PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Beberapa indikator yang digunakan untuk mengukur pencapaian derajat kesehatan yang
optimal diantaranya melalui mengurangi angka kematian dan angka kesakitan dari suatu
penyakit, baik yang tergolong penyakit menular maupun penyakit tidak menular (PTM).
Awal abad ke-21, diperkirakan terjadi peningkatan insiden dan prevalensi PTM (penyakit
tidak menular) secara cepat, yang merupakan tantangan utama masalah kesehatan dimasa
yang akan datang . WHO memperkirakan pada tahun 2020 PTM akan menyebabkan 73%
kematian di dunia dan Negara berkembang adalah Negara yang banyak terkena dampaknya
(WHO, 2005). Salah satu penyakit yang tidak menular adalah penyakit jantung atau
kardiovaskuler yang timbul akibat perubahan gaya hidup. World Health Organization
(WHO) memperkirakan 15 juta orang di dunia meninggal akibat penyakit jantung setiap
tahun, sama dengan 30% total kematian di dunia (WHO, 2009).
Gagal jantung adalah ketidakmampuan jantung untuk memompa darah yang adekuat,
untuk memenuhi kebutuhan jaringan oksigen dan nutrisi (Brunner and Suddarth, 2002).
Penyakit kardiovaskuler tersebut merupakan penyakit keempat menyebabkan kematian
setelah penyakit hipertensi, stroke, gagal ginjal. Persentase penyakit kardiovaskuler
khususnya gagal jantung yang menyebabkan kematian adalah 27% (Lingamanaicker,
2009).
Masalah kesehatan dengan gangguan sistem kardiovaskular yang salah satunya adalah
Decompensasi Cordis masih menduduki peringkat yang cukup tinggi, ini dibuktikan data
dari WHO (World Health Organisation) yang menunjukkan bahwa insiden penyakit
dengan sistem kardiovaskuler terutama kasus gagal jantung memiliki prevalensi yang
cukup tinggi (Rahmawati dalam Harjani, 2012).
Gagal jantung menjadi masalah utama dalam bidang kardiologi karena bertambahnya
jumlah penderita dan kejadian rawat ulang serta kematian dan kecacatan. Masalah gagal
jantung disebabkan : (1) keberhasilan penanganan serangan akut miokard infark yang
berhasil menyelamatkan nyawa namun kecacatannya menyebabkan gagal jantung (2)
bertambahnya jumlah orang yang mencapai usia lanjut sedangkan pada usia lanjut akan
terjadi gagal jantung karena perjalanan usia (3) masih tingginya kejadian infeksi di
Indonesia yang dapat meyebabkan penyakit jantung reumatik pasca infeksi streptococcus
beta hemolitikus, infeksi virus yang menyebabkan miokarditis, infeksi yang menyebabkan
endokarditis serta tuberkulosis yang menyebabkan perikarditis tuberkulosa (4) masih
seringnya ditemukan faktor-faktor resiko penyakit jantung koroner seperti banyaknya
perokok, diabetes, hiperkolesterolemia, hipertensi, dan obesitas. Indonesia ikut dalam
pendataan international multi senter pada tahun 2006. Acute Decompensated Heart Failure
Registry adalah suatu pendataan international menggunakan web yang mendata pasien
dengan acute decompensated heart failure yang masuk dan dirawat di unit gawat darurat
(Med J Indonesia, 2012).
