Anda di halaman 1dari 27

REFERAT

Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)

Disusun Oleh:

Ulfa Titiswari Sugiardi

1102014271

Pembimbing:

dr. Hj. Prasila Darwin, SpKJ

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI

RS JIWA ISLAM KLENDER

2019
1.1 Definisi

Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) adalah sindrom psikiatrik


yang dapat ditemukan pada orang yang pernah mengalami atau
menyaksikan kejadian traumatis, seperti, bencana alam, kecelakaan,
perang, pemerkosaan atau kekerasan personal lainnya. (Parekh, R, APA,
2018)

PTSD adalah gangguan yang berkembang pada beberapa orang


yang pernah mengalami kejadian berbahaya, menakutkan atau
menegangkan lainnya. (National Institute of Mental Health, USA, 2018)

Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) adalah sindrom yang


disebabkan dari paparan pada kejadian serius nyata atau ancaman atau
serangan seksual. Tanda dan gejala dari PTSD muncul dari interaksi
kompleks faktor psikologis dan neurobiologis. (Gore, A. T. emedicine,
2018.)

Pada DSM V, PTSD ditempatkan pada kelompok diagnostik baru,


"Trauma and Stressor-related Disorders" yang mengindikasikan fokus
umum gangguan di dalamnya yang berkaitan dengan efek samping
terhadap paparan kejadian stres yang muncul sebelum gejala. Durasi dari
gejala yang ditimbulkan berlangsung lebih dari 1 bulan. (Pai, A., dkk,
2017)

1.2 Epidemiologi

Paparan terhadap peristiwa traumatis umum terjadi. Di antara orang


dewasa di Amerika Serikat, sebanyak 50% wanita dan 60% pria telah
mengalami peristiwa traumatis. Sebagian besar dari orang-orang ini tidak
akan mengembangkan PTSD. PTSD memiliki prevalensi seumur hidup
di antara orang dewasa di Amerika Serikat sekitar 8% (lebih tinggi pada
wanita daripada pria) dan menyumbang kecacatan dan morbiditas yang
cukup besar. Angka ini sangat bervariasi tergantung pada populasi
tertentu yang dipertimbangkan. (emedicine.medscape,2018)

Post Traumatic Stress Disorder 1


Dari hasil laporan WHO tahun 2005 jumlah penduduk dunia yang
menderita PTSD mencapai 3.230.000 orang atau setara dengan 0,2% dari
seluruh masyarakat dunia. Dengan persebaran 28,5% atau 921.000 jiwa
terdapat di Pasifik Barat, 27,4% atau 885.000 jiwa di Asia Tenggara,
14,2% atau 460.000 jiwa di Eropa, 12,6% atau 407.000 jiwa di Amerika,
9,3% atau 299.000 jiwa di Afrika dan 8,0% atau 258.000 jiwa terdapat di
Mediterania Timur. Di Indonesia sendiri, berdasarkan hasil Survei
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) pada tahun 2005 didapatkan bahwa
sebanyak 140 per 1000 penduduk pada usia 15 tahun ke atas mengalami
gangguan jiwa dan 23% daintaranya mengalami PTSD

PTSD dapat terjadi pada usia berapapun dengan prevalensi


tersering dewasa muda akibat pajanan situasi penginduksi. Trauma pada
laki-laki biasanya berupa pengalaman berperang sedangkan pada
perempuan kekerasan dan perkosaan. Cenderung terjadi pada orang yang
lajang, bercerai, janda, menarik diri secara sosial, atau tingkat
sosioekonomi rendah.3

1.3 Komorbiditas
Angka komorbiditas pasien PTSD tinggi. Sekitar 80% individu
dengan PTSD memenuhi kriteria diagnostik paling tidak 1 gangguan
mental lainnya, seperti depresif, bipolar, gangguan cemas, gangguan
terkait zat lebih sering pada pria daripada wanita. Meskipun sebagian
besar anak-anak dengan PTSD juga memiliki setidaknya satu diagnosis
lain, pola komorbiditas berbeda dari pada orang dewasa, dengan
gangguan pemberontak dan gangguan cemas terpisah.4

1.4 Faktor Resiko

Siapa pun dapat mengembangkan PTSD pada usia berapa pun. Ini
termasuk veteran perang, anak-anak, dan orang-orang yang telah
mengalami serangan fisik atau seksual, pelecehan, kecelakaan, bencana,
atau banyak peristiwa serius lainnya. Menurut Pusat Nasional untuk
PTSD, sekitar 7 atau 8 dari setiap 100 orang akan mengalami PTSD di

Post Traumatic Stress Disorder 2


beberapa titik dalam hidup mereka. Wanita lebih mungkin
mengembangkan PTSD daripada pria, dan gen mungkin membuat
beberapa orang lebih mungkin untuk mengembangkan PTSD daripada
yang lain. (National Institute of Mental Health, USA, 2018)

Pretraumatic Peritraumatic Postraumatic

Tempramental Lingkungan Tempramental

Masalah emosi masa Keparahan trauma, Penilaian negatif,


kanak-kanak 6 tahun ancaman kehidupan, strategikoping yang
pertama dan gangguan cedera personal, salah, perkembangan dari
mental utama kekerasan interpersonal, gangguan stress akut
personil militer, pelaku
Lingkungan Lingkungan
kejahatan, saksi
Status sosioekonomi kekejaman, membunuh Paparan subklinis pada
rendah, pendidikan musuh. Disosiasi yang hal yang mengecewakan,
rendah, paparan pada terjadi pada dan menetap kejadian tak diinginkan
trauma utama, setelah trauma menjadi subklinis, gangguan
keberagaman masa kanak, faktor resiko finasnsial atau hal lain
karakteristik budaya, yang berhubungan
intelegensi rendah, dengan trauma.
ras/etnik minor, dan Dukungan sosial adalah
riwayat psikiatrik faktor protektif.
keluarga. Dukungan
sosial bersifat protektif

Genetik dan psikologis

Jenis kelamin perempuan

Tabel 1. Faktor Resiko PTSD4

1.5 Faktor Predisposisi

Beberapa faktor predisposisi bagi seorang individu untuk


mengalami gangguan stress pascatrauma adalah:

