Anda di halaman 1dari 36

TUGAS MATA KULIAH

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


SUMBER AJARAN ISLAM

DISUSUN OLEH :
ARI BUDI PRASETYO (135061100111014)
DANING KINANTI SUTAMA (135061100111022)
MOCHAMMAD WAHYU M (135061100111028)

PROGRAM STUDI TEKNIK KIMIA


UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2013
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang.


Islam sebagai agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk Indonesia, tentu
sangat berpengaruh terhadap pola hidup bangsa Indonesia. Perilaku pemeluknya
tidak lepas dari syari'at yang dikandung agamanya. Melaksanakan syari'at agama
yang berupa hukum-hukum menjadi salah satu parameter ketaatan seseorang
dalam menjalankan agamanya. Ada beberapa kata yang harus diberikan
penjelasan dari judul di atas, yaitu: hukum islam (pengertian, sumber, prinsip, dan
fungsi), penerapan hukum islam, dan kontribusi umat islam. Kata hukum yang
dikenal dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab hukum yang berarti
putusan(judgement) atau ketetapan (provision). Dalam buku Ensiklopedi Hukum
Islam, hukum berarti menetapkan sesuatu atas sesuatu atau
meniadakannya. Sementara dalam A Dictionary of Law dijelaskan tentang
pengertian hukum sebagai berikut "Law is the enforceable body of rules that
govern any society or one of the rules making up the body of law, such as Act of
Parliament." Hukum adalah suatu kumpulan aturan yang dapat dilaksanakan
untuk mengatur/memerintah masyarakat atau aturan apa pun yang dibuat sebagai
suatu aturan hukum seperti tindakan dari Parlemen."
Bagi kalangan muslim, jelas yang dimaksudkan sebagai hukum adalah Islam,
yaitu keseluruhan aturan hukum yang bersumber pada AIquran, dan untuk kurun
zaman tertentu lebih dikonkretkan oleh Nabi Muhammad dalam tingkah laku
Beliau, yang lazim disebut Sunnah Rasul. Sementara itu Rifyal
Ka'bah mengemukakan bahwa hukum Islam adalah terjemahan dari istilah Syari'at
Islam (asy-syari'ah al-lslamiyyah) atau fiqh Islam (alfiqh al- Islami). Syariat Islam
dan fiqh Islam adalah dua buah istilah otentik Islam yang berasal dari
perbendaharaan kajian Islam sejak lama. Kedua istilah ini dipakai secara bersama-
sama atau silih berganti di Indonesia dari dahulu sampai sekarang dengan
pengertian yang kadangkadang berbeda, tetapi juga sering mirip. Hal ini sering
menimbulkan kerancuan-kerancuan di kalangan masyarakat bahkan di antara para
ahli. Kaidah-kaidah yang bersumber dari Allah SWT kemudian lebih
dikonkretkan diselaraskan dengan kebutuhan zamannya
rnelalui ijtihad atau penemuan hukum oleh para mujtahid dan pakar di bidangnya
masing-masing, baik secara perorangan maupoun kolektif.

1.2. Rumusan Masalah.


Berdasarkan latar belakang permasalahan yang ada maka dikemukakan
perumusan masalah sebagai berikut ini :
1. Apa Pengertian Hukum Islam ?
2. Apa saja Sumber – Sumber Hukum Islam ?
3. Apa saja Prinsip dan Tujuan Hukum Islam ?
4. Apakah Fungsi Hukum Islam dalam Kehidupan Masyarakat ?
5. Bagaimana Penerapan Hukum Islam dalam Kehidupan Masyarakat ?
6. Apa Kontribusi Umat Islam dalam Perumusan Sistem Hukum Nasional ?

