Anda di halaman 1dari 22

REFRAT

DISFUNGSI JANTUNG YANG DIINDUKSI SEPSIS DAN TERAPI


BLOKADE BETA ADRENERGIK PADA SEPSIS

DISUSUN OLEH:
Larashati Putri Wijaya G99181041

PEMBIMBING:
Dr. Arifin, Sp. PD-KIC, FINASIM

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2019

1
HALAMAN PENGESAHAN

Pembacaan refrat ini disusun untuk memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik


Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret / RSUD
Dr. Moewardi. Pembacaan Journal Reading dengan judul:

Disfungsi Jantung Yang Diinduksi Sepsis Dan Terapi Blokade Beta


Adrenergik Pada Sepsis

Hari, tanggal : Juni 2019

Oleh :

Larashati Putri Wijaya G99181041

Mengetahui dan menyetujui,


Pembimbing Pembacaan Journal Reading

Dr. Arifin, Sp. PD-KIC, FINASIM

2
Disfungsi Jantung Yang Diinduksi Sepsis Dan Terapi Blokade Beta Adrenergik
Pada Sepsis

Takehsi Suzuki, Yta Suzuki, Jun Okuda, Takuya Kurazumi, Tomohiro Suhara,
Tomomi Ueda, Hiromasa Nagata
Departemen Anestesiologi dan Unit Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran
Universitas Keio, Shinomachi, Shinjuku, Tokyo-Jepang

Latar belakang: Meskipun kemajuan pada bidang terapi intensif terus terjadi,
namun kematian akibat sepsis yang didefinisikan sebagai disfungsi organ yang
mengancam jiwa akibat diregulasi respon host terhadap infeksi, masih tetap
tinggi. Resusitasi cairan dan vasopresor adalah pengobatan lini pertama untuk
sepsis untuk mengoptimalkan ketidakstabilan hemodinamik yang disebabkan oleh
vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah. Namun terapi yang
bertujuan menjaga tekanan darah dan aliran darah ke vital organ ini, bisa memiliki
efek jantung yang bersifat merusak, karena mengakibatkan kerusakan
kardiomiosit yang terjadi pada tahap awal sepsis. Studi eksperimental dan klinis
terbaru telah menunjukkan bahwa terdapat sejumlah faktor yang berkontribusi
pada terjadinya disfungsi jantung yang diinduksi sepsis dan derajat disfungsi
jantung merupakan salah satu faktor prognostik utama sepsis. Oleh karena itu,
strategi untuk mencegah kerusakan kardiomiosit lebih lanjut dapat menjadi sangat
penting dalam meningkatkan outcome sepsis.

Di antara banyak faktor yang menyebabkan disfungsi jantung yang


diinduksi sepsis ini, faktor stimulasi saraf simpatis yang berlebih akibat
peningkatan kadar katekolamin endogen dan pemberian katekolamin eksogen,
dianggap sebagai faktor utama. Terapi blokade β-adrenergik banyak digunakan
untuk penyakit jantung iskemik dan gagal jantung kronis serta untuk pencegahan
terjadinya gangguan kardiovaskular pada pasien-pasien perioperatif berisiko
tinggi yang menjalani operasi besar. Terapi ini juga telah terbukti mengembalikan
fungsi jantung pada penelitian eksperimental dengan model hewan septik. Pada
satu penelitian acak terkontrol (Randomized Trial Control), infus esmolol pada
pasien dengan syok septik dengan takikardia persisten dapat mengurangi

3
mortalitas selama 28 hari. Lebih lanjut, terdapat kemungkinan bahwa terapi
blokade β-adrenergik dapat menghasilkan efek menguntungkan lainnya pada
pasien dengan sepsis, seperti pengurangan produksi sitokin inflamasi, penekanan
status hipermetabolik, pemeliharaan homeostasis glukosa, dan peningkatan
gangguan koagulasi. Akumulasi dari bukti-bukti terbaru menunjukkan bahwa
blokade β-adrenergik bisa menjadi terapi yang menarik untuk peningkatan
prognosis sepsis. Kami menunggu uji klinis acak multicenter besar untuk
mengkonfirmasi efek yang menguntungkan terapi blokade β-adrenergik pada
sepsis, yang mortalitasnya masih tinggi.

Kata kunci: Sepsis, Sepsis yang diinduksi disfungsi jantung, Terapi blokade β-
adrenergik

Latar Belakang

Sepsis didefinisikan sebagai disfungsi organ yang mengancam jiwa akibat


disregulasi respon host terhadap infeksi menurut konsensus internasional ketiga
untuk sepsis dan syok septik. Sepsis adalah salah satu penyebab kematian
terbesar di unit perawatan intensif (ICU), meskipun terjadi kemajuan yang
signifikan dalam pengobatan perawatan intensif. Diperkirakan pada 56 hingga 91
per 100.000 orang dewasa mengalami sepsis berat dan syok septik di seluruh
dunia masing-masing per tahunnya, dan angka kematian akibat syok septik yang
merupakan keadaan refraktori hipotensi parah berkisar dari 40 hingga 50% pada
dekade terakhir. Diperkirakan bahwa di seluruh dunia, satu pasien meninggal
karena sepsis setiap beberapa detik dan kematian akibat sepsis telah melampaui
kematian akibat infark miokard akut. Karena itu, meningkatkan prognosis pada
pasien dengan sepsis menjadi tantangan bagi dokter yang bekerja di ICU.

