Anda di halaman 1dari 20

BAGIAN ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI Referat

FAKULTAS KEDOKTERAN Juni 2019


UNIVERSITAS PATTIMURA

Diabetes Melitus Gestasional dan


Pertumbuhan Janin Terhambat

Oleh:
Willy Maun
NIM. 2013-83-038

Konsulen:
dr. Zulaiha Maricar, Sp. OG

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2019

BAB I

PENDAHULUAN
Prevalensi wanita yang didiagnosa diabetes meningkat sepanjang tahunnya.

Peningkatan ini umumnya karena peningkatan DM tipe 2 yang umumnya

ditemukan pada orang gemuk yang sering disebut diabesity. Dengan

meningkatnya prevalensi DM tipe 2 secara umum dan khususnya lagi pada orang

usia muda mengakibatkan kejadian DM dalam kehamilan meningkat.

DM yang tidak terkontrol selama kehamilan mengakibatkan peningkatan risiko

keguguran pada trimester pertama, kelainan bawaan khususnya, kelainan jantung

dan kelainan susunan saraf pusat, peningkatan kematian janin, persalinan

prematur, preeklampsia, ketoasidosis, polihidramniom, makrosomia, trauma

persalinan khususnya kerusakan nervus brakhialis, terlambatnya pematangan paru,

respiratory distress syndrome, ikterus, hipoglikemia, hipokalsemia, peningkatan

kematian perinatal. Risiko jangka panjang meliputi obesitas, DM tipe 2 dan

rendahnya IQ. Pemaparan di dalam rahim karena hiperglikemia maternal

mengakibatkan terjadinya hiperinsulinemia pada janin, yang mengakibatkan

peningkatan sel lemak janin yang akan mengakibatkan obesitas dan resistensi

insulin pada masa anak-anak.

Diabetes Mellitus merupakan salah satu penyulit medik yang sering terjadi selama

kehamilan. Angka kejadian 3-5% dari semua kehamilan.. Peningkatan angka

kematian dan angka kesakitan perinatal pada kehamilan dengan DM berkolerasi

langsung dengan kondisi hiperglikemia pada ibu.

Kelainan bawaan janin saat ini merupakan salah satu penyebab kematian perinatal

pada 10% kasus kehamilan dengan DM tipe 1 dan tipe 2 yang tidak teregulasi
dengan baik. Bayi-bayi dengan makrosomia akan terjadi kelambatan maturasi

paru janin yang akhirnya juga meningkatkan kejadian RDS. Kejadian kematian

janin intrauterin yang terjadi pada kasus-kasus kehamilan dengan DM juga

dikaitkan dengan kondisi hiperglikemia yang berakhir dengan keadaan asidosis

laktat.

Bayi kecil masa kehamilan merupakan masalah tersering dengan morbiditas dan

mortalitas neonatus terutama di negara berkembang. Bayi kecil masa kehamilan

(KMK) disebut juga small for gestational age (SGA) sering disamakan dengan

bayi dengan pertumbuhan janin terhambat (PJT) atau intrauterine growth

restriction (IUGR). Angka mortalitas PJT meningkat 3-8 kali dibandingkan

dengan bayi dengan berat lahir normal. Masalah morbiditas neonatus yang dapat

terjadi termasuk terhambat perkembangan neurologis.

Sekitar dua per tiga PJT berasal dari kelompok kehamilan yang berisiko tinggi,

misalnya hipertensi, perdarahan antepartum, penderita penyakit jantung, dan

kehamilan multipel sedangkan sepertiga lainnya berasal dari kelompok kehamilan

tidak mempunyai risiko. Nutrisi maternal juga berperan penting dalam

pertumbuhan dan perkembangan janin. Beberapa bukti menunjukkan bahwa

pertumbuhan janin yang paling rentan terhadap kekurangan nutrisi maternal

(contohnya, protein dan mikronutrien) adalah selama periode peri-implantasi dan

periode perkembangan plasenta yang cepat.