1.3. Tujuan Penulisan.


Adapun tujuan yang ingin dicapai, adalah :
1. Untuk mengetahui pengertian hukum islam
2. Untuk mengetahui sumber – sumber hukum islam
3. Untuk mengetahui prinsip dan tujuan hukum islam
4. Untuk mengetahui fungsi hukum islam dalam kehidupan masyarakat
5. Untuk mengetahui penerapan hukum islam dalam kehidupan masyarakat
6. Untuk menambah wawasan tentang kontribusi umat islam dalam perumusan
sistem hukum nasional
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Hukum Islam
Hukum adalah seperangkat norma atau peraturan-peraturan yang mengatur
tingkah laku manusia, baik norma atau peraturan itu berupa kenyataan yang
tumbuh dan berkembang dalam masyarkat maupun peraturana atau norma yang
dibuat dengan cara tertentu dan ditegakkan oleh penguasa. Bentuknya bisa berupa
hukum yang tidak tertulis, seperti hukum adat, bisa juga berupa hukum tertulis
dalam peraturan perundangan-undangan. Hukum sengaja dibuat oleh manusia
untuk mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan harta benda.
Sedangkan hukum Islam[4] adalah hokum yang bersumber dan menjadi bagian
dari agama Islam. Konsepsi hukum islam, dasar, dan kerangka hukumnya
ditetapkan oleh Allah. Hukum tersebut tidak hanya mengatur hubungan manusia
dengan manusia dan benda dalam masyarakat, tetapi juga hubungan manusia
dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia dengan dirinya sendiri,
hubungan manusia dengan manusia lain dalam masyarakat, dan hubungan
manusia dengan benda alam sekitarnya.
Sebagai sistem hukum, hukum Islam berbeda dengan sistem hukum lain,
yang pada umumnya terbentuk dan berasal dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat
dan hasil pemikiran manusia serta budaya manusia pada suatu tempat dan masa.
Hokum Islam tidak hanya merupakan hasil pemikiran yang dipengaruhi
kebudayan manusia di suatu tempat dan masa, tapi pada dasarnya ditetapkan
Allah melalui wahyu-wahyuNya, yang terdapat dalam Al-Quran dan dijelaskan
oleh nabi Muhammad sawsebagai rasulNya melalui sunah-sunah beliau yang kini
pun tehimpun dalam kitab-kitab hadits. Dasar inilah yang membedakan hokum
Islam secara fundamental dengan hukum-hukum lain yang semata-mata lahir dari
kebiasaan dan hasil pemikiran atau buatan manusia. Hokum islam
diperkenalkandengan berbagai istilah yang saat ini telah popular di lingkungan
umat Islam. Ada istilah syariat, hokum syara, maupun fiqih. Bagi setiap umat
Islam selayaknya memahami ketiga istilah tersebut, agar memiliki wawasan yang
cukup mengenai wilayah dan cukupan-cakupan ilmu agama islam.
Syariat adalah segala sesuatu yang ditetapkan oleh Allah swt. Bagi
hamba-hambaNya yang dibawa oleh para Nabi Allah termasukNabi Muhammad
saw. Baik yang berkaitan dengan teknik suatu aml perbuatan (yang kemudian
tersusun dalam ilmu fiqih), maupun persoalan-persoalan kepercayaan dan
keimanan (yang kemudian tersusun dalam ilmu kalam). Istilah syariat ini sering
pula disebut dengan istilah ad-diin dan al-millah (agama). Adapula yang
mendefinisikan syariat dengan pengertian segala sesuatu yang Allah SWT bagi
hambaNya yaitu agama, atau segala sesuatu yang telah ditunjukkan jalanNYa oleh
Allah, berupa agama dan segala perintah-perintahNya seperti puasa, shalat, haji,
zakat, dan segenap amal kebaikan. Dari uraian di atas tampak bahwa istilah
syariah mencakupi yang di ajarkan dan ditetapkan oleh Allah melalui nabiNya,
baik yang berkaitan dengan masalah teologi (keyakinan), masalah ritual
(peribadatan), masalah social (kemasyarakatan), maupun moral (etika).
Hukum syara’ adalah firman Allah yang mengikat (mengatur) tindakan-
tindakan orang mukallaf (orang Islam yang telah layak menerima hak dan
kewajiban hukum) baik yang berupa tuntutan, pilihan, maupun penetapan.
Hukum syara dibagi menjadi 2 bagian:
1. Al-hukmu at-taklifiy (hokum yang bersifat pembebanan ),menurut mayoritas
ulama ada 5 tingkatan:
 Ijab/ wajib (kewajiban), yaiti suatu perbuatan jika dilakukan mendapat imbalan
phala dan kalau ditinggalkan akan mendapat siksa dan dosa.
 Sunnah/ mandub (anjuran), yaitu suatu perbuatan jika dilakukan mendapat imbalan
tetapi jika ditinggalkan tidak memiliki resiko berdosa.
 Ibahah/ mubah (kebolehan), yaitu suatu pernuatan jika dikerjakan mauoun
ditinggalkan tidak mengandung konsekuensi pahala ataupun dosa.
 Karahah/ makruh (kebencian/ keterpaksaan), yaitu perbuatan jika ditinggalkan
akan mendapatkan imbalan pahala dan jika dikerjakan tidak beresiko siksa dan
dosa.
 Tahrim/ haram (larangan) yaitu suatu perbuatan jika dikerjakan akan mendapat
siksa dan dosa, dan jika ditinggalkan akan dapat imbalan paahala.
2. Al-hukmu al-wadl’iy (hukum yang bersifat penetapan-penetapan khusus), terdiri
dari ketetapan-ketetapan yang menentukan kberlakuan hokum taklifiy, yaitu:
 As-sabab (sebab), yaitu sesuatu yang ditetapkan oleh Allah sebagai factor
datangnya ketentuan hokum taklifiy, seprti condongnya matahari ke arah barat
menjadi factor datangnya sholat dhuhur; seperti hadinya suatu penyakit atau
kegiaatan bepergian (musafir) menjadi dihapuskannya skewajiban puasa
ramadhan pada hari itu. Jadi, ada hubungan sebab akibat antara datangnya suatu
factor dengan datangnya hokum.
 As-syarath (syarat) yaitu sesuatu yang ditetapkan oleh Allah untuk menjadi factor
bagi keabsahan suatu hokum walaupun tidak memiliki hubungan mutlak sebaab
akibat, seperti akaad nikah yang sah merupakan syarat ditetaapkannya talak/
perceraian karena tidak ada perceraian jika sepasang manusia tidak pernah
maenikah secara sah, dan seoarang yang menikah secara sah, dan seorang yang
menikah secara sah dan tidak selalu berakhir dengan perceraian.
 Al- mani’ (penghalang), ayitu segala seduatu yangt ditetapkan oleh Allah menjadi
penghalang pelaksanaan suatu hukum. Maka jika sesuatu itu ada, secara otomatis
hukum itu tidak berlaku, seperti batalnya hak mewarisi bagi seorang pembunuh
bagi yang dibunuhnya. Dalam hukum waris, seorang anak memperoleh bagian
harta waris dari orang tuanya dalam keadaan apapun juga. Namun hal ini bisa di
anulir jika terbukti ternyata anak tersebut ternyata menjadi pembunuh bagi orang
tuanya. Maka dalam hal ini “membunuh”adalah mani’/ penghalanh untuk
menerima waris.
 Azimah (ketetapan reguler), yaitu ketetapan Allah yang disampaikan kepada
umatnya secara umum dengan tidaka disertai dengan relevansi-relevansi khusus
baiak dalam keadaan tertentu maupun terhadap kelompok tertentu. Seperti shalat
5 waktu dilaksanakan sesuai dengan ketentuan waktu dan jumlah rekaatnya.
 Rukhshah (dipensasi), yaitu ketetapan Allah untuk memberikan dipensasi bagi
umatnya dalam keadaan khusus yang menghajatkan seperti itu. Seperti shalat
dhuhur yang dapat digabung dengan shalat ashar dengan masing- masing dua
rekaat saja (disebut dengan jama’ dan qashar); orang yang sakit memperoleh
dispensasi puasa ramadhan untuk dikerjakan di bulan lainnya saja.
 As-Shihhah (valid/ absah) yaitu ketetapan Allah bagi amalan-amalan yang telah
memenuhi standar kriteria syarat dan rukunnya. Seperti shalat yang dilakukan
sebagaimana syarat dan ketentuan secara lengkap maka shalat itu ditetapkan
sabagai shalat yang sah.
 Al- buthlan (batal) yaitu ketetapan Allah bagi amalan-amalan yang telah memenuhi
ketetentuan syarat dan rukun padahal tidak memiliki dispensasi apapun.
Istilah fiqh didefinisikan denngan pengetahuan tentang hukum-hukum syara
yang bersifat praktis dari dalil-dalil yang terperinci, yang dihasilakan dari rasio
dan ijtihad melalui proses pemikiran dan perenungan. Banyak definisi tentang
fiqh, ada yang menyebutkan bahwa fiqh dengan ilmu pengetahuan tentang hukum
syara’ yang praktis digali dari sumber-sumbernya yang terperinci. Oleh karena itu,
fikih bersifat instrumental, dari ruang lingkupnya terbatas pada hukum yang
mengatur perbuatan manusia, yang disebut dengan perbuatan hukum. Karena fikih
adalah hasil karya manusia, maka ia tidak berlaku abadi dan dapat berubah dari
masa ke masa, dan dapat berbeda dari satu tempat ke tempat yang lain. Hal ini
terlihat dari aliran- aliran hukum yang disebut dengan istilah mazahib atau
mahzab-mahzab. Oleh karena itu, dalam fikih menunjukan keragamandalam
hukum islam. Fikih dalam bahasa indonesia berisi perincian-perincian sdari
syariah karena itu ia dapat dikatakan sebagai elaborasi terhadap syariah.
Elaboarsiyang dimaksud adalah suatu kegiatan ijtihad dengan menggunakan akal
pikiran atau ar-ra’yu.
Yang dimaksud ijtihad[5] adalah usaha atau ikhtiar yang sungguh-sungguh
dengan memprgunakan segenapa kemampuan yang ada, dilakukan oleh orang
(ahli hukum) yang memenuhi syarat untuk mendapat garis hukum yang belum
jelas atau tidak ada ketentuannya dalam al-quran dan sunah Rasulullah. Jika
mempelajari kitab-kitab fikih, mak seseorang akan menemukan pemiikiran para
fukaha antara lain pendiri empat mazhab yang dikenal sampai sekarang masih
berpengaruh dikalanngan umat islam sedunia, yaitu: Abu Hanifah (pendiri
mazhab hanafi), Malik bin Annas (pendiri mazhab Maliki), Muhammad bin Idris
asy Syafi’I (pendiri mazhab Syafi’i), dzan Ahmad bin Hambal (pendiri mazhab
Hambali). Para yuris islam tersebut sangat berjasa bagi perkembangan hokum
islam melalui pemikiran-pe ikiran mereka yang mengagumnkan.
Menurut Tahir Azhary, ada tiga sifat hukum Islam, Dengan sifat ini,
hukum islam mempunyai validitas baik bagi perorangan maupun masyarakat.
Sifat-sifat itu adalah:
 Bidimensional yang artinya menhgandung sehi kemanusiaan dan segi ketuhanan
(illahi) sehingga luas atau komprehensif. Hukum Islam tidak hanya mengatur satu
aspek kehidupan tetapi juga mengatur berbagai aspek kehidupan manusia. Sifat
inilah yang merupakan sifat dasar hukum islam dan merupakan fitrah (sifat asli)
hukum islam.
 Adil, sifat ini merupakan tujuan penetapan hukum islam, dan telah melekat sejak
kaidah-kaidah dalam syariah ditetapkan. Keadilan merupakan sesuatu yang di
dambakan oleh setiapm manusia baik sebagai individu, maupun masyarakat.
 Individualistik, dan kemasyarakatan yang diikat oleh nilai-nilai transdental
yaituwahyu Allah yang di sampaikan kepada nabi Muhammad saw.
2.2. Sumber Hukum Islam
Di dalam hukum islam rujukan-rujukan dan dalil telah ditentukan
sedemikian rupaoleh syariat, mulai dari sumber yang pokok maupun yang
bersifaat alternatif. Sumber tertib hukum Islaam ini secara umumnya dapat
dipahami dalam firaaman Allah dalam QS. An-nisa: 59, “wahai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan taatilalh RasulNyadaan ulil amri di antara kamu. Jika
kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia pada Allah (al
quran) dan Rasul (sunnahnya) jika kamu benar-benar bberiman kapada Allah dan
hari akhir. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik (akibatnya).
Dari ayat tersebut, dap[at diperoleh pemahaman bahwa umat islam dalam
menjalankan hokum agamanya harus didasarkan urutan:
 Selalu menataati Allah dan mengindahkan seluruh ketentuan yang berlaku dalam
alquran.
 Menaati Rasulullah dengan memahami seluruh sunnah-sunnahnya.
 Menaati ulil amri (lembaga yang menguasai urusan umat islam.
 Mengenbalikan kepada alquran dan sunah jika terjadi perbedaan dalam
menetapkan hukum,
Secara lebih teknis umat islam dalam berhukum harus memperhatikan sumber
tertib hukum:
1. Al Quran
2. Sunah atau hadits Rasul
3. Ijtihad
1. Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum Utama
Al-Quran juga di definisikan ialah 'Kalam Allah Swt yang diwahyukan
kepada nabi yang terakhir Muhammad Saw, yang merupakan mukjizat yang
terbesar diberikan Allah Swt terhadap Rasul Saw dan membacanya merupakan
ibadah (pahala).
Dalam al-quran juga disebutkan ada beberapa nama lain Al-quran seperti :
 Al-kitab
 Al-Syifa (obat)
 Al-Huda’ (petunjuk)
 Al-Furqan (pembeda), dan
 Al-Mau’izhah (nasihat).

