Anda di halaman 1dari 29

REFERAT

Trauma Kepala

Disusun Oleh :

Gabriella Selara Pangarepo

11-2018-046

Pembimbing :

dr. Budi Suanto, Sp.B

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH

RS IMANUEL WAY HALIM – BANDAR LAMPUNG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

PERIODE 18 Maret – 25 Mei 2019


BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Trauma merupakan penyebab terbanyak kematian pada usia di bawah 45 tahun dan
lebih dari 50% merupakan trauma kapitis. Trauma kepala merupakan salah satu masalah
kesehatan yang dapat menyebabkan gangguan fisik dan mental yang kompleks. Gangguan
yang ditimbulkan dapat bersifat sementara maupun menetap, seperti defisit kognitif, psikis,
intelektual, serta gangguan fungsi fisiologis lainnya. Hal ini disebabkan oleh karena trauma
kepala dapat mengenai berbagai komponen kepala mulai dari bagian terluar hingga
terdalam, termasuk tengkorak dan otak. Selain itu juga merupakan salah satu penyebab
kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif, dan sebagian besar karena
kecelakaan lalu lintas. Hal ini diakibatkan karena mobilitas yang tinggi di kalangan
usia produktif sedangkan kesadaran untuk menjaga keselamatan di jalan masih rendah,
disamping penanganan pertama yang belum benar, serta rujukan yang terlambat. Di
Amerika Serikat insiden trauma kepala adalah 200 per 100 000 orang per tahun. Di
Indonesia, walaupun belum tersedia data secara nasional, trauma kepala juga merupakan
kasus yang sangat sering dijumpai di setiap rumah sakit.

Cedera kepala merupakan keadaan yang serius, sehingga diharapkan para dokter
mempunyai pengetahuan praktis untuk melakukan pertolongan pertama pada penderita.
Tindakan pemberian oksigen yang adekuat dan mempertahankan tekanan darah yang cukup
untuk perfusi otak dan menghindarkan terjadinya cedera otak sekunder merupakan pokok-
pokok tindakan yang sangat penting untuk keberhasilan kesembuhan penderita. Sebagai
tindakan selanjutnya yang penting setelah primary survey adalah identifikasi adanya lesi
masa yang memerlukan tindakan pembedahan, dan yang terbaik adalah pemeriksaan dengan
CT Scan kepala. Pada penderita korban cedera kepala, yang harus diperhatikan adalah
pernafasan, peredaran darah dan kesadaran, sedangkan tindakan resusitasi, anamnesis dan
pemeriksaan fisik umum dan neurologist harus dilakukan secara serentak. Tingkat
keparahan cedera kepala harus segera ditentukan pada saat pasien tiba di Rumah Sakit.1-4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi

a. Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin atau kulit,
connective tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau galea aponeurotika,
loose conective tissue atau jaringan penunjang longgar dan pericranium.

b. Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang
tengkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital.
Kalvaria khususnya di regio temporal adalah tipis, namun di sini dilapisi oleh otot
temporalis. Basis kranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak
saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi
atas 3 fosa yaitu : fosa anterior tempat lobus frontalis, fosa media tempat temporalis
dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah batang otak dan serebelum.
c. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan
yaitu :
1. Duramater
Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal
dan lapisan meningeal. Duramater merupakan selaput yang keras, terdiri atas jaringan
ikat fibrisa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak
melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial
(ruang subdura) yang terletak antara duramater dan arachnoid, dimana sering
dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang
berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau
disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan
subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan
sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan
hebat.
Arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari kranium
(ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada
arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami
cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis (fosa media).

2. Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang.Selaput
arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah luar yang
meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial, disebut
spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh
liquor serebrospinalis. Perdarahan umumnya disebabkan akibat cedera kepala.

3. Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adarah
membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk
kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan menyatu
dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak juga diliputi
oleh pia mater.
d. Otak
Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat pada orang dewasa
sekitar 14 kg. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu; proensefalon (otak depan)
terdiri dari serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon
(otak belakang) terdiri dari pons, medula oblongata dan serebellum.

Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan dengan
fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan
dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori
tertentu. Lobus oksipital bertanggung jawab dalam proses penglihatan. Mesensefalon
dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran
dan kewaspadaan. Pada medula oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik.
Serebellum bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan.

e. Cairan serebrospinalis
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan kecepatan
produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari ventrikel lateral melalui foramen
monro menuju ventrikel III, dari akuaduktus sylvius menuju ventrikel IV. CSS akan
direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang terdapat pada
sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio
arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan
takanan intracranial. Angka rata-rata pada kelompok populasi dewasa volume CSS
sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari.

f. Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial
(terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang infratentorial (berisi
fosa kranii posterior).

g. Vaskularisasi Otak
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis. Keempat
arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk sirkulus
Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan otot didalam dindingnya yang
sangat tipis dan tidak mempunyai katup. Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara
ke dalam sinus venosus cranialis.5-7

2.2 Trauma Kepala

Definisi
Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang
menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau
gangguan fungsional jaringan otak.
Menurut Brain Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu
kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan
fungsi fisik.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa trauma kepala atau cedera
kepala adalah suatu kerusakan yang menimpa struktur kepala yang disebabkan oleh
serangan atau benturan fisik dari luar yang dapat menimbulkan gangguan fugsional
jaringan otak.7,8
Klasifikasi Cedera Kepala
Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3
deskripsi kalsifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, beratnya cedera kepala, dan
morfologinya.6,7,9

a. Mekanisme cedera kepala


Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dibagi atas cedera kepala tumpul dan
cedera kepala tembus. Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan
mobil atau motor, jatuh atau terkena pukulan benda tumpul. Sedangkan cedera kepala
tembus disebabkan oleh peluru atau tusukan. Adanya penetrasi selaput dura
menentukan apakah suatu cedera termasuk cedera tembus atau cedera tumpul.
b. Beratnya cedera
Cedera kepala diklasifikasikan berdasarkan nilai Glasgow Coma Scale (GCS).
Berdasarkan nilai GCS, maka penderita cedera kepala dengan nilai GCS sama atau
kurang dari 8 didefenisikan sebagai cedera kepala berat, cedera kepala sedang
memiliki nilai GCS 9-13, dan cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14-15.

o Cedera kepala ringan (GCS 13-15)


Suatu keadaan dimana kepala mendapat trauma ringan dengan hasil penilaian
tingkat kesadaran (GCS) yaitu 13-15, klien sadar penuh, atentif dan orientatif.
Klien tidak mengalami kehilangan kesadaran, bila hilang kesadaran misalnya
konkusio, tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang. Klien biasanya
mengeluh nyeri kepala dan pusing. Pasien dapat menderita abrasi, laserasi atau
hematoma kulit kepala. Biasanya terjadi penurunan kesadaran dan apabila ada
penurunan kesadaran hanya terjadi beberapa detik sampai beberapa menit saja.
Tidak ditemukan kelaianan pada pemeriksaan CT-scan, LCS normal, dapat terjadi
amnesia retrograde.

