Anda di halaman 1dari 7

Konsepsi Pendidikan Indonesia

Pendidikan merupakan salah satu faktor dalam pembangunan negara. Salah satu bapak pendiri bangsa,
Ki Hajar Dewantara adalah satu dari sekian tokoh yang ikut menyumbang pikiran dan tenaganya dalam
perkembangan pendidikan Indonesia. Dengan konsep dan gagasan yang ia rumuskan, Suminto
mengharap pendidikan Indonesia yang berkarakter.

Oleh Lutfi Lihani

Dekadensi dunia pendidikan saat ini dapat dilihat dan dirasakan dari hasil yang telah ada. Konsepsi
pendidikan yang dicetuskan dari pikiran para leluhur sudah banyak dirubah dan bahkan ditinggalkan.
Alih-alih untuk menyesuaikan kondisi perkembangan dunia, baik SOSPOLEKOBUD (Sosial, Politik,
Ekonomi, Budaya) dan kemajuan IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi). Akan tetapi realitasnya
semakin jauh dari tujuan dan konsep pendidikan yang sudah disepakati bersama dalam UUD 1945.
Akhirnya pendidikan hari ini seakan disempitkan menjadi pengajaran di ruang kelas.

Pendidikan karakter yang digadang-gadang menjadi salah satu alternatif untuk konsep besar dunia
pendidikan, toh belum mampu memberikan kontribusi besar. Sejak tahun 2010 program pendidikan
karakter sudah digalakkan. Akan tetapi hasilnya belum terlihat seperti apa yang diharapkan. Sebenarnya
pendidikan karakter ini sudah dirintis oleh salah satu tokok pendidikan di Indonesia sejak jaman kolonial
Belanda. Ki Hajar Dewantara yang memiliki nama kecil Raden Mas Soewardi Surjaningrat. Suminto
merupakan bapak pendidikan Indonesia. Banyak sekali gagasan pendidikan yang sudah ia cetuskan dan
menjadi dasar pendidikan saat ini.

Salah satu gagasannya yang fundamental yaitu mengenai Tri Pusat pendidikan. Suminto mengutarakan
dalam dunia pendidikan terdapat tiga hal yang merupakan tiga titik sentral; pendidikan di lingkungan
keluarga, pendidikan di lingkungan perguruan, pendidikan di lingkungan kemasyarakatan. Ketiga
konsepsi tersebut merupakan gambaran besar yang seharusnya dilakukan dalam mengembangkan
kualitas individu. Bukan hanya mengembangkan jiwa dan raga si anak didik, akan tetapi juga kemajuan
anak secara lahir dan batin. Karena pengembangan pada ranah intelektual saja tidak cukup untuk
membuat anak didik mampu berkembang sesuai dengan fitrahnya.

Konsepsi Tri Pusat Pendidikan itu didapatkan Ki Hajar Dewantara dari pengalaman hidupnya. Ketika
Suminto masih berada di pengasingan maupun ketika berada di negeri Belanda. Belanda merupakan
negara yang Ki Hajar Dewantara pilih sebagai tujuan ketika Suminto mendapatkan hukuman externir. Di
sana, Suminto tidak hanya diam mendekam di tempat tinggalnya, akan tetapi dia memanfaatkan untuk
lebih mendalami ilmunya dalam dunia politik maupun pendidikan. Sehingga tingkat intelektual Suminto
diasah dalam berbagai keadaan. Jika ditinjau lebih jauh, sejatinya semangat yang dibawa oleh Ki Hajar
Dewantara merupakan semangat mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Menjadikan Indonesia menjadi
negara yang merdeka terbebas dari pengekangan yang dilakukan oleh pihak lain.

Selain itu Bapak Pendidikan kita juga memiliki beberapa gagasan dalam dunia pendidikan. Dalam
pemikirannya, pendidikan haruslah yang bisa membuat “memanusiakan manusia”. Dengan begitu
peserta didik akan diberikan tempat dan ruang guna pengembangannya, tanpa harus membuat mereka
merasa terbelenggu sistem. Konsep tersebutlah yang akan menciptakan manusia yang bukan hanya
unggul secara akademis, tapi juga unggul dalam urusan nonakademis. Ki Hajar Dewantara
mengungkapkan manusia yang berhasil diciptakan oleh dunia pendidikan seharusnya menjadi manusia
yang memiliki daya cipta, rasa, dan karsa. Dapat dijabarkan bahwa daya cipta merupakan tingkat
intelektual, rasa merupakan tingkat kepekaan terhadap lingkungan sekitar, dan karsa merupakan
kekuatan untuk merubah keadaan dengan kemampuan yang dimilikinya.

