Anda di halaman 1dari 23

DEMAM TYPHOID

Pembimbing : dr. Nani Widorini, Sp.PD

Disusun oleh :
Bayu Aji Pamungkas G4A016017

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN


FAKULTAS KEDOKTERAN

2018
LEMBAR PENGESAHAN

Demam Typhoid

Diajukan untuk memenuhi syarat


mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik
di bagian Integrasi
RSUD Ajibarang

telah disetujui dan dipresentasikan


pada tanggal: Juli 2018

Disusun oleh :
Bayu Aji Pamungkas G4A016017

Purwokerto, Juli 2018


Pembimbing,

dr. Nani Widorini, Sp.PD


BAB I
PENDAHULUAN

Demam tifoid merupakan penyakit menular endemik yang dapat


menyerang kebanyakan orang. Penyakit ini termasuk penyakit infeksi sistemik
akut yang disebabkan oleh infeksi bakteri gram negatif Salmonella typhi.
Penyakit ini masih menjadi permasalahan kesehatan di daerah tropis terutama di
negara-negara sedang berkembang, salah satunya Indonesia. Keterkaitan penyakit
ini erat hubungannya dengan higienitas dan sanitasi yang kurang baik (Widoyono,
2011).
Insidensi demam tifoid di dunia menurut WHO 2010 mencapai 17 juta
orang dengan jumlah kematian sebanyak 600.000 orang setahun dan 70%
kematian terjadi di benua Asia. Angka kematian demam tifoid menurut WHO
mencapai 10-20%, sebelum ditemukan antibiotik yang tepat, tetapi saat ini angka
kematian berkurang sampai 1%. Insidensi demam tifoid di Indonesia sendiri
adalah 800 penderita per 100.000 penduduk pertahun dengan angka kematian 2%
(Widoyono, 2011).
Data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah
berdasarkan sistem surveilans terpadu terhadap beberapa penyakit terpilih pada
tahun 2009 penderita demam tifoid ada 44.422 penderita, termasuk urutan ketiga
di bawah diare dan tuberkulosis, sedangkan pada tahun 2010 jumlah penderitanya
meningkat menjadi 46.142 penderita. Hal ini menunjukan bahwa kejadian demam
tifoid di Jawa Tengah termasuk tinggi.
BAB II
STATUS PENDERITA

A. Identitas Penderita
Nama : Nn. D
Umur : 18 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Ajibarang kulon RT 3/10 Ajibarang
Agama : Islam
Status : Belum Menikah
Tanggal periksa : 18 Juli 2018

B. Anamnesis
1. Keluhan utama : Demam
2. Keluhan tambahan : Batuk, diare, nyeri kepala
3. Riwayat penyakit sekarang
Pasien masuk IGD RSUD Ajibarang pada tanggal 16 Juli 2018
dengan keluhan demam. Pasien mengeluh demam panas dingin setiap
menjelang maghrib sejak sehari sebelum masuk rumhas sakit. Pasien
juga mengeluhkan nyeri perut dan mengalami diare sehari sebelum
masuk rumah sakit. Pasien mengeluh pusing dan mual. Buang air kecil
dirasa normal oleh pasien.
4. Riwayat penyakit dahulu
a. Riwayat keluhan yang sama : disangkal
b. Riwayat hipertensi : disangkal
c. Riwayat DM : disangkal
d. Riwayat asma : disangkal
e. Riwayat penyakit jantung :disangkal
f. Riwayat asam urat : disangkal
g. Riwayat alergi : disangkal
h. Riwayat mondok : disangkal
5. Riwayat penyakit keluarga
a. Riwayat keluhan yang sama : disangkal
b. Riwayat sakit kuning : disangkal
c. Riwayat hipertensi : disangkal
d. Riwayat DM : disangkal
e. Riwayat penyakit jantung : disangkal
f. Riwayat penyakit ginjal : disangkal
6. Riwayat sosial ekonomi
a. Community
Pasien tinggal bersama orang tuanya di lingkungan padat penduduk
dan jauh dari jalan raya. Hubungan pasien dengan keluarga maupun
tetangga sekitar baik.
b. Occupational
Pasien belum bekerja.
c. Drug
Pasien tidak mengkonsumsi obat apapun.
d. Diet
Pasien mengkonsumsi makanan yang dimasak orang tuanya,
terkadang pasien membeli makanan jadi di warung-warung dekat
rumah.

C. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan dilakukan di bangsal camar kamar 13 RSUD Ajibarang pada 18
Juli 2018.
1. Keadaan umum : sedang
2. Kesadaran : compos mentis
3. Tanda vital
Tekanan Darah : 120/70 mmHg
Nadi : 104 x/menit
Respiration Rate : 18 x/menit
Suhu : 38,4oC
4. Status generalis
a. Pemeriksaan kepala
1) Bentuk kepala
Mesosefal, simetris, venektasi temporalis (-)
2) Rambut
Warna rambut sebagian besar hitam sebagian memutih, tidak
mudah dicabut dan terdistribusi merata
3) Mata
Simetris, konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
4) Telinga
Serumen (+/+), discharge (-), deformitas (-)
5) Hidung
Discharge (-), deformitas (-),napas cuping hidung (-)
6) Mulut
Bibir sianosis (-), lidah sianosis (-), lidah kotor (+)
b. Pemeriksaan leher
Deviasi trakea (-), pembesaran kelenjar tiroid (-), palpasi Jugular
Venous Pressure (JVP) 5+2 cm
c. Pemeriksaan thoraks
1) Paru
Inspeksi : dinding dada simetris, tidak tampak ketertinggalan
gerak antara kedua hemithoraks, kelainan bentuk
dada (-)
Palpasi : vokal fremitus lobus superior kanan = kiri, vokal
fremitus lobus inferior kanan = kiri
Perkusi : batas paru-hepar SIC V LMCD
Auskultasi : suara dasar vesikuler +/+ ronki basah halus -/- ronki
basah kasar-/- wheezing-/-
2) Jantung
Inspeksi : Ictus Cordis tampak di SIC V 2 jari medial LMCS
Palpasi : Ictus Cordis terabapada SIC V 2 jari medial LMCS
dan tidak kuat angkat
Perkusi : Batas atas kanan : SIC II LPSD
Batas atas kiri : SIC II LPSS
Batas bawah kanan : SIC IV LPSD
Batas bawah kiri : SIC V 2 jari medial LMCS
Auskultasi : S1>S2, reguler, gallop (-), murmur (-)
d. Pemeriksaan abdomen
Inspeksi : cembung
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani-pekak
Palpasi : nyeri tekan (-)
Hepar : tidak teraba
Lien : tidak teraba
e. Pemeriksaan ekstremitas
Pemeriksaan Ekstremitas Ekstremitas
superior inferior
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Edema - - - -
Sianosis - - - -
Akraldingin - - - -
Reflekfisiologis + + + +
Reflekpatologis - - - -

D. Pemeriksaan Penunjang
1. Hasil laboratorium
a. Tanggal 16 Juli 2018
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal Ket
Darah Lengkap
Hemoglobin 8,5 g/dL 11,2 – 17,3 L
Leukosit 9.500 /uL 3800 – 10600
Hematokrit 26,4 % 40 – 52 L
Eritrosit 3,29 x106/uL 4,4 – 5,9 L
Trombosit 210000 /uL 150000 – 440000
Serologi Widal
Typhii H Non Negatif
reaktif
Paratyphii B-H Positif Negatif
1/160

E. Resume
1. Anamnesis
Pasien wanita 18 tahun dengan keluhan demam sore hari disertai
riwayat diare. Pasien tidak mempunyai riwayat hipertensi, diabetes
mellitus, alergi, maupun asma.
2. Pemeriksaan fisik
a. Tanda vital
Tekanan Darah : 120/70 mmHg
Nadi : 104 x/menit
Respiration Rate : 18 x/menit
Suhu : 39,40C
b. Pemeriksaan thoraks
Paru: SD vesikuler +/+ , rbh -/-, rbk -/-, wh -/-
c. Pemeriksaan abdomen
Cembung, BU (+) normal, pekak alih (-), pekak sisi (-), NT (-)
d. Pemeriksaan ekstremitas
edema (-) di keempat ekstremitas
3. Pemeriksaan penunjang
Hemoglobin : 8,5
Hematokrit : 26,4
Eritrosit : 3,29
Widal Paratyphii B-H : positif 1/160

