PENDAHULUAN
1
1. Bagaimana manifestasi klinis dari Diabetes melitus tipe 2?
2. Apa saja faktor risiko dari Diabetes melitus tipe 2?
3. Bagaimana cara mendiagnosis Diabetes melitus tipe 2?
4. Bagaimana penatalaksanaan untuk penderita Diabetes Melitus Tipe 2 ?
5. Bagaimana pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 ?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk melaksanakan Tugas Pengenalan Profesi (TPP) dengan tema
“Observasi pasien penderita Diabetes Melitus Tipe 2 Terkontrol di
Masyarakat”.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui manifestasi klinis dari Diabetes melitus tipe 2
2. Untuk mengetahui faktor resiko dari Diabetes melitus tipe 2
3. Untuk mengetahui cara mendiagnosis Diabetes melitus tipe 2
4. Untuk mengetahui penatalaksanaan untuk penderita Diabetes Melitus
Tipe 2
5. Untuk mengetahui pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2
1.4 Manfaat
Adapun manfaat dari pelaksanaan Tugas Pengenalan Profesi ini adalah
sebagai berikut:
1. Mahasiswa dapat mengetahui manifestasi klinis dari Diabetes melitus tipe 2
2. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami faktor resiko dari Diabetes
melitus tipe 2
3. Mahasiswa dapat mengetahui cara mendiagnosis Diabetes melitus tipe 2
4. Mahasiswa dapat mengetahui cara penatalaksanaan untuk penderita Diabetes
Melitus Tipe 2
5. Mahasiswa dapat mengetahui tindakan pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2
6. Mahasiswa mendapatkan pengalaman langsung dari penderita Diabetes
Melitus Tipe 2 terkontrol
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
usia. Insidens diabetes tipe 1 sebanyak 30.000 kasus baru setiap
tahunnya dan dapat dibagi dalam dua subtipe :
Autoimun, akibat disfungsi autoimun dengan kerusakan sel-sel
beta.
Idiopatik, tanpa bukti adanya autoimun dan tidak diketahui
sumbernya.
b. Diabetes melitus tipe 2
Diabetes melitus tipe 2 dulu dikenal sebagai tipe dewasa atau tipe onset
maturitas dan tipe nondependen insulin. Insidens diabetes tipe 2 sebesar
650.000 kasus baru setiap tahunnya. Obesitas sering dikaitkan dengan
penyakit dengan tipe tersebut.
4
3. Tipe khusus lain, adalah:
a. Kelainan genetik dalam sel beta seperti yang dikenali pada MODY.
Diabetes subtipe ini memiliki prevalensi familial yang tinggi dan
bermanifestasi sebelum usia 14 tahun. Pasien seringkali obesitas dan
resisten terhadap insulin. Kelainan genetik telah dikenali dengan baik
dalam empat bentuk mutasi dan fenotif yang berbeda (MODY 1,
MODY 2, MODY 3, MODY 4).
b. Kelainan genetik pada kerja insulin, menyebabkan sindrom resistensi
insulin berat dan akantosis negrikans.
c. Penyakit pada eksokrin pankreas menyebabkan pankreatitis kronik.
d. Penyakit endokrin seperti sindrom Cushing dan akromegali.
e. Obat-obat yang bersifat toksik terhadap sel-sel beta.
f. Infeksi.
5
tidak tergantung pada insulin, umumnya penderita orang dewasa dan biasanya
gemuk serta mudah menjadi koma (Silverthorn, 2014).
6
reseptor-reseptor permukaan sel tertentu, kemudian terjadi reaksi intraselular yang
meningkatkan transport glukosa menembus membrane sel. Pada pasien-pasien
dengan NIDDM terdapat kelainan dalam pengikatan insulin dengan reseptor. Ini
dapat disebabkan oleh berkurangnya jumlah tempat reseptor yang responsive
insulin pada membrane sel. Akibatnya, terjadi penggabungan abnormal antara
kompleks reseptor insulin dengan sistem transport glukosa. Kadar glukosa normal
dapat dipertahankan dalam waktu yang cukup lama dengan meningkatkan sekresi
insulin, tetapi pada akhirnya sekresi insulin menurun, dan jumlah insulin yang
beredar tidak lagi memadai untuk mempertahankan euglikemia. Sekitar 80%
pasien NIDDM mengalami obesitas. Karena obesitas berkaitan dengan resistensi
insulin, maka kemungkinan besar gangguan toleransi glukosa dan diabetes
mellitus yang pada akhirnya terjadi pada pasien-pasien NIDDM merupakan akibat
dari obesitasnya. Pengurangan berat badan seringkali dikaitkan dengan perbaikan
dalam sensitivitas insulin dan pemilihan toleransi glukosa (Rakhmadany,2010).