Kesalahan diagnosis KMK seringkali terjadi akibat kesalahan dalam pencatatan

hari pertama haid terakhir (HPHT) sehingga usia kehamilan tidak jelas, bayi kecil
tapi sehat, cacat bawaan/ kelainan genetik/ kromosom, infeksi intrauterin, dan PJT

itu sendiri. Kurang lebih 80-85% bayi KMK adalah bayi kecil yang sehat, 10-15%

diantaranya barulah PJT yang sesungguhnya dan sisanya (5-10%) adalah janin

dengan kelainan kromosom, cacat bawaan atau infeksi intrauterin.

Perbedaan definisi yang dipakai, kurva standar, ketinggian tempat tinggal, jenis

kelamin dan ras seseorang adalah beberapa hal yang menyebabkan angka kejadian

PJT bervariasi, yaitu 3-10%. Pada penelitian pendahuluan diempat pusat

fetomaternal di Indonesia tahun 2004-2005 didapatkan 571 bayi KMK pada

14.702 persalinan atau rata-rata 4,40%. Paling sedikit di RS Dr. Soetomo

Surabaya 2,08% dan paling banyak di RS Dr. Sardjito Yogyakarta 6,44%.

Secara klinis PJT dibedakan atas 2 tipe yaitu: tipe I (simetris) dan tipe II

(asimetris). Kedua tipe ini mempunyai perbedaan dalam etiologi, terapi, dan

prognosisnya. Cara pemeriksaan klinis untuk mendeteksi PJT (berupa identifikasi

faktor risiko dan pengukuran tinggi fundus uteri) seringkali memberikan hasil

yang kurang akurat. Hal tersebut dibuktikan oleh Campbell dkk yang mencatat

nilai prediksi positif/Positive Predicted Value (PPV) pengukuran tinggi fundus

yang rendah, yaitu 16% dan nilai prediksi negatif/Negative Predicted Value (NPV)

sebesar 20%. Dengan demikian parameter pengukuran tinggi fundus uteri tidak

dapat dijadikan patokan untuk mendiagnosis PJT. Janin dianggap PJT jika dari

pemeriksaan ultrasonografi (USG) didapatkan berat janin khususnya lingkar perut

atau berat janin serial dibawah angka normal untuk usia kehamilan tertentu,

biasanya dibawah persentil 5 atau 10.


Tatalaksana janin KMK dan PJT berfokus waktu terminasi yang tepat. Sejumlah

uji surveilans termasuk kardiotokografi (KTG), USG, dan USG Doppler tersedia

untuk menilai aktivitas biofisik janin, namun didapatkan beberapa variasi dan

kontroversi mengenai uji atau kombinasi surveilans yang seharusnya digunakan

sebelum dilakukan terminasi kehamilan.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
1. Diabetes Melitus Gestasional

Gangguan atau penyakit endokrin seperti diabetes mellitus gestasional dapat

menyebabkan terhambatnya kehamilan atau bahkan sebaliknya. Diabetes mellitus

merupakan gangguan metabolik dengan penyebab yang bervariasi dengan

manifestasi berupa hiperglikemia kronis dan berakibat pada perubahan

metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein. Hal ini disebabkan oleh kelainan

pada sekresi, kerja insulin atau bahkan keduanya.

Diabetes mellitus secara umum terbagi atas:

1. Diabetes mellitus tipe 1, yaitu defisiensi insulin yang absolut akibat destruksi

sel penghasilnya.
2. Diabetes mellitus tipe 2, yaitu sangat berkurangnya sekresi insulin karena

adanya resistensi insulin.


3. Tipe spesifik lainnya, yang disebabkan karena faktor genetik, penyakit

eksokrin pankreas, atau obat-obatan.

4. Diabetes mellitus gestasional (DMG).

Terdapat dua perempuan hamil dengan diabetes, yaitu adanya diabetes yang sudah

diketahui sebelum perempuan tersebut hamil (pregestasional) dan diabetes yang

baru diketahui setelah perempuan tersebut hamil (gestasional).

Definisi dan Komplikasi


Diabetes mellitus gestasional adalah intoleransi glukosa yang terjadi sewaktu

masa kehamilan. Setelah ibu melahirkan, kadar glukosa akan kembali ke kadar

yang normal.