Dari hasil pencatatan dan pelaporan rumah sakit (SIRS, Sistem Informasi Rumah Sakit)
menunjukkan Case Fatality Rate (CFR) tertinggi terjadi pada gagal jantung yaitu sebesar
13,42%. (Riskesdas, 2007). Gagal jantung (Heart Failure) merupakan salah satu penyakit
kardiovaskuler yang menjadi masalah serius di dunia. Di dunia, gagal jantung telah
melibatkan setidaknya 23 juta penduduk. Dari hasil penelitian pada tahun 2009
menunjukkan angka kematian dalam 5 tahun terakhir sebesar 62 % pada pria dan 42% pada
wanita, berdasarkan data di Amerika terdapat 3 juta penderita decompensasi cordis dan
setiap tahunnya bertambah dengan 400.000 orang. American Heart Association (AHA)
melaporkan bahwa terdapat 5,8 juta orang dengan gagal jantung di Amerika Serikat pada
tahun 2010 dan juga terdapat 23 juta orang dengan gagal jantung di seluruh dunia
(Ramachandran, 2010). Sekitar 4,7 juta orang menderita gagal jantung di Amerika (1,5-2%
dari total populasi), dengan tingkat insiden 550.000 kasus per tahun. Dari sejumlah pasien
tersebut, hanya 0,4-2% saja yang mengeluhkan timbulnya gejala (Irnizarifka, 2011).
Sekitar 3-20 per 1000 orang mengalami decompensasi cordis, angka kejadian
decompensasi cordis meningkat seiring pertambahan usia (100 per 1000 orang pada usia
diatas 60 tahun) (Gray dkk, 2008).
Menurut World Health Organisation (WHO, 2007), penyakit kardiovaskuler akan segera
menjadi penyebab terbanyak kasus kematian di seluruh dunia. Bahkan di Indonesia,
penyakit ini telah menjadi pembunuh nomor satu. Prevalensi penyakit jantung di Indonesia
dari tahun ke tahun semakin meningkat. Menurut SKRT (Survei Kesehatan Rumah
Tangga) tahun 1986 yang dilakukan di 7 provinsi dengan menghasilkan prevalensi
penyakit jantung iskemik dan lainnya pada golongan umur 15-24 tahun adalah 18,3 per
100.000 penduduk. Angka ini meningkat dengan tajam pada golongan umur 45-54 tahun,
yakni 174,6 per 100.000 penduduk dan 461,9 per 100.000 penduduk pada usia 55 tahun ke
atas. Sedangkan kematian yang disebabkan oleh penyakit kardiovaskuler adalah 17,5 per
100.000 penduduk dengan kematian yang berkaitan dengan penyakit tersebut adalah 27,4
per 100.000 penduduk. SKRT 1992 mengukuhkan bahwa penyakit kardiovaskuler
merupakan penyakit yang masih menduduki persentase tertinggi yang menyebabkan
kematian (33,2%) (Ruhyanudin, 2007).
Hasil rekam medik di RSUP Dr. Wahidin Sudirhusodo, jumlah pasien baru rawat inap
decompensasi cordis mengalami peningkatan dalam tiga tahun terakhir, yaitu sebanyak
338 pasien pada tahun 2008, 448 pasien pada tahun 2009, dan sebanyak 595 pasien pada
tahun 2010. Di rumah sakit Stella Maris pasien baru rawat inap dengan gagal jantung juga
cukup banyak pada tahun 2010 yaitu sebanyak 614 pasien. Pernyataan diatas menunjukkan
bahwa kejadian gagal jantung di Indonesia terjadi peningkatan setiap tahunnya (Riskerdas
2010 dalam vani 2011).
B. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Mendeskripsikan asuhan keperawatan pada klien dengan ADHF dalam konsep
Keperawatan Kegawatdaruratan.
2. Tujuan Khusus
Melalui pendekatan proses keperawatan kegawatdaruratandiharapkan mahasiswa:
a. Mendeskripsikan hasil pengkajian terhadap klien dengan decompensasi cordis
khususnya ADHF.
b. Mendeskripsikan perumusan diagnosa keperawatan sesuai dengan prioritas
masalah pada pasien dengan ADHF.
c. Mendeskripsikan perencanaan dan rasional dalam praktek nyata sesuai dengan
masalah yang diprioritaskan pada pasien dengan ADHF.
