Referat Sinusitis Paranasal
Referat Sinusitis Paranasal
Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
SINUSITIS PARANASAL
Disusun oleh :
Salwah Nur (1510029022)
Zuniva Andan P.B (1510029010)
Pembimbing
dr. Moriko Pratiningrum, Sp. THT-KL
1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
segala rahmat, hidayat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
Referat yang berjudul “Sinusitis Paranasal”.
Penulis menyadari bahwa keberhasilan penulisan referat ini tidak lepas
dari bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan
penghargaan dan ucapan terima kasih kepada :
1. dr. Moriko Pratiningrum, Sp. THT-KL, sebagai dosen pembimbing klinik
selama stase THT.
2. Seluruh pengajar yang telah mengajarkan ilmunya kepada penulis hingga
pendidikan saat ini.
3. Rekan sejawat dokter muda angkatan 2015 yang telah bersedia memberikan
saran dan mengajarkan ilmunya pada penulis.
4. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh penulis.
Akhir kata, ”Tiada gading yang tak retak”. Oleh karena itu, penulis
membuka diri untuk berbagai saran dan kritik yang membangun guna
memperbaiki laporan ini. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi semuanya.
Desember, 2016
Penulis
2
DAFTAR ISI
3
BAB 1
PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
Tujuan dibuatnya referat ini adalah agar dokter muda mengetahui definisi,
etiologi, klasifikasi, patogenesis, diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi sinusitis
paranasal. Dan diharapkan juga, dengan membuat laporan kasus ini dapat
menambah wawasan pengetahuan baik bagi penulis maupun teman-teman sejawat
lainnya.
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
5
Meatus nasalis inferior adalah sebuah lorong horizontal yang terletak
inferolateral terhadap konka nasalis inferior. Duktus nasolakrimalis bermuara
dibagian anterior meatus nasalis inferior (Moore, 2002).
Hiatus semilunaris adalah sebuah alur yang berbentuk setengah lingkaran
dan merupakan muara sinus frontalis. Bulla etmoidalis adalah sebuah tonjolan
yang membuat di sebelah superior hiatus semilunaris, dan baru terlihat setelah
konka nasalis media disingkirkan. Bulla etmoidalis ini dibentuk oleh cellulae
ethmoidales tengah yang membentuk sinus etmoidalis (Moore, 2002).
Dinding medial hidung adalah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang
dan tulang rawan. Bagian atas dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoidalis
dan bagian posterior dibentuk oleh os vomer. Bagian tulang rawan yaitu kartilago
septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela. Pada bagian tulang rawan septum
dilapisi perikondrium, bagian tulang dilapisi periosteum, sedangkan bagian luar
dilapisi mukosa hidung (Snell, 2006; Soetjipto, 2001).
Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung yang dibentuk oleh os
maksilaris dan os palatum (permukaan atas palatum durum). Dinding superior
atau atap hidung yang sempit dibentuk oleh lamina kribosa, yang memisahkan
rongga tengkorak dari rongga hidung. Lamina kribosa merupakan lempeng tulang
berasal dari os etmoidalis, tulang ini berlubang-lubang tempat masuknya serabut
saraf olfaktorius. Di bagian posterior, atap rongga hidung dibentuk os sfenoidalis
(Snell, 2006; Soetjipto, 2001).
Bagian atas rongga hidung mendapat perdarahan dari arteri etmoidalis
anterior dan posterior. Bagian bawah hidung diperdarahi oleh cabang arteri
maksilaris interna, yaitu ujung arteri palatina mayor, dan arteri sfenopalatina.
Bagian depan hidung mendapat perdarahan dari cabang-cabang arteri fasialis.
Bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri
sfenopalatina, arteri etmoidalis anterior, arteri labialis anterior, dan arteri palatina
mayor, yang disebut pleksus Kiesselbach (little’s area). Pleksus Kiesselbach
letaknya superfisial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi
sumber epistaksis. Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan
berdampingan dengan arterinya. Vena-vena ini membentuk suatu pleksus
kavernosus yang rapat di bawah membrana mukosa. Drainase vena terutama
6
melalui vena oftalmika, fasialis anterior, dan sfenopalatina (Soetjipto, 2001; Snell,
2006).
Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung, yaitu di meatus media, ada
muara-muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior.
Daerah ini rumit dan sempit, dan dinamakan kompleks osteomeatal (KOM). KOM
adalah bagian dari sinus etmoid anterior. Pada potongan koronal sinus paranasal,
gambaran KOM terlihat jelas yaitu suatu rongga antara konka media dan lamina
papirasea. Isi dari KOM terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat
dibelakang prosesus unsinatus, sel agger nasi, resesus frontalis, bula etmoid, dan
sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium sinus maksila (Hwang,
2009; Kennedy et al, 2003; Kamel, 2002).
Prosesus unsinatus berbentuk bumerang memanjang dari anterosuperior ke
posteroinferior sepanjang dinding lateral hidung, melekat di anterosuperior pada
pinggir tulang lakrimal dan di posteroinferior pada ujung superior konka inferior.
Prosesus unsinatus membentuk dinding medial dari infundibulum (Kennedy et al,
2003; Nizar, 2000; Stammberger et al, 1993).
Bula etmoid terletak di posterior prosesus unsinatus dan merupakan sel
udara etmoid yang terbesar dan terletak paling anterior. Bula etmoid dapat
membengkak sangat besar sehingga menekan infundibulum etmoid dan
menghambat drainase sinus maksila (Kennedy et al, 2003; Kamel, 2002;
Stammberger et al, 1993).
Infundibulum etmoid berbentuk seperti terowongan dengan dinding
anteromedial dibatasi oleh prosesus unsinatus, dinding posterosuperior dibatasi
oleh bula etmoid, dan pada bagian posteroinferolateralnya terdapat ostium alami
sinus maksila sedangkan proyeksi dari tepi terowongan yang membuka kearah
kavum nasi membentuk hiatus semilunaris anterior (Nizar, 2000; Stammberger et
al, 1993).
