Anda di halaman 1dari 39

BAB I

STATUS PASIEN

A. ANAMNESIS
I. Identitas Pasien
Nama : by GA
Umur : 3 bulan
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Hindu
Alamat : Morowali
Nomor RM : 11-06-24

II. Keluhan Utama


Susah BAB

III. Riwayat Penyakit Sekarang (Alloanamnesis)


Pasien datang di poliklinik bedah Anak di RSUD Poso. Untuk
persiapan operasi. Sejak awal baru lahir pasien tidak bias BAB dan perut
membesar sejak 3 hari. Dirujuk dari RSUD morowali ke RSUD poso
untuk penanganan lebih lanjut. Kemudian setelah di RSUD Poso pasien di
edukasi dan diajarkan cara untuk anaknya Washout sambil menunggu
sampai operasi dapat dilakukan. Pasien lahir spontan dibantu oleh bidan.
Saat hamil ibu pasien rutin kontrol ke bidan. Setelah dirumah, pasien
demam dan perutnya membesar, tidak bisa BAB. Perut menjadi kembung
(+), muntah (-), BAK normal. Terdapat riwayat keterlambatan keluarnya
mekoneum (+) 3 hari setelah lahir.

IV. Riwayat Penyakit Dahulu Pada Ibu


Riwayat alergi obat : disangkal

1
Riwayat infeksi dalam kehamilan : disangkal

V. Riwayat penyakit keluarga


Riwayat keluhan yang sama : disangkal

VI. Riwayat kelahiran


Riwayat kelahiran : spontan dari ibu P1A0 ditolong oleh bidan,
langsung menangis, BBL 2400 gr
Riwayat kehamilan : aterm, periksa rutin di bidan
Riwayat mekoneum : > 3 hari

B. PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan umum : Baik
Derajat kesadaran : composmentis
Vital sign : Suhu 36,8 o celcius
Nadi 108 x/menit RR 22 x/menit
Berat Badan : 5500 gr
1. Kulit
Kulit kecoklatan, kering, jejas luka (-)
2. Kepala
Bentuk mesosefal, rambut kering (-), rambut warna hitam
3. Wajah
Oedem (-), nyeri tekan (-), jejas luka (-)
4. Mata
Reflek cahaya (+/+), konjungtiva anemis (-/-) , sklera ikterik (-/-),
odema palpebra (-/-), pupil isokor (2mm/2mm)
5. Hidung
Napas cuping hidung (-), deviasi (-),

2
6. Mulut
Mukosa basah (+), sianosis (-), faring hiperemis (-)
7. Telinga
Daun telinga dalam batas normal, sekret (-/-), tragus pain (-/-)
8. Leher
Bentuk normocolli, pembesaran KGB (-)
9. Thoraks
Retraksi (-), iga gambang (-)
10. Cor :
Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
Palpasi : iktus kordis tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : BJ I-II intensitas normal, reguler, bising (-)
11. Pulmo
Inspeksi : Pengembangan dada kanan = kiri
Palpasi : Fremitus raba dada kanan = kiri
Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), Suara tambahan (-/-)
12. Abdomen
Inspeksi : distended tidak tampak
Auskultasi : Bising usus (+) kesan normal
Perkusi : Timpani
Palpasi : Nyeri tekan (-), organomegali (-)

3
13. Ekstremitas
Akral dingin Oedem (-) CRT < 2

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Lab Darah
WBC 11.4 (103/µl) GDS 98.1 mg/dl
RBC 4.48 (106/µl) HBsAg Non reaktif
HGB 12.3 g/dl CT 7 menit
HCT 34.4 % BT 3 menit
PLT 301 (103/µl)

2. Pemeriksaan Radiologi

4
D. ASSESMENT
Megacolon kongenital / Hirschprung desease
E. Planning
IVFD RL 250 cc/24 jam
Inj. Ceftriaxone 350 mg/ 12 jam
Injeksi metronidazole 60 mg/8 jam
Omeprazole 12 mg/ 12 jam
Siapkan PRC 60 cc
Rencana operasi Pull Throught mukosektomi Soave tgl 6/11/2018

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Pendahuluan

Hirschsprung Disease (HD) adalah kelainan kongenital dimana tidak dijumpai


pleksus auerbach dan pleksus meisneri pada kolon. sembilan puluh persen (90%)
terletak pada rectosigmoid, akan tetapi dapat mengenai seluruh kolon bahkan
seluruh usus (Total Colonic Aganglionois (TCA)). Tidak adanya ganglion sel ini
mengakibatkan hambatan pada gerakan peristaltik sehingga terjadi ileus fungsional
dan dapat terjadi hipertrofi serta distensi yang berlebihan pada kolon yang lebih
proksimal.1

Pasien dengan penyakit Hirschsprung pertama kali dilaporkan oleh Frederick


Ruysch pada tahun 1691, tetapi yang baru mempublikasikan adalah Harald
Hirschsprung yang mendeskripsikan megakolon kongenital pada tahun 1886.
Namun patofisiologi terjadinya penyakit ini tidak diketahui secara jelas hingga
tahun 1938, dimana Robertson dan Kernohan menyatakan bahwa megakolon yang
dijumpai pada kelainan ini disebabkan oleh gangguan peristaltik dibagian distal
usus akibat defisiensi ganglion. 1,2

