Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kerja insulin atau kedua-duanya (Purnamasari, 2014).
Diabetes merupakan suatu ancaman utama bagi kesehatan umat manusia pada
abad ke-21. Perserikatan Bangsa-Bangsa (WHO) membuat perkiraan bahwa pada
tahun 2000 jumlah pengidap diabetes di atas umur 20 tahun berjumlah 150 juta
orang dan dalam kurun waktu 25 tahun kemudian, kemungkinan jumlah pengidap
diabetes akan membengkak menjadi 300 juta orang. Menurut penelitian
epidemologi yang dilaksanakan di Indonesia, kekerapan diabetes di Indonesia
berkisar antara 1,4 sampai 1,6%, kecuali di dua tempat yaitu di Pekajang, suatu
desa dekat Semarang 2,3% dan di Manado 6% (Suyono, 2014).
Tujuh puluh lima persen penderita diabetes akhirnya meninggal karena
penyakit vaskular. Serangan jantung, gagal ginjal, stroke dan gangren adalah
komplikasi yang paling utama. Oleh karena itu, tindakan pengontrolan pada
pengidap diabetes melitus sangat penting agar tidak terjadinya komplikasi (Price
dan Wilson, 2005).
Diabetes melitus tipe 2 berkontribusi 90% dari semua pengidap diabetes, dan
kurang lebih 10% dari semua pengidap diabetes adalah diabetes tipe I
(Silverthorn, 2014). Karena banyaknya angka pengidap Diabetes melitus tipe 2
ini maka pada blok XII tentang Sistem Endokrin dan Gangguan Metabolik,
penulis mengangkat tema untuk Tugas Pengenalan Profesi dengan judul
“Observasi pasien penderita Diabetes Melitus Tipe 2 terkontrol di Masyarakat”.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang didapatkan
adalah sebagai berikut:

1
1. Bagaimana manifestasi klinis dari Diabetes melitus tipe 2?
2. Apa saja faktor risiko dari Diabetes melitus tipe 2?
3. Bagaimana cara mendiagnosis Diabetes melitus tipe 2?
4. Bagaimana penatalaksanaan untuk penderita Diabetes Melitus Tipe 2 ?
5. Bagaimana pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 ?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk melaksanakan Tugas Pengenalan Profesi (TPP) dengan tema
“Observasi pasien penderita Diabetes Melitus Tipe 2 Terkontrol di
Masyarakat”.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui manifestasi klinis dari Diabetes melitus tipe 2
2. Untuk mengetahui faktor resiko dari Diabetes melitus tipe 2
3. Untuk mengetahui cara mendiagnosis Diabetes melitus tipe 2
4. Untuk mengetahui penatalaksanaan untuk penderita Diabetes Melitus
Tipe 2
5. Untuk mengetahui pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2

1.4 Manfaat
Adapun manfaat dari pelaksanaan Tugas Pengenalan Profesi ini adalah
sebagai berikut:
1. Mahasiswa dapat mengetahui manifestasi klinis dari Diabetes melitus tipe 2
2. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami faktor resiko dari Diabetes
melitus tipe 2
3. Mahasiswa dapat mengetahui cara mendiagnosis Diabetes melitus tipe 2
4. Mahasiswa dapat mengetahui cara penatalaksanaan untuk penderita Diabetes
Melitus Tipe 2
5. Mahasiswa dapat mengetahui tindakan pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2
6. Mahasiswa mendapatkan pengalaman langsung dari penderita Diabetes
Melitus Tipe 2 terkontrol

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Diabetes Melitus


Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kerja insulin, atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes
berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan
beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah.
World Health Organization (WHO) sebelumnya telah merumuskan bahwa DM
merupakan sesuatu yang tidak dapat dituangkan dalam satu jawaban yang jelas
dan singkat tetapi secara umum dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan prolema
anatomik dan kimiawi akibat dari sejumlah faktor di mana didapat defisiensi
insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin (Gustaviani dalam Sudoyo
et al., 2006: 1857).
Diabetes Melitus adalah sindrom kronik gangguan metabolisme karbohidrat,
protein dan lemak akibat sekresi insulin yang tidak mencukupi atau adanya
resistensi insulin di jaringan target. Terdapat dalam 2 bentuk utama yaitu diabetes
melitus type 1 dan diabetes melitus type 2, yang mempunyai etiologi, patologi,
genetika, usia onset dan penanganan yang berbeda (Dorland, 2014: 308).

2.2 Klasifikasi Diabetes Melitus


Beberapa klasifikasi diabetes melitus berdasarkan metode presentasi klinis,
umur awitan, dan riwayat penyakit menurut American Diabetes Association
(ADA) dan telah disahkan oleh World Health Organization (WHO) dalam Price
dan Wilson (2006: 1262-1263) terdapat 4 klasifikasi klinis gangguan toleransi
glukosa dan diabetes melitus yaitu :
1. Diabetes Melitus
a. Diabetes melitus tipe 1
Diabetes melitus tipe 1 dulu dikenal sebagai tipe juvenile onset dan tipe
dependen insulin, namun kedua tipe ini dapat muncul pada sembarang

3
usia. Insidens diabetes tipe 1 sebanyak 30.000 kasus baru setiap
tahunnya dan dapat dibagi dalam dua subtipe :
 Autoimun, akibat disfungsi autoimun dengan kerusakan sel-sel
beta.
 Idiopatik, tanpa bukti adanya autoimun dan tidak diketahui
sumbernya.
b. Diabetes melitus tipe 2
Diabetes melitus tipe 2 dulu dikenal sebagai tipe dewasa atau tipe onset
maturitas dan tipe nondependen insulin. Insidens diabetes tipe 2 sebesar
650.000 kasus baru setiap tahunnya. Obesitas sering dikaitkan dengan
penyakit dengan tipe tersebut.