Post Traumatic Stress Disorder 3


a. Adanya gangguan psikiatrik sebelum trauma baik pada individu yang
bersangkutan maupun keluarganya;
b. Adanya trauma masa kanak, seperti kekerasan fisik maupun seksual;
c. Kecenderungan untuk mudah menjadi khawatir;
d. Ciri kepribadian ambang, paranoid, dependen, atau antisosial;
e. Mempunyai karakter yang bersifat introvert atau isolasi sosial;
adanya problem menyesuaikan diri;
f. Adanya kebutuhan emosional yang tidak terpenuhi secara bermakna;
g. Terpapar oleh kejadian–kejadian dalam kehidupan yang luar biasa
sebelumnya baik tunggal maupun ganda dan dirasakan secara
subjektif oleh individu yang bersangkutan sebagai suatu kondisi atau
peristiwa yang menimbulkan penderitaan bagi dirinya.5

1.6 Etiologi& Patogenesis


a. Stresor
Stresor dapat timbul berupa trauma peristiwa tunggal yang
mendadak atau trauma kronis atau terus menerus seperti penyiksaan
fisik atau seksual. Stresor dapat timbul dari pengalaman perang,
penyiksaan, bencana alam, penyerangan, perkosaan, dan kecelakaan
serius. Meskipun demikian, tidak setiap orang mengalami gangguan
ini setelah peristiwa traumatik, ada pertimbangan faktor psikososial
dan biologis yang sebelumnya ada dan peristiwa sebelum dan
sesudah trauma, serta arti subjektif suatu stresor pada seseorang.3
b. Faktor Psikodinamik
Teori psikoanalitik menghipotesiskan bahwa trauma
mengaktifkan kembali konflik psikologis yang sebelumnya tidak
terselesaikan. Aktivasi kembali trauma pada masa kanak-kanak
menimbulkan regresi dan mekanisme defensi represi, penyangkalan,
reaction formation, dan undoing. Menurut Freud, penghidupan
kembali trauma terjadi pada pasien yang melaporkan riwayat trauma
seksual masa kanak-kanak. Konflik yang sudah ada secara simbolis
menghidupkan kembali peristiwa traumatik baru, sedangkan ego
mencoba menguasai dan mengurangi ansietas.3

Post Traumatic Stress Disorder 4


Hal-hal yang berkaitan dengan aspek psikodinamik dari
gangguan stress pasca trauma adalah:

1. Arti subyektif dari stresor yang dialami mungkin menentukan


dampak dari peristiwa traumatik yang dialami oleh seseorang,
2. Kejadian traumatik yang dialami mereaktivasi konflik-konflik
psikologis akibat peristiwa traumatik di masa kanak-kanak,
3. Peristiwa traumatik akan membuat seseorang gagal untuk
meregulasi sistem afeksinya,
4. Refleksi peristiwa traumatik yang dialami mungkin akan timbul
dalam bentuk somatisasi atau aleksitimia,
5. Beberapa sistem defensi yang sering digunakan pada individu
dengan gangguan stress pasca trauma adalah penyangkalan,
splitting, projeksi, disosiasi dan rasa bersalah,
6. Model relasi objek yang digunakan adalah projeksi dan introjeksi
dari berbagai peran seperti penyelamat omnipoten atau korban
yang omnipoten.5

c. Faktor Perilaku-Kognitif
Faktor kognitif PTSD menyatakan bahwa orang yang
mengalaminya tidak mampu memproses atau merasionalisasikan
trauma pencetus gangguan ini. Penderita terus mengalami stress dan
berupaya menghindarinya. Secara kognitif, konsistensi dengan
kemampuan parsial menghadapi peristiwa tersebut mereka
mengalami periode bergantian memahami dan memblok peristiwa.
Faktor perilaku menekankan adanya dua fase dalam
perkembangannya. Pertama, trauma yang menimbulkan respon takut
dan pembelajaran klasik sebagai stimulus yang dipelajari. Kedua,
melalui pembelajaran instrumental, stimulus yang dipelajari
mencetuskan respon takut yang bebas dari stimulus asal yang tidak
dipelajari dengan pengembangan pola penghindaran.

Post Traumatic Stress Disorder 5


Sejumlah penerima bantuan sekunder dari dunia luar
(kompensasi keuangan, peningkatan perhatian/simpati, pemuasan
kebutuhan) dapat menyokong gangguan dan penetapan gangguan.3

d. Faktor Biologis
Gejala-gejala gangguan stress pasca trauma timbul sebagai
akibat dari respon biologik dan psikologik seorang individu karena
aktivitas dari beberapa sistem di otak yang berkaitan dengan
timbulnya perasaan takut pada seseorang. Dalam hal ini, amigdala
merupakan bagian otak yang sangat berperan besar. Amigdala akan
mengaktivasi beberapa neurotransmiter serta bahan-bahan
neurokimiawi di otak jika seseorang menghadapi peristiwa traumatik
yang mengancam nyawa sebagai respon tubuh untuk menghadapi
peristiwa tersebut.
 Sistem Simpatis dan Parasimpatis
Akibat dari perangsangan pada sistem saraf simpatis
segara setelah mengalami peristiwa traumatik, maka akan terjadi
reaksi ‘fight or flight reaction’.Sistem saraf parasimpatis berupa
membatasi reaksi sistem saraf simpatis pada beberapa jaringan
tubuh, namun respon ini bekerja secara bebas dan tidak
berkaitan dengan respon yang diberikan oleh sistem saraf
simpatis. Ketekolamin berperan dalam menyediakan energi yang
cukup dari beberapa organ vital tubuh dalam bereaksi terhadap
tekanan tersebut. Katekolamin yang meningkat ini membuat
individu tetap berada dalam kondisi siaga terus
menerus.5Sejumlah studi menemukan peningkatan konsentrasi
epinefrin urin 24 jam pada veteran dengan PTSD dan
peningkatan katekolamin urin pada perempuan yang mengalami
penyiksaan seksual. Pada PTSD, reseptor β-adrenergik limfosit
dan α2 trombosit mengalami downregulation, kemungkinan
sebagi respon terhadap peningkatan kronis katekolamin.3