o Cedera kepala sedang (GCS 9-12)


Dapat terjadi penurunan kesadaran yang berlangsung hingga beberapa jam.
Sering tanda neurologis abnormal, biasanya disertai edema dan kontusio serebri.
Terjadi juga drowsiness dan confusion yang dapat bertahan hingga beberapa
minggu. Fungsi kognitif maupun perilaku yang terganggu dapat terjadi beberapa
bulan bahkan permanen. Suatu keadaan cedera kepala dengan nilai tingkat
kesadaran (GCS) yaitu 9-12, tingkat kesadaran lethargi, stupor. Gejala lain berupa
muntah, amnesia pasca trauma, konkusio, rabun, hemotimpanum, otorea atau
rinorea cairan cerebrospinal dan biasanya terdapat kejang.

o Cedera kepala berat (GCS <8)

Terjadi hilangnya kesadaran yang berkepanjangan atau yang disebut koma.


Penurunan kesadaran dapat hingga beberapa bulan. Pasien tidak mampu
mengikuti, bahkan perintah sederhana, karena gangguan penurunan kesadaran.
Termasuk juga dalam hal ini status vegetatif persisten. Mengalami amnesia > 24
jam, juga meliputi kontusio cerebral, laserasi atau hematoma intra kranial. Tanpa
memperdulikan nilai SKG, pasien digolongkan sebagai penderita cedera kepala
berat bila :

1. Pupil tak ekual


2. Pemeriksaan motor tak ekual.
3. Cedera kepala terbuka dengan bocornya CSS atau adanya jaringan otak yang
terbuka.
4. Perburukan neurologik.
5. Fraktura tengkorak depressed. 6,7,9
c. Morfologi cedera
Secara morfologis cedera kepala dapat dibagi atas fraktur cranium dan lesi
intrakranial.
1. Fraktur cranium
Fraktur cranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak dan dapat berbentuk
garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup. Fracture dasar tengkorak
biasanya memerlukan pemeriksaan CT Scan dengan teknik bone window untuk
memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak
menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci. Tanda-
tanda tersebut antara lain :
a. Ekimosis periorbital (raccoon eye sign)
b. Ekimosis retroauikular (battle sign)
c. Kebocoran CSS(Rhinorrhea, otorrhea)
d. Paresis nervus fasialis
Fraktur cranium terbuka atau komplikata mengakibatkan adanya hubungan antara
laserasi kulit kepala dan permukaan otak karena robeknya selaput duramater. Keadaan
ini membutuhkan tindakan dengan segera. Adanya fraktur tengkorak merupakan
petunjuk bahwa benturan yang terjadi cukup berat sehingga mengakibatkan retaknya
tulang tengkorak. Frekuensi fraktura tengkorak bervariasi, lebih banyak fraktura
ditemukan bila penelitian dilakukan pada populasi yang lebih banyak mempunyai
cedera berat. Pada penderita sadar, bila ditemukan fraktura kalvaria linear
mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar 400 kali dan pada penderita koma
kemungkinan ditemukannya pendarahan intracranial pada fraktur linear adalah 20 kali
karena resiko adanya perdarahan intracranial memang sudah lebih tinggi. Fraktur
dasar tengkorak sering disertai dengan kebocoran css baik melalui hidung
(rhinorrhea) atau melalui telinga (otorrhea). Fraktur ini juga sering menyebabkan
paresis nervus fasialis yang dapat terjadi segera setelah kejadian atau beberapa hari
kemudian.6,7,9
2. Lesi Intrakranial
Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal, difusa atau keduanya.
Termasuk dalam lesi fokal adalah hematoma epidural, hematoma subdural dan
kontusio (atau hematoma intraserebral). Pasien pada kelompok cedera otak difusa,
secara umum, menunjukkan CT scan normal namun keadaan klinis neurologis
penderita sangat buruk bahkan dapat dalam keadaan koma. Berdasarkan pada
dalamnya dan lamanya koma, maka cedara difus dikelompokan menurut kontusio
ringan, klasik dan cedera aksonol difus (CAD).6,7,9
a. Hematoma Epidural
Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk di ruang potensial
antara tabula interna dan duramater dengan cirri berbentuk bikonvek atau menyerupai
lensa cembung. Paling sering terletak diregio temporal atau temporoparietal dan
sering akibat robeknya pembuluh meningeal media. Perdarahan biasanya dianggap
berasal arterial, namun mungkin sekunder dari perdarahan vena pada sepertiga kasus.
Kadang-kadang, hematoma epidural akibat robeknya sinus vena, terutama diregio
parietal-oksipital atau fossa posterior.
Walau hematoma epidural relatif jarang terjadi (0.5% dari keseluruhan atau 9%
dari pasien koma cedera kepala), harus selalu diingat saat menegakkan diagnosis dan
ditindak segera. Bila ditindak segera, prognosis biasanya baik karena penekan
gumpalan darah yang terjadi tidak berlangsungg lama. Keberhasilan pada penderita
pendarahan epidural berkaitan langsung denggan status neurologis penderita sebelum
pembedahan. Penderita dengan pendarahan epidural dapat menunjukan adanya “lucid
interval” yang klasik dimana penderita yang semula mampu bicara lalu tiba-tiba
meningggal (talk and die), keputusan perlunya tindakan bedah memnang tidak mudah
dan memerlukan pendapat dari seorang ahli bedah saraf.
Dengan pemeriksaan CT Scan akan tampak area hiperdens yang tidak selalu
homogeny, bentuknya biconvex sampai planoconvex, melekat pada tabula interna dan
mendesak ventrikel ke sisi kontralateral (tanda space occupying lesion ). Batas dengan
corteks licin, densitas duramater biasanya jelas, bila meragukan dapat diberikan
injeksi media kontras secara intravena sehingga tampak lebih jelas.7,10

b. Hematom Subdural
Hematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi diantara duramater
dan arakhnoid.SDH lebih sering terjadi dibandingkan EDH, ditemukansekitar 30%
penderita dengan cedera kepala berat. Terjadi paling sering akibat robeknya vena
bridging antara korteks serebral dan sinus draining . Namun ia juga dapat berkaitan
dengan laserasi permukaan atau substansi otak. Fraktura tengkorak mungkin ada atau
tidak. Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer otak dan
kerusakan otak dibawahnya lebih berat dan prognosisnya lebih buruk dari hematoma
epidural. Pada CT Scan tampak gambaran hyperdens sickle ( seperti bulan sabit )
dekat tabula interna, terkadang sulit dibedakan dengan epidural hematom. Batas
medial hematom seperti bergerigi. Adanya hematom di daerah fissure interhemisfer
dan tentorium juga menunjukan adanya hematom subdural.7,10