F. Diagnosis
Demam tifoid
G. Penatalaksanaan
1. Farmakologi
 IVFD RL 20 tpm
 Inj. Ceftriakson 2x1 gram
 Inj. Ranitidin 2x50 mg
 Paracetamol 3x500 mg
2. Nonfarmakologi
 Bed rest
 Edukasi penyakit kepada pasien meliputi terapi, komplikasi
penyakit, prognosis penyakit
 Diet lunak
3. Monitoring
 Tanda vital

H. Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
BAB III
PEMBAHASAN

A. Definisi
Demam tifoid ialah penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan oleh
infeksi bakteri gram negatif Salmonella typhi. Infeksi ini terdapat pada saluran
pencernaan (usus halus) dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai
gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan
kesadaran. Potensial terbesar transmisi penularan bakteri Salmonella typhi
kepada manusia yaitu melalui makanan dan air yang telah terkontaminasi
feses dengan kandungan bakteri Salmonella typhi. (Kidgell et al, 2002).

B. Etiologi
Demam tifoid terjadi akibat infeksi bakteri Salmonella enterica
dengan serotipe typhi. Salmonella typhi adalah bakteri yang menginfeksi
organ usus dan hati. Pada metode pewarnaan gram untuk mengetahui bakteri
Salmonella typhi maka akan terlihat bakteri yang memiliki bentuk batang,
tidak berspora, tidak berkapsul, bergerak dengan flagel, susunan tunggal,
berwarna merah dengan sifat bakteri gram negatif serta bakteri fakultatif
anaerob (Cita, 2011).
Salmonella typhi memiliki ukuran 0,7-1,5 x 2-5 μm. Bakteri
Salmonella typhi memiliki beberapa 3 komponen antigen antara lain:
1. Antigen O (Antigen somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari tubuh
kuman. Bagian ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau disebut
juga endotoksin. Antigen ini tahan terhadap panas dan alkohol tetapi tidak
tahan terhadap formaldehid.
2. Antigen H (Antigen flagella), yang terletak pada flagella dari kuman.
Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan tahan terhadap
formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan alkohol yang telah
memenuhi kriteria penilaian.
3. Antigen Vi yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang dapat
melindungi seluruh permukaan sel dan menghambat proses aglutinasi
antigen O oleh anti O serum serta melindungi antigen O dari proses
fagositosis. Antigen Vi ini berhubungan dengan daya invasif bakteri dan
efektivitas vaksin.
S.typhi menghasilkan endotoksin yang merupakan bagaian terluar dari
dinding sel, terdiri dari antigen O yang sudah dilepaskan, lipopolisakarida,
dan lipid A. Antibodi O, H, dan Vi akan membentuk antibodi aglutinin di
dalam tubuh. Sedangkan, Outer Membran Protein (OMP) pada Salmonella
typhi merupakan bagian terluar yang terletak di luar membran sitoplasma dan
lapisan peptidoglikan yang membatasi sel dengan lingkungan sekitarnya.
OMP sebagian besar terdiri dari protein purin, berperan pada patogenesis
demam tifoid dan antigen yang penting dalam mekanisme respon imun host.
OMP berfungsi sebagai barier mengendalikan masuknya zat dan cairan ke
membran sitoplasma selain itu berfungsi sebagai reseptor untuk bakteriofag
dan bakteriosin (Cita 2011; Sudoyo, 2010).

Gambar 2.1 Morfologi Salmonella typhi

C. Sumber Penularan
Sumber penularan penyakit demam tifoid dapat melalui makanan atau
minuman yang terkontaminasi, biasanya kontaminasi dari bahan feses,
muntahan, maupun cairan badan. Salmonella typhi dapat menyebar melalui
tangan penderita, lalat, dan serangga lain. Infeksi dapat terjadi secara langsung
maupun tidak secara langsung dengan kuman Salmonella typhi. Kontak
langsung berarti ada kontak antara orang sehat dan bahan muntahan penderita
demam typhoid. Kontak tidak langsung dapat melalui air misalnya air minum
yang tidak dimasak, air es yang dibuat dari air yang terkontaminasi, atau air
yang diproses oleh orang yang membawa kuman, baik penderita aktif maupun
carrier (Kidgell et al, 2002).

