Anda di halaman 1dari 49

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Peningkatan peran serta masyarakat dalam penanggulangan HIV AIDS cukup

penting, tetapi bukan satu-satunya cara. Salah satu kelompok yang perlu

mendapat perhatian sekaligus dapat dijadikan benteng pencegahan penyakit HIV

AIDS adalah keluarga (Dwiyanti dalam Hidayati,2014). Ibu sebagai anggota dari

sebuah keluarga, memiliki peranan penting dalam rumah tangga. Faktanya,

kecenderungan infeksi pada perempuan dan anak terus meningkat. Berdasarkan

data Kemenkes 90% bayi positif HIV di Indonesia tertular dari ibu yang terinfeksi

HIV (Mother to Child Transmission/ MTCT). Resiko penularan HIV AIDS pada

bayi dari Ibu ODHA dapat terjadi pada saat dalam kandungan, dilahirkan maupun

pemberian ASI (Kemenkes RI, 2013). Keluarga yang memiliki anggota keluarga

dengan HIV positif memeliki peranan penting untuk memberikan pemahaman

anggota keluarganya tentang media penularan HIV AIDS dan akibat sosial dari

penyakit HIV (Dwiyanti dalam Hidayati, 2014). Pemahaman keluarga tidak hanya

sebatas pada anggota keluarga yang positive HIV tetapi juga kemungkinan pada

bayi, apabila yang positive HIV adalah seorang perempuan usia subur. Informasi

yang harus dimiliki keluarga dengan perempuan usia subur yang positif HIV

meliputi informasi dasar HIV, perencanaan kehamilan, ARV pada ibu hamil,

perencanaan persalinan yang aman, profilaksis pada bayi dari Ibu ODHA serta
2

test HIV bagi bayi sesudah lahir (Kemenkes RI, 2013). Dukunga keluarga ODHA

dan partisipasi keluarga untuk melakukan tes HIV pada bayi dari ODHA, sangat

dipengaruhi oleh pengetahuan keluarga ODHA tentang penyakit HIV AIDS yang

diderita oleh angggota keluarganya (Sulastri, 2016).

Sejak tahun 2000, Indonesia telah dikategorikan sebagai Negara dengan tingkat

epidemi HIV terkonsentrasi, karena prevalensi telah lebih dari 5% pada sub

populasi tertentu. Penderita HIV positif di Indonesia sampai dengan bulan

desember 2016 mencapai 232.323 orang dan 2,2% dari jumlah tersebut berusia <

4 tahun, namun itu belum sepenuhnya menggambarkan total penderita HIV yang

ada karena faktanya banyak masyarakat yang pengetahuannya kurang ataupun

belum memiliki kesadaran sehingga belum melakukan test HIV. Padahal test HIV

apalagi pada anak dari ODHA merupakan hal yang penting untuk perencanaan

perawatan pada anak sesuai dengan program Pencegahan Penularan dari Ibu ke

Anak (Ditjen P2P Kemenskes RI, 2016). Berdasarkan penelitian hidayati (2014)

di Semarang, sejumlah 16, 67% keluarga memiliki pengetahuan rendah tentang

penularan HIV AIDS. Data pendampingan kasus HIV di wilayah UPTD

puskesmas Pagu tahun 2016 menunjukkan terdapat 4 keluarga yang belum

memahami tentang penularan HIV, dan terdapat 2 anak dari ODHA di wilayah

Puskesmas Pagu yang belum bersedia dilakukan test HIV.

Penyebab utama anak dari Ibu terinfeksi HIV tidak dilakukan tes HIV karena

keluarga tidak memahami tentang penularan HIV dari ibu ke anak. Keluarga

cenderung menganggap selama anaknya tidak ada gejala sakit berat maka tidak
3

tertular HIV (Kemenkes, 2013). Padahal untuk menegakkan diagnosis HIV pada

anak tidak hanya berdasarkan gejala klinis, tetapi melalui test laboratorium.

(Nursalam, 2007). Akibatnya apabila anak dari Ibu terinfeksi HIV tidak dilakukan

pemeriksaan/ tes HIV selain dapat memperlama terapi profilaksis juga membuat

perencanaan perawatan pada anak tidak sesuai dengan kebutuhannya karena anak

belum diketahui status HIV nya. Anak yang belum diketahui status HIV nya juga

beresiko menularkan virus kepada orang lain melalui cairan tubuh maupun luka

apabila yang merawat tidak merawat dengan benar karena tidak diketahuinya

status HIV anak tersebut (Kemenkes, 2013).

Pada orang terinfeksi HIV sebelum, selama hamil maupun sudah melahirkan,

perlu mendapatkan pendidikan kesehatan mengenai informasi dasar HIV,

perencanaan kehamilan, ARV pada ibu hamil, perencanaan persalinan yang aman,

profilaksis pada anak dari Ibu ODHA serta test HIV bagi anak. Informasi tersebut

akan membantu Ibu dan keluarga dalam keputusan dan intervensi lanjutan seperti

profilaksis pada anak selama belum diketahui status HIV nya serta pemberian

ASI. Anak yang lahir dari Ibu terinfeksi HIV memerlukan terapi ARV selama 2

bulan, dan dilanjutkan dengan profilaksis Cotrimoksazole sampai dengan anak

tersebut diketahui status HIV nya melalui tes. Maka Dukungan keluarga dalam

bentuk dukungan instrumental berupa merawat, mengatar kontrol, membantu

financial dan menyiapkan obat, serta dukungan informattif dalam bentuk saran

dan nasehat kepada ODHA tentang pengobatan maupun tes HIV bagi anak sangat

tergantung terhadap pengetahuan keluarga tentang HIV AIDS. Sehingga


4

pengetahuan keluarga tentang HIV dapat membantu ODHA dalam mengambil

keputusan berkaitan dengan penyakitnya (Budiarti, 2016). Kementrian Kesehatan

telah mencanangkan dan melaksanakan Kampanye Sosial ABCDE (Abstinence:

absen berhubungan yang beresiko bila diketahui pasangan memiliki potensi

penyakit menular seksual; Be Faithful: setia pada pasangan (tidak jajan, tidak

gonta ganti pasangan); Condom: menggunakan kondom jika beresiko; Drugs:

menghindari penggunaan Narkoba; Equipment: tersedia alat perlengkapan umum

yang steril. Pemerintah juga telah membuat program PMTCT (Prevention Mother

to Child Transmission) yang biasa disebut dengan PPIA (Pencegahan Penularan

dari Ibu Ke Anak) dalam upaya mencegah penularan HIV dari Ibu ke Anak.

Indikator dalam program PPIA salah satunya adalah prosentasi bayi lahir dari Ibu

HIV dilakukan test HIV baik virologis dan atau serologis (Kemenkes RI, 2013).

Namun pelaksanaan kampanye ABCD dan PPIA tersebut masih terbatas pada

aspek medis di pelayanan kesehatan, sehingga perlu dilengkapi dengan aspek

rehabilitasi sosial dan dukungan kepada ODHA dan lingkungan sosial untuk

meningkatkan peran serta keluarga dalam Konseling test HIV (Komisi

Penanggulangan AIDS, 2007).