c. Kontusi dan hematoma intraserebral


Kontusi serebral murni bisanya jarang terjadi. Selanjutnya, kontusi otak hampir
selalu berkaitan dengan hematoma subdural akut. Majoritas terbesar kontusi terjadi
dilobus frontal dan temporal, walau dapat terjadi pada setiap tempat termasuk
serebelum dan batang otak. Perbedaan antara kontusi dan hematoma intraserebral
traumatika tidak jelas batasannya. Bagaimanapun,terdapat zona peralihan, dan kontusi
dapat secara lambat laun menjadi hematoma intraserebral dalam beberapa hari.
Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam jaringan(parenkim)
otak. Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau kontusio jaringan otak yang
menyebabkan pecahnya pula pembuluh darah yang ada di dalam jaringan otak
tersebut. Lokasi yang paling sering adalah lobus frontalis dan temporalis. Lesi
perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan (coup) atau pada sisilainnya
(countrecoup).Defisit neurologi yang didapatkan sangat bervariasi dan tergantung
pada lokasi dan luas perdarahan.7,9

d. Cedera difus
Cedara otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat cedera akselerasi
dan deselerasi, dan ini merupakan bentuk yang sering terjadi pada cedera kepala.
Komosio cerebri ringan adalah keadaan cedera dimana kesadaran tetap tidak
terganggu namun terjadi disfungsi neurologis yang bersifat sementara dalam berbagai
derajat. Cedera ini sering terjadi, namun karena ringan kerap kali tidak diperhatikan.
Bentuk yang paling ringan dari komosio ini adalah keadaan bingung dan disorientasi
tanpa amnesia.Sindroma ini pulih kembali tanpa gejala sisa sama sekali.cedera
komosio yang lebih berat menyebabkan keadaan binggung disertai amnesia retrograde
dan amnesia antegrad.
Komosio cerebri klasik adalah cedera yang mengakibatkan menurunnya atau
hilanggnya kesadaran. Keadaan ini selalu disertai dengan amnesia pasca trauma dan
lamanya amnesia ini merupakan ukuran beratnya cidera. Dalam beberapa penderita
dapat timbul defisist neurologis untuk beberapa waktu.defisit neurologis itu misalnya
kesulitan mengingat, pusing, mual, anosmia, dan depresi serta gejala lain. Gejala-
gajala ini dikenal sebagai sindroma pasca komosio yang dapat cukup berat.
Cedera aksonal difus (Diffuse Axonal Injury, DAI) adalah keadaan
dimana pendeerita mengalami koma pasca cedera yang berlangsung lama ddan
tidak diakibatkan oleh suatu lesi masa atau serangan iskemik. Biasanya penderita
dalam keadaan kooma yang dalam dan tetap koma selama beberapa waktuu.Penderita
sering menuunjukan gejala dekortikasi atau deserebrasi dan bila pulih sering tetap
dalam keadaan cacat berat, itupun bila bertahan hidup.Penderita seringg menunjukan
gejala disfungsi otonom seperti hipotensi,hiperhidrosis dan hiperpireksia dan dulu
diduga akibat cedera aksonal difus dan cedeera otak kerena hipoksiia secara klinis
tidak mudah, dan memang dua keadaan tersebut sering terjadi bersamaan.
Dalam beberapa referensi, trauma maxillo facial juga termasuk dalam bahasan
cedera kepala. Karenanya akan dibahas juga mengenai trauma wajah ini, yang meski
bukan penyebab kematian namun kecacatan yang akan menetap seumur hidup perlu
menjadi pertimbangan.7,9,10

Etiologi
Kebanyakan cedera kepala merupakan akibat salah satu dari kedua mekanisme dasar
yaitu: Kontak bentur, terjadi bila kepala membentur atau menabrak sesuatu obyek atau
sebaliknya. Guncangan lanjut, merupakan akibat peristiwa guncangan kepala yang hebat,
baik yang disebabkan oleh pukulan maupun yang bukan karena pukulan.

Menurut Brain Injury Association of America, penyebab utama trauma kepala adalah
karena terjatuh sebanyak 28%, kecelakaan lalu lintas sebanyak 20%, karena disebabkan
kecelakaan secara umum sebanyak 19% dan kekerasan sebanyak 11% dan akibat ledakan
di medan perang merupakan penyebab utama trauma kepala.

Kecelakaan lalu lintas dan terjatuh merupakan penyebab rawat inap pasien trauma
kepala yaitu sebanyak 32,1 dan 29,8 per100.000 populasi. Kekerasan adalah penyebab
ketiga rawat inap pasien trauma kepala mencatat sebanyak 7,1 per100.000 populasi di
Amerika Serikat ( Coronado, Thomas, 2007). Penyebab utama terjadinya trauma kepala
adalah seperti berikut :

1. Kecelakaan Lalu Lintas


Kecelakaan lalu lintas adalah dimana sebuah kenderan bermotor bertabrakan dengan
kenderaan yang lain atau benda lain sehingga menyebabkan kerusakan atau kecederaan
kepada pengguna jalan raya.

2. Jatuh

Menurut KBBI, jatuh didefinisikan sebagai (terlepas) turun atau meluncur ke bawah
dengan cepat karena gravitasi bumi, baik ketika masih di gerakan turun maupun sesudah
sampai ke tanah.

3. Kekerasan

Menurut KBBI, kekerasan didefinisikan sebagai suatu perihal atau perbuatan


seseorang atau kelompok yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain, atau
menyebabkan kerusakan fisik pada barang atau orang lain (secara paksaan). Beberapa
mekanisme yang timbul terjadi trauma kepala adalah seperti translasi yang terdiri dari
akselerasi dan deselerasi. Akselerasi apabila kepala bergerak ke suatu arah atau tidak
bergerak dengan tiba-tiba suatu gaya yang kuat searah dengan gerakan kepala, maka
kepala akan mendapat percepatan (akselerasi) pada arah tersebut. Deselerasi apabila
kepala bergerak dengan cepat ke suatu arah secara tiba-tiba dan dihentikan oleh suatu
benda misalnya kepala menabrak tembok maka kepala tiba-tiba terhenti gerakannya.
Rotasi adalah apabila tengkorak tiba-tiba mendapat gaya mendadak sehingga membentuk
sudut terhadap gerak kepala. Kecederaan di bagian muka dikatakan fraktur
maksilofasial.5,7,8