2. Diabetes Gestasional (GDM)


Diabetes gestasional atau diabetes melitus kehamilan dikenali pertama kali
selama kehamilan dan memengaruhi 4% dari semua kehamilan. Faktor resiko
terjadi GDM adalah usia tua, etnik, obesitas, multiparitas, riwayat keluarga,
dan riwayat diabetes gestasional terdahulu. Karena terjadi peningkatan sekresi
berbagai hormon yang mempunyai efek metabolik terhadap toleransi glukosa,
maka kehamilan adalah suatu keadaan diabetogenik. Kriteria diagnosis
biokimia diabetes kehamilan yang dianjurkan adalah terjadi apabila dua atau
lebih dari nilai berikut ini ditemukan atau dilampaui sesudah pemberian 75 g
glukosa oral: puasa, 105 mg/dl; 1 jam, 190 mg/dl; 2 jam, 165 mg/dl; 3 jam,
145 mg/dl.
Pengenalan diabetes seperti ini penting karena penderita berisiko tinggi
terhadap morbiditas dan mortalitas perinatal dan mempunyai frekuensi
kematian janin viabel yang lebih tinggi.kebanyakan perempuan hamil harus
menjalani penapisan untuk diabetes selama usia kehamilan 24 hingga 28
minggu.

4
3. Tipe khusus lain, adalah:
a. Kelainan genetik dalam sel beta seperti yang dikenali pada MODY.
Diabetes subtipe ini memiliki prevalensi familial yang tinggi dan
bermanifestasi sebelum usia 14 tahun. Pasien seringkali obesitas dan
resisten terhadap insulin. Kelainan genetik telah dikenali dengan baik
dalam empat bentuk mutasi dan fenotif yang berbeda (MODY 1,
MODY 2, MODY 3, MODY 4).
b. Kelainan genetik pada kerja insulin, menyebabkan sindrom resistensi
insulin berat dan akantosis negrikans.
c. Penyakit pada eksokrin pankreas menyebabkan pankreatitis kronik.
d. Penyakit endokrin seperti sindrom Cushing dan akromegali.
e. Obat-obat yang bersifat toksik terhadap sel-sel beta.
f. Infeksi.

4. Gangguan toleransi glukosa (IGT)


Pasien dengan gangguan toleransi glukosa tidak dapat memenuhi kriteria
diabetes melitus yang telah dijelaskan diatas, tetapi tes toleransi glukosanya
memperlihatkan kelainan. Pasien-pasien ini asimtomatis. Dipandang dari
sudut biokimia, pasien dengan IGT menunjukkan kadar glukosa plasma puasa
(≥110 dan <126 mg/100 ml). Pada individu lain, IGT mungkin menunjukkan
adanya diabetes dalam stadium dini. Mereka ini tidak digolongkan sebagai
penderita diabetes, tetapi dianggap berisiko lebih tinggi terhadap diabetes
dibandingkan dengan masyarakat umum. Banyak yang akan kembali spontan
pada toleransi glukosa normal, tetapi setiap tahunnya 1% hingga 5% dari
mereka dengan IGT dapat berlanjut menjadi diabetes.

Menurut Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) klasifikasi DM


berdasarkan etiologi dibagi menjadi DM tipe I dan tipe 2. DM Tipe I adalah
gangguan kompleks, menyerang individu yang rentan secara genetik yang dimulai
saat anak-anak (PERKENI, 2011). DM tipe 2 adalah DM yang pengobatannya

5
tidak tergantung pada insulin, umumnya penderita orang dewasa dan biasanya
gemuk serta mudah menjadi koma (Silverthorn, 2014).

2.3 Definisi Diabetes Melitus Tipe 2


Dalam DM Tipe 2, pankreas dapat menghasilkan cukup jumlah insulin untuk
metabolisme glukosa (gula), tetapi tubuh tidak mampu untuk memanfaatkan
secara efisien. Seiring waktu, penurunan produksi insulin dan kadar glukosa darah
meningkat (Adhi, 2011). Diabetes mellitus sebelumnya dikatakan diabetes tidak
tergantung insulin atau diabetes pada orang dewasa. Ini adalah istilah yang
digunakan untuk individu yang relatif terkena diabetes (bukan yang absoult)
defisiensi insulin. Orang dengan jenis diabetes ini biasanya resisten terhadap
insulin. Ini adalah diabetes sering tidak terdiagnosis dalam jangka waktu yang
lama karena hiperglikemia ini sering tidak berat cukup untuk memprovokasi
gejala nyata dari diabetes. Namun demikian, pasien tersebut adalah risiko
peningkatan pengembangan komplikasi cardiovaskular (WHO, 1999). Faktor
yang diduga menyebabkan terjadinya resistensi insulin dan hiperinsulinemia ini
adalah adanya kombinasi antara kelainan genetik, obesitas, inaktifitas, faktor
lingkungan dan faktor makanan (Silverthorn, 2014).
Diabetes Mellitus Tipe 2 merupakan penyakit hiperglikemi akibat insensivitas
sel terhadap insulin. Kadar insulin mungkin sedikit menurun atau berada dalam
rentang normal. Karena insulin tetap dihasilkan oleh sel-sel beta pankreas, maka
diabetes mellitus tipe II dianggap sebagai non insulin dependent diabetes mellitus
(NIDDM).

