Anda di halaman 1dari 32

M. Guszaldo.

HP

Gamma 2017

a. Mengapa Dinda sering BAK pada malam hari? (aldo, vania)


Karena rusaknya sel beta pancreas

b. Bagaimana patofisiologi sering buang air kecil pada malam hari?


(sandora, aldo)
Nocturnal poliuria

Rusaknya sel beta pankreas  produksi hormon insulin sedikit 


Glukosa tidak dapat terdistribusi dengan baik ke organ tubuh 
glukosa dalam darah tinggi  tubuh mengokompensasi dengan
peningkatan air untuk menciptakan keseimbangan dan penurunan
filtasi glukosa di ginjal  sering BAK.

a. Bagaimana faktor genetic berperan pada penyakit kencing manis?


(vania, aldo)
Tidak ada riwayat kencing manis di keluarga mengindikasikan bahwa
tipe diabetes yang dialami Dinda adalah diabetes mellitus tipe 1 (DM
tipe 1). DM tipe 1 biasanya terdiagnosa sejak usia kanak-kanak.
Tubuh penderita DM tipe 1 hanya sedikit menghasilkan insulin atau
bahkan sama sekali tidak menghasilkan insulin. Kelainan terletak pada
sel beta yang bisa terjadi secara idiopatik atau imunologik. Pankreas
tidak mampu mensintesis dan mensekresi insulin dalam kuantitas dan
atau kualitas yang cukup, bahkan kadang-kadang tidak ada sekresi
insulin sama sekali.

apa interpretasi dan bagaimana mekanisme abnormalitas pada


pemeriksaan ito HBA1c?

• HbA1C 12% (intepretasi tinggi)


• Karbohidrat dari makanan dipecah menjadi glukosa  glukosa
diserap melalui saluran intestine dan sebagian di gaster  glukosa
berikatan dengan Hb di dalam eritrosit untuk di distribusikan ke
organ  gangguan produksi insulin dan atau resistensi insulin
(dalam kasus ini penurunan produksi insulin)  glukosa yang
berikatan dengan Hb darah tinggi.
1. Pemeriksaan Laboratorium

• Pemeriksaan kadar gula darah dan darah perifer lengkap

• HbA1c

• C-peptida

• Bila pasien menderita KAD diperiksa juga analisis gas darah,


ureum dan kreatinin, serta elektrolit darah

• Elektrolit :

• Natrium : mungkin normal, meningkat, atau menurun

• Kalium : normal atau peningkatan semu ( perpindahan seluler),


selanjutnya akan menurun.

• Fosfor : lebih sering menurun

• Gas Darah Arteri : biasanya menunjukkan pH rendah dan


penurunan pada HCO3 ( asidosis metabolic) dengan kompensasi
alkalosis respiratorik.

• Trombosit darah : Ht mungkin meningkat ( dehidrasi) ; leukositosis


: hemokonsentrasi ; merupakan respon terhadap stress atau infeksi.

• Ureum / kreatinin : mungkin meningkat atau normal ( dehidrasi/


penurunan fungsi ginjal).
1. HbA1c adalah istilah yang diterima secara internasional untuk
GHb. Istilah glycosylated hemoglobin atau dalam istilah laboratorium
modern disebut glycated hemoglobin (GHb) tidak digunakan secara
umum. Istilah “tes A1C” digunakan oleh ADA (American Diabetes
Association) untuk mempermudah komunikasi dengan pasien. HbA1c
merupakan reaksi antara glukosa dengan hemoglobin, yang tersimpan
dan bertahan dalam sel darah merah selama 120 hari sesuai dengan
umur eritrosit. Kadar HbA1c bergantung dengan kadar glukosa dalam
darah, sehingga HbA1c menggambarkan rata-rata kadar gula darah
selama 3 bulan. Sedangkan pemeriksaan gula darah hanya
mencerminkan saat diperiksa, dan tidak menggambarkan pengendalian
jangka panjang.

Pemeriksaan gula darah diperlukan untuk pengelolaaan diabetes


terutama untuk mengatasi komplikasi akibat perubahan kadar glukosa
yang berubah mendadak. Saat ini ada sekitar 100 jenis metode
pemeriksaan HbA1c, dari low-troughput research laboratory
component system dan manual mini-column methods hingga
hightroughput automated system yang khusus. Metode pemeriksaan
HbA1c dapat dibagi menjadi 3 kategori berdasarkan cara pemisahan
komponen hemoglobin glikosilasi dan non glikosilasi:

A. Metode pemeriksaan berdasarkan perbedaan muatan - Cation


exchange chromatography (disposable microcolumns, high
performance liquid chromatography) - Electrophoresis (agar gel,
isoelectric focusing)

B. Metode pemeriksaan berdasarkan reaktivitas kimia


Hydroxymethylfurfural/thiobarbituric acid colorimetry

C. Metode pemeriksaan berdasarkan perbedaan struktural - Affi nity


chromatography

Kelebihan dan Kekurangan HbA1c

Tidak ada tes diagnostik klinis yang sempurna. Untuk penggunaan


klinis, tes yang ideal adalah akurat, spesifik, terstandardisasi, mudah
dilakukan dan tidak mahal. Dibandingkan dengan pemeriksaan
glukosa puasa dan tes toleransi glukosa 2 jam, HbA1c memiliki
kelebihan :
• Ter standardisasi sesuai DCCT/UKPDS; sedangkan pengukuran
glukosa kurang terstandar

• Memiliki indeks paparan glukosa keseluruhan yang lebih baik dan


dapat menilai komplikasi jangka panjang

• Memiliki instabilitas preanalitik yang rendah

• Relatif tidak terpengaruh oleh keadaan akut (misalnya stres atau


penyakit yang terkait)

• Dapat digunakan untuk petunjuk terapi dan penyesuaian terapi

• Tidak dipengaruhi oleh variasi akibat pembebanan jumlah glukosa


yang sama pada individu dengan ukuran tubuh yang berbeda seperti
pada TTGO

• Dapat dilakukan kapan saja dan tidak membutuhkan puasa atau tes
khusus

• Memiliki variasi diurnal yang rendah

• Tidak atau kurang dipengaruhi oleh obatobat yang mempengaruhi


metabolisme glukosa

• Satu jenis pemeriksaan yang dapat digunakan untuk diagnosis dan


penilaian kontrol glikemik.