d. Mendeskripsikan implementasi dalam praktek nyata sesuai dengan masalah
yang diprioritaskan pada pasien dengan ADHF.
e. Mendeskripsikan evaluasi hasil dari tindakan yang telah dilaksanakan pada
pasien dengan ADHF.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. DEFINISI
Gagal jantung akut menurut European Society of Cardiology (ESC), merupakan istilah
yang digunakan untuk mendeskripsikan kondisi kegagalan fungsi jantung dengan awitan
yang cepat maupun perburukan dari gejala dan tanda dari gagal jantung (McMurray et al,
2012). Hal ini merupakan kondisi yang mengancam jiwa dan memerlukan perhatian medis
yang segera dan biasanya berujung pada hospitalisasi (Gheorghiade dan Pang, 2009). Pada
sebagian besar kasus, gagal jantung akut terjadi sebagai akibat perburukan pada pasien
yang telah terdiagnosis dengan gagal jantung sebelumnya (baik gagal jantung dengan fraksi
ejeksi yang rendah/ heart failure with reduced ejection fraction (HF-REF), maupun pada
gagal jantung dengan fraksi ejeksi yang masih baik/ heart failure with preserved ejection
fraction (HF-PEF) (McMurray et al, 2012).
B. ETIOLOGI
Menurut Brunner & Suddarth gagal jantung dapat disebabkan oleh:
a. Kelainan otot jantung : gagal jantung paling sering terjadi pada penderita kelainan
otot jantung, menyebabkan menurunnya kontraktilitas jantung. Kondisi yang
mendasari penyebab kelainan fungsi otot mencakup aterosklerosis koroner,
hipertensi arterial, dan penyakit otot degeneratif atau inflamasi.
b. Aterosklerosis koroner : mengakibatkan disfungsi miokardium karena terganggunya
aliran darah ke otot jantung. Terjadi hipoksia dan asidosis (akibat penumpukan asam
laktat). Infark miokardium (kematian sel jantung) biasanya mendahului terjadinya
gagal jantung.
c. Hipertensi sistemik atau pulmonal (peningkatan afterload) : meningkatkan beban
kerja jantung dan mengakibatkan hipertrofi serabut otot jantung. Efek tersebut
(hipertrofi miokard) dapat dianggap sebagai mekanisme kompensasi karena akan
meningkatkan kontraktilitas jantung. Hipertrofi otot jantung tidak dapat berfungsi
secara normal, dan akhirnya akan terjadi gagal jantung.
d. Peradangan dan penyakit miokardium degeneratif : berhubungan dengan gagal
jantung karena kondisi ini secara langsung merusak serabut jantung, menyebabkan
kontraktilitas menurun.
e. Penyakit jantung lain: gagal jantung dapat terjadi sebagai akibat penyakit jantung
yang sebenarnya tidak secara langsung mempengaruhi jantung. Mekanisme yang
biasanya terlihat mencakup gangguan aliran darah melalui jantung (misalnya stenosis
katup semilunar), ketidakmampuan jantung untuk mengisi darah (misalnya
tamponade perikardium, perikarditis konstriktif, atau stenosis katup AV).
Peningkatan mendadak afterload akibat meningkatnya tekanan darah sistemik
(hipertensi “Maligna”) dapat menyebabkan gagal jantung meskipun tidak ada
hipertrofi miokardial.
f. Faktor sistemik : Meningkatnya laju metabolisme (misalnya demam, tirotoksikosis),
hipoksia, dan anemia memerlukan peningkatan curah jantung untuk memenuhi
kebutuhan oksigen sistemik. Hipoksia atau anemia juga dapat menurunkan suplai
oksigen ke jantung. Asidosis (respiratorik atau metabolik) dan abnormalitas elektrolit
dapat menurunkan kontraktilitas jantung. Disritmia jantung yang dapat terjadi
dengan sendirinya atau secara sekunder akibat gagal jantung menurunkan efisiensi
keseluruhan fungsi jantung.