D. Patofgenesis
Bakteri Salmonella typhi adalah bakteri yang melakukan transmisi
ke dalam tubuh manusia melalui fecal-oral, yaitu kebanyakan melalui
makanan yang terkontaminasi kuman. Bakteri tersebut tahan terhadap asam
yang terdapat dalam lambung. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam
lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus dan berkembang biak. Bila
respon imunitas humoral mukosa IgA usus kurang baik maka kuman akan
menembus sel-sel epitel terutama sel M dan selanjutnya ke lamina propia. Di
lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit
terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam
makrofag dan selanjutnya dibawa ke plaque peyeri ileum distal dan kemudian
ke kelenjar getah bening mesenterika (Sudoyo, 2010).
Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam
makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia
pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial
tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-
sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan
selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi yang mengakibatkan
bakterimia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala
penyakit infeksi sistemik, seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala dan
sakit perut (Sudoyo, 2010).
Gambar 2.2 Patogenesis Demam Tifoid oleh infeksi S.typhi
Imunitas humoral pada demam tifoid berperan dalam menegakkan
diagnosis berdasarkan kenaikan titer antibodi terhadap antigen kuman
S.typhi. Imunitas seluler berperan dalam penyembuhan penyakit, berdasarkan
sifat kuman yang hidup intraselluler. Adanya rangsangan antigen kuman akan
memicu respon imunitas humoral melalui sel limfosit B, kemudian
berdiderensiasi menjadi sel plasma yang akan mensintesis immunoglobulin
(Ig). Yang terbentuk pertama kali pada infeksi primer adalah antibodi O
(IgM) yang cepat menghilang, kemudian disusul antibodi flagela H (IgG).
IgM akan muncul 48 jam setelah terpapar antigen, namun ada pustaka lain
yang menyatakan bahwa IgM akan muncul pada hari ke 3-4 demam
(Rustandi, 2010).

E. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika
dibanding dengan penderita dewasa. Masa inkubasi rata-rata 10 – 20 hari.
Setelah masa inkubasi maka ditemukan gejala prodromal, yaitu perasaan
tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat. Gejala-
gejala klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat,
dari asimptomatik hingga gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi
hingga kematian. Adapun gejala klinis yan biasa ditemukan yaitu (Sudoyo,
2010) :

1. Demam
Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung lebih dari 7 hari, dapat
berlangsung selama 3 minggu. Karakter demam tifoid adalah demam
remiten dengan suhu tidak terlalu tinggi. Selama minggu pertama, suhu
tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari, biasanya menurun pada
pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam minggu
kedua, penderita terus berada dalam keadaan demam. Dalam minggu
ketiga suhu tubuh berangsur-angsur turun dan normal kembali pada akhir
minggu ketiga.
2. Ganguan pada saluran pencernaan
Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap. Bibir kering dan pecah-
pecah (ragaden) . Lidah ditutupi selaput putih kotor (coated tongue), ujung
dan tepinya kemerahan, dapat diertai tremor. Pada abdomen mungkin
ditemukan keadaan perut kembung (meteorismus). Hati dan limpa
membesar disertai nyeri pada perabaan. Gejala gastrointestinal pada kasus
demam tifoid sangat bervariasi. Pasien dapat mengeluhkan adanya diare,
konstipasi atau didahului dengan konstipasi dan dilanjutkan dengan diare.
3. Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam,
yaitu apatis sampai somnolen. Jarang terjadi sopor, koma atau gelisah
kecuali terjadi komplikasi lebih lanjut.
Menurut WHO, manifestasi klinis demam tifoid dibagi 2 yaitu
(Manangazira et al, 2011):
1. Penyakit akut tanpa komplikasi
Demam tifoid akut mempunyai karakteristik yaitu demam dalam jangka
waktu lama, gangguan saluran cerna (konstipasi pada dewasa dan diare
pada anak-anak), sakit kepala, malaise, dan anoreksia. Batuk (bronkitis)
sering terjadi pada awal fase penyakit.
2. Penyakit dengan komplikasi
Demam tifoid akut dapat menjadi berat. Sebanyak 10% penderita demam
tifoid akut dapat berkembang menjadi komplikasi serius. Apabila
komplikasi serius pada jaringan limfoid usus maka akan ditemukan
perdarahan pada tinja pada 10-20% pasien. Pada 3% penderita dengan
komplikasi serupa terdapat temuan melena ataupun perforasi usus. Rasa
nyaman pada bagian abdominal akan terus berkembang dan meningkat.
Apabila terjadi perforasi usus ataupun peritonitis akan diikuti dengan
peningkatan denyut nadi secara tiba-tiba disertai dengan hipotensi, ditandai
dengan nyeri perut, nyeri lepas, serta nyeri alih dan selanjutnya perut kaku.
Pada pemeriksaan hitung jenis leukosit akan menunjukan adanya
pergeseran ke arah kiri. Pada pemeriksaan radiologi ditemukan adanya
udara bebas pada bagian abdomen.