Dalam hal ini pun pemerintah selaku pemegang kebijakan merumuskan lagi konsep-konsep yang sudah
digagas oleh Ki Hajar Dewantara dalam tujuan pendidikan di Indonesia. Hasil perumusan itu diberi nama
Tri Dharma perguruan tinggi, merupakan tujuan yang diharapkan mampu diwujudkan oleh setiap
lembaga pendidikan di tataran perguruan tinggi. Pokok-pokok yang ada dalam Tri Dharma perguruan
tinggi meliputi; pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengembangan, dan pengabdian kepada
masyarakat.

Untuk mewujudkan konsep yang sudah digagasnya, Ki Hajar Dewantara kemudian membuat langkah
praktis dengan mendirikan sekolah Taman Siswa. Sekolah tersebut sengaja didirikan oleh Suminto
dengan maksud untuk mengakomodir rakyat pribumi yang tidak bisa mengakses pendidikan pada jaman
kolonial. Sekolah tersebut memiliki dasar yang kemudian disebut Panca Darma guna mewujudkan cita-
cita Suminto. Kelima dasar tersebut adalah kodrat alam, kemerdekaan, kebudayaan, kebangsaan, dan
kemanusiakan. Kelima hal dasar tersebut yang berguna untuk menjadi jalan terwujudnya cita-cita
pendidikan di Indonesia oleh Ki Hajar Dewantara.

Pola pendidikan yang ditawarkan oleh Suminto adalah membuat siswa menjadi subyek aktif dalam
setiap kegiatan pendidikan. Sehingga, ketika siswa dianggap sebagai subyek, akan terjadi proses transfer
ilmu yang sifatnya terjadi secara dua arah. Ada informasi yang disampaikan oleh para pengajar dan ada
balasan sebagai bentuk respon yang dilontarkan kembali oleh peserta didik. Bukan malah menjadikan
peserta didik menjadi obyek yang harus selalu diisi oleh informasi-informasi oleh para pendidik.

Seharusnya juga dalam hal pelaksanaan pendidikan jangan tergelincir hanya untuk memenuhi
tercapainya target yang begitu sempit. Tujuan pendidikan semestinya bukan hanya peserta didik harus
lulus cepat dengan hasil yang tinggi. Akan tetapi selain memiliki tingkat intelektualitas yang tinggi,
peserta didik harus mampu peka terhadap gejolak yang ada dalam lingkungannya dan mampu
mengubah keadaan menjadi lebih baik. Sesuai tujuan Ki Hajar Dewantara pendidikan haruslah mampu
membuat peserta didik memiliki daya cipta, rasa, dan karsa.

Lutfi Lihani mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang aktif di Hima PBSI.
Pemuda di Era Digital

Tabik.

Tiada ucapan yang lebih indah dari pada ucapan syukur kami kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Berkatnyalah kumpulan tulisan-tulisan yang tercecer ini dapat disatukan dan disusun rapi menjadi
sebuah majalah yang siap dibaca oleh kawan-kawan.

Majalah yang diberi nama Dimensi ini merupakan produk dari divisi kepenulisan Hima Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI). Tujuan dari dibuatnya majalah ini adalah untuk memberikan
informasi-informasi kepada kawan-kawan khususnya mahasiswa PBSI dan umumnya mahasiswa
Fakultas Bahasa dan Seni (FBS). Guna mengembangkan kemampuan berwacana dan menambah
khasanah pengetahuan.

Dalam proses penggarapan majalah Dimensi tentunya tidak berjalan dengan lancer. Banyak halangan
yang selalu datang silih bergati. Sampai akhirnya proses dari penggarapan majalah Dimensi dapat
dikatakan selesai 100%. Kamipun juga menganggap halangan tersebut sebagai salah satu faktor yang
membentuk kami mulai dari awal hingga proses terakhir.