Selain kampanye sosial ABCDE dan program PMTCT/ PPIA sebagai bentuk

program pemerintah masih diperlukan pendekatan persuasif kepada keluarga

ODHA. Hal ini sesuai dengan Teori HPM Nola J pender yang menyatakan bahwa

keluarga, kelompok dan pemberi layanan kesehatan adalah sumber interpersonal

penting yang mempengaruhi untuk berperilaku promosi kesehatan. Oleh karena

itu melalui penelitian ini diharapkan peneliti mendapatkan fakta tentang intervensi
5

Health Education dengan strategi pendekatan keluarga pada masalah defisit

pengetahuan tentang tes HIV Anak pada keluarga ODHA melalui pendekatan

teori Health Promotion Model Nola J Pender sehingga hasil penelitian bermanfaat

untuk rencana pendampingan keluarga ODHA di Wilayah Kecamatan Pagu

ditahun yang akan datang.

1.2. Rumusan Masalah

Dukunga keluarga ODHA sangat dipengaruhi oleh pengetahuan keluarga

ODHA tentang penyakit HIV AIDS. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk

meningkatkan pengetahuan keluarga adalah dengan Health Education melalui

pendekatan keluarga, agar keluarga bersedia melakukan tes HIV pada anak.

Untuk itu peneliti ingin mengetahui bagaimana intervensi Helath Education

dengan strategi pendekatan keluarga pada masalah defiisit pengetahuan keluarga

ODHA tentang Tes HIV anak pada keluarga ODHA melalui pendekatan teori

Health Promotion Model Nola J Pender di Kecamatan Pagu Kabupaten Kediri?

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui manfaat Health Education dengan strategi pendekatan

keluarga pada masalah defiisiensi pengetahuan keluarga ODHA tentang

Tes HIV anak pada keluarga ODHA melalui pendekatan teori Health

Promotion Model Nola J Pender di Kecamatan Pagu Kabupaten Kediri

1.3.2 Tujuan Khusus


6

1) Mengidentifikasi asuhan keperawatan dengan intervensi health

education dengan pendekatan keluarga pada masalah defiisiensi

pengetahuan keluarga ODHA tentang Tes HIV anak pada keluarga

ODHA melalui pendekatan teori Health Promotion Model Nola J

Pender di Kecamatan Pagu Kabupaten Kediri pada kasus 1

2) Mengidentifikasi asuhan keperawatan dengan intervensi health

education dengan pendekatan keluarga pada masalah defiisiensi

pengetahuan keluarga ODHA tentang Tes HIV anak pada keluarga

ODHA melalui pendekatan teori Health Promotion Model Nola J

Pender di Kecamatan Pagu Kabupaten Kediri pada kasus 2

3) Menganalisis asuhan keperawatan intervensi health education dengan

pendekatan keluarga pada masalah defiisiensi pengetahuan keluarga

ODHA tentang Tes HIV anak pada keluarga ODHA melalui

pendekatan teori Health Promotion Model Nola J Pender di

Kecamatan Pagu Kabupaten Kediri pada kasus 1 dan 2

1.4. Manfaat Penulisan

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan praktis:

1.4.1 Manfaat teoritis

Untuk mengembangkan keilmuan khususnya dalam bidang keperawatan

terkait dengan pengetahuan HIV AIDS Manfaat Praktis:

1) Peneliti:
7

Memberikan motivasi untuk mengembangkan ilmu keperawatan serta

sebagai data dasar untuk perencanaan kegiatan pendampingan ODHA

di Puskesmas sebagai tempat peneliti bekerja.

2) Objek yang diteliti:

Memberikan stimulus positif untuk meningkatkan motivasi partisipan

dalam mendapatkan informasi yang aktual tentang penyakit dan

manfaat konseling tes HIV pada anak dari ODHA.

3) Institusi Pendidikan

Memberikan kontribusi pengetahuan dan wawasan kependidikan

dalam bidang keperawatan.

4) Instansi Kesehatan:

Memberikan kontribusi bagi instansi kesehatan dalam bentuk

intervensi teori model keperawatah untuk melakukan analisa kegiatan

yang perlu direncanakan pada tahun berikutnya sesuai dengan fakta

yang ditemukan di lapangan.

5) Instansi Pemerintah

Memberikan fakta pentingnya pendidikan kesehatan bagi keluarga

ODHA di desa Kecamatan Pagu sebagai bahan kajian perencanaan

di tingkat desa dan Kecamatan Pagu.


8

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori ODHA

2.1.1 Definisi ODHA

Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) adalah sebutan untuk orang yang di

dalam tubuhnya telah terinfeksi virus HIV/AIDS yang diketahui melalui


9

pemeriksaan laboratorium (Depkes RI, 2006). ODHA (Orang Dengan

HIV/AIDS) didefinisikan sebagai seseorang yang telah terinfeksi oleh virus

HIV atau yang telah mulai menampakkan satu atau lebih gejala AIDS.

Rentang waktu dari seseorang terinfeksi sampai muncul gejala klinis bisa

sangat bervariasi antara 8 sampai 10 tahun, yang disebut sebagai masa

inkubasi, yang dalam terminologi penyakit HIV/AIDS biasa disebut juga

sebagai window period (Klatt, 2006). Untuk membuktikan bahwa seseorang

telah terinfeksi HIV, harus dilakukan pemeriksaan atau tes HIV, yang biasa

dilakukan menggunakan metode pengujian Western Bolt yang bisa

mendeteksi antibodi HIV pada serum, plasma, cairan mulut, darah kering,

maupun urine pasien. Sebelum dan setelah melakukan tes HIV, seseorang

harus mendapatkan penyuluhan (konseling). Tes HIV tidak boleh dilakukan

tanpa adanya persetujuan dan berdasarkan informasi lengkap (informed

consent) dari yang bersangkutan (Klatt, 2006). Menurut Kristina (dalam

Nursalam, 2007) ODHA adalah Orang Dengan HIV/AIDS yaitu orang yang

terinfeksi HIV/AIDS, yang dalam bahasa Inggris disebut PLWHA (People

Living With HIV/AIDS).

2.1.2 Definisi HIV/ AIDS

AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) adalah kumpulan gejala

penyakit yang timbul akibat menurunhya sistem kekebalan tubuh manusia

yang didapat (bukan karena keturunan) tetapi disebabkan oleh virus HIV
10

(Maryunani, 2009). Aquired Immune Deficiency Syndrome adalah penyakit

yang merupakan kumpulan gejala akibat menurunnya sistem kekebalan

tubuh yang terjadi karena seseorang terinfeksi virus HIV. Sedangkan HIV

adalah singkatan dari Human Immuno Virus’ yang berarti virus yang

menyerang sistem kekebalan tubuh manusia. Hal ini bisa terjadi karena HIV

merupakan family retrovirus, yang menyerang sistem kekebalan tubuh

terutama limfosit. Oleh karena HIV merusak sel-sel darah putih, lama

kelamaan sistem kekebalan tubuh manusia pun ambruk. Pada saat itulah

berbagai penyakit yang dibawa virus, kuman, bakteri dan lain-lain sangat

mudah menyerang seseorang yang sudah terinfeksi HIV. Jadi, HIV adalah

virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan kemudian

menimbulkan AIDS ( Nugroho, 2010).

Perbedaan antara penderita HIV positif dengan penderita AIDS adalah

Kalau penderita HIV positif adalah seseorang yang tertular virus HIV,

nampak sehat tanpa gejala penyakit apapun, tetapi dapat menularkan virus

HIV kepada orang lain. Sedang penderita AIDS adalah seseorang yang

menunjukkan gejala dari sekumpulan penyakit yang setelah sekian waktu

terinfeksi HIV, dan biasanya timbul antara 5-10 tahun setelah tertular HIV

(Maryunani, 2009).

