Anda di halaman 1dari 6

Hubungan HAM dengan Demokrasi

Oleh Yessy Nidawati

(mahasiswa PKnH Universitas Negeri Yogyakarta)

Dalam konteks rakyat yang berkedaulatan, tiap warganegara mempunyai hak dan
kebebasan politik di samping kebebasan ekonomi maupun cultural yang menjadi hak asasi
manusia mereka. Hak itu datang dari preskripsi bangsa Indonesia mengenai masyarakat negara
dan warga individu yang dicita - citakan sebagaimana dirumuskan dalam Pembukaan UUD
1945, yaitu bahwa manusia itu bermartabat. Setiap manusia, apa pun latar belakangnya, siapa
pun dia, mempunyai martabat yang sama sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Hak politik
itu bisa dibedakan menjadi dua, yaitu : (Ramlan Surbakti, 1999: 1-2)

1. Hak Memilih
Hak politik yang pertama adalah hak memilih dan mengganti para pejabat puncak dalam
pemerintahan. Itu yang kemudian kita kenal badan perwakilan rakyat, kepala eksekutif
dan sebagainya. Dari hak politik itu lahirlah apa yang kita kenal dengan pemilu. Sehingga
pemilu itu tidak ada kalau tidak ada hak politik yang namanya hak warganegara untuk
memilih pejabat-pejabat puncak dalam pemerintahan . Jadi kedaulatan itu diungkapkan
melalui pemilu. Tetapi ini juga menjadi perdebatan. Apakah dengan mencoblos dalam
pemilu itu warganegara kemudian tidak berdaulat lagi karena dia sudah mendelegasikan
ke wakil-wakil rakyat atau kalau di Indonesia kepada partai politik? Apakah dengan
sudah mencoblos itu mereka tidak berdaulat lagi, karena kedaulatan sudah diserahkan?
Kalau kita perhatikan adanya larangan bagi warga masyarakat, kelompok -kelompok
masyarakat, untuk menyatakan pendapat, mengajukan kritik dengan alasan sudah ada
wakil rakyat yang mengurus, sama dengan mengatakan kalau sudah mencoblos maka
warganegara tidak berdaulat lagi. Karena itu, pemilu sebenarnya hanya mengesahkan
seba - gian kedaulatan itu kepada wakil-wakil rakyat itu tadi.
2. Hak Mempengaruhi
Hak politik yang kedua adalah hak untuk mempengaruhi visi kebijakan publik, apakah
peraturan perundang-undangan, peraturan pemerintah, peraturan daerah dan sebagainya.
Sebab kalau tidak ada hak politik yang kedua ini, sebagaimana diperkirakan Rousseau,
maka setelah memilih warganegara berubah menjadi budak. Atau istilah kita di sini
warganegara menjadi kawula (client). Karena itu, memilih dalam pemilu hanya me-
nyerahkan sebagian kedaulatan. Tapi dalam kenyataan, sebagian kenyatan menunjukkan
bahwa memilih dalam pemilu itu sama dengan menyerahkan seluruh kedaulatan. Karena
itu, ada joke "berbahagialah Golput, karena orang yang Golput, orang yang tidak
memilih, berarti masih berkedaulatan". Kedua hak politik itu melahirkan tak hanya
pemilihan umum, tapi juga badan-badan perwakilan rakyat, dan badan-badan perwakilan
melahirkan kepala-kepala eksekutif. Dari situ kemudian lembaga-lembaga tinggi negara.
Jadi tidak ada kepresidenan, tak ada DPR, tak ada MPR, kalau tidak ada hak politik.
Tetapi dua hak politik ini tidak akan punya arti apa-apa kalau tidak disertai kebebasan
politik. Jadi kebebasan politik itu adalah alat/sarana untuk dapat melaksanakan kedua hak
politik tersebut. Tidak ada gunanya hak tanpa kebebasan. Kebebasan saja tanpa hak
menjadi tidak terarah. Kebebasan demi kebebasan. Kebebasan adalah sarana/alat untuk
melaksanakan dua kebebasan politik tersebut. Kebebasan-kebebasan politik mela-hirkan
partai politik, kelompok kepentingan, media massa, dan lain sebagainya.
Hak dan kebebasan politik melahirkan ciri kedua atau dimensi kedua dari
demokrasi, yaitu pluralisme politik. Karena itu ada yang mengatakan kalau tidak
dijamin pluralisme, tidak ada demokrasi. Ada empat bentuk pluralisme politik: pluralisme
pandangan dan ke -pentingan, pluralisme sistem kepartaian, pluralisme pemerintahan
(nasional dan lokal), dan pluralisme kewenangan tugas dan wewenang negara (legislatif,
eksekutif dan yudikatif). (Ramlan Surbakti, 1999: 3)
Demokrasi terkait erat dengan rule of law (negara hukum). Di dalam UUD 1945,
bukan negara kekuasaan, tapi negara hukum. Rule of law itu artinya setiap penggunaan
kekuasaan kewenangan itu berdasarkan atau mengikuti rambu-rambu yang ditetapkan
oleh hukum. Ada lima unsur rule of law. Pertama, UU itu dibuat secara operasional, tidak
dalam bentuk prinsip-prinsip umum. UU dirumuskan secara operasional dibuat dan atau
disetujui oleh DPR. Kedua, adanya due process of law, presumption of innocent dan
sebagainya. Ketiga, peradilan tata usaha negara untuk minta pertanggungjawaban
penggunaan kewenangan. Keempat, soal judicial review yang bisa berbeda satu negara
dari negara lain mengenai apakah Mahkamah Agung punya kewenangan atau bisa
mereview UU atau di bawahnya itu. Kelima, soal keadilan sosial. (Ramlan Surbakti,
1999: 3-4)