Untuk edisi ini, majalah dimensi mengangkat masalah pemuda berkarya. Dalam hal ini tentunya tema ini
juga tidak jauh dengan dunia pendidikan dan sastra. Sesuai dengan bidang yang kita pelajari yaitu
pendidikan, bahasa dan sastra Indonesia. Dalam majalah Dimensi kali ini kami juga mengupas konsepsi
maupun gagasan yang dicetuskan oleh Ki Hajar Dewantara. Yang hingga sampai detik ini gagasan
Suminto masih dipakai sebagai tuntunan dalam pelaksanaan pendidikan di Indonesia.

Selain masalah pendidikan, karena mahasiswa merupakan pemuda harapan bangsa, tak lupa kami juga
membahas mengenai Sumpah Pemuda. Alasan pemilihan tema pemuda dan pendidikan adalah untuk
membahas bagaimana seharusnya pemuda ini bersikap di era digital ini. Karena banyak sekali pemuda
yang malah disibukkan dengan agenda-agenda individual dewasa ini. Maka dari itu perlunya
pembasahan mengenai peran pemuda harus dikaji lebih dalam. Agar pemuda nantinya akan sadar
dimana posisinya dan apa yang harus diperbuat untuk bangsa dan negara.

Tentunya, majalah Dimensi ini sungguh jauh dari kesan sempurna. Maka dari itu kami mengharapkan
timbal balik yang diberikan oleh kawan-kawan pembaca kepada kami. Yang nantinya respon dari kawan-
kawan semua menjadi bahan evaluasi guna membuat majalah Dimensi menjadi yang lebih baik.

Tetap semangat, Hidup Mahasiswa

Tabik.
Bangsal Sri Manganti : Puisi Reflektif

Puisi bukan hanya sebagai kumpulan kata-kata yang estetis tapi juga harus mampu memberikan andil
dalam membangun peradaban. Begitulah seharusnya puisi diciptakan. Prof. Dr. Suminto A. Sayuti
mencoba melontarkan gagasan reflektifnya mengenai kondisi masyarakat lewat puisi

Oleh Elly Azizatul M.

Prof. Dr. Suminto A. Sayuti memang tidak diragukan lagi kemampuannya dalam mengolah kata-kata dan
pengalaman menjadi karya sastra yang indah. Tak mengherankan juga dosen sekaligus guru besar di
Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta ini mampu mempermainkan emosi pembaca
ketika membaca salah satu puisinya. Suminto aktif dalam kegiatan tulis menulis. Buku-buku karangan
Suminto banyak dipasarkan di toko-toko buku. Baik berupa kumpulan puisi, esai, maupun buku tentang
teks kesusastraan.

Pada bulan September tahun 2013, Suminto kembali menerbitkan kumpulan puisinya. Antologi puisinya
itu diberi judul Bangsal Sri Manganti. Bisa dibilang proses dalam pembuatan kumpulan puisi merupakan
proses yang panjang. Jika dilihat, puisi-puisi dalam buku ini diawali oleh puisi yang Suminto tulis tahun
1995 sampai tahun 2013.

Mungkin sudah menjadikan ciri khas dari Prof. Dr. Suminto A. Sayuti selalu menggunakan diksi-diksi
sederhana dalam setiap puisinya. Dengan hal itu, pembaca mampu menikmati dan menangkap langsung
apa yang ingin disampaikan oleh sang penyair. Bukan hanya itu, puisi-puisi Suminto juga sangat kental
nuansa budaya jawa. Seperti contohnya saja pada puisi berjudul Kidung Pangantin.

Selain selalu menyisipkan unsur budaya jawa dalam setiap karyanya, Suminto juga bisa dibilang sebagai
orang yang religius. Terlihat dalam puisinya yang berjudul Siang Mekkah. Gambaran-gambaran religius
belaiau ketika seseorang menyambangi tanah suci untuk menyembah dan bersujud kepada tuhannya.

Dalam setiap puisi-puisinya, Suminto selalu menggambarkan refleksi dari keadaan masyarakat yang
tengah terjadi. Bahkan tak jarang refleksi itu berupa tamparan kepada pembaca. Pada intinya Suminto
mengingatkan bahawa jangan kit melupakan identitas budaya kita. Refleksi tersebut sebagai cara untuk
memberitahu pembaca, sebenarnya dalam kehidupan berbudaya sudah mengalami banyak pergeseran.
Maka dari itu lewat puisi, Suminto mencoba mengajak pembaca untuk kembali ingat kepada asal muasal
maupun jati diri budaya kita. Agar kebudayaan kita tidak semakin tergerus oleh arus budaya lain yang
masuk. Hal tersebut juga sebagai benteng pertahanan kita dalam melestarikan khasanah budaya yang
ada pada masyarakat Indonesia.