Ada beberapa kondisi dimana pemeriksaan kadar HbA1c akan


sangat terganggu dan tidak akurat, misalnya :

a. Specimen ikterik (kadar bilirubin>5.0mg/dl), Warna kekuningan


pada serum akibat penimbunan bilirubin dalam tubuh yang
menandakan terjadinya gangguan fungsi dari hepar( Widmann, 2004)

b. Specimen hemolisis Pada destruksi Eritrosit , membran sel pecah


sehingga Hb keluar dari sel, hemolisis menunjukkan destruksi eritrosit
yang terlalu cepat , baik kelainan intrinsik maupun proses ektrinsik
terhadap eritrosit dan serum berwarna merah atau kemerahan(
Widmann, 2004) c. Penurunan sel darah merah (Anemia, talasemia,
kehilangan darah jangka panjang) akan menurunkan kadar HbA1c
palsu Anemia didefenisikan sebagai berkurangnya kadar Hb darah,
penurunan kadar Hb biasanya disertai penurunan Eritrosit dan
Hematokrit ( Kee JL, 2003)
1. Diabetes melitus tipe 1

DEFINISI

DM tipe 1 adalah kelainan sistemik akibat terjadinya gangguan metabolisme glukosa yang
ditandai oleh hiperglikemia kronik. Keadaan ini diakibatkan oleh kerusakan sel –β pankreas
baik oleh proses autoimun maupun idiopatik sehingga produksi insulin berkurang bahkan
terhenti.
Diabetes tipe 1 merupakan gangguan dimana tidak ada insulin didalam sirkulasi, glukagon
plasma meningkat, dan sel sel beta Pankreas gagal berespon terhadap semua rangsangan
insulinogenik yang telah diketahui.

EPIDEMIOLOGI

Pada kebanyakan negara barat, DM tipe 1 terjadi lebih dari 90% pada anak-anak dan
remaja diabetes, meskipun kurang dari setengah dari individu dengan DM tipe 1 yang
didiagnosis sebelum usia 15 tahun.

Faktor genetik dan lingkungan sangat berperan pada Diabetes Melitus tipe I.
Walaupun hampir 80% penderita DM tipe I baru tidak mempunyai riwayat keluarga dengan
penyakit yang serupa, faktor genetik dikaitkan dengan HLA tertentu, tetapi sistem HLA
bukan merupakan faktor satu-satunya atau faktor dominan pada patogenesis DM tipe 1.
Sistem HLA berperan sebagai suatu susceptibility gene atau faktor kerentanan. Diperlukan
suatu faktor yang berasal dari lingkungan (infeksi virus, toksin, dll) untuk memicu gejala-
gejala klinis Diabetes Melitus tipe I pada seseorang yang rentan.

ETIOLOGI DAN PATOGENESIS

Penyebab dasar diabetes pada anak adalah sekresi insulin yang menurun tajam
akibat kerusakan sel β-pankreas yang didasari oleh proses autoimun. DM tipe-1 secara jelas
berbeda karena hubungannya dengan antigen histokompatibilitas (HLA); adanya antibodi
terhadap komponen sitoplasma dan komponen sel-permukaan sel pulau dalam sirkulasi;
antibodi terhadap insulin pada tidak adanya pemajanan terhadap injeksi insulin sebelumnya;
antibodi terhadap asam glutamat dekarboksilase (glutamic acid decarboxylase [GAD]), enzim
yang mengubah asam glutamat menjadi asam gamma aminobutirat (gamma aminobutyric
acid [GABA]), ditemukan secara berlebihan pada inervasi pulau pankreas; infiltrasi limfosit
pulau pada awal penyakit ; dan penyakit autoimun lainnya.
Hubungan DM tipe-1 dengan faktor-faktor genetik atas dasar peningkatan insiden pada
beberapa keluarga dan atas dasar perbedaan etnik dan ras pada prevalensi. Faktor-faktor
pemicu dapat termasuk infeksi virus. Epidemi parotitis, rubella, dan koksakievirus berkaitan
dengan dibetes tipe-1. Virus ini mungkin bekerja secara langsung menghancurkan sel β-
pankreas, dengan menetap di dalam sel β-pankreas sebagai infeksi virus lambat, atau dengan
memicu respon imun yang luas ke beberapa jaringan endokrin. Virus ini dapat menginduksi
kerusakan sel-sel β awal yang mengakibatkan penyajian determinan antigenik yang
sebelumnya tertutup atau diubah. Atau mungkin virus ini kesamaan

beberapa determinan antigenik dengan virus yang ada di dalam sel β, termasuk
GAD, sehingga antibody yang terbentuk dalam responnya terhadap virus dapat berinteraksi
dengan determinan sel β, mengakibatkan penghancuran.

Berikut ini adalah diagram dari kemungkinan mekanisme perkembangan DM tipe 1.


Sekitar 80-90% penderita DM tipe-1 yang baru didiagnosis memiliki antibodi sel
pulau (ICA) yang berada di permukaan sel atau di sitoplasma pada sel-sel pulaunya; jumlah
antibodi ini menurun selama perjalanan penyakit. Sebanyak 80% penderita memiliki antibodi
terhadap GAD dan 30-40% memiliki antibodi anti-insulin spontan pada awal diagnosis.
Temuan ini menunjukan bahwa DM tipe-1, mirip penyakit autoimun lain, seperti tiroiditis
Hashimoto yang merupakan penyakit ’autoragresi’, dimana autoantibodi, bekerjasama
dengan komplemen, sel-sel T, atau faktor-faktor lain, menginduksi kerusakan sel pulau
penghasil insulin. Dengan demikian, pewarisan gen-gen tertentu berkaitan dengan sistem
HLA pada kromosom 6 yang tampak memberikan predisposisi ke arah penyakit autoimun,
termasuk diabetes, bila dipicu oleh stimulus yang tepat seperti virus. (1)
Gambar diatas menunjukan ringkasan etiologi DM tipe-1 sebagai penyakit
autoimun, kecenderungan kearah pewarisan HLA dan pengerusakan autoimun sel β pankreas
dipicu oleh agen yang belum diketahui. Lereng penurunan pada insulin bervariasi, dan titik
dimana gambaran klinis muncul sesuai dengan 80% penghancuran cadangan sekresi insulin.
Proses ini dapat berjalan berbulan-bulan sampai bertahun-tahun, pada usia remaja dan yang
lebih tua, dan dapat berlangsung selama berminggu-minggu pada penderita yang sangat
muda. Pada pasien yang baru pertama kali menderita DM tipe-1 yang tidak memiliki diabetic
ketoasidosis, massa sel β tidak seluruhnya rusak. Sisa sel-sel β yang masih dapat berfungsi
akan pulih dengan pengobatan insulin, dan akan kembali memproduksi insulin. Ketika ini
terjadi, kebutuhan insulin berkurang dan terjadi periode glukosa darah stabil dan terkontrol,
sering dengan konsentrasi glukosa hampir normal. Fase ini disebut periode bulan madu,
biasanya dimulai pada minggu pertama terapi dan berlanjut beberapa bulan, dan bertahan
sampai 2 tahun.
GAMBARAN KLINIS

Sebagian besar penderita DM tipe 1 mempunyai riwayat perjalanan klinis yang akut.
Biasanya gejala-gejala poliuria, polidipsia, polifagia dan berat badan yang cepat menurun
terjadi antara 1 sampai 2 minggu sebelum diagnosis ditegakkan.