Artinya, Al-Qur’an adalah kitab yang berisikan petunjuk allah Swt untuk
menjelaskan berbagai hal yang berkaitan dengan kehidupan hambanya,
membedakan antara yang haq dan yang bathil, serta menjadi peringatan, obat dan
rahmat bagi orang-orang yang beriman. Sebagaimana yang telah diwahyukan oleh
Allah Swt dalam QS.Al-Isra’ 82:
“ Dan kamiturunkan dari Al-quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi
orang-orang yang beriman dan Al-quran itu tidaklah menambah kepada orang-
orang yang zalim selain kerugian”.

Al-Qur’an adalah sumber hukum utama dan pertama dalam islam. Karena
setiap muslim wajib berpegang teguh kepada isi kandungan Al-Qur’an dan
menempatka Al-Qur’an sebagai rujukan utama dan pertama dalam menetapkan
suatu hukum Allah SWT berfirman :
Artinya: Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah,
Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS. al-Maidah: 44).

Dalam ayat lain Allah berfirman:


Artinya: Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi
perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu
ketetapan, Akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan
Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah dia telah sesat,
sesat yang nyata. (al- Ahjab: 36).
Kedua ayat ini menegaskan kepada kita untuk selalu berpegang teguh pada
al-qur’an dan hadis sebagai dasar dan sumber hukum-hukum islam dan melarang
kita untuk menetapkan suatu perkara yang tidak sesuai dengan al-qur’an dan hadis
serta dilarang untuk mendurhakai allah dan rasul-Nya.

2. Al-Hadits[6] Sebagai Sumber Hukum Kedua

As-sunnah menurut istilah yang dirumuskan oleh ‘Ulama Hadis adalah


“Segala sesuatu yang diambil dari Nabi Muhammad Saw baik berupa perkataan,
perbuatan maupun taqrir (ketentuan), pengajaran, sifat, kelakuan dan perjalanan
hidup baik yang terjadi sebelum masa kenabian ayau sesudahnya”
Sedangkan menurut ‘ulama Fiqh : “ Segala sesuatu yang diambil dari Nabi
Muhammad Saw baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan(taqrir) yang
mempunyai kaitan dengan hukum “
Berdasarkan pengertian di atas , dapat diklasifikasikan kepada 4 macam yaitu;
a. Hadis Qauliyah
Seluruh hadis yang bersumber dari perkataan Nabi Muhammad saw, baik dalam
bentuk perintah, larangan, anjuran atau nasehat , dan lain-lain. Yang dapat
dijadikan dalil untuk menetapkan hokum syara’

b. Hadis Fi’liyah
Seluruh hadis yang bersumber dari perilaku atau perbuatan yang ditampilkan oleh
Nabi Muhammad Saw agar diconthkan atau diteladani oleh umatnya.Contohnya:
tata cara wudu’ , shalat, haji, dan lain-lain yang diperbua dan dicontohkan oleh
Nabi.

c. Hadis Taqririyah
Seluruh hadis yang berbentuk ketetapan atau persetujuan Nabi Muhammad Saw
terhadap suatu perkara yang dilakuakn sahabat atau umatnya. Dalam hal ini, Nabi
Muhammad Saw memberikan persetujuan atau ketetapan terhadap hal-hal positif
yang dilakukan sahabatnya. Sebagai contoh, nabi Muhammad saw menyetujui
kalimat-kalimat azan yang dikumandangkan oleh sahabat yang bernama Bilal Nin
rabbah.
 Hadis Hamiyah
Hadis nabi Muhammad Saw yang masih berbentuk harapan. Menurut ahli hadis,
bentuk hadis seperti ini sangat sedikit, bahkan ada yang mengatakan tidak ada,.
Hal ini dikarenakan Nabi Muhammad Saw adalah sosok teladan yang tidak
pernah meminta umatnya melakukan sesuatu sebelum ia sendiri melakukannya.
Begitupun, ada yang berpendapat bahwa Nabi Muhammad saw pernah berniat
untuk berpuasa pada Muharram, tetapi sebelum ia menunaikannya, beliau telah
dipanggil Allah Swt inilah salah satunya sumber informasi tentang hadis
hammiyah.

Hadis merupakan salah satu sumber hokum islam yang wajib kita taati. Allah Swt
telah mewajibkan agar kita mentaati hukum-hukum dan perbuatan-perbuatan yang
disampaikan oleh Nabi Muhammad Saw tersebut.
Hadits terdiri dari :

 Matan, yaitu isi atau kandungan dari suatu hadis yang memuat berbagai pengertian.

 Sanad, yaitu jalan yang menyampaikan kepada matan hadis,yaitu nama-nama para
perawinya yang berurutan menjadi sandaran dalam periwayatan hadis menjadi
perantara Nabi Muhammad Saw sampai kepada perawi atau orang yang
meriwayatkan suatu hadis

 Rawi yaitu orang-orang yang meriwayatkan hadist


Klasifikasi Hadits
a. Hadis Shahih
Yaitu hadits yang dapat dipakai sebagai landasan hukum. Hadits yang sahih
para perawinya bersambung sampai kepada Nabi saw, perawinya orang yang taat

beragama, kuat hafalannya dan isinya tidak bertentangan dengan Al-Qur‟an.

b. Hadits Hasan (baik)


Yaitu hadits yang memenuhi persyaratan seperti perawinya semuanya
bersambungan, perawinya taat beragama, agak kuat hafalannya, tidak

bertentangan dengan Al-Qur‟an dan tidak cacat di dalamnya.

c. Hadits Daif (lemah)


Yaitu hadits yang tidak memenuhi criteria persyaratan hadits hasan apalagi
shahih. Hadits daif tidak boleh dijadikan sebagai landasan hukum.

3. Al-Ijtihad Sebagai Sumber Hukum Pelengkap

Menurut bahasa Ijtihad[7] artinya bersungguh-sungguh. Menurut istilah


Ijtihad ialah bersungguh-sungguh menggunakan akal pikiran untuk merumuskan
dan menetapkan hukum atau suatu perkara yang tidak ditemukan kepastian
hukumnya dalam Al-Qur’an maupun Hadits.

Hasil ijtihad dapat dijadikan sumber hukum yang ketiga atau pelengkap. Hal
itu di dasarkan kepada hadis yang diriwiyatkan oleh Imam Tirmizi dan Abu
Daud yang berisikan dialoq antara Nabi Muhammad Saw dengan Mua’az bin
Jabal, ketika diutus ke negeri Yaman waktu itu Nabi bertanya kepada Mu’az
“ Bagaimana kamua akan menetapkan hukum kalau dihadapkan kepadamu sutu
persoalan yang memerlukan ketetapan hukum?” Mu’az menjawab,” saya akan
menetapkan hukum dengan Al-Qur’an ,” Rasul bertanya lagi “ kalau seandainya
tidak ditemukan ketetapannya dengan Al-quran?” Mu’az menjawab,” saya akan
berijtihad denan pendapat saya sendiri.” Kemudian rasulullah menepuk-nepuk
bahu mu’az bin jabal tanda setuju. Dan ini merupakan dasar hukum perlunya
ijtihad. Al-quran menjelaskan ada “ULIL AMRI”yang berarti mereka yang
berwenang menetapkan suatu maslahat bagi umat. Q.S An-Nisa ayat 59.

Persoalan apa sajakah yang boleh di ijtihadkan?


Para ulama sepakat bahwa semua masalah boleh diijtihadkan apabila kita tidak
menentukan penjelasan yang rinci tentang masalah tersebut, baik dalam al-quran
maupun hadist. Karenanya kita tidak diperkenankan lagi beijtihad dalam masalah-
masalah yang sudah jelas aturan dan dasar hukumnya, seperti shalat, puasa, zakat
dan haji.
Ijtihad semakin dirasakan penting ditengah-tengah kehidupan yang semakin maju,
maka semakin banyak pula permasalahan-permasalahan baru yang belum pernah
terjadi, baik pada masa rasul,sahabat maupun pada masa-masa sebelunya.kini
semakin, banyak masalah yang memerlukan ijtihad para ulama menentukan status
atau ketentuan hukumnya.
Diantara msalah-masalah tersebut misalnya:
 Bayi tabung
 Ber-KB secara vasektomi dan tebektomi
 Transpalantasi organ tubuh seperti jantung buatan, pemotongan hewan dengan
mesin,transfusi darah, dan sih banyak masalah lainnya.

