Anda di halaman 1dari 10

Penyelesaian Masalah Diagnosis Diabetes dengan Prinsip Evidence Based

Medicene

Gabriella Selara Pangarepo


A1 / 102014085
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna utara no.6 Kebon Jeruk, Jakarta
gabriellaselara@gmail.com

Abstrak

Evidence-based medicine (EBM) adalah suatu pendekatan medik yang didasarkan pada bukti-
bukti ilmiah terkini untuk kepentingan pelayanan kesehatan penderita. Dengan demikian,
dalam prakteknya, EBM memadukan antara kemampuan dan pengalaman klinik dengan bukti-
bukti ilmiah terkini yang paling dapat dipercaya. Untuk saat ini, didalam pendidikannya, dokter
sangat harus dididik dan dituntut untuk belajar secara mandiri yang berkonsep pada konsep
dasar belajar berbasis bukti ilmiah (evidence based medicine), yang bertujuan agar mahasiswa
kedepannya dapat benar – benar siap dan mampu untuk menjadi seorang dokter yang dapat
membantu pasien sesuai dengan yang diharapkan.

Kata kunci : Evidence-based medicine, EBM, kedokteran.

Abstract

Evidence-based medicine (EBM) is a medical approach based on current scientific evidence


for the health of the patient. Thus, in practice, EBM combines clinical abilities and experience
with the most reliable and reliable scientific evidence. For now, in his education, doctors must
be educated and required to study independently conceptualize the basic concept of evidence
based medicine, which aims to enable future students to be fully prepared and able to become
a doctor who can help the patient as expected.

Keywords : Evidence-based medicine, EBM, medicine.


Pendahuluan

Semakin berkembangnya zaman, sistem pendidikan dokter di seluruh dunia juga semakin
berkembang. Demikian pula sistem pendidikan dokter di Indonesia. Dulu proses pendidikan
kedokteran di Indonesia cenderung masih tradisional dan sangat mengandalkan kuliah yang
berpusat pada dosen, yang cenderung menekankan pada transfer pengetahuan, bukan pada
pemfasilitasan pembelajaran. Proses pendidikan kedokteran yang seperti itu sudah tidak cocok
dengan tuntutan keadaan saat ini. Untuk saat ini, didalam pendidikannya, dokter sangat harus
dididik dan dituntut untuk belajar secara mandiri yang berkonsep pada konsep dasar belajar
berbasis bukti ilmiah (evidence based medicine), yang bertujuan agar mahasiswa kedepannya
dapat benar – benar siap dan mampu untuk menjadi seorang dokter yang dapat membantu
pasien sesuai dengan yang diharapkan.1
Bukan hanya didalam sistem pendidikan saja, demikian juga dengan berkembangnya teknologi
informatika yang dapat dilihat dari semakin pesatnya perkembangan bioinformatika dan
teknologi informasi yang mempunyai kontribusi besar pada munculnya era ledakan informasi
ilmiah yang secara mendasar merubah cara dokter mendefinisikan, mendiagnosis, memberikan
terapi, dan mencegah penyakit. Semakin pesatnya perkembangan informasi tentang cara
melakukan praktik kedokteran dan perubahan informasi juga sangat membantu dokter didalam
mencari dan mengambil informasi catatan-catatan medis elektronik melalui internet. Dari
semuanya tersebut, tujuan utama dari seorang dokter adalah mengobati pasien sampai pasien
benar-benar sembuh. Oleh karena itu, maka berkembanglah seni kedokteran yang sangat
diperlukan dalam praktik kedokteran yang berbasis ilmiah atau yang sering disebut dengan
Evidence Based Medicine.1

