Anda di halaman 1dari 64

ASUHAN KEPERAWATAN PADA AN.

T DENGAN MASALAH
KEPERAWATAN KETIDAKEFEKTIFAN BERSIHAN JALAN NAPAS DI
IGD RSUP Dr. KARIADI SEMARANG

Disusun untuk Memenuhi Tugas Praktik Keperawatan Gawat Darurat dan Kritis
Pembimbing Akademik : Ns. Dody Setyawan, S.Kep, M.Kep
Pembimbing Klinik: Ns. Dwi Arif R., S.Kep

Disusun Oleh:

Yuni Puspitasari (22020118220116)


Meita Astriati K.D (22020118220079)
Kartika Arin Andini (22020118220112)
Diah Ayu Siska Y (22020118220114)

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS XXXIII


JURUSAN KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Otak merupakan organ yang sangat penting bagi seluruh aktivitas dan
fungsi tubuh. Otak sebagai pusat kontrol bagi tubuh yaitu sebagai
pengendalian fisik, intelektual, emosional, sosial, dan keterampilan. Walaupun
otak berada dalam ruang yang tertutup dan terlindungi oleh tulang- tulang
yang kuat namun dapat juga mengalami kerusakan. Salah satu penyebab dari
kerusakan otak adalah terjadinya trauma atau cedera kepala yang dapat
mengakibatkan kerusakan struktur otak, sehingga fungsinya juga dapat
terganggu (Black & Hawks, 2009).
Darah merupakan kebutuhan fisiologis yang penting. Dalam aliran darah
mengandung oksigen dan nutrisi-nutrisi yang penting untuk tubuh manusia.
Apabila aliran darah dalam tubuh manusia terganggu maka akan
mempengaruhi juga dari kebutuhan dasar berdasarkan hirarki Maslow.
Kurangnya aliran darah atau sirkulasi dan oksigen ke jaringan otak akan
mempengaruhi atau dapat merusak serta mematikan sel-sel saraf di otak,
sehingga akan dapat menyebabkan kelumpuhan pada anggota gerak,
gangguan bicara, serta penurunan kesadaran (Sudarsini, 2017). Berkurangnya
aliran darah atau sirkulasi darah ke jaringan otak dipengaruhi oleh sumbatan,
ateriosklerosis sehingga adanya trombus atau emboli di cerebral ataupun
karena penyempitan pembuluh darah (Nurarif, 2015).
Salah satu masalah keperawatan jika otak mengalami kerusakan atau
trauma yaitu risiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral. Risiko
ketidakefektifan perfusi jaringan serebral yaitu keadaan rentan mengalami
penurunan sirkulasi jaringan otak yang dapat menganggu kesehatan (Herdman
& Kamitsuru 2018). Adapun kondisi terkait yang dapat menyebabkan
ketidakefektifan perfusi jaringan serebral yaitu pasien dengan hipertensi,
embolisme dan aneurisma otak. Dimana kondisi ini dapat ditemukan pada
pasien stroke.
Tingginya angka kematian akibat risiko ketidakefektifan perfusi
serebral pada pasien stroke menuntut perawat untuk dapat melakukan
pengkajian dan diagnosis yang cepat dan akurat sehingga intervensi yang
diberikan pada pasien dapat dilakukan dengan tepat (Oman,2012). Observasi
tindakan keperawatan dan kolaborasi di IGD dalam menangani pasien dengan
masalah risiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral merupakan proses
pembelajaran sehingga diharapkan mahasiswa dapat membuat laporan asuhan
keperawatan pada pasien dengan masalah keperawatan risiko ketidakefektifan
perfusi serebral sesuai dengan NANDA, NIC dan NOC.

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penulisan ini adalah untuk menganalisa kasus kelolaan
pada klien dengan CKB (Cidera Kepala Berat) di UGD RSUP dr. Kariadi
Semarang.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari Laporan Kasus ini adalah:
a. Mengidentifikasi data pencetus dan penunjang masalah keperawatan
pada klien dengan CKB (Cidera Kepala Berat).
b. Menentukan diagnosa keperawatan pada klien dengan CKB (Cidera
Kepala Berat).
c. Menyusun Rencana Keperawatan pada klien dengan CKB (Cidera
Kepala Berat).
d. Menganalisis Tindakan Keperawatan pada klien dengan CKB (Cidera
Kepala Berat).
e. Menganalisis Evaluasi Keperawatan pada klien dengan CKB (Cidera
Kepala Berat).
C. Manfaat
1. Bagi Rumah Sakit
Laporan kasus ini bisa dijadikan masukan untuk rumah sakit, dalam upaya
meningkatkan mutu pemberian asuhan keperawatan pada klien yang
mengalami CKB (Cidera Kepala Berat).
2. Bagi Institusi Pendidikan
Laporan kasus ini bisa dijadikan bahan referensi bagi mahasiswa tentang
asuhan keperawatan pada CKB (Cidera Kepala Berat).
3. Bagi Mahasiswa
Laporan Kasus ini bisa dijadiakan pembelajaran dalam memberikan
Asuhan Keperawatan pada klien dengan CKB (Cidera Kepala Berat).

BAB II
TINJAUAN TEORI

A. KONSEP RESIKO KETIDAKEFEKTIFAN PERFUSI JARINGAN OTAK


1. DEFINISI
Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral adalah kerentanan
mengalami penurunan sirkulasi jaringan otak yang dapat mengganggu
kesehatan (Herdman, Kamitsuru, 2018). Definisi lain menjelaskan risiko
ketidakefektifan perfusi jaringan serebral adalah risiko terhadap penurunan
jumlah oksigen yang mengakibatkan kegagalan untuk memelihara jaringan
pada tingkat kapiler (Wilkinson, 2012). Otak tediri atas neuron, sel glia,
cairan serebrospinal dan pembuluh darah. Jumlah neorun pada manusia
sekitar 100 miliar, tetapi koneksi antara neuron berbeda-beda. Masa otak
hanya sekitar 2% (1,4 kg) dari berat badan total pada manusia dewasa tetapi
mengkonsumsi 20% oksigen dan 50% glukosa yang ada dalam darah arteri.
Otak harus mengkonsumsi 15% darah dari total yang dipompa oleh jantung
saat istirahat agar berfungsi normal atau sekitar kurang kebih satu liter
permenit (Smeltzer, 2002).
2. FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN (Herdman & Kamitsuru,
2018)
Faktor resiko yang berhubungan dengan resiko ketidakefektifan perfusi
jaringan otak berdasarkan NANDA antara lain, yaitu :
1. Masa Tromboplastin parsial (PTT)
Tromboplastin parsial adalah fosfolipid yang berfungsi sebagai
pengganti platelet factor 3 (PF3). Masa tromboplastin parsial teraktivasi
(activated partial thromboplastin time, APTT) adalah uji laboratorium
untuk menilai aktifitas faktor koagulasi jalur intrinsik dan jalur bersama,
yaitu faktor XII (faktor Hagemen), pre-kalikrein, kininogen, faktor XI
(plasma tromboplastin antecendent, PTA), faktor IX (factor Christmas),
faktor VIII (antihemophilic factor, AHF), faktor X (faktor Stuart), faktor
V (proakselerin), faktor II (protrombin) dan faktor I (fibrinogen). Tes ini
untuk monitoring terapi heparin atau adanya circulating anticoagulant.
APTT memanjang karena defisiensi faktor koagulasi instrinsik dan
bersama jika kadarnya > 7 detik dari nilai normal, maka hasil
pemeriksaan itu dianggap abnormal.
2. Masa Protombin (PT) abnormal
Protrombin disintesis oleh hati dan merupakan prekursor tidak aktif
dalam proses pembekuan. Protrombin dikonversi menjadi thrombin oleh
tromboplastin yang diperlukan untuk membentuk bekuan darah. Uji
masa protrombin (prothrombin time, PT) untuk menilai kemampuan
faktor koagulasi jalur ekstrinsik dan jalur bersama, yaitu : faktor I
(fibrinogen), faktor II (prothrombin), faktor V (proakselerin), faktor VII
(prokonvertin), dan faktor X (faktor Stuart). Perubahan faktor V dan VII
akan memperpanjang PT selama 2 detik atau 10% dari nilai normal.
Pada penyakit hati PT memanjang karena sel hati tidak dapat
mensintesis protrombin.
3. Segmen dinding ventrikel kiri akinetik
Massa ventrikel kiri merupakan salah satu faktor risiko penting dan
predictor kuat terhadap kejadian kardiovaskular. Akinetik merupakan
penebalan dinding miokardial kurang dari 10% saat sistole.
4. Aterosklerosis aortik
Aterosklerosis yaitu mengerasnya pembuluh darah serta berkurangnya
kelenturan atau elastisitas pada pembuluh darah. Aterosklerosis akan
dapat menimbulkan bermacam-macam manifestasi klinik yaitu dengan
cara penyempitan lumen pembuluh darah dan mengakibatkan
insufisiensi aliran darah, oklusi mendadak pembuluh darah karena
terjadinya trombus atau peredarah darah aterom, atau menyembabkan
dinding pembuluh menjadi lemah atau akan dapat mengakibatkan
terjadinya aneurisma yang kemudian dapat mengakibatkan robeknya
pembuluh darah (Japardi,2002).
5. Diseksi arteri
Diseksi arteri adalah kondisi dimana lapisan luar dinding arteri
mengalami kerusakan hingga menyebabkan sobekan. Aliran darah
akan keluar melalui sobekan, sehingga lapisan dinding arteri terpisah
atau putus.
6. Fibrilasi atrium
Fibrilasi atrium mempunyai karakteristik berupa aktivasi elektrik atrium
yang tidak teratur dan kontraksi atrium yang tidak terkoordinasi. Gejala
fibrilasi atrium bergantung pada banyak faktor, seperti: laju ventrikuler,
durasi fibrilasi atrium, serta ada atau tidaknya gangguan struktur
jantung. Mayoritas penderita mengeluhkan palpitasi, rasa tidak nyaman
di dada, dispnea, kelemahan atau pusing. Palpitasi merupakan gejala
yang paling sering dikeluhkan (Effendi,2017)
7. Miksoma atrium
Atrium myxoma adalah tumor jinak di kiri atas atau sisi kanan jantung.
Myxoma atrium kiri merupakan tumor jinak jantung yang paling banyak
ditemui. Myxoma atrium kiri terjadi secara sporadis dan penyebabnya
masih belum diketahui. Sepuluh persen myxoma atrium kiri
berhubungan dengan faktor genetik (familial), sedangkan 90% myxoma
atrium kiri masih belum diketahui etiologinya.
8. Cedera otak
Kerusakan yang terjadi pada otak baik secara langsung atau deselerasi
terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan otak. Adapun cedera otak
primer yaitu kerusakan otak segera setelah trauma. Cedera otak
sekunder yaitu kerusakan yang berkembang sebagai komplikasi (Grace,
2007).

9. Neoplasma otak
Lesi yang mendesak ruang diotak, dapat berupa tumor jinak maupun
ganas. Tumor tersebut tumbuh di otak, meningeal dan tengkorak. Tumor
otak menyebabkan gangguan neurologis progresif yang disebabkan oleh
dua faktor yaitu gangguan fokal oleh tumor dan kenaikan tekanan
intrakranial. Perubahan suplai darah akibat tekanan yang ditimbulkan
tumor yang tumbuh menyebabkan nekrosis jaringan otak. Hal inilah
yang menimbulkan risiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral
sehingga mengakibatkan terjadinya kehilanagn fungsi secara akut dan
dapat dikacaukan dengan gangguan serebrovaskular primer (Batticaca,
2007).
10. Stenosis karotid
Carotid stenosis atau stenosis arteri karotis adalah penyempitan
pembuluh darah di bagian arteri karotis. Penyempitan ini biasanya
disebabkan oleh penumpukan zat lemak dan endapan kolesterol yang
disebut plak.
11. Aneurisma serebral
Aneurisma dapat terjadi jika tekanan darah meningkat yang dapat
menyebabkan dinding arteri menggelembung keluar seperti balon.
Aneurisma yang berdekatan dengan otak dapat menyebabkan penekanan
struktur serebral seperti penekanan pada khiasma optikum yang
menyebabkan gangguan penglihatan. Jika arteri tersumbat karena
spasme vaskulerr, emboli atau trombus maka dapat menyebabkan
sumbatan aliran darah ke distal neuron-neuron sehingga menyebabkan
sel-sel neuron cepat nekrosis yang dapat menyebabkan adanya stroke
bagi penderita (Batticaca, 2007).