Sel agger nasi merupakan sel ekstramural paling anterior dari sel-sel
etmoid anterior. Karena letaknya sangat dekat dengan resesus frontal, sel ini
merupakan patokan anatomi untuk operasi sinus frontal. Dengan membuka sel ini
akan memberi jalan menuju resesus frontal (Shankar et al, 2001; Mangunkusumo,
2000).
7
Resesus frontal dapat ditemukan pada bagian anterosuperior dari meatus
media dan merupakan drainase dari sinus frontal, dapat langsung ke meatus media
atau melalui infundibulum etmoid menuju kavum nasi (Browning, 2007;
Mangunkusumo, 2000; Stammberger et al, 1993).
Sinus paranasal adalah rongga-rongga di dalam tulang kepala yang terletak
di sekitar hidung dan mempunyai hubungan dengan rongga hidung melalui
ostiumnya. Ada 3 pasang sinus yang besar yaitu sinus maksila, sinus frontal dan
sinus sfenoid kanan dan kiri, dan beberapa sel-sel kecil yang merupakan sinus
etmoid anterior dan posterior. Sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid
anterior termasuk kelompok sinus anterior dan bermuara di meatus media,
sedangkan sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid merupakan kelompok sinus
posterior dan bermuara di meatus superior (Walsh et al, 2006).
8
sama tinggi. Perkembangannya berjalan kearah bawah dan membentuk sempurna
setelah erupsi gigi permanen. Ukuran rata-rata pada bayi yang baru lahir 7-8 x 4-6
mm dan pada usia 15 tahun 31-32 x 18-20 x 19-20 mm dan isinya kira-kira 15 ml.
(Ballenger, 2004)
Sinus maksilaris merupakan sinus paranasal yang terbesar. Sinus
maksilaris terletak di dalam korpus maksilaris dan sinus ini berbentuk piramid.
Dinding anterior sinus yaitu permukaan fasial os maksilaris yang disebut fosa
kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksilaris, dinding
medialnya adalah dinding lateral rongga hidung, dinding superior adalah dasar
orbita, dan dinding inferior yaitu prosesus alveolaris dan palatum (Soetjipto,
2001).
Sinus maksilaris bermuara ke dalam meatus nasi medius melalui hiatus
semilunaris. Karena sinus etmoidalis anterior dan sinus frontalis bermuara ke
infundibulum, kemudian ke hiatus semilunaris, kemungkinan penyebaran infeksi
dari sinus-sinus ini ke sinus maksilaris adalah besar (Snell, 2006). Membrana
mukosa sinus maksilaris dipersarafi oleh nervus alveolaris superior dan nervus
infraorbitalis (Snell, 2006). Dari segi klinik, yang perlu diperhatikan dari anatomi
sinus maksila adalah:
1. Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu
premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C)
dan gigi molar (M3), bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam
sinus, sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis
2. Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita
3. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase
hanya tergantung dari gerakan silia, lagipula drainase juga harus melalui
infundibulum yang sempit (Walsh et al, 2006).
Identifikasi endoskopik sinus maksila adalah melalui ostium alami sinus
maksila yang terdapat di bagian posterior infundibulum. Ostium sinus maksila
biasanya berbentuk celah oblik dan tertutup oleh penonjolan prosesus unsinatus
dan bula etmoid. Sisi anterior dan posterior dari ostium sinus maksila adalah
fontanel dan terletak di sebelah inferior lamina papirasea. Sinus maksila dapat
9
ditembus dengan relatif aman pada daerah sedikit ke atas konka inferior dan
didekat fontanel posterior (Nizar, 2000).
10
Gambar 2.2 Dinding lateral tanpa konka. Muara sinus paranasal, demikian
pula duktus lakrimalis dapat terlihat membuka pada meatus yang bersesuaian.
11
(lamina basalis), sedangkan sel-sel sinus etmoidalis posterior biasanya lebih besar
dan lebih sedikit jumlahnya dan terletak di posterior dari lamina basalis (Snell,
2006; Soetjipto, 2001).
Di bagian terdepan sinus etmoidalis anterior terdapat bagian sempit yang
disebut resesus frontalis, yang berhubungan dengan sinus frontalis. Sel etmoidalis
yang terbesar disebut bula etmoidalis. Pada daerah etmoidalis anterior terdapat
suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuara ostium sinus
maksilaris. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontalis dapat
menyebabkan sinusitis frontalis dan bila di infundibulum menyebabkan sinusitis
maksilaris. Membrana mukosa dipersarfi oleh nervus etmoidalis anterior dan
posterior (Soetjipto, 2001; Snell, 2006).
12
Keberhasilan sistem mukosiliar sebagai suatu mekanisme pertahanan lokal
pada hidung dan sinus paranasal bergantung kepada transportasi mukosiliar yang
dikenal sebagai bersihan mukosiliar. Bersihan mukosiliar yang baik akan
mencegah terjadinya infeksi di dalam hidung dan sinus paranasal. Bersihan
mukosiliar ditentukan oleh keadaan silia, palut lendir dan interaksi antara
keduanya. Daya pembersih mukosiliar dapat berkurang akibat perubahan
komposisi palut lendir, aktivitas silia, peningkatan sel-sel infeksi, perubahan
histopatologi sel hidung, hambatan sel sekresi atau obstruksi anatomi (Cohen,
2006).
2.4 Sinusitis
2.4.1 Definisi
Sinusitis berasal dari akar bahasa Latinnya sinus, akhiran umum dalam
kedokteran -itis berarti peradangan karena itu sinusitis adalah suatu peradangan
sinus paranasal. Sinusitis adalah suatu peradangan pada sinus yang terjadi karena
alergi atau infeksi virus, bakteri maupun jamur (Soetjipto, 2001).