7
Changeable risk factor
1. Stress
Stress kronis cenderung membuat seseorang mencari makanan
yang manis-manis dan berlemak tinggi untuk meningkatkan kadar
serotonin otak. Serotonin ini memiliki efek penenang sementara
untuk meredakan stress, tetapi gula dan lemak itulah yang berbahaya
bagi mereka yang beresiko terkena diabetes mellitus.
2. Pola Makan yang Salah
Kurang gizi atau kelebihan berat badan keduanya meningkatkan
resiko terkena diabetes mellitus. Kurang gizi (malnutrisi) dapat
merusak pankreas, sedangkan berat badan lebih (obesitas)
mengakibatkan gangguan kerja insulin ( resistensi insulin).
3. Minimnya Aktivitas Fisik
Setiap gerakan tubuh dengan tujuan meningkatkan dan
mengeluarkan tenaga dan energi, yang biasa dilakukan atau aktivitas
sehari-hari sesuai profesi atau pekerjaan. Sedangkan faktor resiko
penderita DM adalah mereka yang memiliki aktivitas minim,
sehingga pengeluaran tenaga dan energi hanya sedikit.
4. Obesitas
80% dari penderita NIDDM adalah Obesitas/gemuk. Terdapat
korelasi bermakna antara obesitas dengan kadar glukosa darah, pada
derajat kegemukan dengan IMT > 23 dapat menyebabkan
peningkatan kadar glukosa darah menjadi 200mg%.
5. Merokok
Sebuah universitas di Swiss membuat suatu analisis 25 kajian
yang menyelidiki hubungan antara merokok dan diabetes yang
disiarkan antara 1992 dan 2006, dengan sebanyak 1,2 juta peserta
yang ditelusuri selama 30 tahun. Mereka mendapati resiko bahkan
lebih tinggi bagi perokok berat. Mereka yang menghabiskan
sedikitnya 20 batang rokok sehari memiliki resiko terserang diabetes
62% lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang tidak merokok.
8
Merokok dapat mengakibatkan kondisi yang tahan terhadap insulin,
kata para peneliti tersebut. Itu berarti merokok dapat mencampuri
cara tubuh memanfaatkan insulin. Kekebalan tubuh terhadap insulin
biasanya mengawali terbentuknya diabetes tipe 2.
6. Hipertensi
Pada orang dengan diabetes mellitus, hipertensi berhubungan
dengan resistensi insulin dan abnormalitas pada sistem renin-
angiotensin dan konsekuensi metabolik yang meningkatkan
morbiditas. Abnormalitas metabolik berhubungan dengan
peningkatan diabetes mellitus pada kelainan fungsi tubuh/ disfungsi
endotelial. Sel endotelial mensintesis beberapa substansi bioaktif
kuat yang mengatur struktur fungsi pembuluh darah.
9
Meskipun demikian, diabetes tipe II yang tidak terkontrol dapat menimbulkan
masalah akut lainnya yang dinamakan sindrom hiperglikemik hiperosmoler
nonketotik. Akibat intoleransi glukosa yang berlangsung lambat dan progresif,
maka awitan diabetes tipe II dapat berjalan tanpa terdeteksi, gejalanya sering
bersifat ringan dan dapat mencakup kelelahan, iritabilitas, poliuria, pilidipsia, luka
pada kulit yang tidak sembuh-sembuh, infeksi dan pandangan yang kabur
(Michael dan Caren, 2005).
10
sel akan menciut, sehingga seluruh jaringan terutama otot mengalami
atrofidan penurunan secara otomatis (Bare & Suzanne, 2002).
11
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara. Pertama, jika keluhan
klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dl sudah
cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Kedua, dengan pemeriksaan glukosa
plasma puasa yang lebih mudah dilakukan, mudah diterima oleh pasien serta
murah, sehingga pemeriksaan ini dianjurkan untuk diagnosis DM. Ketiga, dengan
TTGO (Tes Toleransi Glukosa Oral) meskipun TTGO dengan beban 75 g glukosa
lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa,
namun sulit dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan.
Diagnostik DM dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel Kriteria Diagnosis DM
Gejala klasik DM
+
ATAU
Gejala klasik DM
+
ATAU
Kadar glukosa plasma 2 jam pada TTGO ≥ 200 mg/dl (11.1
mmol/L)
12
* Kriteria diagnostik tsb harus dikonfirmasi ulang pada hari yang lain, kecuali
untuk keadaan khas hiperglikemia dengan dekompensasi metabolik akut, seperti
ketoasidosis atau berat badan yang menurun cepat.