Meskipun respon hemodinamik terhadap sepsis dikarakteristikan sebagai


keadaan hyperdynamic, yang ditandai dengan peningkatan curah jantung karena
resusitasi cairan dan penurunan resistensi vaskular sistemik, disfungsi jantung
terjadi selama tahap awal sepsis.

4
Pada pemeriksaan ekokardiografi, disfungsi jantung yang diinduksi sepsis
diidentifikasi dengan adanya pengurangan stroke volume dan fraksi ejeksi.
Banyak faktor telah terbukti berkontribusi pada disfungsi jantung yang diinduksi
sepsis, dan stimulasi berlebih adrenergik dianggap meningkatkan disfungsi
miokardial selama sepsis. Selama beberapa dekade terakhir, banyaknya penelitian
eksperimental dan studi klinis yang semakin berkembang serta berfokus pada
efek yang menguntungkan dari terapi β-adrenergik blocker untuk mengobati
sepsis, menunjukkan bahwa terapi ini merupakan intervensi terapi yang
menjanjikan.

Dalam artikel ini, kami merangkum patofisiologi disfungsi jantung yang


diinduksi sepsis dan membahas potensi efek terapi blokade β-adrenergik pada
disfungsi jantung yang diinduksi sepsis dan kerusakan organ lainnya selama
sepsis.

5
Review

Manajemen Hemodinamik Pada Syok Septik

Sepsis ditandai oleh adanya disregulasi respon inflamasi sistemik yang


disebabkan oleh infeksi, yang mengarah ke kerusakan multi organ dan syok.
Banyak mediator, seperti sitokin proinflamasi, termasuk nekrosis tumor faktor-α
(TNF-α) dan interleukin (IL-1β), nitrat oksida, dan berbagai jenis oksigen reaktif,
telah terbukti menyebabkan disfungsi jantung, peningkatan permeabilitas
pembuluh darah, dan mengurangi resistensi pembuluh darah perifer, yang dapat
menyebabkan ketidakstabilan hemodinamik dan kerusakan multi organ.

Pada tahun 2001, Rivers et al. menyimpulkan bahwa terapi diarahkan pada
tujuan awal (Early Goal Directed Therapy) yang menargetkan tekanan darah rata-
rata di atas 65 mmHg dan saturasi oksigen darah vena sentral (ScVO2) lebih dari
70% dalam waktu 6 jam dari onset terjadinya sepsis berat, secara signifikan
mengurangi angka kematian. Meskipun, baru-baru ini, tiga percobaan acak
multicenter telah menunjukkan bahwa EGDT tidak meningkatkan hasil pada
pasien dengan sepsis berat. Jelas bahwa menstabilkan hemodinamik pada tahap
awal sepsis sangat penting untuk pengelolaan pasien septik, seperti derajat
clearance laktat yang telah terbukti mencerminkan prognosis pada pasien kritis.

Selama tahap awal sepsis, terutama pada pasien dengan syok septik, tujuan
utama pengobatan adalah optimalisasi status hemodinamik dengan memadai
resusitasi cairan dan vasopresor, untuk memenuhi kebutuhan oksigen dari jaringan
perifer dan mencegah cedera organ. Namun, cairan yang berlebihan dan stimulasi
adrenergik yang berlebihan bisa merugikan jantung, yang sudah mengalami
cedera pada awal tahap sepsis. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa tingkat
kematian pasien yang mengalami disfungsi jantung selama tahap awal sepsis lebih
tinggi dibandingkan dengan pasien tanpa disfungsi jantung, yang
mengimplikasikan bahwa mengurangi kerusakan kardiomiosit adalah strategi
yang sangat penting dalam pengelolaan pasien dengan sepsis untuk meningkatkan
prognosis.

6
Disfungsi Jantung Yang Diinduksi Oleh Sepsis

Calvin et al. pertama kali menggambarkan disfungsi miokard pada pasien syok
septik yang diresusitasi dengan volume cairan cukup pada tahun 1981,
menunjukkan adanya penurunan fraksi ejeksi dan peningkatan indeks volume
end-diastolik. Packer et al. menunjukkan bahwa pasien yang bertahan dengan
sepsis mengalami penurunan fraksi ejeksi dan peningkatan indeks volume end-
diastolik, yang pulih antara 7 dan 10 hari setelah timbulnya sepsis, namun pasien
yang tidak mampu mempertahankan fraksi ejeksi normal dan volume end-
diastolik menunjukkan bahwa disfungsi jantung pada sepsis adalah mekanisme
kompensasi yang memberikan efek perlindungan dari terjadinya disfungsi
miokard.

Studi-studi eksperimental juga telah mengidentifikasi sepsis yang


diinduksi oleh kerusakan morfologis dan fungsional pada jantung. Sebuah studi
yang meneliti perubahan morfologis jantung yang ditimbulkan oleh cecum
ligation and puncture (CLP) akibat peritonitis perut pada model domba, dijelaskan
bahwa terjadi kerusakan pada struktur mitokondria dan terganggunya
mikrosirkulasi akibat edema miokard dan edema sel endotel vaskular yang dapat
berkontribusi terhadap disfungsi jantung selama tahap awal sepsis. Dalam sebuah
studi ex vivo yang mengevaluasi fungsi jantung dalam model kerja jantung 24 jam
setelah CLP pada tikus, menunjukkan terganggunya dP / dt max yang merupakan
indikator fungsi sistolik jantung, kerja jantung, dan efisiensi jantung. Studi-studi
eksperimental ini menunjukkan cedera jantung secara struktural dan fungsional,
meskipun fungsi jantung bisa dimodulasi oleh perubahan preload dan afterload
pada situasi klinis.