Pada tahun 1888 Hirschsprung melaporkan dua kasus bayi meninggal dengan
perut gembung oleh kolon yang sangat melebar dan penuh massa feses. Penyakit
ini disebut megakolon kongenitum dan merupakan kelainan yang tersering
dijumpai sebagai penyebab obstruksi usus pada neonatus. Pada penyakit ini
pleksus mienterikus tidak ada, sehingga bagian usus yang bersangkutan tidak
dapat mengembang.1

HD terjadi pada satu dari 5000 kelahiran hidup, Insidensi penyakit


Hirschsprung di Indonesia tidak diketahui secara pasti, tetapi berkisar 1 diantara
5000 kelahiran hidup. Dengan jumlah penduduk Indonesia 200 juta dan tingkat

6
kelahiran 35 permil, maka diprediksikan setiap tahun akan lahir 1400 bayi dengan
penyakit Hirschsprung. Kartono mencatat 20-40 pasien penyakit Hirschprung yang
dirujuk setiap tahunnya ke RSUPN Cipto Mangunkusomo Jakarta. 3

Mortalitas dari kondisi ini dalam beberapa decade ini dapat dikurangi dengan
peningkatan dalam diagnosis, perawatan intensif neonatus, tekhnik pembedahan
dan diagnosis dan penatalaksanaan HD dengan enterokolitis. 2

2. Definisi
Penyakit hirschprung di karakteristikan sebagai tidak adanya sel ganglion di
pleksus myenterikus (auerbach’s) dan submukosa (meissner’s) (Warner, 2004).
Sel-sel ganglion bertanggung jawab atas kontraksi ritmik yang diperlukan untuk
mencerna makanan yang masuk. Hilangnya fungsi motorik dari segmen ini
menyebabkan dilatasi hypertropik massive kolon proximal yang normal sehingga
terjadi kesulitan defekasi dan feses terakumulasi sehingga menyebabkan
Megakolon. Kondisi ini dapat segera terlihat segera setelah lahir ditandai dengan
gagalnya penundaan pasase awal dari mekonium sehingga terjadi distensi
abdominal, yang disertai dengan muntah dalam waktu 48 jam sampai 72 jam. Pada
banyak kasus, segmen aganglionik terdapat pada rectum dan kolon sigmoid.

Gambar 1 : Hirschprung Disease 8

7
3. Insidensi
Penyakit hirschprung dapat terjadi dalam 1: 5000 kelahiran. Risiko tertinggi
terjadinya penyakit hirschprung biasanya pada pasien yang mempunyai riwayat
keluarga penyakit hirschprung dan pada pasien penderita Down Syndrome
(Warner, 2004; Ziegler, 2003). Rectosigmoid paling sering terkena sekitar 75%
kasus, flexura lienalis atau colon transversum pada 17% kasus. 1

Anak kembar dan adanya riwayat keturunan meningkatkan resiko


terjadinya penyakit hirschsprung. Laporan insidensi tersebut bervariasi sebesar 1.5
sampai 17,6% dengan 130 kali lebih tinggi pada anak laki dan 360 kali lebih tinggi
pada anak perempuan. Penyakit hirschsprung lebih sering terjadi secara diturunkan
oleh ibu aganglionosis dibanding oleh ayah. Sebanyak 12.5% dari kembaran
pasien mengalami aganglionosis total pada colon (sindroma Zuelzer-Wilson).
Salah satu laporan menyebutkan empat keluarga dengan 22 pasangan kembar yang
terkena yang kebanyakan mengalami long segment aganglionosis. 2

4. Etiologi
Penyakit Hirschsprung disebabkan karena kegagalan migrasi sel-sel saraf
parasimpatis myentericus dari cephalo ke caudal. Sehingga sel ganglion selalu
tidak ditemukan dimulai dari anus dan panjangnya bervariasi keproksimal.

a) Ketiadaan sel-sel ganglion


Ketiadaan sel-sel ganglion pada lapisan submukosa (Meissner) dan
pleksus myenteric (Auerbach) pada usus bagian distal merupakan tanda
patologis untuk Hirschsprung’s disease. Okamoto dan Ueda mempostulasikan
bahwa hal ini disebabkan oleh karena kegagalan migrasi dari sel-sel neural
crest vagal servikal dari esofagus ke anus pada minggu ke 5 smpai 12
kehamilan. Teori terbaru mengajukan bahwa neuroblasts mungkin bisa ada
namun gagal unutk berkembang menjadi ganglia dewasa yang berfungsi atau
bahwa mereka mengalami hambatan sewaktu bermigrasi atau mengalami