** Cara diagnosis dengan kriteria ini tidak dipakai rutin diklinik
(American Diabetes Association, 2014)
13
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah,
tekanan darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara
komprehensif dan holistik dengan mengajarkan perawatan mandiri dan perubahan
perilaku (Budhiarta et al, 2009).
14
Karakteristik budaya, psikososial, pendidikan, dan status
ekonomi
Kehidupan seksual, penggunaan kontrasepsi dan kehamilan
b. Pemeriksaan Fisik:
Pengukuran tinggi dan berat badan
Pengukuran tekanan darah, termasuk pengukuran tekanan
darah dalam posisi berdiri untuk mencari kemungkinan adanya
hipotensi ortostatik
Pemeriksaan funduskopi
Pemeriksaan rongga mulut dan kelenjar tiroid
Pemeriksaan jantung
Evaluasi nadi baik secara palpasi maupun dengan stetoskop
Pemeriksaan ekstremitas superior dan inferio termasuk jari
Pemeriksaan kulit (acantosis nigrican dan bekan tempat
penyuntikan insulin)
Pemeriksaan neurologis
Tanda-tanda penyakit lain yang dapat menimbulkan DM tipe
lain
c. Evaluasi Laboratorium/Pemeriksaan Penunjang Lain:
Glukosa darah puasa dan 2 jam post prandial
HbA1C
Profil lipid pada keadaan puasa (kolesterol total, HDL, LDL,
trigliserida)
Kreatinin serum
Pemeriksaan urin: albumin, keton, sedimen, dan protein
Elektrokardiogram
Radiografi thorax
d. Tindakan Rujukan:
Ke bagian mata bila diperlukan pemeriksaan mata lebih lanjut
Konsultasi keluarga berencana untuk wanita usia produktif
15
Konsultasi terapi gizi medis sesuai indikasi
Konsultasi dengan educator diabetes
Konultasi dengan spesialis kaki (podiatrist), spsialis perilaku
(psikolog) atau spesialis lain sesuai indikasi
(Budhiarta, 2009).
16
a. Edukasi
Tim kesehatan mendampingi pasien dalam perubahan perilaku sehat
yang memerlukan partisipasi aktif dari pasien dan keluarga pasien.
Upaya edukasi dilakukan secara komphrehensif dan berupaya
meningkatkan motivasi pasien untuk memiliki perilaku sehat (Ndraha,
2014).
Tujuan dari edukasi diabetes adalah mendukung usaha pasien
penyandang diabetes untuk mengerti perjalanan alami penyakitnya dan
pengelolaannya, mengenali masalah kesehatan/ komplikasi yang
mungkin timbul secara dini/ saat masih reversible, ketaatan perilaku
pemantauan dan pengelolaan penyakit secara mandiri, dan perubahan
perilaku/kebiasaan kesehatan yang diperlukan (Ndraha, 2014).
Edukasi pada penyandang diabetes meliputi pemantauan glukosa
mandiri, perawatan kaki, ketaatan pengunaan obat-obatan, berhenti
merokok, meningkatkan aktifitas fisik, dan mengurangi asupan kalori
dan diet tinggi lemak (Ndraha, 2014).
b. Terapi Gizi Medis
Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes yaitu makanan
yang seimbang, sesuai dengan kebutuhan kalori masing-masing individu,
dengan memperhatikan keteraturan jadwal makan, jenis dan jumlah
makanan. Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari karbohidrat
45%-65%, lemak 20%-25%, protein 10%-20%, Natrium kurang dari 3g,
dan diet cukup serat sekitar 25g/hari (PERKENI, 2011).
c. Latihan Jasmani
Latihan jasmani secara teratur 3-4 kali seminggu, masing-masing
selama kurang lebih 30 menit. Latihan jasmani dianjurkan yang bersifat
aerobik seperti berjalan santai, jogging, bersepeda dan berenang. Latihan
jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat
badan dan meningkatkan sensitifitas insulin (PERKENI, 2011).
