Anda di halaman 1dari 57

Bagian Ilmu Kesehatan Anak

Refleksi Kasus
Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

DENGUE HEMORAGIC FEVER

Disusun oleh:
Abidah Sholihatuz Zahro
1710029003

Pembimbing:
dr. Annisa Muhyi, Sp. A, M.Biomed

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
FEBRUARI 2018

1
REFLEKSI KASUS

Dengue Hemoragic Fever

Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian stase Anak


ABIDAH SHOLIHATUZ ZAHRO
1710029003

Menyetujui,

dr. Annisa Muhyi, Sp. A, M.Biomed

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
FEBRUARI 2018

2
3
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, berkat rahmat-
Nya penulis dapat menyelesaikan Refleksi Kasus mengenai“Dengue Hemoragic
Fever”. Refleksi kasus ini disusun dalam rangka tugas kepaniteraan klinik di
Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Daerah Abdul Wahab Sjahranie
Samarinda.
Penulis menyadari bahwa keberhasilan penulisan refleksi kasus ini
tidak lepas dari bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis
menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada :
1. dr. Ika Fikriah, M.Kes, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Samarinda.
2. dr. Soehartono, Sp.THT-KL, selaku Ketua Program Studi Profesi Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
3. dr. Hendra, Sp. A, sebagai Kepala Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.
4. dr. Annisa Muhyi, Sp.A, selaku dosen pembimbing refleksi kasus.
5. dr. Sukartini, Sp.A, selaku dosen pembimbing klinik selama penulis di stase
Ilmu Kesehatan anak.
6. Seluruh pengajar yang telah mengajarkan ilmunya kepada penulis hingga
pendidikan saat ini.
7. Rekan sejawat dokter muda stase Ilmu Kesehatan Anak angkatan 2017/2018
yang telah bersedia memberikan saran dan mengajarkan ilmunya pada
penulis.
8. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh penulis.
Penulis menyadari terdapat ketidaksempurnaan dalam refleksi kasus ini,
sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran demi penyempurnaan. Akhir
kata, semoga dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca.

Samarinda, Februari 2018

Penulis

4
5
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN.................................................................................... ii
KATA PENGANTAR.............................................................................................iii
DAFTAR ISI............................................................................................................v
BAB 1 PENDAHULUAN.......................................................................................1
BAB 2 KASUS........................................................................................................2
BAB 3 TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................11
3.1 Demam Berdarah Dengue.............................................................................11
3.1.1 Definisi.........................................................................................................11
3.1.2 Epidemiologi.................................................................................................11
3.1.3 Etiologi.........................................................................................................14
3.1.4 Patofisiologi..................................................................................................15
3.1.5 Patogenesis...................................................................................................18
3.1.6 Manifestasi Klinis.........................................................................................23
3.1.7 Diagnosis......................................................................................................25
3.1.8 Pemeriksaan Penunjang................................................................................27
3.1.10 Penatalaksanaan.......................................................................................30
3.1.11 Prognosis..................................................................................................45
BAB 4 PEMBAHASAN........................................................................................46
4.1 Anamnesis....................................................................................................46
4.2 Pemeriksaan Fisik.........................................................................................47
4.3 Pemeriksaan Penunjang................................................................................47
4.4 Diagnosis......................................................................................................48
4.5 Penatalaksanaan............................................................................................49
BAB 4 KESIMPULAN..........................................................................................50
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................51

6
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Di Indonesia, demam berdarah dengue (DBD) pertama kali dicurigai di
Surabaya pada tahun 1968, tetapi konfirmasi virologis baru diperoleh pada tahun
1970.Sejak tahun 1994, seluruh propinsi di Indonesia telah melaporkan kasus
DBD dan daerah tingkat II yang melaporkan kasus DBD juga meningkat, namun
angka kematian menurun tajam dari 41,3% pada tahun 1968, menjadi 3% pada
tahun 1984 dan menjadi <3% pada tahun 1991. (Soedarmo, 2012)
Di Indonesia pengaruh musim terhadap DBD tidak begitu jelas,
namun secara garis besar jumlah kasus meningkat antara September sampai
Februari dengan mencapai puncaknya pada bulan Januari (Soedarmo, 2012)
Patogenesis DBD tidak sepenuhnya dipahami namun terdapat 2
perubahan patofisiologi yang dominan, yaitu meningkatnya permeabilitas kapiler
yang mengakibatkan bocornya plasma, hipovolemia dan terjadinya syok.

1.2 Tujuan
1) Menambah ilmu dan pengetahuan mengenai penyakit yang dilaporkan.
2) Membandingkan informasi yang terdapat pada literatur dengan kenyataan
yang terdapat langsung pada kasus.
3) Mendiagnosa dengan cepat dan menyusun rencana tatalaksana yang tepat
kepada pasien.

1
BAB 2
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas
Identitas pasien
Nama : An. MMA
Usia : 11 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Berat Badan : 39 Kg
Tinggi Badan : 140 centimeter
Anak ke : Pertama dari dua bersaudara
Agama : Islam
Alamat : Jl. Lambung Mangkurat No. 86 Samarinda

Identitas Orang Tua


Nama Ayah : Tn. AR
Usia : 36 Tahun
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Jl. Lambung Mangkurat No. 86 Samarinda
Pendidikan terakhir : SMA
Pernikahan ke : pertama

Nama Ibu : Ny. W


Usia : 36 tahun
Pekerjaan : IRT
Alamat : Jl. Lambung Mangkurat No. 86 Samarinda
Pendidikan terakhir : SMA
Pernikahan ke : pertama

MRS tanggal 14 Januari 2018 Pukul 14.00 WITA.

3.2 Anamnesa
Anamnesa dilakukan pada tanggal 16 Januari 2018, di ruang Angsoka.
Alloanamnesa oleh pasien dan ibu kandung pasien.

3.2.1 Keluhan Utama


Nyeri kepala

3.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang

2
Pasien datang ke IGD RSUD Abdul Wahab Sjahranie pukul 8.21 pagi
dengan keluhan nyeri kepala sejak jam 3.00 malam sebelum masuk rumah sakit.
Sebelumnya pasien jatuh dan tidak sadar di kamar mandi lalu ditolong oleh ibu
pasien dan kemudian terjatuh lagi. Orang tua pasien merasa anaknya lemas dan
tidak merespon saat dipanggil. Setelah terjatuh pasien mengalami penurunan
kesadaran kemudian sadar kembali. Pasien sempat muntah dua kali setelah
pingsan yang pertama dan dua muntah setelah pingsan yang kedua. Pasien
memuntahkan air, mual (-).
Sebelum jatuh mengalami demam yang dialami sejak hari Rabu (+/- 4
hari) SMRS yang timbul secara tiba-tiba. Demam dirasakan sepanjang hari namun
paling terasa tinggi saat malam hari. Pasien juga mengeluhkan nyeri sendi di
seluruh tubuh terutama bahu dan lutut, nyeri otot dan nyeri perut yang dialami
sejak satu hari sebelum masuk rumah sakit. Keluhan perdarahan spontan seperti
mimisan, gusi berdarah, muntah darah, BAB darah dan BAB hitam disangkal.
Orang tua pasien mengatakan setelah muncul demam pasien terlihat lemas dan
nafsu makan menurun. Sebelumnya ada tetangga pasien yang berjarak 4 rumah
dari rumah pasien mengalami demam berdarah.

3.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu


Tidak pernah menderita keluhan seperti ini sebelumnya. Riwayat MRS
sebelumnya tidak ada.

3.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada anggota keluarga lain yang menderita kelainan seperti ini
sebelumnya. Riwayat hipertensi dan asma pada ibu. Riwayat diabetes melitus
disangkal.

3.2.5 Pertumbuhan dan Perkembangan Anak


Berat badan lahir : 3900 gram
Panjang badan lahir : 52 cm

3
Berat badan sekarang : 39 kg
Tinggi badan sekarang: 140 cm
Gigi keluar : 6 bulan
Tersenyum : OT lupa
Miring : OT lupa
Tengkurap : 7 bulan
Duduk : 8 bulan
Merangkak : OT lupa
Berdiri : 9 bulan
Berjalan : 10 bulan
Berbicara : 7 bulan
Masuk TK : 5 tahun
Masuk SD : 6 tahun
Sekarang kelas : 6 SD

3.2.6 Makan dan Minum Anak


ASI : ASI ekslusif 6 bulan sampai usia 2 tahun
Susu sapi : Dari usia 1 tahun
Makanan lunak : Mulai usia 7 bulan sampai 1,5 tahun
Makan padat dan lauknya : 1,5 tahun sampai sekarang

3.2.7 Pemeriksaan Prenatal


Periksa di : Klinik bidan
Penyakit kehamilan : Tidak ada
Obat-obat yang sering diminum : Tidak ada

3.2.8 Riwayat Kelahiran


Lahir di : Klinik bidan
Ditolong oleh : Bidan
Usia dalam kandungan : Aterm
Jenis partus : Spontan

2.2.10 Keluarga Berencana


Keluarga Berencana : Suntik hormon

3.2.11 Jadwal Imunisasi


Imunisasi BCG, Polio, Campak, DPT, Hepatitis B lengkap

4
Imunisasi Usia saat imunisasi
I II III IV Booster Booster
I II
BCG 1 bulan ////// ////// ////// ////// //////
Polio 1 bulan 2 bulan 4 bulan 6 bulan - -
Campak 9 bulan ////// ////// ////// ////// //////
DPT 2 bulan 4 bulan 6 bulan ////// - -
Hepatitis B 0 bulan 2 bulan 6 bulan - - -

3.3 Pemeriksaan Fisik


Dilakukan pada tanggal 16 Januari 2018
Keadaan Umum : Sakit sedang
Kesadaran : Composmentis
Berat Badan : 39 Kg
Panjang Badan : 140 cm
Tanda Vital : Tekanan Darah 90/60 mmHg
Nadi 84 x/menit
Pernafasan 24 x/menit
Temperatur axila 36,7o C
Kepala/leher
Rambut : Warna hitam, tidak mudah di cabut
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), pupil isokor,
diameter 3mm/3mm, reflex cahaya (+/+), edema palpebra
(-/-)
Hidung : Sekret hidung (-), pernafasan cuping hidung (-), mimisan
(-), bekuan darah (-)
Mulut : Mukosa bibir tampak basah, sianosis (-), perdarahan (-),
faring hiperemis (-), stomatitis (-)
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-) nyeri tekan (-)