2.1.3 Penularan HIV/AIDS


11

Menurut (Maryunani, 2009) sebenarnya virus HIV itu tidak mudah menular

seperti penularan virus influenza karena virus HIV ini terdapat di dalam

darah, cairan sperma, cairan vagina dan sedikit dalam ASI pengidap

HIV/AIDS. Cara penularan HIV/AIDS dapat terjadi melalui:

1. Hubungan seksual dengan pengidap HIV

Penularan melalui hubungan seksual dengan pengidap HIV tanpa

perlindungan, yang dimaksud hubungan seksual di sini adalah hubungan

yang dilakukan secara vaginal, anal, dan oral. Hubungan oral adalah

hubungan seksual yang menggunakan mulut sebagai pengganti vagina

mempunyai risiko lebih kecil dibandingkan hubungan vaginal atau anal.

Kalau tidak memakai kondom, seorang pengidap bisa menularkan virus

ini, selama hubungan kelamin berlangsung, air mani, cairan vagina dan

kadang darah mengenai selaput lendir vagina, penis, dubur atau mulut.

Akibatnya, HIV yang terdapat dalam cairan-cairan tersebut dapat

meresap kedalam aliran darah. Saat berhubungan seksual juga sering

terjadi lecet-lecet yang ukurannya mikroskopis (hanya dapat dilihat

dengan mikroskop) pada dinding vagina, kulit penis, dubur dan mulut

yang bisa menjadi jalan bagi virus HIV untuk masuk ke aliran darah

pasangannya.

2. Darah yang sudah tercemar HIV.

Orang terjangkit HIV jika darah yang tercemar HIV masuk dalam darah

mereka, darah yang tercemar ini dapat masuk ke tubuh mereka melalui

suatu transfusi darah (penerimaan darah atau produk darah) yang


12

tercemar. Darah yang tercemar ini dapat pula berasal dari suatu jarum

(jarum suntik, tindik, tato) atau pisau yang telah digunakan pada

seseorang yang telah kejangkit HIV dan tidak disterilkan setelah

digunakan. Penularan HIV dengan cara ini banyak sekali terjadi pada

mereka yang kecanduan narkoba yang dusuntikkan.

3. Penularan dari ibu pengidap HIV kepada Bayi atau Anak mereka.

Penularan HIV dari ibu ke bayi dapat terjadi:

a. Selama kehamilan

Ketika janin masih dalam kandungan ibu dengan resiko kejadian 5-

10%.

b. Selama persalinan

Dengan resiko kejadian 10-20%,sebagian besar penularan HIV dari

ibu ke bayi terjadi pada saat persalinan. Hal ini disebabkan karena

pada saat proses persalinan, tekanan pada plasenta, terutama

plasenta yang mengalami peradangan atau terinfeksi meningkat

menyebabkan terjadinya sedikit percampuran antara darah ibu

dengan darah bayi. Penularan HIV dari ibu ke bayi dapat pula

terjadi pada saat bayi terpapar oleh darah dan lendir ibu di jalan

lahir. Hal ini disebabkan karena:

1) Kulit bayi baru lahir masih sangat lemah dan lebih mudah

terinfeksi bila kontak dangan HIV.

2) Kemungkinan bayi menelan darah atau lendir ibu sehingga bayi

dapat terinfeksi HIV.


13

3) Selama Menyusui (Setelah Melahirkan)

Bayi tertular melalui pemberian Air Susu Ibu (ASI) yang

mengidap HIV dengan resiko kejadian 10-15%. Berkenaan

dengan bayi dan anak-anak, berbagai sumber mengungkapkan

adanya fakta-fakta sebagai berikut:

4) HIV dapat di transmisikan kepada seorang bayi selama

kehamilan atau pada saat melahirkan.

5) Seorang ibu yang terinfeksi HIV berkemungkinan memperoleh

bayi dengan HIV dengan perbandingan 1:4 untuk setiap

kehamilan.

6) HIV dapat diteruskan kepada seorang bayi melalui proses

menyusui dari seorang ibu yang terinfeksi HIV.

7) Anak-anak dan remaja dapat memperoleh HIV dari kontak

cairan darah atau cairan tubuh atau melalui seks yang meliputi

kekerasan seksual, pemaksaan atau eksploitasi seks untuk

tujuan komersial.

Sedang menurut (Nugroho, 2010) penularan HIV yang tersebut

diatas bahwa transpalantasi jaringan atau organ dari penderita

HIV itu juga bisa menyebabkan penularan HIV. Menurut

Kristina (dalam Nursalam 2007) menyimpulkan bahwa HIV

itu tidak begitu mudah menular dan penularannya dapat

dicegah apabila diambil langkah yang tepat, yaitu memakai

kondom bila berhubungan seksual dengan orang yang tidak


14

diketahui status HIVnya, skrining darah, dan pemakaian alat

suntik yang disterilisasi. HIV sangat mudah mati di luar tubuh

manusia dan sangat sensitif terhadap suhu. Pada suhu 60º

celcius HIV sudah mati.

2.1.4 HIV Tidak Menular Melalui:

1. Hidup serumah dengan penderita AIDS (asal tidak mengadakan

hubungan seksual).

2. Makan, minum bersama dengan penderita dan peralatan makan

seperti piring, sendok, garpu, gelas, sumpit dan lain-lain yang

dipakai bersama dengan pengidap HIV.

3. Bersentuhan dengan pakaian dan barang-barang lain bekas

penderita AIDS seperti handuk, saputangan, sisir rambut, sprei

dan kakus/WC.

4. Meraba, memeluk, bersalaman, menangis, duduk berdekatan atau

berpegangan sama penderita dengan cara biasa.

5. Berpelukan atau berciuman dengan orang yang terinfeksi HIV

(kalau sedang menderita sariawan atau luka lain dimulut,

disarankan tidak berciuman dengan mulut).

6. Penderita AIDS bersin atau batuk didekat kita.

7. Bersama-sama renang dikolam renang.


15

8. Gigitan serangga seperti nyamuk, kupu-kupu, tawon, kunang-

kunang, dan lain-lain yang menyentuh orang yang terinfeksi HIV,

kemudian hinggap pada orang lain tidak akan menularkan HIV.

9. Penggunaan telepon dan lain-lain (Maryunani, 2009)

2.1.5 Penularan HIV dari Ibu ke Anak / MTCT (Mother to Child

Transmission)

Penularan dari ibu ke bayi dapat terjadi melalui:

1. Penularan selama kehamilan

Plasenta melindungi bayi, tetapi perlindungan akan menjadi tidak

fektif bila ibu mengalami infeksi virus atau bakteri selama

kehamilan, terinfeksi HIV selama kehamilan, mempunyai daya

tahan tubuh yang menurun berkaitan dengan AIDS, mengalami

malnutrisi selama kehamilan.

2. Penularan HIV selama proses kelahiran

Sebagian besar bayi tertular HIV pada proses persalinan

diakibatkan melalui proses menelan atau mengaspirasi darah Ibu

atau sekresi vagina. Faktor yang mempengaruhi tingginya proses

penularan selama kelahiran yaitu: lama robeknya selaput ketuban

berkaitan dengan ketuban pecah dini, Chorioamnionitis akut,

teknik infeasif saat melahirkan yang meningkatkan kontak bayi


16

dengan darah ibu contoh episiotomi, ekstraksi forceps, mapun

vacum.