Bentuk-bentuk Ijtihad[8]
a. Ijma’
Menggunakan bahasa Ijma’ berarti menghimpun, mengumpulkan dan menyatukan
pendapat. Menurut istilah ijma’ adalah kesepakatan para ulama tentang hukum
suatu masalah yang tidak tercantum di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits.
b. Qiyas
Menurut bahasa Qiyas berarti mengukur sesuatu dengan contoh yang lain,
kemudian menyamakannya. Menurut istilah, Qiyas adalah menentukan hukum
suatu maslaah yang tidak ditentukan hukumnya dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits
dengan cara menganalogikan suatu masalah dengan masalah yang lain karena
terdapat kesamaan ‘illat (alasan).
c. Istihsan
Menurut bahasa, Istihsan berarti menganggap/mengambil yang terbaik dari suatu
hal. Menurut istilah, Istihsan adalah meninggalkan qiyas yang jelas (jali) untuk
menjalankan qiyas yang tidak jelas (khafi), atau meninggalkan hukum umum
(universal/kulli) untuk menjalankan hukum khusus (pengecualian/istitsna’),
karena adanya alasan yang menurut pertimbangan logika menguatkannya.
Contoh: menurut istihsan sisa minuman dari burung-burung yang buas seperti
elang, gagak, rajawali dan lain-lain itu tetap suci berbeda dengan sisa minuman
dari binatang-binatang buas seperti harimau, singa, serigala dan lain-lain yang
haram dagingnya karena sisa makanan binatang-binatnag buas ini mengikuti
hukum dagingnya, maka sisa minumannya juga haram (najis). Alasan kesucian
dari sisa minuman burung-burung buas tadi : meskipun haram dagingnya, karena
burung-burung itu mengambil air minumnya dengan paruh yang berupa tulang
(dimanan hukum tulang itu sendiri suci) dan tidak dimungkinkan air liur / ludah
yang keluar dari perutnya (dagingnya) itu bercampur dengan sisa minuman tadi.
Sedangkan binatang-binatang buas mengambil air minum dengan mulutnya yang
sejenis daging sehingga dimungkinkan sekali sisa minumannya bercampur dengan
ludahnya.
d. Masalihul Mursalah
Menurut bahasa, Masalihul Mursalah berarti pertimbangan untuk mengambil
kebaikan. Menurut istilah, Masalihul Mursalah yaitu penetapan hukum yang
didasarkan atas kemaslahatan umum atau kepentingan bersama dimana hokum
pasti dari maslah tersebut tidak ditetapkan oleh oleh syar’I (al Qur’an dan Hadits)
dan tidak ada perintah memperhatikan atau mengabaikannya. Contoh penggunaan
masalihul mursalah kebijaksanaan yang diambil sahabat Abu Bakar shiddiq
mengenai pengumpulan al Qur’an dalam suatu mush-haf, penggunaan ‘ijazah,
surat-surat berharga dsb.
Dengan perkembangan zaman yang terus semakin maju, muncul berbagai masalah
baru yang belum dijumpai ketetapan hukumnya di dalam Al-Qur’an dan Al-
Hadits. Masalah-masalah baru tersebut membutuhkan ijtihad, sehingga menjadi
hukum bagi kaum muslimin. Hal ini menuntut kita semua untuk selalu
memperdalam ilmu pengetahuan dan wawasan keagamaan kita, sehingga kita
mampu menjadi para mujtahid yang memiliki syarat-syarat ijtihad dengan benar.
Pintu ijtihad masih terbuka lebar bagi setiap umat muslim yang memiliki syarat-
syarat ijtihad. Islam sangat mendorong kaum muslimin untuk melakukan ijtihad.
Hal ini ditegaskan Rasulullah saw. dalam haditsnya yag diriwayatkan Mu’az bin
Jabal :
Artinya :" Apabila seorang hakim memutuskan masalah dengan jalan ijtihad
kemudian benar, maka ia mendapat dua pahala, dan apabila dia memutuskan
dengan jalan ijtihad kemudian keliru, maka dia memperoleh satu pahala. (HR.
Bukhari Muslim).”

e. Istish-hab
Melanjutkan berlakunya hokum yang telah ada dan telah diterapkan karena
adanya suatu dalil sampai datangnya dalil lain yang mengubah kedudukan hokum
tersebut. Misalnya apa yang diyakini ada, tidak akan hilang oleh adanya keragu-
raguan, contoh : orang yang telah berwudlu, lalu dia ragu-ragu apakah sudah batal
atau belum, maka yang dipakai adalah dia tetap dalam keadaan wudlu dalam
pengertian wudlunya tetap sah. Seperti itu juga dalam hal menentukan suatu
masalah yang hukum pokoknya mubah (boleh), maka hukumnya tetap mubah
sampai dating dalil yang mnegharuskan meninggalkan hokum tersebut.

Syarat umum yang harus dimiliki setiap mujtahid:


 Menguasai atau memahami secara mendalam tentang al-quran dan ilmu-ilmu al-
quran, terutama ayat-ayat hukum, asbabun nuzul dan nasakh mansukhnya
 Menguasai hadis dan ilmu-ilmu hadis.
 Menguasai bahasa arab dan ilmu-ilmu yang berkenaan dengan bahasa arab.
 Menguasai ilmu ushul fiqh.
 Memahami tujuan pokok syari’at islam
 Memahami Qawaid kulliyah atau Qawaid Fiqhiyah.
2.3. Prinsip dan Tujuan Hukum Islam

Prinsip-prinsip hukum Islam yang dijadikan landasan ideal dalam hukum


Islam menurut Juhaya S. Pradja (1998: 37), yaitu:
1. Prinsip Tauhidullah, bahwa semua paradigma berpikir yang termuat dalam Al-
qur’an dan Al-hadits, dalam konteks ritual maupun sosial, harus bertitik tolak dari
nilai-nilai ketauhidan, yakni tentang segala yang ada dan yang mungkin ada,
bahkan mushtahil ada adalah diciptakan oleh Allah s.w.t., maka kata
Rabbul’alamin dapat dikatakan bahwa Allah Maha Intelektual yang memiliki
iradah atas segala sesuatu.
2. Prinsip Insaniyah, (prinsip kemanusiaan), bahwa produk akal manusia dijadikan
rujukan dalam perilaku sosial maupun sistem budaya harus bertitik tolah dari
nilai-nilai kemanusiaan, memuliakan mansia dan memberikan manfa’at serta
menghilangkan kemudharatan bagi manusia.
3. Prinsip Tasamuh, (prinsip toleransi), sebagai titik tolak pengalaman hukum
Islam, karena cara berpikir manusia yang berbeda-beda, satu sama lain harus
saling menghargai dan mengakui bahwa kebenaran hasil pemikiran manusia
bersifat relatif.
4. Prinsip Ta’awun, (prinsip tolong-menolong), sebagai titik tolak kehidupan
manusia sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan.
5. Prinsip Silaturrahmi Baina An-Nas, sebagai titik tolak bahwa setiap individu
dengan individu lainnya akan melakukan interaksi, karena manusia adalah human
relation yang secara fitrahnya menjadikan silaturrahmi sebagai embiro terciptanya
masyarakat, prinsip ini bisa juga disebut prinsip Ta’aruf, sebagaimana dalam
surah Al-hujuraat ayat 13, Allah berfirman yang artinya: “Hai manusia,
Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya
kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara
kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Qs. Al-hujuraat: 13).
6. Prinsip keadilan atau Al-mizan, (keseimbangan) antara hak dan kewajiban.
Sebagai titik tolak kesadaran setiap manusia terhadap hak-hak orang lain dan
kewajiban dirinya. Jika ia berkewajiban melakukan sesuatu, ia berhak menerima
sesuatu. Keduanya harus berjalan seimbang dan dirasakan adil untuk dirinya dan
orang lain.
7. Prinsip Kemashlahatan, yaitu yang bertitik tolak dari kaidah penyusunan
argumentasi dalam berprilaku, bahwa meninggalkan kerusakan lebih diutamakan
daripada mengambil manfa’atnya. Operasi rasionalisasi kaidah ini berhubungan
dengan kaidah yang menyatakan bahwa kemashlahatan umum lebih didahulukan
daripada kemashlahatan khusus.

Tujuan hukum islam adalah untuk mencegah kerusakan pada manusia dan
mendatangkan kemashlahaatan bagi mereka; mengarahkan mereka kepada
kebenaran untuk mencapai kebahagiaan hidup manusia di duniaa dan di akhirat
dengan jalan mengambil segala yang manfaat dan mencegah atau menolak yang
madharat, yakni yang tidak berguna bagi hidup maaupun kehidupan manusia.

Ada lima tujuan hukum islam, yaiitu:

 Agama
 Jiwa
 Akal
 Keturunan
 Harta, yang disebut “maqasid al-khamsah”

a) Memelihara agama

Beragama merupakan kebutuhan manusia yang dapat mnyenntuh nurani manusia.