Thorax
Paru: Inspeksi : Tampak simetris, pergerakan simetris,
retraksi supra sternum (-), retraksi
supraclavicula (-),
Palpasi : Pelebaran ICS (-), fremitus raba D=S
Perkusi : Sonor
Auskultasi : suara napas vesikuler, Stridor (-), Ronki
(-/-), wheezing (-/-)
Jantung: Inspeksi :Ictus cordis tampak pada ICS 5
midclavicularis sinistra

5
Palpasi :Ictus cordis teraba pada ICS 5
midclavicularis sinistra
Perkusi : Normal pada batas jantung
Auskultasi : S1S2 tunggal reguler kesan normal,murmur
(-),gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : flat, sikatriks (-) striae (-) hernia umbilikalis (-) scar (-)
Palpasi : Soefl, nyeri tekan (-), organomegali (-), turgor kulit normal
Perkusi : Timpani, acites (-)
Auskultasi : Bising usus (+) kesan normal

Ekstremitas
Ekstremitas superior : Akral hangat, pucat (-/-), edem (-/-), rumple
leed (+), petekie (-)
Ekstremitas inferior : Akral hangat, pucat (-/-), edem (-/-),
petekie (-)

3.4 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Laboratorium
a. Laboratorium 14 Januari 2018
Pemeriksaan hematologi dan kimia klinik pukul 09:17:25
Pemeriksaan yang Hasil yang Nilai Normal
dialkukan didapat
Leukosit 4.910/mm3 4.500 – 14.500/ mm3
Hemoglobin 16,2 g/dl 14,0 – 18,0 g/dl
Hematokrit 48,0 % 35,0 – 45.0%
Trombosit 72.000 / mm3 150.000 – 450.000/ mm3
Gula Darah Sewaktu 110 mg/dl 70 – 140 mg/dl
Natrium 129 mmol/L 135- 155 mmol/L
Kalium 5,6 mmol/L 3.6 – 5,5 mmol/L
Chloride 94 mmol/L 98-108 mmol/L

3.5 Diagnosis Kerja (IGD)


Demam berdarah dengue grade I + cephalgia post trauma
3.6 Penatalaksanaan IGD
Konsul ke dr. Sp.A
 Cek DL tiap 24 jam

 IVFD RL 1.700 cc/24 jam

 Paracetamol 3 x 500 mg

6
 Konsul ke dr. Sp. Bedah Saraf

Lembar Follow Up
Tanggal Pemeriksaan Terapi
15-Jan-2018 S: Demam hari ke-4, nyeri A : DHF grade I + CKR
(perawatan H perut (+), nyeri sendi bahu (+) P:
ke1) O: - IVFD RL 1.700 cc/24 jam
TD : 100/70 mmHg - Paracetamol 3 x 500 mg
N:76 x/menit, reguler,kuat - Cek DL tiap 24 jam
angkat - TTV/6 jam
RR:21 x/Menit,
T:36,5 0C, Jawaban dari Sp.BS
K/L An (-/-) ik (-/-) - Terapi konservatif
pembesaran KGB (-) - Alih rawat ke Sp. A
Tho Whz (-/-), rho (-/-),
stridor (-) S1 S2 tunggal
reguler.
Abd BU (+) N,
Ext akral hangat, CRT < 2
detik, petekie (-), rumple leed
(+)

Lab :
Leukosit : 3.920/mm3
Hb : 15,6 g/dL
Ht : 44,3 %
Plt : 55.000/mm3
16 Januari 2018 S: Demam hari ke-5, nyeri A : DHF grade II
(perawatan H-2) perut (+) berkurang, nyeri P:
sendi bahu (+) berkurang. - IVFD RL 1.700 cc/24 jam
O: - Paracetamol 3 x 500 mg
CM - Cek DL tiap 24 jam
TD : 100/70 mmHg
N:76 x/menit, reguler,kuat
angkat
RR:21 x/Menit,
T:36,5 0C,
K/L An (-/-) ik (-/-)
pembesaran KGB (-)
Tho Whz (-/-), rho (-/-),
stridor (-) S1 S2 tunggal
reguler.

7
Abd BU (+) N,
Ext akral hangat, CRT < 2
detik, petekie (+), rumple leed
(+)

Lab :
Leukosit : 5.100/mm3
Hb : 13,5 g/dL
Ht : 40,5 %
Plt : 42.000/mm3

17 Januari 2018 S: Demam hari ke-6, nyeri A : DHF grade II


(perawatan H-3) perut (+) berkurang, nyeri P:
sendi bahu (+) berkurang, - IVFD RL 10 tpm
O: - Paracetamol 3 x 500 mg
CM - Cek DL tiap 24 jam
TD : 100/70 mmHg
N:76 x/menit, reguler,kuat
angkat
RR:21 x/Menit,
T:36,5 0C
K/L An (-/-) ik (-/-)
pembesaran KGB (-)
Tho Whz (-/-), rho (-/-),
stridor (-) S1 S2 tunggal
reguler.
Abd BU (+) N,
Ext akral hangat, CRT < 2
detik, petekie (+), rumple leed
(+) ruam konvalesen (+)

Lab :
Leukosit : 5.000/mm3
Hb : 13,3 g/dL
Ht : 39,2 %
Plt : 66.000/mm3

8
18 Januari 2018 S: Demam hari ke-7, nyeri A : DHF grade II
(perawatan H ke perut berkurang, nyeri sendi P:
4) bahu (-) berkurang, - Acc KRS
O: - Paracetamol 3 x 500 mg
CM
TD : 100/70 mmHg
N:76 x/menit, reguler,kuat
angkat
RR:21 x/Menit,
T:36,5 0C,
K/L An (-/-) ik (-/-)
pembesaran KGB (-)
Tho Whz (-/-), rho (-/-),
stridor (-) S1 S2 tunggal
reguler.
Abd BU (+) N,
Ext akral hangat, CRT < 2
detik, petekie (+) berkurang,
ruam konvalesen (+)
berkurang

Lab :
Leukosit : 5.560/mm3
Hb : 12,4 g/dL
Ht : 35 %
Plt : 152.000/mm3

9
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Demam Berdarah Dengue


3.1.1 Definisi
Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhagic Fever
(DHF) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus Dengue Family
Flaviviridae, dengan genusnya adalah Flavivirus (Kemenkes RI,2015). Virus
mempunyai empat serotipe yang dikenal dengan DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan
DEN-4. Selama ini secara klinik mempunyai tingkatan manifestasi yang berbeda
tergantung dari serotipe virus dengue (Kemenkes RI, 2015).

3.1.2 Epidemiologi
Di Indonesia, demam berdarah dengue (DBD) pertama kali dicurigai di
Surabaya pada tahun 1968, tetapi konfirmasi virologis baru diperoleh pada tahun
1970. Di Jakarta, kasus pertama di laporkan pada tahun 1968. Sejak
dilaporkannya kasus demam berdarah dengue (DBD) pada tahun 1968 terjadi
kecenderungan peningkatan insiden. Sejak tahun 1994, seluruh propinsi di
Indonesia telah melaporkan kasus DBD dan daerah tingkat II yang melaporkan
kasus DBD juga meningkat, namun angka kematian menurun tajam dari 41,3%
pada tahun 1968, menjadi 3% pada tahun 1984 dan menjadi <3% pada tahun
1991. (Soedarmo, 2012)
Indonesia merupakan negara di Asia Tenggara yang paling banyak
melaporkan kasus DBD. Pada epidemik tahun 2000, sekitar 82% pasien DBD
yang dirawat inap adalah orang dewasa, sedangkan semua kematian akibat DBD
dialami oleh anak-anak berumur diatas 5 tahun (Soedarmo, 2012). Jumlah kasus
DBD tidak pernah menurun di beberapa daerah tropik dan subtropik bahkan
cenderung terus meningkat dan banyak menimbulkan kematian (Candra, 2010).
.

10
Morbiditas dan mortalitas DBD yang dilaporkan berbagai negara
bervariasi disebabkan beberapa faktor, antara lain status umur penduduk,
kepadatan vektor, tingkat penyebaran virus dengue, prevalensi serotipe virus
dengue dan kondisi meteorologis. Secara keseluruhan tidak terdapat perbedaan
antara jenis kelamin, tetapi kematian ditemukan lebih banyak terjadi pada anak
perempuan daripada anak laki-laki. Pada awal terjadinya wabah di sebuah negara,
pola distribusi umur memperlihatkan proporsi kasus terbanyak berasal dari
golongan anak berumur <15 tahun (86-95%). Namun pada wabah selanjutnya,
jumlah kasus golongan usia dewasa muda meningkat. Di Indonesia pengaruh
musim terhadap DBD tidak begitu jelas, namun secara garis besar jumlah kasus
meningkat antara September sampai Februari dengan mencapai puncaknya pada
bulan Januari (Soedarmo, 2012)

Gambar 2.1 Negara dengan resiko transmisi dengue (WHO, 2011)

Beberapa faktor resiko yang dikaitkan dengan demam dengue dan demam
berdarah dengue antara lain : demografi dan perubahan sosial, suplai air,
manejemen sampah padat, infrastruktur pengontrol nyamuk, consumerism,
peningkatan aliran udara dan globalisasi, serta mikroevolusi virus. Indonesia
berada di wilayah endemis untuk demam dengue dan demam berdarah dengue.
Hal tersebut berdasarkan penelitian WHO yang menyimpulkan demam dengue

11
dan demam berdarah dengue di Indonesia menjadi masalah kesehatan mayor,
tingginya angka kematian anak, endemis yang sangat tinggi untuk keempat
serotype, dan tersebar di seluruh area (WHO, 2011).

Angka kesakitan demam berdarah dengue di Indonesia (Kemenkes RI,2015)

Gambaran angka kesakitan DBD menurut provinsi tahun 2015 dapat


dilihat pada gambar 1.3. Provinsi dengan angka kesakitan DBD tertinggi tahun
2015 yaitu Bali sebesar 257,75, disusul Kalimantan Timur sebesar 188,46 dan
Kalimantan Utara 112,00 per 100.000 penduduk (Kemenkes RI,2015).

12
Angka Kesakitan Demam Berdarah Dengue per 100. 000 penduduk menurut provinsi
tahun 2015

3.1.3 Etiologi
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus
dengue, yang termasuk dalam group B arthropod borne virus (arbovirus) dan
sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviridae. Flavivirus
merupakan virus dengan diameter 50 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai
tunggal dengan berat molekul 4x106 (WHO,2011; Soedarmo, 2012)

Gambar 3.4 Virus Dengue

13
Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 yang
semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue.
Keempat serotype ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotype
terbanyak. Infeksi dengan salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi seumur
hidup terhadap serotipe yang bersangkutan tetapi tidak ada perlindungnan
terhadap serotipe yang lain. Seseorang yang tinggal di daerah endemis dengue
dapat terinfeksi dengan 3 atau bahkan 4 serotipe selama hidupnya. Keempat jenis
serotipe virus dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia
(Soedarmo, 2012).