Post Traumatic Stress Disorder 6


 Sistem Opioid

Abnormalitas ditemukan dengan penurunan konsentrasi β-


endorfin plasma pada penderita PTSD. Pada veteran perang
yang mengalami PTSD menunjukkan efek analgesik reversibel
dengan nalokson untuk stimulus yang berkaitan dengan perang
sehingga meningkatkan kemungkinan hiperregulasi sistem
opioid serupa dengan hiperregulasi aksis HPA.3

 Faktor Pelepas Kortikotropin dan Aksis Hipotalamus–


Hipofisis–Adrenal
Hormon kortisol berperan dalam menghentikan aktivasi
sistem saraf simpatik dan beberapa sistem tubuh yang bersifat
defentif tadi yang timbul akibat dari peristiwa traumatik yang
dialami oleh individu tersebut. Dengan kata lain, hormon
kortisol berperan dalam proses terminasi dari respon tubuh
dalam menghadapi tekanan.Jika hormon kortisol gagal
menghentikan proses ini, maka aktivitas katekolamin akan tetap
tinggi dan kondisi ini dikaitkan dengan terjadinya ‘konsolidasi
berlebihan’ dari ingatan-ingatan peristiwa traumatik yang
dialami.
Sejumlah studi menunjukkan konsentrasi kortisol bebas
rendah pada plasma dan urin penderita PTSD. Terdapat
pengingkatan reseptor glukortikoid pada limfosit dan percobaan
dengan corticotropin releasing hormone (CRF) eksogen
menunjukkan respon adenocorticotropic hormone (ACTH)yang
tumpul.5
Sejumlah studi juga menemukan terjadinya hipersupresi
kortisol pada pasien yang terpajan trauma dan mengalami PTSD
dibandingkan dengan pasien yang terpajan trauma tetapi tidak
mengalami PTSD. Secara keseluruhan hiperregulasi aksis HPA
berbeda dengan aktivitas neuroendokrin yang biasa terlihat
selama stress dan gangguan lainnya seperti depresi.Pada studi
hewan, stres berhubungan dengan perubahan struktural

Post Traumatic Stress Disorder 7


hipokampus dan pada studi pada veteran perang menunjukkan
volume rata-rata yang lebih rendah pada regio hipokampus otak
walaupun masih kontorversial. Perubahan struktural pada
amygdala, juga menunjukkan perubahan area otak yang terkait
dengan rasa takut. Studi pada depresi menujukkan efek serupa
pada amigdala dan korteks prafrontal3

1.7 Gambaran Klinis

Gambaran klinis dari PTSD adalah mengingat kembali suatu


peristiwa yang traumatik, sehingga tampak dengan sengaja menghindari
berbagai situasi atau kondisi yang akan mengingatkannya akan peristiwa
tersebut, terlihat dengan hilangnya emosi, serta keadaan terus terjaga
yang cukup konstan. Penderita umumnya datang dengan keluhan berupa
gejala-gejala depresi, ide bunuh diri, penarikan diri dari lingkungan
sosialnya, kesulitan tidur, penyalahgunaan alkohol/zat adiktif lainnya,
serta keluhan fisik yang lainnya (misalnya nyeri kolik, irritable bowel
symptoms, dll).

Pemeriksaan status mental sering mengungkapkan rasa bersalah,


penolakan, dan cemooh. Pasien juga dapat menggambarkan keadaan
disosiatif dan serangan panik, serta ilusi dan halusinasi. Uji kognitif
menunjukkan hendaya memori dan perhatian.Karakteristik dari peristiwa
traumatik yang dialami juga dapat mempengaruhi reaksi psikologis yang
akan terjadi, seperti:

a. Durasi dan intensitas dari stresor yang dialami,


b. Derajatnya dalam kaitan dengan ancaman terhadap ancaman terhadap
kehidupan seseorang,
c. Berat ringannya kehilangan yang dialami (baik material maupun
personal),
d. Perilaku korban yang selamat pada waktu menghadapi peristiwa
traumatik tersebut, misalnya apakah ia juga menyelamatkan orang
lain pada saat kejadian atau dia hanya menyelamatkan diri sendiri.3,5

Post Traumatic Stress Disorder 8


1.8 Kriteria Diagnosis
2.8.1 DSM-5 – 309.81 (F43.10)

Gangguan Stress Pasca Trauma

Note: Kriteria ini digunakan untuk dewasa, remaja, dan anak di


atas 6 tahun.

A. Paparan terhadap ancaman atau kejadian kematian, cedera


serius, atau kekerasan seksual, dari satu (atau lebih) kriteria
di bawah ini:

1. Langsung mengalami kejadian traumatis.

2. Menjadi saksi mata, peristiwa tersebut terjadi pada orang


lain.

3. Menghadapi kejadian traumatis yang terjadi pada keluarga


dekat atau teman dekat. Pada kasus ancaman atau kejadian
kematian pada keluarga atau teman, kejadian harus
kekerasan atau kecelakaan.

4. Menghadapi paparan berulang atau ekstrim kejadian


traumatis yang tidak diinginkan. Tidak termasuk paparan
lewat media elektronik, televisi, film, atau gambar yang
berhubungan dengan pekerjaan.

B. Adanya satu (atau lebih) gejala intrusi yang berhubungan


dengan kejadian traumatis, dimulai setelah kejadian traumatis
terjadi:

1. Kejadian traumatis yang berulang, tidak disadari, dan


menjadi ingatan yang mengganggu.

Note: Pada anak di atas 6 tahun, mungkin ada mimpi


buruk tanpa mengenali isi mimpinya.

Post Traumatic Stress Disorder 9


2. Mimpi distres yang berulang yang mana isinya dan/atau
mempengaruhi mimpi yang berhubungan dengan kejadian
traumatis.

Note: Pada anak, mungkin ada mimpi buruk tanpa


mengenali isi mimpinya

3. Reaksi disosiatif (misalnya: kilas balik) dengan


berperilaku atau berperasaan seolah kejadian traumatis
terjadi kembali. (Reaksi dapat terjadi berlanjut, dengan
ekspresi paling ekstrim dari kehilangan total kesadaran
akan keberadaan sekelilingnya)

Note: Pada anak, peragaan trauma spesifik dapat terjadi


dalam permainan.