Agama akidah, syariah dan akhlak ataun mencampuradukkan ajaran agama islam
dengan pham atau aliran bathil. Agama islam memberi perlindungan kepada
pemeluk agama lain untuk menjalankan agama sesuai dengan keyakinannya.
Agam islam tidak m,emaksakan pemeluk agama lain memeluk agama islam.

b) Memelihara jiwa
Menurut hukum islam jiwa harus dilindung. Uuntuk itu hukum islam wajjib
memelihara hak manusia untuk hidup dan mempertahankan hidupnya. Hhukum
islam mekarang pembunuhan sebagai upaya menghilangkan jiwa manusia dan
melindungi berbagai sarana yang dipergunakan manusia untuk mempertahankan
kemashlahatan hidupnya.

c) Memelihara akal

Menurut hukum islam seseeorang wajib memelihara akalnya kerana akal


mempunya peranan yang sangat penting dalam hidup dan kehidupan manusia.
Dengan akalnya, maanusia dapat memahami waahyu Allah baik yang terdapat
daalam kitab suci ataupun ayat-ayat Allah yang terdapat di alam. Dengamn
akalnya, manusia dapat mengembangkan ilmmu pengetahuan daan
teknologi.seseorang tidak akan mampu menjalankan hukum islam dengan baik
daan benar tanpa menggunakan akal yang sehat. Oleh karena itu pemeliharaan
akal merupakan salah satu tujuan hukum islam. Untuk itu, hukum islam melarang
oraang meminum minuman yang memabukkan dan memberikan hukuman pada
perbuatan yang merusak akal.

d) Memelihara keturunan

Dalam hukum islam, memelihara ketuurunan adaalah hal yang sangat penting.
Untuk itu dalam hukumislam untuk meneruskan keturunan harus melalui
perkawinan yang sah menurut ketentuan-ketentuan yang aada dalam al quran dan
as sunah dan dilarang melakukan perbuatan zina.

e) Memelihhara harta

Menurut hukum islam, harta merupakan pemberiaan Allah kepada manusia untuk
melangsungkan hidup dan kehidupannya. Untuk itu, manusia sebaga khalifah
Allah di muka bumi (makhluk yang diberi amanah Allah untuk mmengelola alam
ini sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya) dilindungi haaknya untuk
memperooleh harta dengan cara-cara yang halal artinnnya menurut hukumdaan
benar menurut ukuran moral.
2.4. Fungsi Hukum Islam Dalam Kehidupan Bermasyarakat
Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri manusia
membutuhkan pertolongan satu sama lain dan memerlukan organisasi dalam
memperoleh kemajuan dan dinamika kehidupannya. Setiapa individu dan
kelompok sosial memiliki kjepentingan. Namun demikan kepentingan itu tidak
selalu sama satu saama lain, bahkan mungkin bertentangan. Hal itu mengandung
poteensi terjanya benturaan daan konflik. Maka hal itu membutuhkan aturan main.
Agar kepentingan individu dapaat dicapai secara adil, maka dibutuhjkan
penegakkan aturan main tersebut. Aturan main itulah yang kemudian
disebutdenngan hukum islam yang dan menjadi pedomaan setiap pemeeluknya.
Dalam hal ini hukum islam memiliki tiga orientasi, yaitu:
a. Mendidik indiividu (tahdzib al-fardi) untuk selalu menjadi sumber kebaikan,
b. Menegakkan keadilan (iqamat al-‘adl),
c. Merealisasikan kemashlahatan (al-mashlahah).
Oreintasi tersebut tidak hanya bermanfaat bagi manusia dalam jangka
pendek dalam kehidupan duniawi tetapi juga harus menjamin kebahagiaan
kehidupan di akherat yang kekal abadi, baik yang berupa hukum- hukum untuk
menggapai kebaikan dan kesempurnaan hidup (jalbu al manafi’), maupun
pencegahan kejahatan dan kerusakan dalam kehidupan (dar’u al-mafasid). Begitu
juga yang berkaitan dengan kepentingan hubungan antara Allah dengan
makhluknya. Maupun kepentingan orientasi hukum itu sendiri.[9]
Sedangkan fungsi hukum islam dirumuskan dalam empat fungsi, yaitu:
1. Fungsi ibadah. Dalam adz-Dzariyat: 56, Allah berfirman: “Dan tidak aku ciptakan
jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepadaKu’. Maka dengan daalil ini
fungsi ibadah tampak palilng menonjol dibandingkan dengan fungsi lainnya.
2. Fungsi amar makruf nahi munkar (perintah kebaikan dan peencegahan
kemungkaran). Maka setiap hukum islam bahkan ritual dan spiritual pun
berorientasi membentuk mannusia yang yang dapat menjadi teladan kebaikan dan
pencegah kemungkaran.
3. Fungsi zawajir (penjeraan). Aadanya sanksi dalam hukum islam yang bukan
hanya sanksi hukuman dunia, tetapi juga dengan aancaman siksa akhirat
dimaksudkaan agar manusia dapat jera dan takut melakukan kejahatan.
4. Fungsi tandzim wa ishlah al-ummah (organisasi dan rehabilitasi masyarakat).
Ketentuan hukum sanksi tersebut bukan sekedar sebagai batas ancaman dan untuk
menakut-nakuti masyarakat saja, akan tetapi juga untuk rehaabilitasi dan
pengorganisasian umat mrnjadi leboh baik. Dalam literatur ilmu hukum hal ini
dikenal dengan istilah fungsi enginering social.
Keempat fungsi hukum tersebut tidak dapat dipilah-pilah begitu saja untuk bidang
hukum tertentu tetapi saatu deengan yang lain juga saling terkait.

2.5. Penerapan Hukum Islam dalam Kehidupan Masyarakat

Meskipun islam memiliki banyak fungsi yang mengatur kehidupan manusia.


Masih banyak muslim yang belum memahami hukum-hukum islam itu sendiri.
Padahal hukum itu, apabila diterapkan, tidak hanya berkisar antara hukum qishash
dan potong tangan, atau merubah konstitusi negara (al-ahkâm al-wadh'iyyah)
menjadi undang-undang yang berlandaskan Qur’an dan Hadist, karena hal itu,
tidak cukup menciptakan masyarakat yang diinginkan, akan tetapi bagaimana
menaburkan nilai-nilai keislaman dan ketuhanan dalam jiwa setiap anggota
masyarakat, sehingga masyarakat itu hidup tumbuh karena Islam dan berjuang
demi Islam, bukan sebaliknya.

Demi tercapainya cita-cita mulia ini, tentu membutuhkan kerja keras dan gotong-
royong seluruh lapisan masyarakat tanpa kecuali, untuk bersama-sama
mewujudkannya di bidang pendidikan, media dan informasi, pemikiran dan
strategi politik serta sosial budaya. Bila demikian halnya, kiranya dapat terwujud
satu kesatuan yang tak terpisahkan dalam tubuh Islam, senada dengan firman
Allah: "udkhulû fî as-silmi kâffah" (masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan),
bahwa ummat Islam bukan ummat Yahudi yang membangkang sebagaimana
firman Allah: "afatu'minûna bi ba'dhi al-kitâbi wa takfurûna bi ba'dh" (apakah
kamu sekalian mengimani kitab itu sebagian dan mengigkari sebagian lainnya).
Ini senada dengan sebuah pernyataan yang tidak asing lagi: "khudzû al-islâma
jumlatan aw da'ûhu" (ambillah Islam itu secara keseluruhan atau tinggalkan).

Namun tidak harus dipahami bahwa setiap orang yang tidak menerapkan hukum
Islam secara sempurna harus ditolak dan tidak termasuk golongan mukmin. Niat
melaksanakan Islam secarah kaffah (keseluruhan) merupakan titik tolak dan
modal utama setiap muslim, adapun prakteknya tergantung kemampuan
menghadapi rintangan-rintangan yang mengangkang di depan mata, termasuk di
dalam diri kita sendiri. Allah berfirman: "bertaqwalah kepada Allah sesuai dengan
kemampuanmu".

Bukankah penerapan Hukum Islam merupakan kewajiban setiap muslim?


Memang benar, beberapa ayat menunjukkan hal itu seperti: "Potonglah kedua
tangannya", "Jilidlah atau cambuklah setiap keduanya seratus kali" dan "Maka
jilidlah atau cambuklah mereka delapan puluh kali". Namun ini tidak akan
mungkin terwujud, jika penerapannya diserahkan kepada setiap muslim karena
setiap orang akan menyatakan dirinya sebagai hakim, mujtahid, dan munaffidz,
yang berakibat terjadinya kekacauan struktrur sosial. Sebab itu, pemerintah (ûlu
al-lamri) merupakan jalur terbaik untuk menerapkan hukum-hukum itu. Jika cara
ini tidak terwujud, maka umat Islam harus turun tangan bekerja sama dengan
ikhlas untuk melakukan munâsahah, amar ma'ruf nahi munkar kepada mereka.
Jika mereka tidak menghiraukannya, maka umat Islam harus membentuk sebuah
lembaga (as-sulthah) yang memiliki kekuatan hukum sebagai wacana
mewujudkan hukum-hukum itu.

2.6. Kontribusi Umat Islam Dalam Perumusan dan Penegakan Sistem Hukum
Indonesia
Hukum islam ada dua sifat, yaitu:
a. Al- tsabat (stabil), hukum islam sebagai wahyu akan tetap dan tidak berubah
sepanjang masa
b. At-tathawwur (berkembang),hukum islam tidak kaku dalam berbagai kondisi dan
situasi sosial.

