapan sorbent
Untuk menaikkan temperatur
Lab OTK
water batch sehingga dapat
3 Heater Kondisinya bagus Teknik Kimia
meningkatkan temperatur slurry
Unsyiah
pada proses persiapan sorbent
Lab OTK
Wadah persiapan sorbent dan
4 Erlenmeyer Jumlahnya cukup Teknik Kimia
analisa hasil percobaan
Unsyiah
Untuk mengukur pH slurry Lab OTK
Ketelitiannya
5 pH meter sorebnt pada proses persiapan Teknik Kimia
cukup bagus
sorbent Unsyiah
Laboratorium
Untuk melihat marfologi bio- Teknik Kimia,
Ketelitiannya
6 SEM Analyzer sorbent sebelum dan sesuah POLITEKNIK
cukup bagus
reaksi Provinsi Aceh
Lhoksemawe
32
Laboratarium
Untuk menganalisa konsentrasi Ketelitiannya
7 AAS Kimia Fakultas
Cr(VI) dalam larutan cukup bagus
MIPA Unyiah
Teknik Kimia Unsyiah juga mempunyai Program Magister (S2). Hal ini sangat
membantu pelaksanaan penelitian yang akan dilakukan baik dalam membantu
mahasiswa S1 dalam percobaan maupun pengolahan dan analisa data dan
pengembangan model matematik.
33
Lampiran 2
CURRICULUM VITAE ANGGOTA PENELITI
CURRICULUM VITAE KETUA PENELITI
34
sampah menggunakan bag filter reaktor:
Percobaan dan Modeling (Lanjutan)
Peningkatan reaktifitas absorbent Ca(OH)2
untuk penyisihan SO2 hasil pembakaran
6 2011 Rusnas, DIKTI, 2011
sampah menggunakan bag filter reaktor:
Percobaan dan Modeling (Lanjutan)
35
Enhancement of Reactivity of Sorbent Ca(OH)2 Using Diatomaceous Earth
16 (DE), Proceeding of USU International Science and Technology Exhibitation 2011
& Seminar (USU-ISTExS 2011), Medan, Indonesia, July 2011
36
CURRICULUM VITAE ANGGOTA PENELITI
BIODATA ANGGOTA PENELITI
37
3 Studi Penghilangan Cr(III) dari Limbah Cair dengan Menggunakan 2008
Larutan Alkali: Percobaan dan Modelling
4 Penggunaan Proses Adsorpsi Dan Pengkelatan untuk Pemurnian Minyak 2008
Nilam
5 Peningkatan Mutu Minyak Nilam Aceh Menggunakan Proses Adsorpsi Dan 2007
Pengkelatan Serta Distilasi Fraksinasi
6 Pembuatan Tungku Briket bioarang sebagai sumber energi alternative di 2007
Aceh paska gempa dan tsunami seiring dengan naiknya bbm
7 Hydrogen Absorbing Materials in Carbonaceous-Metal Hydride 2006
8 Application of Mechanical Milling to Synthesize a Novel Quarterly Hydride 2006
9 Application of Ball Milling Method to Synthesize Multi-Component 2005
Hydrogen Storage Materials Based on Lithium
10 Preparation and Characterization of Carbonaceous Material-Based 2004
Hydrogen Absorbing Composite
11 Metal Hydride–Carbonaceous Composites Prepared By Mechanical Milling 2004
12 Synthesis of Hydrogen Sorbing Carbonaceous Composites by Mechanical 2004
Milling
13 Application of Ball Milling Method to Synthesize a Novel Ternary Hydride 2004
38
CURRICULUM VITAE ANGGOTA PENELITI
BIODATA ANGGOTA PENELITI
39
3 Comparative Evaluation of Various Control Schemes for Fed Batch 2002
Fermentation, Bioprocess and Biosystem Engineering, Vol. 24
40