2.4 Etiologi Diabetes Mellitus Tipe 2


Yaitu diabetes yang dikarenakan oleh adanya kelainan sekresi insulin yang
progresif dan adanya resistensi insulin. Pada pasien-pasien dengan Diabetes
Mellitus tak tergantung insulin (NIDDM), penyakitnya mempunyai pola familial
yang kuat. NIDDM ditandai dengan adanya kelainan dalam sekresi insulin
maupun dalam kerja insulin. Pada awalnya kelihatan terdapat resistensi dari sel-
sel sasaran terhadap kerja insulin. Insulin mula-mula mengikat dirinya kepada

6
reseptor-reseptor permukaan sel tertentu, kemudian terjadi reaksi intraselular yang
meningkatkan transport glukosa menembus membrane sel. Pada pasien-pasien
dengan NIDDM terdapat kelainan dalam pengikatan insulin dengan reseptor. Ini
dapat disebabkan oleh berkurangnya jumlah tempat reseptor yang responsive
insulin pada membrane sel. Akibatnya, terjadi penggabungan abnormal antara
kompleks reseptor insulin dengan sistem transport glukosa. Kadar glukosa normal
dapat dipertahankan dalam waktu yang cukup lama dengan meningkatkan sekresi
insulin, tetapi pada akhirnya sekresi insulin menurun, dan jumlah insulin yang
beredar tidak lagi memadai untuk mempertahankan euglikemia. Sekitar 80%
pasien NIDDM mengalami obesitas. Karena obesitas berkaitan dengan resistensi
insulin, maka kemungkinan besar gangguan toleransi glukosa dan diabetes
mellitus yang pada akhirnya terjadi pada pasien-pasien NIDDM merupakan akibat
dari obesitasnya. Pengurangan berat badan seringkali dikaitkan dengan perbaikan
dalam sensitivitas insulin dan pemilihan toleransi glukosa (Rakhmadany,2010).

2.5 Faktor Risiko Diabetes Melitus Tipe 2


Adapun faktor resikonya yaitu (Rakhmadany, 2010) dan (Waspadji, 2009):
 Unchangeable Risk Factor
1. Kelainan Genetik
Diabetes dapat menurun menurut silsilah keluarga yang mengidap
diabetes mellitus, karena kelainan gen yang mengakibatkan
tubuhnya tak dapat menghasilkan insulin dengan baik.
2. Usia
Umumnya manusia mengalami perubahan fisiologis yang secara
drastis menurun dengan cepat setelah usia 40 tahun. Diabetes sering
muncul setelah seseorang memasuki usia rawan tersebut, terutama
setelah usia 45 tahun pada mereka yang berat badannya berlebih,
sehingga tubuhnya tidak peka lagi terhadap insulin.

7
 Changeable risk factor
1. Stress
Stress kronis cenderung membuat seseorang mencari makanan
yang manis-manis dan berlemak tinggi untuk meningkatkan kadar
serotonin otak. Serotonin ini memiliki efek penenang sementara
untuk meredakan stress, tetapi gula dan lemak itulah yang berbahaya
bagi mereka yang beresiko terkena diabetes mellitus.
2. Pola Makan yang Salah
Kurang gizi atau kelebihan berat badan keduanya meningkatkan
resiko terkena diabetes mellitus. Kurang gizi (malnutrisi) dapat
merusak pankreas, sedangkan berat badan lebih (obesitas)
mengakibatkan gangguan kerja insulin ( resistensi insulin).
3. Minimnya Aktivitas Fisik
Setiap gerakan tubuh dengan tujuan meningkatkan dan
mengeluarkan tenaga dan energi, yang biasa dilakukan atau aktivitas
sehari-hari sesuai profesi atau pekerjaan. Sedangkan faktor resiko
penderita DM adalah mereka yang memiliki aktivitas minim,
sehingga pengeluaran tenaga dan energi hanya sedikit.
4. Obesitas
80% dari penderita NIDDM adalah Obesitas/gemuk. Terdapat
korelasi bermakna antara obesitas dengan kadar glukosa darah, pada
derajat kegemukan dengan IMT > 23 dapat menyebabkan
peningkatan kadar glukosa darah menjadi 200mg%.
5. Merokok
Sebuah universitas di Swiss membuat suatu analisis 25 kajian
yang menyelidiki hubungan antara merokok dan diabetes yang
disiarkan antara 1992 dan 2006, dengan sebanyak 1,2 juta peserta
yang ditelusuri selama 30 tahun. Mereka mendapati resiko bahkan
lebih tinggi bagi perokok berat. Mereka yang menghabiskan
sedikitnya 20 batang rokok sehari memiliki resiko terserang diabetes
62% lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang tidak merokok.

8
Merokok dapat mengakibatkan kondisi yang tahan terhadap insulin,
kata para peneliti tersebut. Itu berarti merokok dapat mencampuri
cara tubuh memanfaatkan insulin. Kekebalan tubuh terhadap insulin
biasanya mengawali terbentuknya diabetes tipe 2.
6. Hipertensi
Pada orang dengan diabetes mellitus, hipertensi berhubungan
dengan resistensi insulin dan abnormalitas pada sistem renin-
angiotensin dan konsekuensi metabolik yang meningkatkan
morbiditas. Abnormalitas metabolik berhubungan dengan
peningkatan diabetes mellitus pada kelainan fungsi tubuh/ disfungsi
endotelial. Sel endotelial mensintesis beberapa substansi bioaktif
kuat yang mengatur struktur fungsi pembuluh darah.

2.6 Patofisiologi Diabetes Melitus Tipe 2


Diabetes Tipe II Terdapat 2 masalah utama yang berhubungan dengan insulin,
yaitu: resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan
terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya
insulin dengan reseptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme
glukosa di dalam sel. Resistensi insulin pada diabetes tipe II disertai dengan
penurunan reaksi intrasel, dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk
menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan. Untuk mengatasi resistensi
insulin dan mencegah terbentuknya glukosa dalam darah harus terdapat
peningkatan insulin yang disekresikan (Michael dan Caren, 2005).
Pada penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi akibat sekresi
insulin yang berlebihan dan kadar glukosa akan dipertahankan pada tingkat yang
normal atau sedikit meningkat. Namun, jika sel-sel tidak mampu mengimbangi
peningkatan kebutuhan akan insulin maka kadar glukosa akan meningkat dan
terjadi diabetes tipe II. Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin yang
merupakan ciri khas diabetes tipe II, namun terdapat jumlah insulin yang adekuat
untuk mencegah pemecahan lemak dan produksi badan keton. Oleh karena itu,
ketoasidosis diabetik tidak terjadi pada diabetes tipe II (Michael dan Caren, 2005).