8
kerusakan karena elemen-elemen didalam lingkungn mikro dalam dinding
usus. Faktor-faktor yang dapat mengganggu migrasi, proliferasi, differensiasi,
dan kolonisasi dari sel-sel ini mingkin terletak pada genetik, immunologis,
vascular, atau mekanisme lainnya.
b) Genetik
Dasar genetik untuk HD telah lama dicurigai karena dalam banyak kasus
adanya riwayat keluarga dan ada hubungan dengan trisomi 21 dan kondisi
lainnya berbasis genetik. Selama dua dekade terakhir semakin banyak peneliti
telah membuat kemajuan secara signifikan dalam mengidentifikasi dan
menjelaskan secara kompleks berbagai mutasi genetik dan mekanisme yang
bertanggung jawab untuk penyakit ini. Gen pertama dan paling umum di
identifikasi adalah RET proto-onkogen. Mutasi pada RET Proto-oncogene
Mutasi pada RET proto-oncogene,yang berlokasi pada kromosom 10q11.
telah ditemukan dalam kaitannya dengan Hirschsprung’s disease segmen
panjang dan familial. Mutasi RET dapat menyebabkan hilangnya sinyal pada
tingkat molekular yang diperlukan dalam pertubuhan sel dan diferensiasi
ganglia enterik. Gen lainnya yang rentan untuk Hirschsprung’s disease adalah
endothelin-B receptor gene (EDNRB) yang berlokasi pada kromososm 13q22.
sinyal dari gen ini diperlukan untuk perkembangan dan pematangan sel-sel
neural crest yang mempersarafi colon. Mutasi pada gen ini paling sering
ditemukan pada penyakit non-familial dan short-segment. Endothelian-3 gene
baru-baru ini telah diajukan sebagai gen yang rentan juga. Defek dari mutasi
genetik ini adalah mengganggu atau menghambat pensinyalan yang penting
untuk perklembangan normal dari sistem saraf enterik. Mutasi pada
protooncogene RET adalah diwariskan dengan pola dominan autosom dengan
5070% penetrasi dan ditemukan dalam sekitar 50% kasus familial dan pada
hanya 15-20% kasus spordis. Mutasi pada gen EDNRB diwariskan dengan
pola pseudodominan dan ditemukan hanya pada 5% dari kasus, biasanya yang
sporadis.

9
c) Kelainan dalam lingkungan
Kelainan dalam lingkungan mikro pada dinding usus dapat mencegah
migrasi sel-sel neural crest normal ataupun diferensiasinya. Suatu peningkatan
bermakna dari antigen major histocompatibility complex (MHC) kelas 2 telah
terbukti terdapat pada segmen aganglionik dari usus pasien dengan
Hirschsprung’s disease, namun tidak ditemukan pada usus dengan ganglionic
normal pada kontrol, mengajukan suatu mekanisme autoimun pada
perkembangan penyakit ini.

d) Matriks Protein Ekstraseluler


Matriks protein ekstraseluler adalah hal penting dalam perlekatan sel dan
pergerkan dalam perkembangan tahap awal. Kadar glycoproteins laminin dan
kolagen tipe IV yang tinggi dalam matriks telah ditemukan dalam segmen
usus aganglionik. Perubahan dalam lingkungan mikro ini didalam usus dapat
mencegah migrasi sel-sel normal neural crest dan memiliki peranan dalam
etiologi dari Hirschsprung’s disease.

5. Anatomi colon
Usus besar merupakan tabung muscular berongga dengan panjang sekitar 5
kaki (sekitar 1,5 m) yang terbentang dari sekum sampai kanalis ani, diameter
usus besar sudah pasti lebih besar daripada usus kecil. Rata-rata sekitar 2,5 inci
(sekitar 6,5 cm), tetapi makin dekat anus diameternya semakin kecil. Usus besar
dibagi menjadi sekum, kolon dan rectum. Pada sekum terdapat katup ileosekal
dan apendiks yang melekat pada ujung sekum. Sekum menepati sekitar dua atau
tiga inci pertama dari usus besar. Katup ilosekal mengontrol aliran kimus dari
ileum ke sekum. Kolon dibagi lagi menjadi kolon asendens, transversum,
desendens, dan sigmoid. Tempat di mana kolon membentuk kelokan tajam yaitu
pada abdomen kanan dan kiri atas berturut-turut dinamakan fleksura hepatica dan
fleksura lienalis.

10
Gambar 2: Anatomi Colon 7

Kolon sigmoid mulai setinggi Krista iliaka dan berbentuk suatu lekukan
berbentuk-S. lekukan bagian bawah membelok ke kiri waktu kolon sigmoid
bersatu dengan rectum, yang menjelaskan alasan anatomis meletakkan penderita

11
pada sisi kiri bila diberi enema. Pada posisi ini, gaya berat membantu
mengalirkan air dari rectum ke fleksura sigmoid. Bagian utama usus besar yang
terakhir dinamakan rectum dan terbentang dari kolon sigmoid sampai anus
(muara ke bagian luar tubuh). Satu inci terakhir dari rectum dinamakan kanalis
ani dan dilindungi oleh sfinter ani eksternus dan internus. Panjang rectum dan
kanalis ani sekitar (5,9 inci (15 cm).

12
Gambar 3: Perjalanan Vena Pada Colon 7

Aliran balik vena dari kolon dan rectum superior melalui vena mesenterika superior
dan inferior dan vena hemoroidalis superior, yaitu bagian dari sistem portal yang
mengalirkan darah ke hati. Vena hemoroidalis media dan inferior mengalirkan darah
ke vena iliaka dan merupakan bagian dari sirkulasi sistemik.

13
Gambar 4 : Perjalanan Arteri Pada Colon7

Usus besar secara klinis dibagi menjadi belah kiri dan kanan sejalan dengan
suplai darah yang diterima. Arteria mesenterika superior memperdarahi belahan
bagian kanan (sekum, kolon asendens dan dupertiga proksimal kolon
transversum), dan arteria mesenterika inferior memperdarahi belahan kiri
(sepertiga distal kolon transversum, kolon transversum, kolon desendens dan
sigmoid, dan bagian proksimal rectum). Suplai darah tambahan untuk rectum
adalah melalui arteri sakralis media dan artera hemoroidalis inferior dan media
yang dicabangkan dari arteria iliaka interna dan aorta abdominalis.