Pembahasan
Definisi
Evidence-based medicine (EBM) adalah suatu pendekatan medik yang didasarkan pada
bukti-bukti ilmiah terkini untuk kepentingan pelayanan kesehatan penderita. Dengan demikian,
dalam prakteknya, EBM memadukan antara kemampuan dan pengalaman klinik dengan bukti-
bukti ilmiah terkini yang paling dapat dipercaya.2
Pengertian lain dari evidence based medicine (EBM) adalah proses yang digunakan
secara sistematik untuk menemukan, menelaah/me-review, dan memanfaatkan hasil-hasil studi
sebagai dasar dari pengambilan keputusan klinik. Jadi secara lebih rincinya lagi, EBM
merupakan keterpaduan antara (1) bukti-bukti ilmiah, yang berasal dari studi yang terpercaya
(best research evidence); dengan (2) keahlian klinis (clinical expertise) dan (3) nilai-nilai yang
ada pada masyarakat (patientvalues).2

Gambar 1. Keterpaduan Evidence-based medicine.3

Adapun accountable aspek ilmiah adalah mensurvey secara langsung tentang suatu
permasalahan dengan penelitian untuk mendapatkan dasar yang valid dan dapat dipertanggung
jawabkan. Maksudnya adalah :

1. Melalui evidence based medicine kita mengadakan survei tentang keluhan sejumlah
penderita.
2. Melalui evidence based medicine kita mengadakan survei tentang kelainan fisik
sejumlah penderita penyakit tertentu.
3. Selain mensurvei keluhan dan kelainan fisik penderita, melaui evidence based medicine
kita juga dapat mensurvei hasil terapinya.3
Penerapan evidence based medicine dalam pembelajaran mahasiswa diantaranya adalah

1. Dalam menyusun dan memformulasikan pertanyaan ilmiah yang berkaitan dengan


masalah
2. Menelusuri informasi ilmiah yang berkaitan dengan masalah yang dihadapi
3. Menelaah terhadap bukti-bukti ilmiah yang didapat
4. Penerapan hasil-hasil penelaah bukti-bukti ilmiah tadi yang sudah dipercaya ke dalam
praktek pengambilan keputusan. Kemudian pengevaluasian terhadap efficacy dan
effectiveness.3

Beberapa alasan utama mengapa EBM diperlukan :

1. Bahwa informasi-informasi tradisional (misalnya yang terdapat dalam text-book) sudah


sangat tidak akurat pada saat ini. Beberapa justru sering keliru dan menyesatkan
(misalnya informasi dari pabrik obat yang disampaikan oleh duta-duta farmasi), tidak
efektif (misalnya continuing medical education yang bersifat didaktik), atau bisa saja
terlalu banyak sehingga justru sering membingungkan (misalnya jurnal-jurnal
biomedik / kedokteran yang saat ini berjumlah lebih dari 25.000 jenis).
2. Dalam pendidikannya, dengan bertambahnya pengalaman klinik seseorang maka
kemampuan / ketrampilan untuk mendiagnosis dan menetapkan bentuk terapi (clinical
judgement) juga meningkat. Namun pada saat yang bersamaan, kemampuan ilmiah
(akibat terbatasnya informasi yang dapat diakses) serta kinerja klinik (akibat hanya
mengandalkan pengalaman, yang sering tidak dapat dipertanggung-jawabkan secara
ilmiah) menurun secara signifikan.
3. Meningkatkan kinerja mahasiswa dalam mencari dan mengidentifikasi literatur klinis
terbaik untuk menyelesaikan masalah.4