Manifestasi Klinis

Gejala klinis trauma kepala adalah seperti berikut:


a. Tanda-tanda klinis yang dapat membantu mendiagnosa adalah:
1) Battle sign (warna biru atau ekhimosis dibelakang telinga di atas os.mastoid)
2) Hemotipanum (perdarahan di daerah membran timpani telinga)
3) Periorbital ecchymosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung)
4) Rhinorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari hidung)
5) Otorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari telinga)
b. Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala ringan:
1) Pasien tertidur atau kesadaran yang menurun selama beberapa saat kemudian
sembuh.
2) Sakit kepala yang menetap atau berkepanjangan.
3) Mual atau dan muntah.
4) Gangguan tidur dan nafsu makan yang menurun.
5) Letargik.
c. Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala berat:
1) Simptom atau tanda-tanda cardinal yang menunjukkan peningkatan di otak
menurun atau meningkat.
2) Perubahan ukuran pupil (anisokoria).
3) Triad Cushing (denyut jantung menurun, hipertensi, depresi pernafasan).
4) Apabila meningkatnya tekanan intrakranial, terdapat pergerakan atau posisi
abnormal ekstrimitas. 6,11

Pemeriksaan Fisik

1. Primary Survey

A. Airway, dengan kontrol servikal:

Yang pertama harus dinilai adalah jalan nafas, meliputi pemeriksaan adanya

obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan benda asing, fraktur tulang wajah,

fraktur mandibula atau maksila, fraktur laring atau trakea.

Pada pasien sadar tindakan pertama kali yang harus dilakukan adalah memeriksa

responsivitas pasien dengan mengajak pasien berbicara untuk memastikan ada atau

tidaknya sumbatan jalan nafas. Seorang pasien yang dapat berbicara dengan jelas

maka jalan nafas pasien terbuka / bebas. Bila penderita terdengar mengeluarkan
suara seperti tersedak atau berkumur ada obstruksi parsial. Bila penderita terlihat

tidak dapat bernafas berarti obstruksi total.

Pada pasien tidak sadar atau mengalami penurunan kesadaran atau GCS < 8

keadaan tersebut memerlukan pemasangan selang udara (bantauan airway dann

ventilasi).

Selama pemeriksaan jalan nafas, tidak boleh dilakukan ekstensi, fleksi atau rotasi

pada leher. Dalam keadaan curiga adanya fraktur servikal atau penderita datang

dengan multiple trauma, maka harus dipasangkan alat immobilisasi pada leher,

sampai kemungkinan adanya fraktur servikal dapat disingkirkan. Jika penderita

mengalami penurunan kesadaran atau GCS < 8 keadaan tersebut definitif

memerlukan pemasangan selang udara. Selama pemeriksaan jalan nafas, tidak

boleh dilakukan ekstensi, fleksi atau rotasi pada leher. Dalam keadaan curiga

adanya fraktur servikal atau penderita datang dengan multiple trauma, maka harus

dipasangkan alat immobilisasi pada leher, sampai kemungkinan adanya fraktur

servikal dapat disingkirkan.

B. Breathing, dengan ventilasi yang adekuat

Pengkajian pada pernafasan dilakukan untuk menilai kepatenan jalan nafas dan

keadekuatan pernafasan pada pasien. Jika pernafasan pada pasien tidak memadai,

maka langkah-langkah yang harus dipertimbangkan adalah: dekompresi dan

drainase tension pneumothorax/haemothorax, closure of open chest injury dan

ventilasi buatan

Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian breathing pada pasien antara lain :

- Pada inspeksi, baju harus dibuka untuk melihat ekspansi pernafasan dan jumlah

pernafasan per menit, apakah bentuk dan gerak dada sama kiri dan kanan.

- Perkusi dilakukan untuk mengetahui adanya udara atau darah dalam rongga
pleura.

- Auskultasi dilakukan untuk memastikan masuknva udara ke dalam paru-paru

C. Circulation, dengan kontrol perdarahan

a) Tekanan darah

Umumnya pasien dengan trauma kepala berat mengalami syok yang ditandai

dengan hopitensi, atau beberapa pasien juga memperlihatkan ketidak stabilan

hemodinamik (hipotensi atau hipertensi).

Suatu keadaan hipotensi harus dianggap hipovolumik sampai terbukti

sebaliknya. Jika volume turun, maka perfusi ke otak dapat berkurang sehingga

dapat mengakibatkan penurunan kesadaran. Penderita trauma yang kulitnya

kemerahan terutama pada wajah dan ekstremitas, jarang dalarn keadaan

hipovolemik. Wajah pucat keabu-abuan dan ekstremitas yang dingin merupakan

tanda hipovolemik.

b) Nadi

Periksa kekuatan, kecepatan, dan irama. Nadi yang tidak cepat, kuat, dan

teratur: normovolemia. Nadi yang cepat, kecil : hipovolemik. Kecepatan nadi

yang normal bukan jaminan normovolemia. Jika tidak ditemukannya pulsasi

dari arteri besar, merupakan tanda diperlukan resusitasi segera. Pada pasien

dengan trauma kepala berat umumnya mengalami syok yang ditandai dengan

takikardi

c) Suhu
Pada pasien dengan trauma kepala umumnya suhu badan naik atau demam
karena mengeksaserbasi cairan otak.
d) Pernapasan
Umumnya pada pasien dengan trauma kepala yang mengalami syok ditemukan
takipnea.
e) CRT
Pada pasien trauma kelapa yang mengalami syok umumnya ditemukan CRT >2
detik.

f) Akral
Umumnya pada pasien trauma kepala yang mengalami syok ditemukan suhu
akhral dingin, dan akral pucat yang menandakan adanya gangguan perfusi pada
jaringan perifer.
D. Disability

Evaluasi terhadap keadaan neurologis secara cepat. Yang dinilai adalah tingkat
kesadaran, ukuran pupil dan reaksi pupil terhadap cahaya dan adanya parese.

Suatu cara sederhana menilai tingkat kesadaran dengan AVPU

 A : sadar (Alert)

 V : respon terhadap suara (Verbal)

 P : respon terhadap nyeri (Pain)

 U : tidak berespon (Unresponsive)

Glasgow Coma Scale adalah sistem skoring sederhana dan dapat memperkirakan

keadaan penderita selanjutnya. Jika belum dapat dilakukan pada primary survey,

GCS dapat diiakukan pada secondary survey.

Selain itu melihat keadaan pupil, pada trauma kepala sedang umumnya ditemukan

gangguan kesadaran, abnormalitas pupil. Sedangkan pada kasus trauma kepala

berat umumnya ditemukan pupil tidak actual. Pada trauma kepala dengan

perdarahan subdural kronis umumnya ditemukan penurunan reaksi pupil terhadap

cahaya.