Komplikasi dapat terjadi pada ibu maupun janin akibat diabetes mellitus. Risiko

terjadinya preeklampsia, seksio sesarea dan diabetes mellitus tipe 2 akan

meningkat pada ibu. Sedangkan, pada janin dapat terjadi makrosomia, trauma

persalinan, hiperbilirubinemia, hipoglikemia, hipokalsemia, polisitemia, sindrom

distress respirasi hingga mortalitas.

Insidensi

Di Amerika pada tahun 2002 terdapat lebih dari 131.000 perempuan hamil yang

mengalami komplikasi diabetes mellitus. Jumlah ini merupakan 3,3% dari seluruh

kelahiran hidup dan lebih dari 90% mengalami diabetes mellitus gestasional.

Tingginya penderita diabetes mellitus tipe 2 pada usia muda berbanding lurus

dengan terjadinya diabetes mellitus selama kehamilan. Prevalensi diabetes

mellitus pada tahun 2025 diperkirakan dapat mencapai 380 juta.

Patofisiologi

Resistensi insulin dan hiperinsulinemia merupakan faktor predisposisi terjadinya

DM selama masa kehamilan. Resistensi ini berasal dari hormon diabetogenik hasil

sekresi plasenta seperti hormon pertumbuhan, corticotropine releasing hormone,

placental lactogen, dan progesteron. Hormon tersebut dan adanya perubahan

endokrinologi dan metabolik menyebabkan perubahan dan transpor nutrisi ke

janin. Keadaan diabetes mellitus disebabkan oleh inadekuatnya fungsi pankreas

pada keadaan resistensi insulin.


Bayi yang lahir dari ibu dengan DM biasanya lebih besar dan dapat terjadi

pembesaran pula organ-organnya, seperti hepar, kelenjar adrenal, dan jantung.

Hipoglikemia pada bayi sewaktu dilahirkan dapat terjadi karena adanya

peningkatan produksi insulin janin sebagai respon terhadap tingginya kadar

glukosa ibu.

Diagnosis dan Skrining Diabetes Melitus Gestasional

Pemeriksaan beban 50 g glukosa pada kehamilan 24-28 minggu merupakan

skrining awal diabetes mellitus gestasional. Pada pemeriksaan ini pasien tidak

dipuasakan. Kadar glukosa serum atau plasma yang normal harus kurang dari 130

mg/dl (7,2 mmol/l) atau kurang dari 140 mg/dl (7,8 mmol/l). Sensitivitas tes akan

meningkat (80-90%) dan nilai spesifisitasnya menurun apabila nilai rujukan yang

digunakan 130 mg/dl atau <140 mg/dl. Keadaan tersebut berbanding terbalik

apabila nilai rujukan yang digunakan adalah 140 mg/dl atau lebih. Nilai rujukan

130 mg/dl akan meningkatkan kasus diabetes mellitus gestasional, yang artinya

meningkatkan hasil positif palsu. Oleh karena itu, nilai rujukan yang dapat dipakai

yaitu 130 mg/dl dan 140 mg/dl.

Hasil tes satu jam yang abnormal harus dilanjutkan dengan pemeriksaan beban

100 g glukosa. Dalam tiga hari, pasien dianjurkan diet yang tidak ketat, kemudian

dilakukan pemeriksaan darah puasa (darah vena) dan setelah 1, 2, serta 3 jam

pemberian 100 g glukosa. Selama pemeriksaan pasien dianjurkan tetap duduk dan

tidak boleh merokok.

Kriteria the National Diabetes Data Group (NDDG) sering digunakan sebagai

rujukan dalam menilai tes toleransi glukosa oral 3 jam pada perempuan hamil.
Tabel 1. Kriteria hasil abnormal paska pemberian 100 gram glukosa pada tes
toleransi glukosa oral tiga jam pada perempuan hamil
Darah National Diabetes Data Group
Puasa 105 mg/dl (5,8 mmol/l)
1 jam 190 mg/dl (10,5 mmol/l)
2 jam 165 mg/dl (9,2 mmol/l)
3 jam 145 mg/dl (8,0 mmol/l)
Ket.: diagnosis diabetes mellitus gestasional ditegakkan apabila terdapat 2 atau
lebih nilai abnormal penilaian kadar glukosa serum atau plasma.