9
Meskipun demikian, diabetes tipe II yang tidak terkontrol dapat menimbulkan
masalah akut lainnya yang dinamakan sindrom hiperglikemik hiperosmoler
nonketotik. Akibat intoleransi glukosa yang berlangsung lambat dan progresif,
maka awitan diabetes tipe II dapat berjalan tanpa terdeteksi, gejalanya sering
bersifat ringan dan dapat mencakup kelelahan, iritabilitas, poliuria, pilidipsia, luka
pada kulit yang tidak sembuh-sembuh, infeksi dan pandangan yang kabur
(Michael dan Caren, 2005).

2.7 Gambaran Klinis Diabetes Melitus Tipe 2


a. Poliuria
Kekurangan insulin untuk mengangkut glukosa melalui membrane dalam
sel menyebabkan hiperglikemia sehingga serum plasma meningkat atau
hiperosmolariti menyebabkan cairan intrasel berdifusi kedalam sirkulasi
atau cairan intravaskuler, aliran darah ke ginjal meningkat sebagai akibat
dari hiperosmolariti dan akibatnya akan terjadi diuresis osmotic (poliuria)
( Bare & Suzanne, 2002).
b. Polidipsia
Akibat meningkatnya difusi cairan dari intrasel kedalam vaskuler
menyebabkan penurunan volume intrasel sehingga efeknya adalah
dehidrasi sel. Akibat dari dehidrasi sel mulut menjadi kering dan sensor
haus teraktivasi menyebabkan seseorang haus terus dan ingin selalu
minum (polidipsia) ( Bare & Suzanne, 2002).
c. Poliphagia
Karena glukosa tidak dapat masuk ke sel akibat dari menurunnya kadar
insulin maka produksi energi menurun, penurunan energi akan
menstimulasi rasa lapar. Maka reaksi yang terjadi adalah seseorang akan
lebih banyak makan (poliphagia) ( Bare & Suzanne, 2002).
d. Penurunan berat badan
Karena glukosa tidak dapat di transport kedalam sel maka sel kekurangan
cairan dan tidak mampu mengadakan metabolisme, akibat dari itu maka

10
sel akan menciut, sehingga seluruh jaringan terutama otot mengalami
atrofidan penurunan secara otomatis (Bare & Suzanne, 2002).

Seseorang yang menderita DM tipe II biasanya mengalami peningkatan


frekuensi buang air (poliuria), rasa lapar (poliphagia), rasa haus (polidipsia), cepat
lelah, kehilangan tenaga, dan merasa tidak fit, kelelahan yang berkepanjangan dan
tidak ada penyebabnya, mudah sakit berkepanjangan, biasanya terjadi pada usia di
atas 30 tahun, tetapi prevalensinya kini semakin tinggi pada golongan anak-anak
dan remaja. Gejala-gejala tersebut sering terabaikan karena dianggap sebagai
keletihan akibat kerja, jika glukosa darah sudah tumpah kesaluran urin dan urin
tersebut tidak disiram, maka dikerubuti oleh semut yang merupakan tanda adanya
gula (Smeltzer & Bare, 2002).

2.8 Diagnosa Diabetes Melitus Tipe 2


Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna penentuan
diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan
glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan
darah utuh (whole blood), vena ataupun kapiler tetap dapat dipergunakan dengan
emperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan
oleh WHO. Sedangkan tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan
dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler (Budhiarta et al, 2009).
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan
adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti tersebut
dibawah ini:

 Keluhan klasik DM berupa : Poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan


berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
 Keluhan lain dapat berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur
dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.

11
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara. Pertama, jika keluhan
klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dl sudah
cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Kedua, dengan pemeriksaan glukosa
plasma puasa yang lebih mudah dilakukan, mudah diterima oleh pasien serta
murah, sehingga pemeriksaan ini dianjurkan untuk diagnosis DM. Ketiga, dengan
TTGO (Tes Toleransi Glukosa Oral) meskipun TTGO dengan beban 75 g glukosa
lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa,
namun sulit dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan.
Diagnostik DM dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel Kriteria Diagnosis DM
Gejala klasik DM
+

1* Kadar glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dl (11.1 mmol/L)


Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada
suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir

ATAU
Gejala klasik DM
+

2* Kadar glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dl (7.0 mmol/L)


Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8
jam

ATAU
Kadar glukosa plasma 2 jam pada TTGO ≥ 200 mg/dl (11.1
mmol/L)

3** TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban


glukosa yang setara dengan 75 g glukosan anhidrus yang dilarutkan
ke dalam air

12
* Kriteria diagnostik tsb harus dikonfirmasi ulang pada hari yang lain, kecuali
untuk keadaan khas hiperglikemia dengan dekompensasi metabolik akut, seperti
ketoasidosis atau berat badan yang menurun cepat.
** Cara diagnosis dengan kriteria ini tidak dipakai rutin diklinik
(American Diabetes Association, 2014)

Cara pelaksanaan TTGO (WHO, 1999)

1) 3 (tiga) hari sebelumnya makan seperti biasa (dengan karbohidrat yang


cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti biasa.
2) Puasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan
minum air putih tanpa gula tetap diperbolehkan.
3) Kadar glukosa darah puasa diperiksa.
4) Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa) atau 1,75 gram/kgbb (anak-
anak), dilarutkan dalam air 250 ml dan diminum dalam waktu 5 menit.
5) Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan
2 jam setelah minum larutan glukosa selesai.
6) Diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa.
7) Selama proses pemeriksaan subjek yang diperiksa tetap berirtirahat dan
tidak merokok.