Studi klinis terbaru yang mengevaluasi fungsi jantung pasien dengan


sepsis melalui ekokardiografi juga menunjukkan pengurangan fraksi ejeksi,
diikuti oleh disfungsi sistolik dan diastolik. Namun sejumlah studi tidak
menemukan peningkatan indeks volume end-diastolik ventrikel kiri, yang
ditunjukkan pada studi sebelumnya. Selanjutnya, telah dilaporkan bahwa

7
gangguan fraksi ejeksi dikaitkan dengan prognosis buruk, bertentangan dengan
penelitian sebelumnya oleh Packer et al., yang menemukan bahwa ejeksi
berkurang fraksi dikaitkan dengan peningkatan hasil. Meskipun terdapat beberapa
perbedaan di antara studi-studi tentang hubungan antara pengurangan fraksi ejeksi
dan prognosis, terdapat bukti yang jelas tentang hubungan antara perubahan
morfologi jantung yang diinduksi sepsis dan disfungsi miokard yang
dimanifestasikan sebagai penurunan kontraktilitas dan gangguan pemenuhan
miokard. Disfungsi progresif ini berkembang selama tahap awal sepsis dan dapat
mempengaruhi prognosis.

Mekanisme Disfungsi Jantung yang Diinduksi Sepsis

Meskipun terjadi kemajuan dalam pemahaman kita tentang patofisiologi


sepsis, mekanisme sepsis yang diinduksi kardiomiopati belum sepenuhnya
dijelaskan. Lebih dari beberapa dekade terakhir, sejumlah penelitian
eksperimental dan klinis menunjukkan kemungkinan mekanisme penyebab untuk
disfungsi jantung progresif yang dapat diamati pada pasien dengan sepsis.
(Gambar 1).

Gangguan Aliran Darah Koroner

Pada tahun 1970-an, didalilkan bahwa aliran darah koroner yang tidak memadai,
karena penurunan volume intravaskular, miokard dan endotel edema sel, dan
vasodilatasi, adalah penyebab utama disfungsi miokard yang diinduksi sepsis.
Namun, studi ahli lebih lanjut menolak teori iskemik miokard dan menunjukkan

8
bahwa aliran koroner pada pasien dengan sepsis yang disertai disfungsi jantung
sebanding dengan, atau lebih besar, dari aliran koroner dalam kontrol.
Selanjutnya, penelitian postmortem tidak menemukan nekrosis miokard pada
pasien dengan syok septik. Meskipun mungkin ada perubahan pada mikrosirkulasi
jantung pada sepsis yang disebabkan oleh gangguan sel endotel dan maldistribusi
aliran darah koroner, namun belum jelas terbukti bahwa iskemia miokard
berkontribusi terhadap patogenesis kardiomiopati yang diinduksi sepsis.

Faktor Depresan Miokard Dan Sitokin Inflamasi

Dalam studi in vitro yang dilakukan pada tahun 1985, Parrillo et al. menemukan
bahwa serum dari pasien dengan sepsis yang kinerja sel miokardnya tertekan,
berbeda dengan serum dari pasien sakit kritis tanpa sepsis, menunjukkan bahwa
faktor depresan miokard (Myocardial Depressant Factor)/(MDF) adalah penyebab
utama disfungsi jantung pada sepsis. Para peneliti kemudian menyelidiki struktur
molekul MDF dan menyimpulkan bahwa MDF mungkin menjadi komponen
endotoksin dan komponen dinding sel bakteri gram negatif. Namun, penelitian
lebih lanjut mengungkapkan itu karakteristik sitokin inflamasi sebanding dengan
MDF. Diantara sitokin-sitokin ini, tumor necrosis factor-α (TNF-α) dan
interleukin-1β (IL-1β), yang diproduksi secara berlebihan pada tahap awal sepsis,
menekan fungsi jantung secara sinergis.

Nitrat Oksida Dan Oksigen Reaktif

TNF-α dan IL-1β adalah mediator utama yang menyebabkan disfungsi miokard
dalam sepsis. Namun, sitokin ini memiliki waktu paruh pendek, dan penelitian
telah menunjukkan bahwa konsentrasi mereka menurun pada tahap awal sepsis.
Oleh karena itu, mediator lain, seperti nitric oxide (NO) dan spesies oksigen
reaktif (ROS), telah dianggap sebagai efektor sekunder pada disfungsi jantung
yang diinduksi sepsis. Induksi berlebih NO synthase (iNOS), dan khususnya
iNOS-2, diinduksi dalam miokardium oleh sitokin pro-inflamasi, menghasilkan
sejumlah besar produksi NO. Hal ini berkontribusi terhadap disfungsi miokard
melalui pengurangan sensitivitas respons myofibril terhadap kalsium,

9
penghambatan persinyalan β-adrenergik, penurunan regulasi Reseptor β-
adrenergik, dan disfungsi mitokondria. Peroxynitrite yang diproduksi oleh reaksi
NO dengan ROS, memiliki efek depresan miokard yang kuat dengan
sitotoksisitas tinggi.

Disfungsi mitokondria

Disfungsi mitokondria memainkan peran kunci dalam patogenesis sepsis yang


diinduksi disfungsi jantung, mengarah ke keadaan yang disebut sitopatik hipoksia,
yang dapat menyebabkan cedera organ multipel. NO dan ROS berkontribusi
signifikan terhadap gangguan fungsi respirasi mitokondria, yang disebabkan oleh
penghambatan fosforilasi oksidatif dan produksi adenosin trifosfat (ATP) dalam
kompleks rantai pernapasan. Studi terbaru telah menunjukkan bahwa mediator,
termasuk ROS dan sitokrom C, dilepaskan dari mitokondria selama kematian sel,
dapat menginduksi peradangan lebih lanjut.