Terdapat empat sinus disekitar hidung yaitu sinus maksilaris (terletak di
pipi), sinus ethmoidalis (di antara kedua mata), sinus frontalis (terletak di dahi)
13
dan sinus sphenoidalis (terletak di belakang dahi). Sinusitis adalah peradangan
mukosa sinus paranasal yang dapat berupa sinusitis maksilaris, sinusitis etmoid,
sinusitis frontal, dan sinusitis sphenoid. Bila yang terkena lebih dari satu sinus
disebut multisinusitis, dan bila semua sinus terkena disebut pansinusitis
(Soetjipto, 2001).
2.4.2 Epidemiologi
Sinusitis adalah penyakit yang benyak ditemukan di seluruh dunia,
terutama di tempat dengan polusi udara tinggi. Iklim yang lembab, dingin, dengan
konsentrasi pollen yang tinggi terkait dengan prevalensi yang lebih tinggi dari
sinusitis. Sinusitis maksilaris adalah sinusitis dengan insiden yang terbesar. Data
dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan sinus
berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar
102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit. Di Amerika Serikat, lebih dari 30
juta orang menderita sinusitis. Virus adalah penyebab sinusitis akut yang paling
umum ditemukan. Namun, sinusitis bakterial adalah diagnosis terbanyak kelima
pada pasien dengan pemberian antibiotik. Lima milyar dolar dihabiskan setiap
tahunnya untuk pengobatan medis sinusitis, dan 60 milyar lainnya dihabiskan
untuk pengobatan operatif sinusitis di Amerika Serikat.
Pada tahun 2009, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit
melaporkan bahwa hampir 31 juta orang dewasa didiagnosis dengan sinusitis.
Kejadian sinusitis umumnya disertai atau dipicu oleh rhinitis sehingga sinusitis
sering juga disebut dengan rhinosinusitis. Rinosinusitis adalah penyakit inflamasi
yang sering ditemukan dan mungkin akan terus meningkat prevalensinya.
Rinosinusitis dapat mengakibatkan gangguan kualitas hidup yang berat.
2.4.3 Klasifikasi
Berdasarkan perjalanan penyakitnya terbagi atas (Hilger, 2013):
1) Sinusitis akut, bila infeksi beberapa hari sampai 4 minggu,
2) Sinusitis subakut, bila infeksi antara 4 minggu sampai 3 bulan,
3) Sinusitis kronik, bila infeksi sudah lebih dari 3 bulan
Berdasarkan letaknya, sinusitis terbagi atas (Hilger, 2013):
14
1) Sinusitis maksilaris
2) Sinusitis etmoidalis
3) Sinusitis frontalis
4) Sinusitis sphenoidalis
Sedangkan berdasarkan penyebabnya, sinusitis dibagi atas:
a. Rhinogenik (penyebab kelainan atau masalah di hidung), Segala
sesuatu yang menyebabkan sumbatan pada hidung dapat
menyebabkan sinusitis. Contohnya rhinitis akut (influenza), polip,
dan septum deviasi
b. Dentogenik/Odontogenik (penyebabnya kelainan gigi), yang sering
menyebabkan sinusitis infeksi adalah pada gigi geraham atas (pre
molar dan molar). Bakteri penyebabnya adalah Streptococcus
pneumoniae, Hemophilus influenza, Steptococcusviridans,
Staphylococcus aureus, Branchamella catarhatis
2.4.4 Etiologi
1) Sinusitis akut
Agen etiologi sinusitis dapat berupa virus, bakteri atau jamur.
Sinusitis virus biasanya terjadi selama infeksi saluran pernafasan atas.
Bakteri penyebab sinusitis akut tersering ialah Streptococcus pneumonia,
dapat juga Haemofillus influenzae, Staphilococcus aureus yang ditemukan
pada 70% kasus (Hilger, 2013)
Dapat pula disebabkan rinitis akut : infeksi faring, seperti
faringitis, adenoiditis, tonsilitis akut; infeksi gigi molar M1, M2, M3 atas,
serta premolar P1, P2; berenang dan menyelam; trauma langsung yang
dapat menyebabkan perdarahan mukosa sinus paranasal; dan barotrauma
serta adanya faktor predisposisi antara lain (Hilger, 2013):
Obstruksi mekanik, seperti deviasi septum, benda asing di hidung,
tumor dan polip.
Rinitis kronik dan rinitis alergi juga menyebabkan obstruksi ostium
sinus.
15
Lingkungan berpolusi, udara dingin serta kering yang dapat
menyebabkan perubahan pada mukosa dan kerusakan silia.
2) Sinusitis subakut
Etiologi dan faktor predisposisi kurang lebih sama dengan
sinusitis akut, hanya tanda-tanda radang akutnya sudah reda (Hilger,
2013).
3) Sinusitis kronik
Polusi bahan, alergi, dan defisiensi imunologik menyebabkan
silia rusak, sehingga terjadi perubahan mukosa hidung. Perubahan ini
mempermudah terjadinya infeksi. Terdapat edema konka yang
mengganggu draenase sekret, sehingga silia rusak, dan seterusnya. Jika
pengobatan pada sinusitis akut tidak adekuat, maka akan terjadi infeksi
kronik (Hilger, 2013).
2.4.5 Patofisiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan
lancarnya klirens mukosiliar (mucociliarry clearance) di dalam KOM (kompleks
osteomeatal). Mukus juga mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat yang
berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk
bersama udara pernapasan (Soetjipto, 2001).
Organ-organ yang membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila terjadi
edema mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat
bergerak dan ostium tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan negatif didalam rongga
sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi, mula-mula serous. Kondisi ini
bisa dianggap sebagai rinosinusitis non-nacterial dan biasanya sembuh dalam
beberapa hari tanpa pengobatan. Bila kondisi ini menetap, sekret yang berkumpul
didalam sinus merupakan media baik untuk tumbuhnya dan multiplikasi bakteri.