3. Penularan HIV setelah persalinan (saat pemberian ASI)

HIV juga terdapat dalam ASI namun konsentrasi virusnya lebih

rendah bila dibandingkan dalam darah. Tingkat penularan HIV

dengan menyusui adalah 5-20%

2.1.6 Program PMTCT/ PPIA ( Prevention Mother to Child Transmission/

Pencegahan Penularan Ibu ke Anak )

Terdapat 4 (empat) komponen atau prong yang harus diupayakan

untuk mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu ke anak. Empat

prong tersebut adalah :

a. Pencegahan penularan HIV pada perempuan usia reproduksi

b. Pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan pada ibu HIV

positif;

c. Pencegahan penularan HIV dari ibu hamil HIV positif ke bayi

yang dikandungnya;

d. Pemberian dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu

HIV positif beserta anak dan keluarganya. Prong keempat

merupakan upaya lanjutan dari tiga prong sebelumnya.


17

2.1.6.1 Prong 1 : Pencegahan Penularan HIV pada Perempuan Usia

Reproduksi

Langkah dini yang paling efektif untuk mencegah terjadinya

penularan HIV pada anak adalah dengan mencegah

perempuan usia reproduksi dari tertular HIV. Strategi ini bisa

juga dinamakan pencegahan primer (primary prevention).

Pendekatan pencegahan primer bertujuan untuk mencegah

penularan HIV dari ibu ke anak secara dini, bahkan sebelum

terjadinya hubungan seksual. Artinya, mencegah perempuan

muda usia reproduksi, ibu hamil dan pasangannya agar tidak

terinfeksi HIV. Untuk menghindari penularan HIV,

pemerintah dan berbagai lembaga swadaya masyarakat

menggunakan konsep “ABCD”, yaitu :

A (Abstinence), artinya Absen seks ataupun tidak melakukan

hubungan seks bagi orang yang belum menikah

B (Be Faithful), artinya Bersikap saling setia kepada satu

pasangan seks (tidak berganti-ganti pasangan);

C (Condom), artinya cegah penularan HIV melalui hubungan

seksual dengan menggunakan kondom.

D (Drug No), artinya Dilarang menggunakan narkoba.

2.1.6.2 Prong 2: Pencegahan Kehamilan yang Tidak Direncanakan

pada Perempuan HIV Positif


18

Pada dasarnya perempuan dengan HIV positif tidak disarakan

untuk hamil. Untuk itu perlu adanya layanan konseling dan

tes HIV serta sarana kontrasepsi yang aman dan efektif untuk

pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan. Konseling

yang berkualitas serta penggunaan alat kontrasepsi yang aman

dan efektif akan membantu perempuan HIV positif dalam

melakukan hubungan seks yang aman, serta menghindari

terjadinya kehamilan yang tidak direncanakan. Ibu HIV

positif akan yakin untuk tidak menambah jumlah anak karena

mempertimbangkan risiko penularan pada bayi yang

dikandungnya. Dengan adanya kemajuan intervensi PPIA, ibu

HIV positif dapat merencanakan kehamilannya dan dapat

diupayakan agar anak yang dikandungnya tidak terinfeksi

HIV. Konselor memberikan informasi yang lengkap tentang

berbagai kemungkinan yang dapat terjadi, baik tentang

kemungkinan terjadinya penularan, peluang anak untuk tidak

terinfeksi HIV, juga konseling bahwa wanita HIV positif yang

belum terindikasi terapi ARV bila memutuskan untuk hamil

akan menerima ARV seumur hidupnya. Namun ibu HIV

positif yang berhak menentukan keputusannya sendiri setelah

berdiskusi dengan suami atau keluarganya. Perlu diingat

bahwa infeksi HIV bukan merupakan indikasi aborsi.

Sebagian besar ibu di Indonesia mempunyai keinginan kuat


19

untuk memiliki anak. Seorang ibu akan kehilangan status

sosialnya jika tidak mampu melahirkan anak. Jika kondisi

fisik ibu HIV positif cukup baik, risiko penularan HIV dari

ibu ke anak sebenarnya menjadi kecil. Artinya, ia mempunyai

peluang besar untuk memiliki anak HIV negatif. Namun

untuk ibu HIV positif yang memiliki banyak tanda penyakit

dan gejala AIDS akan lebih berisiko menularkan HIV ke

anaknya, sehingga ibu tersebut perlu mendapatkan pelayanan

konseling secara cermat untuk memastikan bahwa mereka

benar-benar paham akan risiko tersebut. Jika ibu HIV positif

ingin menunda kehamilan, alat kontrasepsi yang dianjurkan

adalah kontrasepsi jangka pendek (PIL, suntik) atau

kontrasepsi jangka panjang (IUD,implant) dan didampingi

penggunaan kondom untuk mencegah terjadinya penularan

infeksi HIV dan IMS. Dan jika memutuskan tidak mempunyai

anak lagi, dianjurkan kontrasepsi mantap/sterilisasi

(tubektomi atau vasektomi) disertai penggunaan kondom.

2.1.6.3 Prong 3: Pencegahan Penularan HIV dari Ibu Hamil HIV

Positif ke Anak

Strategi pencegahan penularan HIV pada ibu hamil yang telah

terinfeksi HIV ini merupakan inti dari intervensi pencegahan

penularan HIV dari ibu ke anak.


20

Bentuk-bentuk intervensi tersebut adalah :

Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak yang komprehensif

a. Layanan konseling dan tes HIV atas inisiatif petugas

kesehatan

b. Pemberian terapi antiretroviral

c. Persalinan yang aman

d. Tatalaksana pemberian makanan terbaik bagi bayi dan

anak

e. Mengatur kehamilan dan mengakhiri reproduksi

Kontrasepsi pada ibu/perempuan HIV positif (dual

protection): Menunda/mengatur kehamilan = kontrasepsi

janga pendek + kondom

f. Pemberian ARV profilaksis pada anak selama 2 bulan dan

dilanjutkan dengan cotrimoksazole sampai anak tersebut

dites HIV dan dinyatakan negatif.

g. Pemeriksaan diagnostik pada anak. Tiap-tiap jenis

intervensi tersebut berbeda dalam hal biaya, keberhasilan,

maupun kemudahan menjalankannya. Semua jenis

intervensi tersebut akan mencapai hasil yang efektif jika

dijalankan secara berkesinambungan. Kombinasi intervensi

tersebut merupakan strategi yang paling efektif untuk


21

mengidentifikasi perempuan yang terinfeksi HIV serta

mengurangi risiko penularan HIV dari ibu ke anak pada

periode kehamilan, persalinan dan pasca kelahiran.

2.1.6.4 Prong 4: Pemberian Dukungan Psikologis, Sosial dan

Perawatan kepada Ibu HIV Positif Beserta Anak dan

Keluarganya.

Upaya pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak tidak

terhenti setelah ibu melahirkan. Ibu tersebut akan terus

menjalani hidup dengan HIV di tubuhnya, ia membutuhkan

dukungan psikologis, sosial dan perawatan sepanjang waktu.

Hal ini terutama karena si ibu akan menghadapi masalah

stigma dan diskriminasi masyarakat terhadap ODHA. Sangat

penting dijaga faktor kerahasiaan status HIV si ibu. Dukungan

juga harus diberikan kepada anak dan keluarganya.

Beberapa hal yang mungkin dibutuhkan oleh ibu HIV positif

antara lain:

a. Pengobatan ARV jangka panjang.

b. Pengobatan gejala penyakitnya.

c. Pemeriksaan kondisi kesehatan dan pemantauan terapi

ARV (termasuk CD4 ataupun viral load ).