Disregulasi Persinyalan Β-Adrenergik

Pada pasien dengan sepsis, disregulasi persinyalan adrenergik dikaitkan dengan


disfungsi jantung yang diinduksi sepsis. Meskipun level katekolamin yang beredar
meningkat, namun respons kontraktil kardiomiosit terhadap stimulasi katekolamin
mengalami penurunan ketajaman atau menjadi tumpul pada pasien dengan sepsis.
Downregulasi reseptor β-adrenergik dan gangguan persinyalan β-adrenergik
adalah mekanisme kunci dalam disregulasi otonom ini. Sepsis dapat menyebabkan
peningkatan aktivitas penghambatan protein G dan penurunan cAMP. Stimulasi
aktivitas protein G didepresi melalui produksi berlebih sitokin inflamasi, yang
menyebabkan penurunan respon β-adrenergik terhadap katekolamin. Pada sepsis,
katekolamin berlebih dan peningkatan level NO dapat berkontribusi pada
penurunan ketajaman reseptor β-adrenergik pada permukaan sel mikard.

Lalu-Lintas Kalsium (Calcium Trafficking)

Sepsis menyebabkan perubahan lalu lintas kalsium di berbagai tempat, sehingga


menyebabkan kontraksi kardiomiosit berkurang. Pada kondisi fisiologis,
pembukaan L-type voltage-gated calcium channels pada kardiomiosit sarcolemma

10
diakibatkan oleh depolarisasi kardiomiosit sarcolemma, menyebabkan masuknya
kalsium ke dalam kardiomiosit, memicu pelepasan kalsium dari retikulum
sarkoplasma melalui reseptor ryanodine. Peningkatan konsentrasi kalsium
intraseluler ini memainkan peran sangat penting dalam kontraksi jantung. Laporan
menunjukkan bahwa sepsis berhubungan dengan penekanan L-type voltage-gated
calcium channels, penurunan densitas channel kalsium tipe-L dan reseptor
ryanodine, serta penurunan penyerapan kalsium ke dalam retikulum sarkoplasma
selama fase diastolik. Studi lebih lanjut diperlukan untuk menjelaskan bagaimana
perubahan pada homeostasis kalsium ini memengaruhi prognosis jangka panjang
pasien dengan sepsis.

Apoptosis Kardiomiosit

Dalam eksperimen model ex vivo ditemukan bahwa penghambatan aktivitas


caspase, sebuah kunci enzim dalam apoptosis, mengurangi depresi fungsi jantung.
Oleh karena itu, telah dipostulasikan bahwa apoptosis kematian sel kardiomiosit
adalah salah satu mekanisme disfungsi jantung yang diinduksi sepsis. Namun,
apoptosis kardiomiosit tidak menyebabkan disfungsi miokard pada sepsis seperti
yang dikemukakan melalui pemeriksaan postmortem pasien dengan sepsis.

Efek Protektif Dari Β-Adrenergic Blocker Pada Disfungsi Jantung Yang


Diinduksi Sepsis

Meskipun banyak penelitian telah menunjukkan bahwa mencegah cedera jantung


sangat penting untuk meningkatkan prognosis pasien septik, pengobatan yang
efektif untuk menipiskan disfungsi jantung belum ditemukan. Mekanisme
disfungsi jantung yang diinduksi sepsis belum sepenuhnya dijelaskan, namun
terdapat beberapa penting faktor-faktor berkontribusi terhadap penurunan fungsi
jantung pada tahap awal sepsis. Stimulasi katekolamin memainkan peran utama
disfungsi jantung yang diinduksi sepsi. Kadar katekolamin yang meningkat dalam
sepsis dapat menyebabkan kardiomiopati yang diinduksi katekolamin dan
kerusakan jantung oleh kelebihan kalsium, menyebabkan nekrosis kardiomiosit.
Selanjutnya, densitas reseptor β-adrenergik miokard menurun dan transduksi

11
sinyal stimulan β-adrenergik terganggu pada sepsis. Oleh karena itu, pencegahan
kerusakan kardiomiosit lebih lanjut akibat stimulasi saraf simpatis bisa menjadi
komponen kunci dalam pengelolaan sepsis.

Blocker β-adrenergik, pertama kali digunakan untuk angina pektoris pada


1960-an, telah banyak digunakan untuk berbagai macam penyakit dan kondisi,
seperti jantung iskemik penyakit dan gagal jantung kronis serta perioperatif untuk
pasien dengan risiko tinggi kardiovaskular yang menjalani operasi besa. Berk et
al. pertama kali melaporkan efek menguntungkan dari terapi blokade β-adrenergik
menggunakan model hewan syok endotoksin di tahun 1960-an; infus propranolol
mengurangi angka kematian dari 78,2 ke 19,4%. Studi lebih lanjut, yang
memasukkan pasien dengan syok septik refraktori, melaporkan sebesar 27,3%
tingkat kematian pada pasien yang diobati dengan propranolol; angka ini
terbilang rendah dibandingkan dengan angka kematian 30-40% yang dilaporkan
dalam studi terbaru. Penting untuk dicatat bahwa manajemen pasien dengan syok
septik di awal studi ini secara signifikan berbeda dengan perawatan medis modern
yang tersedia hari ini. Meski memiliki efek menguntungkan pada pasien dengan
syok septik, terapi blokade β-adrenergik pada syok septik tidak banyak diketahui,
karena hasilnya saling bertentangan. Misalnya, penelitian lebih lanjut
menyimpulkan bahwa blokade β-adrenergik pada endotoksin model anjing
memperburuk fungsi jantung.