17
d. Intervensi Farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan peningkatan
pengetahuan pasien, pengaturan makan dan latihan jasmani. Terapi
farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan. Obat yang saat ini
ada antara lain:
I. Obat Hipoglikemia Oral (OHO)
Pemicu sekresi insulin:
a. Sulfonilurea
• Efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel
beta pankreas
• Pilihan utama untuk pasien berat badan normal atau
kurang
• Sulfonilurea kerja panjang tidak dianjurkan pada
orang tua, gangguan faal hati dan ginjal serta
malnutrisi
b. Glinid
• Terdiri dari repaglinid dan nateglinid
• Cara kerja sama dengan sulfonilurea, namun lebih
ditekankan pada sekresi insulin fase pertama
• Obat ini baik untuk mengatasi hiperglikemia
postprandial
(PERKENI, 2011).
18
• Metformin merupakan pilihan utama untuk penderita
diabetes gemuk, disertai dislipidemia, dan disertai
resistensi insulin.
(Sugondo, 2009).
b. Tiazolidindion
• Menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan
jumlah protein pengangkut glukosa sehingga
meningkatkan ambilan glukosa perifer
• Tiazolidindion dikontraindikasikan pada gagal
jantung karena meningkatkan retensi cairan.
(PERKENI, 2011 dan Sugondo, 2009).
Penghambat glukoneogenesis:
Biguanid (Metformin)
• Selain menurunkan resistensi insulin, Metformin
juga mengurangi produksi glukosa hati.
• Metformin dikontraindikasikan pada gangguan
fungsi ginjal dengan kreatinin serum > 1,5 mg/ dL,
gangguan fungsi hati, serta pasien dengan
kecenderungan hipoksemia seperti pada sepsis
• Metformin tidak mempunyai efek samping
hipoglikemia seperti golongan sulfonylurea.
• Metformin mempunyai efek samping pada saluran
cerna (mual) namun bisa diatasi dengan pemberian
sesudah makan.
(Rojas, 2013; Wang et al, 2012; Tock et al, 2010)
19
Penghambat glukosidase alfa:
Acarbose
• Bekerja dengan mengurangi absorbsi glukosa di
usus halus.
• Acarbose juga tidak mempunyai efek samping
hipoglikemia seperti golongan sulfonilurea.
• Acarbose mempunyai efek samping pada saluran
cerna yaitu kembung dan flatulens.
• Penghambat dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4)
Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu
hormone peptide yang dihasilkan oleh sel L di
mukosa usus. Peptida ini disekresi bila ada makanan
yang masuk. GLP-1 merupakan perangsang kuat
bagi insulin dan penghambat glukagon. Namun
GLP-1 secara cepat diubah menjadi metabolit yang
tidak aktif oleh enzim DPP-4. Penghambat DPP-4
dapat meningkatkan penglepasan insulin dan
menghambat penglepasan glukagon.
(Ndraha, 2014).
a. Insulin
• Insulin kerja cepat
• Insulin kerja pendek
• Insulin kerja menengah
• Insulin kerja panjang
• Insulin campuran tetap
b. Agonis GLP-1/incretin mimetik
• Bekerja sebagai perangsang penglepasan insulin tanpa
menimbulkan hipoglikemia, dan menghambat penglepasan
glukagon
20
• Tidak meningkatkan berat badan seperti insulin dan
sulfonilurea
• Efek samping antara lain gangguan saluran cerna seperti
mual muntah
21
mengendalikan glukosa darah prandial. Kombinasi insulin basal dan prandial
ini berbentuk basal bolus yang terdiri dari 1 x basal dan 3 x prandial.
Algoritma tata laksana selengkapnya dapat dilihat pada gambar 1 (Ndraha,
2009).
Kriteria pengendalian DM
Untuk mencegah komplikasi kronik, diperlukan pengendalian DM yang baik
yang merupakan sasaran terapi. Diabetes dinyatakan terkendali baik bila
kadar glukosa darah, tes hemoglobin terglikosilasi (HbA1c) dan lipid
mencapai target sasaran. Kriteria lengkap dari keberhasilan pengendalian DM
ini dapat dilihat pada gambar 2.
22
Gambar 2. Algoritma Pengelolaan DM Tipe 2 Berdasarkan HbA1c
23
1) Penyuluhan
Edukasi DM adalah pendidikan dan latihan mengenai
pengetahuan mengenai DM. Disamping kepada pasien DM, edukasi
juga diberikan kepada anggota keluarganya, kelompok masyarakat
beresiko tinggi dan pihak-pihak perencana kebijakan kesehatan.
Berbagai materi yang perlu diberikan kepada pasien DM adalah definisi
penyakit DM, faktor-faktor yang berpengaruh pada timbulnya DM dan
upaya-upaya menekan DM, pengelolaan DM secara umum, pencegahan
dan pengenalan komplikasi DM, serta pemeliharaan kaki.