Hukum Islam memiliki prospek dan potensi yang sangat besar dalam
pembangunan hukum nasional. Ada beberapa pertimbangan yang menjadikan
hukum Islam layak menjadi rujukan dalam pembentukan hukum nasional
yaitu[10]:
1. Undang-undang yang sudah ada dan berlaku saat ini seperti, UU Perkawinan,
UU Peradilan Agama, UU Penyelenggaraan Ibadah Haji, UU Pengelolaan Zakat,
dan UU Otonomi Khusus Nanggroe Aceh Darussalam serta beberapa
undangundang
lainnya yang langsung maupun tidak langsung memuat hukum Islam
seperti UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang perbankan yang mengakui keberadaan
Bank Syari'ah dengan prinsip syari'ahnya., atau UU NO. 3 Tahun 2006 tentang
Peradilan Agama yang semakin memperluas kewenangannya, dan UU Nomor 21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
2. Jumlah penduduk Indonesia yang mencapai lebih kurang 90 persen beragama
Islam akan memberikan pertimbangan yang signifikan dalam mengakomodasi
kepentingannya.
3. Kesadaran umat Islam dalam praktek kehidupan sehari-hari. Banyak aktifitas
keagamaan masyarakat yang terjadi selama ini merupakan cerminan kesadaran
mereka menjalankan Syari'at atau hukum Islam, seperti pembagian zakat dan
waris.
4. Politik pemerintah atau political will dari pemerintah dalam hal ini sangat
menentukan. Tanpa adanya kemauan politik dari pemerintah maka cukup berat
bagi Hukum Islam untuk menjadi bagian dari tata hukum di Indonesia.

Untuk lebih mempertegas keberadaan hukum Islam dalam konstalasi hukum


nasional dapat dilihat dari Teori eksistensi tentang adanya hukum Islam di dalam
hukum nasional Indonesia. Teori ini mengungkapkan bahwa
bentuk eksistensi hukum Islam di dalam hukum nasionallndonesia itu ialah:
1. ada dalam arti sebagai bagian integral dari hukum nasional lndonesia.
2. ada dalam arti kemandirian, kekuatan dan wibawanya diakui adanya oleh hukum
nasional dan diberi status sebagai hukum nasional.
3. ada dalam hukum nasional dalam arti norma hukum Islam (agama) berfungsi
sebagai penyaring bahan-bahan hukum nasionallndonesia.
4. ada dalam arti sebagai bahan utama dan unsur utama hukum nasional
Indonesia[11].

Bila dilihat dari realitas politik dan perundang-undangan di Indonesia


nampaknya eksistensi hukum Islam semakin patut diperhitungkan seperti terlihat
dalam beberapa peraturan perundangan yang kehadirannya semakin
memperkokoh Hukum Islam:

1. Undang-Undang Perkawinan
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disahkan dan
diundangkan di Jakarta Pada tanggal 2 Januari 1974 (Lembaran Negara
Tahun 1974 No. Tambahan Lembaran Negara Nomer 3019).
2. Undang-Undang Peradilan Agama
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama disahkan dan
diundangkan di Jakarta pada tanggal 29 Desember 1989 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1989 No. 49, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia No. 3400). Kemudian pada tanggal 20 Maret 2006 disahkan UU Nomor
3 tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agarna. Yang melegakan' dari UU ini adalah semakin luasnya kewenangan
Pengadilan Agama khususnya kewenangan dalam menyelesaikan perkara di
bidang ekonomi syari'ah. Untuk menjelaskan berbagai persoalan syari'ah di
atas Dewan Syari'ah Nasional (DSN) telah mengeluarkan sejumlah fatwa yang
berkaitan dengan ekonomi syari'ah[12] yang sampai saat ini jumlahnya sudah
mencapai 53 fatwa. Fatwa tersebut dapat menjadi bahan utama dalam penyusunan
kompilasi tersebut.
Sehubungan dengan tambahan kewenangan yang cukup banyak kepada
pengadilan agama sebagaimana pada UU No. 3 tahun 2006 yaitu mengenai
ekonomi syari'ah, sementara hukum Islam mengenai ekonomi syari'ah masih
tersebar di dalam kitab-kitab fiqh dan fatwa Dewan Syari'ah Nasional, kehadiran
Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah (KHES) yang didasarkan pada PERMA
Nomor 2 Tahun 2008, tanggal 10 September 2008 tentang Kompilasi Hukum
Ekonomi Syari'ah, menjadi pedoman dan pegangan kuat bagi para Hakim
Pengadilan Agama khususnya, agar tidak terjadi disparitas putusan Hakim,
dengan tidak mengabaikan penggalian hukum yang hidup dan berkembang dalam
masyarakat sebagaimana maksud Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah
terdiri dari 4 Buku, 43 Bab, 796 Pasal.

3. Undang-Undang Penyelenggaraan Ibadah Haji


Undang-Undang No. 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji
disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 3 Mei 1999 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 No. 53, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia No. 3832), yang digantikan oleh UU Nomor 13 Tahun 2008. UU
pengganti ini memiliki 69 pasal dari sebelumnya 30 pasal. UU ini mentikberatkan
pada adanya pengawasari dengan dibentuknya Komisi Pengawasan Haji Indonesia
[KPHI]. Demikian juga dalam UU ini diiatur secara terperinci tentang Biaya
Penyelenggaraan Ibadah Haji [BPIH][13]. Aturan baru tersebut diharapkan dapat
menjadikan pelaksanaan ibadah haji lebih tertib dan lebih baik[14].
4. Undang-Undang Pengelolaan Zakat
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat disahkan
dan diundangkan di Jakarta pada tanggaI 23 September 1999 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 No. 164, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia No. 3885).
5. Undang-Undang Penyelenggaraan Keistimewaan Daerah Istimewa Aceh.
Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan
Daerah Istimewa Aceh disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 4
Oktober 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun1999 No.172,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No.3893).
6. Undang-Undang Otonomi Khusus Aceh
Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Daerah
Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam disahkan dan
diundangkan di Jakarta pada tanggal 9 Agustus 2001 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2001 No. 114, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
No. 4134).
7. Kompilasi Hukum Islam
Perwujudan hukum bagi umat Islam di Indonesia terkadang menimbulkan
pemahaman yang berbeda. Akibatnya, hukum yang dijatuhkan sering terjadi
perdebatan di kalangan para ulama. Karena itu diperlukan upaya penyeragaman
pemahaman dan kejelasan bagi kesatuan hukum Islam. Keinginan itu akhirnya
memunculkan Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang saat ini telah menjadi salah
satu pegangan utama para hakim di lingkungan Peradilan Agama. Sebab selama
ini Peradilan Agama tidak mempunyai buku standar yang bisa dijadikan pegangan
sebagaimana halnya KUH Perdata. Dan pada tanggal 10 Juni 1991 Presiden
menandatangani Inpress No.1 Tahun 1991 yang merupakan instruksi untuk
memasyarakatkan KHI.
8. Undang-undang tentang Wakaf
Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf disahkan dan diundangkan
di Jakarta pada tanggal 27 Oktober 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 No. 159, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4459).
Kemudian pada tanggal 15 Desember 2006 ditetapkanlah peraturan pemerintah
Republik. Indonesia Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf. Maksud penyusunan peraturan pelaksanaan
PP ini adalah untuk menyederhanakan pengaturan yang mudah dipahami
masyarakat, organisasi dan badan hukum, serta pejabat pemerintahan yang
mengurus perwakafan, BWI, dan LKS, sekaligus menghindari berbagai
kemungkinan perbedaan penafsiran terhadap ketentuan yang berlaku.
9. Undang-Undang Tentang Pemerintahan Aceh
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, semakin
menegaskan legalitas penerapan syariat Islam di Aceh. Syariat Islam yang
dimaksud dalam undang-undang ini meliputi ibadah, al-ahwal
alsyakhshiyah (hukum keluarga),muamalah (hukum perdata), jinayah (hukum
pidana), qadha (peradilan), tarbiyah(pendidikan), dakwah, syi'ar, dan pembelaan
Islam. Di samping itu keberadaanMahkamah Syar'iyah yang memiliki
kewenangan yang sangat luas semakin memperkuat penerapan hukum Islam di
Aceh. Mahkamah Syar'iyah merupakan pengadilan bagi setiap orang yang
beragama Islam dan berada di Aceh. Mahkamah ini berwenang memeriksa,
mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang al-ahwal al-
syakhshiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum
perdata) tertentu, jinayah (hukum pidana) tertentu, yang didasarkan atas syari'at
Islam.
10. Undang-undang Tentang Perbankan Syari'ah[15]
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang diundangkan pada tanggal
10 November 1998, menandai sejarah baru di bidang perbankan yang mulai
memberlakukan sistem ganda duel system banking di Indonesia, yaitu sistem
perbankan konvensional dengan piranti bunga, dan sistem perbankan dengan
peranti akad-akad[16] yang sesuai dengan prinsip-prinsip[17] syariah. Sejarah
perbankan secara faktual telah mencatat bahwa dalam kurun waktu antara tahun
1992 hingga Mei 2004 telah berkembang pesat perbankan syariah. Secara
kuantitatif jumlah bank syariah pada tahun 1992 hanya ada satu Bank Umum
Syariah, yaitu Bank Mu'amalat Indonesia, dan BPRS, tetapi saat ini telah ada dua
Bank Umum Syariah dengan 114 kantor cabang dan pembantu Bank Syariah.