2.9 Penatalaksanaan Diabetes Melitus Tipe 2


Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup
penyandang diabetes, yang meliputi:
 Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan dan tanda DM,
memperbaiki kualitas hidup, dan tercapainya target pengendalian glukosa
darah
 Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat progretivitas
penyulit mikroangiopati, makroangiopati, dan neuropati
 Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas
penderita DM

13
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah,
tekanan darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara
komprehensif dan holistik dengan mengajarkan perawatan mandiri dan perubahan
perilaku (Budhiarta et al, 2009).

2.9.1 Langkah Penatalaksanaan Umum


Evaluasi medis yang lengkap pada pertemuan pertama meliputi:
a. Riwayat Penyakit:
 Usia dan karakteristik saat onset diabetes
 Pola makan, status nutrisi, status aktivitas fisik, dan riwayat
perubahan berat badan
 Riwayat tumbuh kembang pada pasien anak/dewasa muda
 Pengobatan yang pernah diperoleh sebelumnya secara lengkap,
termasuk terapi gizi medis dan penyuluhan yang telah
diperoleh tentang perawatan DM secara mandiri
 Pengobatan yang sedang dijalani, termasuk obat yang
digunakan, perencanaan diet dan program latihan jasmani
 Riwayat komplikasi akut (ketoasidosis diabetik, hiperosmolar
hiperglikemia, hipoglikemia)
 Riwayat infeksi sebelumnya, terutama infeksi kulit, gigi, dan
traktur urogenital
 Gejala dan riwayat pengobatan komplikasi kronik pada ginjal,
mata, kardiovaskular, kaki, saluran pencernaan dan lain-lain
 Riwayat pengobatan lain yang mungkin berpengaruh terhadap
glukosa darah
 Faktor resiko: merokok, hipertensi, riwayat penyakit jantung
koroner, obesitas, dan riwayat penyakit keluarga (termasuk
penyakit DM dan endokrin lain).
 Riwayat penyakit dan pengobatan di luar DM

14
 Karakteristik budaya, psikososial, pendidikan, dan status
ekonomi
 Kehidupan seksual, penggunaan kontrasepsi dan kehamilan
b. Pemeriksaan Fisik:
 Pengukuran tinggi dan berat badan
 Pengukuran tekanan darah, termasuk pengukuran tekanan
darah dalam posisi berdiri untuk mencari kemungkinan adanya
hipotensi ortostatik
 Pemeriksaan funduskopi
 Pemeriksaan rongga mulut dan kelenjar tiroid
 Pemeriksaan jantung
 Evaluasi nadi baik secara palpasi maupun dengan stetoskop
 Pemeriksaan ekstremitas superior dan inferio termasuk jari
 Pemeriksaan kulit (acantosis nigrican dan bekan tempat
penyuntikan insulin)
 Pemeriksaan neurologis
 Tanda-tanda penyakit lain yang dapat menimbulkan DM tipe
lain
c. Evaluasi Laboratorium/Pemeriksaan Penunjang Lain:
 Glukosa darah puasa dan 2 jam post prandial
 HbA1C
 Profil lipid pada keadaan puasa (kolesterol total, HDL, LDL,
trigliserida)
 Kreatinin serum
 Pemeriksaan urin: albumin, keton, sedimen, dan protein
 Elektrokardiogram
 Radiografi thorax
d. Tindakan Rujukan:
 Ke bagian mata bila diperlukan pemeriksaan mata lebih lanjut
 Konsultasi keluarga berencana untuk wanita usia produktif

15
 Konsultasi terapi gizi medis sesuai indikasi
 Konsultasi dengan educator diabetes
 Konultasi dengan spesialis kaki (podiatrist), spsialis perilaku
(psikolog) atau spesialis lain sesuai indikasi

Evaluasi medis secara berkala meliputi:

a. Dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah puasa dan 2 jam


sesudah makan sesuai dengan kebutuhan
b. Pemeriksaan HbA1C dilakukan setiap (3-6) bulan
c. Setiap satu tahun dilakukan pemeriksaan:
 Jasmani lengkap
 Mikroalbuminuria
 Kreatinin
 Albumin/globulin dan ALT
 Kolesterol total, HDL, LDL, dan trigliserida
 EKG
 Foto sinar-x thorax
 Funduskopi

(Budhiarta, 2009).

2.9.2 Pilar Penatalaksanaan Khusus


Banyaknya komplikasi kronik yang dapat terjadi pada DM tipe-2, dan
sebagian besar mengenai organ vital yang dapat fatal, maka tatalaksana DM
tipe-2 memerlukan terapi agresif untuk mencapai kendali glikemik dan
kendali faktor risiko kardiovaskular. Dalam Konsensus Pengelolaan dan
Pencegahan DM tipe 2 di Indonesia 2011, penatalaksanaan dan pengelolaan
DM dititik beratkan pada 4 pilar penatalaksanaan DM, yaitu: edukasi, terapi
gizi medis, latihan jasmani dan intervensi farmakologis (PERKENI, 2011 dan
Piette, 2003).