F. Penegakkan Diagnosis
1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Penegakkan diagnosis pasti dari demam tifoid adalah berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan fisik yang menunjukkan tanda dan gejala klinis
yang khas dari demam tifoid, serta pemeriksaan penunjang berupa biakan
Salmonella typhi. Hasil anamnesis menunjukkan keluhan yang dialami oleh
pasien, dapat berupa demam remiten yang terjadi 7 hari atau lebih, disertai
gangguan gastrointestinal, dengan atau tanpa terjadinya penurunan
kesadaran. Hasil pemeriksaan fisik menunjukkan hasil yang mendukung
anamnesis, berupa tingkat kesadaran (dapat atau tanpa penurunan
kesadaran), suhu tubuh yang meningkat (jika terjadi penurunan suhu tidak
mencapai normal), terdapat lidah kotor yang mana tepi lidah tampak
hiperemis dan bagian tengah lidah tampak putih disertai tremor, dapat
disertai hepatosplenomegali, nyeri abdomen, atau ruam kulit. Pemeriksaan
isolasi bakteri Salmonella typhi merupakan gold standard tegaknya
diagnosis, namun untuk mengarahkan diagnosis, pemeriksaan widal dapat
dipergunakan. Sampel yang digunakan untuk pemeriksaan biakan bakteri
Salmonella typhi ialah darah, urin dan tinja. Pemeriksaan darah dapat
dilakukan pada minggu pertama perjalan penyakit, kemudian disusul
dengan pemeriksaan tinja dan urin akan positif pada minggu kedua
(Sudoyo, 2010; WHO, 2003).
2. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dipergunakan untuk membantu menegakkan
diagnosis demam tifoid yaitu:
a. Pemeriksaan darah tepi
Penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah leukosit
normal, bisa menurun atau meningkat, mungkin didapatkan
trombositopenia dan hitung jenis biasanya normal atau sedikit bergeser
ke kiri, mungkin didapatkan aneosinofilia dan limfositosis relatif,
terutama pada fase lanjut. Penelitian oleh beberapa ilmuwan
mendapatkan bahwa hitung jumlah dan jenis leukosit serta laju endap
darah tidak mempunyai nilai sensitivitas, spesifisitas dan nilai ramal
yang cukup tinggi untuk dipakai dalam membedakan antara penderita
demam tifoid atau bukan, akan tetapi adanya leukopenia dan
limfositosis relatif menjadi dugaan kuat diagnosis demam tifoid
(Hoffman, 2002).
b. Pemeriksaan biakan kuman
Diagnosis pasti ditegakkan dari hasil biakan darah/sumsum tulang (pada
awal penyakit), urin, dan feses. Berkaitan dengan patogenesis penyakit,
maka kuman lebih mudah ditemukan di dalam darah dan sumsum
tulang di awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam
urin dan feses.
1) Biakan Darah
Metode biakan darah mempunyai spesifisitas tinggi (95%) akan
tetapi sensitivitasnya rendah (± 40%) terutama pada anak dan pada
pasien yang sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya.
Pemeriksaan biakan perlu waktu lama (± 7 hari), harganya relatif
mahal dan tidak semua laboratorium bisa melakukannya. S. typhi
bukan satu-satunya bakteri patogen ditemukan dalam darah,
subkultur dilakukan pada hari 1, 2, 3, dan 7 pada agar non-selektif.
Agar terbaik adalah agar darah karena hal ini memungkinkan
pertumbuhan yang paling bakteri patogen. Jika agar darah tidak
tersedia, nutrien agar dapat digunakan dalam kombinasi dengan
agar MacKonkey. Untuk dicurigai demam tifoid, piring subkultur
harus diinkubasi pada 37°C untuk 18-24 jam dalam inkubator aerob
(WHO, 2003).
2) Biakan feses
Feses dapat dikumpulkan dari pasien akut dan sangat berguna
untuk diagnosis demam tifoid. Isolasi S. typhi dari tinja adalah
sugestif demam tifoid. Namun, kondisi klinis pasien harus
dipertimbangkan. Spesimen tinja harus dikumpulkan dalam wadah
plastik steril. Kemungkinan mendapatkan hasil positif meningkat
dengan jumlah tinja yang dikumpulkan. Spesimen sebaiknya
diproses dalam waktu dua jam setelah pengumpulan. Jika ada
penundaan, spesimen harus disimpan dalam lemari pendingin pada
suhu 4°C atau di kotak dengan kemasan freezer dan harus diangkut
ke laboratorium dalam kotak dingin. Kultur feses dapat
meningkatkan hasil kultur positif hingga 5% pada demam tifoid
akut. Meskipun hasil pemeriksaan dengan biakan kultur kuman
negatif, akan tetapi hal tersebut tidak menyingkirkan adanya
demam tifoid. Hasil pemeriksaan kultur dipengaruhi oleh beberapa
hal, yaitu:
- Telah mendapat terapi antibiotik, yang menyebabkan
pertumbuhan bakteri dalam media biakan terhambat.
- Volume darah yang kurang (minimal 5 cc darah).
- Saat pengambilan darah pada minggu pertama, dimana saat itu
aglutinin semakin meningkat.
c. Pemeriksaan serologi
1) Uji Widal
Prinsip uji Widal adalah memeriksa reaksi antara antibodi
yang disebut aglutinin dalam serum penderita yang telah mengalami
pengenceran berbeda-beda terhadap antigen Salmonella typhi
somatik (O) dan flagela (H) yang ditambahkan dalam jumlah yang
sama sehingga terjadi reaksi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang
masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam
serum. Semakin tinggi titernya, semakin besar kemungkinan infeksi
ini. Maksud uji Widal adalah menentukan adanya aglutinin dalam
serum penderita tersangka demam tifoid (Sudoyo, 2010).

Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu


pertama demam, kemudian meningkat secara cepat dan mencapai
puncak pada minggu ke empat dan tetap tinggi selama beberapa
minggu. Reaksi Widal tunggal dengan titer antibodi O 1/160 atau
titer antibodi H 1/320 menunjang diagnosis demam tifoid pada
penderita dengan gejala klinis yang khas. Peningkatan titer 4 kali
setelah satu minggu dapat memastikan demam tifoid.
Interprestasi uji widal harus memperhatikan beberapa faktor
yaitu sensitivitas, stadium penyakit, faktor penderita seperti status
imunitas dan status gizi yang dapat mempengaruhi pembentukan
antibodi, gambaran imunologis dari masyarakat setempat (daerah
endemis atau non-endemis), faktor antigen, teknik, serta reagen yang
digunakan. Uji widal mempunyai keterbatasan nilai diagnostik
karena sulit diinterprestasikan terutama di daerah endemis seperti
Indonesia dan bila pemeriksaan hanya dilakukan satu kali.
Pemeriksaan Widal baru mempunyai nilai diagnostik bila pada
pemeriksaan serum fase konvalesen terdapat peningkatan titer anti O
dan anti H sebanyak empat kali. Uji Widal mempunyai sensitivitas
dan spesifisitas moderat (± 70%), dapat negatif palsu pada 30%
kasus demam tifoid dengan kultur positif.
2) Uji Tubex
Uji Tubex merupakan uji semi-kuantitatif kolometrik yang
cepat (beberapa menit) dan mudah untuk dikerjakan. Uji ini
mendeteksi antibodi anti-S.typhi O9 pada serum pasien, dengan cara
menghambat ikatan antara IgM anti-O9 yang terkonjugasi pada
partikel latex yang berwarna dengan lipopolisakarida S.typhi yang
terkonjugasi pada partikel magnetik latex. Hasil positif uji Tubex ini
menunjukkan terdapat infeksi Salmonellae serogroup D walau tidak
secara spesifik menunjuk pada S.typhi. Infeksi oleh S.paratyphi akan
memberikan hasil negatif (Sudoyo, 2010).