Sekitar 35 tahun setelah Berk et al. menggambarkan kemungkinan efek


menguntungkan dari modulasi β-adrenergik pada syok septik, penulis
menunjukkan bahwa β- terapi blokade adrenergik untuk, dalam eksperimen ex
vivo menggunakan model tikus septik. Kami memeriksa apakah esmolol blocker
β1-adrenergik selektif, lalu diberikan segera setelah CLP yang dilakukan, bisa
mengembalikan fungsi jantung secara terisolasi pada persiapan jantung perfusi
anterograde 24 jam setelah infus esmolol dimulai. Selama infus esmolol, denyut
jantung dan tekanan darah rata-rata secara signifikan berkurang tanpa peningkatan
laktat dibandingkan dengan infus saline. Output jantung, kerja jantung, dan
efisiensi jantung yang merupakan indikator seberapa efisien jantung dapat

12
menggunakan oksigen, terpelihara dengan baik di hati yang dipanen dari tikus
yang diobati dengan esmolol dibandingkan dengan yang dipanen dari tikus yang
tidak dirawat. Selanjutnya, infus esmolol mengurangi konsentrasi TNF-α plasma
dan membatasi pengurangan densitas reseptor β-adrenergik pada kardiomiosit.
Meskipun penelitian ini belum mempertimbangkan efek infus esmolol pada
mortalitas, namun menjadi yang pertama dalam menunjukkan efek
menguntungkan dari β-adrenergik terapi blokade pada kardiomiosit dalam sepsis.
Studi eksperimental lebih lanjut mengkonfirmasi efek yang menguntungkan terapi
blokade β1-adrenergik selektif pada sepsis, mengikuti penelitian kami, diterbitkan
pada 2005.

Kekhawatiran paling serius terkait penggunaan klinis terapi blokade β-


adrenergik pada sepsis adalah risiko mengurangi curah jantung dan tekanan darah,
akibatnya penurunan lebih lanjut dalam aliran darah ke organ utama dan
berpotensi membahayakan fungsi organ. Meskipun risiko berkurangnya aliran
darah organ karena penggunaan β- blocker adrenergik, satu studi klinis
menunjukkan bahwa infus esmolol pada pasien dengan sepsis mempertahankan
aliran darah jantung, meskipun terjadi penurunan 20% cardiac output. Studi
retrospektif lain, yang memeriksa efek metoprolol enteral pada keadaan
hemodinamik pasien dengan syok septik, menunjukkan volume stroke iyang
meningkat dan curah jantung tetap stabil meskipun peningkatan dosis
noradrenalin yang diberikan dan milrinone pada beberapa pasien. Hasil ini
menunjukkan bahwa blokade β-adrenergik pada pasien dengan sepsis mungkin
aman jika resusitasi volume yang adekuat terapi dilakukan. Morelli et al.
mengevaluasi efek menguntungkan dari esmolol pada pasien syok septik pada
studi RCT. Dalam penelitian ini, 154 pasien dengan syok septik, membutuhkan
infus noradrenalin untuk mempertahankan tekanan darah dan menunjukkan
takikardia persisten [> 95 denyut per menit (bpm)] setelah resusitasi volume yang
cukup, dimasukkan ke kelompok terapi infus esmolol untuk mengurangi denyut
jantung menjadi 80-94 bpm atau ke kelompok infus saline. Semua pasien dalam
kelompok esmolol mencapai target detak jantung 80-94 bpm yang merupakan
outcome primer. Selanjutnya, infus esmolol meningkatkan indeks volume stroke

13
dan mengurangi volume cairan dan dosis norepinefrin untuk mencapai mean
arterial pressure 65-75 mmHg. Secara mengejutkan, angka kematian selama 28
hari berkurang secara signifikan dari 80,5 hingga 49,4% pada kelompok esmolol,
tanpa efek samping, dibandingkan dengan kelompok kontrol. Meskipun kematian
yang sangat tinggi pada kelompok kontrol dan penggunaan levosimendan yang
meluas di kedua kelompok (49,4% pada kelompok esmolol dan 40,3% pada
kontrol kelompok), penelitian ini merupakan RCT pertama yang menunjukkan
efek menguntungkan dari terapi blokade β-adrenergik pada pasien dengan syok
septik.

Baru-baru ini, sebuah studi eksperimental dilakukan untuk


mengidentifikasi mekanisme yang mendasari manfaat efek terapi blokade β-
adrenergik pada sepsis. Kimmoun et al. meneliti efek esmolol pada jantung dan
fungsi vaskular mesenterika dalam percobaan ex vivo, menggunakan model tikus
sepsis yang diinduksi peritonitis. Infus esmolol menangkal penurunan
kontraktilitas jantung dan menekan vasoreaktivitas pada pengobatan vasopresor,
diinduksi oleh ligasi sekum dan puncture. Pengembalian fungsi jantung dan
pembuluh darah melalui infus esmolol dikaitkan dengan penurunan aktivasi
nuclear factor κB dan mengurangi induksi sintase nitrit oksida, baik di jantung
dan di pembuluh. Studi lebih lanjut akan diperlukan untuk menjelaskan efeknya
terapi blokade β-adrenergik pada sepsis jantung fungsi. Hasil uji coba terkontrol
multicenter, mengevaluasi efek terapi blokade β-adrenergik pada sejumlah besar
pasien dengan syok septik, saat ini ditunggu.