12. Koagulopati
Koagulopati merupakan komplikasi yang sering timbul pada penderita
cedera kepala berat. Terjadinya koagulopati berdasarkan teori pelepasan
tromboplastin jaringan dari otak ke dalam sirkulasi.
13. Kardiomiopati dilatasi
Kardiomiopati dilatasi atau dilated cardiomyopathy (DCM) adalah
gangguan miokard yang didefinisikan oleh dilatasi dan gangguan fungsi
sistolik ventrikel kiri, atau kedua ventrikel, tanpa adanya penyakit arteri
koroner, kelainan katup, atau penyakit perikard.
14. Koagulasi intravaskular diseminata
Koagulasi intravaskuler diseminata (KID) adalah manifestasi trombosis
lain selain tromboemboli vena yang bersifat akut. Pada pasien kanker
gambarannya sedikit berbeda, yaitu cenderung bersifat kronik,
tergantung pada jenis kankernya. Patogenesis KID pada keganasan
hematologi adalah akibat fibrinolisis yang meningkat. Sedangkan pada
tumor solid terjadi akibat aktivasi faktor koagulasi oleh faktor jaringan
yang diekspresikan oleh sel kanker.
15. Embolisme
Emboli serebral merupakan penyumbatan pembuluh darah otak oleh
bekuan darah, lemak dan udara. Pada umumnya emboli disebabkan oleh
trombus di jantung yang terlepas dan menyumbat sistem arteri serebral.
Emboli dapat berlangsung cepat dan gejala dapat timbul kurang dari 10-
30 detik (Nugroho, dkk 2016)..
16. Hiperkolesterolemia
Hiperkolesterolemia adalah suatu kondisi dimana meningkatnya
konsentrasi kolesterol dalam darah yang melebihi nilai normal (Guyton
& Hall, 2008). Kolesterol telah terbukti mengganggu dan mengubah
struktur pembuluh darah yang mengakibatkan gangguan fungsi endotel
yang menyebabkan lesi, plak, oklusi, dan emboli. Selain itu juga
kolesterol diduga bertanggung jawab atas peningkatan stress oksidatif
(Stapleton et al., 2010).
17. Hipertensi
Tekanan darah sitemik yang mengalami peningkatan akan
membuat pembuluh darah cerebral berkontriksi (Sofyan, 2015). Derajat
kontriksi itu sendiri tergantug pada peningkatan pembukuh darah.
Apabila peningkatan tekanan darah yang terlalu tinggi selama berbulan-
bulan dan bertahun-tahun, akan dapat menyebabkan hialinisasi pada
lapisan pembulu darah serebral yang dapat mengakibatkan diameter dari
lumen pembuluh darah akan menjadi tetap. Hal tersebut akan menjadi
bahaya, jika pembuluh darah mengalami hialin maka pembuluh darah
serebral tidak dapat berdilatasi ataupun berkontriksi secara leluasa
mengatasi terjadinya fluktuasi dari peningkatan tekan darah itu sendiri
(Sofyan, 2015). Bila mengalami peningkatan tekanan darah akan dapat
menyebabkan edema dan kemungkinana perdarahan pada otak (Apabila
suatu ketika mengalami penurunan tekan darah makan akan terjadi
penurunan perfusi ke jaringan otak. Resiko terjadinya penurunan perfusi
ke jaringan otak itu akan dapat mengakibatkan iskemik pada serebral
(Sofyan, 2015).

B. KONSEP CIDERA KEPALA


1. DEFINISI
Cedera kepala menurut Brain Injury Association of America adalah
suatu kerusakan pada kepala yang bukan bersifat kongenital ataupun
degeneratif, disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar yang dapat
menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi otak sehingga
dapat mengurangi atau mengubah kesadaran. Cedera kepala merupakan
trauma akibat gaya mekanik yang terjadi pada kepala yang mengacu pada
otak, tengkorak, dan kulit kepala, bukan termasuk wajah, rahang, dan mulut.
Cedera kepala menyebabkan atau berpengaruh berubahnya fungsi
neurologis, kesadaran, kognitif, perilaku, dan emosi. Jadi cedera kepala
merupakan kerusakan yang mengacu pada otak, tengkorak dan kulit kepala
akibat serangan/benturan fisik yang dapat menyebabkan penurunan fungsi
neurologis, kesadaran, kognitif, perilaku, dan emosi salah sehingga menjadi
masalah kesehatan yang kompleks.
2. Klasifikasi
Menurut Mansjoer cedera kepala dibedakan menjadi cedera kepala
ringan, cedera kepala sedang, dan cedera kepala berat. Masing-masing jenis
cedera kepala tersebut memiliki kriteria sebagai berikut :
1) Cedera kepala ringan (CKR)
Tanda-tanda dari cedera kepala ringan antara lain: skor GCS 15 yang
artinya sadar penuh, atentif dan orientatif; tidak ada kehilangan
kesadaran atau konkusi.
2) Cedera kepala sedang (CKS)
Tanda-tanda dari cedera kepala sedang antara lain: skor GCS 9-14
(konfusi, letargi, atau stupor), konkusi; amnesia pasca trauma; muntah;
kejang.
3) Cedera kepala berat (CKB)
Tanda-tanda dari cedera kepala berat antara lain: skor GCS 3-8 (koma),
penurunan derajat kesadaran secara progresif: tanda neurologis fokal;
cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi kranium.
3. ETIOLOGI
Mekanisme penyebab cedera kepala pada umumnya yaitu
kecelakaan lalu lintas, jatuh (dari ketinggian), serangan, kecelakaan
kerja dan olahraga. Sedangkan menurut penyebab cedera kepala secara
umum yaitu pukulan langsung, rotasi/deselerasi, tabrakan, dan peluru.
1) Pukulan langsung
Pukulan langsung dapat menyebabkan kerusakan otak pada sisi
pukulan (coup injury) atau pada sisi yang berlawanan dari pukulan
ketika otak bergerak ke dalam tengkorak dan mengenai dinding
yang berlawanan (countercoup injury). Kerusakan otak akibat
pukulan langsung dapat terjadi pada pasien cedera kepala dengan
penyebab trauma jatuh, serangan, percobaan pembunuhan, dan
kekerasan terhadap diri sendiri.
2) Rotasi/deselerasi
Fleksi, ekstensi, atau rotasi leher menghasilkan serangan pada
otak yang menyerang titik-titik tulang dalam tengkorak. Rotasi
yang hebat juga menyebabkan trauma robekan di dalam substansi
putih otak dan batang otak, sehingga menyebabkan cedera aksonal
dan bintik-bintik perdarahan intraserebral.
3) Tabrakan
Tabrakan sering terjadi pada kasus-kasus kecelakaan kendaraan
bermotor sehingga menyebabkan cedera kepala. Data di Amerika
Serikat menunjukkan 383 ribu kasus cedera kepala disebabkan
kecelakaan kendaraan bermotor, sedangkan di Indonesia (50%)
kasus cedera kepala juga disebabkan kecelakaan bermotor.
4) Peluru
Cedera akibat peluru biasa disebut juga sebagai cedera
akselerasi, yaitu cedera yang terjadi jika obyek bergerak
menghantam kepala yang tidak bergerak. Cedera kepala akibat
peluru cenderung menyebabkan hilangnya jaringan seiring dengan
trauma. Pembengkakan otak merupakan masalah akibat disrupsi
tengkorak yang secara otomatis menekan otak.
4. PENATALAKSANAAN
1) Pre-hospital
Pre-Hospital Care merupakan bantuan segera yang diterima pasien
dari penyedia pelayanan sebelum tiba di rumah sakit. Penyedia pre-
hospital care merupakan tenaga kesehatan yang profesional namun
dapat juga merupakan orang pertama yang menjumpai korban / pasien.
Orang pertama yang mengenali situasi darurat di luar rumah sakit
didorong untuk segera mengaktifkan sistem tanggap darurat dengan
menghubungi nomor darurat atau pelayanan ambulans rumah sakit dan
memberikan pertolongan pertama. Penilaian yang tepat, stabilisasi dan
perawatan korban cedera kepala termasuk rujukan dan pengangkutan ke
fasilitas penerima yang sesuai akan membantu menghindari terjadinya
cedera otak sekunder.
Penanganan pre-hospital pada pasien cedera kepala meliputi :
a) Penilaian Umum
Hal pertama yang harus dilakukan pada pasien cedera kepala
sebelum tiba di rumah sakit ialah penilaian tingkat kesadaran
menggunakan GCS. GCS merupakan alat pengukur yang dapat
dijadikan indikator untuk memantau dan mendeteksi kemunduran pada
pasien cedera kepala. GCS banyak digunakan pada pasien TBI karena
kehandalan dan kevalidannya. Pengukuran dilakukan dengan menilai
respons mata, motor dan verbal pasien. Hasil pengukuran dikategorikan
menjadi ringan (GCS 13 sampai 15), sedang (GCS 9 sampai 12) dan
berat (GCS 3 sampai 8).
Kelemahan penggunaan GCS yaitu apabila pasien terapar alkohol,
obat penenang, hipoksia dan hipotensi yang dapat membingungkan
tingkat kesadaran. Oleh karena itu setiap penilaian GCS harus diulang
setelah resusitasi kardiopulmoner atau pemulihan dari keracunan dan
sedasi pada pasien dengan cedera kepala. Penilaian lainnya yang bisa
digunakan adalah Head (AIS) and Trauma Score - Injury Severity Score.
b) Penatalaksanaan awal ; Airway
Penatalaksanaan pra-rumah sakit yang paling penting pada pasien
cedera kepala adalah pemeliharaan jalan nafas, pernapasan dan sirkulasi.
Hipoksemia (saturasi oksigen [SpO2] <90%) adalah faktor yang paling
penting terkait dengan perburukan kondisi pasien. Pemeliharaan jalan
nafas pada pasien cedera kepala dilakukan dengan teknik jaw trust atau
penggunaan servikal kolar dengan ukuran yang tepat dengan
pertimbangan adanya cedera tulang servikal.
Intubasi pra-rumah sakit perlu dilakukan pada pasien cedera
kepala berat (GCS<9) untuk menjaga jalan napas yang memadai atau
bila hipoksemia tidak membaik dengan terapi oksigen. Intubasi pra-
rumah sakit juga dibuktikan dapat menurunkan angka mortalitas pasien
cedera kepala sebesar 0,24 – 1,42 %. Tindakan intubasi pra rumah sakit
juga memiliki resiko seperti menurut E.Von, Schoettker, Henzi,
Osterwalder dan Walder yang mengatakan bahwa keberhasilan intubasi
pra-rumah sakit pada cedera kepala berat bergantung pada
penyelenggaraan layanan PHC, keterampilan staf, risiko kegagalan
prosedur dan waktu pengangkutan pasien menuju fasilitas kesehatan
yang memadai.
c) Cervical Spine
Cedera tulang belakang yang tidak stabil dapat terjadi bersamaan
dengan cedera kepala dan menyebabkan defisit neurologis permanen
jika tidak ditangani dengan tepat. Oleh karena itu imobilisasi tulang
belakang servikal penuh harus dilakukan pada pasien cedera kepala
dengan salah satu faktor risiko berikut:
(1) GCS <15 pada penilaian awal oleh profesional kesehatan
(2) Parestesia di ekstremitas
(3) Sakit leher atau nyeri tekan
(4) Defisit neurologis fokal
(5) Kecurigaan klinis lainnya terhadap cedera tulang belakang
servikal
d) Sirkulasi
Hipotensi didefinisikan sebagai SBP <90 mmHg pada orang
dewasa. Hipotensi yang tidak ditangani pada pasien cedera dapat secara
signifikan menyebabkan cedera otak sekunder. Pilihan tindakan untuk
menangani hipotensi meliputi resusitasi cairan dengan mempertahankan
tekanan arteri rata-rata (MAP) pada 80 mmHg atau lebih dengan infus
cairan dan atau vasopressor yang di indikasikan. Hipotensi dan hipoksia
bagaimanapun harus dihindari sehingga resusitasi cairan harus cukup
untuk mempertahankan perfusi serebral. Isotonik kristaloid adalah
pilihan pilihan resusitasi cairan intravena pada cedera kepala. Penelitian
oleh Myburgh, Cooper, Finfer, Bellomo, Norton, Bishop, et al
menunjukkan bahwa penggunaan albumin itu terkait dengan kematian
yang lebih tinggi pada pasien dengan cedera kepala parah. Di antara
pasien dengan cedera otak berat (GCS 3 - 8), 41,8% meninggal dalam
kelompok albumin dibandingkan dengan 22,2% pasien dalam kelompok
normal saline. Namun pada pasien dengan skor GCS 9-12, kematian
terjadi di 8 dari 50 pasien di kelompok albumin (16,0%) dan 8 dari 37
pasien pada kelompok nomal saline (21,6%).
2) Transportasi
Selama transportasin, ketidakstabilan kondisi kesadaran dan
fisiologis pada pasien cedera kepala dapat menyebabkan terjadinya
cedera sekunder dan menjadi predisposisi outcome pasien yang l buruk.
Tujuan utama transfer pasien adalah memastikan pasien aman mencapai
tempat tujuan pada waktu yang paling tepat. Kriteria untuk mode dan
kecepatan transfer pasien dengan cedera kepala di pre-hospital
didasarkan pada risiko komplikasi intrakranial dan keparahan cedera
kepala. Kriteria untuk transfer cepat ke rumah sakit dengan
menggunakan layanan Pre-Hospital Care:
a) Kemunduran kondisi pasien
b) GCS <15
c) Defisit neurologis fokal
d) Kejang
e) Patah tulang tengkorak tertutup dan terbuka
f) Cedera kepala akibat jatuh dari ketinggian
g) Cedera tulang servikal
Berikut hal-hal yang perlu dilakukan sebelum transfer dilakukan :
a) Pasien harus didampingi oleh orang dewasa yang kompeten.
b) Penyedia layanan kesehatan harus menentukan apakah transportasi
harus dengan ambulans atau dapat menggunakan angkutan umum
atau mobil sebagai alternatif.
c) Penyedia layanan kesehatan yang merujuk harus menghubungi
rumah sakit rujukan melalui telepon.
d) Keputusan untuk mentransfer pasien dari lokasi pedesaan harus
didiskusikan antara penyedia layanan kesehatan yang merujuk dan
yang menerima.
e) Kriteria untuk kecepatan dan moda transportasi dari setting pra-
rumah sakit ke ED didasarkan pada risiko TBI penting secara klinis
dan komplikasi intrakranial akut TBI.
3) IGD
a) Triase
Hal pertama yang harus dilakukan pada pasien cedera kepala di
IGD yaitu triase dengan tujuan untuk memastikan pasien
mendapatkan tempat dan waktu penindakan yang tepat. Triase pada
pasien cedera kepala dapat dilihat dalam algoritma yang
dimodifikasi dari ACOS-COT/CDC traiging guidelines 2011.
b) Stabilisasi ABCDE
Tindakan utama yang dilakukan pada pasien cedera kepala yang
datang ke IGD yaitu stabilisasi Airway with cervical spine control,
Breathing, Circulation and hemorrhage control, Disability
(Neurologic status), Exposure and environment (temperature
control) yang dilakukan sesuai prinsip Advanced Trauma Life
Support (ATLS). Prinsip ATLS dilakukan pada pasien cedera kepala
dalam hal ini yaitu pengutamaan stabilisasi fisiologis daripada
penanganan diagnosa definitif. Pentingnya tindakan ABCD adalah
untuk menangani hipoksia dan hipotensi yang bertujuan agar tidak
terjadi iskemia jaringan otak. Penilaian tingkat kesadaran juga
dilakukan pada tahap ini dengan menggunakan Glasgow Coma
Scale, penilaian ukuran dan rekasi pupil.
(1) Patensi jalan nafas dan perlindungan tulang servikal
Teknik pembebasan jalan nafas dilakukan berdasarkan
tingkat kesadaran pasien yiatu pada pasien dengan nilai GCS
>8 maka manajemen jalan nafas dilakukan dengan teknik jaw
trust yang juga bertujuan untuk melindungi tulang servikal.
Sedangkan pada pasien dengan GCS <8 maka manajemen jalan
nafas dilakukan dengan tindakan intubasi.
(2) Pernafasan
Pasien cedera kepala berat harus dirawat dengan ventilasi
normal (End Tidal CO2 35-40 mmHg) sehingga kondisi
hypercapnia dan hipoksemia harus dihindari. Hipoksemia,
didefinisikan apabila saturasi oksigen (SpO2) kurang dari 90%.
Hypercapnia (ETCO2> 40 mmHg) harus dihindari karena
menyebabkan vasodilatasi serebral dan mengakibatkan
peningkatan tekanan intrakranial dan penurunan tekanan
perfusi serebral. Sebaliknya, hypocapnia (ETCO2 <35 mmHg)
dapat menyebabkan vasokonstriksi sehingga menyebabkan
iskemia serebral.
(3) Sirkulasi
Tujuan dari penatalaksanaan sirkulasi dan keseimbangan
cairan pada pasien cedera kepala yaitu mencegah terjadinya
hipotensi (SBP <90 mmHg). Pencegahan hipotensi dilakukan
untuk mengurangi resiko terjadinya cedera otak sekunder
akibat ketidakadekuatan sirkulasi darah dan oksigen ke otak
sehingga terjadi iskemia jaringan otak. Tindakan yang
dilakukan di IGD berupa kontrol perdarahan dan resusitasi
cairan. Kontrol perdarahan dan resusitasi cairan dilakukan
dengan mempertimbangkan osmolalitas serum, cardiac output,
dan volume darah yang beredar.
(4) Disability
Penting untuk dilakukan monitor GCS dan ukuran pupil
karena dapat berubah dengan cepat, menunjukkan hematoma
atau oedema serebral. Monitoring ukuran dan reaksi pupil juga
dapat menunjukkan adanya herniasi otak dengan tanda asimetri
pupil dan kehilangan reaksi pupil.
Tindakan positioning dilakukan dengan kepala dan leher
ditempatkan pada posisi netral. Apabila leher fleksi, ekstensi
atau rotasi akan membatasi drainase vena dari kepala melalui
vena jugularis dan vena vertebralis sehingga meningkatkan isi
intrakranial keseluruhan. Fleksi atau lebih dari 90 derajat
dihindari karena dapat menyebabkan tekanan pada intra
abdomen dan thorax dan juga dapat mengganggu aliran vena.
Head elevation 15 sampai 30 derajat juga dapat meningkatkan
drainase vena dan menurunkan TIK dengan tanpa
kontraindikasi fraktur spinal.
(5) Medikasi
Terapi medis berupa obat-obat yang diberikan pada pasien
dapat berupa obat-obatan yang berfungsi menurunkan ICP dan
nyeri. Penggunaan steroid tidak dianjurkan untuk
hasilataumengurangi ICP karena dapat membiaskan
pengukuran GCS. Penggunaan metilprednisolon dosis tinggi
pada pasien dengan cedera kepala berat juga tidak disarankan
dan menjadi kontraindikasi karena berhubungan dengan
peningkatan mortalitas.

C. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Tujuan dan Kriteria Hasil (NOC) (Moorhead, 2013)
Perfusi Jaringan : Serebral (0406)
Kriteria hasil Deviasi berat Deviasi Deviasi Deviasi Tidak ada
dari kisaran yang cukup sedang dari ringan dari deviasi dari
normal besar dari kisaran kisaran kisaran
kisaran normal normal normal
normal
Tekanan darah 1 2 3 4 5
sistolik
Tekanan darah 1 2 3 4 5
diastolik
Nilai rata-rata 1 2 3 4 5
tekanan darah
Tekanan 1 2 3 4 5
intrakranial
Hasil serebral 1 2 3 4 5
angiogram
Berat Besar Ringan Sedang Tidak ada
Sakit kepala 1 2 3 4 5
Bruit karotis 1 2 3 4 5
Kecemasan yang 1 2 3 4 5
tidak dijelaskan
Agitasi 1 2 3 4 5
Keadaan pingsan 1 2 3 4 5
Kegelisahan 1 2 3 4 5
Kelesuan 1 2 3 4 5
Muntah 1 2 3 4 5
Cegukan 1 2 3 4 5
Demam 1 2 3 4 5
Penurunan 1 2 3 4 5
Tingkat kesadaran
Refleks saraf 1 2 3 4 5
terganggu

Status Neurologi (0909)


Kriteria Berat Cukup Berat Sedang Ringan Tidak ada
hasil
Keasadaran 1 2 3 4 5
Kontrol 1 2 3 4 5
motor
sentral
Fungsi 1 2 3 4 5
sensorik
dan
motorik
kranial
Fungsi 1 2 3 4 5
sensorik
dan
motorik
spinal
Fungsi 1 2 3 4 5
otonom
Tekanan 1 2 3 4 5
intrakranial
komunikasi 1 2 3 4 5
Ukuran 1 2 3 4 5
pupil
Reaktivitas 1 2 3 4 5
pupil
Gerakan 1 2 3 4 5
mata
Pola 1 2 3 4 5
bernapas
Pola 1 2 3 4 5
istrirahat
tidur
Tekanan 1 2 3 4 5
darah
Tekanan 1 2 3 4 5
nadi
Laju 1 2 3 4 5
pernapasan
hipertermia 1 2 3 4 5
Denyut 1 2 3 4 5
jantung
apikal
Dnyut 1 2 3 4 5
jantung
radial
Orientasi 1 2 3 4 5
kognitif
Status 1 2 3 4 5
kognitif
Berat Cukup Berat Sedang Ringan Tidak ada
Aktivitas 1 2 3 4 5
Kejang
Sakit 1 2 3 4 5
Kepala
2. Intervensi Keperawatan (Bulechek dkk, 2013)
Pengaturan Hemodinamik (4150)
a. Lakukan penilaian komprehensif terhadap status hemodinamik meliputi
pemeriksaan tekanan darah, denyut nadi, denyut jantung.
b. Identifikasi adanya tanda gejala peringatan dini sistem hemodinamik
seperti sesak nafas, penurunan kesadaran
c. Tentukan status perfusi (suhu tubuh dan CRT)
d. Lakukan auskultasi jantung dan paru-paru untuk mengetahui adanya
suara nafas tambahan atau tidak
e. Tinggikan kepala tempat tidur (posisi head up 300)
f. Tinggikan kaki tempat tidur
g. Pasang kateter urine
h. Berikan obat vasodilator dan vasokontriksi

Monitor neurologi (2620)


a. Pantau ukuran pupil, bentuk, kesimetrisan dan reaktivitas
b. Monitor tingkat kesadaran
c. Monitor status pernapasan, nilai ABG, tingkat oksimetri, kedalaman,
laju dan pola nafas
d. Beritahu dokter terkait perubahan kondisi klie
D. PATHWAY
BAB III
TINJAUAN KASUS

Tanggal Masuk IGD : 15 Mei 2019, jam 01.00 WIB

Tanggal Pengkajian : 15 Mei 2019, jam 01.10 WIB

A. PENGKAJIAN
1. IDENTITAS
a. Pasien
Nama : An.T
Umur : 21 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Pegawai Geprek Mewek
Alamat : Barepan 2/5 Wanurejo, Borobudur, Jawa
Tengah
Diagnosa Medis : CKB
No. RM : C75XXXX

Penanggung Jawab
Nama : Tn.A
Umur : 57 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pendidikan : SLTP
Pekerjaan : Tani
Alamat : Barepan 2/5 Wanurejo, Borobudur, Jawa
Tengah
Hubungan : Bapak

2. PENGKAJIAN PRIMER
a. Airways
Terdapat sumbatan jalan napas berupa akumulasi darah dan lendir pada
rongga mulut klien, terdengar suara gurgling. Klien muntah proyektil
sekitar pukul 01.05 WIB
b. Breathing
Klien menggunakan bantuan oksigen NRM 10 lpm. Klien terlihat sesak
dengan frekuensi napas 30x/menit. Terdapat retraksi dinding dada yang
kuat, pola napas klien cepat dan dalam, SpO2 : 97%
c. Circulation
1) Tekanan Darah : 100/60 mmHg
2) Nadi : 110 x/menit
o
3) Suhu : 37 C
4) MAP : 73,3 mmHg
5) Akral : Dingin
6) Capilarry Refill : > 3 detik
7) SpO2 : 97%
d. Disability
1) Kesadaran : Soporo koma
2) GCS : E1 V1 M3
3) Pupil : anisokor, pupil kiri 3 cm, pupil kanan 4
cm
4) Gangguan Motorik : ekstremitas atas dan bawah lemasu

An

e. Exposure

 Terdapat laserasi pada kepala


bagian parietal ± 1,5 cm
 Terdapat hematom orbita kanan
(racoon eye)
 Terdapat battle sign pada telinga
 Terdapat jejas pada otot latissimus
darsi (area ginjal bagian belakang)
 Terdapat laserasi pada tungkai
sinistra ± 3 cm

3. PENGKAJIAN SEKUNDER
a. Anamnesis (SAMPLE)
1) S (Signs and Symptoms)
GCS E1V1M3 (Soporo koma), klien muntah proyektil sekitar pukul
01.05 WIB, terdengar suara gurgling, keluar darah dari mulut,
terdapat racoon aye pada mata kanan, dan battle sign pada telinga
kiri, laserasi di kepala bagian parietal ± 1,5 cm, pada tungkai
sinistra ± 3 cm. RR = 30 x/menit, nafas cepat dan dalam.
2) A (Allergies)
Keluarga klien mengatakan bahwa klien tidak mempunyai alergi
obat maupun makanan
3) M (Medications)
Keluarga klien mengatakan klien mengendarai motor dibawah
pengaruh alkohol. Klien sudah sering mengkonsumsi alkohol
sebelumnya. Klien sebelumnya tidak mengkonsumsi obat apapun.