Secara imunologi, antigen O9 bersifat imunodominan


sehingga dapat merangsang respon imun secara independen terhadap
timus dan merangsang mitosis sel B tanpa bantuan dari sel T. Karena
sifat-sifat tersebut, respon terhadap antigen O9 berlangsung cepat
sehingga deteksi terhadap anti-O9 dapat dilakukan lebih dini, yaitu
pada hari ke 4-5 untuk infeksi primer dan hari ke 2-3 untuk infeksi
sekunder. Perlu diketahui bahwa uji Tubex hanya dapat mendeteksi
IgM dan tidak dapat mendeteksi IgG sehingga tidak dapat
dipergunakan sebagai modalitas untuk mendeteksi infeksi lampau
(Sudoyo, 2010). Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunakan 3
macam komponen, meliputi: 1) tabung berbentuk V, yang juga
berfungsi untuk meningkatkan sensitivitas, 2) Reagen A, yang
mengandung partikel magnetik yang diselubungi dengan
antigen S.typhi O9, 3) Reagen B, yang mengandung partikel lateks
berwarna biru yang diselubungi dengan antibodi monoklonal spesifik
untuk antigen O9. Untuk melakukan prosedur pemeriksaan ini, satu
tetes serum (25 μL) dicampurkan ke dalam tabung dengan satu tetes
(25 μL) reagen A. Setelah itu dua tetes reagen B (50 μL)
ditambahkan ke dalam tabung. Hal tesebut dilakukan pada kelima
tabung lainnya. Tabung-tabung tersebut kemudian diletakkan pada
rak tabung yang mengandung magnet dan diputar selama 2 menit
dengan kecepatan 250 rpm. Interpretasi hasil dilakukan berdasarkan
warna larutan campuran yang dapat bervariasi dari kemerahan
hingga kebiruan. Berdasarkan warna inilah ditentukan skor, yang
interpretasinya dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 1. Interpretasi Skor Pemeriksaan Tubex (Sudoyo, 2010)


Skor Interpretasi

<2 Negatif Tidak menunjuk infeksi tifoid aktif

3 Borderline Pengukuran tidak dapat disimpulkan.


Ulangi pengukuran, apabila masih
meragukan lakukan pengulangan
beberapa hari kemudian

4-5 Positif Menunjukkan infeksi tiofid aktif

>6 Positif Indikasi kuat infeksi tifoid

Jika serum tidak mengandung antibodi terhadap O9, reagen B


ini bereaksi dengan reagen A. Ketika diletakkan pada daerah
mengandung medan magnet (magnet rak), komponen magnet yang
dikandung reagen A akan tertarik pada magnet rak, dengan
membawa serta pewarna yang dikandung oleh reagen B. Sebagai
akibatnya, terlihat warna merah pada tabung yang sesungguhnya
merupakan gambaran serum yang lisis. Sebaliknya, bila serum
mengandung antibodi terhadap O9, antibodi pasien akan berikatan
dengan reagen A menyebabkan reagen B tidak tertarik pada magnet
rak dan memberikan warna biru pada larutan (Sudoyo, 2010).

3) Uji Typhidot
Uji typhidot dapat mendeteksi antibodi IgM dan IgG yang
terdapat pada protein membran luar Salmonella typhi. Hasil positif
pada uji typhidot didapatkan 2-3 hari setelah infeksi dan dapat
mengidentifikasi secara spesifik antibodi IgM dan IgG terhadap
antigen S.typhi seberat 50 kD, yang terdapat pada strip nitroselulosa
(Sudoyo, 2010).

Pada kasus reinfeksi, respon imun sekunder (IgG) teraktivasi secara


berlebihan sehingga IgM sulit terdeteksi. IgG dapat bertahan sampai 2 tahun
sehingga pendeteksian IgG saja tidak dapat digunakan untuk membedakan
antara infeksi akut dengan kasus reinfeksi atau konvalesen pada kasus uji
primer. Untuk mengatasi masalah tersebut, uji ini kemudian dimodifikasi
dengan menginaktivasi total IgG pada sampel serum. Uji ini, yang dikenal
dengan nama uji Typhidot-M, memungkinkan ikatan antara antigen dengan
IgM spesifik yang ada pada serum pasien (Sudoyo, 2010).