3.1.4 Patofisiologi
Patogenesis DBD tidak sepenuhnya dipahami namun terdapat 2 perubahan
patofisiologi yang dominan, yaitu meningkatnya permeabilitas kapiler yang
mengakibatkan bocornya plasma, hipovolemia dan terjadinya syok. Pada DBD
terdapat kejadian unik yaitu terjadinya kebocoran plasma kedalam rongga pleura
dan rongga peritoneal. Kebocoran plasma terjadi singkat dalam 24-28 jam
(Soedarmo, 2012).
Beberapa kondisi yang ditemukan pada kasus DBD, sebagai berikut:

14
a. Volume Plasma
Fenomena patofisiologi utama yang menentukan derajat penyakit dan
membedakan antara DD dengan DBD ialah peningkatan permeabilitas dinding
pembuluh darah, penurunan volume plasma, terjadinya hipotensi,
trombositopenia, serta diatesis hemoragik. Penyelidikan volume plasma pada
kasus DBD dengan menggunakan 131 Iodine labelled human albumin sebagai
indikator membuktikan bahwa plasma merembes selama perjalanan penyakit
mulai dari permulaan masa demam dan mencapai puncaknya pada masa syok.
Pada kasus berat, syok terjadi secara akut, nilai hematokrit meningkat
bersamaan dengan menghilangnya plasma melalui endotel dinding pembuluh
darah. Meningginya nilai hematokrit pada kasus syok menimbulkan dugaan
bahwa syok terjadi sebagai akibat kebocoran plasma ke daerah ekstra vaskular
(ruang interstisial dan rongga serosa) melalui kapiler yang rusak. Bukti yang
mendukung dugaan ini ialah meningkatnya berat badan, ditemukannya cairan
yang tertimbun dalam rongga serosa yaitu rongga peritoneum, pleura, dan
perikardium yang pada otopsi ternyata melebihi cairan yang diberikan melalui
infus, dan terdapatnya edema (Soedarmo, 2012).
Pada sebagian besar kasus, plasma yang menghilang dapat diganti secara
efektif dengan memberikan plasma atau ekspander plasma. Pada masa dini
dapat diberikan cairan yang mengandung elektrolit. Syok terjadi secara akut
dan perbaikan klinis terjadi secara cepat dan drastis. Sedangkan pada otopsi
tidak ditemukan kerusakan dinding pembuluh darah yang bersifat dekstruktif
atau akibat radang, sehingga menimbulkan dugaan bahwa perubahan
fungsional dinding pembuluh darah agaknya disebabkan oleh mediator
farmakologis yang bekerja secara cepat. Gambaran mikroskop elektron biopsi
kulit pasien DBD pada masa akut memperlihatkan kerusakan sel endotel
vaskular yang mirip dengan luka akibat anoksia atau luka bakar. Gambaran itu
juga mirip dengan binatang yang diberi histamin atau serotonin atau dibuat
keadaan trombositopenia (Soedarmo, 2012).
b. Trombositopenia
Trombositopenia merupakan kelainan hematologis yang ditemukan pada
sebagian besar kasus DBD. Nilai trombosit mulai menurun pada masa demam

15
dan mencapai nilai terendah pada masa syok. Jumlah trombosit secara cepat
meningkat pada masa konvalesens dan nilai normal biasanya tercapai 7-10
hari sejak permulaan sakit. Trombositopenia yang dihubungkan dengan
meningkatnya megakariosit muda dalam sumsum tulang dan pendeknya masa
hidup trombosit diduga akibat meningkatnya destruksi trombosit. Dugaan
mekanisme lain trombositopenia ialah depresi fungsi megakariosit.
Penyelidikan dengan radioisotop membuktikan bahwa penghancuran
trombosit terjadi dalam sistem retikuloendotel, limpa dan hati. Penyebab
peningkatan destruksi trombosit tidak diketahui, namun beberapa faktor dapat
menjadi penyebab yaitu virus dengue, komponen aktif sistem komplemen,
kerusakan sel endotel dan aktivasi sistem pembekuan darah secara bersamaan
atau secara terpisah. Lebih lanjut fungsi trombosit pada DBD terbukti
menurun mungkin disebabkan proses imunologis terbukti ditemui kompleks
imun dalam peredaran darah. Trombositopenia dan gangguan fungsi trombosit
dianggap sebagai penyebab utama terjadinya perdarahan pada DBD
(Soedarmo, 2012).
c. Sistem koagulasi dan fibrinolisis
Kelainan sistem koagulasi juga berperan dalam perdarahan DBD. Masa
perdarahan memanjang, masa pembekuan normal, masa tromboplastin parsial
yang teraktivasi memajang. Beberapa faktor pembekuan menurun, termasuk
faktor II, V, VII, VIII, X dan fibrinogen. Pada kasus DBD berat terjadi
peningkatan Fibrinogen Degradation Products (FDP). Penelitian lebih lanjut
faktor koagulasi membuktikan adanya penurunan aktivitas antitrombin III.
Disamping itu juga dibuktikan bahwa menurunnya aktivitas faktor VII, faktor
II, dan antitrombin III tidak sebanyak seperti fibrinogen da faktor VIII. Hal ini
menimbulkan dugaan bahwa menurunnya kadar fibrinogen dan faktor VIII
tidak hanya diakibatkan oleh konsumsi sistem koagulasi, tetapi juga oleh
konsumsi sistem fibrinolisis. Kelainan fibrinolisis pada DBD dibuktikan
dengan penurunan alpha 2 plasmin inhibitor dan penurunan aktivitas
plasminogen. Seluruh penelitian di atas menunjukan bahwa (Soedarmo, 2012):
1. Pada DBD stadium akut telah terjadi proses koagulasi dan
fibrinolisis

16
2. Diseminated intravaskular coagulation secara potensial dapat
terjadi juga DBD tanpa syok. Pada masa dini DBD, peran DIC tidak
menonjol dibandingkan dengan perubahan plasma tetapi apabila penyakit
memburuk sehingga terjadi syok dan asidosis maka syok akan
memperberat DIC sehingga perannya akan mencolok. Syok dan DIC
saling mempengaruhi sehingga penyakit akan memasuki syok irreversible
disertai perdarahan hebat, terlibatnya organ-organ vital yang biasanya
diakhiri dengan kematian.
3. Perdarahan kulit pada umumnya disebabkan oleh faktor kapiler,
gangguan fungsi trombosit dan trombositopeni, sedangkan perdarahan
masif ialah akibat kelainan mekanisme yang lebih komplek seperti
trombositopenia, gangguan faktor pembekuan, dan kemungkinan besar
oleh faktor DIC, terutama pada kasus dengan syok lama yang tidak dapat
diatasi disertai komplikasi asidosis metabolik.
4. Antitrombin III yang merupakan kofaktor heparin. Pada kasus
dengan kekurangan antitrombin III, respon pemberian heparin akan
berkurang (Soedarmo, 2012).
d. Sistem Komplemen
Penelitian sistem komplemen pada DBD memperlihatkan penurunan kadar
C3, C3 proaktivaktor, C4, dan C5 baik pada kasus yang disertai syok maupun
tidak. Terdapat hubungan positif antara kadar serum komplemen dengan
derajat penyakit. Penurunan ini menimbulkan perkiraan bahwa pada dengue,
aktivasi komplemen terjadi baik melalui jalur klasik maupun jalur alternatif.
Hasil penelitian radio isotop mendukung pendapat bahwa penurunan kadar
serum komplemen disebabkan oleh aktivasi sistem komplemen dan bukan
oleh karena produksi yang menurun atau ekstrapolasi komplemen. Aktivasi ini
menghasilkan anafilatoksin C3a dan C5a yang mempunyai kemampuan
stimulasi sel mast untuk melepaskan histamin dan merupakan mediator kuat
untuk menimbulkan peningkatan permeabilitas kapiler, pengurangan plasma
dan syok hipopolemik. Komplemen juga bereaksi dengan epitop virus pada sel
endotel, permukaan trombosit dan limfosit T, yang menimbulkan waktu paruh
trombosit memendek, kebocoran plasma, syok, dan perdarahan. Disamping itu

17
komplemen juga merangsang monosit untuk memproduksi sitokin seperti
tumor nekrosis faktor (TNF), interferon gama, interleukin (IL-2 dan IL-1)
(Soedarmo, 2012).
Bukti-bukti yang mendukung peran sistem komplemen pada penderita
DBD ialah (1) ditemukannya kadar histamin yang meningkat dalam urin 24
jam, (2) adanya kompleks imun yang bersirkulasi (circulating immune
complex) baik pada DBD derajat ringan maupun berat, (3) adanya korelasi
antara kadar kuantitatif kompleks imun dengan derajat berat penyakit
(Soedarmo, 2012).
e. Respon Leukosit
Pada perjalanan penyakit DBD, sejak demam hari ketiga terlihat
peningkatan limfosit atopik yang berlangsung sampai hari ke delapan.
Pemeriksaan limfosit plasma biru secara seri dari preparat hapus darah tepi
memperlihatkan bahwa LPB pada infeksi dengue mencapai puncak pada hari
ke enam. Selanjutnya dibuktikan pula bahwa diantara hari keempat sampai
kedelapan demam terdapat perbedaan bermakna proporsi LPB pada DBD
dengan demam dengue. Dari penelitian imunologi disimpulkan bahwa LPB
merupakan campuran antara limfosit B dan limfosit T. (Soedarmo, 2012)

3.1.5 Patogenesis
Mekanisme terjadinya DBD belum diketahui secara pasti dan masih
diperdebatkan. Pada tahun 1973 Halstead mengajukan hipotesis secondary
heterologous infection yang menyatakan bahwa DBD dapat terjadi apabila
seseorang setelah terinfeksi virus dengue pertama kali mendapatkan infeksi kedua
dengan virus dengue serotipe lain dalam jarak waktu 6 bulan sampai 5 tahun
(IDAI, 2015). Reinfeksi menyebabkan reaksi amnestik antibodi sehingga
mengakibatkan konsentrasi kompleks imun yang tinggi (Suhendro et al., 2014).
Bagan patogenesis perdarahan berdasarkan hipotesis the secondary heterologous
infection yang dirumuskaan oleh Suvatte, tahun 1977:

18
Patogenesis perdarahan DBD (Suhendro et al., 2014).

Terdapatnya kompleks antigen antibodi tersebut dapat menyebabkan hal-hal


berikut:
1. Mekanisme imunopatogenesis infeksi virus dengue melibatkan respon humoral
berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam proses netralisasi virus,
sitolisis yang di mediasi komplemen dan sitotoksisitas yang dimediasi antibodi.
Juga melibatkan limfosit T baik T helper (CD4) dan T sitotoksik (CD8),
monosit dan makrofag, sitokin serta aktivasi komplemen. Terjadinya infeksi
makrofag, monosit atau sel dendritik oleh virus dengue melalui proses
endositosis mengaktivasi sel T helper (CD4) dan sel T sitotoksik (CD8) yang
menghasilkan limfokin dan interferon gamma. Aktivasi ini makrofag dan
monosit akan merangsang infeksi virus dengue untuk mengaktivasi makrofag
dan monosit yang lainnya, yang selanjutnya akan memproduksi mediator

inflamasi seperti TNF , IL-1, PAF (Platelet Activating Factor), IL-6,


histamin sedangkan limfosit T menghasilkan mediator inflamasi berupa IL-2,

TNF , IL-1, IL-6 dan IFN. Mediator inflamasi ini mengakibatkan


terjadinya disfungsi sel endotel dan terjadi kebocoran plasma. Selain itu
kompleks virus dan antibodi ini akan mengaktifkan sistem komplemen dengan
mensekresikan C3a dan C5a yang disebut anafilatoksin, yang mengakibatkan

19
peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah sehingga terjadi
ekstravasasi plasma dari intravaskuler menuju ekstravaskuler mengakibatkan
terjadinya kebocoran plasma. Perembesan plasma ini terbukti dengan adanya
hemokonsentrasi yang ditandai dengan peningkatan nilai hematokrit,
hipoproteinemia, penurunan kadar natrium darah, terdapatnya cairan di dalam
rongga serosa (efusi pleura, asites) gangguan sirkulasi dan akhirnya
menyebabkan syok. Syok yang tidak ditanggulangi secara adekuat, akan
menyebabkan asidosis dan anoksia, yang dapat berakibat fatal (Rena, Utama,
& M, 2009; Valentino, 2012; Frans, 2011; WHO SEARO, 2011).
2. Aktivasi sistem koagulasi dimulai dari aktivasi faktor hageman (faktor XII)
menjadi bentuk aktif (faktor XIIa). Factor XIIa akan mengaktifkan faktor
koagulasi lainnya, sehingga mengaktifkan sistem fibrinolisis yang bila
berkepanjangan berakibat menghambat hemostasis. Selain itu juga
mengaktifkan sistem kinin yang menyebabkan pelebaran dan peningkatan
permeabilitas kapiler yang dapat mempercepat terjadinya syok (Rena, Utama,
& M, 2009; Suhendro et al., 2014; Valentino, 2012).
3. Ditemukannya kompleks imun pada permukaan trombosit yang mengeluarkan
ADP (Adenosine Diposphat) diduga sebagai penyebab agregasi trombosit yang
kemudian akan dimusnahkan oleh sistem retikuloendotelial khususnya limpa
dan hati. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran platelet faktor
III yang mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif. Ditandai dengan
meningkatnya FDP (Fibrinogen Degradation Product) sehingga dapat terjadi
penurunan faktor pembekuan yang dapat menyebabkan dan memperparah
perdarahan karena terjadinya trombositopenia hebat yang berakibat perdarahan
massif. Akhirnya perdarahan akan memperberat syok yang terjadi (Rena,
Utama, & M, 2009; Frans, 2011; Valentino, 2012).

Mekanisme sebenarnya tentang patofisiologi, hemodinamika, dan


biokimiawi demam berdarah dengue belum diketahui secara pasti karena
kesukaran mendapatkan model binatang percobaan yang dapat dipergunakan
untuk menimbulkan gejala klinis DBD seperti pada manusia. Hingga kini
sebagaian besar masih menganut the secondary heterologous infection hypothesis

20
atau the sequential infection hypothesis yang menyatakan bahwa DBD dapat
terjadi apabila seseorang telah terinfeksi virus dengue pertama kali mendapatkan
infeksi kedua dengan virus serotype lain dalam jarak waktu 6 bulan sampai 5
tahun. (Soedarmo, 2012)

Virus dengue masuk ke dalam tubuh manusia lewat gigitan nyamuk Aedes
Aegypti atau Aedes Albopictus. Organ sasaran dari virus adalah organ RES
meliputi sel kuffer hepar, endotel pembuluh darah, nodus limfaticus, sumsum
tulang serta paru-paru. Data dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa sel-sel
monosit dan makrofag mempunyai peranan besar pada infeksi ini. Dalam
peredaran darah, virus tersebut akan difagosit oleh sel monosit perifer (Soegijanto,
2006).
Virus DEN mampu bertahan hidup dan mengadakan multifikasi di dalam
sel tersebut. Infeksi virus dengue dimulai dengan menempelnya virus genomnya
masuk ke dalam sel dengan bantuan organel-organel sel, genom virus membentuk
komponen-komponennya, baik komponen perantara maupun komponen struktural
virus. Setelah komponen struktural dirakit, virus dilepaskan dari dalam sel. Proses
perkembangan biakan virus DEN terjadi di sitoplasma sel (Soegijanto, 2006)
Antibodi yang terbentuk pada infeksi dengue terdiri dari Ig G yang
berfungsi menghambat replikasi virus dalam monosit, yaitu enhancing – antibody
dan neutralizing antibody. Pada saat ini dikenal 2 jenis tipe antibodi yang
dibedakan berdasarkan adanya virion determinant spesificity, yaitu (Soedarmo,
2012):
1. Kelompok monoklonal reaktif yang tidak mempunyai sifat menetralisasi
tetapi memacu replikasi virus
2. Antibodi yang dapat menetralisasi secara spesifik tanpa disertai daya memacu
replikasi virus.
Antibodi non neutralisasi yang terbentuk pada infeksi primer akan
menyebabkan terbentuknya kompleks imun pada infeksi sekunder dengan akibat
memacu replikasi virus. Teori ini pula yang mendasari pendapat bahwa infeksi
virus dengue oleh serotipe dengue yang berbeda cenderung menimbulkan
manifestasi berat. Dasar utama hipotesis adalah meningkatnya reaksi imunologis

21
(the immunological enhancement hypothesis) yang berlangsung sebagai berikut
(Soedarmo, 2012):
a. Sel fagosit mononuklear yaitu monosit, makrofag, histiosit, dan sel kupffer
merupakan tempat utama terjadinya infeksi virus pertama
b. Antibodi non neutralisasi baik yang bebas dalam sirkulasi maupun yang
melekat pada sel, bertindak sebagai reseptor spesifik untuk melekatnya virus
dengue pada permukaan sel fagosit mononuklear. Mekanisme pertama ini
disebut mekanisme aferen.
c. Virus dengue kemudian akan bereplikasi dalam sel fagosit mononuklear yang
telah terinfeksi
d. Selanjutnya sel monosit yang mengandung kompleks imun akan menyebar ke
usus, hati, lumpa, dan sumsum tulang. Mekanisme ini disebut mekanisme
eferen. Parameter perbedaan terjadinya DBD dengan dan tanpa syok adalah
jumlah sel yang terkena infeksi
e. Sel monosit yang telah teraktivasi akan mengadakan interaksi dengan sistem
humoral dan sistem komplemen dengan akibat dilepaskannya mediator yang
mempengaruhi permeabilitas kapiler dan mengaktivasi sistem koagulasi.
Mekanisme ini disebut mekanisme efektor.
Limfosit T juga memegang peranan penting dalam patogenesis DBD.
Akibat rangsang monosit yang terinfeksi virus dengue, limfosit dapat
mengeluarkan interferon α dan γ. Pada infeksi sekunder oleh virus dengue,
Limfosit T CD4 berproliferasi dan menghasilkan interferon α. Interferon α
selanjutnya merangsang sel yang terinfeksi virus dengue dan mengakibatkan
monosit memproduksi mediator. Oleh limfosit T CD4 dan CD8 spesifik virus
dengue, monosit akan mengalami lisis dan mengeluarkan mediator yang akan
menyebabkan kebocoran plasma dan perdarahan (Soedarmo, 2012).
Semua flavivirus memiliki kelompok epitop pada selubung protein yang
menimbulkan “cross reaction” atau reaksi silang pada uji serologis, hal ini
menyebabkan diagnosis pasti dengan uji serologi sulit ditegakkan. Kesulitan ini
dapat terjadi diantara ke empat serotipe virus DEN. Infeksi oleh satu serotip virus
DEN menimbulkan imunitas protektif terhadap serotip virus tersebut, tetapi tidak
ada “cross protectif” terhadap serotip virus yang lain (Soegijanto, 2006).

22
3.1.6 Manifestasi Klinis
Fase klinis perjalanan penyakit infeksi virus dengue terdiri dari fase
demam, fase kritis / syok dan fase konvalesens.

Fase klinis perjalanan penyakit infeksi virus dengue (Djer,2014)


1. Demam Dengue
a. Masa tunas 3-5 hari (umumnya 5 – 8 hari)
b. Awal penyakit mendadak, disertai gejala prodromal seperti nyeri kepala,
nyeri anggota tubuh, anoreksia, menggigil, dan malaise.
c. Trias sindrom yaitu demam tinggi, nyeri anggota tubuh, dan ruam. Ruam
muncul 6-12 jam sebelum suhu naik pertama kali, yaitu pada hari sakit ke 3
– 5 berlangsung 3 – 4 hari. Ruam bersifat makulopapular yang menghilang
pada tekanan.
d. Gejala lain yaitu fotofobia, keringat yang bercucuran, suara serak, batuk,
epistaksism dan disuria. Kelenjar limfa membesar (Castelani’s sign)
(Soedarmo,2012).
2. Demam Berdarah Dengue
a. Empat manifestasi klinis yaitu demam tinggi, perdarahan terutama di kulit,
hepatomegali, dan kegagalan peredaran darah.