4) P (Past Illness/ Pertinent Medical History)


Keluarga klien mengatakan sebelumnya klien tidak mempunyai
riwayat penyakit apapun, dan sama sekali belum pernah masuk RS.
Baru kali ini klien masuk RS karena kecelakaan jatuh dari motor.
5) L (Last Meal)
Keluarga klien mengatakan klien terakhir makan waktu di rumah
dengan nasi dan sayur.
6) E (Events)
Pada tanggal 15 Mei 2019 klien masuk ke IGD RSUP Dr.
Kariadi pada pukul 01.00 WIB setelah mengalami kecelakaan
tunggal. Klien mengalami kecelakaan di daerah Mangkang bersama
temannya yang sama-sama sedang mabuk, posisi klien yang
didepan sedangkan temannya dibonceng. Klien tidak memakai
helm dan mengendarai motor dengan kecepatan tinggi, kemudian
klien hilang kendali dan menabrak pohon. Klien jatuh terpental ke
jalan, kepala klien terbentur aspal, klien langsung tidak sadarkan
diri.
Sesampainya di IGD Kariadi, klien sudah mengalami
penurunan kesadaran GCS E1V1M3. Klien dikategorikan triase ATS
2 (label merah), kemudian dilakukan pemasangan oksigen NRM 10
liter per menit, pemasangan bed side monitor, pemasangan kateter
urin, pemasangan infus, pemasangan gudel, serta dilakukan suction
pada klien. Klien sempat muntah proyektil pada saat baru sampai di
ruang tindakan IGD pukul 01.05 WIB. Klien belum mendapatkan
cairan manitol dikarenakan dari pihak keluarga belum datang,
sehingga untuk pemeriksaan pemeriksaan kepala (MSCT) ditunda,
menunggu pihak keluarga datang ke igd untuk legal etik
dilakukannya tindakan pada klien. Pukul 08.00 WIB, akhirnya
pihak keluarga datang dan klien segera dilakukan pemeriksaan
kepala (MSCT) pada pukul 09.00 WIB.

b. Pemeriksaan Fisik
1) Kepala
Inspeksi : Bentuk kepala mesocephal, penyebaran rambut
merata, berwarna hitam, terdapat laserasi pada
kepala bagian parietal ± 1,5 cm

Palpasi : Terdapat hematom pada area sekitar laserasi


2) Mata
Inspeksi : Mata kanan kiri simetris, pupil mata klien terlihat
berwarna hitam, konjungtiva pucat, sklera
berwarna kekuningan, pupil anisokor, besar pupil
kiri 3 cm, kanan 4 cm, terdapat racoon eye pada
mata kanan
Palpasi : Tidak terdapat nyeri tekan.
3) Hidung
Inspeksi : Lubang hidung simetris kanan kiri, tidak ada lesi,
tidak ada cairan atau darah yang keluar dari hidung,
tidak ada napas cuping hidung.
Palpasi : Tidak terdapat nyeri tekan, tidak terdapat adanya
benjolan maupun luka.
4) Telinga
Inspeksi : bentuk teliga kanan dan kiri simetris. Tidak
terdapat lesi, terdapat battle sign, tidak ada
serumen dan darah yang keluar dari telinga.
Palpasi : Tidak terdapat nyeri tekan.
5) Mulut dan Gigi
Inspeksi : Mukosa bibir kering, terdapat akumulasi darah di
rongga mulut.
Palpasi : Tidak terdapat nyeri tekan pada mulut dan sekitar
mulut.
6) Leher
Inspeksi : Sebaran kulit merata, terdapat lesi di sekitar leher,
dan terpasang neck collar.
Palpasi :-
7) Dada dan Paru-Paru
Inspeksi : Pengembangan dada kanan dan kiri simetris,
persebaran warna kulit klien merata, tidak terdapat
jejas di dada, terdapat retraksi dinding dada yang
kuat.
Palpasi : Tidak terdapat benjolan atau pembengkakan pada
area dada
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : Suara paru kanan kiri vesikuler, terdengar suara
ronkhi, tidak terdengar suara whezzing.
8) Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis teraba di ICS IV medial linea
midclavikula sinistra
Perkusi : Terdengar bunyi pekak, batas jantung normal
Kanan atas : SIC II linea parasternalis dextra
Kanan bawah : SIC IV linea parasternalis dextra
Kiri atas : SIC II linea parasternalis sinistra
Kiri bawah : SIC IV linea mediaclavicularis
sinistra
Auskultasi : Terdengar bunyi jantung “Lup” “Dup” (S1 dan S2)
tidak terdapat bunyi jantung tambahan.
9) Abdomen
Inspeksi : Sebaran warna kulit klien merata
Auskultasi : Bunyi bising usus 8x/menit
Perkusi : Bunyi timpani saat dilakukan perkusi di seluruh
kuadran
Palpasi : Abdomen supel, tidak teraba massa, nyeri tekan
tidak terkaji
10) Genetalia
Inspeksi : Tidak terdapat luka, lesi, terpasang DC
11) Ekstremitas
Indikator Kanan Kiri
Movement Lemas Lemas
Akral Dingin Dingin

ATAS
EKSTREMITAS Oedem Tidak ada Tidak ada
Nyeri Tidak terkaji Tidak terkaji
Capilary Refill Time > 3 dtk > 3 dtk
Kekuatan otot Tidak terkaji Tidak terkaji
BAWAH

Movement Tidak dapat dikaji Tidak dapat dikaji


Akral Dingin Dingin
Oedem Tidak ada Tidak ada
Nyeri Tidak terkaji Tidak terkaji
Capilary Refill Time > 3 dtk > 3 dtk
Kekuatan otot Tidak terkaji Tidak terkaji

4. PENGKAJIAN FUNGSIONAL
a) Nutrisi dan Cairan
Nutrisi
Jenis Sebelum Sakit Saat Sakit
Makan Frekuensi : 3 x sehari -
Porsi, Jenis : Nasi 1 piring, lauk pauk dan
sayur
Minum Frekuensi : 6-8 gelas/ hari -
Jenis : air putih, teh/kopi
Cairan
Intake Output
Infus : 1500 ml (NaCl 20 BAK : 100 ml (warna kemerahan)
tpm) + 250 ml (manitol) BAB : -
Minum : - IWL : 15 cc x BB (65)
Makan : - 975 cc
Jumlah : 1750 ml Perdarahan : hematuria

Jumlah: 1075 ml

*BC/7 jam = Intake – Output Balance cairan : 1750-1075


= (+675 cc/24jam)
b) Eliminasi
Klien belum BAB sejak datang hingga pukul 23.53 WIB
c) Termoregulasi
Suhu klien dalam rentang normal yaitu 37˚C
d) Aktivitas dan Latihan
ADL 0 1 2 3 4
Mandi V
Berpakaian V
Eliminasi V
Makan dan Minum V
Mobilisasi V
Ambulasi V
Total Skor G
Keterangan 1 : Mandiri
2 : Dibantu Sebagian
3 : Perlu Bantuan orang lain
4 : Perlu bantuan orang lain dan alat
Indeks Katz :
Nilai indeks katz klien pada nilai G yaitu ketergantungan pada orang
lain/perawat untuk 6 aktivitas
e) Risiko Jatuh
Tgl
Penilaian Resiko Jatuh (Dinilai oleh perawat primer) Score 15/5/
2019
Riwayat Jatuh Jatuh satu kali atau lebih dalam
25 25
kurun waktu 6 bulan terakhir
Agitasi/Konfusi 15 0
Status Mental
Demensia 15 0
Efek dari obat-obatan
10 0
analgesik/sedatif
Medikasi
Riwayat operasi dengan OA/RA
20 0
dalam 24 jam terakhir
Mobilisasi
Gangguan 20 0
Langkah kaki Lemah 10 10
Normal 0 0
Benda disekitar, kursi, dinding, dll 30 0
Alat bantu
Kruk, tongkat, tripod, walker 15 0
Pasien dengan bed rest total 0 0
Pasien dengan diagnosa lebih dari 1 15 0
Kondisi Medis
Pasien terpasang infus 20 20
SKOR TOTAL 55
Lingkari golongan skor resiko jatuh setelah penilaian RT/
Dokter meminta untuk pencegahan resiko jatuh + nilai skor berapapun = RT RS/ RR

Interpretasi The Morse Fall Scale (MFS)


Resiko tinggi : 45 atau lebih
Resiko sedang : 25 – 45
Resiko rendah : 0 – 24
Kesimpulan: Berdasarkan hasil pengkajian resiko jatuh pada An.T,
didapatkan An.T beresiko jatuh tinggi dengan skor 55.
f) Rasa Aman dan Nyaman
Klien terlihat gelisah dan didapatkan pengkajian nyeri dengan CPOT
dengan skor 5 (nyeri berat)
g) Skala Pengkajian Nyeri
Tabel Skala CPOT (Critical-Care Pain Observasion Tool)

Checklist
sesuai
Indikator Kondisi Skor Keterangan
kondisi
pasien
Ekspresi Rilek 0 Tidak ada ketegangan otot
wajah Kaku 1 Mengerutkan kening,
mengangkat alis, orbit
menegang (misalnya membuka
mata atau menangis selama
prosefur nosiseptif)
Meringis 2 Semua gerakan wajah 
sebelumnya ditambah kelopak
mata tertutup rapat (Pasien
dapat mengalami mulut
terbuka, mengigit selang ETT)
Gerakan Tidak ada 0 Tidak bergerak (tidak
tubuh gerakan kesakitan) atau posisi normal
abnormal (tidak ada gerakan lokalisasi
nyeri)
Lokalisasi 1 Gerakan hati-hati, menyentuh
nyeri lokasi nyeri, mencari perhatian
melalui gerakan
Gelisah 2 Mencabut ETT, mencoba 
untuk duduk, tidak mengikuti
perintah, mencoba keluar dari
tempat tidur
Aktivasi Pasien 0 Alarm tidak berbunyi 
alarm kooperatif
ventilator terhadap
mekanik kerja
(Pasien ventilator
diintubasi) mekanik
Alarm aktif 1 Batuk, alarm berbunyi tetapi
tapi mati berhenti secara spontan
sendiri
Alarm selalu 2 Alarm sering berbunyi
aktif
Berbicara Berbicara 0 Bicara dengan nada pelan 
jika pasien dalam nada
diekstubasi normal atau
tidak ada
suara
Mendesah, 1 Mendesah, mengerang
mengeran
Menangis 2 Menangis, berteriak
Ketegangan Tidak ada 0 Tidak ada ketegangan otot
otot ketegangan
otot
Tegang, 1 Gerakan otot pasif 
kaku
Sangat 2 Gerakan sangat kuat
tegang atau
kaku
Total 5
Catatan:
1. Skor 0 : tidak nyeri
2. Skor 1-2 : nyeri ringan
3. Skor 3-4 : nyeri sedang
4. Skor 5-6 : nyeri berat
5. Skor 7-8 : nyeri sangat berat (Gelinas 2006)
Kesimpulan: Berdasarkan hasil pengkajian nyeri menggunakna CPOT,
didapatkan An.T mengalami nyeri berat dengan skor 5.
PEMERIKSAAN PENUNJANG

a) Pemeriksaan Radiologi (X Foto Vertebrae Cervical Ap – Lateral)


Tanggal 15 Mei 2019, pukul 09.54 WIB
Klinis : Post KLL
 Tampak terpasang endotracheal tube dengan ujung distal setinggi
corpus vertebra thoracal 3
 Tampak terpasang collar neck
 Struktur tulang baik
 Kurvatura tampak melurus
 Tak tampak pemipihan corpus maupun diskontinuitaspada vertebrae
yang tervisualisasi
 Processus transversus dan processus spinosus baik
 Tak tampak penyempitan diskus intervertebralis yang tervisualisasi
 Retropharyngeal dan retrotracheal soft tissue tak melebar
Kesan :
 Endotracheal tube terpasang dengan ujung distal setinggi corpus
vertebra thoracal 3
 Tak tampak fraktur maupun listhesis pada x-foto cervical

b) Pemeriksaan Radiologi (X Foto Thoraks AP Semierect)