22

d. Konseling dan dukungan untuk kontrasepsi dan

pengakhiran reproduksi.

e. Informasi dan edukasi pemberian makanan bayi.

f. Pencegahan dan pengobatan infeksi oportunistik untuk

diri dan bayinya.

g. Penyuluhan kepada anggota keluarga tentang cara

penularan HIV dan pencegahannya.

h. Layanan klinik dan rumah sakit yang bersahabat.

i. Dukungan teman-teman sesama HIV positif, terlebih

sesama ibu HIV positif.

j. Adanya pendamping saat sedang dirawat.

k. Dukungan dari pasangan.

l. Dukungan kegiatan peningkatan ekonomi keluarga

Dukungan perawatan dan pendidikan bagi anak

Dengan dukungan psikososial yang baik, ibu HIV

positif akan bersikap optimis dan bersemangat

mengisi kehidupannya. Diharapkan ia akan bertindak

bijak dan positif untuk senantiasa menjaga kesehatan

diri dan anaknya. Dan berperilaku sehat agar tidak

terjadi penularan HIV dari dirinya ke orang lain.

Informasi tentang adanya layanan dukungan


23

psikososial untuk ODHA ini perlu diketahui oleh

masyarakat luas, termasuk para perempuan usia

reproduktif. Diharapkan informasi ini bisa

meningkatkan minat mereka yang merasa berisiko

tertular HIV untuk mengikuti konseling dan tes HIV

agar mengetahui status HIV mereka (Pedoman PPIA

Kemenkes, 2011).

2.1.7 Layanan Konseling dan Tes HIV

Layanan konseling dan tes HIV dilakukan melalui pendekatan

Provider Initiated Test and Counceling (PITC) dan Voluntary

Counseling and Testing (VCT), yang merupakan komponen penting

dalam upaya pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak.

Cara untuk mengetahui status HIV seseorang adalah melalui tes

darah, tes terdiri atas 2 jenis yaitu tes antibodi dan tes PCR RNA.

Tes antibody sendiri terbagi menjadi 3 metode yaitu ELISA, rapid

test, dan western blot. Kelemahan dalam test antibody adalah apabila

pasien sedang dalam periode jendela dimana antibodi dalam tubuh

belum terbentuk maka hasilnya masih terlihat negatif, padahal orang

tersebut sudah memiliki virus HIV dalam tubuhnya. Sedangkan tes

PCR RNA (Polymerase Cgain Reaction) lebih mampu menunjukkan


24

hasil yang sesungguhnya meskipun masih dalam periode jendela

karena menggunakan enzim.

Prosedur pelaksanaan tes darah didahului dengan konseling sebelum

dan sesudah tes (counseling), menjaga kerahasiaan (confidensiality)

serta adanya persetujuan tertulis (informed consent). Jika status HIV

sudah diketahui, untuk ibu dengan status HIV positif dilakukan

intervensi agar ibu tidak menularkan HIV kepada bayi yang

dikandungnya. Untuk yang HIV negatif, mereka juga mendapat

konseling tentang bagaimana menjaga perilakunya agar tetap

berstatus HIV negatif. Layanan konseling dan tes HIV tersebut

dijalankan di layanan HIV-AIDS, layanan Kesehatan Ibu dan Anak

dan layanan Keluarga Berencana di tiap jenjang pelayanan kesehatan.

Pelaksanaan konseling dan tes HIV untuk pencegahan penularan HIV

pada wanita mengikuti Pedoman Nasional Konseling dan Tes HIV.

Tes HIV merupakan pemeriksaan rutin yang ditawarkan kepada ibu

hamil. Ibu hamil menjalani konseling dan diberikan kesempatan

untuk menetapkan sendiri keputusannya untuk menjalani tes HIV

atau tidak. Layanan tes HIV untuk program PPIA dipromosikan dan

dimungkinkan tidak hanya untuk perempuan, namun juga

diperuntukan bagi pasangan laki-lakinya. Pada tiap jenjang layanan

kesehatan yang memberikan konseling dan tes HIV dalam paket


25

pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak dan layanan Keluarga Berencana,

harus ada petugas yang mampu memberikan konseling sebelum dan

sesudah tes HIV. Di layanan Kesehatan Ibu dan Anak dan layanan

Keluarga Berencana yang memberikan layanan konseling dan tes

HIV, konseling pasca tes (post-test counseling) bagi perempuan HIV

negatif diberikan informasi dan bimbingan untuk tetap HIV negatif

selama kehamilan, menyusui dan seterusnya. Pada tiap jenjang

pelayanan kesehatan tersebut harus terjamin aspek kerahasiaan ibu

hamil ketika mengikuti proses konseling sebelum dan sesudah tes

HIV.

Peningkatan pemahaman tentang dampak HIV pada ibu hamil, akan

membuat adanya dialog yang lebih terbuka antara suami dan

istri/pasangannya tentang perilaku seks aman. Sebaiknya, materi

penularan HIV dari ibu ke anak menjadi bagian dari pelatihan

keterampilan hidup (life skill training) bagi remaja sehingga sejak

dini mereka belajar tentang cara melindungi keluarga mereka kelak

dari ancaman penularan HIV. Informasi tentang pencegahan

penularan HIV dari ibu ke anak juga penting disampaikan kepada

masyarakat luas untuk memperkuat dukungan kepada perempuan

yang mengalami masalah seputar penularan HIV (Kemenkes, 2013)


26

2.2 Konsep Keluarga

2.2.1 Definisi Keluarga

Keluarga adalah bagian masyarakat yang peranannya sangat penting untuk

membentuk kebudayaan yang sehat. Dari keluarga inilah pendidikan

kepada individu dimulai dan dari keluarga akan tercipta tatanan masyarakat
27

yang baik, sehingga untuk membangun suatu kebudayaan maka

seyogyanya dimulai dari keluarga (Setiadi, 2008).

Bailon dan Malagya dalam Sudiharto (2007) mendefinisikan sebagai

berikut : “Keluarga adalah dua atau lebih individu yang tinggal dalam satu

rumah tangga karena adanya bhubungan darah, perkawinan ataua adopsi.

Mereka saling berinteraksi satu sama yang lainnya, mempunyai peran

masing-masing menciptakan dan mempertahankan suatu buidaya”.

Menurut Departemen Kesehatan tahun 1988 dalam Sudiharto (2007)

keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala

keluarga serta beberapa orang berkumpul dan tinggal di satu atap dengan

keadaan saling bergantungan.

Menurut Syafrudin (2010) keluarga adalah sekumpulan orang dengan

ikatan perkawinan, kelahiran, dan adopsi yang bertujuan untuk

menciptakan, mempertahankan budaya dan meningkatkan perkembangan

fisik, mental, emosional serta sosial tiap anggota keluarga

2.2.2 Ciri-ciri keluarga

Robert Maclver dan Charles Morton Page yang dikutip oleh Ali (2010)

menjelaskan ciri-ciri keluarga sebagai berikut :

a. Keluarga merupakan hubungan perkawinan.


28

b. Keluarga berbentuk suatu kelembagaan yang berkaitan dengan

hubungan perkawinan yang sengaja dibentuk atau dipelihara.

c. Keluarga mempunyai suatu sistem tata nama (nomenclatur),

termasuk perhitungan garis keturunan.

d. Keluarga mempunyai fungsi ekonomi yang dibentuk oleh anggota-

anggotanya berkaitan dengan kemampuan untuk mempunyai

keturunan dan membesarkan anak.

e. Keluarga mempunyai tempat tinggal bersama, rumah, atau rumah

tangga.