23
b. Membedakan DD dengan DBD adalah peningkatan permeabilitas dinding
pembuluh darah, menurunnya volume plasma, trombositopenia, dan
diatesis hemoragik.
c. Patokan diagnosis DBD berdasarkan gejala klinis dan laboratorium :
klinis
- Demam tinggi mendadak dan terus menerus selama 2 – 7 hari
- Manifestasi perdarahan, minimal uji tourniquet positif dan salah satu
bentuk perdarahan lain (petekia, purpura, ekimosis, epistaksis,
perdarahan gusi), hematemesis dan atau melena.
- Pembesaran hati
- Syok yang ditandai nadi lemah dan cepat disertai tekanan nadi menurun
(≤20 mmHg), tekanan darah menurun (tekanan sistolik ≥ 80 mmHg)
disertai kulit teraba dingin dan lembab terutama pada ujung hidung ,
jari dan kaki, pasien menjadi gelisah dan timbul sianosis di sekitar
mulut.
Laboratorium
a. Trombositopenia (trombosit < 100.000/ml)
b. Adanya kebocoran plasma karena peningkatan permeabilitas kapiler dengan
manifestasi sebagai berikut :
- Peningkatan hematokrit ≥ 20% dari nilai standa
- Penurunan hematokrit ≥ 20% setelah pemberian cairan
- Tanda-tanda kebocoran plasma, seperti : efusi pleura, asites, dan hipoproteinemia
(Soedarmo,2012)
3. Sindrom dengue syok
- Biasanya terjadi pada saat atau setelah demam menurun, yaitu diantara hari sakit
ke 3 – 7.
- Pasien seringkali mengeluh nyeri di daerah perut sesaat sebelum syok.
- Hasil laboratorium ditemukan trombositopenia dan hemokonsentrasi.
- Hasil laboratorium lainnya hipoproteinemia, hiponatremia, kadar transaminase
serum dan urea nitrogen darah meningkat. Beberapa kasus ditemukan asidosis
metabolik (Soedarmo,2012).

24
Manifestasi Klinis Infeksi Virus Dengue (Trihadi, 2012)

3.1.7 Diagnosis
Berdasarkan kriteria WHO 2011 untuk diagnosis Demam Berdarah
Dengue:
a. Kriteria Klinis
1. Demam
Demam mendadak terus menerus 2-7 hari tanpa sebab yang jelas.
Tipe demam bifasik (saddleback).
2. Manifestasi perdarahan, salah satu tergantung:
a) Uji torniquet (+)
b) Petechie, ekhimosis ataupun purpura
c) Perdarahan mukosa traktus gastrointestinal, epistaksis, perdarahan
gusi
d) Hematemesis dan melena
3. Hepatomegali
4. Nyeri kepala, mialgia, arthralgia, dan nyeri retroorbital

b. Kriteria Laboratorium
 Trombositopenia (trombosit < 100.000 /ul)

25
 Hemokonsentrasi ( Peningkatan Ht ≥20% atau penurunan Ht ≥20%
setelah mendapat terapi cairan).
 Efusi pleura / pericardial, asites, hipoproteinemia
Penegakan diagnosis Demam Berdarah Dengue berdasarkan atas demam
ditambah dengan ≥ 2 kriteria klinis ditambah salah satu atau lebih bukti
perembesan plasma dan trombositopenia (WHO,2011).
Pembagian derajat Demam Berdarah Dengue menurut WHO ialah :
a. Derajat I
Demam diikuti gejala tidak spesifik. Satu-satunya manifestasi perdarahan
adalah tes torniquet yang positif atau mudah memar.
b. Derajat II
Gejala yang ada pada tingkat I ditambah dengan perdarahan spontan.
Perdarahan bisa terjadi di kulit atau di tempat lain.
c. Derajat III
Kegagalan sirkulasi ditandai oleh denyut nadi yang cepat dan lemah,
tekanan nadi menurun (<20mmHg) atau hipotensi, suhu tubuh rendah,
kulit lembab dan penderita gelisah.
d. Derajat IV
Syok berat dengan nadi yang tidak teraba dan tekanan darah tidak dapat
diperiksa (WHO,2011)

26
Klasifikasi kasus dengue dan tingkat keparahannnya, (WHO,2009)

3.1.8 Pemeriksaan Penunjang


a. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menapis pasien
tersangka demam dengue adalah melalui pemeriksaan kadar
hemoglobin, kadar hematokrit, jumlah trombosit, dan hapusan darah
tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif disertai gambaran
limfosit plasma biru.
Parameter laboratorium yang dapat diperiksa :
- Leukosit
Dapat normal atau menurun. Mulai hari ke 3 dapat ditemui
limfositosis relatif ( > 45% dari leukosit) disertai adanya limfosit
plasma biru (LPB) > 15% jumlah total leukosit yang pada fase
syok akan meningkat.
- Trombosit umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3 – 8
akibat depresi sumsum tulang

27
- Hematokrit yaitu kebocoran plasma dibuktikan dengan
ditemukannya penigkatan hematokrit ≥ 20 % dari hematokrit awal.
Sering ditemukan mulai hari ke 3
- Imunoserologi dilakukan pemeriksaan IgM dan IgG terhadap
dengue :
IgM terdeteksi mulai hari ke 3 – 5, meningkat sampai minggu ke 3
dan menghilang setelah 60 – 90 hari
IgG : pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke 14,
pada infeksi sekunder IgG mulai terdeteksi hari ke 2 (Depkes
RI,2005)
b. Pencitraan
Pada pemeriksaan radiologi dan USG kasus DBD, terdapat
beberapa kelainan yang dapat dideteksi yaitu, efusi pleura, efusi
perikard, hepatomegali, cairan dalam rongga peritoneum (Kemenkes
RI,2005) .
c. Pemeriksaan Rumple leed test
Percobaan ini bermaksud menguji ketahanan kapiler darah
dengan cara mengenakan pembendungan kepada vena-vena, sehingga
darah menekan kepada dinding kapiler. Dinding kapiler yang oleh
suatu sebab kurang kuat akan rusak oleh pembendungan itu, darah dari
dalam kapiler itu keluar dari kapiler dan merembes ke dalam jaringan
sekitarnya sehingga nampak sebagai bercak merah kecil pada
permukaan kulit (petechiae).
Pemeriksaan dilakukan dengan memasang sfigmomanometer
pada lengan atas dan pompalah sampai tekanan berada ditengah-tengah
nilai sistolik dan diastolik. Pertahankan tekanan itu selama 10 menit,
setelah itu lepaskan ikatan dan tunggulah sampai tanda-tanda stasis
darah lenyap lagi. Stasis darah telah berhenti jika warna kulit pada
lengan yang dibendung tadi mendapat lagi warna kulit lengan yang
tidak dibendung. Lalu carilah petechiae yang timbul dalam lingkaran
berdiameter 5 cm kira-kira 4 cm distal dari vena cubiti. Test dikatakan

28
positif jika terdapat lebih dari dikatakan positif 10 petechiae dalam
lingkaran tadi.
d. Pemeriksaan lainnya :
Ada beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk
mengetahi infeksi virus dengue yaitu (WHO, 2011):
- Isolasi Virus
Karakteristik serotypic/genotypic
- Deteksi Asam Nukleat Virus
Dengan RT-PCR (Reverse Transcripterase Polymerase Chain
Reaction)
- Deteksi Antigen Virus
Deteksi antigen NS1.
- Pemeriksaan serologis yang meliputi : Haemagglutination-
inhibition (HI), Complement Fixation (CF), Neutralization Test
(NT), Ig M capture enzyme-linked immunosorbent assay (MAC-
ELISA), danpemeriksaan Ig G ELISA indirect
Viremia pada pasien dengan infeksi dengue sangatlah pendek, yaitu
muncul pada 2 – 3 hari sebelum onset demam dan bertahan hingga 4 – 7
hari saat sakit. Selama periode ini, asam nukleat virus dan antigen virus
dapat terdeteksi.
Respon antibodi dapat dilihat dari 2 jenis imunoglobulin. Antibodi
Ig M dapat terdeteksi pada 3 – 5 hari setelah onset, meningkat cepat
selama 2 minggu, dan menurun hingga tidak terdeteksi pada 2 – 3 bulan.
Antibodi Ig G terdeteksi rendah pada akhir minggu pertama, meningkat
kemudian, dan menetap hingga bertahun – tahun. Pada infeksi sekunder
virus dengue, titer antibodi meningkat cepat. Antibodi Ig G terdeteksi pada
level tinggi, pada saat fase inisial, dan menetap hingga beberapa bulan.
Antibodi Ig M biasanya lebih rendah pada infeksi dengue sekunder. Oleh
karena itu, perbandingan Ig M/ Ig G digunakan untuk membedakan antara
infeksi primer dan infeksi sekunder virus dengue. Disebut infeksi primer
jika perbandingan Ig M / Ig G lebih dari 1,2, dan disebut infeksi sekunder
jika perbandingan Ig M / Ig G kurang dari 1,2 (WHO, 2011).

29
3.1.9 Diagnosis Banding
Diagnosis banding Demam Dengue terdiri atas ( WHO, 2011) :
a. Infeksi virus golongan Arbovirus : Chikungunya
b. Penyakit virus lainnya
Misalnya : Measles, Rubella, dan berbagai virus lainnya, seperti :
Epstein barr virus, Enterovirus, Influenza, Hepatitis A, Hantavirus
c. Penyakit bakterial
Meningocuccaemia, Leptospirosis, Thypoid, Meliodosis, Rackettsial
disease, Scarlet Fever
d. Penyakit parasit : Malaria
Pada fase awal demam dari demam berdarah dengue, diagnosis
banding meliputi infeksi spektrum luas oleh virus, bakteri, dan
protozoa, sama halnya dengan diagnosis banding dari demam dengue.
Adanya trombositopenia disertai dengan hemokonsentrasi
membedakan demam berdarah dengue dengan penyakit yang lainnya.
Hasil yang normal dari ESR (Erythrocyte Sedimentation Rate) dapat
membedakan dengue dengan infeksi bakteri dan syok septik (WHO,
2011).