Terdapat cara lain, yaitu dengan menggunakan beban glukosa 75 gram. Apabila

nilai glukosa yang diperiksa >140 mg/dl dapat didiagnosis mengalami diabetes

mellitus gestasional. Selain itu, kadar glukosa >200 mg/dl mengindikasikan

adanya DM yang berat.

Implikasi Antepartum

Hipertensi dapat terjadi selama masa kehamilan pada perempuan hamil dengan

DM. Oleh karena itu, observasi tekanan darah, kenaikan berat badan dan ekskresi

proteinuria pada trimester kedua perlu diawasi. Diagnostik secara klinis hingga

penatalaksanaan hipertensi dapat diaplikasikan pada perempuan hamil dengan

DM.

Kelainan kongenital pada janin ialah dampak lain yang sering terjadi pada

diabetes mellitus gestasional, biasanya pada ibu dengan kadar glukosa puasa >120

mg/dl (6,7 mmol/l). Konseling dan pemeriksaan USG yang rutin diperlukan dalam

mendeteksi adanya kelainan janin.

Kematian janin intrauterin merupakan dampak yang paling parah dari DM

gestasional, khususnya yang tidak dikelola dengan baik. Perlu diberikan rujukan
ke fasilitas pelayanan kesehatan lanjut guna memantau gerakan janin dan

pemeriksaan kardiotokografi.

Berat badan janin lebih dari 4.000 gram atau makrosomia paling sering ditemukan

dan dapat menyebabkan timbulnya kesulitan dan trauma pada saat persalinan.

Makrosomia dapat terjadi karena adanya kadar glukosa janin yang melebihi nilai

normalnya akibat hiperglikemia pada ibu, selain adanya faktor lain seperti ibu

yang gemuk, ras, dan etnis.

Pengelolaan

Tujuan dilakukannya pengelolaan pasien dengan diabetes mellitus gestasional

ialah untuk mencapai kadar glukosa sebelum makan (preprandial) <95 mg/dl (5,3

mmol/l) dan 1 hingga 2 jam sesudah makan (post-prandial) <140 dan <120 mg/dl

(7,8 dan 6,7 mmol/l).

Pengaturan pola makan diatur dengan cara membatasi asupan karbohidrat

maternal 40-50% dari keseluruhan kalori, protein 20%, lemak 30-40% (lemak

jenuh <10%) dan diet tinggi serat. Kenaikan berat badan selama kehamilan

diusahakan hanya 11-12,5 kg saja. American Diabetes Association menganjurkan

kalori dan gizi yang diberikan per hari haruslah adekuat (30 kkal per kgBB

normal) untuk memenuhi kebutuhan kehamilan, namun mengurangi hiperglikemi

ibu.

Ibu hamil dengan indeks massa tubuh (IMT) >30 kg/m 2, dianjurkan untuk diet

rendah kalori 30-33% (25 kkal per kgBB) untuk mencegah terjadinya ketonemia.

Olahraga ringan juga diperlukan dalam mengontrol kadar glukosa ibu hamil.

Pemberian Insulin
Dosis insulin yang diberikan pada ibu hamil dengan DM berbeda satu dengan

yang lainnya. Kadar postprandial yang diinginkan ialah <140 mg/dl dengan

mengobservasi keadaan janin. Hal ini jauh lebih baik dibandingkan kadar

preprandial yang ingin dicapai <105 mg/dl, akan tetapi tidak memperhatikan

keadaan janin. Biasanya kadar preprandial yang ingin dicapai ialah 80 mg/dl (4,4

mmol/l) untuk menurunkan angka makrosomia dengan mempertimbangkan

ketepatan waktu pengukuran glukosa, konsentrasi target glukosa, dan karakteristik

pertumbuhan janin.

Metformin dan sulfonilurea merupakan golongan obat hiperglikemia oral yang

dapat digunakan pula untuk mengendalikan kadar glukosa.

Penatalaksanaan Antepartum

Tujuan dilakukannya penatalaksanaan antepartum pada ibu hamil dengan DM

gestasional, yaitu:

1. Mencegah bayi lahir mati atau asfiksia pada trimester ketiga dan menekan

angka morbiditas ibu atau janin akibat persalinan.