Tujuan EBM

EBM bertujuan membantu klinisi memberikan pelayanan medis yang lebih baik agar diperoleh
hasil klinis (clinical outcome) yang optimal bagi pasien, dengan cara memadukan bukti terbaik
yang ada, keterampilan klinis, dan nilai-nilai pasien.5
Dua strategi digunakan untuk merealisasi tujuan EBM. Pertama, EBM mengembangkan sistem
pengambilan keputusan klinis berbasis bukti terbaik, yaitu bukti dari riset yang menggunakan
metodologi yang benar. Metodologi yang benar diperoleh dari penggunaan prinsip, konsep,
dan metode kuantitatif epidemiologi. Pengambilan keputusan klinis yang didukung oleh bukti
ilmiah yang kuat memberikan hasil yang lebih bisa diandalkan.6
Kedua, EBM mengembalikan fokus perhatian dokter dari pelayanan medis berorientasi
penyakit ke pelayanan medis berorientasi pasien (patient-centered medical care).7
EBM bertujuan meletakkan kembali pasien sebagai principal atau pusat pelayanan medis. EBM
mengembalikan fokus perhatian bahwa tujuan sesungguhnya pelayanan medis adalah untuk
membantu pasien hidup lebih panjang, lebih sehat, lebih produktif, dengan kehidupan yang
bebas dari gejala ketidak-nyamanan. Implikasi dari re-orientasi praktik kedokteran tersebut,
bukti-bukti yang dicari dalam EBM bukan bukti-bukti yang berorientasi penyakit (Disease-
Oriented Evidence, DOE), melainkan bukti yang berorientasi pasien (Patient-Oriented
Evidence that Matters, POEM).8
Di samping itu, paradigma EBM mengingatkan kembali pentingnya hubungan antara pasien
sebagai ‘principal’ dan dokter sebagai ‘agent’ yang dibutuhkan untuk penyembuhan. (Healing
requires relationships—relationships which lead to trust, hope, and a sense of being known).8
Praktik klinis EBM memberdayakan klinisi sehingga klinisi memiliki pandangan yang
independen dalam membuat keputusan klinis, dan bersikap kritis terhadap klaim dan
kontroversi di bidang kedokteran.3,7,8
Praktik EBM menuntut dokter untuk mengambil keputusan medis bersama pasien (shared
decision making), dengan memperhatikan preferensi, keprihatinan, nilai-nilai, ekspektasi, dan
keunikan biologis individu pasien. Sistem nilai pasien meliputi pertimbangan biaya, keyakinan
agama dan moral pasien, dan otonomi pasien, dalam menentukan pilihan yang terbaik bagi
dirinya.1,8

Langkah-langkah EBM

Tabel 1. Lima langkah Evidence-Based Medicine.8


Langkah 1 Rumuskan pertanyaan klinis tentang
pasien, terdiri atas empat komponen:
Patient, Intervention, Comparison,
dan Outcome
Langkah 2 Temukan bukti-bukti yang bisa
menjawab pertanyaan itu. Salah satu
sumber database yang efisien untuk
mencapai tujuan itu adalah PubMed
Clinical Queries.
Langkah 3 Lakukan penilaian kritis apakah
bukti-bukti benar (valid), penting
(importance), dan dapat diterapkan di
tempat praktik (applicability)
Langkah 4 Terapkan bukti-bukti kepada pasien.
Integrasikan hasil penilaian kritis
dengan keterampilan klinis dokter,
dan situasi unik biologi, nilai-nilai dan
harapan pasien
Langkah 5 Lakukan evaluasi dan perbaiki
efektivitas dan efisiensi dalam
menerapkan keempat langkah
tersebut

Langkah 1: Merumuskan pertanyaan klinis

BACKGROUND QUESTIONS. Ketika seorang dokter memberikan pelayanan medis kepada


pasien hampir selalu timbul pertanyaan di dalam benaknya tentang diagnosis, kausa, prognosis,
maupun terapi yang akan diberikan kepada pasien. Sebagian dari pertanyaan itu cukup
sederhana atau merupakan pertanyaan rutin yang mudah dijawab, disebut pertanyaan latar
belakang (background questions).5,9

FOREGROUND QUESTIONS. Banyak pertanyaan klinis lainnya yang sulit dijawab, yang
tidak memadai untuk dijawab hanya berdasarkan pengalaman, membaca buku teks, atau
mengikuti seminar. Pertanyaan yang sulit dijawab disebut pertanyaan latar depan (foreground
questions).5,9

Langkah 2: Mencari Bukti

Setelah merumuskan pertanyaan klinis secara terstruktur, langkah berikutnya adalah mencari
bukti-bukti untuk menjawab pertanyaan tersebut. Bukti adalah hasil dari pengamatan dan
eksperimentasi sistematis. Jadi pendekatan berbasis bukti sangat mengandalkan riset, yaitu data
yang dikumpulkan secara sistematis dan dianalisis dengan kuat setelah perencanaan riset. 9