14
Gambar 5 : Perjalanan Nervus pada Colon 7

15
Gambar 6 : Perjalanan Nervus pada Colon 7

Persarafan usus besar dilakukan oleh system saraf otonom dengan


perkecualian sfingter eksterna yang berada dibawah control voluntar. Serabut
parasimpatis berjalan melalui saraf vagus ke bagian tengah kolon transversum,
dan saraf pelvikus yang berasal dari daerah sacral mensuplai bagian distal.
Serabut simpatis meninggalkan medulla spinalis melalui saraf splangnikus
untuk mencapai kolon. Perangsangan simpatis menyebabkan penghambatan

16
sekresi dan kontraksi, serta perangsangan sfingter rectum, sedangkan
perangsangan parasimpatis mempunyai efek yang berlawanan. Sistem saraf
autonomic intrinsik pada usus terdiri dari 3 pleksus : (1) Pleksus Auerbach :
terletak diantara lapisan otot sirkuler dan longitudinal, (2) Pleksus Henle :
terletak disepanjang batas dalam otot sirkuler, (3) Pleksus Meissner : terletak di
submukosa. Pada penderita penyakit Hirschsprung, tidak dijumpai ganglion
pada ke 3 pleksus tersebut.

Gambar 7 : Sistem saraf autonomic intrinsic 7

17
6. Patogenesis
Kelainan pada penyakit ini berhubungan dengan spasme pada distal colon
dan sphincter anus internal sehingga terjadi obstruksi. Maka dari itu bagian yang
abnormal akan mengalami kontraksi di segmen bagian distal sehingga bagian
yang normal akan mengalami dilatasi di bagian proksimalnya. Bagian
aganglionik selalu terdapt dibagian distal rectum. 1

Dasar patofisiologi dari penyakit ini adalah tidak adanya gelombang


propulsive dan abnormalitas atau hilangnya relaksasi dari sphincter anus internus
yang disebabkan aganglionosis, hipoganglionosis atau disganglionosis pada usus
besar. 2

Hipoganglionosis
Pada proximal segmen dari bagian aganglion terdapat area hipoganglionosis.
Area tersebut dapat juga merupakan terisolasi. Hipoganglionosis adalah keadaan
dimana jumlah sel ganglion kurang dari 10 kali dari jumlah normal dan kerapatan
sel berkurang 5 kali dari jumlah normal. Pada colon inervasi jumlah plexus
myentricus berkurang 50% dari normal. Hipoganglionosis kadang mengenai
sebagian panjang colon namun ada pula yang mengenai seluruh colon. 2

Imaturitas dari sel ganglion


Sel ganglion yang imatur dengan dendrite yang kecil dikenali dengan
pemeriksaan LDH (laktat dehidrogenase). Sel saraf imatur tidak memiliki
sitoplasma yang dapat menghasilkan dehidrogenase. Sehingga tidak terjadi
diferensiasi menjadi sel Schwann’s dan sel saraf lainnya. Pematangan dari sel
ganglion diketahui dipengaruhi oleh reaksi succinyldehydrogenase (SDH).
Aktivitas enzim ini rendah pada minggu pertama kehidupan. Pematangan dari sel
ganglion ditentukan oleh reaksi SDH yang memerlukan waktu pematangan
penuh selama 2 sampai 4 tahun. Hipogenesis adalah hubungan antara imaturitas
dan hipoganglionosis. 2

18
Kerusakan sel ganglion
Aganglionosis dan hipoganglionosis yang didapatkan dapat berasal dari
vaskular atau nonvascular. Yang termasuk penyebab nonvascular adalah
infeksi Trypanosoma cruzi (penyakit Chagas), defisiensi vitamin B1, infeksi
kronis seperti Tuberculosis. Kerusakan iskemik pada sel ganglion karena aliran
darah yang inadekuat, aliran darah pada segmen tersebut, akibat tindakan pull
through secara Swenson, Duhamel, atau Soave. 2

7. Tipe Hirschsprung’s Disease:

Gambar 8 : klasifikasi Hirschprung Disease


Hirschsprung dikategorikan berdasarkan seberapa banyak colon yang terkena.
Tipe Hirschsprun disease meliputi:
 Ultra short segment: Ganglion tidak ada pada bagian yang sangat kecil dari
rectum.
 Short segment: Ganglion tidak ada pada rectum dan sebagian kecil dari
colon.
 Long segment: Ganglion tidak ada pada rectum dan sebagian besar colon.
 Very long segment: Ganglion tidak ada pada seluruh colon dan rectum dan
kadang sebagian usus kecil.

19
 Usus sehat Short segment Long segment

8. Diagnosis
a. Anamnesis
Diagnosis penyakit ini dapat dibuat berdasarkan adanya konstipasi pada
neonatus. Gejala konstipasi yang sering ditemukan adalah terlambatnya
mekonium untuk dikeluarkan dalam waktu 48 jam setelah lahir. Tetapi gejala
ini biasanya ditemukan pada 6% atau 42% pasien. Gejala lain yang biasanya
terdapat adalah: distensi abdomen, gangguan pasase usus, poor feeding,
vomiting. Apabila penyakit ini terjdi pada neonatus yang berusia lebih tua
maka akan didapatkan kegagalan pertumbuhan. Hal lain yang harus
diperhatikan adalah jika didapatkan periode konstipasi pada neonatus yang
diikuti periode diare yang massif kita harus mencurigai adanya enterokolitis.
Pada bayi yang lebih tua penyakit hirschsprung akan sulit dibedakan dengan
kronik konstipasi dan enkoperesis. Faktor genetik adalah faktor yang harus
diperhatikan pada semua kasus. Pemeriksaan barium enema akan sangat
membantu dalam menegakkan diagnosis. Akan tetapi apabila barium enema
dilakukan pada hari atau minggu awal kelahiran maka zone transisi akan sulit
ditemukan. Penyakit hirschsprung klasik ditandai dengan adanya gambaran
spastic pada segmen distal intestinal dan dilatasi pada bagian proksimal
intestinal. 4