Pada gangguan motoric dapat dilihat dari kemampuan bergerak, kerusakan area

motorik, hemi paresis/plegia, ganggguan gerak volunter, ROM (Range of Motion),


dan kekuatan otot. Pada kasus trauma kepala dengan perdarahan subdural akut

umumnya ditemukan penurunan reaksi motoric.

Pada gangguan sensorik dengan melihat kemampuan sensorik pasien. Umumnya

pada pasien dengan trauma kepala sedang ditemukan gangguan pengelihatan,

pendengan, disfungsi sensorik, dan kejang otot.

E. Exposure

Penderita trauma yang datang harus dibuka pakaiannya dan dilakukan evaluasi

terhadap jejas dan luka.

2. Secondary Survey

Pemeriksaan dari kepala sampai kaki (head to toe, examination), termasuk reevaluasi

tanda vital.

Cari adanya tanda-tanda: Racoon eyes sign (echimosis periorbital), Battle’s Sign

(echimosis retroaorikuler), Rhinorrhea , Otorhea (tanda kebocoran LCS).

Segera setelah status kardiovaskular penderita stabil, dilakukan pemeriksaan

naeurologis lengkap.6,8,9

Pemeriksaan penunjang

1. Foto Polos Kepala


Indikasi foto polos kepala tidak semua penderita dengan cedera kepala diindikasikan
untuk pemeriksaan kepala karena masalah biaya dan kegunaan yang sekarang makin
ditinggalkan. Jadi indikasinya meliputi jejas lebih dari 5 cm, Luka tembus
(tembak/tajam), Adanya corpus alineum, Deformitas kepala (dari inspeksi dan
palpasi), Nyeri kepala yang menetap, Gejala fokal neurologis, Gangguan kesadaran.
Pada kecurigaan adanya fraktur depresi maka dilakukan foto polos posisi AP/lateral
dan oblique.
2. CT Scan
• Pada pasien yang mengalami penurunan kesadaran dan terdapat tanda – tanda
peningkatan tekanan intrakranial. Selain untuk melihat adanya fraktur tulang
tengkorak, CT scan juga dapat melihat adanya perdarahan otak, efek desakan pada
otak dan bisa digunakan sebagai pemantau terhadap perkembangan perdarahan pada
otak. Selain itu juga dapat memperlihatkan secara spesifik letak edema, posisi
hematoma, adanya jaringan otak yang infark atau iskemia serta posisinya secara pasti.
Indikasi pemeriksaan CT Scan :
• Penurunan kesadaran (CKS, CKB)
• Defisit neurologis dan lateralisasi
• Luka tembak, bacok pada kepala
• Dirawat 1 hari tidak ada perbaikan GCS
• Trauma dengan nyeri kepala,muntah, bradikardi, dll yang tidak membaik.

3. MRI (magnetic imaging resonance)


Dengan menggunakan gelombang magnetik untuk menentukan posisi serta besar/ luas
terjadinya perdarahan otak.
4. Angiografi serebral
Menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak akibat
edema, perdarahan, trauma.

5. X-Ray
Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis (perdarahan /
edema), adanya fragmen tulang.
6. BAER (Brain Auditory Evoked Respons)
Menentukan fungsi korteks dan batang otak
7. PET (positron Emission Tomography)
Menunjukkan perubahan aktivitas metabolisme pada otak.10.11

Tatalaksana
Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memikili tujuan untuk
memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder serta memperbaiki
keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu penyembuhan sel-sel otak
yang sakit. Penatalaksanaan cedera kepala tergantung pada tingkat keparahannya, berupa
cedera kepala ringan, sedang, atau berat.
Prinsip penanganan awal meliputi primary survey dan secondary survey.
Dalam penatalaksanaan primary survey hal-hal yang diprioritaskan antara lain
airway, breathing, circulation, disability, dan exposure, yang kemudian dilanjutkan dengan
resusitasi. Pada penderita cedera kepala khususnya dengan cedera kepala berat primary
survey sangatlah penting untuk mencegah cedera otak sekunder dan mencegah
homeostasis otak.
Tidak semua pasien cedera kepala perlu di rawat inap di rumah sakit. Indikasi rawat antara
lain:
a.Amnesia post traumatika jelas (lebih dari 1 jam)
b.Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)
c.Penurunan tingkat kesadaran
d.Nyeri kepala sedang hingga berat
e.Intoksikasi alkohol atau obat
f.Fraktura tengkorak
g.Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea
h.Cedera penyerta yang jelas
i.Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggung jawabkan
j. CT scan abnormal
Macam dan urutan prioritas tindakan trauma kepala ditentukan atas dalamnya penurunan
kesadaran pada saat diperiksa:

a. Pasien dalam keadaan sadar (GCS: 15)


1) Simple Head Injury (SHI)
Pada pasien ini, biasanya tidak ada riwayat penurunan kesadaran sama sekali
dan tidak ada defisit neurologik, serta tidak ada muntah. Tindakan hanya
perawatan luka. Pemeriksaan radiologik hanya indikasi. Umumnya pasien SHI
boleh pulang dengan nasihat dan keluarga diminta mengobservasi kesadaran.
Bila dicurigai kesadaran menurun saat observasi, misalnya terlihat seperti
mengantuk dan sulit dibangunkan, pasien harus segera dibawa kembali ke
rumah sakit.

2) Penderita mengalami penurunan kesadaran sesaat setelah trauma kepala, dan


saat diperiksa sudah sadar kembali. Pasien ini kemungkinan mengalami
trauma kepala ringan.

b. Pasien dengan kesadaran menurun

Cedera Kepala Ringan (GCS = 13 – 15 )


 Penderita sadar dan dapat berbicara namun dapat terdapat riwayat adanya
disorientasi, amnesia atau kehilangan kesadaran sementara
 Skor GCS diantara 13 dan 15
 Riwayat hilangnya kesadaran sulit untuk dikonfirmasi dan gambarannya sering
sulit dibadakan dengan intoksikasi alcohol atau lainnya.
 Namun perubahan status mental tidak boleh disingkikan sebelum cedera kepala
disingkirkan
 Secondary survey penting dievaluasi. Perhatikan mekanisme cedera, perhatian
khusus pada kehilangan kesadaran, lamanya waktu pasien tidak merespon,
aktivitas kejang dan level kesadaran.
 Tentukan durasi amesia sebelum (retrograde) dan setelah (antegrade) insiden.
 Idealnya semua penderita cedera kepala diperiksa dengan CT scan, terutama bila
dijumpai adanya cedera otak yang memiliki klinis dicurigai fraktur tengkorak
terbuka, tanda fraktur basilar, muntah lebih dari dua episode, atau pasien lebih
dari 65 tahun. Harus dilakukan juga pada pasien dengan hilang kesadaran lebih
dari 5 menit, retrograde amnesia lebih dari 30 menit, mekanisme cedera yang
berbahaya (jatuh dari ketinggian lebih dari 3 kaki, pejalan kaki tertabrak oleh
pengendara kendaraan bermotor), sakit kepala hebat dan deficit neurologis
fokal.
 Observasi minimal 24 jam di rumah sakit untuk menilai kemungkinan
hematoma intrakranial, misalnya riwayat lucid interval, nyeri kepala, muntah-
muntah, kesadaran menurun, dan gejala-gejala lateralisasi (pupil anisokor,
refleksi patologis positif). Jika dicurigai ada hematoma, dilakukan CT-Scan.
Pasien trauma kepala ringan tidak perlu dirawat jika:

a) Orientasi (waktu dan tempat) baik


b) Tidak ada gejala fokal neurologik
c) Tidak ada muntah atau sakit kepala
d) Tidak ada fraktur tulang kepala
e) Tempat tinggal dalam kota
f) Ada yang bisa mengawasi dengan baik di rumah, dan bila dicurigai ada
perubahan kesadaran, dibawa kembali ke RS

Cedera Kepala Sedang (GCS = 9 – 12 )


 Sekitar 15% pasien cedera kepala mengalami cedera kepala sedang.
 Pada 10 % kasus :
 Masih mampu menuruti perintah sederhana
 Tampak bingung atau mengantuk
 Dapat disertai defisit neurologis fokal seperti hemi paresis
 Pada 10 – 20 % kasus :
 Mengalami perburukan dan jatuh dalam koma
 Tindakan di UGD :
 Anamnesis singkat
 Stabilisasi kardiopulmoner dengan segera sebelum pemeriksaan
neulorogis
 Periksa dan atasi gangguan jalan napas (Airway), pernapasan
(Breathing), dan sirkulasi (Circulation)
 Pemeriksaan tingkat kesadaran, pupil, tanda fokal serebral, dan trauma
organ lain. Jika dicurigai fraktur tulang servikal dan atau tulang
ekstremitas, lakukan imobilisasi leher dengan pemasangan cervical
collar dan atau imobilisasi tulang ekstremitas bersangkutan
 Pemeriksaan CT scan kepala dan hubungi dokter bedah saraf. Follow
up CT scan pada 24 jam
 Penderita harus dirawat untuk diobservasi di ICU atau di unit sejenis
dengan observasi 12 -24 jam pertama.

Cedera Kepala Berat (GCS = 3 – 8 )