C. WEB OF CAUTION
D. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian Primer
a. Airway Kepatenan jalan nafas meliputi pemeriksaan obstruksi jalan nafas,
adanya benda asing, adanya suara nafas tambahan.
b. Breathing Frekuensi nafas, apakah ada penggunaan otot bantu nafas, retraksi
dada, adanya sesak nafas, palpasi pengembangan paru, auskultasi suara nafas,
kaji adanya suara nafas tambahan.
c. Circulation Pengkajian mengenai volume darah dan cardiac output serta
adanya perdarahan. pengkajian juga meliputi status hemodinamik, warna kulit,
nadi.
2. Pengkajian Sekunder
a. Aktivitas/istirahat
1) Gejala : Keletihan/kelelahan terus menerus sepanjang hari, insomnia,
nyeri dada dengan aktivitas, dispnea pada saat istirahat.
2) Tanda : Gelisah, perubahan status mental mis : letargi, tanda vital
berubah pada aktivitas.
b. Sirkulasi
1) Gejala : Riwayat HT, IM baru/akut, episode GJK sebelumnya, penyakit
jantung, bedah jantung , endokarditis, anemia, syok septik, bengkak pada
kaki, telapak kaki, abdomen.
2) Tanda : TD ; mungkin rendah (gagal pemompaan), Tekanan Nadi ;
mungkin sempit, Irama Jantung ; Disritmia, Frekuensi jantung ;
Takikardia , Nadi apical ; PMI mungkin menyebar dan merubah, posisi
secara inferior ke kiri, Bunyi jantung ; S3 (gallop) adalah diagnostik, S4
dapat, terjadi, S1 dan S2 mungkin melemah, Murmur sistolik dan
diastolic, Warna ; kebiruan, pucat abu-abu, sianotik, Punggung kuku ;
pucat atau sianotik dengan pengisian, kapiler lambat, Hepar ;
pembesaran/dapat teraba, Bunyi napas ; krekels, ronkhi, Edema ;
mungkin dependen, umum atau pitting , khususnya pada ekstremitas.
c. Integritas ego
1) Gejala : Ansietas, kuatir dan takut. Stres yang berhubungan dengan
penyakit/keperihatinan finansial (pekerjaan/biaya perawatan medis)
2) Tanda : Berbagai manifestasi perilaku, mis : ansietas, marah, ketakutan
dan mudah tersinggung.
d. Eliminasi
1) Gejala : Penurunan berkemih, urine berwana gelap, berkemih malam hari
(nokturia), diare/konstipasi.
e. Nutrisi
1) Gejala : Kehilangan nafsu makan, mual/muntah, penambhan berat badan
signifikan, pembengkakan pada ekstremitas bawah, pakaian/sepatu
terasa sesak, diet tinggi garam/makanan yang telah diproses dan
penggunaan diuretic.
2) Tanda : Penambahan berat badan cepat dan distensi abdomen (asites)
serta edema (umum, dependen, tekanan dn pitting).
f. Higiene
1) Gejala : Keletihan/kelemahan, kelelahan selama aktivitas Perawatan diri.
2) Tanda : Penampilan menandakan kelalaian perawatan personal.
g. Neurosensori
1) Gejala : Kelemahan, pening, episode pingsan.
2) Tanda : Letargi, kusut pikir, diorientasi, perubahan perilaku dan mudah
tersinggung.
h. Nyeri/Kenyamanan
1) Gejala : Nyeri dada, angina akut atau kronis, nyeri abdomen kanan atas
dan sakit pada otot.
2) Tanda : Tidak tenang, gelisah, focus menyempit danperilaku melindungi
diri.
i. Pernapasana.
1) Gejala : Dispnea saat aktivitas, tidur sambil duduk atau dengan beberapa
bantal, batuk dengn/tanpa pembentukan sputum, riwayat penyakit kronis,
penggunaan bantuan pernapasan.