Sekret menjadi purulen. Keadaan ini disebut sebagai rinosinusitis akut bakterial
dan memerlukan terapi antibiotik. Jika terapi tidak berhasil (misalnya karena ada
faktor presdiposisi, inflamasi berlanjut, terjadi hipoksia dan bakteri anaerob
berkembang. Mukosa makin membengkan dan ini merupakan rantai siklus yang
terus berputar sampai akhirnya perubahan mukosa menjadi kronik yaitu hipertrofi,
16
polipoid atau pembentukan polip dan kista. Pada keadaan ini mungkin diperlukan
tindakan operasi (Soetjipto, 2001).
17
penyerta sinusitis frontalis yang tak dapat dielakan. Gejala berupa
nyeri tekan di antara kedua mata dan di atas jembatan hidung, drainase
dan sumbatan hidung. Pada anak, dinding lateral labirin etmoidalis
(lamina papirasea) sering kali merekah dan karena itu sering kali
menimbulkan selulitis orbita (Hilger, 2013).
c. Sinusitis frontalis
Sinusitias frontalis akut hampir selalu bersama-sama dengan
infeksi sinus etmoidalis anterior.penyakit ini terutama ditemukan pada
dewasa, dan selain daripada gejala inferksi yang umum, pada sinusitis
frontalis terdapat nyeri kepala yang khas. Nyeri berlokasi di atas alis
mata, biasanya pada pagi hari dan memburuk menjelang tengah hari,
kemudian perlahan-lahan mereda hingga menjelang malam.pasien
biasanya menyatakan bahwa dahinya terasa nyeri bila disentuh, dan
mungkin terdapat pembengkakan supraorbita. Tanda patognomotik
adalah nyeri yang hebat pada palpasi atau perkusi di daerah sinus yang
terinfeksi (Hilger, 2013).
d. Sinusitis sphenoidalis
Sinusitis sphenoidalis akut terisolasi amat jarang. Sinusitis ini
dicirikan oleh nyeri kepala yang mengarah ke verteks kranium,
oksipital, belakang bola mata, dan daerah mastoid. Namun penyakit
ini lebih lazim penjadi pansinusitis dan oleh karena itu menjadi satu
dengan gejala infeksi sinus lainnya (Hilger, 2013).
2) Sinusitis Kronik
Keluhan sinusitis kronik tidak khas sehingga sulit didiagnosis.
Kadang-kadang hanya 1 atau 2 dari gejala-gejala di bawah ini yaitu sakit
kepala kronik, post nasal drip, batuk kronik, gangguan tenggorok,
gangguan telinga akibat sumbatan kronik muara tuba eusthacius, gangguan
ke paru seperti bronkitis (sino-bronkitis), bronkiektasis dan yang penting
adalah serangan asma yang meningkat dan sulit diobati. Pada anak
mukopus yang tertelan dapat menyebabkan gastroenteritis (Hilger, 2013).
18
2.4.7 Diagnosis dan Pemeriksaan
Untuk menegakkan diagnosis dari sinusitis adalah didasari oleh anamnesa
dan adanya keluhan dan tanda klinis dari pasien dan juga didasari atas
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang tambahan seperti transluminasi
sinus, pemeriksaan radiologik, nasal endoskopi, CT scan, biakan kuman, dan tes
alergi.
1) Anamnesis
Pada anamnesis biasanya pasien dengan sinusitis akut datang dengan
keluhan hidung tersumbat disertai nyeri atau rasa tekanan pada muka dan
sekret yang purulen yang sering kali turun ke tenggorok (post nasal drip).
Perlu ditanyakan pula gejala-gejala lainnya seperti demam, lesu, nyeri
kepala, hiposmia/anosmia, dan halitosis (Soetjipto, 2001)
Keluhanan nyeri atau rasa tekanan di daerah sinus yang terkena
merupakan ciri khas dari sinusitis akut, serta kadang-kadang nyeri juga
terasa di tempat lain (referred pain). Nyeri pipi menadakan sinusitis
maksila, nyeri di antara atau di belakang kedua mata menandakan sinusitis
etmoid, nyeri di dahi atau seluruh kepala menandakan sinusitis frontal.
Pada sinusitis sfenoid, nyeri dirasakan di verteks, oksipitalm belakang bola
mata, dan daerah mastoid. Pada sinusitis maksila kadang-kadang ada nyeri
laih ke gigi dan telinga (Soetjipto, 2001).
Pada sinusitis kronik, keluhan tidak khas, sehingga sulit didiagnosis.
Kadang-kadang hanya 1 atau 2 dari gejala-gejala di bawah ini yaitu sakit
kepala kronik, post nasal drip, batuk kronik, gangguan tenggorok,
gangguan telinga akibat sumbatan kronik muara tuba eusthacius, gangguan
ke paru seperti bronkitis (sino-bronkitis), bronkiektasis dan yang penting
adalah serangan asma yang meningkat dan sulit diobati. Pada anak
mukopus yang tertelan dapat menyebabkan gastroenteritis (Hilger, 2013).
2) Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik sinusitis pada inspeksi didapati adanya
pembengkakan di pipi sampai kelopak mata bawah, biasanya pada
sinusitis maxilaris. Pembengkakkan di kelopak mata atas mungkin terjadi
19
pada sinusitis frontalis. Pada palpasi dan perkusi, nyeri tekan dan nyeri
ketuk dirasakan pada pipi dan gigi menunjukkan adanya sinusitis
maxilaris, nyeri tekan pada atap orbita menunjukkan adanya sinusitis
frontalis. Dan nyeri tekan di daerah kantus medius menunjukkan adanya
sinusitis ethmioidalis (Soetjipto, 2001).
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa konka hiperemis dan udem,
pada sinusitis maksilaris, ethmoidalis anterior dan frontalis tampak
mukopus keluar dari meatus medius, sedangkan pada sinusitis ethmoidalis
posterior dan sinusitis sphenoid keluar mukopus dari meatus superior Pada
rinoskopi posterior tampak post nasal drip. Pada sinusitis kronik tampak
nanah pada meatus medius atau meatus superior pada pemeriksaan
rinoskopi anterior dan pada rinoskopi posterior tampak sekret purulen di
nasofaring atau turun ke tenggorok (Soetjipto, 2001).
