Peritonitis
Disusun Oleh :
Vanesia Steviany
112018123
Pembimbing :
Pendahuluan
Gawat abdomen menggambarkan keadaan klinik akibat kegawatan di rongga perut yang
biasanya timbul mendadak dengan nyeri sebagai keluhan utama. Keadaan ini memerlukan
penanggulangan segera yang sering berupa tindakan bedah, misalnya pada perforasi, perdarahan
intraabdomen, infeksi, obstruksi dan strangulasi jalan cerna dapat menyebabkan perforasi yang
mengakibatkan kontaminasi rongga perut oleh isi saluran cerna sehingga terjadilah peritonitis.
penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya apendisitis, salpingitis, perforasi ulkus
gastroduodenal), ruptura saluran cerna, komplikasi post operasi, iritasi kimiawi, atau dari luka
tembus abdomen.
Pada keadaan normal, peritoneum resisten terhadap infeksi bakteri (secara inokulasi kecil-
kecilan); kontaminasi yang terus menerus, bakteri yang virulen, resistensi yang menurun, dan
adanya benda asing atau enzim pencerna aktif, merupakan faktor-faktor yang memudahkan
terjadinya peritonitis.
Keputusan untuk melakukan tindakan bedah harus segera diambil karena setiap
Pembahasan
Abdomen adalah bagian tubuh yang berbentuk rongga terletak diantara toraks dan pelvis.
rongga ini berisi viscera dan dibungkus dinding abdomen yang terbentuk dari dari otot abdomen,
columna vertebralis, dan tulang ilium. Untuk membantu menetapkan suatu lokasi di abdomen,
yang paling sering dipakai adalah pembagian abdomen oleh dua buah bidang bayangan horizontal
dan dua bidang bayangan vertikal. Bidang bayangan tersebut membagi dinding anterior abdomen
menjadi sembilan daerah (regiones). Dua bidang diantaranya berjalan horizontal melalui setinggi
tulang rawan iga kesembilan, yang bawah setinggi bagian atas crista iliaca dan dua bidang lainnya
vertikal di kiri dan kanan tubuh yaitu dari tulang rawan iga kedelapan hingga ke pertengahan
ligamentum inguinale. Regio abdomen tersebut adalah: 1) hypocondriaca dextra, 2) epigastrica, 3)
hypocondriaca sinistra, 4) lumbalis dextra, 5) umbilical, 6) lumbalis sinistra, 7) inguinalis dextra,
8) pubica/hipogastrica, 9) inguinalis sinistra
1. Hypocondriaca dextra meliputi organ : lobus kanan hati, kantung empedu, sebagian duodenum
fleksura hepatik kolon, sebagian ginjal kanan dan kelenjar suprarenal kanan.
2. Epigastrica meliputi organ: pilorus gaster, duodenum, pankreas dan sebagian dari hepar.
3. Hypocondriaca sinistra meliputi organ: gaster, limpa, bagian kaudal pankreas, fleksura lienalis
kolon, bagian proksimal ginjal kiri dan kelenjar suprarenal kiri.
4. Lumbalis dextra meliputi organ: kolon ascenden, bagian distal ginjal kanan, sebagian duodenum
dan jejenum.
5. Umbilical meliputi organ: Omentum, mesenterium, bagian bawah duodenum, jejenum dan
ileum.
6. Lumbalis sinistra meliputi organ: kolon ascenden, bagian distal ginjal kiri, sebagian jejenum
dan ileum.