Diabetes yang terus berkembang akan menyebabkan gejala terus meningkat, yang
menunjukkan massa β-sel menurun, insulinopenia memburuk, hiperglikemia progresif, dan
akhirnya terjadi ketoasidosis. Awalnya, ketika cadangan insulin terbatas, hiperglikemia
sesekali terjadi. Ketika glukosa serum meningkat di atas ambang ginjal, poliuria intermiten
atau nokturia dimulai. Dengan semakin banyak β-sel yang hilang maka akan terjadi
hiperglikemia kronis yang menyebabkan diuresis lebih banyak, sering dengan enuresis
nokturnal, dan polidipsia menjadi lebih nyata. Pasien wanita dapat terjadi vaginitis monilial
karena glikosuria kronis. Kalori yang hilang dalam urin (glikosuria), memicu hiperpagia
kompensasi. Jika hiperpagia ini tidak mengikuti glikosuria, maka akan terjadi kehilangan
lemak tubuh, penurunan berat badan klinis dan berkurangnya lemak subkutan.

Ketoasidosis menunjukkan tanda awal pada kebanyakan anak diabetes (25%).


Manifestasi awal mungkin relatif ringan berupa muntah, poliuri, dan dehidrasi. Pada kasus
yang lama dan berat, terdapat pernapasan Kussmaul, dan ada bau aseton pada pernapasannya.
Nyeri atau kekakuan perut dapat dijumpai dan dapat menyerupai apendisitis atau pankreatitis.
Terjadi ketumpulan otak dan akhirnya koma. Temuan-temuan laboratorium, meliputi
glukosuria, ketonuria, hiperglikemia, ketonemia, dan asidosis metabolik. Leukositosis lazim
ditemukan, amilase serum nonspesifik dapat meningkat, lipase serum biasanya tidak
meningkat. Pada mereka yang mengeluh nyeri perut, nyeri ini tidak boleh dianggap sebagai
tanda kegawatdaruratan yang membutuhkan tindakan pembedahan segera. Sebelumya harus
diberikan terapi cairan, elektrolit, insulin yang sesuai untuk mengoreksi dehidrasi dan
asidosis. Manifestasi perut sering hilang setelah beberapa jam pengobatan tersebut.

PATOFISIOLOGI

TATA LAKSANA DM TIPE 1

DM tipe 1 memang tidak dapat disembuhkan tetapi kualitas hidup penderita dapat
dipertahankan seoptimal mungkin dengan kontrol metabolik yang baik. Yang dimaksud
kontrol metabolik yang baik adalah mengusahakan kadar glukosa darah berada dalam batas
normal atau mendekati nilai normal, tanpa menyebabkan hipoglikemia. Walaupun masih
dianggap ada kelemahan, parameter HbA1c merupakan parameter kontrol metabolik standar
pada DM. Nilai HbA1c <7% berarti kontrol metabolik baik; HbA1c <8% cukup dan HbA1c
>8 dianggap buruk. Kriteria ini pada anak perlu disesuaikan dengan usia karena semakin
rendah HbA1c semakin tinggi resiko terjadinya hipoglikemia.
Sasaran dan tujuan pengobatan pada DM tipe 1yaitu

Sasaran

1. Bebas dari gejala penyakit


2. Dapat menikmati kehidupan sosial
3. Terhindar dari komplikasi
Tujuan

1. Tumbuh kembang optimal


2. Perkembangan emosi normal
3. Kontrol metabolik baik tanpa terjadi hipoglikemik
4. Absensi sekolah rendah dan aktif berpartisipasi di sekolah
5. Pasien mampu mengelola penyakitnya secara mandiri

Untuk mencapai sasaran dan tujuan tersebut, komponen pengelolaan DM tipe 1


meliputi pemberian insulin, pengaturan makan, olahraga, dan edukasi, yang didukung oleh
pemantauan mandiri (home monitoring).

 Pemberian Insulin
Pada DM tipe 1, pankreas tidak dapat menghasilkan insulin sehingga harus diberikan
insulin pengganti. Pemberian insulin hanya dapat dilakukan melalui suntikan karena insulin
dihancurkan di dalam lambung sehingga tidak dapat diberikan per-oral (ditelan).
Diabetes tipe 1 mutlak membutuhkan insulin karena pankreas tidak dapat
memproduksi hormon insulin. Maka seumur hidupnya pasien harus mendapatkan terapi
insulin untuk mengatasi glukosa darah yang tinggi. Penghentian suntikan akan menimbulkan
komplikasi akut dan bisa fatal akibatnya.
Suntikan insulin untuk pengobatan diabetes dinamakan terapi insulin. Tujuan terapi ini
terutama untuk :
1. Mempertahankan glukosa darah dalam kadar yang normal atau mendekati normal.

2. Menghambat kemungkinan timbulnya komplikasi kronis pada diabetes.

Berikut ini adalah tabel yang menunjukkan berbagai jenis sediaan yang dapat dipakai
sekaligus profil kerjanya.

Jenis insulin Awitan Puncak kerja Lama kerja


(jam) (jam) (jam)
Kerja cepat (rapid
acting) (aspart, gluisine 0,15-1,35 1-3 3-5
dan lispro)
Kerja pendek 0,5-1 2-4 5-8
(regular/soluble)
Kerja menengah
Semilente 1-2 4-10 8-16
NPH 2-4 4-12 12-24
IZS lente type 3-4 6-15 18-24

Insulin basal
Glargine 2-4 Tidak ada 24*
Detemir 1-2 6-12 20-24

Kerja panjang
Ultralente type 4-8 12-24 20-30
Insulin campuran
Cepat-menengah 0,5 1-12 16-24
Pendek-menengah 0,5 1-12 16-24

Penyesuaian dosis insulin

Penyesuaian dosis biasanya dibutuhkan pada honeymoon period, masa remaja, masa
sakit, dan sedang menjalankan pembedahan. Pada dasarnya kebutuhan insulin adalah sesuai
dengan kebutuhan metabolisme tubuh, namun masalahnya penyesuaian dosis tidak dapat
dilakukan secara sembarang karena dapat menectuskan kedaruratan medic.

Pada fase honeymoon period, dosis insulin yang dibutuhkan sangat rendah, bahkan
pada beberapa kasus kontrol metabolik dapat dicapai tanpa pemberian insulin sama sekali.
Dosis insulin pada fase ini perlu disesuaikan untuk menghindari serangan hipoglikemia.
Pada masa remaja, kebutuhan insulin meningkat karena bekerjanya hormon-hormon
seks steroid, meningkatnya amplitudo dan frekuensi sekresi growth hormone, yang
kesemuanya merupakan hormon-hormon anti insulin.