2.2.3 Tipe Keluarga

Menurut Friedman (1986) yang dikutip oleh Ali (2010) membagi tipe

keluarga seperti berikut ini :

a. Nuclear family (keluarga inti) terdiri dari orang tua dan anak yang

masih menjadi tanggungannya dan tinggal dalam satu rumah,

terpisah dari sanak keluarga lainnya.

b. Extended family (keluarga besar) yaitu satu keluarga yang terdiri

dari satu atau dua keluarga inti yang tinggal dalam satu rumah dan

saling menunjang satu sama lain.

c. Single parent family yaitu satu keluarga yang dikepalai oleh satu

kepala keluarga dan hidup bersama dengan anak-anak yang masih

bergantung kepadanya.
29

d. Nuclear dyed yaitu keluarga yang terdiri dari sepasang suami istri

tanpa anak, tinggal dalam satu rumah yang sama.

e. Blanded family yaitu suatu keluarga yang terbentuk dari perkawinan

pasangan yang masing-masing pernah menikah dan membawa anak

hasil perkawinan terdahulu.

f. Three generation family yaitu keluarga yang terdiri dari tiga

generasi yaitu kakek, nenek, bapak, ibu, dan anak dalam satu

rumah.

g. Single adult living alone yaitu bentuk keluarga yang hanya terdiri

dari satu orang kos-kosan yang hidup dalam rumahnya.

h. Midle age atau elderly coupleyaitu keluarga yang terdiri dari

pasangan suami-istri paruh baya.

2.2.4 Fungsi Keluarga

Menurut Mariam dan Jhonson (2008; h. 42) macam- macam fungsi

keluarga yaitu:

a. Fungsi biologis

Meneruskan keturunan, memelihara dan membesarkan anak,

memenuhi kebutuhan gizi memelihara dan merawat kesehatan.

b. Fungsi psikologis
30

Suami memberikan kasih sayang dan rasa aman, memberikan

perhatian kepada anggota keluarga terutama kepada istri.

c. Fungsi ekonomi

Mencari sumber penghasilan keluarga, mengatur penggunaan

keuangan, menabung untuk kebutuhan keluarga, kebutuhan makan

dan minuman, pakaian, tempat tinggal.

d. Fungsi perasaan

Dilihat dari bagaimana keluarga merasakan perasaan dan suasana

anak dan anggota yang lain dalam berkomunikasi dan berinteraksi

antar sesama anggota keluarga.

e. Fungsi agama

Dilihat dari bagaimana keluaga memperkenalkan dan mengajak

anak dan anggota kelurga lain melalui kepala keluarga menanamkan

keyakinan yang mengatur kehidupan kini dan kehidupan lain

setelah dunia.

Secara umum fungsi keluarga (Friedman, 1998) yang dikutip oleh

Setyowati dan Murwani (2007: h. 29) adalah sebagai berikut:

a. Fungsi afektif (the affective function)


31

Adalah fungsi keluarga yang utama untuk mengajarkan segala

sesuatu untuk mempersiapkan anggota keluarga berhubungan

dengan orang lain. Fungsi ini dibutuhkan untuk perkembangan

individu dan psikososial anggota keluarga.

b. Fungsi sosialisasi dan tempat sosialisasi (sosialitation and sosial

placement function)

Adalah fungsi mengembangkan dan tempat melatih anak untuk

berkehidupan sosial sebelum meninggalkan rumah untuk

berhubungan dengan orang lain di luar rumah.

c. Fungsi reproduksi (the reproduktif function)

Adalah fungsi untuk mempertahankan generasi dan menjaga

kelangsungan keluarga.

d. Fungsi ekonomi (the economic function)

yaitu keluarga berfungsi memenuhi kebutuhan keluarga secara

ekonomi dan tempat untuk mengembangkan kemampuan individu

meningkatkan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga.


32

e. Fungsi perawatan / pemeliharaan kesehatan (the health care

function)

yaitu fungsi untuk mempertahankan keadaan kesehatan anggota

keluarga agar tetap memiliki produktifitas tinggi. Fungsi ini

dikembangkan menjadi tugas keluarga di bidang kesehatan.

2.3 Konsep Pendidikan Kesehatan ( Health Education )

2.3.1 Definisi Pendidikan Kesehatan

Pendidikan kesehatan adalah suatu upaya atau kegiatan untuk menciptakan

perilaku masyarakat yang kondusif untuk kesehatan. Artinya, pendidikan


33

kesehatan berupaya agar masyarakat menyadari atau mengetahui

bagaimana cara memelihara kesehatan mereka, bagaimana menghindari

atau mencegah hal – hal yang merugikan kesehatan mereka dan kesehatan

orang lain, kemana seharusnya mencari pengobatan jika sakit, dan

sebagainya. (Notoatmodjo, 2007)

2.3.2 Tujuan Pendidikan Kesehatan

Tujuan utama pendidikan kesehatan adalah agar orang mampu menerapkan

masalah dan kebutuhan mereka sendiri, mampu memahami apa yg dapat

mereka lakukan terhadap masalahnya, dengan sumber daya yg ada pada

mereka ditambah dengan dukungan dari luar, dan mampu memutuskan

kegiatan yg tepat guna untuk meningkatkan taraf hidup sehat dan

kesejahteraan masyarakat (Mubarak, 2009).

Menurut Undang-undang Kesehatan No. 23 Tahun 1992 dan WHO, tujuan

pendidikan kesehatan adalah meningkatkan kemampuan masyarakat untuk

memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan; baik secara fisik, mental

dan sosialnya, sehingga produktif secara ekonomi maupun social,

pendidikan kesehatan disemua program kesehatan; baik pemberantasan

penyakit menular, sanitasi lingkungan, gizi masyarakat, pelayanan

kesehatan, maupun program kesehatan lainnya (Mubarak, 2009).

2.3.3 Pengukuran Hasil Pendidikan Kesehatan


34

Menurut Notoatmodjo (2007: 139) dalam perkembangannya pengukuran

hasil pendidikan kesehatan menurut teori Bloom yang dimodifikasi terdiri

atas:

a. Pengetahuan (knowledge)

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam

membentuk tindakan seseorang (overt behaviour). Pengetahuan yang

tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan:

1) Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari

sebelumnya.

2) Memahami (comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan

secara benar tentang obyek yang diketahui dan dapat

menginterpretasikan materi tersebut secara benar.

3) Aplikasi (aplication)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi

yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya).

4) Analisis (analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau

suatu obyek ke dalam komponen – komponen, tetapi masih didalam

struktur organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain.


35

5) Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau

menghubungkan bagian – bagian didalam suatu bentuk keseluruhan

yang baru.

6) Evaluasi (evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi

atau penilaian terhadap suatu materi atau obyek.

b. Sikap (attitude)

Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang

terhadap suatu stimulus atau obyek. Sikap terdiri dari berbagai tingkatan

yaitu:

1) Menerima (receiving)

Menerima diartikan bahwa orang (subyek) mau dan memperhatikan

stimulus yang diberikan (obyek).

2) Merespon (responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan

menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.

3) Menghargai (valuing)
36

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu

masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.