Adanya hak kebebasan politik yang diberikan kepada rakyat merukapakan salah
satu perwujudan penjaminan Hak Asasi Manusia, dimana HAM memainkan peran kunci
sebagai prasayat perwujudan demokrasi dan nilai-nilai keadilan. Keadilan sosial itu
penting, tidak hanya sebagai tujuan, preskripsi bangsa ini, tetapi juga sebagai hak dan
kebebasan politik bahwa setiap warga punya kesempatan yang sama, punya kesetaraan
dalam hak dan kebebasan politik. Tetapi dalam praktik, belum setiap warga dapat mampu
menggunakan hak dan kebebasan politik tersebut. Karena itu, dalam praktik hanya
mereka yang memiliki sarana sosial, ekonomi, kultural yang mampu meng-gunakan hak
dan kebebasan politik. Ini berarti, keadilan sosial terutama pada dimensi persamaan
sebagai manusia bermartabat. Ini perlu juga supaya setiap warganegara dapat mampu
menggunakan hak dan kebebasan politik itu sebagai perwujudan dari salah satu bentuk
Hak Asasi Manusia yang mereka miliki.

Demokrasi dan HAM adalah dua hal yang berbeda tetapi tidak dapat dipisahkan.
Didalam Negara yang menganut asas Demokrasi kedudukan rakyat sangat penting, sebab
didalam negara tersebut rakyatlah yang memegang kedaulatan kepentingan dan hak asasi
rakyat diakui dan dilindungi oleh negara, yaitu dengan kata lain negara melindungi Hak
asasi manusia yang diatur dalam konstitusinya, atau kedaulatan adalah kekuasaan yang
penuh dan langgeng ada pada masyarakat. Di dalam negara Demokrasi suatu negara
dianggap milik masyarakat karena secara formal negara itu didirikan dengan perjanjian
masyarakat (Moh. Mahfud MD, 1993:17).

Sistem demokrasi untuk kehidupan bermasyarakat dan bernegara ini pada


hakekatnya berasal dari filosofis bahwa manusia adalah mahluk yang bebas karena
manusia mempunyai hak dan kemampuan untuk mengatur dan menentukan hidupnya
sendiri. Dengan demikian hubungnnya dengan bernegara, demokrasi mempunyai arti
penting bagi masyarakat untuk menentukan adanya jaminan terhadap penyelenggaraan
negara, serta jaminan dan perlindungan terhadap HAM.
Hubungan demokrasi dan HAM sudah dinyatakan dalam banyak kesepakatan
seperti Declaration of Human Rights, International Covenant on Civil and Political
Rights, International Covenant on Social, Economic and Cultural Rights, Solidarity
Rights, dan berbagai macam konvensi tentang hak asasi manusia. HAM pada dasarnya
bersifat universal, namun penerapannya mengalami proses kontekstualisasi. Jangankan
HAM, agama yang bersifat universal itu, ketika diterapkan pada suatu ruang dan waktu,
dia mengalami proses pribumisasi atau sesuai dengan konteksnya. Selain itu, sejumlah
HAM tidak bisa dipisah-pisahkan. Harus dilakukan serentak, walaupun ada yang
berpandangan bahwa dalam praktik, itu harus ada yang diprioritaskan. Ini bisa
diperdebatkan. Demokrasi itu bisa terwujud kalau ada hak asasi manusia, terutama
International Covenant on Civil and Political Rights. Dan, karena hak dan kebebasan
politik itu baru pada tahap potensial, karena dalam praktik belum tentu semua bisa
menggunakan itu, maka International Covenant on Social, Economic, and Cultural
Rights juga menjadi penting untuk mewujudkan demokrasi. Dua jenis HAM itu
merupakan pra - syarat untuk wujudnya demokrasi. Tetapi supaya HAM ini semuanya
bisa ditegakkan seterusnya, maka pluralisme politik dan rule of law itu menjadi
instrumen yang sangat strategis untuk menegakkan hak asasi manusia. Misalnya,
pluralisme kekuasaan. Hak asasi manusia bisa dijamin apabila terdapat check and
balance antara ketiga lembaga tinggi negara. (Ramlan Surbakti, 1999: 4)

Implementasi dari Demokrasi dan HAM di Indonesia

Di Indonesia pasang surut perkembangan demokrasi dan HAM dapat ditelusuri


pengaturannya didalam konstitusinya pada perkembangan sejarah kehidupan
bermasyarakat dan bernegara sejak berdirinya republik ini yang dikuasai oleh beberapa
rezim. Mulai dari rezim orde lama, orde baru dan orde reformasi. Kuatnya pengaruh
perkembangan demokrasi dan HAM didunia Internasional mendapat respon positip dari
penyelenggara negara.