7. Inguinalis dextra meliputi organ: sekum, apendiks, bagian distal ileum dan ureter kanan.
8. Pubica/Hipogastric meliputi organ: ileum, vesica urinaria dan uterus (pada kehamilan).
9. Inguinalis sinistra meliputi organ: kolon sigmoid, ureter kiri dan ovarium kiri.
Untuk kepentingan klinis rongga abdomen dibagi menjadi tiga regio yaitu : rongga
peritoneum, rongga retroperitoneum dan rongga pelvis. rongga pelvis sebenarnya terdiri dari
bagian dari intraperitoneal dan sebagian retroperitoneal. Rongga peritoneal dibagi menjadi dua
yaitu bagian atas dan bawah. rongga peritoneal atas, yang ditutupi tulang tulang toraks, termasuk
diafragma, liver, lien, gaster dan kolon transversum. Area ini juga dinamakan sebagai komponen
torako-abdominal dari abdomen. Sedangkan rongga peritoneal bawah berisi usus halus, sebagian
kolon ascenden dan descenden, kolon sigmoid, caecum, dan organ reproduksi pada wanita.
2.2 Peritonitis
Peritonitis adalah inflamasi peritoneum- lapisan membrane serosa rongga abdomen dan
meliputi visera merupakan penyulit berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun
kronis / kumpulan tanda dan gejala, diantaranya nyeri tekan dan nyeri lepas pada palpasi, defans
muscular, dan tanda-tanda umum inflamasi.
Peritonitis merupakan sebuah proses peradangan pada membrane serosa yang melingkupi
kavitas abdomen dan organ yang terletak didalamnyah. Peritonitis sering disebabkan oleh infeksi
peradangan lingkungan sekitarnyah melalui perforasi usus seperti rupture appendiks atau
divertikulum karena awalnya peritonitis merupakan lingkungan yang steril. Selain itu juga dapat
diakibatkan oleh materi kimia yang irritan seperti asam lambung dari perforasi ulkus atau empedu
dari perforasi kantung empeduatau laserasi hepar. Pada wanita sangat dimungkinkan peritonitis
terlokalisasi pada rongga pelvis dari infeksi tuba falopi atau rupturnya kista ovari. Kasus peritonitis
akut yang tidak tertangani dapat berakibat fatal.
2.3 Etiologi
Bentuk peritonitis yang paling sering ialah Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP) dan
peritonitis sekunder. SBP terjadi bukan karena ninfeksi intra abdomen,tetapi biasanya terjadi pada
pasien yang asites terjadi kontaminasi hingga kerongga peritoneal sehinggan menjadi translokasi
bakteri munuju dinding perut atau pembuluh limfe mesenterium, kadang terjadi penyebaran
hematogen jika terjadi bakterimia dan akibat penyakit hati yang kronik. Semakin rendah kadar
protein cairan asites, semakin tinggi risiko terjadinya peritonitis dan abses. Ini terjadi karena ikatan
opsonisasi yang rendah antar molekul komponen asites pathogen yang paling sering menyebabkan
infeksi adalah bakteri gram negative E. Coli 40%, Klebsiella pneumoniae 7%, spesies
Pseudomonas, Proteus dan gram lainnya 20% dan bakteri gram positif yaitu Streptococcus
pnemuminae 15%, jenis Streptococcus lain 15%, dan golongan Staphylococcus 3%, selain itu juga
terdapat anaerob dan infeksi campur bakteri.
Peritonitis sekunder yang paling sering terjadi disebabkan oleh perforasi atau nekrosis
(infeksi transmural) organ-organ dalam dengan inokulasi bakteri rongga peritoneal terutama
disebabkan bakteri gram positif yang berasal dari saluran cerna bagian atas. Peritonitis tersier
terjadi karena infeksi peritoneal berulang setelah mendapatkan terapi SBP atau peritonitis sekunder
yang adekuat, bukan berasal dari kelainan organ, pada pasien peritonisis tersier biasanya timbul
abses atau flagmon dengan atau tanpa fistula. Selain itu juga terdapat peritonitis TB, peritonitis
steril atau kimiawi terjadi karena iritasi bahan-bahan kimia, misalnya cairan empedu, barium, dan
substansi kimia lain atau prses inflamasi transmural dari organ-organ dalam seperti penyakit
Crohn.
2.4 Patofisiologi
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa.
Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang menempel menjadi
satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang
bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak dapat
mengakibatkan obstruksi usus.
Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila infeksi
menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis umum, aktivitas
peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan meregang.
Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan
sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang meregang
dan dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus.
Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan ileus karena
adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan peristaltik usus sebagai usaha
untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus sederhana yaitu obstruksi usus yang tidak
disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat total atau parsial, pada ileus stangulasi
obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi iskemi yang akan berakhir dengan
nekrosis atau ganggren dan akhirnya terjadi perforasi usus dan karena penyebaran bakteri pada
rongga abdomen sehingga dapat terjadi peritonitis.
Tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan kuman S. Typhi
yang masuk tubuh manusia melalui mulut dari makan dan air yang tercemar. Sebagian kuman
dimusnahkan oleh asam lambung, sebagian lagi masuk keusus halus dan mencapai jaringan
limfoid plaque peyeri di ileum terminalis yang mengalami hipertropi ditempat ini komplikasi
perdarahan dan perforasi intestinal dapat terjadi, perforasi ileum pada tifus biasanya terjadi pada
penderita yang demam selama kurang lebih 2 minggu yang disertai nyeri kepala, batuk dan malaise
yang disusul oleh nyeri perut, nyeri tekan, defans muskuler, dan keadaan umum yang merosot
karena toksemia.
Perforasi tukak peptik khas ditandai oleh perangsangan peritoneum yang mulai di
epigastrium dan meluas keseluruh peritonium akibat peritonitis generalisata. Perforasi lambung
dan duodenum bagian depan menyebabkan peritonitis akut. Penderita yang mengalami perforasi
ini tampak kesakitan hebat seperti ditikam di perut. Nyeri ini timbul mendadak terutama dirasakan
di daerah epigastrium karena rangsangan peritonium oleh asam lambung, empedu dan atau enzim
pankreas. Kemudian menyebar keseluruh perut menimbulkan nyeri seluruh perut pada awal
perforasi, belum ada infeksi bakteria, kadang fase ini disebut fase peritonitis kimia, adanya nyeri
di bahu menunjukkan rangsangan peritoneum berupa mengenceran zat asam garam yang
merangsang, ini akan mengurangi keluhan untuk sementara sampai kemudian terjadi peritonitis
bakteria.
Pada apendisitis biasanya biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh
hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis dan neoplasma. Obstruksi
tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan,makin lama mukus
tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga
menyebabkan peningkatan tekanan intralumen dan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan
oedem, diapedesis bakteri, ulserasi mukosa, dan obstruksi vena sehingga udem bertambah
kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan nekrosis
atau ganggren dinding apendiks sehingga menimbulkan perforasi dan akhirnya mengakibatkan
peritonitis baik lokal maupun general.
Pada trauma abdomen baik trauma tembus abdomen dan trauma tumpul abdomen dapat
mengakibatkan peritonitis sampai dengan sepsis bila mengenai organ yang berongga intra
peritonial. Rangsangan peritonial yang timbul sesuai dengan isi dari organ berongga tersebut,
mulai dari gaster yang bersifat kimia sampai dengan kolon yang berisi feses. Rangsangan kimia
onsetnya paling cepat dan feses paling lambat. Bila perforasi terjadi dibagian atas, misalnya
didaerah lambung maka akan terjadi perangsangan segera sesudah trauma dan akan terjadi gejala
peritonitis hebat sedangkan bila bagian bawah seperti kolon, mula-mula tidak terjadi gejala karena
mikroorganisme membutuhkan waktu untuk berkembang biak baru setelah 24 jam timbul gejala
akut abdomen karena perangsangan peritoneum.
2.5 Klasifikasi
Tanda-tanda peritonitis relatif sama dengan infeksi berat yaitu demam tinggi atau pasien
yang sepsis bisa menjadi hipotermia, tatikardi, dehidrasi hingga menjadi hipotensi. Nyeri abdomen
yang hebat biasanya memiliki punctum maximum ditempat tertentu sebagai sumber infeksi.