Pada pemeriksan transiluminasi sinus dilakukan di kamar gelap, dan
sumber cahaya diletakkan di mulut pasien pada salah satu sisi palatum
durum, maka cahaya tersebut akan dihantarkan melalui rongga sinus dan
akan memberikan gambaran sinar yang samar-samar dan berbentuk bulan
sabit di bawah mata. Akan tetapi pemeriksaan ini hanya terbatas pada
sinus maksila dan sinus frontalis saja. Pemeriksaan ini bermakna bila
hanya satu sisi sinus yang terkena, maka akan tampak lebih suram
dibandingkan dengan yang normal (Soetjipto, 2001).
Sinoskopi, merupakan pemeriksaan ke dalam sinus maksila
menggunakan endoskop. Endoskop dimasukan melalui lubang yang dibuat
di meatus inferior atau di fossa koana. Dengan sinoskopi dapat dilihat
keadaan di dalam sinus, apakah ada sekret, polip, jaringan granulasi,
massa tumor atau kista, bagaimana keadaan mukosa, apakah ostiumnya
terbuka (Soetjipto, 2001).
2. Pemeriksaan penunjang
Pada pemeriksaan radiologik pada sinusitis akut mula-mula berupa
penebalan mukosa selanjutnya diikuti opasifikasi sinus lengkap akibat
mukosa yang membengkak hebat atau akibat akumulasi cairan yang
20
memenuhi sinus. Akhirnya tebentuk gambaran air fluid level yang khas
akibat akumulasi pus yang terlihat pada foto tegak sinus maksilaris. oleh
karena itu radiogram sinus harus dibuat dalam posisi waters, PA dan
lateral (Soetjipto, 2001).
Pada pemeriksaan transluminasi, sinus yang sakit akan menjadi
suram atau gelap. Pemeriksaan transluminasi bermakna bila salah satu
salah satu sisi sinus yang sakit, sehingga tampak lebih suram dibandingkan
dengan sisi yang normal (Soetjipto, 2001).
Pemeriksaan radiologi untuk mendapatkan informasi dan untuk
mengevaluasi sinus paranasal adalah (Rachman, 2005) :
a. Pemeriksaan foto kepala dengan berbagai posisi yang khas.
Pemeriksaan foto kepala untuk mengevaluasi sinus paranasal terdiri
atas berbagai macam posisi, antara lain (Rachman, 2005):
- Foto kepala posisi anterior-posterior (AP atau posisi Caldwell)
Foto ini diambil pada posisi kepala menghadap kaset, bidang
midsagital kepala tegak lurus pada film. Idealnya pada film
tampak piramid tulang petrosum diproyeksikan pada 1/3 bawah
orbita atau pada dasar orbita. Hal ini dapat tercapai apabila orbita
metal line tegak lurus pada film dan sentrasi membentuk sudut
150 kaudal (Rachman, 2005).
21
Gambar 2.3 Foto kepala posisi Caldwell.
22
- Foto lateral kepala
Foto lateral kepala dilakukan dengan kaset terletak sebelah lateral
dengan sentrasi di luar kantus mata, sehingga dinding posterior
dan dasar sinus maksillaris berhimpit satu sama lain (Rachman,
2005).
23
- Foto posisi Waters
Foto Waters dilakukan dengan posisi dimana kepala menghadap
kaset, garis orbita-meatus membentuk sudut 37o dengan kaset.
Sentrasi sinar kira-kira di bawah garis interior-bital. Pada foto
Waters, secara ideal piramid tulang petrosum diproyeksikan pada
dasar sinus maksillaris sehingga kedua sinus maksillaris dapat
dievaluasi seluruhnya. Foto Waters umumnya dilakukan pada
keadaan mulut tertutup. Pada posisi mulut terbuka akan dapat
menilai daerah dinding posterior sinus sphenoidalis dengan baik
(Rachman, 2005).
24
Gambar 2.8 Foto kepala posisi submentoverteks.
25
inferior, kondilus mandibularis dan arcus zygomatikus posterior
(Rachman, 2005).
b. Pemeriksaan tomogram
Pemeriksaan tomogram pada sinus paranasalis biasanya digunakan
multidirection tomogram. Sejak digunakannya CT-Scan, pemeriksaan
tomogram penggunaannya agak tergeser. Tetapi pada fraktur daerah sinus
paranasal, pemeriksaan tomogram merupakan suatu teknik yang terbaik
untuk menyajikan fraktur-fraktur tersebut dibandingkan dengan
pemeriksaan aksial dan coronal CT-Scan (Rachman, 2005).
c. Pemeriksaan CT-Scan
Pemeriksaan CT-Scan sekarang merupakan pemeriksaan yang
sangat unggul untuk mempelajari sinus paranasal, karena dapat
menganalisis dengan baik tulang-tulang secara rinci dan bentuk jaringan-
jaringan lunak. Irisan aksial merupakan standar pemeriksaan paling baik
dilakukan dalam bidang inferior orbitometal (IOM), dengan irisan setebal
5 mm, dimulai dari sinus maksillaris sampai sinus frontalis. Pemeriksaan
ini dapat menganalisis perluasan penyakit dari gigi geligi, sinus-sinus dan
palatum, termasuk ekstensi intrakranial dari sinus frontalis (Rachman,
2005).
26
Gambar 2.11 Foto normal CT Scan sinus Maxilla
27
CT Scan disarankan hanya untuk pemeriksaan sinusitis akut jika
terdapat komplikasi atau beresiko tinggi terhadap terjadinya komplikasi.
MRI tidak seefektif CT Scan dalam penggambaran anatomi dari sinus
paranasal. Disamping harganya yang lebih mahal, biasanya MRI tidak
dipakai kecuali pemeriksa menitikberatkan pada tumor, infeksi jamur, atau
komplikasi yang mengenai tulang tengkorak (Rachman, 2005).