3.1.10 Penatalaksanaan
1) Tata laksana Rawat Jalan Demam Dengue
Pasien DD yang tidak memiliki komorbiditas dan indikasi sosial,
diperlakukan sebagai pasien rawat jalan. Pasien diberi pengobatan simtomatik
berupa antipiretik seperti parasetamol dengan dosis 10-15 mg/kgBB/dosis yang
dapat diulang setiap 4-6 jam bila demam. Hindarkan pemberian antipiretik berupa
asetil salisilat, antiinflamasi nonsteroid (non-steroid anti-inflammatory drugs,
NSAIDS) seperti ibuprofen. Upaya menurunkan demam dengan metode fisik
seperti kompres diperbolehkan, yang dianjurkan adalah dengan cara “kompres
hangat” (diseka dengan air hangat suam kuku/tepid spongei). Anak dianjurkan
cukup minum, boleh air putih atua teh, namun lebih baik jika diberikan cairan

30
yang mengandung elektrolit seperti jus buah, oralit atau air tajin. Tanda
kecukupan cairan adalah diurersis setiap 4-6 jam.
Pasien diharuskan untuk kembali berobat (kontrol) setiap hari hal ini
mengingat tanda dan gejala DBD pada fase awal sangat menyerupai DD, tanda
dan gejala yagn karakteristik baru timbul setelah beberapa hari kemudian. Oleh
karena itu pada pasien degnan diagnosis klinis DD yang ditegakkan pada saat
masuk, baik yang kemudian diperlakukan sebagai pasien rawat jalan maupun
rawat inap, masih memerlukan evaluasi lebih lanjut apakah hanya DD atua
merupakan DBD fase awal. Pasien DD, walaupun kecil mempunyai
kemungkianan untuk mengalami penyulit seperti dehidrasi akibat asuapan yang
kurang misal karena timbul muntah, perdarahan berat atau bahkan expanded
dengue syndrome. Dengan kontrol setiap hari dapat diketahui pasien hanya
menderita DD, DD dengan penyulit atau DBD. Tata laksana pasien di rumah
aharus disampaikan kepada orang tua dengan jelas, sebaiknya dalam bentuk
tertulis. Untuk mengantisipasi kemungkinan pasien menderita DD dengna
penyulit atua DBD yang mungkin timbul selama rawat jalan, orang tuan diminta
untuk memantau konsisi anak, bila ditemukan tanda baha (warning signs) haru
segera kemablai ke rumah sakit tanpa harus menunggu keesokan harinya.
2)
Tatalaksana yang tepat dan segera mengurangi morbiditas dan mortalitas
DBD, terapi yang berlebihan seperti kelebihan cairan (fluid overload) akan
memperberat keadaan sakit. Pengobatan DBD bersifat simtomatis dan suportif,
terapi suportif berupa penggantian cairan yang merupakan pokok utama dalam
tata laksanan DBD [ CITATION Had14 \l 1057 ].
Berbeda dengan DD, pada DBD terjadi kebocoran plasma yang apabila
cukup banyak maka akan menimbulkan syok hipoelemi (demam berdarah dengan
syok/sindrom syok dengue) dengan mortalitas yang tinggi. Dengan demikian
penggantian cairan ditujukan utnuk mencegah timbulnya syok. Masalahnya adalah
kapan terjadi perembesan plasma dan pemeriksaan sederhana apa yang dapat
dipakai sebagai indikator terjadinya perembesan plasma. Perembesan plasma
terutama terjadi saat suhu tubuh turun (time of fever defervescence). Pemeriksaan
nilai hemtokrit merupakan indikator yang sensitif untuk mendeteksi derajat
perembesan plasma, sehingga jumlah cairan yang diberikan harus disesuaikan

31
dengan hasil pemeriksaan hematokrit. Perlu diperhatikan bahwa kebocoran
plasma pada demam berdarah dengue bersifat sementara, sehingga pemberian
cairan jumlah banyak dan jangka waktu lama dapat menimbulakan kelebihan
cairan dengan segala akibatnya [ CITATION Had14 \l 1057 ].
Terapi simtomatis diberkan terutama untuk kenyamanan pasien, seperti
pemberian antipiretik dan istirahat.
a. Penggantian cairan
 Jenis cairan
Cairan kristaloid isotonik merupakan cairan pilihan untuk pasien DBD.
Tidak dianjurkan pemberian cairan hipotonik seperti NaCl 0,45 %,
kecuali bagi pasien usia <6 bulan. Dalam keadaan normal setelah satu
jam pemberian cairan hipotonis, hanya 1/12 volume yang bertahan dalam
ruang intravaskular sedangkan cairan isotonis ¼ volume yang bertahan,
sisanya terdistribusi ke ruang intraselular dan ekstraselular. Pada keadaan
permeabilitas yang menigkat volume cairan yang bertahan akan semakin
berkurang sehingga lebih mudah terjadi kelebihan cairan pada pemberina
cairan hipotonis. Cairan koloid hiperonkontik (osmolaritas >300
mOsm/L) seperti dextran 40 atau HES walaupun lebih lama bertahan
dalam ruagn intravaskular namun memiliki efek samping seperti alergi,
mengganggu fungsi koagulasi, dan berpotensi mengganngu fungsi ginjal.
Jenis cairan ini hanya diberikan pada 1) perembesan plasma masif yang
ditunjukkan dengan nilai hematokrit yang makin meningkat atau tetap
tingi sekalipun telah diberi cairan kristaloid yang adekuat, atau 2) pada
keadaan syok yang tidak berhasil dengan pemberian bolus cairan
kristaloid yang kedua. pada bayi <6 bulan diberikan cairan NaCl 0,45%
atas dasar pertimbangan fungsi fisiologis yang berbeda degnan anak yang
lebih besar [ CITATION Had14 \l 1057 ].
 Jumlah cairan
Volume cairan yang diberikan disesuaikan dengan berat badan,
kondisi klinis dan temuan laboratorium. Pasien dengan obesitas,
pemberian jumlah cairan harus hati-hati karena mudah terjadi kelebihan
cairan, penghitungan cairan sebaiknya berdasarkan berat badan ideal.
Pada DBD terjadi hemokonsentrasi akibat kebocoran plasma >20%, oleh
karena itu jumlah cairan yang diberikan diperkirakan sebesar kebutuhan

32
rumatan (maintenance) ditambah dengan perkiraan defisit cairan 5%.
Contoh untuk anak dengan berat badan ideal 20 kg, maka kebutuhan
cairan adalah 2500 mL/24 jam degan kecepatan 5 mL/kgBB/jam. Apabial
hematokrit meningkat jumlah cairan harus dinaikkan dan bial menurun
jumlah cairan dikurangi.
Banyak ditemukan di klinis adalah pasien yang belum menunjukkan
peningkatan hemotokrit yang berarti (pada keadaan ini diagnosis yang
ditegakkan masih DD). Namun dikhawatirkan merupakan fase awal sakit
DBD, maka volume cairan yagn diberikan cukup rumatan atau sesuai
kebutuhan. Volume cairan ditingkatkan apabial nilai hemotkrit naik dna
kemudian diturunkan bertahap seiring dengan penurunan nilai
hematokrit.
Pemberian cairan dihentikan bila keadaan umum stabil dan telah
melewati fase kritis, pada umumnya pemberian cairan dihentikan setelah
24-48 jam keadaan umum anak stabil.

b. Antipiretik
Parasetamol 10-15 mg/kgBB/kali diberikan apabila suhu >38o C dengan
interval 4-6 jam, hindari pemberian aspirin/NSAID/ibuprofen. Berikan
kompres hangat.
c. Nutrisi
Apabila pasien masih bisa minum, dianjurkan minum yang cukup, terutama
minum cairan yang mengandung elektrolit.
Pengobatan DBD bersifat suportif simptomatik dengan tujuan
memperbaiki sirkulasi dan mencegah timbulnya renjatan dan timbulnya koagulasi
Intravaskuler Diseminata (KID).
Perbedaan patofisiologik utama antara Demam Dengue/Demam Berdarah
Dengue/Demam Syok sindrom dan penyakit lain, ialah adanya peningkatan
permeabilitas kapiler yang menyebabkan perembesan plasma, dan gangguan
hemostasis. Penatalaksanaan fase demam pada Demam Berdarah Dengue dan
Demam Dengue tidak jauh berbeda, bersifat simptomatik dan suportif yaitu
pemberian cairan oral untuk mencegah dehidrasi. Berikan nasihat kepada orang
tua agar anak diberikan minum banyak seperti air teh, susu, sirup, oralit, jus buah,
dan lain – lain. Selain itu diberikan pula obat antipiretik golongan parasetamol.
Penggunaan antipiretik golongan salisilat tidak dianjurkan pada penanganan

33
demam. Parasetamol direkomendasikan untuk mempertahankan suhu di bawah 39
0
C dengan dosis 10 – 15 mg/KgBB/kali.
Rasa haus dan keadaan dehidrasi dapat timbul sebagai akibat demam
tinggi, anoreksia, dan muntah. Pasien perlu diberikan minum 50 ml/KgBB dalam
4 – 6 jam pertama. Setelah keadaan dehidrasi dapat teratasi, anak dapat diberikan
cairan rumatan 80 – 100 ml/KgBB/hari dalam 24 jam berikutnya. Bayi yang
masih minum ASI, tetap diberikan disamping larutan oralit. Bila terjadi kejang
demam, disamping diberikan antipiretik, diberikan pula antikonvulsif selama
masih demam.
Masa kritis ialah pada atau setelah hari sakit yang ke 3 – 5 yang
memperlihatkan penurunan tajam hitung trombosit dan peningkatan tajam
hematokrit yang menunjukkan adanya kehilangan cairan, Observasi tanda vital,
kadar hematokrit, trombosit dan jumlah urin 6 jam sekali (minimal 12 jam sekali)
perlu dilakukan. Kunci keberhasilan pengobatan DBD ialah ketepatan volume
replacement atau penggantian volume, sehingga dapat mencegah syok.
Cairan intravena diperlukan apabila :
1. Anak terus muntah, tidak mau minum, demam tinggi sehingga tidak mungkin
diberikan minum per oral
2. Nilai hematokrit cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala
Pada pasien DBD derajat II apabila dijumpai demam tinggi, terus menerus
selama < 7 hari tanpa sebab yang jelas, disertai tanda perdarahan spontan, disertai
penurunan jumlah trombosit, dan peningkatan kadar hematokrit. Pada saat pasien
dating, berikan cairan kristaloid 7 ml/KgBB/jam. Monitor tanda vital dan kadar
hematokrit serta trombosit tiap 6 ja,. Selanjutnya evaluasi 12 – 24 jam. Apabila
selama observasi keadaan umum membaik, yaitu anak tampak tenang, tekanan
nadi kuat, tekanan darah stabil, dan kadar PCV cenderung turun minimal dalam 2
kali pemeriksaan berturut – turut, maka tetesan dikurangi menjadi 5
ml/KgBB/jam. Apabila dalam observasi selanjutnya tanda vital tetap stabil,
tetesan dikurangi menjadi 3 ml/KgBB/jam dan akhirnya cairan dihentikan dalam
24 – 48 jam. Apabila keadaan klinis pasien tidak ada perbaikan, yaitu : anak
tampak gelisah, nafas cepat, frekuensi nadi meningkat, deuresis kurang, tekanan
nadi < 20 mmHg memburuk, serta peningkatan PCV, maka tetesan dinaikkan