 Sekitar 10% pasien cedera kepala mengalami cedera kepala berat
 Kondisi penderita tidak mampu melakukan perintah sederhana walaupun
status kardiopulmonernya telah distabilkan.
 Pasien dalam kategori ini, biasanya disertai cedera multipel. Bila didapatkan
fraktur servikal, segera imobilisasi leher, bila ada luka terbuka dan ada
perdarahan, dihentikan dengan balut tekan untuk pertolongan pertama.
Tindakan sama dengan trauma kepala sedang dengan pengawasan lebih ketat
dan dirawat di ICU. Disamping kelainan serebral juga bisa disertai kelainan
sistemik. Pasien trauma kepala berat sering berada dalam keadaan hipoksia,
hipotensi, dan hiperkapnia akibat gangguan kardiopulmoner.3,6,12
Cedera kepala ringan dapat ditangani hanya dengan observasi neurologis dan membersihkan
atau menjahit luka / laserasi kulit kepala. Untuk cedera kepala berat, tatalaksana spesialis
bedah saraf sangat diperlukan setelah resusitasi dilakukan.
Terapi medikamentosa untuk cedera kepala
Tujuan utama protocol perawatan intensif adalah mencegah terjadinya kerusakan
sekunder otak yang telah mengalami cedera. Prinsip dasarnya adalah bila sel saraf diberikan
suasana yang optimal untuk pemulihan , maka diharapkan sel tersebut dapat berfungsi
normal kembali. Namun bila suasananya dibiarkan dalam keadaan tidak optimal maka akan
mengalami kematian, Terapi medikamentosa antara lain cairan intravena, hiperventilasi,
mannitol, furosemide, steroid, barbiturate, dan antikejang.
a. Cairan intravena
Cairan intravena harus diberikan sesuai kebutuhan untuk resusitasi dan
mempertahankan normovolemia. Keadaan hipovolemia pada pasien sangatlah
berbahaya. Namun, perlu juga diperhatikan untuk tidak memberikan cairan
berlebihan. Jangan diberikan cairan hipotonik. Juga, penggunanaan cairan yang
mengandung glukosa dapat menyebabkan hiperglikemia yang berakibat buruk pada
otak yang cedera, Karena itu, cairan yang dianjurkan untuk resusitasi adalah larutan
Ringer Laktat atau garam fisiologis. Kadar Natrium serum serum perlu di monitor
pada pasien dengan cedera kepala. Keadaan hiponatremia sangat berkaitan dengan
dema otak sehingga harus dicegah.
Tujuan utama pengelolaan cairan pada cedera kepala traumatik adalah
mempertahankan keadaan dan memelihara kondisi Euvolemi atau Hipervolemi sedang
(CVP 8–10 mmHg) karena balan cairan yang negatif berhubungan dengan luaran yang
jelek.3 Cairan kristaloid isotonik dipergunakan, dan cairan normal salin cairan yang
terpilih, cairan yang sedikit hipotonis seperti Ringer Laktat bukan merupakan pilihan
resusitasi pasien cedera kepala terutama dalam jumlah yang banyak karena dapat
menyebabkan penurunan osmolaritas serum. Sedangkan cairan hipotonis seperti ½
NS, ¼ NS, D5, D5 ½ NS, D5 ¼ NS harus dihindari. Cairan yang mengandung
glukosa seperti D10 atau lebih harus dihindari pada waktu 24 sampai 48 jam pertama
terkecuali pada kondisi hipoglikemi.
Pengelolaan cairan pada cedera kepala bertujuan supaya tercapai keadaan
normovolemi, normotensi, normoglikemi dan iso osmolar. Pasien ini diberikan cairan
pasca operasi dengan cairan Ringer Fundin dan NaCl 0,9% yang bersifat iso osmolar
tanpa glukosa.
b. Hiperventilasi
Untuk sebagian besar pasien, keadaan normokarbia lebih diinginkan. Perlakuan
hiperventilasi akan menurunkan kadar PaCO2 yang menyebabkan vasokontriksi
pembuluh darah otak. Hiperventilasi yang berlangsung terlalu lama dan agresi dapat
menyebabkan iskemia otak akibat vasokontriksi berat pembuluh darah serebral
sehingga menimbulkan gangguan perfusi otak. Hal ini terjadi terutama bila PaCO2
dibiarkan turun sampai di bawah 30 mmHg (4,0 kPa )
Hiperventilasi sebaiknya dilakukan secara selektif dan hanya dalam batas waktu
tertentu. Umumnya, PaCO2 dipertahankan pada 35 mmHg atau lebih. Hiperventilasi
dalam waktu singkat ( PaCO2 antara 25-30 mmHg ) dapat dilakukan jika diperlukan
pada keadaan perburukan neurologis akut sementara pengobatan lainnya baru mau
dimulai.
c. Antikonvulsan
epilepsi pascatrauma terjadi pada 5% pasien yang dirawat di RS dengan cedera kepala
berat. Terdapat 3 faktor yang berkaitan dengan insiden epilepsi ; 1. Kejang awal yang
terjadi dalam minggu pertama 2. Perdarahan intracranial, atau 3 fraktur depresi.
Penelitian tersamar ganda double blind menunjukkan bahwa fenitoin sebagai
profilaksis bermanfaat untuk menurunkan angka insidensi kejang dalam minggu
pertama cedera namun tidak setelahnya. Fenitoin atau fosfenitoin adalah obat yang
biasa diberikan pada fase akut, Untuk dewasa dosis awalnya adalah 1g yang diberikan
secra intravena dengan kecepatan pemberian tidak lebih cepat dari 50 mg/menit.
Dosis pemeliharaan biasanya 100 mg/8 jam dengan titrasi untuk mencapai kadar
terapetik serum, Pada pasien dengan kejang berkepanjangan, diazepam atau
lorazepam digunakan sebagai tambahan selain feitoin sampai kejang berhenti. Untuk
mengatasi kejang yang terus menerus kadang memerlukan anastesi umum, Sangat
jelas bahwa kejang harus dihentikan dengan segera karena kejang yang berlangsung
lama (30-60 menit) dapat menyebabkan cedera otak.
d. Manitol
Manitol digunakan untuk menurunkan tekanan intracranial (TIK) yang meningkat,
sediaan yang tersedia cairan manitol dengan konsentrasi 20%. Dosis yang diberikan
0,25 – 1 g/kgBB diberikan secara bolus intravena. Manitol dosis tinggi jangan
diberikan pada pasien yang hipotensi, karena manitol merupakan diuretic osmotic
yang potensial. Adanya perburukan neurologis yang akut, seperti terjadinya dilatasi
pupil, hemiparesis maupun kehilangan kesadaran saat pasien dalam observasi
merupakan indikasi kuat untuk diberikan manitol, Pada keadaan tersebut pemberian
bolus manitol ( 1g/kgBB ) harus diberikan secara cepat ( dalam waktu 5 menit ) dan
pasien segera dibawa ke CT scan ataupun langsung ke kamar operasi bila lesi
penyebabnya sudah diketahui.
Pengendalian edema otak dan TIK dapat dilakukan dengan pemberian cairan
hiperosmoler seperti manitol. Manitol bekerja sebagai dioretika osmotik dengan cara
meningkatkan osmolaritas serum dan membuat perbedaan tekanan osmotik.
Pemeriksaan osmolaritas serum dilakukan untuk mengevaluasi adanya peningkatan
osmolaritas akibat manitol, bila osmolaritas serum lebih dari 320 mOsm/Kg H2O bisa
terjadi efek balik peningkatan TIK, gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit serta
gagal ginjal.
e. Barbiturate
Barbiturate bermanfaat untuk menurunkan TIK yang sulit diturunkan oleh obat-obat
lain. Namun obat ini jangan diberikan dalam keadaan hipotensi atau hipovolemia.
Hipotensi sering terjadi pada penggunaan barbiturate. Oleh karena itu barbiturate
tidak diindikasikan pada fase akut resusitasi.
f. Furosemide (Lasix)
Obat ini diberikan bersama manitol untuk menurunkan TIK. Penggunaan kombinasi
kedua obat akan meningkatkan diuresis. Dosisnya 0,3-0,5 mg/kg BB diberikan secara
IV.12-14
Indikasi Operasi
Indikasi untuk tindakan operatif ditentukan oleh kondisi klinis pasien, temuan
neuroradiologi dan patofisiologi dari lesi. Secara umum digunakan panduan sebagai
berikut :

- Volume massa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah supratentorial

- Volume massa hematom lebih dari 20 ml di daerah infratentorial

- Kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis

- Tanda fokal neurologis semakin berat

- Terdapat gejala TIK yang meningkat lebih dari 25 mmHg( sakit kepala hebat, muntah
proyektil)

- Pada pemeriksaan CT-Scan terdapat pendorongan garis tengah sampai lebih dari 3
mm atau penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang.

Tatalaksana Pembedahan
a) Luka kulit kepala
Hal penting adalah membersihkan luka sebelum melakukan penjahitan. Penyebab
tersing infeksi luka kepala adalah pembersihan dan debridement yang tidak adekuat.
Kehilangan darah dari kulit kepala dapat sangat hebat terutama pada anak-anak.
Perdarahan dari luka kulit kepala dapat diatasi dengan balut tekan, kauterisasi maupun
ligase pembuluh besar. Kemudian dilakukan penjahitan, pemasangan klips atau
staples. Inspeksi secara cermat haru dilakukan untuk menemukan adanya fraktur
tulang tengkorak ataupun benda asing. Terlihatnya cairan CSS pada luka
menunjukkan adanya robekan dura. Ahli bedah saraf harus dikonsulkan pada semua
kasus dengan fraktur tengkorak terbuka atau depresi. Tidak jarang, kumpulan
perdarahan subgaleal teraba seperti fraktur depresi. Dalam keadaan ini diperlukan
pemeriksaan foto polos tengkorak atau CT scan untuk memastikannya.
b) Fraktur depresi tulang tengkorak
Secara umum, fraktur depresi yang memerlukan koreksi secra operatif adalah bila
tebal depresi lebih dari ketebalan tulang di dekatnya atau bila terbuka dan sangat
terkontaminasi. Fraktur depresi yang tidak signifikan dapat ditolong dengan menutup
luka laserasi. CT scan berguna untuk menentukan dalamnya depresi tulang, tetapi
yang lebih penting adalah untuk menentukan ada tidaknya perdarahan intracranial
atau kontusio.
c) Lesi masa intracranial
Lesi ini harus dikeluarkan atau dirawat oleh seorang ahli bedah saraf. Bila tidak
terdapat ahli bedah saraf di fasilitas yang menerima pasien dengan lesi masa
intracranial, maka pasien harus segera dirukuk ke RS yang mempunyai ahli bedah
saraf, Terdapat perkecualian pada keadaan dimana perdarahan intracranial membesar
dengan cepat dan mengancam jiwa dan tidak cukup waktu untuk merujuk pasien.
Walaupun keadaan ini umumnya jarang terjadi di kota, hal seperti ini dapat terjadi di
perifer, Dalam keadaan itu tindakan kraniotomi darurat dapat dilakukan oleh seorang
ahli bedah terlatih untuk melakukan prosedut tersebut, Prosedur ini khususnya untuk
pasien dengan status neurologis yang memburuk dengan cepat dan tdak membaik
dengan terapi non bedah yang diberikan dan prosedur berdasarkan saran ahli bedah
saraf.