Sebelum UUD 1945 yang berlaku sekarang ini, di Indonesia juga pernah berlaku
Konstitusi RIS 1949 dan UUS 1950. Seperti kita ketahui UUD 1945 hanya memuat 5
pasal yang mengatur tentang HAM, yaitu pasal 27 sampai pasal 31, bila hal ini kita
bandingkan dengan kontitusi RIS 1949 dan UUDS 1950 ternyata kedua konstitusi yang
disebut terakhir lebih maju dalam pengaturan HAM, karena kedua konstitusi itu sudah
mengaturnya secara rinci dalam banyak pasal. Konstitusi RIS 1949 mengatur dalam 35
pasal, yaitu pasal 7 sampai dengan pasal 41, sedangkan UUDS 1950 mengatur dalam 37
pasal, yaitu pasal 7 sampai dengan pasal 43. Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950
mengatur masalah HAM dengan pasal-pasal yang terperinci, jelas dan tegas. Hal tersebut
tidak terdapat dalam UUD 1945 yang jauh lebih sedikit jumlah pasalnya, tidak terperinci
dan hanya mengatur beberapa persoalan saja.

Setelah amandemen kedua UUD 1945 dan keluarnya Ketetapan MPR RI No.
XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, perkembangan HAM di Indonesia semakin
pesat. Dalam upaya pengembangan HAM di Indonesia, kita selalu berpegang pada
prinsip sebagai berikut:(Harahap, Krisna, 2003)

1. Melakukan perubahan kedua atas UUD 1945, berkenaan dengan HAM, dengan
menambahkan Bab X A dengan judul Hak Asasi Manusia. Bab ini terdiri dari 10
pasal, yaitu pasal 28 A sampai pasal 28 J.
2. Menetapkan Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia,
yang antara lain memuat sebagai berikut:
 Menugaskan kepada lembaga-lembaga tinggi negara dan seluruh aparatur
pemerintah untuk menghormati, menegakkan dan meyebarluaskan
pemahaman tentang hak asasi manusia kepada seluruh warga masyarakat.
 Menugaskan kepada Presiden serta Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia untuk segera meratifikasi berbagai intrumen Internasional tentang
hak asasi manusia sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD
1945.
3. Mengundangkan Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
yang merupakan tonggak sejarah penting atas pengakuan dan perlindungan HAM.
Salah satu pertimbangan dari pembentukan undangundang ini adalah salah satu
kesadaran bahwa pelaksanaan, penghormatan, perlindungan dan penegakan HAM
selama ini sangat lemah.
4. Mengundangkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak
Asasi Manusia. Pengadilan HAM adalah Pengadilan khusus terhadap pelanggaran
HAM yang berat yang meliputi kejahatan terhadap genosida dan kejahatan terhadap
kemanusiaan kemanusian. Prinsip-prinsip yang tertuang dalam undang-undang ini
diantarang diadopsi dari The Convention And Punishment Of The Crime Of Genocide
(1948).

Salah satu sebab mengapa terdapat pelecehan hak asasi manusia di Indonesia
adalah karena sebenarnya kekuasaan itu terpusat bukannya pada satu institusi tapi
bahkan akhir-akhir ini pada satu orang. Kekuasaan itu kemudian tidak terkontrol.
Semua diserahkan, misalnya menjelang Sidang Umum MPR 1998 segala macam
potensi yang bisa mengacaukan sidang umum MPR akan ditindak dengan segala
risikonya. Itulah sumber pe-langgaran dan pelecehan HAM karena tidak ada yang
berani mengontrol . Karena sekali lagi, tidak ada pluralisme dalam tugas dan fungsi
kewenangan negara. Dan juga tidak ada pluralisme dalam kepartaian, sehingga PDI,
PPP, sama saja suaranya. HAM tidak bisa ditegakkan kalau rule of law itu tidak
ditegakkan, karena itu demokrasi, hak dan kebebasan politik itu bisa dijamin kalau
dua jenis HAM yakni hak memilih dan hak mempengaruhi ditegakkan, karena dari
segi ini HAM itu merupakan prasyarat bagi demokrasi. (Ramlan Surbakti, 1999:4)

DAFTAR PUSTAKA

A Ramlan Surbakti, “Demokrasi dan Hak -Hak Asasi Manusia,” Masyarakat


Kebudayaan dan Politik , Th XII, No 2, April 1999, halaman 1-6, Jurnal.

Harahap, Krisna, 2003. Hak asasi Manusia dan Penegakannya di Indonesia, Bandung:
Grafitti Budi Utami

Salim, Agus, 2004. Perkembangan Demokrasi dan HAM serta pengaruhnya terhadap
Indonesia, Justisia Vol. 12 No.1 Tahun 2004, Makalah.

Anda mungkin juga menyukai