CT-Scan pada sinusitis akan tampak : penebalan mukosa, air fluid
level, perselubungan homogen atau tidak homogen pada satu atau lebih
sinus paranasal, penebalan dinding sinus dengan sklerotik (pada kasus-
kasus kronik).Hal-hal yang mungkin ditemukan pada pemeriksaan CT-
Scan (Rachman, 2005):
a. Kista retensi yang luas, bentuknya konveks (bundar), licin, homogen,
pada pemeriksaan CT-Scan tidak mengalami ehans. Kadang sukar
membedakannya dengan polip yang terinfeksi, bila kista ini makin
lama makin besar dapat menyebabkan gambaran air-fluid level.
b. Polip yang mengisi ruang sinus
c. Polip antrokoanal
d. Massa pada cavum nasi yang menyumbat sinus
e. Mukokel, penekanan, atrofi dan erosi tulang yang berangsur-angsur
oleh massa jaringan lunak mukokel yang membesar dan gambaran
pada CT Scan sebagai perluasan yang berdensitas rendah dan kadang-
kadang pengapuran perifer
Gold Standart untuk mendiagnosa sinusitis yang disebabkan oleh
bakteri adalah pemeriksaan mikrobiologis (pungsi sinus dan kultur
bakteri). Biakan bakteri yang berasal dari hidung bagian depan hanya
sedikit bernilai dalam interpretasi bakteri dalam sinus maksilaris, bahkan
dapat memberikan informasi yang salah karena biakan dari hidung depan
akan mengungkapkan organisme dalam vestibulum nasi termasuk flora
normal seperti stafilokok dan beberapa kokus gram positif lainnya yang
tidak ada kaitannya dengan bakteri yang dapat menimbulkan sinusitis.
Suatu biakan dari posterior hidung atau nasofaring justru lebih
memberikan banyak manfaat dan jauh lebih akurat namun sangat sulit
28
dalam pengerjaannya. Biakan bakteri pada sinusitis kronik dapat
ditemukan infeksi campuran dari berbagai macam mikroba Rachman,
2005).
2.4.8 Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan sinusitis adalah (Soetjipto, 2001):
1. Mempercepat penyembuhan
2. Mencegah komplikasi
3. Mencegah perubahan menjadi kronik.
Sinusitis akut dapat diterapi dengan pengobatan (medikamentosa) dan
pembedahan (operasi). Penatalaksanaan yang dapat diberikan pada pasien
sinusitis akut, yaitu:
a. Sinusitis akut
Terapi medikamentosa
1) Dapat diberikan terapi antibiotik selama 10-14 hari, namun dapat
diperpanjang sampai gejala semuanya hilang. Pemilihannya hampir selalu
empirik karena kultur nasal tidak dapat diandalkan dan aspirasi sinus
maksila merupakan kontraindikasi. Jenis antibiotik yang dipilih adalah
golongan penisilin seperti amoksisilin. Jika resisten dapat diberikan
amoksisilin-klavulanat atau jenis sefalosporin generasi ke-2. Diberikan
selama 10-14 hari meskipun gejala klinik sudah hilang (Soetjipto, 2001).
2) Dekongestan lokal maupun sistemik. Dekongestan lokal berupa obat tetes
hidung, untuk membantu draenase sinus selama 5 hari untuk menghindari
rinitis medikamentosa. Sedangkan dekongestan sistemik hanya 2, yaitu :
Pseudoefedrin dan fenilpropanolamin (Soetjipto, 2001).
3) Analgetik selain untuk menghilangkan rasa nyeri juga untuk mengencerkan
sekret, meningkatkan kerja silia serta merangsang pemecahan fibrin
(Soetjipto, 2001).
b. Sinusitis subakut
1) Antibiotik, diberikan antibiotik spektrum luas selama 10 atau 14 hari.
29
2) Dekongestan ( Obat tetes hidung ) untuk memperlancar draenase, selama
5-10 hari, karena bila terlalu lama dapat menyebabkan rhinitis
medikamentosa.
3) Analgetik, antihistamin, dan mukolitik.
4) Diatermi dengan sinar gelombang pendek (Ultra Short Wave Diatermy,
UKG) sebanyak 5-6 kali di daerah sinus yang sakit, untuk memperbaiki
vaskularisasi sinus.
5) Terapi pencucian Proetz ( Proetz Displecement Therapy ), yang pada
prinsipnya membuat tekanan negatif dalam rongga hidung dan sinus
paranasal serta menghisap sekret ke luar. Cara ini dipakai untuk mencuci
sinus etmoid dan sinus sfenoid. Untuk sinus frontal dan sinus maksila cara
ini kurang efektif.
6) Pada sinusitis maksila, dapat dilakukan tindakan pungsi, irigasi, atau
antrostomi, yaitu lubang di meatus inferior yang menghubungkan hidung
dengan sinus maksila.
7) Tindakan intranasal lain yang mungkin diperlukan agar drainase sekret
lancar berdasarkan kelainan yang ada pada pasien adalah operasi koreksi
septum, pengangkatan polip, dan konkotomi total atau parsial.
c. Sinusitis kronis
Terapi Medikamentosa memiliki peran terbatas karena umumnya
disebabkan obstruksi sinus yang persisten (Soetjipto, 2001).
1) Dapat diberikan obat-obat simtomatis dan antibiotik selama 2-4
minggu untuk mengatasi infeksinya. Antibiotik yang dipilih mencakup
anaerob, seperti penisilin V, Klindamisin atau augmentin merupakan
pilihan yang tepat jika penesilin tidak efektif.
2) Steroid nasal topikal contohnya beklometason yang digunakan sebagai
antiinflamasi dan alergi.
3) Pada sinusitis maksila dapat dilakukan pungsi, atau antrostomi dan
irigasi sedangkan pada sinusitis etmoidalis ,sfenoidalis dan frontalis
dapat dilakukan pencucian proetz.