Langkah 3: Menilai Kritis Bukti

Penilaian kritis kualitas bukti dari artikel riset meliputi penilaian tentang validitas
(validity), kepentingan (importance), dan kemampuan penerapan (applicability) bukti-bukti
klinis tentang etiologi, diagnosis, terapi, prognosis, pencegahan, kerugian, yang akan
digunakan untuk pelayanan medis individu pasien, disingkat “VIA”.9

a. Validity

Validitas (kebenaran) bukti yang diperoleh dari sebuah riset tergantung dari cara
peneliti memilih subjek / sampel pasien penelitian, cara mengukur variabel, dan
mengendalikan pengaruh faktor ketiga yang disebut faktor perancu
(confounding factor).

b. Importance

Suatu tes diagnostik dipandang penting jika mampu mendiskriminasi


(membedakan) pasien yang sakit dan orang yang tidak sakit dengan cukup
substansial, sebagaimana ditunjukkan oleh ukuran akurasi tes diagnostik,
khususnya Likelihood Ratio (LR). Suatu intervensi medis yang mampu secara
substantif dan konsisten mengurangi risiko terjadinya hasil buruk (bad
outcome), atau meningkatkan probabilitas terjadinya hasil baik (good outcome),
merupakan intervensi yang penting dan berguna untuk diberikan kepada pasien

c. Applicability

Bukti yang valid dan penting dari sebuah riset hanya berguna jika bisa
diterapkan pada pasien di tempat praktik klinis. Efikasi (efficacy) adalah bukti
tentang kemaknaan efek yang dihasilkan oleh suatu intervensi, baik secara
klinis maupun statistik, seperti yang ditunjukkan pada situasi riset yang sangat
terkontrol.

Langkah 4: Menerapkan Bukti

Langkah EBM diawali dengan merumuskan pertanyaan klinis dengan struktur ―PICO,
diakhiri dengan penerapan bukti intervensi yang memperhatikan aspek ―PICO – patient,
intervention, comparison, dan outcome. Selain itu, penerapan bukti intervensi perlu
mempertimbangkan kelayakan (feasibility) penerapan bukti di lingkungan praktik klinis.9
a. Patient
Tiga pertanyaan perlu dijawab tentang pasien sebelum menerapkan intervensi:
1. Apakah pasien yang digunakan dalam penelitian memiliki karakteristik yang
sama dengan pasien di tempat praktik?
2. Apakah hasil intervensi yang akan diberikan sesuai dengan keinginan
maupun kebutuhan sesungguhnya (real need) pasien?
3. Bagaimana dampak psikologis-sosial-kultural pada pasien sebelumnya dalam
menggunakan intervensi?

b. Intervention
Tiga pertanyaan perlu dijawab terkait intervensi sebelum diberikan kepada
pasien:
1. Apakah intervensi memiliki bukti efektivitas yang valid?
2. Apakah intervensi memberikan perbaikan klinis yang signifikan?
3. Apakah intervensi memberikan hasil yang konsisten?

c. Comparison
Tiga pertanyaan perlu dijawab tentang aspek perbandingan untuk menerapkan
bukti:
1. Apakah terdapat kesesuaian antara pembanding / alternatif yang digunakan
oleh peneliti dan pembanding / alternatif yang dihadapi klinisi pada pasien di
tempat praktik?
2. Apakah manfaat intervensi lebih besar daripada mudarat yang diakibatnya?
3. Apakah terdapat alternatif intervensi lainnya?

d. Outcome
Tiga pertanyaan perlu dijawab bertalian dengan hasil:
1. Apakah hasil intervensi yang diharapkan pasien?
2. Apakah hasil intervensi yang akan diberikan sesuai dengan keinginan dan
kebutuhan sesungguhnya (real need) pasien?
3. Apakah pasien memandang manfaat dari intervensi lebih penting daripada
kerugian yang diakibatkannya?

Langkah 5: Mengevaluasi Kinerja Penerapan EBM

Kinerja penerapan EBM perlu dievaluasi, terdiri atas tiga kegiatan sebagai berikut.