b. Gejala klinik:
Pada bayi yang baru lahir, kebanyakan gejala muncul 24 jam pertama
kehidupan. Dengan gejala yang timbul: distensi abdomen dan bilious emesis.
Tidak keluarnya mekonium padsa 24 jam pertama kehidupan merupakan
tanda yang signifikan mengarah pada diagnosis ini. Pada beberapa bayi yang
baru lahir dapat timbul diare yang menunjukkan adanya enterocolitis. 1

20
Pada anak yang lebih besar, pada beberapa kasus dapat mengalami
kesulitan makan, distensi abdomen yang kronis dan ada riwayat
konstipasi. Penyakit hirschsprung dapat juga menunjukkan gejala lain seperti
adanya periode obstipasi, distensi abdomen, demam, hematochezia dan
peritonitis. 1

Gambar 9 : Gambaran klinis pasien dengan Hirschsprung Disease

Kebanyakan anak-anak dengan hirschsprung datang karena obstruksi


intestinal atau konstipasi berat selama periode neonatus. Gejala kardinalnya
yaitu gagalnya pasase mekonium pada 24 jam pertama kehidupan, distensi
abdomen dan muntah. Beratnya gejala ini dan derajat konstipasi bervariasi
antara pasien dan sangat individual untuk setiap kasus. Beberapa bayi dengan
gejala obstruksi intestinal komplit dan lainnya mengalami beberapa gejala
ringan pada minggu atau bulan pertama kehidupan. 2

Beberapa mengalami konstipasi menetap, mengalami perubahan pada


pola makan, perubahan makan dari ASI menjadi susu pengganti atau makanan

21
padat. Pasien dengan penyakit hirschsprung didiagnosis karena adanya
riwayat konstipasi, kembung berat dan perut seperti tong, massa faeses
multipel dan sering dengan enterocolitis, dan dapat terjadi gangguan
pertumbuhan. Gejala dapat hilang namun beberapa waktu kemudian terjadi
distensi abdomen. Pada pemeriksaan colok dubur sphincter ani teraba
hipertonus dan rektum biasanya kosong. 2

Umumnya diare ditemukan pada bayi dengan penyakit hirschsprung


yang berumur kurang dari 3 bulan. Harus dipikirkan pada gejala enterocolitis
dimana merupakan komplikasi serius dari aganglionosis. Bagaimanapun
hubungan antara penyakit hirschsprung dan enterocolitis masih belum
dimengerti. Dimana beberapa ahli berpendapat bahwa gejala diare sendiri
adalah enterocolitis ringan. 2

Enterocolitis terjadi pada 12-58% pada pasien dengan penyakit


hirschsprung. Hal ini karena stasis feses menyebabkan iskemia mukosal dan
invasi bakteri juga translokasi. Disertai perubahan komponen musin dan
pertahanan mukosa, perubahan sel neuroendokrin, meningkatnya aktivitas
prostaglandin E1 , infeksi oleh Clostridium difficile atau Rotavirus.
Patogenesisnya masih belum jelas dan beberapa pasien masih bergejala
walaupun telah dilakukan colostomy. Enterocolitis yang berat dapat berupa
toxic megacolon yang mengancam jiwa. Yang ditandai dengan demam,
muntah berisi empedu, diare yang menyemprot, distensi abdominal, dehidrasi
dan syok. Ulserasi dan nekrosis iskemik pada mukosa yang berganglion dapat
mengakibatkan sepsis dan perforasi. Hal ini harus dipertimbangkan pada
semua anak dengan enterocolisis necrotican. Perforasi spontan terjadi pada
3% pasien dengan penyakit hirschsprung. Ada hubungan erat antara panjang
colon yang aganglion dengan perforasi. 2
c. Pemeriksaan penunjang

22
Diagnostik utama pada penyakit hirschprung adalah dengan pemeriksaan:
 Barium enema
Pada pasien penyakit hirschprung spasme pada distal rectum
memberikan gambaran seperti kaliber/peluru kecil jika dibandingkan colon
sigmoid yang proksimal. Identifikasi zona transisi dapat membantu
diagnosis penyakit hirschprung. 1

Segmen aganglion biasanya berukuran normal tapi bagian proksimal


usus yang mempunyai ganglion mengalami distensi sehingga pada
gambaran radiologis terlihat zona transisi. Dilatasi bagian proksimal usus
memerlukan waktu, mungkin dilatasi yang terjadi ditemukan pada bayi
yang baru lahir. Radiologis konvensional menunjukkan berbagai macam
stadium distensi usus kecil dan besar. Ada beberapa tanda dari penyakit
Hirschsprung yang dapat ditemukan pada pemeriksaan barium enema, yang
paling penting adalah zona transisi. Posisi pemeriksaan dari lateral sangat
penting untuk melihat dilatasi dari rektum secara lebih optimal. Retensi
dari barium pada 24 jam dan disertai distensi dari kolon ada tanda yang
penting tapi tidak spesifik. Enterokolitis pada Hirschsprung dapat
didiagnosis dengan foto polos abdomen yang ditandai dengan adanya
kontur irregular dari kolon yang berdilatasi yang disebabkan oleh oedem,
spasme, ulserase dari dinding intestinal. Perubahan tersebut dapat terlihat
jelas dengan barium enema. Nilai prediksi biopsi 100% penting pada
penyakit Hirschsprung jika sel ganglion ada. Tidak adanya sel ganglion,
perlu dipikirkan ada teknik yang tidak benar dan dilakukan biopsi yang
lebih tebal.