Efek Menguntungkan Dari Blokade Β-Adrenergik Selain Efek


Kardioprotektif Pada Sepsis

Semakin banyak penelitian yang berfokus pada efek terapi blokade β-adrenergik
pada sepsis, khususnya memeriksa efek menguntungkan selain yang ada di sistem
kardiovaskular. Ini dibahas dalam bagian berikut.

14
Perubahan metabolik

Sepsis dikaitkan dengan keadaan katabolik keseluruhan, yang mengarah


ke hiperglikemia, peningkatan protein dan pemecahan lemak, peningkatan
pengeluaran energi istirahat, keseimbangan nitrogen negatif, dan hilangnya massa
tubuh tanpa lemak. Keadaan hipermetabolik ini terutama disebabkan oleh
stimulasi katekolamin yang berlebihan, terutama oleh stimulasi β2-adrenergik.
Dengan demikian, blokade β-adrenergik non-selektif dapat mengatasi keadaan
hipermetabolik yang terkait dengan sepsis, berkontribusi terhadap pemeliharaan
homeostasis glukosa, peningkatan keseimbangan nitrogen bersih, dan protein otot
yang dicadangkan. Pada anak-anak dengan luka bakar parah, ditandai dengan
patofisiologi mirip dengan syok septik, pengobatan propranolol mengurangi
katabolisme protein otot dan menekan pengeluaran energi istirahat (suppressed
resting energy expenditure), yang menyebabkan peningkatan massa tubuh tanpa
lemak. Dalam model tikus septik, infus propranolol meningkatkan keseimbangan
nitrogen, mungkin melalui pengurangan protein otot. Mengingat manfaat infus
esmolol pada pasien dengan luka bakar, blokade β-adrenergik non-selektif pada
pasien dengan sepsis mungkin memiliki efek menguntungkan yang sama.

Produksi sitokin dan modulasi imun

Pada sepsis, pengikatan lipopolysaccharides ke reseptor seperti tol 4


mendorong translokasi faktor transkripsi NF-κB ke dalam nuklei, yang
menyebabkan penyebaran sitokin (shower of cytokines). Peningkatan kadar
sitokin inflamasi lebih lanjut merangsang sel kompeten secara imunologis,
berkontribusi terhadap kondisi hiper-inflamasi yang tidak teratur, dengan efek
buruk dari neutrofil teraktivasi pada organ yang berbeda. Apakah terapi blokade
β-adrenergik pada pasien dengan sepsis memiliki efek menguntungkan pada
sistem kekebalan tubuh memerlukan pemeriksaan lebih lanjut. Namun, telah
diketahui bahwa sistem β-adrenergik dikaitkan dengan modulasi sistem imun.
Katekolamin telah terbukti memodulasi keseimbangan antara status pro-inflamasi
dan anti-inflamasi melalui jalur yang dimediasi β2. Telah dilaporkan bahwa pola

15
produksi sitokin sangat dipengaruhi oleh keseimbangan antara sel CD4 + T-helper
tipe 1 (Th1) dan tipe 2 (Th2). Aktivasi sel Th1 mengarah pada aktivasi makrofag
dan sel T pembunuh kuman dan produksi sitokin proinflamasi, yang
menghasilkan peningkatan imunitas seluler. Sebaliknya, sel Th2 menghambat
aktivasi makrofag, proliferasi sel T, dan produksi sitokin proinflamasi, melalui
peningkatan imunitas humoral dan produksi sitokin antiinflamasi. Sel Th1, tetapi
bukan sel Th2, memiliki reseptor β2-adrenergik pada permukaannya. Stimulasi
reseptor β2-adrenergik menekan aktivasi sel Th1, dengan peningkatan relatif pada
respon sel Th2. Oleh karena itu, blokade β1-adrenergik selektif dapat
meningkatkan aktivasi jalur β2-adrenergik, memfasilitasi respon sel Th2 dan
berkontribusi pada penekanan status proinflamasi pada tahap awal sepsis dan
aktivasi jalur antiinflamasi. Sebaliknya, blokade β2-adrenergik dapat
meningkatkan respon inflamasi, yang mengarah ke produksi sitokin proinflamasi.
Pelemahan status proinflamasi yang intens pada tahap awal sepsis, dengan
blokade β1-adrenergik tertentu, dapat mencegah status imunosupresif berurutan.

Dalam penelitian kami mengevaluasi efek blokade β1-adrenergik selektif


pada disfungsi jantung pada model tikus septik, infus esmolol secara signifikan
mengurangi konsentrasi TNF-α plasma, dan ini dapat meminimalkan disfungsi
jantung. Sebuah studi oleh Hagiwara et al. menunjukkan bahwa blocker β1-
adrenergik yang sangat selektif, landiolol, menurunkan kadar sitokin yang
beredar, seperti TNF-α, IL-6, dan mobilitas kelompok tinggi kotak 1, dalam
model septik eksperimental. Sementara mekanisme yang tepat dari penekan yang
dimediasi oleh blokade β1-adrenergik produksi sitokin tidak dijelaskan dalam
penelitian ini, aktivasi jalur β2-adrenergik relatif dapat berkontribusi pada
pengurangan produksi sitokin pro-inflamasi, seperti dijelaskan di atas. Penelitian
lebih lanjut diperlukan untuk mengidentifikasi mekanisme dimana blokade β1-
adrenergik selektif mempengaruhi pelepasan sitokin.