34
menjadi 10 ml/KgBB/jam. Apabila belum terjadi perbaikan setelah 12 jam, maka
tetesan di naikkan menjadi 10 ml/KgBB/jam. Apabila belum terjadi perbaikan
klinis setelah 12 jam, cairan dinaikkan menjadi 15 ml/KgBB/jam. Kemudian
dievaluasi 12 jam lagi. Apabila tampak distress pernafasan menjadi lebih berat
dan ht naik maka berikan koloid 10 – 20 ml/KgBB/jam, dengan jumlah maksimal
30 ml/KgBB. Namun bila Ht atau Hb turun, berikan tranfusi darah segar 10
ml/KgBB/jam.
Bila terdapat asidosis, ¼ dari cairan total dikeluarkan dan diganti dengan
larutan berisi 0,167 mol/liter Natrium bikarbonat (3/4 bagian berisi larutan NaCl
0,9 % + glukosa ditambah ¼ Natrium bikarbonat). Volume dan komposisi cairan
yang diperlukan sesuai seperti cairan untuk dehidrasi pada diare ringan sampai
sedang, yaitu cairan rumatan ditambah deficit 6 % (5 – 8 %) seperti tertera pada
tabel dibawah ini.
Tabel 1.2 Kebutuhan Cairan pada Dehidrasi Sedang ( Defisit Cairan 5 – 8 %)
Berat Waktu Masuk (Kg) Jumlah Cairan tiap hari
< 7 Kg 220 ml/KgBB/hari
7 – 11 Kg 165 ml/KgBB/hari
12 – 18 Kg 132 ml/KgBB/hari
> 18 Kg 88 ml/KgBB/hari

Sindroma syok dengue adalah DBD dengan gejala gelisah, nafas cepat,
nadi teraba kecil, lembut atau tak teraba, tekanan nadi menyempit, bibir biru,
tangan dan kaki dingin, dan tidak ada produksi urin. Langkah yang harus
dilakukan adalah segera berikan infus kristaloid 20 ml/KgBB secepatnya dalam
30 menit dan oksigen 2 liter/menit. Untuk DSS berat 20 ml/KgBB/jam diberikan
bersama koloid 10 – 20 ml/KgBB/jam. Observasi tensi dan nadi tiap 15 menit,
hematokrit dan trombosit tiap 4 – 6 jam, serta periksa pula elektrolit dan gula
darah.
Apabila dalam waktu 30 menit syok belum teratasi, tetesan kristaloid
belum dilanjutkan 20 ml/KgBB, ditambah plasma atau koloid sebanyak 10 – 20
ml/KgBB maksimal 30 ml/KgBB. Koloid ini diberikan pada jalur infus yang sama
dengan kristaloid, diberikan secepatnya. Observasi keadaan umum, tekanan darah,

35
keadaan nadi tiap 15 menit, dan periksa hematokrit tiap 4 – 6 jam. Lakukan pula
koreksi terhadap asidosis, elektrolit, dan gula darah.
Apabila syok teratasi disertai penurunan kadar Hb/Ht, tekanan nadi > 20
mmHg, nadi kuat, maka tetesan cairan dikurangi menjadi 10 ml/KgBB/jam dan
dipertahankan hingga 24 jam atau sampai klinis stabil dan Ht menurun < 40%.
Selanjutnya cairan diturunkan menjadi 7 ml/KgBB sampai keadaan klinis dan Ht
stabil, kemudian secara bertahap diturunkan menjadi 5 ml/Kg/BB/jam dan
seterusnya 3 ml/Kg/BB/jam. Dianjurkan pemberian cairan tidak melebihi 48 jam
setelah syok teratasi. Apabila syok belum teratasi, sedangkan Ht menurun tapi
masih > 40%, berikan darah dalam volume kecil 10 ml/KgBB. Apabila tampak
perdarahan massif, berikan darah segar 20 ml/KgBB dan lanjutkan cairan
kristaloid 10 ml/Kg/BB/jam. Pemasangan CVP pada syok berat kadang
diperlukan, sedangkan pemasangan sonde lambung tidak dianjurkan
Bila pada syok DBD tidak berhasil diatasi selama 30 menit dengan
resusitasi kristaloid maka cairan koloid harus diberikan sebanyak 10 – 20
ml/kgBB/jam. Cairan koloid tersebut antara lain :
1. Dekstan
2. Gelatin
3. Hydroxy Ethyl Starch (HES)
4. Fresh Frozen Plasma (FFP)
Pemasangan CVP pada DBD tidak dianjurkan karena prosedur CVP
bersifat traumatis untuk anak dengan trombositopenia, gangguan vaskular dan
homeostasis sehingga mudah terjadi perdarahan dan infeksi, disamping prosedur
pengerjaannya juga tidak mudah dan manfaatnya juga tidak banyak.
Pemberian suspensi trombosit umumnya diperlukan dengan pertimbangan bila
terjadi perdarahan secara klinis dan pada keadaan KID. Bila diperlukan suspensi
trombosit maka pemberiannya diikuti dengan pemberian fresh frozen plasma
(FFP) yang masih mengandung faktor-faktor pembekuan untuk mencegah
agregasi trombosit yang lebih hebat. Bila kadar hemoglobin rendah dapat pula
diberikan packed red cell (PRC).
Setelah fase krisis terlampau, cairan ekstravaskular akan masuk kembali
dalam intravaskular sehingga perlu dihentikan pemberian cairan intravena untuk

36
mencegah terjadinya edem paru. Pada fase penyembuhan (setelah hari ketujuh)
bila terdapat penurunan kadar hemoglobin, bukan berarti perdarahan tetapi terjadi
hemodilusi sehingga kadar hemoglobin akan kembali ke awal seperti saat anak
masih sehat. Pada anak yang awalnya menderita anemia akan tampak kadar
hemoglobin rendah, hati-hati tidak perlu diberikan transfus
Penatalaksanaan DBD disesuaikan dengan derajat terlampir sebagai
berikut:

37
Tatalaksana infeksi virus Dengue pada kasus tersangka DBD

38
Tatalaksana tersangka DBD (rawat inap) atau demam Dengue

39
Tatalaksana kasus DBD derajat I dan II.

40
Tatalaksana Kasus DBD derajat III dan IV atau DSS

41
Dalam tata laksana sindrom syok dengue, perlu difikirkan keadaan yang
seringkali terjadi bersamaan dengan syok. Keadaan yang perlu dan penting
diperhatikan dirumuskan dalam singkatan A-B-C-S (WHO SEARO,2011) yang
berarti A= acidosis, B=bleeding, C= calcium, dan S= sugar. Artinya, apabila kita
menghadapi pasien infeksi dengue yang disertai syok maka A-B-C-S harus segera
diatasi dengan segera untuk memperbaiki prognosis (Djer.,et al, 2014).

(Djer.,et al, 2014).

Asidosis
Hampir semua pasien demam berdarah dengue (DBD) mengalami asidosis dari
derajat ringan sampai berat seiring dengan derajat penyakit. Oleh karena itu, pada
sindrom syok dengue selalu disertai asidosis metabolik. Pada SSD kompensata,
asidosis dapat diatasi dengan pemberian larutan ringer laktat atau ringer asetat
dengan kecepatan 10 ml/kgBB/jam. Namun pada syok yang berkepanjangan
diperlukan pemberian larutan bikarbonat (Djer.,et al, 2014).

Perdarahan
Perdarahan yang berbahaya dan dapat mengancam jiwa pada DBD pada
umumnya terjadi setelah syok berkepanjangan. Dengan pemberian cairan dan
oksigen yang adekuat, syok hipovolemik pada SSD akan dapat diatasi sekitar 30
sampai 45 menit. Hipoksia yang terjadi akan merangsang terjadinya KID pasca
syok berkepanjangan. Perdarahan yang terjadi seringkali tidak tampak secara
klinis (occult bleeding), maka perlu dicurigai apabila pada syok yang telah

42
dilakukan resusitasi cairan secara adekuat (pemberian larutan kristaloid dan atau
koloid) namun tidak berhasil (Djer.,et al, 2014).

Kalsium
Kalsium memegang peran dalam pengaturan endothel-junction. Maka pada
peningkatan permeabilitas kapiler, perlu pemantauan kadar kalsium serum. Di
samping itu, kalsium diperlukan guna memperkuat miokard. Dosis Ca-glukonat
yang dianjurkan 1mg/kgBB dilarutkan dua kali, diberikan secara intravena
perlahan lahan, maksimal 10 ml (dapat diulang setiap 6 jam) (Djer.,et al, 2014).

Gula darah
Kadar gula darah perlu dipantau pada DBD sejak awal. Nafsu makan yang sangat
menurun disertai muntah berulang menyebabkan terjadinya hipoglikemia,
terutama pada DBD berat. Koreksi hipoglikemia akan memperbaiki prognosis
DBD. Di lain pihak, kelainan fungsi hati dilaporkan merupakan penyebab
hipoglikemia pada DBD, namun pada beberapa kasus dapat terjadi hiperglikemia
(Djer.,et al, 2014).

Kriteria memulangkan pasien antara lain (Soedarmo, 2012) :


1. Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik
2. Nafsu makan membaik
3. Tampak perbaikan secara klinis
4. Hematokrit stabil
5. Tiga hari setelah syok teratasi
6. Jumlah trombosit diatas 50.000/ml dan cenderung meningkat
7. Tidak dijumpai adanya distress pernafasan (akibat efusi pleura atau asidosis)

Pencegahan yang dilakukan adalah dengan cara Pengendalian vector virus


dengue. Pengendalian vektor bertujuan (Purnomo, 2010) :
1. Mengurangi populasi vektor serendah – rendahnya sehingga tidak berarti
lagi sebagai penular penyakit.
2. Menghindarkan terjadi kontak antara vektor dan manusia.