2) Tanda :
a) Pernapasan; takipnea, napas dangkal, penggunaan otot asesori
pernpasan.
b) Batuk : Kering/nyaring/non produktif atau mungkin batuk terus
menerus dengan/tanpa pemebentukan sputum.
c) Sputum ; Mungkin bersemu darah, merah muda/berbuih (edema
pulmonal)
d) Bunyi napas ; Mungkin tidak terdengar.
e) Fungsi mental; Mungkin menurun, kegelisahan, letargi.
f) Warna kulit ; Pucat dan sianosis.
j. Interaksi sosial
1) Gejala : Penurunan keikutsertaan dalam aktivitas sosial yang biasa
dilakukan.
E. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan Perubahan kontraktilitas
miokardial/perubahan inotropik.
2. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan reflek batuk,
penumpukan secret.
3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan edema paru
4. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan menurunnya laju filtrasi glomerulus,
meningkatnya produksi ADH dan retensi natrium/air.
5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan
F. INTERVENSI
tidak ada kelelahan 10. Atur periode latihan dan istirahat untuk
perifer, dan tidak ada asites 11. Monitor toleransi aktivitas pasien
Tidak ada penurunan 12. Monitor adanya dyspneu, fatigue, tekipneu dan
kesadaran ortopneu
13. Anjurkan untuk menurunkan stress
Vital Sign Monitoring
1. Monitor TD, nadi, suhu, dan RR
2. Catat adanya fluktuasi tekanan darah
3. Monitor VS saat pasien berbaring, duduk, atau
berdiri
4. Auskultasi TD pada kedua lengan dan bandingkan
5. Monitor TD, nadi, RR, sebelum, selama, dan
setelah aktivitas
6. Monitor kualitas dari nadi
7. Monitor adanya puls paradoksus
8. Monitor adanya puls alterans
9. Monitor jumlah dan irama jantung
10. Monitor bunyi jantung
11. Monitor frekuensi dan irama pernapasan
12. Monitor suara paru
13. Monitor pola pernapasan abnormal
14. Monitor suhu, warna, dan kelembaban kulit
15. Monitor sianosis perifer
16. Monitor adanya cushing triad (tekanan nadi yang
melebar, bradikardi, peningkatan sistolik)
17. Identifikasi penyebab dari perubahan vital sign
2 Bersihan jalan nafas tidak NOC : NIC
efektif berhubungan dengan Airway suction
penurunan reflek batuk, Respiratory status : 1. Pastikan kebutuhan oral / tracheal suctioning
penumpukan secret. Ventilation 2. Auskultasi suara nafas sebelum dan sesudah
Respiratory status : Airway suctioning.
patency 3. Informasikan pada klien dan keluarga tentang
Aspiration Control suctioning
4. Minta klien nafas dalam sebelum suction
Setelah diberikan asuhan dilakukan.
keperawatan selama ….x…. 5. Berikan O2 dengan menggunakan nasal untuk
diharapkan klien dapat memfasilitasi suksion nasotrakeal
menunjukkan keefektifan jalan 6. Gunakan alat yang steril sitiap melakukan tindakan
napas Kriteria Hasil : 7. Anjurkan pasien untuk istirahat dan napas dalam
Mendemonstrasi kan batuk setelah kateter dikeluarkan dari nasotrakeal
bersih, tidak ada sianosis dan 9. Ajarkan keluarga bagaimana cara melakukan
dyspneu (mampu suction
mengeluarkan sputum, 10. Hentikan suksion dan berikan oksigen apabila
merasa tercekik, irama nafas, 1. Buka jalan nafas, guanakan teknik chin lift atau jaw
Bunyi nafas bersih, tidak ada 9. Monitor masukan makanan/cairan dan hitung intake
sentral, tekanan kapiler paru, 13. Kolaborasi dokter jika tanda cairan berlebih muncul