Elly Azizatul M. masih aktif menjadi mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Aktif menjadi
Pustakawan Perpustakaan Mata Baca.
Bapak Pers yang Dibuang

Dalam sejarah pasti ada yang dikaburkan. Hal itulah yang terjadi pada Raden Mas Tirto Adhi Suryo.
Beliau dilupakan bahkan dihilangkan. Padahal dengan kalibernya yang begitu dasyat beliau mampu
membuat Belanda ketakutan.

Oleh Devi Apriliya Handayani

Pada tanggal 7 Desember 1918 merupakan hari dimana salah satu tokoh pejuang kemerdekaan
Indonesia berpulang ke pangkuan ilahi. Bukan hanya pejuan, beliau lah yang merintis perjuangan sejak
pertama kali. Akan tetapi mungkin tidak banyak orang lain mengerti tentang bagaimana dulu ia hidup
pada masanya. Bagaimana ia menjadi orang pertama yang berani mengorganisir massa untuk
menentang pemerintah kolonial Belanda. Hanya dia, yang dikaburkan sejarah hingga namanya tidak
begitu dikenal oleh rakyat Indonesia. Beliau adalah Raden Mas Tirto Adhi Suryo. Bapak pers Indonesia
yang dilupakan sejarah bahkan dibuang oleh bangsanya.

Tirto merupakan pemuda yang memiliki kepribadian yang jauh berbeda untuk orang seumuran dan
segolongannya. Beliau merupakan keturunan aristokrat jawa. Ayahnya bernama Raden Mas Tirtodipuro
yang juga merupakan bupati pada masa itu. Di masa mudanya, neneknyalah yang menempa Tirto
menjadi pribadi yang berani melawan ketidak adilan. Sikapnya keras dan tangguh menghadapi jalan
terjal yang ada di depannya. Oleh karena Tirto merupakan orang yang mengawali gerakan kemerdekaan
di Indonesia.

Tirto mendirikan banyak sekali organisasi. Soenda Berita dan Medan Priyayi yang merupakan lembaga
pers. Lewat itulah Tirto terus menerus melawan kolonial Belanda dengan tulisannya. Beliau menciptakan
sendiri gaya tulisannya. Tak jarang pihak kolonial Belanda melakukan penangkapan terhadap Tirto,
karena tulisannya bersifat provokatif. Sebenarnya Belanda takut dengan apa yang ditulis oleh Tirto.
Dikhawatirkan ketika rakyat pribumi membaca tulisan Tirto, mereka akan terprovokasi dan menyerang
Belanda. Makanya tidak mengherankan jika dalam kehidupan Tirto Adhi Suryo selalu keluar masuk
penjara dan tempat pengasingan.

Hingga kini, sepak terjang Tirto tidak ada yang mengetahuinya. Bahkan sekarang seakan nama Tirto Adhi
Suryo telah dilupakan dan dihilangkan. Kala itu Mas Marco salah satu murid Tirto yang setia
menggambarkan keadaan dimana gurunya dimakamkan. Dalam tulisannya Mas Marco menulis, “dengan
diantar rombongan sangat kecil jenazahnya dibawa ke peristirahatan terakhirnya di Mangga Dua.” Tak
satupun koran memuat kabar kematiannya. Ia benar-benar telah dilupakan oleh bangsanya, yang
dicintai, dan dididiknya untuk maju. Mengenaskan.
Illustrator Ahmad Wijayanto
Indeks……………………………………………………………….3

Salam Redaksi…………………………………………………… 3

Fokus

Konsepsi Pendidikan Indonesia………………………… 4

Refleksi

Sumpah Pemuda: Konstruksi Imajiner?............... 6

Pojok Pengajaran

Forum Diskusi Sarana Optimalisasi Prestasi……… 8

Prestasi

Gadis Muda dan Impiannya……………………………… 10

Sastra

Dongeng Baridin………………………………………………. 12

Resensi

Bangsal Sri Manganti: Puisi Reflektif…………………. 14

Profil

Bapak Pers yang Dibuang…………………………………. 15

Sastra

Kisah Ringkas tentang Sofia, Matematika,

Dan Persoalan Rumah Tangganya…………………….. 16

Opini

Sebuah Tanya untuk Mahasiswa ………………………. 18

Anda mungkin juga menyukai