2. Mengobservasi pertumbuhan janin secara berkala dan berkelanjutan

(menggunakan USG) untuk menentukan saat dan cara persalinan yang tepat.
3. Menilai maturitas paru-paru janin apabila ingin dilakukan terminasi dengan

sectio cesarea pada kehamilan 39 minggu.


4. Pemeriksaan antenatal untuk melakukan non-stress test, profil biofisik, dan

indeks cairan amnion.

Cara dan Waktu Persalinan


Perempuan hamil dengan DM bukan merupakan indikasi dilakukannya sectio

cesarea. Cara persalinan harus tetap berdasar pada indikasi ibu dan janin

(perempuan hamil tanpa diabetes).

Komplikasi saat persalinan yang dapat terjadi yaitu trauma kelahiran seperti

distosia bahu, fraktur tulang, dan cedera pleksus brakialis. Bayi juga dapat

mengalami hipoglikemia dan kelainan metabolik lainnya.

Indikasi dilakukannya terminasi baik dengan induksi persalinan atau sectio

cesarea didasarkan atas pertimbangan terjadinya morbiditas hingga mortalitas

paska persalinan berkaitan dengan makrosomia, distosia bahu, gawat janin, dan

sindrom distress pernafasan. Induksi persalinan pada perempuan hamil dengan

DM (memperoleh terapi insulin) saat usia kehamilan mencapai 38 minggu

bermanfaat untuk menurunkan berat badan janin >4000 gram atau di atas persentil

ke 90. Sectio cesarea dapat dilakukan pada janin dengan berat badan >4500 gram.

Pengelolaan Paska Persalinan

Hal-hal yang perlu diperhatikan, antara lain:

1. Jarang diperlukan insulin karena tidak lagi terjadi resistensi insulin


2. Kadar glukosa akan terkontrol dengan diet yang baik. Akan tetapi, pada pasien

yang memperoleh terapi insulin selama dirawat, perlu diperiksa kadar glukosa

puasa dan 2 jam post-prandial sebelum meninggalkan rumah sakit.


3. Untuk menurunkan risiko terjadinya diabetes mellitus tipe 2 paska persalinan,

6 minggu setelahnya dapat dilakukan pemeriksaan glukosa puasa dalam dua

waktu atau 2 jam paska pemberian 75 gram glukosa pada tes toleransi glukosa

oral (<140 mg/dl: normal; 140-200 mg/dl: toleransi glukosa terganggu; 200
mg/dl: diabetes mellitus). Apabila kadar glukosa normal, evaluasi dapat

dilakukan tiga tahun kemudian.


4. Skrining berkala lebih diutamakan pada pasien yang sewaktu hamil kadar

glukosa puasanya meningkat.


5. Pemberian ASI menjadi penting untuk dilakukan guna mengontrol kadar

glukosa.
6. Rencana pemakaian kontrasepsi dapat dianjurkan karena risiko terjadinya

diabetes mellitus pada kehamilan berikutnya.


7. Perempuan hamil dengan obesitas dianjurkan untuk menurunkan berat badan

melalui diet dan olahraga yang teratur paska persalinan.

2. Pertumbuhan Janin Terhambat (intrauterine growth restriction)

Definisi

Pertumbuhan janin terhambat (PJT) dimaksudkan sebagai berat janin kurang dari

10% berat badan seharusnya pada usia kehamilan tertentu. Disebut terhambat

apabila dalam dua minggu tidak terjadi pertumbuhan. Akan tetapi, tidak semua

PJT dapat dikaitkan dengan adanya proses patologik atau hipoksik, karena sekitar

25-60% kasus berkaitan dengan karakteristik etnis dan ciri fisik orang tua.

Penyebab

Kelainan atau cacat janin sebaiknya ditentukan pada usia kehamilan 16-20

minggu. Apabila ada indikasi, dapat dievaluasi apakah terdapat kelainan genetik

atau penyebab lain. Terdapat berbagai penyebab pertumbuhan janin terhambat,

antara lain:

- Hipertensi dalam kehamilan


- Gemeli
- Anomali janin/trisomi
- Sindrom antifosfolipid
- Sistemik lupus eritematosus
- Infeksi seperti rubella, sifilis, cytomegalovirus
- Penyakit jantung
- Asma
- Gaya hidup: merokok, narkoba
- Kekurangan gizi; ekonomi rendah

Patologi

Perkembangan plasenta yang abnormal menyebabkan gangguan pada sirkulasi

uteroplasenta sehingga transpor oksigen, nutrisi, dan pengeluaran metabolit

menjadi inadekuat. Akibatnya, timbul PJT yang ditandai dengan lingkar perut

yang jauh lebih kecil dibandingkan lingkar kepala. Pada keadaan lanjut, dapat

terjadi kerusakan di tingkat sel (nukleus dan mitokondria).