4. Distres psikologis yang terjadi secara intens atau


berkepanjangan jika berhadapan dengan hal atau simbol
yang berkaitan dengan aspek peristiwa traumatik baik
sebagian atau seluruhnya secara internal atau eksternal.

5. Reaksi fisiologis yang berhadapan dengan hal atau simbol


yang berkaitan dengan aspek peristiwa traumatik baik
sebagian atau seluruhnya secara internal atau eksternal.

C. Perilaku penghindaran yang menetap terhadap stimulus yang


berkaitan dengan peristiwa traumatik yang dialami dan
disertai dengan satu atau kedua gejala di bawah ini:

1. Usaha menghindari ingatan, pikiran, atau perasaan


tentang atau mendekati sesuatu yang berhubungan dengan
kejadian traumatis.

2. Usaha untuk menghindari atau secara langsung


menghindari pengingat eksternal (orang, tempat,
pembicaraan, aktivitas, objek, situasi) yang
menghidupkan ingatan, pikiran, atau perasaan tentang

Post Traumatic Stress Disorder 10


atau mendekati sesuatu yang berhubungan dengan
kejadian traumatis.

D. Perubahan negatif ada kognitif, dan mood yang berhubungan


dengan kejadian traumatis, diawali atau bertambah parah
setelah kejadian traumatis terjadi, yang ditunjukkan dengan
dua (atau lebih) gejala di bawah ini:

1. Ketidakmampuan untuk mengingat aspek penting


kejadian traumatis (biasa berhubungan dengan amnesia
disosiatif dan tidak dipengaruhi faktor lain seperti cedera
kepala, alkohol, atau obat-obatan).

2. Kepercayaan yang persisten atau berlebihan atau


ekspektasi tentang seseorang, orang lain, atau dunia
(contoh: “Saya buruk”, “Tidak ada orang mempercayai
saya”, “Dunia sangat berbahaya”, “Seluruh sistem saraf
saya tidak bekerja permanen”).

3. Gangguan kesadaran menetap tentang penyebab atau hasil


dari kejadian traumatis yang menyebabkan individu
menyalahkan diri sendiri atau orang lain.

4. Emosi negatif yang menetap (contoh: ketakutan, horor,


kemarahan, perasaan bersalah, rasa malu).

5. Penurunan jelas akan ketertarikan atau partisipasi dalam


aktivitas

6. Merasa asing atau terpisah dari sekitarnya.

7. Ketidakmampuan untuk mengekspresikan emosi positif


(contoh: tidak dapat merasakan kebahagiaan, kepuasan,
atau rasa sayang).

E. Kemunduran yang jelas pada kewaspadaan dan reaksi yang


berhubungan dengan kejadian traumatis, diawali atau
bertambah parah setelah kejadian traumatis terjadi, yang
ditandai dengan dua (atau lebih) gejala di bawah ini:

Post Traumatic Stress Disorder 11


1. Perilaku gelisah dan mudah mengalami ledakan
kemarahan (dengan sedikit atau tanpa provokasi) yang
ditandai dengan perkataan maupun perbuatan pada orang
lain atau objek tertentu.

2. Perilaku sembrono atau merusak diri sendiri.

3. Hypervigilance (peningkatan kewaspadaan).

4. Respon terkejut yang berlebihan.

5. Kesulitan berkonsentrasi.

6. Gangguan tidur.

F. Durasi dari gangguan (Kriteria B, C, D, dan E) terjadi lebih


dari satu bulan.
G. Gangguan menyebabkan penderitaan atau hendaya dalam
fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.
H. Gangguan tidak disebabkanoleh efek fisiologis dari zat (obat-
obatan, alkohol) atau kondisi medik umum lainnya.

Tentukanjika:

Dengan gejala disosiatif: gejala individu memenuhi kriteria


PTSD dan sebagai respon terhadap stresor, individu juga
mengalami gejala menetap atau berulang seperti di bawah ini:

1. Depersonalisasi:Pengalaman menetap atau berulang


subjektif bahwa dirinya terasa tidak nyata, asing, atau
tidak familiar.
2. Derealisasi: Pengalaman menetap atau berulang sebjektif
terhadap lingkungan yang tidak nyata.

Note: Untuk menggunakan subtipe ini, gejala disosiatif harus


tidak merupakan efek fisiologis dari zat atau kondisi medis
umum.

Post Traumatic Stress Disorder 12


Tentukan:Dengan Ekpresi Tertunda: Jika seluruh diagnostik
tidak ditemui minimal 6 bulan (walaupun onset maupun gejala
terjadi langsung).

Gangguan Stress Pasca Trauma Pada Anak ≤ 6 Tahun

A. Pada anak ≤ 6 tahun, paparan terhadap ancaman atau


kejadian kematian, cedera serius, atau kekerasan seksual, dari
satu (atau lebih) kriteria di bawah ini:

1. Langsung mengalami kejadian traumatis.

2. Menjadi saksi mata, peristiwa tersebut terjadi pada orang


lain.

3. Menghadapi kejadian traumatis yang terjadi pada orang


tua atau perawatnya.

B. Adanya satu (atau lebih) gejala intrusi yang berhubungan


dengan kejadian traumatis, dimulai setelah kejadian traumatis
terjadi:

1. Kejadian traumatis yang berulang, tidak disadari, dan


menjadi ingatan yang mengganggu.

2. Mimpi distres yang berulang yang mana isinya dan/atau


mempengaruhi mimpi yang berhubungan dengan kejadian
traumatis.

3. Reaksi disosiatif (misalnya: kilas balik) dengan


berperilaku atau berperasaan seolah kejadian traumatis
terjadi kembali. (Reaksi dapat terjadi berlanjut, dengan
ekspresi paling ekstrim dari kehilangan total kesadaran
akan keberadaan sekelilingnya).