16
a. Edukasi
Tim kesehatan mendampingi pasien dalam perubahan perilaku sehat
yang memerlukan partisipasi aktif dari pasien dan keluarga pasien.
Upaya edukasi dilakukan secara komphrehensif dan berupaya
meningkatkan motivasi pasien untuk memiliki perilaku sehat (Ndraha,
2014).
Tujuan dari edukasi diabetes adalah mendukung usaha pasien
penyandang diabetes untuk mengerti perjalanan alami penyakitnya dan
pengelolaannya, mengenali masalah kesehatan/ komplikasi yang
mungkin timbul secara dini/ saat masih reversible, ketaatan perilaku
pemantauan dan pengelolaan penyakit secara mandiri, dan perubahan
perilaku/kebiasaan kesehatan yang diperlukan (Ndraha, 2014).
Edukasi pada penyandang diabetes meliputi pemantauan glukosa
mandiri, perawatan kaki, ketaatan pengunaan obat-obatan, berhenti
merokok, meningkatkan aktifitas fisik, dan mengurangi asupan kalori
dan diet tinggi lemak (Ndraha, 2014).
b. Terapi Gizi Medis
Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes yaitu makanan
yang seimbang, sesuai dengan kebutuhan kalori masing-masing individu,
dengan memperhatikan keteraturan jadwal makan, jenis dan jumlah
makanan. Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari karbohidrat
45%-65%, lemak 20%-25%, protein 10%-20%, Natrium kurang dari 3g,
dan diet cukup serat sekitar 25g/hari (PERKENI, 2011).
c. Latihan Jasmani
Latihan jasmani secara teratur 3-4 kali seminggu, masing-masing
selama kurang lebih 30 menit. Latihan jasmani dianjurkan yang bersifat
aerobik seperti berjalan santai, jogging, bersepeda dan berenang. Latihan
jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat
badan dan meningkatkan sensitifitas insulin (PERKENI, 2011).

17
d. Intervensi Farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan peningkatan
pengetahuan pasien, pengaturan makan dan latihan jasmani. Terapi
farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan. Obat yang saat ini
ada antara lain:
I. Obat Hipoglikemia Oral (OHO)
Pemicu sekresi insulin:
a. Sulfonilurea
• Efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel
beta pankreas
• Pilihan utama untuk pasien berat badan normal atau
kurang
• Sulfonilurea kerja panjang tidak dianjurkan pada
orang tua, gangguan faal hati dan ginjal serta
malnutrisi
b. Glinid
• Terdiri dari repaglinid dan nateglinid
• Cara kerja sama dengan sulfonilurea, namun lebih
ditekankan pada sekresi insulin fase pertama
• Obat ini baik untuk mengatasi hiperglikemia
postprandial
(PERKENI, 2011).

Peningkat sensitivitas insulin:


a. Biguanid
• Golongan biguanid yang paling banyak digunakan
adalah Metformin
• Metformin menurunkan glukosa darah melalui
pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat
seluler, distal reseptor insulin, dan menurunkan
produksi glukosa hati

18
• Metformin merupakan pilihan utama untuk penderita
diabetes gemuk, disertai dislipidemia, dan disertai
resistensi insulin.
(Sugondo, 2009).

b. Tiazolidindion
• Menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan
jumlah protein pengangkut glukosa sehingga
meningkatkan ambilan glukosa perifer
• Tiazolidindion dikontraindikasikan pada gagal
jantung karena meningkatkan retensi cairan.
(PERKENI, 2011 dan Sugondo, 2009).

Penghambat glukoneogenesis:

Biguanid (Metformin)
• Selain menurunkan resistensi insulin, Metformin
juga mengurangi produksi glukosa hati.
• Metformin dikontraindikasikan pada gangguan
fungsi ginjal dengan kreatinin serum > 1,5 mg/ dL,
gangguan fungsi hati, serta pasien dengan
kecenderungan hipoksemia seperti pada sepsis
• Metformin tidak mempunyai efek samping
hipoglikemia seperti golongan sulfonylurea.
• Metformin mempunyai efek samping pada saluran
cerna (mual) namun bisa diatasi dengan pemberian
sesudah makan.
(Rojas, 2013; Wang et al, 2012; Tock et al, 2010)

19
Penghambat glukosidase alfa:

Acarbose
• Bekerja dengan mengurangi absorbsi glukosa di
usus halus.
• Acarbose juga tidak mempunyai efek samping
hipoglikemia seperti golongan sulfonilurea.
• Acarbose mempunyai efek samping pada saluran
cerna yaitu kembung dan flatulens.
• Penghambat dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4)
Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu
hormone peptide yang dihasilkan oleh sel L di
mukosa usus. Peptida ini disekresi bila ada makanan
yang masuk. GLP-1 merupakan perangsang kuat
bagi insulin dan penghambat glukagon. Namun
GLP-1 secara cepat diubah menjadi metabolit yang
tidak aktif oleh enzim DPP-4. Penghambat DPP-4
dapat meningkatkan penglepasan insulin dan
menghambat penglepasan glukagon.
(Ndraha, 2014).

II. Obat Suntikan

a. Insulin
• Insulin kerja cepat
• Insulin kerja pendek
• Insulin kerja menengah
• Insulin kerja panjang
• Insulin campuran tetap
b. Agonis GLP-1/incretin mimetik
• Bekerja sebagai perangsang penglepasan insulin tanpa
menimbulkan hipoglikemia, dan menghambat penglepasan
glukagon

20
• Tidak meningkatkan berat badan seperti insulin dan
sulfonilurea
• Efek samping antara lain gangguan saluran cerna seperti
mual muntah