Pada saat sakit, dosis insulin perlu disesuaikan dengan asupan makanan tetapi jangan
menghentikan insulin sama sekali. Penghentian insulin akan meningkatkan lipolisis dan
glikogenolisis sehingga kadar glukosa darah meningkat dan penderita rentan untuk menderita
ketoasidosis.

 Pengaturan makan
Pada anak dengan DM tipe 1, kalori tetap diperlukan untuk pertumbuhan.
Pengaturan makanan pada penderita DM tipe 1 bertujuan untuk mencapai kontrol
metabolik yang baik tanpa mengabaikan kalori yang dibutuhkan untuk metabolisme basal,
pertumbuhan, pubertas maupun aktivitas sehari-hari. Dengan pengaturan makan ini
diharapkan pasien tidak obes dan dapat dicegah timbulnya hipoglikemia. Jumlah kalori per
hari yang dibutuhkan dihitung berdasarkan berat badan ideal. Penghitungan kalori ini
memerlukan data umur, jenis kelamin, tinggi badan dan berat badan saat penghitungan
serta kecukupan kalori yang dianjurkan.

Pembagian kalori per 24 jam diberikan 3 kali makanan utama dan 2 kali makanan
kecil sebagai berikut :

 25% berupa makan pagi.


 10% berupa makanan kecil.
 25% berupa makan siang.
 10% berupa makanan kecil.
 30% berupa makan malam.
o Olahraga
Olahraga itu terutama untuk membakar kalori tubuh, sehingga glukosa darah bisa
terpakai untuk energi. Dengan demikian kadar gulanya bisa turun.

Penderita diabetes yang telah lama dikhawatirkan bisa mengalami arterosklerosis


(penyempitan pembuluh darah). Namun, dengan berolahraga timbunan kolesterol di
pembuluh darah akan berkurang, sehingga risiko terkena penyakit jantung juga menurun.
FID (frekuensi, intensitas, dan durasi) olahraga bagi penderita diabetes pada prinsipnya
tidak berbeda dengan yang diterapkan untuk orang sehat. Frekuensi berolah raga adalah 3–
5 kali seminggu. Namun, penderita yang menggunakan suntikan insulin harus hati-hati.
Harus diperhatikan waktu puncak kerja insulin yang disuntikkan.

Dalam melakukan olahraga, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Kadar gula
darah penderita saat melakukan olahraga harus berada pada kisaran 100–300 mg/dl.
“Lebih dari 300 mg/dl dikhawatirkan terjadi ketosis (kelebihan keton dalam jaringan),
misalnya. Penderita dengan kadar gula yang terlalu rendah juga dilarang melakukan
latihan. Sementara jika kadar gulanya sudah normal lalu melakukan olahraga, ditakutkan
malah terjadi hipoglikemia.
 Pemantauan
Pemantauan ditujukan untuk mengurangi morbiditas akibat komplikasi akut
maupun kronis, baik selama perawatan di rumah sakit maupun secara mandiri di rumah,
yang meliputi :
 Keadaan umum, tanda vital
 Kemungkinan infeksi
 Kadar gula darah (juga dapat dilakukan di rumah dengan menggunakan
glukometer) setiap sebelum makan dan menjelang tidur malam hari
 Kadar HbA1C (setiap 3 bulan)
 Pemeriksaan keton urine (terutama bila kadar gula > 250 mg/dl)
 Mikroalbuminuria (setiap 1 tahun)
 Fungsi ginjal
 Funduskopi untuk memantau terjadinya retinopati (biasanya terjadi setelah 3-5
tahun menderita DM tipe-1, atau setelah pubertas)
 Tumbuh kembang.
Kontrol Metabolik Yang Diharapkan

HbA1C GD Pre Prandial GD Post Prandial

Bayi <7,5-8,5 100-180 <200

Usia sekolah <8 70/80-150 <200

Remaja <7,5 70-140/150 <180

KOMPLIKASI

Diabetes merupakan penyakit yang memiliki komplikasi (menyebabkan terjadinya


penyakit lain) yang paling banyak. Hal ini berkaitan dengan kadar gula darah yang tinggi
terus menerus, sehingga berakibat rusaknya pembuluh darah, saraf dan struktur internal
lainnya.
Komplikasi jangka lama termasuk penyakit kardiovaskular (risiko ganda),
kegagalan kronis ginjal (penyebab utama dialisis), kerusakan retina yang dapat menyebabkan
kebutaan, serta kerusakan saraf yang dapat menyebabkan impotensi dan gangren dengan
risiko amputasi. Komplikasi yang lebih serius lebih umum bila kontrol kadar gula darah
buruk.
Komplikasi jangka pendek (akut) yang sering terjadi : hipoglikemia dan ketoasidosis.
Komplikasi jangka panjang biasanya terjadi setelah tahun ke-5, berupa : nefropati, neuropati,
dan retinopati. Nefropati diabetik dijumpai pada 1 diantara 3 penderita DM tipe-1.
Diagnosis dini dan pengobatan dini penting sekali untuk :
1. mengurangi terjadinya gagal ginjal berat, yang memerlukan dialisis.
2. menunda ”end stage renal disease” dan dengan ini memperpanjang umur penderita.
Komplikasi pengobatan insulin ialah hipoglikemik dan terjadinya Samogji effect,
yaitu anak jatuh dalam keadaan hipoglikemik, kemudian hiperglikemia ; kadar glukosa darah
sulit dicapai normal.

 Ketoasidosis diabetik (KAD)