2) Latihan Jasmani
Latihan jasmani yang teratur (3-4 kali seminggu selama kurang
lebih 30 menit) memegang peran penting dalam pencegahan primer
terutama pada DM Tipe 2. Orang yang tidak berolah raga memerlukan
insulin 2 kali lebih banyak untuk menurunkan kadar glukosa dalam
darahnya dibandingkan orang yang berolah raga. Manfaat latihan
jasmani yang teratur pada penderita DM antara lain : a) Memperbaiki
metabolisme yaitu menormalkan kadar glukosa darah dan lipid darah;
b) Meningkatkan kerja insulin dan meningkatkan jumlah pengangkut
glukosa; c) Membantu menurunkan berat badan; d) Meningkatkan
kesegaran jasmani dan rasa percaya diri; e) Mengurangi resiko penyakit
kardiovaskular
Laihan jasmani yang dimaksud dapat berupa jalan, bersepeda
santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan
dengan umur dan status kesegaran jasmani.
3) Perencanaan Pola Makan
Perencanaan pola makan yang baik dan sehat merupakan kunci
sukses manajemen DM. Seluruh penderita harus melakukan diet dengan
pembatasan kalori, terlebih untuk penderita dengan kondisi kegemukan.
Menu dan jumlah kalori yang tepat umumnya dihitung berdasarkan
kondisi individu pasien.
24
Perencanaan makan merupakan salah satu pilar pengelolaan DM,
meski sampai saat ini tidak ada satupun perencanaan makan yang sesuai
untuk semua pasien, namun ada standar yang dianjurkan yaitu makanan
dengan komposisi yang seimbang dalam karbohidrat, protein, dan
lemak sesuai dengan kecukupan gizi baik sebagai berikut: Karbohidrat
= 60-70 %, Protein = 10-15 %, dan Lemak = 20-25 %.
Jumlah asupan kolesterol perhari disarankan < 300 mg/hari dan
diusahakan lemak berasal dari sumber asam lemak tidak jenuh dan
membatasi PUFA (Poly Unsaturated Fatty Acid) dan asam lemak
jenuh. Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi,
umur, ada tidaknya stress akut dan kegiatan jasmani.
(Rodbard et al, 2009 dan Holman et al, 2008)
25
BAB III
METODE PELAKSANAAN
26
6. Membuat kesimpulan wawancara
7. Membuat laporan TPP dan meminta tanda tangan pembimbing untuk
persetujuan pelaksanaan pleno TPP.
27
DAFTAR PUSTAKA
28
Rakhmadany, dkk. 2010. Makalah Diabetes Melitus. Jakarta : Universitas Islam
Negeri.
Rodbard HW, Jellinger PS, Davidson JA,et al: Statement by an American
association of clinical endocrinologists/American college of endocrinology
consensus panel on type 2 diabetes mellitus. An algorithm for glycemic
control. Endocr Pract 2009,15(6):540–559.
Rojas LBA, Gomes MB. Metformin: an old but still the best treatment for type 2
diabetes. Diabetology & Metabolic Syndrome2013,5:6. Diunduh dari
http://www.dmsjournal. com/ content/5/1/6
Silverthorn, Dee Unglaub. 2014. Fisiologi Manusia: Pendekatan Terintegrasi
Edisi 6. Jakarta: EGC.
Sugondo S. 2009. Farmakoterapi pada pengendalian glikemia diabetes melitus
tipe 2. Dalam Sudoyo, Aru W et al,. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 5.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Hal 1882-
1885.
Suyono, slamet. 2006. Diabetes Melitus di Indonesia, Dalam Sudoyo, Aru W et
al,. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi 4. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Hal 2316-2318.
Tock L, Dˆamaso A, de Piano A, Carnier J,et al: Long-Term Effects of metformin
and lifestyle modification on nonalcoholic fatty liver disease obese
adolescents. J Obes2010,831901:6. Article ID 831901
Wang J, Gallagher D, De Vito L,et al: Metformin activates an atypical PKC-CBP
pathway to promote neurogenesis and enhance spatial memory formation.
Cell Stem Cell2012,11:23–35.
Waspadji, Sarwono. 2006. Komplikasi Kronik Diabetes: Mekanisme Terjadinya
Diagnosis dan Strategi Pengelolaan. Dalam Sudoyo, Aru W et al,. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Hal 1884-1888.
WHO, 1999. Consultation Report Definition: Defenition, Diagnosis and
Classification of Diabetes Melitus and Its Complication.
29