Dinding perut akan terasa tegang karena mekanisme antisipasi penderita secara tidak sadar untuk
menghindari palpasinya yang menyakinkan atau tegang karena iritasi peritoneum. Pada wanita
dilakukan pemeriksaan vagina bimanual untuk membedakan nyeri akibat pelvic inflammatory
disease. Pemeriksaan-pemeriksaan klinis ini bisa jadi positif palsu pada penderita dalam keadaan
imunosupresi (misalnya diabetes berat, penggunaan steroid, pasca transplantasi, atau HIV),
penderita dengan penurunan kesadaran (misalnya trauma kranial, ensefalopati toksik, syok sepsis,
atau penggunaan analgesik), penderita dengan paraplegia dan penderita geriatrik. Komplikasi
peritonitis ada 2, yaitu eviserasi luka dan pembentukan abses
1. Tes laboratorium
Pada tes ditemukan leukositosis dan hematokrit meningkat, juga ditemukan asidosis
metabolic.
2. X. Ray
Dilakukan pemeriksaan foto polos abdomen 3 posisi (anterior, posterior, lateral), pada
peritonitis didapatkan :
Bila perforasi tidak dicegah, intervensi pembedahan mayor adalah insisi dan drainase
terhadap abses. Bila peritonitis meluas dan pembedahan dikontraindikasikan karena syok dan
kegagalan sirkulasi, maka cairan oral dihindari dan diberikan cairan vena untuk mengganti
elektrolit dan kehilangan protein. Biasanya selang usus dimasukkan melalui hidung ke dalam usus
untuk mengurangi tekanan dalam usus. Ketika infeksi mulai reda dan kondisi pasien membaik,
drainase bedah dan perbaikan dapat diupayakan.
1. Penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang dilakukan secara intravena
2. Terapi antibiotika memegang peranan yang sangat penting dalam pengobatan infeksi,
Pada sellulitis pelvika dan pelvioperitonitis perlu diamat-amati dengan seksama apakah terjadi
abses atau tidak. Jika terjadi abses, abses harus dibuka dengan menjaga supaya nanah tidak masuk
kedalam rongga peritoneum dan pembuluh darah yang agak besar tidak sampai dilukai.
2.13 Prognosis
Prognosis untuk peritonitis lokal dan ringan adalah baik, sedangkan pada peritonitis umum
prognosisnya mematikan akibat organisme virulen.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Peritonitis adalah peradangan pada peritonium yang merupakan pembungkus visera dalam rongga
perut. Peritoneum adalah selaput tipis dan jernih yang membungkus organ perut dan dinding perut
sebelah dalam. Peritonitis yang terlokalisir hanya dalam rongga pelvis disebut pelvioperitonitis.
Penyebab peritonitis antara lain : penyebaran infeksi dari organ perut yang terinfeksi, penyakit
radang panggul pada wanita yang masih aktif melakukan kegiatan seksual, infeksi dari rahim dan
saluran telur, kelainan hati atau gagal jantung, peritonitis dapat terjadi setelah suatu pembedahan,
dialisa peritoneal (pengobatan gagal ginjal), iritasi tanpa infeksi.
Patofisologi peritonitis adalah reaksi awal peritoneum terhadap invasi bakteri adalah keluarnya
eksudat fibrinosa. Terbentuk kantong-kantong nanah (abses) diantara perlekatan fibrinosa, yang
menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi. Perlekatan
biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrinosa,
yang kelak dapat menyebabkan terjadinya obstruksi usus.
Prinsip umum terapi pada peritonitis adalah :
a) Penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang dilakukan secara intravena.
b) Terapi antibiotika memegang peranan yang sangat penting dalam pengobatan infeksi nifas.
Silvia A. Price. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, ECG ; Jakarta Diagnosa
Keperawatan NANDA 2005-2006 Prima Medika : Jakarta
Peritonitis,http://www.medikastore.com/med/peritonitis_pyk.php?dktg=7&UID 200705.
Subanada, Supadmi, Aryasa, dan Sudaryat. 2007. Beberapa Kelainan Gastrointestinal yang
Memerlukan Tindakan Bedah. Dalam: Kapita Selekta Gastroenterologi Anak. Jakarta: CV Sagung
Seto