G. Tatalaksana
Trilogi penatalaksaan demam tifoid adalah (Widodo, 2010) :
1. Istirahat dan perawatan
Tirah baring dan perawatan professional bertujuan untuk mencegah
komplikasi. Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat seperti
makan, minum, mandi, buang air kecil, dan buang air besar akan
membantu dan mempercepat masa penyembuhan. Higienitas pasien sangat
perlu diperhatikan.
2. Diet dan terapi penunjang
Diet memiliki peran penting untuk meningkatkan kekebalan tubuh dan
mempercepat penyembuhan. Diet lunak dapat diberikan pada pasien
demam tifoid untuk mencukupi gizi dan mencegah perforasi usus. Terapi
penunjang yang diberikan menyesuaikan gejala yang muncul pada pasien.
3. Pemberian antimikroba
Lini utama terapi antibiotic adalah kloramfenikol dengan dosis 3-4 x 500
mg per hari sampai 7 hari bebas panas. Kotrimoksasol memilliki
efektivitas yang hampir sama dengan kloramfenikol dengan dosis 2x2
tablet selama 2 minggu. Pilihan antibiotik lain berupa penisilin,
sefalosporin, dan kuinolon juga memiliki efek baik terhadap kesembuhan
demam tifoid.

H. Komplikasi
Menurut Sudoyo (2010), komplikasi demam tifoid dapat dibagi atas
dua bagian, yaitu:
1. Komplikasi Intestinal
a. Perdarahan Usus
Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan
minor yang tidak membutuhkan tranfusi darah. Perdarahan hebat dapat
terjadi hingga penderita mengalami syok. Secara klinis perdarahan akut
darurat bedah ditegakkan bila terdapat perdarahan sebanyak 5
ml/kgBB/jam.
b. Perforasi Usus
Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul
pada minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama.
Penderita demam tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri perut yang
hebat terutama di daerah kuadran kanan bawah yang kemudian
menyebar ke seluruh perut. Tanda perforasi lainnya adalah nadi cepat,
tekanan darah turun dan bahkan sampai syok.
2. Komplikasi Ekstraintestinal
a. Komplikasi kardiovaskuler: kegagalan sirkulasi perifer (syok, sepsis),
miokarditis, trombosis dan tromboflebitis.
b. Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombositopenia, koaguolasi
intravaskuler diseminata, dan sindrom uremia hemolitik.
c. Komplikasi paru: pneumoni, empiema, dan pleuritis.
d. Komplikasi hepar dan kandung empedu: hepatitis dan kolelitiasis.
e. Komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis.
f. Komplikasi tulang: osteomielitis, periostitis, spondilitis, dan artritis.
g. Komplikasi neuropsikiatrik: delirium, meningismus, meningitis,
polineuritis perifer, psikosis, dan sindrom katatonia.

I. Prognosis
Prognosis demam tifoid pada umumnya baik pada tifoid tanpa
komplikasi. Prognosis demam tifoid bergantung pada usia, derajat kekebalan
tubuh, ketepatan dan kecepatan terapi (Kidgell, 2002)
DAFTAR PUSTAKA

Cita, YP., 2011. Bakteri Salmonella typhi dan demam tifoid. Jakarta: Jurnal
Kesehatan Masyarakat.

Hoffman, S.L. 2002. Typhoid Fever. In: Haunter’s tropical medicine, 7th ed.
Philadelphia: WB Saunders Co.

Kidgell, C., Reichard, U., Wain, J., Linz, B., Torpdahl, M., Dougan, G., Achtman,
M., 2002. Salmonella typhi, the causative agent of typhoid fever, is
approximately 50,000 years old. United Kingdom and Denmark: Elsevier
Science.

Manangazira, Dr P, Glavintcheva, Dr I., Gonese, Dr GM., Bara, Dr W.,


Chimbaru, A., Ameda, I. 2011. Guidelines for the management of typhoid
fever. Zimbabwe: WHO.

Rustandi D. Melda S. 2010. Demam Tifoid. Bandung: Universitas Padjajaran.

Sudoyo, AW. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.

Widodo, Djoko. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.

Widoyono, 2011. Penyakit Tropis. Jakarta: Erlangga.

World Health Organization (WHO). 2003. Department of vaccines and


biologicals, Department of communicable disease surveillance and
response, Background document: The diagnosis, treatment and prevention
of typhoid fever. Switzerland: WHO.

Anda mungkin juga menyukai