Di samping beberapa undang-undang di atas ada tiga faktor yang


menyebabkan hukum Islam masih memiliki peran besar dalam kehidupan bangsa
kita. Pertama, hukum Islam telah turut serta menciptakan tata nilai yang mengatur
kehidupan umat Islam, minimal dengan menetapkan apa yang harus dianggap
baik dan buruk, apa yang menjadi perintah, anjuran, perkenan, dan larangan
agama. Kedua, banyak keputusan hukum dan unsur yurisprudensial dari hukum
Islam telah diserap menjadi bagian dari hukum positif yang
berlaku. Ketiga, adanya golongan yang masih memiliki aspirasi teokratis di
kalangan umat Islam dari berbagai negeri sehingga penerapan hukum Islam secara
penuh masih menjadi slogan perjuangan yang masih mempunyai appeal cukup
besar.Terkait dengan upaya tersebut − dalam tulisan ini − penulis ingin lebih
fokus melihat sumbangan tradisi hukum Islam atau hukum fiqh dalam
rangka pembangunan hukum nasional. Karena, hukum Islam (hukum fiqh) itu
sendiri secara umum memang diakui sebagai salah satu sumber dalam rangka
pembaruan hukum di Indonesia, selain hukum adat dan hukum barat. Bagaimana
pun, hukum barat, hukum adat, maupun hukum Islam itu, mempunyai kedudukan
yang sama sebagai sumber norma bagi upaya pembentukan hukum nasional.
Selain itu, secara sosiologis, kedudukan hukum Islam (hukum fiqh) itu sendiri di
Indonesia, melibatkan kesadaran keagamaan mayoritas penduduk yang sedikit
banyak berkaitan pula dengan masalah kesadaran hukum. Baik norma agama
maupun norma hukum selalu sama-sama menuntut ketaatan. Apalagi, jika norma
hukum itu disebandingkan dengan aspek hukum dari norma agama itu, akan
semakin jelaslah keeratan hubungan antara keduanya. Keduanya sama-sama
menuntut ketaatan dan kepatuhan dari warga masyarakatnya.
Tahir Azhari mengatakan bahwa hukum Islam mengikat setiap individu
yang beragama Islam untuk melaksanakannya, yang implementasinya terbagi
dalam 2 perspektif, yaitu : ibadah mahdlah, dan tanpa campur tangan penguasa
kecuali untuk fasilitasnya muamalah, baik yang bersifat perdata maupun publik,
yang melibatkan kekuasaan negara. Kontribusi baru dari hukum Islam terhadap
hukum nasional adalah berupa kehadiran Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah
melalui PERMA Nomor 02Tahun 2008. Pasal 1 Perma tersebut menyatakan
bahwa Kitab ini menjadi pedoman prinsip syari'ah bagi para Hakim dengan tidak
mengurangi tanggung jawab Hakim untuk menggali dan menemukan hukum
untuk menjamin putusan yang adil dan benar.

Selain karena alasan sosiologis dan alasan praktis-pragmatis di atas, keeratan


hubungan antara ulama dan umara serta agama dan hukum, termasuk dalam dan
untuk Hukum Pidana yang hendak diperbaharui itu, dapat pula dilihat secara
filosofis-politis dan yuridis. Secara filosofis-politis, keeratan hubungan keduanya
dapat dilihat dari perspektif Pancasila yang menurut doktrin ilmu hukum di
Indonesia merupakan sumber dari segala sumber hukum. Di dalam Pancasila itu
sendiri, agama mempunyai posisi yang sentral. Di dalamnya, terkandung prinsip
yang menempatkan agama dan ke-Tuhanan Yang Maha Esa dalam posisi yang
pertama dan utama. Demikian juga dengan tinjauan juridis, kedudukan agama
dalam konteks hukum dan keeratan hubungan antara keduanya dijamin menurut
Pembukaan UUD 1945 dan Pasal 29 UUD 1945 yang menyatakan:
1. Atas berkat Rahmat Allah Yang Mahakuasa dan dengan didorong oleh
keinginanluhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat
Indonesia,menyatakan dengan ini kemerdekaannya."
2. Negara berdasar atas ke-Tuhanan Yang Maha Esa."
3. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu."
Dilihat dari sketsa historis, hukumislam masuk ke indonesia bersama
masuknya islam ke Indonesia pada abad ke 1 hijriyah atau 7/8 masehi. Sedangkan
hukum barat bary diperkenalkan VOC awal abad 17 masehi. Sebalum islam
masuk indonesia, rakyat indonesia menganut hukum adat yang bermacam-macam
sistemnya dan sangat majemuk sifatnya. Namun setelah islam datang dan menjadi
agama resmi di berbagai kerajaan nusantara, maka hukum islam pun munjadi
hukum resmi kerajaan-kerajaan tersebut dan tersebar manjadi hukum yang berlaku
dalam masyarakat.
Dalam pembentukan hukum islam di indonesia, kesadarn berhukum islam
untuk pertama kali pada zaman kemeerdekaan adalah di dalam Piagam Jakarta 22
juni 1945 , yang di dalam dasar ketuhanan diikuti dengan pernyataan “dengan
kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Tetapi dengan
pertimbangan untuk persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia akhirnya
mengalami perubahan pada tanggal 18 Agustus 1945 yang rumusan sila
pertamanya menjadi “ketuhanan yang maha esa”. Meskipun demikian, dalam
berbagai macam peraturan perundang-undangan, hukumislam telah benar-benar
memperoleh tempat yang wajar secara kontitusional yuridik.
Untuk mewujudkan Hukum Islam dapat menjadi lebih prospektif dalam
kodifikasi hukum nasional pada masa datang political will para legislator di
tingkat pusat dan daerah rnerupakan prasyarat utama. Putusan-putusan
Pengadilan/Hakim yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat yang
islami turut berperan pula.
Demikian pula halnya dengan peran akademisi dalam pengembangan dan
penelitianyang dapat menunjang perkembangan hukum Islam di Indonesia. Dan
yang juga tidak kalah pentingnya adalah peran para ulama, kyai yang
mengajarkan dan tetap menyiarkan materi-materi hukum Islam kepada para santri
serta jamaahnya yang tersebar di berbagai pelosok tanah air. Dalam buku-buku
Tafsir disebutkan bahwa para legislator, yuris, pemerintah, dan ulama/akademisi,
termasuk dalam makna uli al-amr, yang termasuk untuk ditaati sebagaimana
perintah Allah dalam surat al-Nisa, ayat : 59.
Demikian beberapa argumen yang memberikan peluang kepada hukum Islam
untuk berkembang dan layak dijadikan bahan pertimbangan dalam pcmbangunan.
Hukum nasional, karena bangsa Indonesia perlu menformulasikan hukum sesuai
dengan filsafat hukum Indonesia, sebab aturan hukum yang ada sekarang ini
masih banyak yang merupakan warisan bangsa Belanda. Contohnya sistem
Hukurn Pidana yang kita berlakukan sampai saat ini merupakan warlsan Belanda
yang diperuntukkan berlakunya terutama bagi bangsa Indonesia sebagai bangsa
yang terjajah. Pada waktu itu sistem hukum demikian sesuai dengan keadilan
menurut versi penjajah. Setelah Indonesia merdeka tentu perlu ditinjau kembali
dan kalau tidak sesuai dengan kebutuhan bangsa serta rasa keadilan kiranya tidak
perlu dan tidak akan dipertahankan[18].
Dengan demikian kontribusi umat islam dalam petrumusan dan penegakan
hukum sangat besar. Ada pun upaya yang harus dilakukan untuk penegakan
hukum dalam praktek bermasyarakat dan bernegara yaitu melalui proses kultural
dan dakwah. Apabila islam telah menjadikan suatu keebijakan sebagai kultur
dalam masyarakat, maka sebagai konsekuensinyahukum harus ditegakkan. Bila
perlu “law inforcement” dalam penegakkan hukum islam dengan hukum positif
yaitu melalui perjuangan legislasi. Sehingga dalam perjaalananya suatu ketentuan
yang wajib menurut islam menjadi wajib pula menurut perundangan.
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Hukum Islam adalah hokum yang bersumber dan menjadi bagian dari
agama Islam. Konsepsi hukum islam, dasar, dan kerangka hukumnya ditetapkan
oleh Allah. Hukum tersebut tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan
manusia dan benda dalam masyarakat, tetapi juga hubungan manusia dengan
Tuhan, hubungan manusia dengan manusia dengan dirinya sendiri, hubungan
manusia dengan manusia lain dalam masyarakat, dan hubungan manusia dengan
benda alam sekitarnya.
Perkembangan hukum Islam di Indonesia memiliki peluang yang sangat
cerah dalam pembangunan hukum nasional, karena secara sosioantropologis dan
emosional, hukum Islam sangat dekat dengan rnasyarakat Indonesia yang
mayoritas penduduknya beragama Islam. Se!ain itu secara historis hukum Islam
telah dikenal jauh sebelum penjajah masuk ke Indonesia. Peluang bagi masa
depan hukum Islam di Indonesia juga terbuka karena telah banyak aturan dalam
hukum Islam yang disahkan menjadi hukum nasional, dan hal ini memperlihatkan
bagaimana politicall will pemerintah yang memberikan respon dan peluang yang
baik bagi hukum Islam. Dengan melihat realitas kedekatan, kompleksitas materi
hukum Islam pada masa datang, peluang hukum Islam dalam pembangunan
hukum nasional akan lebih luas lagi.
Demikian juga peran akademisi yang melakukan pengembangan
dan penelitian yang konstruktif dapat menunjang perkembangan hukum Islam
di Indonesia. Yang tidak kalah pentingnya adalah peran para ulama, kyai yang
secara ikhlas mengajarkan dan tetap menyiarkan materi-materi hukum Islam
kepada para santri serta jamaahnya yang tersebar di berbagai pelosok tanah air.
Semua itu secara alami akan tetap menjaga keberadaan hukum Islam di Indonesia.
Ada tiga faktor yang menyebabkan hukum Islam masih memiliki peran
besar dalam kehidupan bangsa kita. Pertama, hukum Islam telah turut serta
menciptakan tata nilai yang mengatur kehidupan umat Islam, minimal dengan
menetapkan apa yang harus dianggap baik dan buruk, apa yang menjadi perintah,
anjuran, perkenan, dan larangan agama. Kedua, banyak keputusan hukum dan
unsur yurisprudensial dari hukum Islam telah diserap menjadi bagian dari hukum
positif yang berlaku. Ketiga, adanya golongan yang masih memiliki aspirasi
teokratis di kalangan umat Islam dari berbagai negeri sehingga penerapan hukum
Islam secara penuh masih menjadi slogan perjuangan yang masih
mempunyai appeal cukup besar.