Ketoasidosis diabetik (KAD) merupakan komplikasi DM tipe-1 yang disebabkan oleh
kekurangan insulin dalam sirkulasi darah. Keadaan KAD ditunjang oleh meningkatnya
counterregulatory hormones: katekolamin, glucagon, kortisol, dan hormon pertumbuhan
(growth hormone).6
Diagnosis
1. Anamnesis:
 Adanya riwayat DM: polidipsi. Poliuria, polifagia, nokturia, enuresis, dan anak
lemah (malaise)
 Riwayat penuruanan berat badan dalam beberapa waktu terakhir
 Adanya nyeri perut, mual, muntah tanpa diare, jamur dimulut atau jamur pada alat
kelamin dan keputihan
 Dehidrasi, hiperpnea, napas berbau aseton, syok dengan tanpa koma
2. Pemeriksaan Fisik
 Gejala asidosis, dehidrasi sedang sampai berat dengan atau tanpa syok
 Pernapasan dalam dan cepat (Kussmaul), tetapi pada kasus yang berat terjadi
depresi napas
 Mual, muntah, dan sakit perut seperti akut abdomen
 Penuruanan kesadaran sampai koma
 Demam bila ada infeksi penyerta
 Bau napas aseton
 Produksi urin tinggi
3. Pemeriksaan Penunjang
 Kadar gula darah ( >11 mmol/L (>200mg/dL)
 Ketonemia
 Urinalisis: ketonuria
 Kalau ada infeksi dapat dilakukan biakan darah, urin dll.
4. Tata Laksana
 Terapi Cairan
1. Apabila terjadi syok, atasi syok terlebih dahulu dengan memberikan cairan
NaCl 0,9% 20 ml/kg dalam 1 jam sampai syok teratasi
2. Cairan selanjutnya diberikan secara perlahan dalam 36-48 jam berdasarkan
derajat dehidrasi
3. Selama keadaan belum stabil secara metabolik (stabil bila kadar bikarbonat
natrium >15 mE/q/L, gula darah <200 mg/dL, pH >7,3) maka pasien
dipuasakan.
4. Jenis cairan resusitasi awal yang digunakan adalah NaCl 0,9%. Apabila kadar
gula darah sudah turun mencapai <250 mg/dl cairan diganti dengan Dekstrose
5% dalam NaCl 0,45%
2. Hormon insulin (biosintesis, mekanisme)

Proses Pembentukan dan Sekresi Insulin

Insulin merupakan hormon yang terdiri dari rangkaian asam amino, dihasilkan oleh sel
beta kelenjar pankreas. Dalam keadaan normal, bila ada rangsangan pada sel beta, insulin
disintesis dan kemudian disekresikan kedalam darah sesuai kebutuhan tubuh untuk keperluan
regulasi glukosa darah. Secara fisiologis, regulasi glukosa darah yang baik diatur bersama
dengan hormone glukagon yang disekresikan oleh sel alfa kelenjar pankreas.

Sintesis insulin dimulai dalam bentuk preproinsulin (precursor hormon insulin) pada
retikulum endoplasma sel beta. Dengan bantuan enzim peptidase, preproinsulin mengalami
pemecahan sehingga terbentuk proinsulin, yang kemudian dihimpun dalam gelembung-
gelembung
(secretory vesicles) dalam sel tersebut. Di sini, sekali lagi dengan bantuan enzim peptidase,
proinsulin diurai menjadi insulin dan peptida-C (C-peptide) yang keduanya sudah siap untuk
disekresikan secara bersamaan melalui membran sel.
Mekanism diatas diperlukan bagi berlangsungnya proses metabolisme secara normal, karena
fungsi insulin memang sangat dibutuhkan dalam proses utilisasi glukosa yang ada dalam
darah. Kadar glukosa darah yang meningkat, merupakan komponen utama yang memberi
rangsangan terhadap sel beta dalam memproduksi insulin. Disamping glukosa, beberapa jenis
asam amino dan obat-obatan, dapat pula memiliki efek yang sama dalam rangsangan
terhadap sel beta. Mengenai bagaimana mekanisme sesungguhnya dari sintesis dan sekresi
insulin setelah adanya rangsangan tersebut, merupakan hal yang cukup rumit dan belum
sepenuhnya dapat dipahami secara jelas.

Diketahui ada beberapa tahapan dalam proses sekresi insulin, setelah adanya rangsangan
oleh molekul glukosa. Tahap pertama adalah proses glukosa melewati membrane sel. Untuk
dapat melewati membran sel beta dibutuhkan bantuan senyawa lain. Glucose transporter
(GLUT) adalah senyawa asam amino yang terdapat di dalam berbagai sel yang berperan
dalam proses metabolisme glukosa. Fungsinya sebagai “kendaraan” pengangkut glukosa
masuk dari luar kedalam sel jaringan tubuh. Glucose transporter 2 (GLUT 2) yang terdapat
dalam sel beta misalnya, diperlukan dalam proses masuknya glukosa dari dalam darah,
melewati membran, ke dalam sel. Proses ini penting bagi tahapan selanjutnya yakni molekul
glukosa akan mengalami proses glikolisis dan fosforilasi didalam sel dan kemudian
membebaskan molekul ATP. Molekul ATP yang terbentuk, dibutuhkan untuk tahap
selanjutnya yakni proses mengaktifkan penutupan K channel pada membran sel. Penutupan
ini berakibat terhambatnya pengeluaran ion K dari dalam sel yang menyebabkan terjadinya
tahap depolarisasi membran sel, yang diikuti kemudian oleh tahap pembukaan Ca channel.
Keadaan inilah yang memungkinkan masuknya ion Ca sehingga menyebabkan peningkatan
kadar ion Ca intrasel. Suasana ini dibutuhkan bagi proses sekresi insulin melalui mekanisme
yang cukup rumit dan belum seutuhnya dapat dijelaskan.( Gambar 1 )

Seperti disinggung di atas, terjadinya aktivasi penutupan K channel tidak hanya disebabkan
oleh rangsangan ATP hasil proses fosforilasi glukosa intrasel, tapi juga dapat oleh pengaruh
beberapa faktor lain termasuk obat-obatan. Namun senyawa obat-obatan tersebut, misalnya
obat anti diabetes sulfonil urea, bekerja pada reseptor tersendiri, tidak pada reseptor yang

Exocytosis

secretory

Granule transport
sama dengan glukosa, yang disebut sulphonylurea receptor (SUR) pada membran sel beta.

Glucose Ca2+
K+ channel Insulin
GLUT-2 Channel Release
shut Opens

Glucose K+ 
↑ Insulin + C peptide
Glucose-6-phosphate
Depolarization Cleavage

ATP of membrane enzymes


Proinsulin
Glucose signaling
preproinsulin
Preproinsulin
B. cell Insulin Synthesis

Gb.1 Mekanisme sekresi insulin pada sel beta akibat stimulasi

Glukosa ( Kramer,95 )
Dinamika Sekresi Insulin

Dalam keadaan fisiologis, insulin disekresikan sesuai dengan kebutuhan tubuh normal
oleh sel beta dalam dua fase, sehingga sekresinya berbentuk biphasic. Seperti dikemukakan,
sekresi insulin normal yang biphasic ini akan terjadi setelah adanya rangsangan seperti
glukosa yang berasal dari makanan atau minuman. Insulin yang dihasilkan ini, berfungsi
mengatur regulasi glukosa darah agar selalu dalam batas-batas fisiologis, baik saat puasa
maupun setelah mendapat beban. Dengan demikian, kedua fase sekresi insulin yang
berlangsung secara sinkron tersebut, menjaga kadar glukosa darah selalu dalam batas-batas
normal, sebagai cerminan metabolisme glukosa yang fisiologis.