43
Cara efektif untuk pengendalian vektor adalah dengan penatalaksanaan
lingkungan yang termasuk perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan
pemantauan aktivitas untuk modifikasi faktor-faktor lingkungan dengan suatu
pandangan untuk mencegah perkembangan vektor dan kontak manusia-vektor-
patogen. Pengendalian vektor dapat berupa (Purnomo, 2010):
1. Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN)
a. Melakukan metode 4 M (menguras, Menutup dan Menyingkirkan, dan
monitor tempat perindukan nyamuk) minimal 1 x seminggu bagi tiap
keluarga,
b. 100% tempat penampungan air sukar dikuras diberi abate tiap 3 bulan
c. ABJ (angka bebas jentik) diharapkan mencapai 95%
2. Foging Focus dan Foging Masal
a. Foging fokus dilakukan 2 siklus dengan radius 200 m dengan selang
waktu 1 minggu
b. Foging masal dilakukan 2 siklus diseluruh wilayah suspek KLB
dalam jangka waktu 1 bulan
c. Obat yang dipakai : Malation 96EC atau Fendona 30EC dengan
menggunakan Swing Fog
3. Penyelidikan Epidemiologi
a. Dilakukan petugas puskesmas yang terlatih dalam waktu 3x24 jam
setelah menerima laporan kasus
b. Hasil dicatat sebagai dasar tindak lanjut penanggulangan kasus
4. Penyuluhan perorangan/kelompok untuk meningkatkan kesadaran
masyarakat.
5. Kemitraan untuk sosialisasi penanggulangan DBD.
Kewajiban pelaporan kasus dalam tempo 24 jam ke Dinas Kesehatan
tingkat II/Puskesmas tempat tinggal pasien merupakan keharusan yang sesuai
dengan Peraturan Menteri Kesehatan 560 tahun 1989 dengan tujuan kemungkinan
terjadinya penularan lebih lanjut, penyakit DBD dapat dicegah dan ditanggulangi
sedini mungkin. Dengan adanya laporan kasus pada Puskesmas/ Dinas Kesehatan
tingkat II yang bersangkutan, dapat dengan segera melakukan penyelidika

44
epidemiologi di sekitar tempat tinggal kasus untuk melihat kemungkinan resiko
penularan (Soedarmo, 2012).
Apabila dari hasil penyelidikan epidemiologi diperoleh data adanya resiko
penularan DBD, maka pihak terkait akan melakukan langkah – langkah upaya
penanggulangan berupa : foging fokus dan abatisasi selektif. Tujuan abatisasi
adalah membunuh larva dengan butir – butir abate sand granule (SG) 1 % pada
tempat penyimpanan air dengan dosis ppm (part per milion) yaitu : 10 gram meter
100 liter air. Selain itu dapat dilakukan dengan menggalakkan masyarakat untuk
melakukan kerja bakti dalan pemberantasan sarang nyamuk (Soedarmo, 2012).

3.1.11 Prognosis
v Bila tidak disertai renjatan dalam 24 – 36 jam, biasanya prognosis akan
menjadi baik. Kalau lebih dari 36 jam belum ada tanda perbaikan, kemungkinan
sembuh kecil dan prognosisnya menjadi buruk. Penyebab kematian Demam
Berdarah Dengue cukup tinggi yaitu 41,5 %. Secara keseluruhan tidak terdapat
perbedaan antara jenis kelamin penderita demam berdarah dengue, tetapi
kematian lebih banyak ditemukan pada anak perempuan daripada laki – laki.
Penyebab kematian tersebut antara lain (Soegijanto, 2006) :
1. Keterlambatan diagnosis
2. Keterlambatan diagnosis shock
3. Keterlambatan penanganan shock
4. Shock yang tidak teratasi
5. Kelebihan cairan
6. Kebocoran yang hebat
7. Pendarahan masif
8. Kegagalan banyak organ
9. Ensefalopati
10. Sepsis
11. Kegawatan karena tindakan

45
BAB 4
PEMBAHASAN

4.1 Anamnesis
Pasien datang ke IGD RSUD Abdul Wahab Sjahranie pukul 8.21 pagi
dengan keluhan nyeri kepala sejak jam 3.00 malam sebelum masuk rumah sakit.
Sebelumnya pasien jatuh dan tidak sadar di kamar mandi lalu ditolong oleh ibu
pasien dan kemudian terjatuh lagi. Orang tua pasien merasa anaknya lemas dan
tidak merespon saat dipanggil. Setelah terjatuh pasien mengalami penurunan
kesadaran kemudian sadar kembali. Pasien sempat muntah dua kali setelah
pingsan yang pertama dan dua muntah setelah pingsan yang kedua. Pasien
memuntahkan air, mual (-).
Sebelum jatuh mengalami demam yang dialami sejak hari Rabu (+/- 4
hari) SMRS yang timbul secara tiba-tiba. Demam dirasakan sepanjang hari namun
paling terasa tinggi saat malam hari. Pasien juga mengeluhkan nyeri sendi di
seluruh tubuh terutama bahu dan lutut, nyeri otot dan nyeri perut yang dialami
sejak satu hari sebelum masuk rumah sakit. Keluhan perdarahan spontan seperti
mimisan, gusi berdarah, muntah darah, BAB darah dan BAB hitam disangkal.
Orang tua pasien mengatakan setelah muncul demam pasien terlihat lemas dan
nafsu makan menurun. Sebelumnya ada tetangga pasien yang berjarak 4 rumah
dari rumah pasien mengalami demam berdarah.
Teori Kasus
- Demam mendadak terus menerus 2-7 hari tanpa - Demam dirasakan 3 hari SMRS
sebab yang jelas. Tipe demam bifasik - Epistaksis (-)
- Perdarahan gusi (-)
- Manifestasi perdarahan baik spontan maupun
- BAB darah/hitam (-)
berupa uji tourniquet positif. - Nyeri kepala (+)
- Nyeri sendi bahu dan lutut (+)
- Nyeri kepala, mialgia, artralgia, dan nyeri
- Nyeri perut (+)
retroorbital - Mual dan muntah (+)
- Riwayat tetangga yang terkena penyakit
- Dijumpai kasus dbd baik di lingkungan sekolah,

rumah, atau sekitar rumah DBD (+)

46
4.2 Pemeriksaan Fisik
Teori Kasus
 Suhu biasanya tinggi (>390C), kadang suhu  Suhu tubuh 36,7oC per axila
mugkin setinggi 40-410C.  Nadi 84 x/menit
 Perdarahan kulit seperti uji tourniquet (rumple  Perdarahan spontan berupa
leede) positif, petekie, purpura, ekimosis, dan petekie
perdarahan konjungtiva.  Akral hangat
 Perdarahan lain epistaksis, perdarahan gusi,  CRT <2 detik
melena, dan hematemesis.  Uji rumple leed (+)
 Hepatomegali
 DBD grade II ditandai dengan demam disertai
gejala tidak khas dengan perdarahan spontan
di kulit dan atau perdarahan lain

4.3 Pemeriksaan Penunjang


Teori Kasus
Laboratorium Pemeriksaan Penunjang
 Leukosit normal, leukopenia atau Pemeriksaan Darah (14/01/2018)
leukositosis Leukosit : 4.910 /µl (normal)
 Trombositopenia Hb : 16,2 g/dl (normal)
 Peningkatan hematokrit 20% atau lebih
Hematokrit : 48,0 % (meningkat)
dibandingkan nilai hematokrit pada masa
Trombosit : 72.000/µl
sebelum sakit atau masa konvalesen
(trombositopenia)

Pemeriksaan Darah 15/01/2018


Leukosit 3.920 /µl (leukopenia)
Hemoglobin : 15,6 g/dl (normal)
Hematokrit : 44,3 % (normal)
Trombosit : 36.000/µl
(trombositopenia)

47
Pemeriksaan darah 16/01/2018
Leukosit : 5.100 /µl (normal)
Hemoglobin: 13,5 g/dl (normal)
Hematrokit: 40,5 % (normal)
Trombosit:42.000 /µl (trombositopenia)

4.4 Diagnosis
Teori Kasus
1. Demam  Demam 3 hari
Demam mendadak terus menerus 2-7 hari  Manifestasi perdarahan uji

tanpa sebab yang jelas. Tipe demam bifasik torniquie/rumple leed (+) dan

(saddleback). petekie (+)


 Mialgia
2. Manifestasi perdarahan, salah satu  Trombositopenia
tergantung:  Hemokonsentrasi
a) Uji torniquet (+)
b) Petechie, ekhimosis ataupun purpura
c) Perdarahan mukosa traktus
gastrointestinal, epistaksis, perdarahan
gusi
d) Hematemesis dan melena
3. Hepatomegali
4. Nyeri kepala, mialgia, arthralgia, dan
nyeri retroorbital
5. Kriteria Laboratorium
 Trombositopenia (trombosit < 100.000
/ul)
 Hemokonsentrasi ( Peningkatan Ht
≥20% atau penurunan Ht ≥20% setelah
mendapat terapi cairan).

48
 Efusi pleura / pericardial, asites,
hipoproteinemia

Penegakan diagnosis Demam Berdarah


Dengue berdasarkan atas demam ditambah
dengan ≥ 2 kriteria klinis ditambah salah
satu atau lebih bukti perembesan plasma
dan trombositopenia

4.5 Penatalaksanaan
Teori Kasus
 Untuk cairan diberikan cairan  IVFD RL 1.700 cc/24 jam
 Paracetamol 3 x 500 mg
maintenace seseuai dengan berat badan
 Utuk demam bisa diberikan dengan
obat penurun panas seperti paracetamol
disesuaikan dengan berat badan

49
BAB 4
KESIMPULAN

Telah dilakukan pemeriksaan pada pasien anak laki-laki usia 9 tahun yang
didiagnosis dengan Dengue Hemoragic Fever Grade II berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang didapatkan penegakkan diagnosis dan
penatalaksanaan yang telah sesuai dengan literatur yang mendukung pada kasus
tersebut.

50
DAFTAR PUSTAKA

1. DEPKES RI. 2005. Pedoman Tatalaksana Klinis Infeksi Dengue di Sarana


Pelayanan Kesehatan. Indonesia.
2. Djer, M; Sekartini,R; 2014. Current Evidence in Pediatric Practices. FK UI
Departemen IKA.
3. Kemenkes RI. 2015. Profil Kesehatan Indonesia.
4. WHO. 2009 DENGUE Guidelines for Diagnosis, Treatment, Prevention and
Control.
5. WHO. 2011. Handbook for Clincal Management of Dengue. Halaman 2-6.
6. Soedarmo, S; Garna, H; Hadinegoro, S; Satari, H. 2012. Buku Ajar Infeksi dan
Pediatri Tropis edisi kedua. FK UI. IDAI. Indonesia
7. Soegijanto, S. 2006. Demam Berdarah Dengue edisi 2. Unair Press. Indonesia.

51

Anda mungkin juga menyukai