Terapi Radikal (Brook, 2015)
30
Dilakukan dengan mengangkat mukosa yang patologik dan membuat
draenase sinus yang terkena.
1) Operasi Caldwell –luc dapat dilakukan pada kelainan sinus maksila.
2) Etmoidektomi dapat dilakukan pada kelainan sinus etmoidalis.
3) Operasi Killian secara intranasal dan ekstra nasal dilakukan pada
kelainan sinus frontal.
4) Draenase secara intranasal juga dapat dilakukan pada kelainan sinus
sfenoid.
31
Gambar 2.15. Endoscopic sinus surgery
32
1. Komplikasi lokal
a) Mukokel
b) Osteomielitis (Pott’s puffy tumor)
c) Kelainan paru
2. Komplikasi orbita
a) Inflamatori edema
b) Abses orbita
c) Abses subperiosteal
d) Trombosis sinus cavernosus.
3. Komplikasi intrakranial
a) Meningitis
b) Abses Subperiosteal
Komplikasi sinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya
antibiotik. Komplikasi berat biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis
kronis dengan eksaserbasi akut, berupa komplikasi orbita atau intracranial.
CT scan merupakan suatu modalitas utama dalam menjelaskan derajat
penyakit sinus dan derajat infeksi di luar sinus, pada orbita, jaringan lunak dan
kranium. Pemeriksaan ini harus rutin dilakukan pada sinusitis refrakter, kronik
atau berkomplikasi (Rachman, 2005)
1. Komplikasi lokal
a. Osteomielitis
Infeksi sinus dapat menjalar hingga struktur tulang mengakibatkan
osteomielitis baik di anterior maupun posterior dinding sinus. Penyebaran
infeksi dapat berasal langsung atau dari vena yang berasal dari sinus.
Osteomielitis paling banyak ditemukan pada dinding sinus frontal. Sekali
tulang terinfeksi, bisa menyebabkan erosi pada tulang tersebut dan
mempermudah terjadinya penyebaran infeksi di bawah subperiosteum
yang berujung pembentukan abses subperiosteal. Erosi bisa mempengaruhi
bagian anterior atau posterior dari dasar sinus yang mempermudah
terjadinya penyebaran ekstrakranial atau intrakranial. Jika abses
subperiosteal berbatasan dengan dasar anterior dari tulang frontal itu
disebut dengan Pott`s puffy tumor. Pasien dengan Pott`s puffy tumor selalu
33
muncul pada usia lebih dari 6 tahun karena sinus frontalis belum terbentuk
pada usia di bawah 6 tahun (Hilger, 2013).
b. Mukokel
Mukokel adalah penyakit kronis berupa lesi kistik yang mengandung
mukus pada sinus paranasal. Mukokel tumbuh secara perlahan memakan
waktu tahunan untuk menimbulkan keluhan. Dan keluhan berhubungan
dengan bertambah besarnya mukokel. Sesuai dengan pertambahan
besarnya, mukokel dapat menekan dinding sinus sehingga mengawali
erosi tulang. Setelah terjadi erosi pada dinding sinus, mukokel dapat
mengenai seluruh struktur. Mukokel kebanyakan terjadi pada sinus
frontalis, diikuti dengan sinus etmoid dan maksila. Gejala dari sinus
frontal atau etmoid dapat menyebabkan sakit kepala, diplopia dan
proptosis. Bola mata yang proptosis secara khas berpindah ke arah bawah
dan luar. Mukokel sinus maksilaris biasanya ditemukan secara tidak
sengaja pada foto rongent sinus. Mukokel pada lokasi ini jarang
menyebabkan gejala karena sinus maksilaris luas dan mukokel jarang
menjadi cukup besar untuk menyebabkan kelainan pada tulang. Mukokel
sinus maksilaris dapat menimbulkan gejala, jika menghambat ostium sinus
maksilaris. Mukokel dapat bergejala pada setiap sinus ketika mukokel
terinfeksi membentuk mukopyocele. Gejalanya hampir sama dengan
mukokel meskipun lebih akut dan lebih berat. Diagnosis ditegakkan oleh
CT scan sinus. Mukokel yang mempunyai gejala ditata laksana dengan
tindakan bedah mengangkat mukokel dan membersihkan sinus. Eksplorasi
34
sinus secara bedah untuk mengangkat semua mukosa yang terinfeksi dan
berpenyakit serta memastikan suatu drainase yang baik, atau obliterasi
sinus merupakan prinsip-prinsip terapi (Hilger, 2013).
c. Kelainan Paru
Seperti bronkitis kronik dan bronkiektasis. Adanya kelainan sinus
paranasal disertai dengan kelainan paru ini disebut sinobronkitis. Selain itu
dapat juga menyebabkan kambuhnya asma bronkial yang sukar
dihilangkan sebelum sinusitisnya disembuhkan (Hilger, 2013).
2. Infeksi orbita
Infeksi orbita disebabkan oleh penetrasi ruang orbita saat operasi
atau trauma, kebanyakan disebabkan oleh bakteri yang menyebar dari
sinus yang terinfeksi. Oleh karena ruang orbita dibatasi oleh beberapa
sinus, seperti sinus frontalis, etmoid, dan maksilari, infeksi dari sinus
tersebut berpotensial menyebar hingga ruang orbita. Sinus etmoid sangat
mempengaruhi penyebaran infeksi ke ruang orbita. Hal ini dipengaruhi
karena sangat eratnya hubungan antara dinding sinus dengan orbita.
Dinding yang tipis menyebabkan infeksi lebih mudah menyebar. Sinus
etmoid mempunyai dinding yang paling tipis, disebut lamina papyracea
35
yang batas lateral dan medialnya adalah orbita. Sehingga infeksi pada
orbita biasanya dimulai dari bagian medial. Walaupun jarang terjadi
dinding sinus yang lebih tebal dapat juga menyebabkan infeksi orbita.