Pada sepsis, telah ditunjukkan bahwa apoptasi limfosit dapat diinduksi


oleh status inflamasi yang tinggi, berkontribusi pada prognosis yang lebih buruk.
Dalam model septik eksperimental, Hotchkiss et al. menemukan apoptosis

16
splenocyte pada pasien postpartum dengan syok septik dan menunjukkan bahwa
penghambatan caspase, enzim utama yang menyebabkan apoptosis limfosit,
meningkatkan prognosis, dengan mencegah apoptosis limfosit. Oleh karena itu,
modulasi apoptosis limfosit bisa menjadi pilihan terapi yang menarik untuk
meningkatkan prognosis sepsis. Salah satu sitokin proinflamasi kunci pada sepsis,
TNF-α, dapat menyebabkan apoptosis limfosit T, dan blokade β2-adrenergik telah
dilaporkan menginduksi apoptosis splenosit. Oleh karena itu, melalui pelemahan
produksi TNF-α dan stimulasi jalur adrenergik β2 relatif, blokade β1-adrenergik
selektif dapat mencegah apoptosis limfosit yang menyebabkan infeksi sekunder
dan peningkatan mortalitas. Di laboratorium kami, efek blokade β1-adrenergik
selektif pada apoptosis splenosit telah diperiksa dalam model tikus septik.
Pengobatan esmolol mengembalikan jumlah limfosit T normal dalam limpa, yang
sangat berkurang 24 jam setelah CLP, dibandingkan dengan kelompok kontrol
yang menerima infus saline. Temuan ini mendukung hipotesis bahwa pelemahan
apoptosis limfosit adalah salah satu mekanisme utama di mana blokade β1-
adrenergik memiliki efek positif pada sepsis.

Gangguan koagulasi

Sepsis menginduksi fungsi trombosit yang berubah, aktivasi sistem


koagulasi, dan penekanan fibrinolisis. Peningkatan kadar faktor jaringan plasma
dan faktor von Willebrand memperkuat laju koagulasi, yang mengarah ke
pembentukan trombin dan fibrin. Kerusakan endotel yang disebabkan oleh
pembentukan trombin semakin menambah laju koagulasi melalui faktor jaringan
yang lebih terbuka. Selanjutnya, perbaikan sistem antikoagulasi fisiologis terjadi
melalui downregulasi (downregulation) faktor antikoagulan, seperti penghambat
jalur faktor jaringan, antitrombin, dan protein C yang diaktifkan, dalam sepsis.
Laporan menunjukkan bahwa peningkatan kadar TNF-α dan IL-1β meningkatkan
produksi inhibitor aktivator plasminogen 1, yang mengarah ke gangguan
fibrinolisis lebih lanjut. Sistem koagulasi yang tidak teratur menyebabkan
penyebaran koagulasi intravaskular, yang menyebabkan gangguan mikrosirkulasi
dan cedera organ multipel. Jalur adrenergik dikaitkan dengan sistem koagulasi

17
dalam situasi yang berbeda. Mengenai fungsi trombosit, stimulasi α2-adrenergik
meningkatkan agregasi trombosit, sedangkan jalur β2-adrenergik berkontribusi
pada penekanan kumpulan trombosit melalui stimulasi cAMP. Stimulasi β2-
adrenergik menaikkan pelepasan aktivator plasminogen jaringan, yang mengarah
pada peningkatan aktivitas fibrinolitik, sementara stimulasi β1-adrenergik
menekan fibrinolisis melalui pengurangan sintesis prostasiklin. Mengingat
hubungan antara jalur adrenergik dan sistem koagulasi yang dijelaskan di atas,
modulasi jalur β-adrenergik dapat mengubah status hiper-koagulasi yang
disebabkan oleh sepsis. Mengenai fungsi trombosit, menghambat β1-adrenergik
dapat mengurangi aktivasi trombosit melalui aktivasi jalur β2-adrenergik relatif.
Menghambat β1-adrenergik juga dapat meningkatkan fibrinolisis melalui
peningkatan aktivasi plasminogen dan sintesis prostasiklin. Lebih lanjut,
pengurangan produksi sitokin pro-inflamasi oleh blokade β1-adrenergik dapat
mengurangi peningkatan produksi inhibitor aktivator plasminogen 1, yang
mengarah pada peningkatan fibrinolisis. Ada beberapa penelitian yang meneliti
efek menguntungkan dari blokade β1-adrenergik pada sistem koagulasi yang
terganggu pada sepsis, dan bidang baru ini harus diperiksa dalam penelitian
selanjutnya.

Terapi blokade β-adrenergik untuk sepsis dalam situasi klinis

Meskipun banyak efek menguntungkan dari terapi blok-adrenergik β-


adrenergik dalam sepsis baru-baru ini telah dijelaskan, beberapa penelitian telah
mengevaluasi efek terapi blok-adrenergik β-adrenergik pada sepsis dalam situasi
klinis. Tabel 1 menunjukkan ringkasan dari empat uji klinis yang meneliti efek
dari β-adrenergic blocker pada pasien dengan sepsis.