Sekresi fase 1 (acute insulin secretion responce = AIR) adalah sekresi insulin yang terjadi
segera setelah ada rangsangan terhadap sel beta, muncul cepat dan berakhir juga cepat.
Sekresi fase 1 (AIR) biasanya mempunyai puncak yang relatif tinggi, karena hal itu memang
diperlukan untuk mengantisipasi kadar glukosa darah yang biasanya meningkat tajam, segera
setelah makan. Kinerja AIR yang cepat dan adekuat ini sangat penting bagi regulasi glukosa
yang normal karena pasa gilirannya berkontribusi besar dalam pengendalian kadar glukosa
darah postprandial. Dengan demikian, kehadiran AIR yang normal diperlukan untuk
mempertahankan berlangsungnya proses metabolisme glukosa secara fisiologis. AIR yang
berlangsung normal, bermanfaat dalam mencegah terjadinya hiperglikemia akut setelah
makan atau lonjakan glukosa darah postprandial (postprandial spike) dengan segala akibat
yang ditimbulkannya termasuk hiperinsulinemia kompensatif.
Selanjutnya, setelah sekresi fase 1 berakhir, muncul sekresi fase 2 (sustained phase, latent
phase), dimana sekresi insulin kembali meningkat secara perlahan dan bertahan dalam waktu
relatif lebih lama. Setelah berakhirnya fase 1, tugas pengaturan glukosa darah selanjutnya
diambil alih oleh sekresi fase 2. Sekresi insulin fase 2 yang berlangsung relatif lebih lama,
seberapa tinggi puncaknya (secara kuantitatif) akan ditentukan oleh seberapa besar kadar
glukosa darah di akhir fase 1, disamping faktor resistensi insulin. Jadi, terjadi semacam
mekanisme penyesuaian dari sekresi fase 2 terhadap kinerja fase 1 sebelumnya. Apabila
sekresi fase 1 tidak adekuat, terjadi mekanisme kompensasi dalam bentuk peningkatan
sekresi insulin pada fase 2. Peningkatan produksi insulin tersebut pada hakikatnya
dimaksudkan memenuhi kebutuhan tubuh agar kadar glukosa darah (postprandial) tetap
dalam batas batas normal. Dalam prospektif perjalanan penyakit, fase 2 sekresi insulin akan
banyak dipengaruhi oleh fase 1. Pada gambar dibawah ini ( Gb. 2 ) diperlihatkan dinamika
sekresi insulin pada keadaan normal, Toleransi Glukosa Terganggu ( Impaired Glucose
Tolerance = IGT ), dan Diabetes Mellitus Tipe 2.

Biasanya, dengan kinerja fase 1 yang normal, disertai pula oleh aksi insulin yang juga
normal di jaringan ( tanpa resistensi insulin ), sekresi fase 2 juga akan berlangsung normal.
Dengan demikian tidak dibutuhkan tambahan ( ekstra ) sintesis maupun sekresi insulin pada
fase 2 diatas normal untuk dapat mempertahankan keadaan normoglikemia. Ini adalah
keadaan fisiologis yang memang ideal karena tanpa peninggian kadar glukosa darah yang
dapat memberikan dampak glucotoxicity, juga tanpa hiperinsulinemia dengan berbagai
dampak negatifnya.

Intravenous Second
glucose
Insulin stimulation Phase
IGT
Secreti
on First-Phase

Normal

Basal

0 5 10 15 20 25 30 ( minute )

Gb.2 Dinamika sekresi Insulin setelah beban glukosa intravena pada


Aksi Insulin keadaan normal dan keadaan disfungsi sel beta ( Ward, 84)
Insulin mempunyai fungsi penting pada berbagai proses metabolisme dalam tubuh
terutama metabolisme karbohidrat. Hormon ini sangat krusial perannya dalam proses
utilisasi glukosa oleh hampir seluruh jaringan tubuh, terutama pada otot, lemak, dan hepar.

Pada jaringan perifer seperti jaringan otot dan lemak, insulin berikatan dengan sejenis
reseptor (insulin receptor substrate = IRS) yang terdapat pada membran sel tersebut. Ikatan
antara insulin dan reseptor akan menghasilkan semacam sinyal yang berguna bagi proses
regulasi atau metabolisme glukosa didalam sel otot dan lemak, meskipun mekanisme kerja
yang sesungguhnya belum begitu jelas. Setelah berikatan, transduksi sinyal berperan dalam
meningkatkan kuantitas GLUT-4 (glucose transporter-4) dan selanjutnya juga pada
mendorong penempatannya pada membran sel. Proses sintesis dan translokasi GLUT-4 inilah
yang bekerja memasukkan glukosa dari ekstra ke intrasel untuk selanjutnya mengalami
metabolism (Gb. 3). Untuk mendapatkan proses metabolisme glukosa normal, selain
diperlukan mekanisme serta dinamika sekresi yang normal, dibutuhkan pula aksi insulin yang
berlangsung normal. Rendahnya sensitivitas atau tingginya resistensi jaringan tubuh terhadap
insulin merupakan salah satu faktor etiologi terjadinya diabetes, khususnya diabetes tipe 2.

Baik atau buruknya regulasi glukosa darah tidak hanya berkaitan dengan metabolisme
glukosa di jaringan perifer, tapi juga di jaringan hepar dimana GLUT-2 berfungsi sebagai
kendaraan pengangkut glukosa melewati membrana sel kedalam sel. Dalam hal inilah
jaringan hepar ikut berperan dalam mengatur homeostasis glukosa tubuh. Peninggian kadar
glukosa darah puasa, lebih ditentukan oleh peningkatan produksi glukosa secara endogen
yang berasal dari proses glukoneogenesis dan glikogenolisis di jaringan hepar. Kedua proses
ini berlangsung secara normal pada orang sehat karena dikontrol oleh hormon insulin.
Manakala jaringan ( hepar ) resisten terhadap insulin, maka efek inhibisi hormon tersebut
terhadap mekanisme produksi glukosa endogen secara berlebihan menjadi tidak lagi optimal.
Semakin tinggi tingkat resistensi insulin, semakin rendah kemampuan inhibisinya terhadap
proses glikogenolisis dan glukoneogenesis, dan semakin tinggi tingkat produksi glukosa dari
hepar.
1. binding ke reseptor, 2. translokasi GLUT 4 ke membran sel, 3. transportasi glukosa
meningkat, 4.disosiasi insulin dari reseptor, 5. GLUT 4 kembali menjauhi membran, 6.
kembali kesuasana semula.