Sekali infeksi menyebar melalui dinding sinus, batas periosteal dinding
sinus berperan sebagai barrier tambahan untuk memproteksi orbita dari
penyebaran infeksi. Jika terbentuk abses di antara dinding dengan
periosteum, disebut abses subperiosteal. Jika periosteum rusak maka akan
terbentuk abses orbita (Hilger, 2013).
36
3. Komplikasi Intrakranial
Komplikasi intrakranial sangat jarang, terjadi hanya satu hingga 3
kali setiap tahunnya. Penggunaan antibiotik menurunkan insiden
komplikasi ini. Komplikasi dari intrakranial meliputi (1) meningitis, (2)
abses epidural, (3) abses subdural, (4) abses otak. Pasien pada umumnya
memiliki lebih dari satu komplikasi intrakranial, seperti abses
epidural/subdural terjadi bersamaan dengan abses otak atau meningitis.
Berikut ini frekuensi relatif jumlah komplikasi intrakranial dari sinusitis
(Hilger, 2013).
37
Gambar 2.20 Lokasi komplikasi intrakranial dari sinusitis
2.4.10 Pencegahan
Mencegah radang selaput lendir atau sinusitis :
a. Minum banyak : membantu meringankan hidung yang tersumbat dan sekret
hidung dapat mengalir.
b. Pemberian obat yang adekuat dan dosis yang tepat.
c. Menggonsumsi obat yang teratur sesuai petunjuk dokter.
d. Menghindari zat-zat alergen yang mengakibatkan pembengkakan mukosa
hidung.
2.4.11 Prognosis
Kira-kira 40% kasus sinusitis akut sembuh spontan tanpa antibiotik,
angka kekambuhan setelah keberhasilan pengobatan adalah kurang dari
5%. Sedangkan pada sinusitis kronik, hasil akhir yang memuaskan
38
tercapai jika pasien diobati secara dini dengan penanganan medis yang
agresif, selain itu FESS dapat mengembalikan kesehatan sinus dengan
meredakan gejala secara komplit atau moderat pada 80-90% pada pasien
dengan sinusitis yang rekuren atau yang tidak responsif terhadap
pengobatan (Hilger, 2013).
39
BAB 3
PENUTUP
2.5 Kesimpulan
Sinus paranasal terdiri dari empat pasang, yaitu sinus frontal, sinus
ethmoid, sinus maxilla, sinus sfenoid. Sinus paranasal dalam kodisi normal
mengalirkan sekresi dari mukosa ke daerah yang berbeda dalam kavum nasi.
Sinus paranasal memiliki fungsi :
1. Pengatur kondisi udara ( Air Conditioning )
2. Penahan suhu ( Thermal Insulators )
3. Membantu keseimbangan kepala
4. Membantu resonansi suara
5. Peredam perubahan tekanan udara
6. Membantu produksi mukus
Sinusitis adalah peradangan mukosa sinus paranasal yang ditandai dengan
inflamasi dan pembengkakan memberana mukosa sinus disertai nyeri lokal.
Penyebab utama adalah infeksi saluran pernapasan oleh virus yang biasanya
dilanjutkan dengan infeksi bakteri.
Diagnosis untuk sinusitis dapat ditegakkan melalui anamnesis yang tepat,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang misalnya foto radiologis,
pemeriksaan sinoskopi dan pemeriksaan mikrobiologis.
Gejala utama yang tampak pada sinusitis adalah hidung tersumbat disertai
nyeri/rasa tekanan pada muka dan ingus purulen, yang seringkali turun ke
tenggorok (post nasal drip). Sinusitis dapat terjadi karena faktor-faktor seperti
obstruksi jalan keluar sekresi sinus, kelainan mukosiliar, dan berubahnya kualitas
dan kuantitas mukus.
Prinsip penatalaksanaan pada sinusitis adalah membuka sumbatan di
kompleks osteomeatal (KOM) sehingga drainase dan ventilasi sinus-sinus pulih
secara alami. Penatalaksanaan dapat dilakukan secara medis atau bedah.
Komplikasi sinusitis secara umum dapat dibagi menjadi dua yaitu ke mata dan ke
intrakranial.
40
DAFTAR PUSTAKA
Angraini, R., 2005. Anatomi dan Fungsi Sinus Paranasal. Available from:
http://library.usu.ac.id/download/fk/06001191.pdf. [Acessed 18
December 2016].
Hilger, Peter A., 2013. Penyakit Sinus Paranasalis. In: Adams, G.L., ed. Boies:
Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta: EGC, 240-260.
Hwang PH, Abdalkhani A., 2009. Embriology, anatomy and physiology of nose
and paranasal sinuses. Dalam: Snow JB, Wackym PA, editor.
Ballenger’s otolaryngology, head and neck surgery. Edisi ke-17.
Shelton: BC Decker Inc. hal: 455-463.
Kennedy DW, Lee JT, 2001. Endoscopic Sinus Surgery, in Head and Neck
surgery – Otolaryngology, Vol II, Third Edition, Byron J. Bailey
Lippincott Williams and Wilkins, Philadelphia. p: 459 – 75.
th
Kohut RI, Pillsbury HC, Tardy ME. Head and Neck Surgery Otolaryngology. 4
Edition. Vol 2. Philadelphia : Lippincot Williams & Wilkins.
41
Mangunkusumo E, 2000. Persiapan Operasi BSEF: Nasoendoskopi dan
Pemeriksaan Tomografi Komputer dalam Kursus Bedah Sinus
Endoskopi Fungsional. Makasar. hal: 13-25.
Moore, K.L, Agur, A.M.R., 2002. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta: Hipokrates. hal:
397-401.
Snell, Richard S., 2006. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6.
Jakarta: EGC, 205-223.
Walsh et al, 2006, Sinonasal Anatomy, Function, and Evaluation. In : Bailey BJ,
Johnson JT, Cohen NA., 2006. Sinonasal mucociliary clearance in
health and disease. Ann Otol Rhinol Laryngol Suppl: 196:20-6
42