Dengan memahami 4 pilar tata laksana DM tipe 2 ini, maka dapat


dipahami bahwa yang menjadi dasar utama adalah gaya hidup sehat (GHS).
Semua pengobatan DM tipe 2 diawali dengan GHS yang terdiri dari edukasi
yang terus menerus, mengikuti petunjuk pengaturan makan secara konsisten,
dan melakukan latihan jasmani secara teratur. Sebagian penderita DM tipe 2
dapat terkendali kadar glukosa darahnya dengan menjalankan GHS ini. Bila
dengan GHS glukosa darah belum terkendali, maka diberikan monoterapi
OHO (Ndraha, 2009).
Pemberian OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara
bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa darah. Pemberian OHO
berbeda-beda tergantung jenisnya. Sulfonilurea diberikan 15-30 menit
sebelum makan. Glinid diberikan sesaat sebelum makan. Metformin bisa
diberikan sebelum/sesaat/sesudah makan. Acarbose diberikan bersama makan
suapan pertama. Tiazolidindion tidak bergantung pada jadwal makan, DPP-4
inhibitor dapat diberikan saat makan atau sebelum makan (Ndraha, 2009).
Bila dengan GHS dan monoterapi OHO glukosa darah belum terkendali
maka diberikan kombinasi 2 OHO. Untuk terapi kombinasi harus dipilih 2
OHO yang cara kerja berbeda, misalnya golongan sulfonilurea dan
metformin. Bila dengan GHS dan kombinasi terapi 2 OHO glukosa darah
belum terkendali maka ada 2 pilihan yaitu yang pertama GHS dan kombinasi
terapi 3 OHO atau GHS dan kombinasi terapi 2 OHO bersama insulin basal.
Yang dimaksud dengan insulin basal adalah insulin kerja menengah atau
kerja panjang, yang diberikan malam hari menjelang tidur (Ndraha, 2009).
Bila dengan cara diatas glukosa darah terap tidak terkendali maka
pemberian OHO dihentikan, dan terapi beralih kepada insulin intensif. Pada
terapi insulin ini diberikan kombinasi insulin basal untuk mengendalikan
glukosa darah puasa, dan insulin kerja cepat atau kerja pendek untuk

21
mengendalikan glukosa darah prandial. Kombinasi insulin basal dan prandial
ini berbentuk basal bolus yang terdiri dari 1 x basal dan 3 x prandial.
Algoritma tata laksana selengkapnya dapat dilihat pada gambar 1 (Ndraha,
2009).

Gambar 1. Algoritme Pengelolaan DM Tipe 2 Tanpa Dekompensasi

Sumber: Ndraha, 2014

Kriteria pengendalian DM
Untuk mencegah komplikasi kronik, diperlukan pengendalian DM yang baik
yang merupakan sasaran terapi. Diabetes dinyatakan terkendali baik bila
kadar glukosa darah, tes hemoglobin terglikosilasi (HbA1c) dan lipid
mencapai target sasaran. Kriteria lengkap dari keberhasilan pengendalian DM
ini dapat dilihat pada gambar 2.

22
Gambar 2. Algoritma Pengelolaan DM Tipe 2 Berdasarkan HbA1c

2.10 Pencegahan Primer Diabetes Melitus Tipe 2


Sasaran dari pencegahan primer adalah orang-orang yang termasuk
kelompok resiko tinggi, yaitu mereka yang belum menderita DM, tetapi
berpotensi untuk menderita DM diantaranya : a) Kelompok usia tua (>45tahun);
b)Kegemukan (BB(kg)>120% BB ideal atau IMT>27 (kglm2)); c) Tekanan darah
tinggi (>120/90mmHg); d) Riwayat keluarga DM e. Riwayat kehamilan dengan
BB bayi lahir > 4000 gr; f) Dislipidemia (HvL ≤ 35 mg/dl dan atau
Trigliserida>250mg/dl); g) Pernah toleransi glukosa terganggu (TGT) atau
glukosa darah puasa terganggu (Fatimah, 2015).
Pada pencegahan primer ini harus mengenal faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap terjadinya DM dan upaya untuk mengeliminasi faktorfaktor tersebut.
Pada pengelolaan DM, penyuluhan menjadi sangat penting fungsinya untuk
mencapai tujuan tersebut. Materi penyuluhan dapat berupa : apa itu DM, faktor-
faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya DM, usaha untuk mengurangi faktor-
faktor tersebut, penatalaksanaan DM, obat-obat untuk mengontrol gula darah,
perencanaan makan, mengurangi kegemukan, dan meningkatkan kegiatan jasmani
(Yaturu, 2014).

23
1) Penyuluhan
Edukasi DM adalah pendidikan dan latihan mengenai
pengetahuan mengenai DM. Disamping kepada pasien DM, edukasi
juga diberikan kepada anggota keluarganya, kelompok masyarakat
beresiko tinggi dan pihak-pihak perencana kebijakan kesehatan.
Berbagai materi yang perlu diberikan kepada pasien DM adalah definisi
penyakit DM, faktor-faktor yang berpengaruh pada timbulnya DM dan
upaya-upaya menekan DM, pengelolaan DM secara umum, pencegahan
dan pengenalan komplikasi DM, serta pemeliharaan kaki.
2) Latihan Jasmani
Latihan jasmani yang teratur (3-4 kali seminggu selama kurang
lebih 30 menit) memegang peran penting dalam pencegahan primer
terutama pada DM Tipe 2. Orang yang tidak berolah raga memerlukan
insulin 2 kali lebih banyak untuk menurunkan kadar glukosa dalam
darahnya dibandingkan orang yang berolah raga. Manfaat latihan
jasmani yang teratur pada penderita DM antara lain : a) Memperbaiki
metabolisme yaitu menormalkan kadar glukosa darah dan lipid darah;
b) Meningkatkan kerja insulin dan meningkatkan jumlah pengangkut
glukosa; c) Membantu menurunkan berat badan; d) Meningkatkan
kesegaran jasmani dan rasa percaya diri; e) Mengurangi resiko penyakit
kardiovaskular
Laihan jasmani yang dimaksud dapat berupa jalan, bersepeda
santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan
dengan umur dan status kesegaran jasmani.
3) Perencanaan Pola Makan
Perencanaan pola makan yang baik dan sehat merupakan kunci
sukses manajemen DM. Seluruh penderita harus melakukan diet dengan
pembatasan kalori, terlebih untuk penderita dengan kondisi kegemukan.
Menu dan jumlah kalori yang tepat umumnya dihitung berdasarkan
kondisi individu pasien.