4. Distres psikologis yang terjadi secara intens atau


berkepanjangan jika berhadapan dengan hal atau simbol
yang berkaitan dengan aspek peristiwa traumatik baik
sebagian atau seluruhnya secara internal atau eksternal.

Post Traumatic Stress Disorder 13


5. Reaksi fisiologis yang berhadapan dengan hal atau simbol
yang berkaitan dengan aspek peristiwa traumatik baik
sebagian atau seluruhnya secara internal atau eksternal

C. Satu (atau lebih) gejala di bawah ini, baik penghindaran


menetap yang berhubungan dengan kejadian traumatis,
maupun kemunduran negatif kognitif dan mood berhubungan
dengan kejadian traumatis, harus ada, dimulai atau bertambah
parah setelah kejadian:
Penghindaran Stimulus Menetap

1. Usaha menghindari ingatan, pikiran, atau perasaan


tentang atau mendekati sesuatu yang berhubungan dengan
kejadian traumatis.

2. Usaha untuk menghindari atau secara langsung


menghindari pengingat eksternal (orang, tempat,
pembicaraan, aktivitas, objek, situasi) yang
menghidupkan ingatan, pikiran, atau perasaan tentang
atau mendekati sesuatu yang berhubungan dengan
kejadian traumatis

Kemunduran Negatif Kognitif


3. Frekuensi emosi negatif yang meningkat.
4. Penurunan jelas akan ketertarikan atau partisipasi dalam
aktivitas, termasuk pembatasan bermain.
5. Perilaku menarik diri.
6. Kemunduran menetap ekspresi emosi positif.
D. Kemunduran yang jelas pada kewaspadaan dan reaksi yang
berhubungan dengan kejadian traumatis, diawali atau
bertambah parah setelah kejadian traumatis terjadi, yang
ditandai dengan dua (atau lebih) gejala di bawah ini:

1. Perilaku gelisah dan mudah mengalami ledakan


kemarahan (dengan sedikit atau tanpa provokasi) yang

Post Traumatic Stress Disorder 14


ditandai dengan perkataan maupun perbuatan pada orang
lain atau objek tertentu.

2. Hypervigilance (peningkatan kewaspadaan)

3. Respon terkejut yang berlebihan

4. Kesulitan berkonsentrasi

5. Gangguan tidur

E. Durasi dari gangguan terjadi lebih dari satu bulan.


F. Gangguan menyebabkan penderitaan atau hendaya dengan
orang tua, saudara kandung, teman main, atau perawat atau
dengan perilaku sekolah.
G. Gangguan tidak disebabkan oleh efek fisiologis dari zat
(obat-obatan, alkohol) atau kondisi medik umum lainnya.

Tentukanjika:

Dengan gejala disosiatif: gejala individu memenuhi kriteria


PTSD dan sebagai respon terhadap stresor, individu juga
mengalami gejala menetap atau berulang seperti di bawah ini:

1. Depersonalisasi:Pengalaman menetap atau berulang


subjektif bahwa dirinya terasa tidak nyata, asing, atau
tidak familiar.
2. Derealisasi: Pengalaman menetap atau berulang sebjektif
terhadap lingkungan yang tidak nyata.

Note: Untuk menggunakan subtipe ini, gejala disosiatif harus


tidak merupakan efek fisiologis dari zat atau kondisi medis
umum.

Tentukan:

Dengan Ekpresi Tertunda: Jika seluruh diagnostik tidak


ditemui minimal 6 bulan (walaupun onset maupun gejala
terjadi langsung).4

Post Traumatic Stress Disorder 15


2.8.2 PPDGJ-III – F43.1
 Diagnosis baru ditegakkan bilamana gangguan ini timbul
dalam kurun waktu 6 bulan setelah kejadian traumatik berat
(masa laten yang berkisar antara beberapa minggu sampai
beberapa bulan, jarang sampai melampai 6 bulan).
Kemungkinan diagnosis masih dapat ditegakkan apabila
tertundanya waktu mulai saat kejadian dan awitan gangguan
melebihi waktu 6 bulan, asal saja manifestasi klinisnya adalah
khas dan tidak didapat alternatif ketegori lainnya
 Sebagai bukti tambahan selain trauma, harus didapatkan
bayang-bayang atau mimpi-mimpi dari kejadian traumatik
tersebut secara berulang kembali (flashback)
 Gangguan otonomik, gangguan afek dan kelainan tingkah
laku semuanya dapat mewarnai diagnosis tetapi tidak khas
 Suatu ‘sequelae’ menahun yang terjadi lambat setelah stress
yang luar biasa, misalnya saja beberapa puluh tahun setelah
trauma diklasifikasikan dalam kategori F62.0 (perubahan
kepribadian yang berlangsung lama setelah mengalami
katastrofa).6

1.9 Diagnosis Banding


Kunci dari diagnosis PTSD yang tepat adalah pemeriksaan yang
teliti dari waktu timbulnya gejala dengan suatu kejadian traumatik
sebelumnya. Pasien sering menunjukkan reaksi kompleks terhadap
trauma, sehingga klinisi harus hati-hati dalam menentukan PTSD dengan
sindrom lain.
a. Gangguan Penyesuaian
Pada gangguan penyesuaian, penyebab stress bisa melebihi
keparahan yang terdapat pada kriteria A PTSD. Diagnosis dari
gangguan penyesuaian digunakan ketika respon dari penyebab stress
sesuai dengan kriteria A PTSD namun tidak sesuai dengan kriteria
PTSD lainnya (atau kriteria gangguan mental lainnya). Gangguan