23
Gambar 10 : gambaran radiologi pada HD. Dua pemeriksaan barium enema pada bayi
yang berbeda dengan Hirschsprung. Rektum aganglionik (Panah). Kolon ganglion
proksimal dilatasi. Zona transisi antara aganglionik dan kolon ganglionik terlihat dengan
baik pada kedua gambar. 10

Diagnosis radiologi sangat sulit untuk tipe aganglionik yang long


segmen, sering seluruh colon. Tidak ada zona transisi pada sebagian besar
kasus. Pada neonatus dengan gejala ileus obstruksi yang tidak dapat
dijelaskan, Biopsi rectal sebaiknya dilakukan. 6

 Anorectal manometry
Dapat digunakan untuk mendiagnosis penyakit hirschsprung, gejala
yang ditemukan adalah kegagalan relaksasi sphincter ani interna ketika
rectum dilebarkan dengan balon. Keuntungan metode ini adalah dapat
segera dilakukan dan pasien bisa langsung pulang karena tidak dilakukan
anestesi umum.Metode ini lebih sering dilakukan pada pasien yang lebih
besar dibandingkan pada neonates. 1

24
Gambar 11 : Gambaran anorectal manometri pada HD 10
(A) Pada anak tanpa Hirschsprung yang menjalani anorektal manometri, hambatan pada
recto-anal refleks normal. Perhatikan penurunan tekanan sfingter internal dengan distensi
rektum. (B) pada anak dengan Hirschsprung terlihat mengalami peningkatan abnormal
pada saluran anus dan tidak ada relaksasi dari sfingter internal dengan distensi rektal.
(Panah menunjukan arah dari distensi rektal di gambar A dan B.)

 Biopsy rectal
Merupakan “gold standard” untuk mendiagnosis penyakit hirschprung.
Pada bayi baru lahir metode ini dapat dilakukan dengan morbiditas
minimal karena menggunakan suction khusus untuk biopsy rectum. Untuk
pengambilan sample biasanya diambil 2 cm diatas linea dentata dan juga
mengambil sample yang normal dari yang normal ganglion hingga yang
aganglionik. Metode ini biasanya harus menggunakan anestesi umum
karena contoh yang diambil pada mukosa rectal lebih tebal. 1.3

25
Gambaran histologis pada anak
dengan HD. (A) Tidak adanya sel
ganglion dipleksus myenteric.
(B) Saraf hipertrofik ditandai
dengan panah.

Pewarnaan kolinesterase pada (A)


kolon normal dan (B) kolon
dengan penyakit Hirschsprung.

Pewarnaan Calretinin pada (A)


kolon normal dan (B) kolon
dipengaruhi dengan penyakit
Hirschsprung.

Gambar 12 : gambaran Biopsy rectal pada HD 10

26
Gambar 13 : Lokasi pengambilan sampel pada HD

9. Tatalaksana
A. Preoperatif
1. Diet
Pada periode preoperatif, neonatus dengan HD terutama menderita
gizi buruk disebabkan buruknya pemberian makanan dan keadaan
kesehatan yang disebabkan oleh obstuksi gastrointestinal. Sebagian besar
memerlukan resulsitasi cairan dan nutrisi parenteral.Setelah diagnosis HD
dibuat, anak harus diberikan resusitasi dengan cairan intravena dan
diobati dengan antibiotik spektrum luas, drainase nasogastrik, dan
dekompresi dubur menggunakan stimulasi rectum dan / atau irigasi.
Pasien dengan kelainan seperti penyakit jantung atau sindrom
hipoventilasi kongenital harus dievaluasi secara menyeluruh sebelum
koreksi operasi. Setelah bayi atau anak telah diresusitasi dan stabil,
operasi dapat dilakukan semi elektif. Sambil menunggu, banyak bayi
dapat dipulangkan ke rumah dan dilakukan stimulasi rektal atau irrigasi
dan diberikan ASI atau susu formula. Pada anak yang lebih tua dengan
kolon yang sangat melebar, pull-through seharusnya ditunda sampai

27
diameter kolon mengecil sampai cukup untuk melakukan prosedur yang
aman. Dalam waktu minggu atau bulan irigasi mungkin diperlukan
sesekali. Beberapa anak mungkin memerlukan kolostomi awal sampai
adekuatnya dekompresi kolon. 10

2. Teapi Farmakologi
Terapi farmakologik pada bayi dan anak-anak dengan HD dimaksudkan
untuk mempersiapkan kolon atau untuk terapi komplikasinya. Untuk
mempersiapkan usus adalah dengan dekompresi rectum dan kolon
melalui serangkaian pemeriksaan dan pemasangan irigasi tuba rectal
dalam 24-48 jam sebelum pembedahan. Antibiotik oral dan intravena
diberikan dalam beberapa jam.