Pertama, mengevaluasi efisiensi penerapan langkah-langkah EBM. Penerapan EBM belum


berhasil jika klinisi membutuhkan waktu terlalu lama untuk mendapatkan bukti yang
dibutuhkan, atau klinisi mendapat bukti dalam waktu cukup singkat tetapi dengan kualitas bukti
yang tidak memenuhi ―VIA (kebenaran, kepentingan, dan kemampuan penerapan bukti).
Kedua contoh tersebut menunjukkan inefisiensi implementasi EBM.

Kedua, melakukan audit keberhasilan dalam menggunakan bukti terbaik sebagai dasar praktik
klinis. Audit klinis adalah “a quality improvement process that seeks to improve patient care
and outcomes through systematic review of care against explicit criteria and the
implementation of change". Dalam audit klinis dilakukan kajian (disebut audit) pelayanan yang
telah diberikan, untuk dievaluasi apakah terdapat kesesuaian antara pelayanan yang sedang /
telah diberikan (being done) dengan kriteria yang sudah ditetapkan dan harus dilakukan (should
be done). Jika belum / tidak dilakukan, maka audit klinis memberikan saran kerangka kerja
yang dibutuhkan agar bisa dilakukan upaya perbaikan pelayanan pasien dan perbaikan klinis
pasien.

Ketiga, mengidentifikasi area riset di masa mendatang. Kendala dalam penerapan EBM
merupakan masalah penelitian untuk perbaikan implementasi EBM di masa mendatang.10

Kesimpulan

Evidence-based medicine (EBM) adalah suatu pendekatan medik yang didasarkan pada bukti-
bukti ilmiah terkini untuk kepentingan pelayanan kesehatan penderita. Dengan demikian,
dalam prakteknya, EBM memadukan antara kemampuan dan pengalaman klinik dengan bukti-
bukti ilmiah terkini yang paling dapat dipercaya. EBM bertujuan membantu klinisi
memberikan pelayanan medis yang lebih baik agar diperoleh hasil klinis (clinical outcome)
yang optimal bagi pasien, dengan cara memadukan bukti terbaik yang ada, keterampilan klinis,
dan nilai-nilai pasien.
Daftar Pustaka

1. Sackett DL, Haynes RB, Guyatt GH, Tugwell P (1991). Clinical epidemiology: A basic
science for clinical medicine. Boston: Little, Brown, and Company.
2. Sackett DL, Rosenberg WM (1995). The need for evidence-based medicine. J R Soc
Med;88:620-624.
3. Sackett DL, Rosenberg WM, Gray JA, Haynes RB, Richardson WS (1996). "Evidence
based medicine: what it is and what it isn't". BMJ 312 (7023): 71–2.
4. Sackett DL (1997). Evidence-based medicine. Seminars in Perinatology. 21 (1): 3-5.
5. Sackett DL, Straus SE, Richardson WS, Rosenberg WM, Haynes B (2000). Evidence
based medicine: how to practice and teach EBM. (2nd ed.) Toronto: Churchill
Livingstone.
6. Scott IA (2009). Analysis: Errors in clinical reasoning: causes and remedial strategies.
BMJ 338:doi:10.1136/bmj.b1860.
7. Shaughnessy AF, Slawson DC (2007). POEMs: Patient-Oriented Evidence That
Matters. Annals of Internal Medicine, 126 ( 8): 667.
8. Smith CA, Hay PPJ, MacPherson H (2010). Acupuncture for depression. Cochrane
Database of Systematic Reviews 2010, Issue 1. Art. No.: CD004046. DOI:
10.1002/14651858. CD004046.pub3.
9. Straus SE, Richardson WS, Glasziou P, Haynes RB (2007). Evidence-based medicine:
how to practice and teach EBM. Edisi ketiga. Edinburgh: Churchill Livingstone.
10. Zakowski L Seibert CS, VanEyck S (2007). Evidence-based medicine: Answering
questions of diagnosis. Clinical Medicine & Research, 2 (1) : 63 -69.

Anda mungkin juga menyukai