Post Traumatic Stress Disorder 16


penyesuaian juga dapat didiagnosis ketika pola gejala PTSD yang
terjadi dalam menghadapi penyebab stress tidak sesuai dengan
kriteria A PTSD.
b. Gangguan dan Kondisi Pasca Trauma Lainnya
Tidak semua psikopatologi yang terjadi pada suatu individu yang
terkena penyebab stress yang ekstrim harus dikaitkan dengan PTSD.
Diagnosis memerlukan paparan terhadap trauma yang mendahului
onset atau eksaserbasi dari gejala yang bersangkutan. Selain itu, jika
pola respon gejala terhadap penyebab stress yang ekstrim sesuai
dengan kriteria gangguan mental lainnya, diagnosis ini harus
diberikan, atau sebagai tambahan pada PTSD. Diagnosis dan keadaan
lain tidak termasuk jika keadaan itu lebih baik disebut PTSD. Jika
parah, pola respon gejala terhadap penyebab stress yang ekstrim
mungkin memerlukan diagnosis terpisah.
c. Gangguan Stress Akut
Gangguan stress akut dapat dibedakan dari PTSD karena pola gejala
pada gangguan stress akut terbatas pada durasi 3 hari sampai 1 bulan
mengikuti suatu paparan kejadian traumatis.
d. Gangguan Cemas dan Gangguan Obsesif Kompulsif
Pada OCD, terdapat suatu pikiran mengganggu yang berulang, dan
sesuai dengan definisi dari obsesi. Sebagai tambahan, pikiran
mengganggu itu tidak terkait dengan suatu kejadian traumatis,
biasanya juga terdapat kompulsi, sedangkan gejala PTSD atau
gangguan stress akut tidak ditemukan. Bukan merupakan bangkitan
dan gejala disosiatif terhadap gangguan panik maupun penghindaran,
gelisah, dan kecemasan dari gangguan cemas yang terkait dengan
suatu kejadian traumatis. Gejala gangguan kecemasan terhadap
perpisahan secara jelas terkait seperti berada jauh dari rumah atau
keluarga daripada terhadap suatu kejadian yang traumatis.
e. Gangguan Depresif Mayor
Gangguan depresi mayor dapat atau tidak dapat didahului dengan
suatu kejadian traumatis dan dapat didiagnosis bila gejala PTSD

Post Traumatic Stress Disorder 17


lainnnya tidak ditemukan. Secara spesifik, gangguan depresi mayor
tidak sesuai dengan gejala Kriteria B dan C dari PTSD. Juga tidak
mencakup sejumlah gejala dari Kriteria D atau E dari PTSD.
f. Gangguan Kepribadian
Kesulitan interpersonal pada onsetnya atau pada eksaserbasi, setelah
paparan kejadian traumatik dapat diindikasikan sebagai PTSD
daripada gangguan kepribadian.
g. Gangguan Disosiatif
Amnesia disosiatif, gangguan identitas disosiatif, dan gangguan
depersonalisasi–derealisasi dapat/tidak dapat didahului oleh paparan
kejadian traumatik atau dapat/tidak dapat terjadi bersamaan dengan
gejala PTSD. Ketika seluruh kriteria PTSD ditemui, dapat juga
dipertimbangan subtipe PTSD dengan gejala disosiatif.
h. Gangguan Konversi (Gejala Gangguan Neurologis Fungsional)
Onset baru dari gejala somatik pada distres pascatrauma dapat
diindikasikan sebagai PTSD dibandingkan dengan gangguan gejala
neurologis fungsional/gangguan konversi (gejala gangguan
neurologis fungsional).
i. Gangguan Psikotik
Kilas balik PTSD harus dibedakan dengan ilusi, halusinasi, dan
gangguan persepsi yang terjadi pada skizofrenia, gangguan psikotik
singkat, dan gangguan psikotik lainnya; gangguan depresif dan
bipolar dengan gejala psikotik; delirium; gangguan terkait zat/obat;
dan gangguan psikotik terkait kondisi medis
j. Cedera Otak Traumatik.
Ketika cedera otak terjadi dalam konteks kejadian traumatis
(misalnya: Kecelakaan traumatis, ledakan bom, trauma akselerasi dan
deselerasi), gejala dari PTSD mungkin timbul. Suatu kejadian yang
menyebabkan trauma kepala dapat merupakan kejadian traumatis
psikologis. Gejala sebelumnya disebut postkonkusi (misalnya: sakit
kepala, pusing, sensitif terhadap cahaya dan suara, gelisah, dan
kurang konsentrasi) dapat terjadi pada cedera otak dan pada populasi

Post Traumatic Stress Disorder 18


yang bukan cedera otak, termasuk pada individu dengan PTSD.
Karena gejala dari PTSD dan TBI (Traumatic Brain Injury) yang
terkait gejala neurokognitif dapat saling tumpang tindih, diagnosis
banding antara PTSD dan gangguan gejala neurokognitif yang
disebabkan oleh TBI mungkin dapat berdasarkan adanya gejala yang
dibedakan dari setiap presentasi. Sebaliknya mengulang kembali dan
menghindar adalah karakteristik dari PTSD dan bukan merupakan
efek dari TBI, disorientasi menetap dan kebingungan lebih spesifik
untuk TBI (efek neurokognitif) daripada PTSD.4

1.10 Penatalaksanaan
Pendekatan paling penting pada pasien trauma adalah dengan
memberi dukungan dan semangat untuk membicarakan kejadian dan
memberikan pengajaran mengenai berbagai mekanisme koping.
Pemberian obat sedatif dan hipnotik juga dapat membantu.3

Berdasarkan rekomendasi dari Expert Consensus Panels for PTSD,


tatalaksana gangguan stress pasca trauma sebaiknya mempertimbangkan
beberapa aspek dibawah ini:

1. Gangguan stress pasca trauma merupakan suatu gangguan yang


kronik dan berulang dangan gangguan-gangguan jiwa serius lainnya
2. Antidepresan golongan penghambat selektif dari ambilan
serotonin/SSRI merupakan obat pilihan pertama kasus ini
3. Terapi yang efektif harus dilanjutkan paling sedikit 12 bulan
4. Exposure threrapy merupaka terapi dengan pendekatan psikososial
terbaik yang dianjurkan dan sebaiknya dianjurkan selama 6 bulan.5

a. Farmakoterapi
Lini pertama terapi PTSD adalah Selective Serotonin Reuptake
Inhibitors (SSRIs), seperti Sertraline (Zoloft) dan Paroxetine (Paxil),
karena keberhasilan, tingkat tolerir, dan juga tingkat keamanan obat
itu. SSRI mengurangi semua gejala PTSD dan sangat efektif dalam
memperbaiki gejala khas PTSD, tidak hanya gejala yang mirip
depresi atau gangguan ansietas lainnya. Dosis SSRI yang sering