Gambar. 3. Mekanisme normal dari aksi insulin dalam transport glukosa di jaringan
perifer ( Girard, 1995 )

Efek Metabolisme dari Insulin

Gangguan, baik dari produksi maupun aksi insulin, menyebabkan gangguan pada
metabolisme glukosa, dengan berbagai dampak yang ditimbulkannya. Pada dasarnya ini
bermula dari hambatan dalam utilisasi glukosa yang kemudian diikuti oleh peningkatan kadar
glukosa darah. Secara klinis, gangguan tersebut dikenal sebagai gejala diabetes melitus. Pada
diabetes melitus tipe 2 (DMT2), yakni jenis diabetes yang paling sering ditemukan, gangguan
metabolisme glukosa disebabkan oleh dua faktor utama yakni tidak adekuatnya sekresi
insulin (defisiensi insulin) dan kurang sensitifnya jaringan tubuh terhadap insulin (resistensi
insulin), disertai oleh faktor lingkungan ( environment ). Sedangkan pada diabetes tipe 1
(DMT1), gangguan tersebut murni disebabkan defisiensi insulin secara absolut.

Gangguan metabolisme glukosa yang terjadi, diawali oleh kelainan pada dinamika sekresi
insulin berupa gangguan pada fase 1 sekresi insulin yang tidak sesuai kebutuhan (inadekuat).
Defisiensi insulin ini secara langsung menimbulkan dampak buruk terhadap homeostasis
glukosa darah. Yang pertama terjadi adalah hiperglikemia akut pascaprandial (HAP) yakni
peningkatan kadar glukosa darah segera (10-30 menit) setelah beban glukosa (makan atau
minum).

Kelainan berupa disfungsi sel beta dan resistensi insulin merupakan faktor etiologi yang
bersifat bawaan (genetik). Secara klinis, perjalanan penyakit ini bersifat progressif dan
cenderung melibatkan pula gangguan metabolisme lemak ataupun protein. Peningkatan kadar
glukosa darah oleh karena utilisasi yang tidak berlangsung sempurna pada gilirannya secara
klinis sering memunculkan abnormalitas dari kadar lipid darah. Untuk mendapatkan kadar
glukosa yang normal dalam darah diperlukan obat-obatan yang dapat merangsang sel beta
untuk peningkatan sekresi insulin ( insulin secretagogue ) atau bila diperlukan secara
substitusi insulin, disamping obat-obatan yang berkhasiat menurunkan resistensi insulin (
insulin sensitizer ).

Tidak adekuatnya fase 1, yang kemudian diikuti peningkatan kinerja fase 2 sekresi insulin,
pada tahap awal belum akan menimbulkan gangguan terhadap kadar glukosa darah. Secara
klinis, barulah pada tahap dekompensasi, dapat terdeteksi keadaan yang dinamakan Toleransi
Glukosa Terganggu yang disebut juga sebagai prediabetic state. Pada tahap ini mekanisme
kompensasi sudah mulai tidak adekuat lagi, tubuh mengalami defisiensi yang mungkin secara
relatif, terjadi peningkatan kadar glukosa darah postprandial. Pada toleransi glukosa
terganggu (TGT) didapatkan kadar glukosa darah postprandial, atau setelah diberi beban
larutan 75 g glukosa dengan Test Toleransi Glukosa Oral ( TTGO ), berkisar diantara 140-
200 mg/dl. Juga dinamakan sebagai prediabetes, bila kadar glukosa darah puasa antara 100 –
126 mg/dl, yang disebut juga sebagai Glukosa Darah Puasa Terganggu ( GDPT ).

Keadaan hiperglikemia yang terjadi, baik secara kronis pada tahap diabetes, atau
hiperglikemia akut postprandial yang terjadi ber-ulangkali setiap hari sejak tahap TGT,
memberi dampak buruk terhadap jaringan yang secara jangka panjang menimbulkan
komplikasi kronis dari diabetes.Tingginya kadar glukosa darah (glucotoxicity) yang diikuti
pula oleh dislipidemia (lipotoxicity) bertanggung jawab terhadap kerusakan jaringan baik
secara langsung melalui stres oksidatif, dan proses glikosilasi yang meluas.

Resistensi insulin mulai menonjol peranannya semenjak perubahan atau konversi fase TGT
menjadi DMT2. Dikatakan bahwa pada saat tersebut faktor resistensi insulin mulai dominan
sebagai penyebab hiperglikemia maupun berbagai kerusakan jaringan. Ini terlihat dari
kenyataan bahwa pada tahap awal DMT2, meskipun dengan kadar insulin serum yang cukup
tinggi, namun hiperglikemia masih dapat terjadi. Kerusakan jaringan yang terjadi, terutama
mikrovaskular, meningkat secara tajam pada tahap diabetes, sedangkan gangguan
makrovaskular telah muncul semenjak prediabetes. Semakin tingginya tingkat resistensi
insulin dapat terlihat pula dari peningkatan kadar glukosa darah puasa maupun postprandial.
Sejalan dengan itu, pada hepar semakin tinggi tingkat resistensi insulin, semakin rendah
kemampuan inhibisinya terhadap proses glikogenolisis dan glukoneogenesis, menyebabkan
semakin tinggi pula tingkat produksi glukosa dari hepar.

Jadi, dapat disimpulkan perjalanan penyakit DMT2, pada awalnya ditentukan oleh kinerja
fase 1 yang kemudian memberi dampak negatif terhadap kinerja fase 2, dan berakibat
langsung terhadap peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia). Hiperglikemia terjadi
tidak hanya disebabkan oleh gangguan sekresi insulin (defisiensi insulin), tapi pada saat
bersamaan juga oleh rendahnya respons jaringan tubuh terhadap insulin (resistensi insulin).
Gangguan atau pengaruh lingkungan seperti gaya hidup atau obesitas akan mempercepat
progresivitas perjalanan penyakit. Gangguan metabolisme glukosa akan berlanjut pada
gangguan metabolisme lemak dan protein serta proses kerusakan berbagai jaringan tubuh.
Rangkaian kelainan yang dilatarbelakangi oleh resistensi insulin, selain daripada intoleransi
terhadap glukosa beserta berbagai akibatnya, sering menimbulkan kumpulan gejala yang
dinamakan sindroma metabolik.

3. Proses biokimiawi karbohidrat, protein dan lemak

METABILISME KARBOHIDRAT

1) Glikolisis
Glycolysis is a catabolic pathway in the cytoplasm that is found in almost all
organisms—irrespective of whether they live aerobically or anaerobically. The
balance of glycolysis is simple: glucose is broken down into two molecules of
pyruvate, and in addition two molecules of ATP and two of NADH+H are formed.

a. Tissues that function under hypoxic conditions produce lactate


b. The oxidation of pyruvate to acetyl-coa is the irreversible route from
glycolysis to the citric acid cycle.
c. Glycolysis is regulated at three steps involving nonequilibrium reactions:
Hexokinase, fosfofruktokinase dan piruvat kinase.