B. Operatif

Diagnosis dari penyakit hirschsprung pada semua kasus membutuhkan


pendekatan pembedahan klinik terdiri dari prosedur tingkat multipel. Hal ini
termasuk kolostomi pada neonatus, diikuti dengan operasi pull-
through definitif setelah berat badan anak >5 kg (10 pon). Ada 3 pilihan yang
dapat digunakan, untuk setiap prosedurnya, prinsip dari pengobatan termasuk
menentukan lokasi dari usus di mana zona transisi antara usus ganglionik dan
aganglionik, reseksi bagian yang aganglionik dari usus dan melakukan
anastomosis dari daerah ganglionik ke anus atau bantalan mukosa rektum. 3

1. Tindakan Bedah Sementara


Tindakan bedah sementara pada penderita penyakit Hirschsprung
adalah berupa kolostomi pada usus yang memiliki ganglion normal paling
distal. Tindakan ini dimaksudkan guna menghilangkan obstruksi usus dan
mencegah enterokolitis sebagai salah satu komplikasi yang berbahaya.
Manfaat lain dari kolostomi adalah menurunkan angka kematian pada saat

28
dilakukan tindakan bedah definitif dan mengecilkan kaliber usus pada
penderita penyakit Hirschsprung yang telah besar sehingga memungkinkan
dilakukan anastomosis.

2. Tindakan Bedah pull-through


Dewasa ini ditunjukkan bahwa prosedur pull-through primer dapat
dilakukan secara aman bahkan pada periode neonatus. Pendekatan ini
mengikuti prinsip terapi yang sama seperti pada prosedur bertingkat
melindungi pasien dari prosedur pembedahan tambahan. Banyak dokter
bedah melakukan diseksi intra abdominal menggunakan laparoskop. Cara
ini terutama banyak pada periode neonatus yang dapat menyediakan
visualisasi pelvis yang baik. Pada anak-anak dengan distensi usus yang
signifikan adalah penting untuk dilakukannya periode dekompresi
menggunakan rectal tube jika akan dilakukan single stage pull-through.
Pada anak-anak yang lebih tua dengan kolon hipertrofi, distensi ekstrim,
kolostomi dilakukan dengan hati-hati sehingga usus dapat dekompresi
sebelum dilakukan prosedur pull-through. Namun, harus ditekankan, tidak
ada batas umur pada prosedur pull-through. 3

 Prosedur Duhamel
Pada prosedur Duhamel, diseksi di luar rektum dibatasi terhadap
ruang retrorektal dan kolon ganglionik dianastomosis secara posterior
tepat di atas anus. Dinding anterior dari kolon ganglionik dan dinding
posterior dari rektum aganglionik dianastomosis menggunakan stappler.
Walaupun prosedur ini sangat efektif, namun keterbatasannya adalah
adanya kemungkinan kerusakan syaraf parasimpatis yang menempel
pada rektum.

29
Gambar 14 : pull throught dengan teknik Duhamel 10

30
Gambar 15 : langkah-langkah pada operasi Duhamel

 Prosedur Soave
Prosedur Soave menyertakan diseksi seluruhnya dari rektum.
Mukosa rektum dipisahkan dari mukosa muskularis dan kolon yang
ganglionik dibawa melewati mukosa dan dianastomosis ke anus.
Operasi ini dapat dilakukan sepenuhnya dari bawah. Dalam banyak
kasus, sangat penting untuk menentukan dimana terdapat usus yang
ganglionik. Banyak ahli bedah mempercayai bahwa anastomosis
dilakukan setidaknya 5 cm dari daerah yang sel ganglion terdeteksi.
Dihindari dilakukannya pull-through pada zona transisi yang
berhubungan dengan tingginya angka komplikasi karena tidak
adekuatnya pengosongan segmen usus yang aganglionik. Sekitar 1/3
pasien yang di pull-through pada zona transisi akan membutuhkan
reoperasi. 3

31
Gambar 16 : pull throught dengan teknik Soave 10

32
Gambar 17 : langkah-langkah pada operasi Soave

 Prosedur Swenson
Pada operasi ini rektum aganglionik diseksi pada pelvis dan
dipindahkan ke anus. Kolon ganglionik lalu dianastomosis ke anus
melalui pendekatan perineal.

33
Orvar swenson dan Bill (1948) adalah yang mula-mula
memperkenalkan operasi tarik terobos (pull-through) sebagai tindakan
bedah definitif pada penyakit Hirschsprung. Pada dasarnya, operasi
yang dilakukan adalah rektosigmoidektomi dengan preservasi spinkter
ani. Dengan meninggalkan 2-3 cm rektum distal dari linea dentata,
sebenarnya adalah meninggalkan daerah aganglionik, sehingga dalam
pengamatan pasca operasi masih sering dijumpai spasme rektum yang
ditinggalkan. Oleh sebab itu Swenson memperbaiki metode operasinya
(tahun 1964) dengan melakukan spinkterektomi posterior, yaitu dengan
hanya menyisakan 2 cm rektum bagian anterior dan 0,5-1 cm rektum
posterior.

Gambar 18 : pull throught dengan teknik Swenson 10


Prinsip-prinsip prosedur pull-through Swenson terlihat pada gambar di atas. (A)
ganglion proksimal usus dicengkeram dan terobos melalui sayatan di ujung
rectosigmoid prolaps. (B) Usus yang mengalami ganglion kemudian dijahit ke anus.