4) Bertanggung jawab (responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan

segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi.

c. Praktik atau tindakan (practice)

Praktik ini mempunyai beberapa tingkatan:

1) Persepsi (perception)

Mengenal dan memilih berbagai obyek sehubungan dengan tindakan

yang akan diambil adalah merupakan praktik tingkat pertama.

2) Respon terpimpin (guided response)

Dapat dilakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai

dengan contoh adalah merupakan indikator praktik tingkat dua.

3) Mekanisme (mecanism)

Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara

otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah

mencapai praktik tingkat tiga.


37

4) Adopsi (adoption)

Adopsi adalah suatu praktik atau tindakan yang sudah berkembang

dengan baik. Artinya tindakan itu sudah dimodifikasikannya tanpa

mengurangi kebenaran tindakan tersebut.

2.3.4 Metode Pendidikan Perilaku

Pendidikan kesehatan pada hakikatnya adalah suatu kegiatan atau usaha

untuk menyampaikan pesan kesehatan kepada masyarakat, kelompok atau

individu. Dengan harapan bahwa dengan adanya pesan tersebut mereka

dapat memperoleh pengetahuan tentang kesehatan atau lebih baik dan

pengetahuan tersebut dapat berpengaruh terhadap perilakunya.

(Notoatmodjo, 2011)

a. Metode Pendidikan Individual


Metode pendidikan yang bersifat individual ini digunakan untuk

membina perilaku baru, atau seseorang yang telah mulai tertarik pada

suatu perubahan perilaku atau inovasi.

Bentuk pendekatan metode individual antara lain:

1) Bimbingan dan penyuluhan. Dengan cara ini kontak antara klien

dengan petugas lebih intensif


38

2) Wawancara. Cara ini merupakan bagian dari bimbingan dan

penyuluhan.

b. Metode Pendidikan Kelompok


Dalam memilih metode pendidikan kelompok, harus mengingat

besarnya kelompok sasaran serta tingkat pendidikan formal pada

sasaran.

1) Kelompok Besar.

Yang dimaksud kelompok besar adalah apabila peserta

penyuluhan lebih dari 15 orang. Metode yang digunakan:

a) Ceramah. Metode ini baik untuk sasaran yang berpendidikan

tinggi maupun rendah.

b) Seminar. Metode ini hanya cocok untuk sasaran kelompok

besar denganpendidikan menengah ata

2) Kelompok Kecil

Peserta kegiatan kurang dari 15 orang. Metode yang digunakan:

a) Diskusi Kelompok. Agar semua anggota kelompok dapat

bebas berpartisipasi dalam diskusi, maka formasi duduk para

peserta diatur sedemikian rupa sehingga mereka dapat

berhadap-hadapan.

b) Curah Pendapat. Metode ini merupakan modifikasi

metodediskusi kelompok.
39

c) Bola Salju.kelompok dibagi dalam pasangan-pasangan.

d) Kelompok kecil-kecil.

e) Role Play (memainkan peranan)

f) Permainan Simulasi, gambaran antara role play dengan

diskusi kelompok.

c. Metode Pendidikan Massa


Untuk mengonsumsikan pesan-pesan kesehatan yang ditujukan kepada

masyarakat yang sifatnya massa atau publik, cara yang paling tepat

adalah pendekatan massa. Pesan-pesan kesehatan yang akan

disampaikan harus dirancangsedemikian rupa sehingga dapat

ditangkap oleh massa tersebut.

Contoh metode pendekatan massa :

1) Ceramah umum

2) Pidato-pidato diskusi tentang kesehatan melalui media

3) Simulasi

4) Sinetron

5) Tulisan-tulisan di majalah atau koran, baik dalam bentuk artikel

maupun dalam bentuk tanya jawab.

6) Bill board yang dipasang di pinggir-pinggir jalan.


40

2.4 Konsep HPM

Perubahan paradigma ini menempatkan perawat pada posisi kunci dalam

peran dan fungsinya. Hampir semua pelayanan promosi kesehatan dan

pencegahan penyakit baik di rumah sakit maupun tatanan pelayanan kesehatan


41

lain yang dilakukan oleh perawat (Cohen, 1996). Perubahan peradigma

pelayanan kesehatan dari kuratif kearah promotif dan peventif ini telah

direspon oleh ahli teori keperawatan Pender dengan menghasilkan karya

tentang Health Promotion Model atau model promosi kesehatan. Model ini

menggabungkan 2 teori yaitu teori nilai harapan (expectancy value) dan teori

kognitif social (social cognitive theory) yang konsisten dengan semua teori

yang memandang pentingnya promosi kesehatan dan pencegahan penyakit

adalah suatu yang hal logis dan ekonomi

2.4.1. Komponen Teori Model Promosi Kesehatan

Adapun komponen elemen dari teori ini adalah sebagai berikut:

a. Teori Nilai Harapan (Expectancy value Theory)

Menurut teori nilai harapan, perilaku sehat bersifat rasional dan

ekonomis. Seseorang akan mulai bertindak dari perilakunya yang

akan tetap digunakan dalam dirinya, ada 2 hal pokok yaitu Hasil

tindakan bersifat positif, pengambilan tidakan untuk

menyempurnakan hasil yang di inginkan

b. Teori Kognitif Sosial (Social Cognitive Theory)

Teori model interaksi yang meliputi Iingkungan, manusia dan

perilaku yang saling mempengaruhi. Teori ini menekankan pada


42

a) Pengarahan diri (self direction)

b) Pengaturan diri (self regulation)

c) Persepsi terhadap kemajuan diri (self efficacy)

Teori ini mengemukakan bahwa manusia memiliki kemampuan dasar.

Simbolisasi yaitu proses dan transformasi pengalaman sebagai

petunjuk untuk tindakan yang akan datang. Pikiran ke depan,

mengantisipasi kejadian yang akan muncul dan merencanakan

tindakan untuk mencapai tujuan yang bermutu. Belajar dari

pengalaman orang lain. Menetapkan peraturan untuk generasi dan

mengatur perilaku melalui observasi tanpa perlu me1akukan trial and

error . Pengaturan diri menggunakan standar internal dan reaksi

evaluasi diri untuk memotivasi dan mengatur perilaku, mengatur

lingkungan ekstemal untuk menciptakan motivasi dalam bertindak.

Refleksi diri, berfikir tentang proses pikir seseorang dan secara aktif

memodifikasinya

Menurut teori ini kepercayaan diri dibentuk melalui observasi dan

refleksi diri. Kepercayaan diri terdiri dari:

1) Pengenalan diri (self atribut)

2) Evaluasi diri ( self evaluation)

3) Kemajuan diri (self efficacy)


43

4) Kemajuan diri adalah kemampuan seseorang untuk melakukan

tindakan-tindakan tertentu yang berkembang melalui pengalaman,

belajar dari pengalaman yang lain, persuasi verbal dan respons

badaniah terhadap situasi tertentu. Kemajuan diri merupakan fungsi

dari kemampuan (capability) yang berlebihan yang membentuk

kompetensi dan kepercayaan diri. Kemajuan adalah konstruksi

sentral dari HPM.