Post Traumatic Stress Disorder 19


digunakan seperti Fluoxetin 10-60 mg/hr, Sertaline 50-200 mg/hr
atau Fluvoxamine 50-300 mg/hr.Buspirone (BuSpar) adalah obat
serotonergik yang juga bisa dipakai.
Kemampuan dari obat golongan trisiklik, yaitu Imipramine
(Tolfanil) dan juga Amitriptyline (Elavil) juga didukung oleh
beberapa percobaan walaupun beberapa percobaan ditemukan temuan
negatif, seperti kecacatan desain penelitian yang serius seperti
percobaan yang terlalu singkat. Dosis Imipramine dan Amytriptilin
yang yang biasa digunakanadalah Amiltriplin 50-300mg/hr dan
Imipramin 50-300 mg/hr dan lama waktu percobaan pemberian
minimal 8 minggu, pasien yang merespon pengobatan dengan baik
harus melanjutkan terapi paling tidak 1 tahun sebelum dicoba untuk
menghentikan percobaan.
Obat-obat lain yang mungkin bermanfaat pada PTSD adalah
Monoamine Oxidase Inhibitors (MAOIs); (misalnya: Phenelzine
(Nardil)), Trazodone (Desyrel), dan anti-konvulsan (misalnya:
Karbamazepine (Tegretol), Valproate (Depakene). Pada beberapa
penelitian pemberian Reversible Monoamine Oxidase Inhibitors
(RIMAS) juga bermanfaat memberikan perbaikan pada pasien PTSD.
Penggunaan agen anti-adrenergic seperti Clonidine (Catapres) dan
Propranolol (Inderal), direkomendasikan karena teori hiperaktivitas
noradrenergik pada gangguan ini.
Tidak ada data positif yang mendukung penggunaan obat anti
psikotik (misalnya: Haloperidol (Haldol), sehingga penggunaan obat
ini digunakan untuk kontrol jangka pendek pada agresif yang parah
dan juga agitasi.3,5

Post Traumatic Stress Disorder 20


Figur 1. Algoritma Tatalaksana PTSD

b. Psikoterapi
Intervensi psikoterapi pada PTSD adalah terapi tingkah laku,
terapi kognitif, dan juga hypnosis. Psikoterapi psikodinamik mungkin
bermanfaat pada pengobatan orang dengan PTSD. Pada beberapa
penelitian, rekonstruksi dari peristiwa traumatik dengan cara abreaksi
dan catharsis mungkin bisa menjadi salah satu terapi, tetapi
psikoterapi itu sendiri harus tergantung dengan tiap individual itu
sendiri karena pada beberapa orang mengulang kembali kejadian bisa
membuat menjadi sangat tertekan. Terapi psikoterapi biasanya

Post Traumatic Stress Disorder 21


memerlukan pendekatan secara kognitif dan juga menyediakan
dukungan dan juga perasaan aman
Psikoterapi jangka pendek juga meminimalisasi
ketergantungan dan juga kemungkinan PTSD menjadi kronik.
Perasaan seperti perasaan curiga, paranoid, dan kepercayaan sering
mempengaruhi kepatuhan pasien dalam terapi. Terapis harus
menanggulangi perasaan menyangkal pasien dari kejadian traumatis,
meyakinkan mereka untuk bersantai, dan juga menjauhkan mereka
dari sumber stress. Pasien harus disarankan untuk tidur dan minum
obat-obatan jika perlu. Dukungan dari orang-orang di sekitar
lingkungan juga sangat diperlukan seperti dari keluarga dan teman.
Pasien harus diyakinkan untuk mengingat kembali dan juga
melakukan abreaksi emosional terhadap peristiwa traumatis yang
telah dialami dan melakukan rencana untuk pemulihan di kemudian
hari.
Abreaksi yaitu mengalami emosi yang berkaitan dengan
kejadian traumatis mungkin bisa bermanfaat untuk beberapa orang.
Wawancara dengan Amobarbital (Amytal) telah digunakan untuk
mempermudah proses ini. Psikoterapi pascatrauma harus mengikuti
model intervensi dengan dukungan, edukasi, peningkatan mekanisme
koping, dan penerimaan terhadap peristiwa itu. Ketika PTSD telah
timbul, pendekatan dapat dilakukan dengan 2 cara, yang pertama
yaitu pajanan terhadap peristiwa traumatis melalui teknik
membayangkan atau pajanan in vivo. Pajanan dapat diberikan secara
intens, sebagai terapi implosif, atau secara bertingkat yaitu melalui
desensitisasi sistematik. Pendekatan yang kedua adalah pendekatan
dengan mengajari pasien metode mengendalikan stress, seperti
dengan cara teknik relaksasi, dan pendekatan kognitif untuk
menghadapi stress. Beberapa data menunjukkan psikoterapi dengan
manajemen stress efektif lebih cepat daripada pendekatan dengan
teknik pajanan, tetapi hasil terapi dengan teknik pajanan bisa
bertahan lebih lama.

Post Traumatic Stress Disorder 22


Psikoterapi lain yang relatif baru dan kontroversial adalah
dengan eye movement desensitization and reprocessing (EMDR),
yaitu dengan cara pasien fokus pada gerakan lateral jari terapis
dengan tetap membayangkan peristiwa trauma yang pernah terjadi.
Kepercayaan umum bahwa gejala dapat dikurangi dengan cara
mengingat peristiwa traumatis saat dalam keadaan relaksasi dalam.
Penggagas dari terapi ini mengatakan bahwa terapi ini lebih efektif
daripada terapi PTSD lainnya, dan terapi ini lebih disukai baik klinisi
maupun pasien yang telah mencoba terapi ini.
Selain terapi individual, terapi kelompok atau terapi keluarga
juga dilaporkan efektif dalam menanggulangi PTSD. Keuntungan
dari terapi berkelompok adalah saling berbagi pengalaman mengenai
peristiwa traumatis yang telah dialami sebelumnya dan juga
dukungan dari sesama anggota kelompok. Terapi keluarga biasanya
membantu mempertahankan perkawinan ketika gejala PTSD ini
memberat. Rawat inap dibutuhkan ketika gejala yang timbul sangat
berat atau beresiko untuk bunuh diri ataupun kemungkinan kekerasan
lainnya.3