Tanggal 15 Mei 2019, pukul 10.15 WIB
Klinis : Post KLL
Tampak terpasang endotracheal tube dengan ujung distal setinggi corpus
vertebra thoracal 4
COR : Bentuk dan letak jantung normal
PULMO :
 Corakan vaskular tampak meningkat disertai blurring vaskular
 Tampak bercak pada kedua lapangan paru
 Tak tampak lusensi avaskular pada hemitoraks kanan kiri
 Hemidiafragma kanan setinggi costa 10 posterior
 Sinus costofrenikus kanan kiri lancip
 Tak tampak diskontinuitas pada os costae, scapulae, dan claviculae
kanan kiri yang tervisualisasi
Kesan :
 Endotracheal tube dengan ujung distal setinggi corpus vertebra
thoracal 4
 Cor tak membesar
 Gambaran bronkopneumonia DD/ edema pulmonum
 Tak tampak gambaran kontusio pulmonum maupun pneumothoraks
saat ini
 Tak tampak fraktur pada os costae, scapulae, dan claviculae kanan
kiri yang tervisualisasi
c) Pemeriksaan Radiologi (MSCT Kepala Tanpa Kontras)
Tanggal 15 Mei 2019, pukul 09.30 WIB
Klinis : CKB
 Tampak lesi hiperdens (CT Number 50-68 HU) luas bentuk
bikonveks (volume ±96,22cc) pada konvekstitas regio fronto-
parieto kanan kiri dan occipital)
 Tampak lesi hiperdens (CT Number 50-68 HU) yang mengisi
falx cerebri, fissura sylvii kanan kiri, tentorium cerebeli dan
cysterna perpedinculum
 Tampak pula lesi hiperdens (CT Number 50-68 HU) pada
ventrikel lateralis kanan kiri dan ventrikel III
 Tampak hemispher cerebri kanan kiri lebih hipodens
dibandingkan cerebellum
 Sulkus kortikalis dan fissura sylvii tampak menyempit
 Ventrikel lateral kanan kiri, III dan IV tampak menyempit
 Cisterna perimesenchepalic tampak menyempit
 Tak tampak midline shifting
 Bone Window
o Tampak subgaleal hematom regio fronta-tempora-parieto-
occipital kanan kiri
o Tampak multiple diskontinuitas komplit linier pada ossa
fronta-tempora-parietal kanan kiri, occipital kiri, aspek
anterior dinding sinus maxillaris dan aspek lateral dinding
sinus maxillaris
o Tampak pelebaran sutura sagitalis dan sutura coronaria kiri
o Tampak kesuraman pada sinus maxillaris kanan kiri, frontalis
kanan, dan sphenoid kiri
o Tampak soft tissue swelling disertai air buble pada aspek
anterior sinus maxillaris kanan
o Tak tampak kesuraman pada mastoid air cell
Kesan :
 Subgaleal hematom regio fronta-tempora-parieto-occipital kanan
kiri
 Epidural hematom luas (volume ±96,22cc) pada regio fronta-parieto
kanan kiri dan occipital kanan
 Subarachnoid hemorhagic
 Intraventrikuler hemorhagic
 Edema cerebri diffuse
 Tampak tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial
 Multiple fraktur komplit pada ossa fronto-tempora-parietal kanan
kiri, occipita kiri, aspek anterior dinding sinus maxillaris dan aspek
lateral dinding sinus maxillaris
 Fraktur diastasis pada sutura sagitalis dan sutura coronaria kiri
 Hematom sinus maxillaris kanan kiri, frontalis kanan, dan sphenoid
kiri
 Soft tissue swelling disertai emfisema subcutis pada aspek anterior
sinus maxillaris kanan

d) Hasil Laboratorium
Tanggal : 15 Mei 2019, pukul 04.21 WIB
Imunoserologi
HbsAg < 0.10 Negatif : <1.0, Negatif
equevocal : 1.0 – 50.0,
Positif : >50.0
Koagulasi
Plasma Prothombin
Time (PPT)
Waktu 11.7 detik 9.4 - 11.3 H
Prothombin
PPT Kontrol 10.4 detik
Partial
Thromboplastin
Time
(PPTK)
Waktu 26.5 detik 27.7-40.2 L
Thromboplastin
APTT Kontrol 31.5 detik

e) Hasil EKG
Tidak ada
5. TERAPI MEDIS
Nama Obat Dosis Rute Indikasi Kontraindikasi Efek Samping
Infus Nacl 0,9% 20 tpm IV Merupakan obat yang biasa Kontraindikasi relatif pada penggunaan Efek yang terjadi
digunakan untuk mengganti cairan cairan salin normal intravena adalah: selama penggunaan
tubuh yang hilang karena beberapa  Pasien dengan gagal jantung Nacl 0.9% seperti
faktor. kongestif kelebihan kadar
Nacl 0.9% memiliki fungsi sebagai  Pasien dengan gangguan fungsi
natrium dalam darah
pengatur keseimbangan cairan ginjal berat
dan kekurangan
tubuh, mengatur kerja dan fungsi  Kondisi yang disertai dengan retensi
natrium dan edema Kalium dalam darah.
otot jantung, mendukung
metabolisme tubuh, dan merangsang  Sirosis hepatis
kerja saraf.  Tidak boleh digunakan sebagai
irigasi pada prosedur elektrosurgical.
Ranitidin 50mg/1 IV Mengobati ulkus lambung dan Lansia, ibu hamil, ibu menyusui, Sembelit, diare,
2jam duodenum, melindungi lambung kanker lambung, penyakit ginjal, pusing, sakit kepala,
dan duodenum agar tidak sampai mengonsumsi obat non-steroid anti- mual
teradi ulkus Mengobati masalah inflamasi, sakit paru paru, diabetes,
yang disebabkan oleh asam pada masalah dengan sistem kekebalan
kerongkongan, contohnya pada tubuh, porfiria akut (gangguan
GERD metabolisme langka)
Mencegah tukak lambung agar
tidak berdarah Mengobati sakit
maag beserta gejala-gejala yang
ditimbulkannya
Metoclopramid 10 mg IV Metoklopramid bekerja dengan  Orang yang memiliki riwayat  Mengantuk
cara menghambat reseptor hipersensitivitas atau alergi  Sakit kepala
dopamin dan dalam dosis yang terhadap kandungan obat ini.  Depresi
lebih tinggi senyawa ini dapat  Penderita pendarahan saluran  Kelelahan
memblokir reseptor serotonin di cerna, obstruksi mekanis dan  Gangguan
zona pemicu kemoreseptor di perforasi saluran cerna serta saluran cerna
susunan saraf pusat. Kondisi ini dikonfirmasi menderita  Hipotensi
akan menyebabkan pheyocromocytoma.
meningkatnya respon terhadap  Tidak boleh diberikan pada
asetilkolin di jaringan tisu penderita epilepsi, parkinson,
saluran pencernaan atas. memiliki riwayat
Akibatnya terjadi peningkatan metahemoglobinemia.
motilitas dan mempercepat  Penderita yang sedang diobati
pengosongan lambung tanpa dengan obat jenis agonis
merangsang asam lambung dan levodopa atau dopaminergik.
pankreas.
Metoklopramid digunakan untuk
meredakan mual dan muntah
yang disebabkan oleh berbagai
kondisi seperti:
 Muntah setelah menjalani
kemoterapi atau radioterapi.
 Muntah akibat GERD.
 Mual dan muntah akibat
kelainan pada saluran
pencernaan akibat penyakit
diabetes.
 Mengatasi mual dan muntah
pascaoperasi.
Selain itu obat ini juga
digunakan untuk membantu
proses instubasi (memasukkan
selang ke saluran cerna),
membantu pengosongan
lambung, serta memperlancar
jalannya zat kontras saat proses
radiologi lambung dan usus.
Manitol 250 ml IV Sebagai diuretik osmotik dapat Orang dengan gagal jantung Pusing, mual, rasa
digunakan untuk beberapa tujuan kongestif, kegagalan fungsi ginjal sakit di dada, rasa
berbeda, antara lain: profilaksis tidak diperkenankan untuk haus.
terhadap gagal ginjal akut, mendapatkan Mannitol, kecuali
Sakit kepala,
diagnosis banding oliguria akut apabila setelah diberikan 200,0 g
polidipsia, letargi,
dan penurunan tekanan cairan Mannitol per kg berat badan yang
konfusi.
serebrospinal dan intra-okular. diinjeksikan dalam waktu 3 sampai 5
menit dapat menghasilkan sedikitnya
40 mL urine per jam selama 2 sampai
3 jam. Penderita yang mengalami
dehidrasi/asidosis, perdarahan
intracranial.
B. ANALISA DATA DAN DIAGNOSA KEPERAWATAN
Nama Klien : An.T
No. Rekam Medik : C75XXXX
Ruang Rawat : Ruang IGD

1. ANALISA DATA
No. Data Fokus Masalah Etiologi
1 DS:- Ketidakefektifan Bersihan Obstruksi Jalan Napas
DO : Jalan Napas (00031) (darah berlebih)
- Terdapat sumbatan jalan napas berupa akumulasi darah
dan lendir pada rongga mulut klien
- Terdengar suara gurgling
- RR : 22 x/menit.
- Akral Dingin
- SpO2 : 97%
2 DS:- Ketidakefektifan Pola Napas Hiperventilasi
DO: (00032)
- Klien terlihat sesak dengan frekuensi napas 30x/menit.
- Klien menggunakan O2 NRM 10 liter/menit
- Terdapat retraksi dinding dada
- Pola napas klien cepat dan dalam.
- SpO2 klien 97%
3 DS :- Resiko Ketidakefektifan Peningkatan TIK
DO: Perfusi Jaringan Serebral
- Kesadaran : Soporokoma (00201)
- GCS : E1 V1 M3
- Tekanan Darah: 100/60 mmHg
- Nadi : 110 x/menit
- MAP : 73,3 mmHg
- Terdapat perdarahan yang keluar dari mulut
- Terdapat racoon eye pada mata kanan
- Terdapat battle sign pada telinga
Hasil pemeriksaan MSCT menunjukkan:
- Epidural hematom luas (volume ±96,22cc) pada regio
fronta-parieto kanan kiri dan occipital kanan
- Tampak tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial
- Subarachnoid hemorhagic
- Edema cerebri diffuse
- Intraventrikuler hemorhagic
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN

No. Diagnosa Keperawatan Tgl. Tgl.