2) Siklus Krebs’s
The citric acid cycle (the Krebs or tricarboxylic acid cycle) is a sequence of
reactions in mitochondria that oxidizes the acetyl moiety of acetyl-CoA to CO2
and reduces coenzymes that are reoxidized through the electron transport chain,
linked to the formation of ATP. Regulation of the Citric Acid Cycle Depends
primarily on a Supply of Oxidized Cofactors: NAD+, ADP, dan kecepatan
penggunaan ATP dan aktifitas fisik.
3) Rantai respirasi mitokondria
Aerobic organisms are able to capture a far greater proportion of the available free
energy of respiratory substrates than anaerobic organisms. Most of this takes place
inside mitochondria, which have been termed the “powerhouses” of the cell.
Respiration is coupled to the generation of the high-energy intermediate, ATP, by
oxidative phosphorylation (1 NADH ~ 3 ATP, 1 FADH2 ~ 2 ATP)
4) Glikogenolisis

5) Glukoneogenesis
Gluconeogenesis is the process of synthesizing glucose or glycogen from
noncarbohydrate precursors. The major substrates are the glucogenic amino acids,
lactate, glycerol, and propionate. Liver and kidney are the major gluconeogenic
tissues; the kidney may contribute up to 40% of total glucose synthesis in the
fasting state and more in starvation.

a. Kontrol
6) Lipolisis
Pada kedaan kelaparan atau puasa, triasilgliserol dihirolisis menjadi asam lemak
dan gliserol. Gliserol digunakan untuk proses gluoneogenesis sedangkan asam
lemak dioksidasi menjadi energi.

Kontrol lipolisis

A deficiency of insulin will accelerate the breakdown of the body’s fat reserves
for fuel.
Free fatty acids become the main energy substrate for all tissues except the brain.
Increased lipolysis results in the production of organic acids called ketones
(KETOGENESIS) in the liver.

The increased ketones in the blood lower the pH of blood, resulting in a form of
acidosis called KETOSIS, or ketoacidosis.
Ketones are excreted in the urine: KETONURIA.

Complication of Ketosis
Serious electrolyte losses also occur as the body rids itself of excess ketones.

Ketones are negatively charged and carry positive ions out with them.

Sodium and potassium are also lost from the body; because of the electrolyte
imbalance, the person get abdominal pains and may vomit, and the stress reaction
spirals even higher.

Can result in coma, death

Effects of insulin deficiency on metabolic use of fat

Excess fat metabolism


leads to an increase in
plasma cholesterol >>>
increased plaque
formation on the walls
of blood vessels.

Leads to atherosclerosis
& other cardiovascular
problems: cerebrovascular
insufficiency, ischemic heart
disease, peripheral vascular
disease, and gangrene.
Degenerative changes in cardiac circulation can lead to early heart attacks. Heart
attacks are 3-5 times more likely in diabetic individuals than in nondiabetic
individuals. The most common cause of death with diabetes mellitus is
myocardial infarction.

7) Siklus Cori
Lactate produced by anaerobic metabolism in skeletal muscle passes to liver,
which uses it to synthesize glucose, which can then return to muscle by the Cori
cycle.
8) Olahraga aerobik dan anaerobik
9) Indeks massa tubuh

HUBUNGAN METABOLISME KARBOHIDRAT, PROTEIN DAN LEMAK

Protein, lemak, dan karbohidrat dapat ditemukan di dalam senyawa Asetil KoA. Lalu,
asetil KoA tersebut akan masuk ke dalam siklus Krebs. Pada gambar di atas, ditunjukkan
bahwa sel menggunakan ketiga molekul tersebut---protein, lemak, dan karbohidrat---untuk
menghasilkan ATP sebagai sumber energi. Protein tidak dapat dimanfaatkan secara langsung,
tetapi dicerna terlebih dahulu menjadi asam amino. Selanjutnya, asam amino akan diubah
menjadi asam piruvat, asetil KoA oleh suatu enzim. Asam amino tersebut akan langsung
masuk ke dalam siklus Krebs. Pengubahan asam amino melalui proses deaminasi akan
menghasilkan NH3 yang bersifat racun dan akan dikeluarkan dari tubuh melalui ginjal.

Karbohidrat akan dicerna menjadi glukosa. Selanjutnya, sel tubuh akan merombak
glukosa tersebut melalui proses glikolisis dan daur asam sitrat atau Krebs untuk
menghasilkan energi. Berikut ini ringkasan metabolisme karbohidrat.
Sel tubuh juga akan mencerna lemak untuk menghasilkan energi. Sel akan
menghidrolisis lemak menjadi gliserol dan asam lemak. Kemudian, gliserol diubah menjadi
gliseraldehid–3–fosfat (G3P) dalam proses glikolisis. Lemak merupakan sumber energi
utama karena mengandung atom hidrogen terikat dalam jumlah besar. Selain itu, lemak
merupakan senyawa karbon yang paling banyak tereduksi, sehingga lebih banyak menyimpan
energi. Apabila terjadi pembakaran sempurna, maka energi yang dibebaskan akan semakin
banyak. Hal ini dikarenakan adanya pembebasan elektron yang lebih banyak.

Saat kalian mengonsumsi makanan yang mengandung banyak lemak, kalian akan cepat
merasa kenyang. Ternyata, lemak menghasilkan ATP dua kali lebih banyak daripada
karbohidrat pada berat yang sama. Oleh karena itu, manusia dan hewan menyimpan cadangan
makanan dalam bentuk lemak tubuh. Apa yang terjadi jika lemak banyak menumpuk di
dalam tubuh? Kalian akan mengalami obesitas atau kegemukan. Untuk mendapatkan berat
badan ideal, kalian dapat melakukan olahraga atau diet yang sehat.

Protein dan Karbohidrat dapat diubah Menjadi Lemak

Kalian telah mengetahui bahwa protein, lemak, dan karbohidrat dapat saling mengisi sebagai
bahan penghasil energi tubuh. Lemak dapat disintesis dari karbohidrat dan protein.

Sintesis lemak dari karbohidrat dimulai saat glukosa diuraikan menjadi asam piruvat.
Kalian telah mengetahui bahwa asam piruvat ini akan diubah menjadi asetil KoA kemudian
diubah menjadi asam lemak. Sebagian asam piruvat diubah menjadi gliserol. Nah, asam
lemak dan gliserol ini akan diubah menjadi lemak.

Begitu juga dengan sintesis lemak dari protein. Asam amino yang terbentuk akan
mengalami deaminasi. Kemudian, masuk ke dalam siklus Krebs menjadi asam piruvat,
selanjutnya akan berubah menjadi asetil koenzim A. Asetil koenzim A akan diubah menjadi
asam lemak. Beberapa jenis asam amino seperti serin, alanine, dan leusin dapat diuraikan
menjadi asam piruvat kemudian menjadi gliserol. Gliserol dan asam lemak akan membentuk
lemak.

Anda mungkin juga menyukai