Hipoksia menyebabkan banyaknya radikal bebas di plasenta, namun tidak

diimbangi dengan antioksidan yang adekuat sehingga keadaan PJT dapat menjadi

lebih buruk. Salah satu penelitian dengan melakukan pemeriksaan gas darah pada

PJT menemukan bahwa terjadi asidosis, hiperkapnia, hipoglikemia, dan

eritroblastosis pada janin dengan kelainan tersebut.

Mortalitas pertumbuhan janin terhambat yang asimetrik lebih banyak

dibandingkan simetrik, padahal kasus PJT yang asimetrik hanya 20% dari seluruh

kasus (8.722 kasus) PJT di Amerika. Penyebab PJT simetrik yaitu faktor janin

(kelainan genetik/aneuplodi/trisomi 21, 13, dan 18) atau lingkungan uterus yang

tidak mendukung, misalnya pada ibu dengan diabetes dan hipertensi.

Diagnosis

Diagnosis klinis pertumbuhan janin terhambat dinilai setelah 28 minggu usia

kehamilan. Akan tetapi, kelainan tersebut dapat dinilai lebih awal melalui
ultrasonografi (USG) dengan biometri dan taksiran berat janin dapat ditentukan

apakah berat badannya sesuai dengan usia kehamilan. Pemeriksaan tinggi fundus

uteri (dalam sentimeter) biasanya akan sesuai dengan usia kehamilan. Apabila

lebih rendah dari 3 cm, dapat dicurigai adanya PJT (sensitivitas 40%). Penelitian

oleh Smith dkk pada 4.229 kasus menemukan bahwa pertumbuhan yang berada di

bawah optimal sejak trimester pertama berkaitan dengan kelahiran preterm dan

pertumbuhan janin terhambat.

Aspek biometri seperti lingkar abdomen dan diameter biparietal yang tidak

bertambah setelah 2 minggu dapat mengindikasikan adanya pertumbuhan janin

yang terhambat.

Pemeriksaan Doppler arus darah arteri umbilikal dan arteri uterina dapat menjadi

salah satu cara menilai apakah dapat terjadi PJT.

Tabel 2. Jenis pembuluh darah dan indikator


Pembuluh darah Resistensi indeks
Arteri uterina Lekukan (notching) diastolik + RI >0,55 atau RI

>0,7 tanpa lekukan


Arteri umbilikalis SD (standar deviasi) >3 (setelah usia kehamilan 30

minggu)

Evaluasi cairan amnion juga dapat digunakan untuk menilai keadaan janin.

Jumlah cairan amnion yang normal menandakan fungsi sirkulasi janin cenderung
baik. Akan tetapi, pada keadaan oligohidramnion dapat terjadi keadaan

sebaliknya.

Manajemen

Penilaian arus darah arteri umbilikal dan usia gestasi menjadi penting diperhatikan

sebelum dilakukan terminasi. Arteri umbilikal yang tidak memiliki arus diastolik

(absent diastolic flow) disertai arus terbalik (reverse flow) memiliki prognosis

buruk berupa kematian janin <1 minggu. Usia gestasi optimal dalam melakukan

terminasi ialah 33-34 minggu dengan terlebih dahulu dilakukan maturitas paru-

paru. Hipoksia pada janin dapat dideteksi dengan kardiotokografi yang ditandai

dengan adanya deselerasi lambat denyut jantung. Skor fungsi dinamik janin

plasenta untuk menilai PJT dengan profil biofisik dapat menentukan terminasi

kehamilan.