Dx (Kode Nanda) Ditemukan Teratasi
Ketidakefektifan Bersihan Jalan Napas 15 Mei 2019
1 (00031) berhubungan dengan obstruksi
jalan napas (darah berlebih)
Ketidakefektifan Pola Napas (00032) 15 Mei 2019
2
berhubungan dengan hiperventilasi
Resiko Ketidakefektifan Perfusi Jaringan 15 Mei 2019
3 Serebral (00201) berhubungan dengan
peningkatan TIK
C. PERENCANAAN INTERVENSI KEPERAWATAN
Nama Klien : An.T
No. Rekam Medik : C75XXXX
Ruang Rawat : Ruang IGD

Diagnosa
Tgl Tujuan dan Kriteria Hasil Rencana Tindakan Paraf
Keperawatan
15 Mei Ketidakefektifan Setelah dilakukan tindakan Airway Suction tim
2019 Bersihan Jalan keperawatan selama 2x15 menit jalan 1. Informasikan kepada keluarga tentang
Napas (00031) napas efektif dengan kriteria hasil: suctioning
berhubungan 1. RR 16-24x/menit, tidak terjadi 2. Auskultasi suara nafas sebelum dan
dengan peningkatan maupun penurunan sesudah suctioning
obstruksi jalan 2. Akral hangat 3. Gunakan alat steril setiap melakukan
napas (darah
3. Suara napas bersih (tidak tindakan
berlebih)
terdengar suara gurgling dan 4. Monitor status oksigen pasien
ronkhi) 5. Hentikan suction apabila Pasien
4. Tidak terdapat penumpukan sekret menunjukkan bradikardi, peningkatan
pada mulut SaO2, dll
5. Tidak terdapat penumpukan sekret Airway Management
pada ET 6. Buka jalan nafas dengan teknik chin lift
atau jaw thrust bila perlu
7. Posisikan pasien memaksimalkan
ventilasi
8. Identifikasi pasien perlunya pemasangan
alat jalan nafas buatan
9. Pasang mayo bila perlu
10. Auskultasi suara nafas, catat adanya
suara tambahan
11. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan
keseimbangan
12. Monitor respirasi dan status O2
15 Mei Ketidakefektifan Setelah dilakukan asuhan Oxygen Therapy tim
2019 Pola Napas keperawatan selama 1 x 6 jam pola 1. Pertahankan jalan nafas paten
(00032) nafas klien dapat membaik dengan 2. Atur peralatan oksigenasi
berhubungan kriteria hasil : 3. Monitor aliran oksigen
dengan 4. Pertahankan posisi pasien
1. Frekuensi pernafasan klien
hiperventilasi 5. Observasi tanda-tanda hipoventilasi
dalam rentang normal (12-24
Vital Sign Monitaoring
x/menit)
6. Monitor TD, nadi, dan RR
2. Menunjukkan kepatenan jalan
7. Catat adanya fluktuasi tekanan darah
nafas 8. Monitor kualitas dan nadi
3. Saturasi oksigen dalam 9. Monitor frekuensi dan irama pernafasan
rentang normal (>95%) 10. Monitor suara paru
4. Tidak terlihat retraksi dinding 11. Monitor pola pernafasan abnormal
dada 12. Monitor adanya cushing triad (tekanan
nadi yang melebar, bradikardi,
peningkatan sistolik
13. Identifikasi dari penyebab perubahan
vital sign
15 Mei Resiko Setelah dilakukan tindakan Cerebral Sensation Management (2660) tim
2019 Ketidakefektifan keperawatan selama 60 menit 1. Periksa TTV, keadaan umum, serta tingkatkan
Perfusi Jaringan masalah ketidakefektifan perfusi kesadaran pasien
Serebral (00201)
berhubungan jaringan serebral dapat teratasi 2. Lakukan pemeriksaan reaksi pupil,
dengan dengan kriteria hasil : ukurannya, bentuk dan reaktivitas terhadap
peningkatan 1. Pasien tidak mengalami penurunan cahaya
TIK kesadaran 3. Posisikan pasien dengan posisi kepala lebih
2. Tekanan sitole dan diastole dalam tinggi 15-30 ºC dengan letak jantung
rentang yang diharapkan (sistol 4. Pertahankan bedrest, berikan lingkungan
100-130 mmHg, diastole = 60-89 yang tenang dan nyaman
mmHg), Nadi =60-100 x/menit, 5. Berikan tambahan oksigen bila diperlukan
RR 16-24x/menit, Suhu : 36,5-37,5 6. Beritahu pasien terkait kondisinya dan
ºC ajarkan pasien terkait pentingnya posisi head
3. Menunjukkan tidak adanya up
keburukan/kekambuhan setelah 7. Kolaborasi dengan dokter pemberian obat-
diberikan tindakan yaitu obatan yang dianjurkan
peningkatan TIK : pasien kejang, 8. Lakukan manajemen PTIK
tekanan darah tinggi, MAP tinggi, - Airway : pelihara patenan jalan nafas
bardikardi, RR naik, papila edema. - Blood pressure : monitoring dan pertahankan
tekanan darah yang adekuat : pemberian
program non farmakologi dengan
- Calm = berikan kondisi pasien agar tenang dan
nyaman dengan lingkungan
- D : Lakukan dekompresi perut dengan
menurunkan tekanan intraabdominal untuk
memaksimalkan ekspansi paru-parudan
membperbaiki ventilasi dengan membuang
isilambung/residu melalui NGT
- E :Tinggikan kepala sampai 30 derajat
Lakukan pemeriksaan pupil dan adanya edema
paplebra
- Fluid and elecrtrolytes : Berikan cairan
elektrolit untuk meningkatkan ICP : pemberian
infuse NaCl 0,9% 20 tpm,
- Family : libatkan keluarga dalam pengambilan
keputusan dan pemberi dukungan /family
support
- Pantau tingkat kesadaran pasien (GCS)
- Hiperthermia : lakukan pemantauan suhu tubuh
pasien dan berikan program terapi yang
diresepkan dokter
- Monitoring ICP, MAP
- Kolaborasi pemberian manitol 250 cc
D. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Nama Klien : An.T
No. Rekam Medik : C75XXXX
Ruang Rawat : Ruang IGD

Tanggal No.Dx Jam Tindakan Keperawatan Hasil (Evaluasi Formatif) TTD


15 Mei 3 01.10 Memasang neckcolar S: - Diah
2019 O: Klien terpasang neckcolar, posisi
kepala dan leher tetap.

1,2 01.11 Memasang Bedside monitor S: - Diah


O: Terpasang bed set monitor, TD:
130/75 mmHg, HR: 90x/menit, spO2
: 96 %, RR: 27 x/menit
1 01.13 Melakukan suction S: - Diah
O: Terlihat sekret di mulut saat
dilakukan suction berkurang, SpO 97
% RR 28x/menit
2 01.15 Memasang oksigen NRM 8 lpm S: - Diah
O: SpO 97 % RR 28x/menit
1 01.18 Memasang OPA S: - Diah
O: Lidah tidak menutupi jalan nafas
1 01.20 Memasang ETT S: - Diah
O: Klien terpasang ET dengan
oksigen 10 lpm
1,2 02.30 Memonitor aliran O2 dan status respirasi pasien S: - Diah
O: Suara napas vesikuler, RR 22
x/menit, Bunyi suara gurgling tidak
terdengar SpO2 99%, tidak ada
secret pada ET
3 03.00 Memonitor GCS S: - Diah
O: Klien mengalami penurunan
kesadaran dengan GCS 3 (E1M3Vet)
1,2 06.30 Memonitor aliran O2 dan status respirasi pasien S: - Diah
O: Suara napas vesikuler, RR 28
x/menit, Bunyi suara gurgling tidak
terdengar SpO2 97%, tidak ada
secret pada ET
3 07.10 Memposisikan bed pasien 20 derajat S:- Arin
O: Posisi bed pasien 20 derajat
3 06.35 Memonitor GCS S: - Arin
O: Klien mengalami penurunan
kesadaran dengan GCS 3 (E1M3Vet)
3 09.00 Melakukan pemeriksaan MSCT, foto thorax, dan S: - Arin
vertebrae cervical O: Klien dibawa ke radiologi untuk
dilakukan pemeriksaan. Kondisi
klien masih tidak sadarkan diri,
terpasang O2 10 lpm
3 10.30 Memberikan infus manitol 250 cc dan inj. Ranitidin S: - Arin
50mg/12jam O: Klien terpasang infus manitol 250
cc, ranitidine 50mg/12jam masuk
melalui intravena
1,2 13.30 Memonitor aliran O2 dan status respirasi pasien S: - Arin
O: Nafas Kusmaul, RR 30 x/menit,
SpO2 75%
3 13.35 Memonitor GCS S: - Arin
O: Klien mengalami penurunan
kesadaran dengan GCS 3 (E1M3Vet)
18.00 Kolaborasi pemberian injeksi ranitidin 50mg/12jam S: - Yuni
O: Klien terpasang infus RL,
ranitidin 50mg/12jam masuk melalui
intavena
1,2 20.30 Memonitor aliran O2 dan status respirasi pasien S: - Yuni
O: Nafas lambat, RR 10 x/menit,
SpO2 70%
3 20.35 Memonitor GCS S: - Yuni
O: klien mengalami penurunan
kesadaran dengan GCS 3 (E1M3Vet)
20.40 DNR atas persetujuan keluarga Yuni
1,2 23.30 Memonitor aliran O2 dan status respirasi pasien S: - Meit
O: RR :0, SpO2 50% a
23.53 Perawatan jenazah S- Meit
O:- a

E. EVALUASI KEPERAWATAN
Nama Klien : An.T
No. Rekam Medik : C75XXXX
Ruang Rawat : Ruang IGD

Diagnosa
Tanggal Jam Evaluasi Paraf
Keperawatan
15 Mei Ketidakefektifan 07.00 S:- Arin
2019 Bersihan Jalan O:
Napas (00031) - Klien terpasang OPA
berhubungan - Klien terasang ETT dengan oksigen 10 lpm
dengan
- Tidak terdengar gurgling
obstruksi jalan
- Tidak terdapar secret maupun pendarahan di mulut
napas (darah
berlebih) A:
- Masalah ketidak efektifan bersihan jalan nafas belum teratasi
P:
Lanjutkan program intervensi
Ketidakefektifan S:- Arin
Pola Napas O:
(00032) - Suara napas vesikuler
berhubungan - RR 28 x/menit,
dengan
- SpO2 97%,
hiperventilasi
A:
- Masalah ketidak efektifan pola nafas belum teratasi
P:
Lanjutkan program intervensi
Resiko S:- Arin
Ketidakefektifan O:
Perfusi Jaringan - Klien mengalami penurunan kesadaran
Serebral (00201) - GCS E1M3Vet
berhubungan
dengan A:
peningkatan - Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral belum teratasi
TIK P:
Lanjutkan program intervensi
Ketidakefektifan 14.00 S:- Yuni
Bersihan Jalan O:
Napas (00031) - Klien terpasang OPA
berhubungan - Klien terasang ETT dengan oksigen 10 lpm
dengan
- Tidak terdenga gurgling
obstruksi jalan
- Tidak terdapar secret maupun pendarahan di mulut
napas (darah
berlebih) A:
- Masalah ketidak efektifan bersihan jalan nafas belum teratasi
P:
Lanjutkan program intervensi
Ketidakefektifan S:- Yuni
Pola Napas O:
(00032) - Nafas Kusmaul
berhubungan - RR 30 x/menit
dengan
- SpO2 75%
hiperventilasi
A:
- Masalah ketidak efektifan pola nafas belum teratasi
P:
Lanjutkan program intervensi
Resiko S:- Yuni
Ketidakefektifan O:
Perfusi Jaringan - Klien mengalami penurunan kesadaran
Serebral (00201) - GCS E1M1Vet
berhubungan
dengan A:
peningkatan - Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral belum teratasi
TIK P:
Lanjutkan program intervensi
Ketidakefektifan 21.00 S:- Yuni
Bersihan Jalan O:
Napas (00031) - Klien terpasang OPA
berhubungan - Klien terasang ETT dengan oksigen 10 lpm
dengan
- Tidak terdenga gurgling
obstruksi jalan
- Tidak terdapar secret maupun pendarahan di mulut
napas (darah
berlebih) A:
- Masalah ketidak efektifan bersihan jalan nafas belum teratasi
P:
Lanjutkan program intervensi
Ketidakefektifan S:- Yuni
Pola Napas O:
(00032) - Nafas lambat
berhubungan - RR 10 x/menit
dengan
- SpO2 70%
hiperventilasi
A:
- Masalah ketidak efektifan pola nafas belum teratasi
P:
Lanjutkan program intervensi
Resiko S:- Meit
Ketidakefektifan O: a
Perfusi Jaringan - Klien mengalami penurunan kesadaran
Serebral (00201) - GCS E1M1Vet
berhubungan
- SpO2 50%
dengan
peningkatan A:
TIK - Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral belum teratasi
P:
Lanjutkan program intervensi
24.00 Pasien meninggal pukul 23.53 Meit
a
BAB IV
PEMBAHASAN