18
Hanya satu percobaan terkontrol acak yang mengevaluasi efek terapi
blokade β-adrenergik pada pasien septik; oleh karena itu, sulit untuk menentukan
kapan dan bagaimana terapi blokade β-adrenergik harus digunakan dalam praktek
klinis. Salah satu kekhawatiran utama tentang penggunaan penghambat β-
adrenergik dalam sepsis adalah pengurangan tekanan darah dan curah jantung,
yang mengakibatkan penurunan aliran darah ke organ utama, yang dapat
menyebabkan cedera organ. Namun, dalam sejumlah penelitian, curah jantung
tetap dipertahankan dan indeks volume stroke meningkat, meskipun ada
penurunan dalam denyut jantung. Sebuah studi lebih lanjut, menyelidiki efek infus
esmolol pada aliran darah hepatik dan perifer pada sepsis, menemukan bahwa
aliran darah hepatik dan perifer tidak berubah, meskipun penurunan curah
jantung. Oleh karena itu, ada kemungkinan bahwa pada pasien dengan sepsis,
pemberian penghambat β-adrenergik relatif aman jika pasien telah menerima
resusitasi volume yang memadai. Disfungsi jantung yang diinduksi sepsis
berkembang pada tahap awal sepsis; oleh karena itu, tampaknya masuk akal untuk
memulai terapi blokade β-adrenergik sedini mungkin setelah terapi resusitasi
volume yang memadai, jika takikardia persisten tidak membaik. Durasi terapi dan
kisaran denyut jantung target adalah faktor penting lebih lanjut ketika
memberikan terapi blokade β-adrenergik untuk pasien septik. Tidak ada penelitian
yang menyelidiki durasi optimal terapi blokade adrenergik β, yang masih belum
diketahui. Ketika kondisi pasien membaik, denyut jantung dapat kembali ke
tingkat awal, sebelum timbulnya sepsis, tanpa terapi penghambat β-adrenergic.

19
Dalam empat uji klinis yang disajikan pada Tabel 1, pemberian penghambat β-
adrenergic disesuaikan untuk mencapai denyut jantung <95 bpm, dan denyut
jantung dipertahankan antara 80 dan 95 bpm.

Oleh karena itu, denyut jantung optimal mungkin antara 80 dan 95 bpm.
Terapi blokade β-adrenergik untuk pasien dengan sepsis tetap kontroversial
karena bukti yang terbatas dalam konteks klinis. Penting untuk
mempertimbangkan efek samping potensial dan perangkap terapi β-adrenergik
sebelum digunakan pada pasien dengan sepsis. Seperti dibahas di atas, efek
samping pertama yang perlu dipertimbangkan adalah reduksi aliran darah ke
organ utama, karena penurunan detak jantung dan curah jantung. Oleh karena itu,
sebelum pemberian terapi penghambat β, penting untuk menetapkan resusitasi
volume yang memadai dan dosis norepinefrin yang optimal, menggunakan
parameter berikut: diameter vena cava inferior dievaluasi dengan eko-kardiografi,
variasi volume stroke, dan vaskular sistemik resistensi, yang dapat diukur dengan
output jantung berbasis tekanan arteri, dan kateter vena sentral. Menariknya,
dalam penelitian oleh Morelli et al. mengevaluasi efek terapi β-blocker setelah
resusitasi volume yang memadai, tekanan arteri rata-rata dipertahankan, walaupun
norepinefrin dan kebutuhan cairan berkurang pada kelompok esmolol. Lebih jauh,
fungsi ginjal, dievaluasi dengan perkiraan laju filtrasi glomerulus, yang
dipertahankan, dan cedera jantung, dinilai oleh troponin T dan creatine kinase
(CK) -MB, dikurangi dengan pemberian esmolol. Mempertimbangkan bahwa
detak jantung dipertahankan antara 80 dan 94 bpm dalam penelitian oleh Morelli
et al., dan rata-rata denyut jantung adalah 78 dan 90 bpm, masing-masing, dalam
dua uji klinis baru-baru ini mungkin tidak aman untuk mengurangi denyut jantung
menjadi <80 bpm. Untuk mencapai efek menguntungkan dari terapi menghambat
adrenergik β pada pasien-pasien dengan sepsis, nampak bahwa detak jantung
harus dijaga dalam kisaran yang terbatas.

Kekhawatiran lebih lanjut adalah efek berbahaya dari blokade reseptor β2


pada fungsi pernapasan. Namun, efek pada fungsi pernapasan dapat diabaikan
karena selektivitas reseptor β1 yang tinggi dari esmolol dan landiolol.

20
Kesimpulan

Ulasan ini berfokus pada mekanisme disfungsi jantung yang diinduksi


sepsis dan efek menguntungkan dari terapi blokade β-adrenergik, terutama pada
sistem kardiovaskular dan organ lain (Gbr. 2).

21
Hasil yang menjanjikan bertambah dan ini menunjukkan efek
menguntungkan dari terapi blokade β-adrenergik pada sepsis. Terapi penghambat
β-adrenergic bisa menjadi pendekatan terapi baru yang menjanjikan untuk
memodulasi disfungsi kardiovaskular, serta gangguan metabolisme dan kekebalan
tubuh serta gangguan sistem koagulasi, karena hiperaktifasi sistem saraf simpatik
dapat memiliki efek buruk pada berbagai organ. Diperlukan penelitian
eksperimental dan klinis untuk menjelaskan efek manfaat mediatori yang
dimediasi terapi β-adrenergik pada sepsis, sebelum terapi penghambat β-
adrenergik digunakan secara luas dalam praktik klinis. Ini adalah pandangan kami
bahwa uji klinis multicenter acak besar dapat mengkonfirmasi efek
menguntungkan dari terapi blokade β-adrenergik pada pasien dengan sepsis,
meningkatkan prognosis sepsis yang, sampai saat ini, memiliki tingkat kematian
yang tinggi.

22

Anda mungkin juga menyukai