2.4.2. Asumsi dari Model Promosi Kesehatan

a. Manusia mencoba menciptakan kondisi agar mereka tetap hidup

dan dapat mengekspresikan keunikannya

b. Manusia mempunyai kapasitas untuk merefleksikan kesadaran

dirinya, termasuk penilaian terhadap kemampuannya.

c. Manusia menilai perkembangan sebagai suatu nilai yang positif

dan mencoba mencapai keseirnbangan perubahan diri yang stabil.

d. Setiap individu secara aktif berusaha mengatur perilakunya.

e. Individu dalam biopsikososial yang kompleks berinteraksi dengan

lingkungannya secara terus menerus.

f. Profesional kesehatan merupakan bagian dari lingkungan

interpersonal yang perpengaruh terhadap manusia sepanjang

hidupnya.

g. Pembentukan kembali konsep diri manusia dengan lingkungan

adalah penting untuk perubahan perilaku


44

2.4.3. Proposisi Model Pomosi Kesehatan

a. Perilaku sebelumnya dan karakteristik yang diperoleh

mempengaruhi kepercayaan dan perilaku untuk meningkatkan

kesehatan.

b. Manusia melakukan perubahan perilaku dimana mereka

mengharapkan keuntungan yang bernilai bagi dirinya.

c. Rintangan yang dirasakan dapat menjadi penghambat

kesanggupan melakukan tindakan, suatu mediator perilaku

sebagaimana perilaku nyata.

d. Promosi atau pemanfaatan diri akan menambah kemampuan untuk

melakukan tindakan.

e. Pengaruh positif pada perilaku akibat pemanfaatan diri yang baik

dapat menambah hasil positif.

f. Ketika eniosi yang positif atau pengaruh yang berhubungan

dengan perilaku, maka kemungkinan menambah komitmen untuk

bertindak

g. Manusia lebih suka melakukan promosi kesehatan ketika model

perilaku itu menarik, perilaku yang diharapkan terjadi dan dapat

mendukung perilaku yang sudah ada.

h. Keluarga, kelompok dan pemberi layanan kesehatan adalah

sumber interpersonal yang penting yang mempengaruhi,


45

menambah atau mengurangi keinginan untuk berperilaku promosi

kesehatan.

i. Pengaruh situasional pada lingkungan eksternal dapat menambah

atau mengurangi keinginan untuk berpartisipasi dalam perilaku

promosi kesehatan.

j. Komitmen terbesar pada suatu rencana kegiatan yang spesifik

lebih memungkinkan perilaku promosi kesehatan dipertahankan

untuk jangka waktu yang lama.

k. Komitmen pada rencana kegiatan kemungkinan kurang

menunjukan perilaku yang diharapkan apabila seseorang

mempunyai kontrol yang rendah dan kebutuhan yang diinginkan

tidak tersedia.

l. Seseorang dapat memodifikasi kognisi, mempengaruhi

interpersonal dan lingkungan fisik yang mendorong rnelakukan

tindakan kesehatan.

DAFTAR PUSTAKA

Adeyemi, E. 2007. HIV AIDS and Family Support System. Journal of Family
Noursing Research. www.ncbi.nlm.nih.gov.pubmed.18185184. di akses 01
Juli 2016.

Afiyanti, Y. (2008). Validitas Dan Realibitas Dalam Penelitian Kualitatif. Jurnal


Keperawatan Indonesia. 12 (2). Juli 2008. Jakarta: FIK UI.
46

Brown, Scheid, Teresa. 2010. A Handbook for Study of Mental Health, Social Contet,
Theories, and System. Newyork: Cambridge University Perss.

Bungin, B. 2008. Metodelogi Penelitian Kualitatif, Aktualisasi Metodelogis ke Arah


Ragam Varian Kontemporer. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada

Burns et al. 2008. Perempuan dan AIDS, Omi Intan Naomi (penerjemah), 2009.
Yogyakarta: InsistPress.

Butt.L,Morin J,Numbery G,Peyon I,Goo A.2010. Stigma dan HIV AIDS di Wilayah
Pegunungan Papua. Pusat Studi kependudukan Universitas Cenderawasih dan
University of Victoria: UNCEN. http//papuaweb.org di akses 23 Agustus 2016.

Cipto, Susilo. 2006. Pengaruh Penyuluhan terhadap Penurunan Stigma Masyarakat


tentang HIV/AIDS. Surabaya: PSIK FK UNAIR

Chaplin, J. PO. 2009. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: PT Raja Grafindo persada

Depkes RI.2006. Situasi HIV/AIDS di Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal.


Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.

Fitriani,W. Efektifitas Pembelajaran Muatan Lokal. 2013. http://jurnal.unnes.ac.id di


akses 27 Juni 2016.

Hariman, P L.2001. Panduan Memahami Istilah Psikologi.Jakarta: Restu Agung

Holzemer et al.2007.A conceptual model of HIV/AID Stigma from five african


countries.http://www.ncbi.nlm.nih.gov.pubmed.17484748 di akses 01 Juli 2016.

Jonathan, S. Dasar Psikologi Kualitatif: Pedoman Praktis Penelitian. Bandung:


Nusamedia

Kasiyan. 2015. Kesalahan Implementasi Teknik Triangulasi Pada Uji Validitas


Skripsi Mahasiswa. http://jurnal.uny.ac.id di akses 27 Juni 2016.

Katiandagho, D. 2015. Epidemiologi HIV AIDS. Bogor: IN Media

Kemenkes RI.2012.Pedoman Penghapusan Stigma dan Diskrimiasi. Jakarta:


Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan,
Direktorat PPM.

Komisi Penanggulangan AIDS.2007. Strategi Pencegahan dan Penanggulangan HIV


AIDS.
47

Moelong, LJ. 2007. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja


Rosdakarya

Muhtiar,M.Interaksi antara Sahabat dengan ODHA. ejournalsosiatri-sosiologi.2016,


volume 4 (3): 40-54 di akses 27 Juni 2016.

Moeryadi, Denny. 2009. Pemikiran Fenomenologi Menurut Edmund Husserl.


Dipublikasi oleh jurnalstudi.blogspot di akses 27 Juni 2016.

Notoatmodjo, Soekidjo. 2007. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta : Rineka Cipta

. 2010. Metodelogi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka


Cipta

Nugroho.2010.Kesehatan Wanita Gender dan Permasalahannya. Nuha


Medika.Yogyakarta

Poerwandari, E.K.2009. Pendekatan Kualitatif Untuk Penelitian Perilaku Manusia.


Jakarta: LPSP3 UI

Nasronudin. 2014. HIV & AIDS Pendekatan Biologi, Molekuler, Klinis, dan Sosial.
Surabaya: Universitas Airlangga

Nursalam, 2007. Asuhan Keperawatan Pada Pasien terinfeksi HIV/AIDS.Salemba


Medika.Jakarta

Ridwan.E, Syafar M,Natsir S.2005.Hambatan Terhadap Perilaku Pencegahan


HIVdan AIDS Pada Pasangan Serodiskordan di Kota
Makasar.jurnalpasca.unhas.ac.id di akses 01 Juli 2016.

Shaluhiyah.Z, Mustofa, Widjanarko B.Stigma masyarakat terhadap ODHA. Jurnal


Kesehatan Masyarakat Nasional 2015, Volume 9.

Steubert, H.J & Carpenter, D.R. 2003. Qualitative Research In Nursing : Advancing
The Humanistic Imperative 3rd ed. Lippincott: Philadelphia

Sugiyono,2012. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta

Sutopo, H,B. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: Universitas Sebelas


Maret

UNAIDS. 2012. AIDS Epidemic Update.http://www.unaids.org di akses 27 Juni


2016.
48

Yuniar, Yuyun, Rini, Aryastami, N. 2013. Faktor-faktor Pendukung kepatuhan ODHA


dalam Minum Obat Antiretroviral. Bandung

Anda mungkin juga menyukai