Berdasarkan anamnesis yang dilakukan pada An.T, didapatkan kondisi


pasien: keluar darah dari mulut, terdapat racoon eye pada mata kanan, battle sign
pada telinga kiri, laserasi dikepala bagian parietal ± 1,5 cm dan pada tungkai
sinistra ± 3 cm, penurunan kesadaran (+).
Cedera kepala yang dialami pasien tersebut berdasarkan GCS yaitu Cedera
Kepala Berat (CKB). Penentuan CKB bila dalam waktu > 48 jam setelah trauma,
score GCS < 9. Berdasarkan mekanismenya dapat dikategorikan sebagai cedera
kepala tumpul, karena berdasarkan informasi bahwa pasien mengalami cedera
kepala akibat jatuh dari motor dalam kecepatan tinggi tanpa memakai helm hingga
menabrak pohon lalu terpental ke jalan, dan kepala klien terbentur aspal. Kondisi
muntah yang tanpa didahului mual yang dialami pasien tersebut, disebut dengan
muntah proyektil. Muntah ini disebabkan oleh adanya peningkatan tekanan
intrakranial penderita. Penurunan kesadaran yang dialami pasien dapat disebabkan
oleh adanya gangguan sirkulasi darah di otak akibat cedera kepala yang dialami.
Manifestasi klinis berupa adanya racoon eye dan battle sign menunjukkan klien
mengalami fraktur basis cranii.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan: kondisi umum pasien lemah, nafas
spontan (+) tidak adekuat, tidak ada cairan/darah yg keluar dari hidung, RR
30x/menit, nafas cepat dalam dan terdapat retraksi dada yang kuat, kesadaran
soporokoma dan GCS 5. Tanda-tanda vital: tekanan darah rendah yaitu 100/60
mmHg, MAP dalam batas normal yaitu 73,3 mmHg. Pemeriksaan kepala terdapat
laserasi pada kepala bagian parietal ± 1,5 cm menunjukkan eksternal trauma, pupil
insokor pupil kiri 3 mm dan pupil kanan 4 mm, tidak ada reflek pupil
menunjukkan perburukan kondisi pasien. Pada thorax tidak terdapat jejas namun
terlihat adanya retraksi dada yang kuat, hal itu merupakan kompensasi tubuh
untuk memaksimalkan ventilasi. Pemeriksaan paru dan jantung dalam batas
normal. Pemeriksaan abdomen tampak adanyat jejas pada otot latissimus darsi
(area ginjal bagian belakang), urin klien terlihat kemerahan (hematuria)
menunjukkan salah satu manifestasi klinis dari perdarahan gastrointestinal. Pada
pemeriksaan ekstremitas didapatkan laserasi pada tungkai sinistra ± 3 cm.
Pada pemeriksaan laboratorium, didapatkan: leukositosis sebesar 11.700.uL,
Leukositosis pada pasien ini dapat terjadi karena pada cedera kepala,
menimbulkan respon inflamasi akut, aktivasi sel endotel, dan penglepasan
mediator inflamasi yang dapat “mengundang” sel-sel leukosit (terutama sel
polinuklear/ PMN) untuk menuju area target. Nilai Plasma Prothombin Time
(PPT) klien memanjang yaitu selama 11,7 detik menunjukkan klien mengalami
defisiensi koagulasi intrinsic. Pemeriksaan BGA telah dilakukan namun hasil lab
belum dapat terkaji.
Pada pemeriksaan MSCT-scan perbandingan didapatkan tambahan kesan:
Subgaleal hematom regio fronta-tempora-parieto-occipital kanan kiri, epidural
hematom luas (volume ±96,22cc) pada regio fronta-parieto kanan kiri dan
occipital kanan, subarachnoid hemorhagic,intraventrikuler hemorhagic, edema
cerebri diffuse, tampak tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial, multiple
fraktur komplit pada ossa fronto-tempora-parietal kanan kiri, occipita kiri, aspek
anterior dinding sinus maxillaris dan aspek lateral dinding sinus maxillaris, fraktur
diastasis pada sutura sagitalis dan sutura coronaria kiri, hematom sinus maxillaris
kanan kiri, frontalis kanan, dan sphenoid kiri, soft tissue swelling disertai
emfisema subcutis pada aspek anterior sinus maxillaris kanan. Pemeriksaan foto
thorax dan vertebrae dalam batas normal. Hasil CT-Scna klien menunjukkan
mengalami cedera kepala berat dengan perdarahan epidural, Diffuse Injury Grade
III, dan peningkatan TIK sehingga perlu dilakukan menajemen PTIK.
Pada tanggal 15 Mei 2019, An.T masuk ke IGD RSUP Dr. Kariadi pada
pukul 01.00 WIB setelah mengalami kecelakaan tunggal dan tidak sadarkan diri
GCS E1V1M3. Hasil pengkajian yang didapatkan pada klien yaitu terdapat
sumbatan jalan napas berupa akumulasi darah dan lendir pada rongga mulut klien,
terdengar suara gurgling, akral dingin, dan RR klien 30x.menit. Sehingga dari
hasil tersebut, penulis merumuskan diagnosa ketidakefektifan bersihan jalan napas
berhubungan dengan obstruksi jalan napas (darah berlebih).
Ketidakefektifan bersihan jalan napas yaitu ketidakmampuan membersihkan
sekresi atau obstruksi dari saluran napas untuk mempertahankan bersihan jalan
napas (Herdman & Kamitsuru, 2018). Intervensi pada diagnosa tersebut dapat
dilakukan suction. Suction/ penghisapan lendir adalah suatu langkah untuk
mengeluarkan sekret dari saluran nafas dengan menggunakan catheter suction
yang mana chateter tersebut dimasukkan melalui hidung atau rongga mulut ke
dalam pharing atau sampai trachea (Timby, 2009).
Menurut Konzier & Erb (2011) indilasi dilakukan Suction ETT pada pasien
adalah bila terjadi gurgling (suara nafas berisik seperti berkumur), cemas,
susah/kurang tidur, snoring (mengorok), penurunan tingkat kesadaran, perubahan
warna kulit, penurunan saturasi oksigen, penurunan pilde rate (nadi), irama nadi
tidak teratur, respiratori rate menurun dan gangguan patensi jalan nafas.
Sedangkan untuk tujuan dilakukannya penghisapan lendir adalah untuk
membersihkan lendir dari jalan nafas, sehingga potensi jalan nafas dapat
dipertahankan dan meningkatkan ventilasi serta oksigenasi. Penghapusan sekresi
tersebut juga meminimalkan risiko atelektasis. Selain itu juga untuk mendapatkan
sampel lendir dalam menegakkan diagnosa (Kozier & Erb, 2011).
Telah dijelaskan di beberapa literatur bahwa suctioning memiliki variasi
dalam penggunaan tekanan negatif Kozier, Berman, dan Snyder (2011),
merekomendasikan penggunaan tekanan suction pada pasien dewasa antara 100
mmHg–120 mmHg. Berman et al., (2009), merekomendasikan tekanan negatif
suction pada pasien dewasa sebesar 100 mmHg–120 mmHg. Mestecky dan
Woodward (2011), menganjurkan tekanan suction antara 100–150 mmHg, jika
sekret kental jangan mencoba meningkatkan tekanan suction tetapi sekret yang
kental dapat dimobilisasi dengan menggunakan humidifikasi dan tindakan
nebulezer. Tekanan 100 mmHg merupakan tekanan negatif minimal yang
dianjurkan untuk melakukan suction tetapi tekanan suction dapat diatur
berdasarkan jumlah dan karakteristik dari sekret yang terdapat pada jalan nafas,
bila tekanan 100 mmHg belum dapat memobilisasi sekret maka tekanan dapat
ditingkatkan menjadi 120 mmHg, tekanan dapat maksimal hingga 150 mmHg
karena bila lebih dari tekanan tersebut dapat menyebabkan trauma jalan nafas dan
hipoksia (Potter & Perry, 2010). Pada kasus An.T, suction yang diberikan yaitu
dengan tekanan 100 mmHg
Masalah keperawatan kedua yaitu ketidakefektifan pola napas berhubungan
dengan hiperventilasi. Hal ini dikarenakan data yang didapatkan yaitu klien
terlihat sesak dengan frekuensi napas 30x/menit, klien diberikan O2 menggunakan
NRM 10 liter/menit, terdapat retraksi dinding dada, dan pola pernapasan klien
cepat dan dangkal. Menurut Herdman & Kamitsuru (2018), ketidakefektifan pola
napas yaitu inspirasi dan/ atau ekspirasi yang tidak memberi ventilasi adekuat.
Sehingga intervensi yang dapat diberikan pada klien yaitu dengan memasukkan
alat orapharingeal airway (OPA). OPA adalah alat yang digunakan untuk
membebaskan jalan nafas pada pasien yang kehilangan refleks jalan nafas bagian
bawah. Diantaranya teknik ini yaitu posisikan kepala pasien lurus dengan tubuh,
pilih ukuran pipa orofaring sesuai dengan pasien. Dalam hal ini dilakukan dengan
cara menyesuaikan ukuran pipa orofaring dari tragus (anak telinga) sampai ke
sudut bibir. Masukkan pada pipa orofaring dengan tangan kanan (Krisanty, 2009).
Pada lengkungan menghadap ke atas (arah terbalik), kemudian masukkan ke
dalam rongga mulut. Setelah itu, ujung pipa mengenai palatum durum putar pipa
ke arah 180 derajat dan dorong pipa dengan cara melakukan jaw thrust maupun
kedua ibu jari tangan tersebut menekan sambil mendorong pada pangkal pipa
orofaring secara hati-hati sampai bagian yang keras dari pipa orofaring. Periksa
dan pastikan jalan nafas bebas, (Lihat, rasa, dengar). Fiksasi pipa orofaring
dengan cara diplester di bagian pinggir atas maupun bawah pangkal pipa dan
rekatkan plester sampai ke pipi pasien (Arifin, 2012). Pada kasus An.T, klien
dipasang alat opa karena untuk membuka jalan napas yang aman dan efektif disaat
klien tidak sadarkan diri.
Masalah keperawatan ketiga yaitu resiko ketidakefektifan perfusi jaringan
serebral berhubungan dengan peningkatan TIK. Data yang didapatkan dari hasil
pengkajian pada klien yaitu klien tidak sadar dengan GCS 5 (E 1 V1 M3), TD
100/60 mmHg, nadi 110x/menit, MAP 95x/menit, terdapat epidural hematom luas
(volume ±96,22cc) pada regio fronta-parieto kanan kiri dan occipital kanan,
tampak tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial, dan hematom sinus
maxillaris kanan kiri, frontalis kanan, dan sphenoid kiri. Menurut Herdman &
Kamitsuru (2018), resiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral adalah rentan
mengalami penurunan sirkulasi jaringan otak yang dapat mengganggu kesehatan.
Intervensi yang dapat dilakukan pada klien yaitu dengan posisi head up dan
pemberian cairan infus NaCl 0,9% dan manitol.
Tujuan diberikan posisi head up pada klien yaitu untuk meningkatkan aliran
darah ke otak dan mencegah terjadinya peningkatan TIK. Peningkatan TIK adalah
komplikasi serius karena penekanan pada pusat-pusat vital di dalam otak
(herniasi) dan dapat mengakibatkan kematian sel otak (Rosjidi, 2014). Menurut
Hasan, (2018) dalam Summers, dkk, (2009) pengaturan elevasi kepala bertujuan
untuk memaksimalkan oksigenasi jaringan otak, posisi kepala yang lebih tinggi
dapat memfasilitasi peningkatan aliran darah ke serebral dan memaksimalkan
oksigenasi jaringan serebral. Namun demikian ketinggian posisi kepala yang
optimal tidak dapat diidentifikasi secara pasti. Posisi kepala yang datar atau
sejajar dengan jantung dapat meningkatkan aliran darah ke otak.
Posisi yang paling sering dilakukan adalah dengan meninggikan kepala 30º
pada pasien yang memiliki potensi peningkatan Tekanan Intra Kranial (TIK),
paling tidak sampai diagnosa Intracranial Hamorraghic (ICH) atau penyebab
adanya lessi atau peningkatan TIK dapat dipastikan dengan pemeriksaan otak
(Hasan, 2018 dalam Summers, dkk 2009). Penelitian yang dilakukan
Ekacahyaningtyas, M dkk (2017), bahwa posisi kepala elevasi lebih tinggi dari
15° dan 30° dapat meningkatkan saturasi oksigen.
Selain posisi head up 15° - 30°, manitol juga diberikan pada An.T. Tujuan
diberikan manitol yaitu untuk mengatasi peningkatan tekanan intrakranial dengan
cara memindahkan cairan intraseluler ke intravaskular melalui perbedaan gradien
osmotik antara otak dan darah. Dosis manitol adalah 0,25 mg hingga 1 g/kgBB.
(Newfield, 2007). Manitol akan menyebabkan diuresis cairan yang berlebihan
sehingga terjadi gangguan cairan dan elektrolit. Keadaan ini akan menimbulkan
hipovolemia dan juga hipotensi yang dapat menganggu hemodinamik sehingga
menurunkan perfusi otak yang akan memperburuk kondisi cedera otak traumatik
itu sendiri. Efek samping lain dari manitol adalah terjadi rebound fenomena, yaitu
peningkatan tekanan intrakranial pada penggunaan manitol dalam waktu yang
lama sehingga mengakibatkan akumulasi manitol di dalam jaringan otak sehingga
tekanan osmotik menjadi lebih tinggi di jaringan yang menarik cairan dari
pembuluh darah ke jaringan otak yang menyebabkan edema otak lebih berat
(Batubara BH, 2016).
Pemeriksaan CT-Scan pada pasien cedera kepala sangat penting dilakukan,
karena pemeriksaan CT-Scan merupakan modalitas pilihan dalam mengevaluasi
pasien dengan cedera kepala karena memiliki keunggulan antara lain,
pemeriksaan cepat dan mudah, tidak invasif, dapat mengidentifikasikan dan
melokalisir adanya fraktur dan fragmennya pada tulang kepala, dapat
menunjukkan adanya perdarahan ekstrakranial dan menghitung volumenya, dapat
menunjukkan kelainan intrakranial baik infark akut, oedema cerebri, cerebral
contusion maupun perdarahan intracranial. Pada spiral atau multislices CT dapat
direkonstruksi gambar 3 dimensinya (Maas dkk, 2008 & Coles JP, 2007). Peran
perawat dalam hal ini ialah melakukan pendaftaran CT scan segera, memaantau
kondisi pasien sebelum transfer, dan melakukan transfer dengan aman. CT Scan
kepala sangat penting dilakukan pada pasien dengan cedera kepala berat untuk
menggambarkan ada tidaknya trauma pada otak (ollerton J, 2007). CT-Scan
seharusnya dilakukan dalam waktu 1 jam dari kedatangan di IGD (The National
Institute for Health and Care Excellence, 2014). Namun, dalam kasus An.T baru
dilakukan pemeriksaan CT-Scan setelah 9 jam sejak kedatangan pasien di IGD.
Hal itu diakibatkan karena keluarga baru datang pada pagi hari jam 08.00 WIB
sehingga perawat baru dapat memberikan inform concent terhadap persetujuan
keluarga atas tindakan pemeriksaan CT-Scan.
Menurut analisa kelompok, kejadian tersebut merupakan kasus dilema etik.
Kemampuan membuat keputusan masalah etis merupakan salah satu persyaratan
bagi perawat untuk menjalankan praktik keperawatan professional dan dalam
membuat keputusan etis perlu memperhatikan beberapa nilai dan kepercayaan
pribadi, kode etik keperawatan. Dari aspek moral fidelity, perawat berkewajiban
untuk melakukan kewajiban dan tugas dengan penuh kepercayaan dan tanggung
jawab, sesuai dengan amanah tugas dan profesi keperawatan. Apabila kewajiban
tersebut tidak ditunaikan, maka sebenarnya perawat tersebut telah melalaikan
sumpah dan kode etik keperawatan. Selanjutnya, dari aspek moral beneficence
dapat diartikan bahwa perawat harus selalu mempertimbangkan apabila hendak
melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan, dengan mempertimbangkan baik
atau buruknya, benar atau salahnya, dan layak atau tidaknya. Menurut aspek ini
pula, perawat tidak diperbolehkan untuk melakukan atau tidak melakukan tindkan
yang dpat membahayakan pasien (Tedjomuljo & Afifah, 2016).
Menurut aspek Otonomi (Autonomy) yaitu prinsip yang didasarkan pada
keyakinan bahwa individu mampu berpikir logis dan mampu membuat keputusan
sendiri. Prinsip otonomi merupakan bentuk respek terhadap seseorang, atau
dipandang sebagai persetujuan tidak memaksa dan bertindak secara rasional.
Dalam kasus ini perawat diharuskan untuk berpikir secara logis melakukan
pertolongan kepada pasien tanpa melihat keadaan pasien tersebut. Informed
consent adalah pengakuan atas hak autonomy pasien, yaitu hak untuk dapat
menentukan sendiri apa yang boleh dilakukan terhadap dirinya. Selain informed
consent yang kita kenal, ada pula yang disebut informed refusal. Doktrin informed
consent mensyaratkan agar pembuat consent telah memahami masalahnya terlebih
dahulu (informed) sebelum membuat keputusan (consent atau refusal) (Ose M. I,
2016). Karena perawat belum mendapatkan persetujuan atas informed concent
dari keluarga terhadap pemeriksaan CT-Scan menyebabkan Tn.T tidak segera
dilakukan pemeriksaan tersebut.
BAB V
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Cedera kepala atau cedera otak merupakan suatu gangguan traumatik dari
fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstiil dalam
substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak (Arif Muttaqin,
2008).
Penyebab dari cidera kepala adalah trauma pada kepala meliputi
benda/serpihan tulang yang menembus jaringan otak, efek dari kekuatan atau
energi yang diteruskan ke otak dan efek percepatan dan perlambatan
(ekselerasi-deselerasi) pada otak.