3.2. Saran
 Bisa berkontribusi dalam kehidupan bermasyarakat dengan memenuhi aturan
hukum islam

DAFTAR PUSTAKA

http://id.scribd.com/doc/60557482/Hukum-Islam-Di-Indonesia-Dan-
Kontribusi-Umat-Islam
diunduh tgl 1 Maret 2013
http://hukumislamdankontribusiumatislam.blogspot.com/
diunduh tgl 1 Maret 2013
http://destriyanaeciel.blogspot.com/2012/06/sumber-hukum-islam-dan-
kontribusi-umat.html
diunduh tgl 1 Maret 2013
http://www.docstoc.com/docs/123489356/Hukum-Islam-dan-Kontribusi-
Umat-Islam-Indonesia
diunduh tgl 1 Maret 2013
http://www.fib.unair.ac.id/index.php/unduh/finish/31-materi-agama-
islam/193-kuliahvihukumislamdankontribusiumatislamindonesiaokppt.html
diunduh tgl 1 Maret 2013
http://www.slideshare.net/ayusefryna/umat-islam-dan-kontribusi-umat-
islam-indonesia
diunduh tgl 1 Maret 2013
http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=hukum%20islam%20dan%20kon
tribusi%20umat%20islam%20di%20indonesia&source=web&cd=7&cad=rj
a&ved=0CFAQFjAG&url=http://dedizamrani.files.wordpress.com/2012/06/
hukum-islam-dan-kontribusi-umat-islam-di-
indonesia.pptx&ei=xtQ0UfBbjqysB4T-
gYAP&usg=AFQjCNG_tEQ8zqER5mdi808Dk9cy-
ZX3DQ&bvm=bv.43148975,d.bmk
diunduh tgl 1 Maret 2013
Muchsin,.2004.Masa Depan Hukum Islam Di Indonesia, BP IBLAM.
Jakarta.
[1] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
2005), edisi
ketiga, hal. 592.
[2] AS Hornby, et. Al., OxfordAdvanced Dictionary of Current English, (edidi revisi),
(london:
Oxford University [t. th.], ed. I (1942), hal. 186-187.
[3] Ulasan berikut dikutif dan disarikan dari, Rifyal Ka'bah, , Hukum Islam di Indonesia, Buletin
Dakwah, 19
Mei 2006.
[4] Sunaryati Hartono, mantan Kepala BPBN, mengatakan bahwa sebenarnya bangsa
Indonesia
belum mempunyai hukum nasional, dan yang paling banyaknya baru hukum di Indonesia.
John Ball,
Guru Besar di Sidney University, menyebut keadaan hukum di Indonesia sebagai "The
struggle for a
national law." Lev mengatakan ada pertentangan-pertentang kepentingan antara
golongan-golongan
ideologi dalam hukum (Barat, Adat, dan Islam) sehingga hukum lama masih tetap juga
dipakai dan belum
ada konsensus untuk menggantinya. (Bustanul Arifin, Transformasi Syariah ke dalam
Hukum Nasional
(Bertenun dengan Benang-benang Kusut), Jakarta : Yayasan Al-Hikmah, 1999), hal. 5
dan 11).
[5] Untuk lebih lengkap baca Muchsin, Ikhtisar Sejarah Hukum, Jakarta: BP IBLAM, 2004, hal .9-22

[6] Hadis adalah “Segala sesuatu yang diambil dari Nabi Muhammad Saw
baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir (ketentuan), pengajaran, sifat,
kelakuan dan perjalanan hidup baik yang terjadi sebelum masa kenabian ayau
sesudahnya”

[7] Ijtihad ialah bersungguh-sungguh menggunakan akal pikiran untuk


merumuskan dan menetapkan hukum atau suatu perkara yang tidak ditemukan
kepastian hukumnya dalam Al-Qur’an maupun Hadits.

[8] Untuk lebih lengkap baca Muchsin, Ikhtisar Sejarah Hukum, Jakarta: BP IBLAM, 2004
[9] Untuk lebih lengkap baca Muchsin, Ikhtisar Sejarah Hukum, Jakarta: BP IBLAM, 2004
[10] Muchsin, Masa Depan Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: BP IBLAM, 2004, hal. 17-18.
[11] 14Iehtijanto, Pengembangan Teori berlakllnya hllkllm Islam di Indonesia, dalam Hukum
Islam di
Indonesia, Bandung: Remaja Rosdakarya eet. ke-2 1994, hal. 137
[12] Sedangkan yang dimaksud dengan ekonomi syariah, seperti yang diulas dalam penjelasan
UU
ini adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari'ah yang antara
lain
meliputi: bank syari'ah, lembaga kuangan mikro syari'ah, asuransi syari'ah, reasuransi syari'ah,
reksadana
syari'ah, obligasi syari'ah dan surat berharga berjangka menengah syari'ah, sekuritas syari'ah,
pembiayaan
syari'ah, pegadaian syari'ah, dana pensiun lembaga keuangan syari'ah dan bisnis syari'ah.
[13] BPIH disetorkan ke rekening Menteri melalui bank syariah dan / atau bank umum
nasional
yang ditunjuk oleh Menteri (Pasal 22).
[14] Republika, Rabu 2 April 2008, hal. 5
[15] Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 (selanjutnya disebut UU No.
21 Tahun
2008) tentang Perbankan Syariah menyebutkan bahwa perbankan syariah adalah segala
sesuatu yang
menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan,
kegiatan usaha, serta
cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.
[16] Akad-akad dimaksud antara lain adalah : wadi'ah, mudharabah, musyarakah, ijarah,
ijarah
muntahiya bit-tamlik, murabahah, salam, istishna'I, qardh, wakalah, atau akad lain yang
sesuai dengan
prinsip syariah.
[17] yaitu antara lain yang tidak mengandung unsur : riba, maysir, gharar, haram, dan
zalim.
[18] Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia. PT RajaGrafindo Persada, Jakarta:
2003, cet.
Kedelapan, hal. 170.
Diposkan oleh Dwi Hartanto di 19.33
http://dwihardkaconkmania.blogspot.com/2013/05/makalah-agama-hukum-islam-
dan.html

 http://ppitunisia.150m.com/artikel/Hukum%20Islam.htm
 http://annhasanafiles.blogspot.com/2012/10/hukum-islam-dalam-dinamika-
kehidupan.html
 http://hukumislamdankontribusiumatislam.blogspot.com/

 Saebani, Ahmad, Beni –Filsafat Hukum Islam, Bandung: CV Pustaka Setia, 2007.

http://nuryandi-cakrawalailmupengetahuan.blogspot.com/2012/07/prinsip-prinsip-
hukum-islam.html

Anda mungkin juga menyukai