d) Cedera tajam pada otak


Ct scan sangat dianjurkan untuk mengevaluasi pasien dengan cedera otak tajam. Foto
polos dapat menilai alur peluru dan adanya benda asing yang besar serta udara
intracranial. Akan tetapi, bila ct scan dapat dilakukan maka foto polos tidaklah perlu,
CT-A maupun angiography konvensional dianjurkan apabila dicurigasi terjadi cedera
pembuluh darah, seperti ketika peluru melewati atau dekat dengan dasar tengkorak
maupun sinus-sinus duramater. Pemeriksaan MRI diperlukan untuk mengevaluasi
cedera tajam dengan kayu maupun objek non magnit lainnya. Namun, secara umum
MRI tidak diperlukan untuk evaluasi cedera karena peluru tajam.12-14

Craniotomy
Kraniotomi adalah tindakan pembedahan dengan membuka tulang tengkorak untuk
memberikan akses secara langsung ke otak. Kraniotomi dapat dilakukan pada tumor otak,
perdarahan otak seperti subdural hematoma, epidural hematoma, aneurisma serebri,
malformasi arteriovenous, infeksi otak seperti abses serebri serta trauma otak. Angka
kematian pasca kraniotomi dipengaruhi oleh beberapa hal seperti diagnosis penyakit yang
menjadi indikasi dilakukannya kraniotomi, komplikasi pasca operatif dan faktor medis
lainnya. 13,14

Prognosis

Cedera kepala bisa menyebabkan kematian atau penderita bisa mengalami


penyembuhan total. Jenis dan beratnya kelainan tergantung kepada lokasi dan beratnya
kerusakan otak yang terjadi. Berbagai fungsi otak dapat dijalankan oleh beberapa area,
sehingga area yang tidak mengalami kerusakan bisa menggantikan fungsi dari area lainnya
yang mengalami kerusakan. Tetapi semakin tua umur penderita, maka kemampuan otak
untuk menggantikan fungsi satu sama lainnya, semakin berkurang. Kemampuan berbahasa
pada anak kecil dijalankan oleh beberapa area di otak, sedangkan pada dewasa sudah
dipusatkan pada satu area. Jika hemisfer kiri mengalami kerusakan hebat sebelum usia 8
tahun, maka hemisfer kanan bisa mengambil alih fungsi bahasa.
Kerusakan area bahasa pada masa dewasa lebih cenderung menyebabkan kelainan yang
menetap. Beberapa fungsi (misalnya penglihatan serta pergerakan lengan dan tungkai)
dikendalikan oleh area khusus pada salah satu sisi otak. Kerusakan pada area ini biasanya
menyebabkan kelainan yang menetap. Dampak dari kerusakan ini bisa diminimalkan
dengan menjalani terapi rehabilitasi. Penderita cedera kepala berat kadang mengalami
amnesia dan tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah terjadinya
penurunan kesadaran. Jika kesadaran telah kembali pada minggu pertama, maka biasanya
ingatan penderita akan pulih kembali.12-14
BAB III
KESIMPULAN

Trauma merupakan penyebab tertinggi kematian pada usia di bawah 45 tahun dan lebih dari
50% trauma merupakan trauma kapitis. Trauma kapitis diklasifikasikan menjadi ringan,
sedang dan berat berdasar kan Glasgow Coma Scale untuk menentukan penatalaksanaannya.
Tidak semua pasien trauma kapitis perlu dirawat inap di rumah sakit,
dilakukan pemeriksaan CT-scan ataupun dioperasi. Terdapat kriteria tertentu untuk tindakan
operasi masing-masing jenis trauma kapitis. Indikasi pembedahan ditentukan berdasarkan
pemeriksaan klinis dan radiologi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Soertidewi L, Misbach J, Sjahrir H, Hamid A, Jannis J, Bustami M, editors.


Konsensus nasional penanganan trauma kapitis dan trauma spinal; Jakarta:Perdossi;
2006.
2. Wahjoepramono EJ. Cedera kepala. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Pelita
Harapan; 2005.
3. Kluwer wolters. 2009.Trauma and acute care surger. Philadelphia: LippicottWilliams
and Wilkins.
4. Wagner AK. Conducting research in TBI: current concepts and issues. In: Zasler ND,
Katz DI, Zafonte RD. Brain Injury Medicine. New York: Demos Medical Publishing;
2006. H 33-42.
5. Japardi iskandar. 2004. Penatalaksanaan Cedera Kepala secara Operatif . Sumatra
Utara: USU Press.
6. Grace, Pierce & Borley, Neil. 2006. At a Glance Ilmu Bedah, Edisi Ketiga. Jakarta:
Erlangga
7. Hafid A, 2007. Buku Ajar Ilmu Bedah : edisi kedua. Jong W.D. Jakarta: penerbit buku
kedokteran EGC.
8. Langlois J.A., Rutland-Brown W., Thomas K.E., 2006. Traumatic brain injury in the
United States: emergency department visits, hospitalizations, and deaths. Atlanta
(GA): Centers for Disease Control and Prevention, National Center for Injury
Prevention and Control.

9. David A Olson. Head Injury; Oct 2018. Diunduh : www.e-medicine.com


10. Ghazali Malueka. 2007. Radiologi Diagnostik. Yogyakarta: Pustaka Cendekia.
11. Reisner, A. 2009. Understanding Traumatic Brain Injuries. Medical Director of
Children’s Neuro Trauma Program. (online). [http://www.choa.org]. Diakses pada
tanggal 7 Mei 2019.
12. Haryo W et all, 2008, Art of Therapy: Sub Ilmu Bedah.Yogyakarta: PustakaCendekia
Press of Yogyakarta
13. Bullock RM, Chesnut R,Ghajar J, Gordon D, Hartl R, Newell DW, et al. Surgery
guideline. Surgical Manajement of TBI Author Group: Neurosurgery 2006; 58 (3) : 2-
1 2-3
14. Perdossi. Konsensus nasional penanganan trauma kapitis dan trauma spinal. 2006

Anda mungkin juga menyukai