34
Gambar 19 : langkah-langkah pada operasi Swenson

10. Komplikasi

Komplikasi utama dari semua prosedur diantaranya enterokolitis post


operatif, konstipasi dan striktur anastomosis. Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, hasil jangka panjang dengan menggunakan 3 prosedur sebanding
dan secara umum berhasil dengan baik bila ditangani oleh tangan yang ahli.
Ketiga prosedur ini juga dapat dilakukan pada aganglionik kolon total dimana
ileum digunakan sebagai segmen yang di pull-through. 3

35
BAB III
PEMBAHASAN
Bayi GA ♀ umur 3 bulan datang ke poliklinik bedah Anak di RSUD Poso Untuk
persiapan operasi. Sejak awal baru lahir pasien tidak bias BAB dan perut membesar
sejak 3 hari. Dirujuk dari RSUD morowali ke RSUD poso untuk penanganan lebih
lanjut. Kemudian setelah di RSUD Poso pasien di edukasi dan diajarkan cara untuk
anaknya Washout sambil menunggu sampai operasi dapat dilakukan.

Diagnosis pada pasien ini ditegakkan melalui pemeriksaan penunjang radiologi


yaitu barium enema. Yang dimana pada hasil foto menunjukkan Zona transisi antara
10
aganglionik dan kolon ganglionik terlihat dengan baik. pemeriksaan tambahan
untuk menunjang diagnosis yaitu pemeriksaan anorektal manometri dan pemeriksaan
Gold Standar yaitu Biopsi tidak dialakukan pada pasien ini dikarenakan tidak
tersedia.

Prosedur operasi yang di gunakan pada pasien ini yaitu prosedur operasi primary
Pull Throught “Soave”. Teknik primary Pull Through dapat dilakukan secara aman
dan tidak ada batasan umur bahkan pada periode neonatus.

Yang mana langkah-langkah operasi seperti yang terlampir dibawah ini :

36
Perkembangan post operasi :
Setelah dilakukan operasi dengan teknik primary Pull Through pasien dirawat
beberapa hari diruangan perawatan.
hari/tgl SOA P
Selasa S: rewel, pasien masih sering menangis - Puasakan
6.11.18 karena sakit bekas opoerasi, BAB (+) - Ivfd Rl : dextrose 5% 8 tpm makrodrips
kehitaman - Inj, anbacim 275 mg/12 jam
O: suhu 36.80c, nadi 108x/m, nafas - Inj. Metronidadazole 80mg/8 jam
26x/m - Inj. Ketorolac 10mg/8 jam
A: Post operasi pull throught soave hari - Inj. Omeprazole 10 mg/12 jam
ke 1 - Rectal wash out/24 jam

37
- Salep burnazin tiap ganti verban
Rabu S: rewel berkurang , pasien berkurang - Puasakan
7.11.18 menangis karena sakit bekas opoerasi, - Ivfd Rl : dextrose 5% 8 tpm makrodrips
BAB (+) kehitaman - Inj, anbacim 275 mg/12 jam
O: suhu 36.0 0c, nadi 110x/m, nafas - Inj. Metronidadazole 80mg/8 jam
24x/m - Inj. Ketorolac 10mg/8 jam
A: Post operasi pull throught soave hari - Inj. Omeprazole 10 mg/12 jam
ke 2 - Rectal wash out/24 jam
- Salep burnazin tiap ganti verban
Jumat S: pasien mulai tidak rewel, menangis - Puasakan
9.11.18 jarang, sering minta minum ke orang tua, - Buka kateter folley pada anus
BAB (+) warna kuning - Ivfd Rl : dextrose 5% 8 tpm makrodrips
0
O: suhu 36.5 c, nadi 116x/m, nafas - Inj, anbacim 275 mg/12 jam
26x/m - Inj. Metronidadazole 80mg/8 jam
A: Post operasi pull throught soave hari - Inj. Ketorolac 10mg/8 jam
ke 4 - Inj. Omeprazole 10 mg/12 jam
- Salep burnazin tiap ganti verban
Sabtu S: infus tercabut, keluhan lain (-). BAB - Pasang infus kembali
10.11.18 (+) kuning - Minum ASI/PASI sedikit
0
O: suhu 36.6 c, nadi 112x/m, nafas - Ivfd Rl 8 tpm makrodrips
24x/m - Inj, anbacim 275 mg/12 jam
A: Post operasi pull throught soave hari - Inj. Metronidadazole 80mg/8 jam
ke 5 - Inj. Ketorolac 10mg/12 jam
- Inj. Omeprazole 10 mg/12 jam
- Salep burnazin tiap ganti verban
Senin S: keluhan (-). BAB (+) kuning - Minum ASI/PASI
12.11.18 O: suhu 36.5 0c, nadi 112x/m, nafas - Ivfd Rl 8 tpm makrodrips
24x/m - Inj, anbacim 275 mg/12 jam
A: Post operasi pull throught soave - Inj. Metronidadazole 80mg/8 jam
harike 6 - Inj. Ketorolac 10mg jika perlu
- Salep burnazin tiap ganti verban
Rabu S: keluhan (-). BAB (+) kuning - Boleh pulang
13.11.18 O: suhu 36.0 0c, nadi 116x/m, nafas - Kontrol poliklinik bedah anak 5 hari

38
24x/m pasca perawatan
A: Post operasi pull throught soave - Cefixime syr 2x 25 mg
harike 8 - Elkana syr 1x1/2 cth

39

Anda mungkin juga menyukai