Tabel 3. Skor fungsi dinamik janin plasenta


Skor 2 Skor 0
Hasil NST Reaktif Non reaktif
NST + stimulasi Akselerasi Tanpa akselerasi

akustik
Gerak nafas + -
SD arteri umbilikal ≤3 >3
Indeks cairan amnion ≥ 10 < 10
Ket.: kurangi dengan 2 pada PJT dan deselerasi lambat

Penggunaan stimulasi akustik penting untuk membangunkan janin yang tidur

sehingga meningkatkan sensitivitas dan menghindari hasil positif palsu. Nilai


maksimum yang dapat diperoleh ialah 10 yang menandakan janin dalam keadaan

baik. Apabila nilai <6, dapat dicurigai adanya asidosis (sensitivitas 80%,

spesifisitas 89%) sehingga dapat direncanakan tindakan seksio cesarea.

Sebaliknya, apabila nilai ≥6 dapat dilakukan induksi persalinan.

Oligohidramnion dapat menyebabkan kompresi tali pusat atau insufisiensi

plasenta (deselerasi lambat) sehingga berisiko bagi janin dengan asidosis

(pemeriksaan gas darah tali pusat). Oleh karena itu, dapat dilakukan seksio

sesarea.

BAB III

PENUTUP

Secara rasional pengelolaan kehamilan yang dicurigai PJT dapat dimulai dari

tindakan untuk menghilangkan faktor risiko seperti infeksi, kekurangan nutrisi,

pengobatan hipertensi, mencegah atau menghilangkan kebiasaan merokok,

dan sebagainya.

Berbagai upaya intervensi telah dicoba namun hasilnya belum dapat

direkomendasikan secara ilmiah, seperti terapi oksigen, nutrisi, rawat inap di RS,
bed rest, betamimetik, calcium channel blockers, terapi hormon, plasma

ekspander, pemberian aspirin, dan sebagainya. Pemberian kortikosteroid pada

kehamilan 24-36 minggu dapat menurunkan kejadian sindroma distres pernafasan

(RDS).

Pemantauan kesejahteraan janin dapat dilakukan dengan Doppler USG, KTG dan

profil biofisik. Terminasi kehamilan dilakukan apabila ditemukan gambaran

Doppler yang abnormal (AEDF/REDF, A/R Ductus Venosus flow, pulsasi

v.umbilikalisis), KTG dan profil biofisik yang abnormal.

Apabila kehamilan akan diakhiri pada janin prematur, pilihannya adalah seksio

sesaria. Pada janin aterm, induksi persalinan pervaginam dapat dilakukan dengan

pemantauan intrapartum yang kontinyu. Belum tersedia data yang cukup untuk

merekomendasikan seksio efektif pada semua janin dengan PJT.

Apabila Doppler a. umbilikalis memperlihatkan gambaran ARED atau OCT

positif gawat janin maka persalinan dengan seksio sesarea merupakan pilihan.

Bila Doppler a. umbilikalis memperlihatkan peninggian nilai PI dengan OCT yang

negatif, maka induksi persalinan pervaginam akan berhasil baik pada 30% kasus.

Dianjurkan agar persalinan dilakukan ditempat pelayanan yang memiliki

fasilitas dan ahli perinatologi/neonatus. Diperlukan pendampingan oleh petugas

yang terampil melakukan resusitasi bayi.


DAFTAR PUSTAKA

1. Saifuddin AB, Rachimhadhi T, Wiknjosastro GH. Ilmu kebidanan

Sarwono Prawirohardjo. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono

Prawirohardjo; 2014.
2. Soelistijo SA, Novida H, Rudijanto A, Soewondo P, Suastika K, Manaf A,

dkk. Konsensus pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di

Indonesia 2015. Jakarta: PB PERKENI; Juli 2015.


3. Purnamasari D, Waspadji S, Adam JMF, Rudijanto A, Tahapary D.

Indonesian clinical practice guidelines for diabetes in pregnancy. Journal

of Asean Federation of Endocrine Societies. Mei 2013; 28(1):1-12.


4. Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia. Pedoman nasional

pelayanan kedokteran: pengelolaan kehamilan dengan pertumbuhan janin

terhambat. Himpunan Kedokteran Feto Maternal; 2016.


5. Tim Fetomaternal FK-UNAIR. Panduan penatalaksanaan kehamilan

dengan diabetes mellitus. Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia;

2016.

Anda mungkin juga menyukai