B. SARAN
1. Bagi Mahasiswa
Diharapkan rumah sakit dapat menggunakan solusi pemecahan masalah
pada klien dengan menggunakan update ilmu terkini dengan menggunakan
hasil penelitian terbaru sehingga dapat memberikan peningkatan pelayanan
yang terbaik bagi klien.
2. Bagi RS
Diharapkan rumah sakit dapat menggunakan solusi pemecahan masalah
pada klien dengan menggunakan update ilmu terkini dengan menggunakan
hasil penelitian terbaru sehingga dapat memberikan peningkatan pelayanan
yang terbaik bagi klien.
3. Bagi Institusi Pendidikan:
 Diharapkan asuhan keperawatan ini dapat digunakan sebagai
literatur ilmiah untuk mengetahui perawatan yang tepat pada pasien
dengan cidera kepala.
 Diharapkan permasalahan yang muncul pada pasien dengan cidera
kepala dapat dijadikan bahan penelitian kedepan agar dapat
mengembangkan keilmuan perawatan.
KEPUSTAKAAN

Arifin, Zainal. 2012. Evaluasi Pembelajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya.


Bachtiar, A,. Hidayah, N., Ajeng, A. 2015. Pelaksanaan Pemberian Terapi Oksigen
pada Klien Gangguan Pernapasan.
Batticaca, F. 2008. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Batubara BH., Umar N., Mursin Cm. 2016. Perbandingan Osmolaritas Plasma
Setelah Pemberian Manitol 20% 3 mL/ kgBB dengan Natrium Laktat
Hipertonik 3 mL/kgBB pada Pasien Cedera Otak Traumatik Ringan-
Sedang. Jurnal Anestesi Perioperatif. 4(3): 154-161.
Berman, A. Snyder, S. Kozier, B. & Erb, G. 2009. Buku Ajar Praktik Keperawatan
Klinis, Edisi 5. Terjemahan Eny Meiliya, Esty Wahyuningsih, Devi Yulianti,
& Fruriolina Ariani. Jakarta: PT. EGC.
Black, M. J., & Hawks, H.J. 2009. Medical Surgical Nursing Clinical
Management for Positive Outcomes. 8 th Edition. St Louis Missouri:
Elsevier Saunders.
Bulechek, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M. & Wagner, C. M. 2013.
Nursing interventions classification (NIC). Edisi keenam (Edisi Bahasa
Indonesia). Terjemahan oleh Nurjannah, I. & Roxsana, D. T. 2016.
Yogyakarta: Mocomedia.
Chaidir, R., Ilma, M. Z., 2014. Pengaruh Latihan Range of Motion Pada
Ekstremitas Atas Dengan Bola Karet Terhadap Kekuatan Otot Pasien Stroke
Non Hemoragi Di Ruang Rawat Stroke RSSN Bukittinggi Tahun 2014.
Coles JP. 2007. Imaging After Brain Injury. Br J Anaesth. 99: 49-60.
Effendi. 2017. Tatalaksana Fibrilasi Atrium. CDK-249. 44(2); 93-96
Ekacahyaningtyas, M dkk. 2017. Posisi Head Up 300 Sebagai Upaya Untuk
Meningkatkan Saturasi Oksigen Pada Pasien Stroke Hemoragik Dan Non
Hemoragik. Adi Husada Nursing Journal. 3(2): 55-59.
Gelinas dkk. 2006. “Validation of the Critical-Care Pain Observational Tool in
adult patient”.American Journal of Critical-Care, Juli. 15(4):420-427.
Grace, Pierce A, Neil R. Borley. 2007. At a Glance Ilmu Bedah.edisi ketiga.
Jakarta: Erlangga.
Hasan AK. 2018. Study Kasus Gangguan Perfusi Jaringan Serebral Dengan
Penurunan Kesadaran Pada Klien Stroke Hemoragik Setelah Diberikan
Posisi Kepala Elevasi 30º. Jurnal Ilmiah Multi Science Kesehatan. 9(2).
229-241.
Herdman, T. Hreather., Shigemi, Kamitsuru. 2018. NANDA Internasional Inc.
Diagnosa Keperawatan: Definisi & Kalisifikasi 2018-2020, Ed. 11.
Jakarta: EGC.
Japari, Iskandar. 2002. Patogenesa Stroke Kardioemboli. USU. 1-10.
Krisanty, P. 2009. Asuhan keperawatan gawat darurat. Jakarta: Trans Info
Maas AIR, Stocchetti N, Bullock R. 2008. Moderate And Severe Traumatic Brain
Injury In Adults. Lancet Neurol, 7: 728-41.
Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M. L. & Swanson, E. 2013. Nursing Outcomes
Classification (NOC) Pengukuran Outcomes Kesehatan. Edisi Kelima (Edisi
Bahasa Indonesia). Terjemahan oleh Nurjannah, I. & Roxsana, D. T. 2016
Yogyakarta: Mocomedia.
Mubarak, W. I., Lilis I., Joko S. 2015. Buku Ajar Ilmu Keperawatan Dasar Buku
1.
Mubarak, W.I & Chayatin, N. 2008. Buku Ajar Kebutuhan Dasar Manusia: Teori
dan Aplikasi dalam Praktik. Jakarta: EGC.
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Sistem
Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika.
Newfield P, Cottrell JE. 2007. Handbook of Neuroanesthesia: Anesthetic
Management of Head Trauma. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins.
Nugroho T., Putri. B.T., Putri, D.K. 2016. Teori Asuhan Keperawatan Gawat
Darurat. Yogyakarta: Nuha Medika.
Nurarif, A. H., & Kusuma, H. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis dan Nanda NIC-NOC. Yogyakarta: Mediaction Jogja.
Ollerton J. 2007. Adult Trauma Clinical Practice Guideline, Emergency Airway
Management In The Trauma Patient. Available from:
http://www.hwalth.nsw.gov.au.
Oman, Kathleen S. 2012. Panduan Belajar: Keperawatan Emergensi.Jakarta: EGC.
Ose, M. I., Ratnawati, R., & Lestari, R. 2016. Studi Fenomenologi Pengalaman
Perawat Instalasi Gawat Darurat (IGD) Dalam Merawat Pasien Terlantar
Pada Fase End of Life Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang.
Potter, P.A. & Perry, A.G. 2010. Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Buku 3.
Edisi 7. Terjemahan Renata Komalasari, Dian Evriyani, Enie Novieastari,
Alfrina Hany dan Sari Kurnianingsih. Jakarta: Salemba Medika.
Rosjid, C. H., & Nurhidayat, S. 2014. Buku Ajar Peningkatan Tekanan
Intrakranial & Gangguan Peredarah Darah Otak. Yogyakarta: Gosyen
Publishing.
Safitri, Refi & Anisa A. 2011. Keefektifan Pemberian Posisi Semi Fowler
Terhadap Penurunan Sesak Napas Klien Asma Di Ruang Rawat Inap Kelas
III RSUP Dr.Moewardi Surakarta.
Sofyan, Aisyah. 2015. Hubungan Umur, Jenis Kelamin, dan Hipertensi dengan
kejadian Stroke. Jurnal Medula. 1(2): 24-30.
Squeglia LM, Jacobus J, Tapert SF. 2009. The influence of substance use on
adolescent brain development. Clin Neurosci Soc ENCS. 40(1):31-38.
Sudarsini. 2017. Fisioterapi. Malang: Gunung Samudra.
Sunarto. 2015. Peningkatan Nilai Saturasi Oksigen pada Pasien Stroke
menggunakan Model Elevasi Kepala. Jurnal Terpadu Ilmu Kesehatan,
Volume 4 Nomor 1. Kementerian Kesehatan Politehnik Kesehatan
Surakarta Jurusan Keperawatan.
Tedjomuljo, S., & Afifah, E. 2016. Tingkat Pengetahuan Mahasiswa Keperawatan
Tentang Kode Etik Profesi dan Caring. Jurnal Keperawatan Indonesia,
19(2): 129-137.
The National Institute for Health and Care Excellence. 2014. Triage, Assessment,
Investigation And Early Management of Head Injury In Children, Young
People And Adults. UK: NICE.
Timby, B.K 2009. Fundamental Nursing Skill and Concepts. Philadelphia:
Lippincot William & Wilkins.
Woodward, S & Mestecky, A.M. 2011. Neuroscience Nursing Evidance-Based
Practice. United Kingdom: Wiley-Blackwell.

Anda mungkin juga menyukai