1.11 Prognosis
Gejala PTSD biasa muncul setelah kejadian traumatis, bisa tertunda
mulai dari 1 minggu atau hingga 30 tahun, dengan fluktuasi dari waktu
ke waktu dan menjadi paling intens pada periode stress. Jika tidak
diobati, sekitar 30% pasien akan menjadi pulih kembali, 40% berlanjut
memiliki gejala ringan, 20% berlanjut dengan gejala sedang, dan 10%
tidak akan mengalami perubahan gejala atau bahkan bertambah buruk.
Setelah 1 tahun, sekitar 50% dari pasien akan menjadi pulih.
Prognosis yang baik dapat terlihat pada onset gejala yang cepat,
kurang dari 6 bulan, fungsi premorbid yang baik, dukungan sosial yang
kuat, dan tidak adanya gangguan psikiatri, medis, atau gangguan terkait
zat lain atau faktor resiko lainnya.Orang yang sangat muda dan sangat
tua biasanya lebih mengalami kesulitan ketika menghadapi trauma
daripada orang dengan umur pertengahan.3

Post Traumatic Stress Disorder 23


KESIMPULAN

Gangguan stress pascatrauma (posttraumatic stress disorder–PTSD)


adalah suatu sindrom yang timbul setelah seseorang melihat, terlibat didalam,
atau mendengar stresor traumatik yang ekstrim dan bereaksi terhadap
pengalaman tersebut dengan rasa takut dan tidak berdaya, sehingga mereka
secara menetap menghidupkan kembali peristiwa tersebut, dan mencoba
menghindari mengingat hal itu. Insiden menderita PTSD sepanjang hidup
diperkirakan sekitar 9-15% dan prevalensi seumur hidupnya sekitar 8%
populasi umum.PTSD dapat terjadi pada usia berapapun dengan prevalensi
tersering dewasa muda akibat pajanan situasi penginduksi.

Faktor resiko PTSD bermacam-macam tergantung dari pretraumatik,


peritraumatik dan posttraumatik. Patogenesis PTSD tergantung pada setiap
etiologi. Etiologi PTSD meliputi: stressor, faktor psikodinamik, faktor perilaku
– kognitif dan faktor biologis. Penderita umumnya datang dengan keluhan
berupa gejala-gejala depresi, ide bunuh diri, penarikan diri dari lingkungan
sosialnya, kesulitan tidur, penyalahgunaan alkohol/zat adiktif lainnya, serta
keluhan fisik yang lainnya.Pemeriksaan status mental sering mengungkapkan
rasa bersalah, penolakan, dan cemooh.Kriteria diagnosis PTSD dengan
menggunakan DSM – V atau PPDGJ – III.

Pendekatan paling penting pada pasien trauma adalah dengan memberi


dukungan dan semangat untuk membicarakan kejadian dan memberikan
pengajaran mengenai berbagai mekanisme koping. Pemberian obat sedatif dan
hipnotik juga dapat membantu.Lini pertama terapi PTSD adalah Selective
Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRIs), seperti Sertraline (Zoloft) dan
Paroxetine (Paxil). Jika tidak diobati, sekitar 30% pasien akan menjadi pulih
kembali, 40% berlanjut memiliki gejala ringan, 20% berlanjut dengan gejala
sedang, dan 10% tidak akan mengalami perubahan gejala atau bahkan
bertambah buruk. Setelah 1 tahun, sekitar 50% dari pasien akan menjadi pulih.

Post Traumatic Stress Disorder 24


DAFTAR PUSTAKA

Melinda Smith MA and Jeanne Segal, Ph. D. Post – Traumatic Stress


Disorder (PTSD). [Updated March 2014, Cited Dec 4th 2019]. Available from:
http://helpguide.org/mental/post_traumatic_stress_disorder_symptoms_treatme
nt.htm

Sadock, Benjamin James; Sadock, Virginia Alcott. Kaplan & Sadock’s


Synopsis of Psychiatry: Behavioural Sciences/Clinical Psychiatry. 10th ed.
USA: Lippincott Williams & Wilkins; 2007.

American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of


Mental Disorders. 5th ed. USA: American Psychiatric Publishing; 2013.

Bajor, Laura & Nectara Ticlea, Ana & Osser, David. (2011). The
Psychopharmacology Algorithm Project at the Harvard South Shore Program:
An Update on Posttraumatic Stress Disorder. Harvard review of psychiatry. 19.
240-58.

Elvira SD. Buku Ajar Psikiatri UI. Edisi Kedua. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI; 2013.

Departemen Kesehatan. Direktorat Jendral Pelayanan Medik. Pedoman


Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa, di Indonesia III.Jakarta:
Departemen Kesehatan;1993.

Parker, R. 2017. What is Posttraumatic Stress Disorder?. American


Psychiatric Association. Washington. Available from:
https://www.psychiatry.org/patients-families/ptsd/what-is-ptsd , diakses pada 4
januari 2019.

Anonnym. National Institute of Mental Health. USA.


https://www.nimh.nih.gov/health/topics/post-traumatic-stress-disorder-
ptsd/index.shtml , diakses para 4 January 2019

Gore, A. T. 2018. Post traumatic Stress Disorder. emedicine.medscape.


USA. https://emedicine.medscape.com/article/288154-overview#a1 , diakses
pada 4 januari 2019.

Post Traumatic Stress Disorder 25


Pai, A., dkk. 2017. Posttraumatic Stress Disorder in the DSM-5:
Controversy, Change, and Conceptual Considerations. Behavioural Science
2017 Mar 7(1):7. Available from:

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5371751/ , diakses pada 4


Januari 2019

McLaughlin, K, Fairbank, J, Gruber, M. Trends in Serious Emotional


Disturbance among Youths Exposed to Hurricane Katrina. J of the Am
Academy of Child Adolesc Psychiatry. 2010. 49(10):990-1000.

Post Traumatic Stress Disorder 26

Anda mungkin juga menyukai