24
Perencanaan makan merupakan salah satu pilar pengelolaan DM,
meski sampai saat ini tidak ada satupun perencanaan makan yang sesuai
untuk semua pasien, namun ada standar yang dianjurkan yaitu makanan
dengan komposisi yang seimbang dalam karbohidrat, protein, dan
lemak sesuai dengan kecukupan gizi baik sebagai berikut: Karbohidrat
= 60-70 %, Protein = 10-15 %, dan Lemak = 20-25 %.
Jumlah asupan kolesterol perhari disarankan < 300 mg/hari dan
diusahakan lemak berasal dari sumber asam lemak tidak jenuh dan
membatasi PUFA (Poly Unsaturated Fatty Acid) dan asam lemak
jenuh. Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi,
umur, ada tidaknya stress akut dan kegiatan jasmani.
(Rodbard et al, 2009 dan Holman et al, 2008)

25
BAB III
METODE PELAKSANAAN

3.1 Tempat Pelaksanaan


Tugas pengenalan profesi blok XII dengan judul “Observasi pasien penderita
Diabetes Melitus Tipe 2 Terkontrol di Masyarakat” akan dilaksanakan di
lingkungan masyarakat kota Palembang.

3.2 Waktu Pelaksanaan


Tugas pengenalan profesi ini akan dilaksanakan pada bulan Mei 2017

3.3 Subjek Tugas Mandiri


Subjek tugas mandiri pada tugas pengenalan profesi blok XII ini adalah
masyarakat penderita Diabetes Melitus Tipe 2 terkontrol.

3.4 Alat dan Bahan


Alat dan bahan yang digunakan pada tugas pengenalan profesi ini adalah
sebagai berikut:
1. Alat Tulis
2. Daftar pertanyaan wawancara
3. Kamera
4. Alat perekam suara

3.5 Langkah Kerja


1. Konsultasi kepada pembimbing
2. Membuat dan mengajukan proposal kepada pembimbing
3. Meminta surat persetujuan izin pelaksanaan TPP yang ditandatangani
pembimbing
4. Melakukan wawancara terhadap penderita Diabetes Melitus Tipe 2
terkontrol di masyarakat
5. Mencatat kembali hasil wawancara

26
6. Membuat kesimpulan wawancara
7. Membuat laporan TPP dan meminta tanda tangan pembimbing untuk
persetujuan pelaksanaan pleno TPP.

27
DAFTAR PUSTAKA

American Diabetes Association. 2014. Diagnosis And Classification Of Diabetes


Mellitus. Diabetes Care. Volume 37. Hal 14-80.
Budhiarta, Agung Pranoto et al. 2009. Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes
Melitus Tipe 2 di Indonesia. Jakarta: PT Medinfocomm Indonesia.
Dorland W. A. Newman, 2014. Kamus Saku Kedokteran DORLAND. Edisi 28.
Jakarta: EGC. Hal 308.
Fatimah, Restyana Noor. 2015. Majority Jurnal: Diabetes Melitus Tipe 2 (Review
Artikel). 4(5): 93-101.
Gustaviani, Reno. 2006. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Dalam
Sudoyo, Aru W et al,. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi 4.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Hal 1857-
1858.
Holman RR, Paul SK, Bethel MA, Matthews DR, Neil HA:10-year follow up of
intensive glucose control in type 2 diabetes.N Engl J Med2008, 359:1577–
1589
J Piette. Effectiveness of Self-management Education. Dalam: Gan D, Allgot B,
King H, Lefèbvre P, Mbanya JC, Silink M, penyunting. Diabetes Atlas. Edisi
ke-2. Belgium: International Diabetes Federation; 2003:h.207-15)
Ndraha, Suzanna. 2014. Medicinus: Diabetes Melitus Tipe 2 dan Tatalaksana
Terkini. 27(2): 9-16.
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. 2011. Konsensus Pengendalian dan
Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. Jakarta: PD. PERKENI.
Hal.4-10 dan 15-29.
Price, Sylvia A., Lorraine M. Wilson. 2005. Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit Edisi 6 Volume 2. Jakarta: EGC. Hal 1262-1263.
Purnamasari, Dyah. 2014. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus, Dalam
Sudoyo, Aru W et al,. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi VI.
Jakarta: Interna Publishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam. Hal
2323.

28
Rakhmadany, dkk. 2010. Makalah Diabetes Melitus. Jakarta : Universitas Islam
Negeri.
Rodbard HW, Jellinger PS, Davidson JA,et al: Statement by an American
association of clinical endocrinologists/American college of endocrinology
consensus panel on type 2 diabetes mellitus. An algorithm for glycemic
control. Endocr Pract 2009,15(6):540–559.
Rojas LBA, Gomes MB. Metformin: an old but still the best treatment for type 2
diabetes. Diabetology & Metabolic Syndrome2013,5:6. Diunduh dari
http://www.dmsjournal. com/ content/5/1/6
Silverthorn, Dee Unglaub. 2014. Fisiologi Manusia: Pendekatan Terintegrasi
Edisi 6. Jakarta: EGC.
Sugondo S. 2009. Farmakoterapi pada pengendalian glikemia diabetes melitus
tipe 2. Dalam Sudoyo, Aru W et al,. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 5.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Hal 1882-
1885.
Suyono, slamet. 2006. Diabetes Melitus di Indonesia, Dalam Sudoyo, Aru W et
al,. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi 4. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Hal 2316-2318.
Tock L, Dˆamaso A, de Piano A, Carnier J,et al: Long-Term Effects of metformin
and lifestyle modification on nonalcoholic fatty liver disease obese
adolescents. J Obes2010,831901:6. Article ID 831901
Wang J, Gallagher D, De Vito L,et al: Metformin activates an atypical PKC-CBP
pathway to promote neurogenesis and enhance spatial memory formation.
Cell Stem Cell2012,11:23–35.
Waspadji, Sarwono. 2006. Komplikasi Kronik Diabetes: Mekanisme Terjadinya
Diagnosis dan Strategi Pengelolaan. Dalam Sudoyo, Aru W et al,. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Hal 1884-1888.
WHO, 1999. Consultation Report Definition: Defenition, Diagnosis and
Classification of Diabetes Melitus and Its Complication.

29

Anda mungkin juga menyukai