Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

I. 1. Latar Belakang

Saat ini, penyakit demam berdarah dengue (DBD) menempati posisi penting
dalam deretan penyakit infeksi yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di
Indonesia. Penyakit ini ditemukan hampir di seluruh belahan dunia, terutama di negara
tropis dan subtropis, baik secara endemik maupun epidemik dengan outbreak yang
berkaitan dengan datangnya musim penghujan.
Infeksi dengue adalah penyakit akut akibat virus dengue dan merupakan salah
satu penyakit dengan vektor nyamuk (”mosquito borne disease”) yang paling penting di
seluruh dunia. Penyakit ini mempunyai spektrum klinis dari asimptomatis,
undifferentiated febrile illness, demam dengue (DD), dan demam berdarah dengue
(DBD), mencakup manifestasi paling berat, yaitu sindrom syok dengue (dengue shock
syndrome/DSS).1
Infeksi dengue merupakan masalah kesehatan besar pada lebih dari 100 negara
tropis dan subtropis di Asia Tenggara, Pasifik Barat, Amerika. Sekitar 2,5 milyar orang
di dunia berisiko mengalami demam dengue, demam berdarah dengue atau sindrom
syok dengue. Diperkirakan 50 juta kasus dengue terjadi setiap tahunnya dan 500.000 di
antaranya membutuhkan perawatan rumah sakit.2,3
Di Indonesia, pada tahun 2014 sampai pertengahan bulan Desember tercatat
penderita DBD di 34 provinsi sebanyak 71.668 orang dan 641 di antaranya meninggal
dunia. Angka tersebut lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya, yakni tahun 2013
dengan jumlah penderita sebanyak 112.511 orang dan jumlah kasus meninggal
sebanyak 871 penderita.4
Menurut data Direktorat Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonosis
Kementerian Kesehatan menyebutkan bahwa hingga akhir Januari 2016, kejadian luar
biasa (KLB) demam berdarah dengue (DBD) terjadi di 11 kabupaten/kota di 7 provinsi
Indonesia, antara lain: (1) Kab. Tangerang, Prov. Banten; (2) Kota Lubuklinggau, Prov.
Sumatera Selatan; (3) Kota Bengkulu, Prov. Bengkulu; (4) Kota Denpasar dan Kab.
Gianyar, Prov. Bali; (5) Kab. Bulukumba, Pangkep, Luwu Utara, Wajo, Prov. Sulawesi
Selatan; (6) Kab. Gorontalo, Prov. Gorontalo; (7) Kab. Kaimana, Prov. Papua Barat; (8)

1
Kab. Mappi, Prov. Papua Barat; (9) Kab. Sikka, Prov. NTT; (10) Kab. Banyumas, Prov.
Jawa Tengah; (11) Kab. Majene, Prov. Sulawesi Barat.5
Kementerian Kesehatan RI mencatat jumlah penderita DBD di Indonesia pada
bulan Januari-Februari 2016 sebanyak 8.487 kasus dengan jumlah kematian 108 orang.
Golongan usia terbanyak adalah 5-14 tahun (43,44%) dan 15-44 tahun (33,25%). Di
Sulawesi Selatan sendiri, berdasarkan data Dinas Provinsi Sulawesi Selatan, hingga
akhir Desember 2017, jumlah penderita DBD mencapai 1.657 orang. Angka ini
terhitung mengalami peningkatan dari jumlah kasus pada periode yang sama tahun
lalu.5
Untuk Kelurahan Lakessi, Ujung Baru, Ujung Lare, dan Kp. Pisangyang
merupakan cakupan wilayah kerja Puskesmas Lakessi,belum bisa dikatakan bebas dari
penyakit DBD. Selama periode Januari-Juli 2018 terdapat 11 pasien yang dicurigai
menderita DBD.6,7
Secara umum, tingginya angka kejadian DBD di suatu wilayah dapat disebabkan
oleh berbagai faktor, antara lain: (1) lingkungan yang masih kondusif untuk terjadinya
tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes; (2) pemahaman masyarakat yang masih
terbatas mengenai pentingnya PSN; (3) perluasan daerah endemik akibat perubahan dan
manipulasi lingkungan yang terjadi akibat urbanisasi; (4) meningkatnya mobilitas
penduduk.5Dari keempat faktor tersebut, lingkungan dan masyarakat teridentifikasi
menjadi faktor yang mendasari masih tingginya kasus DBD di wilayah Kelurahan
Lakessi.Lingkungan masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Lakessi yang banyak
memiliki pot tanaman, kolam ikan, dan tempat pengumpulan barang bekas menjadi
faktor risiko untuk terjadinya tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti.
Tingkat pengetahuan dan pemahaman masyarakat di wilayah kerja Lakessi yang masih
terbatas tentang penyakit DBD dan pentingnya Pemberantasan Sarang Nyamuk(PSN)
juga menjadi faktor terpenting untuk risiko terjadinya kasus DBD. Misalnya, sebagian
besar masyarakat masih banyak yang jarang menutup tempat penampungan airnya,
menguras bak mandi, membuang air penampungan dispenser ataupun membiarkan
genangan air yang ada pada pot tanaman atau barang bekas di luar rumah mereka.
Sehingga, tidak heran apabila banyak ditemukan jentik nyamuk Aedes aegypti di
wilayah di wilayah kerja Lakessi. Sedangkan untuk masyarakat sendiri, sebagian besar
tidak mengetahui cara abatisasi yang baik dan benar.
Kesadaran dan pengetahuan masyarakat sangat penting untuk menunjang
keberhasilan PSN. Oleh karena itu, masyarakat perlu diberikan edukasi agar dapat

2
mempunyai informasi yang akurat mengenai DBD dan lebih waspada terhadap bahaya
DBD dan pentingnya PSN yang merupakan upaya termurah dalam pemberantasan
DBD. Atas dasar hal tersebut penyusun merasa perlu untuk mengangkat topik
miniproject penyuluhan kesehatan sebagai upaya peningkatan pengetahuan masyarakat
mengenai DBD.
Melihat banyaknya kasus DBD di wilayah kerja Puskemas Lakessi,maka perlu
ditinjau tingkat pengetahuan masyarakat tentang penyakit DBD dan pentingnya
Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dengan melakukan pembagian kuisioner.Atas
dasar inilah penulis tertarik untuk melakukan Mini Project mengenai “Upaya
Peningkatan Pengetahuan Mayarakat Tentang Penyakit Demam Berdarah Dengue
(DBD) Di Wilayah Kerja Puskesmas Lakessi, Kecamatan Soreang, Kota Parepare”.

I. 2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan
beberapa permasalahan sebagai berikut:
1. Saat ini, penyakit demam berdarah dengue (DBD) menempati posisi penting dalam
deretan penyakit infeksi yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di
Indonesia.
2. Pada bulan Januari 2018-Juli 2018 tercatat sebanyak 11 kasus yang dicurigai DBD
di wilayah kerja Puskesmas Lakessi, Kota Parepare.
3. Lingkungan dan tingkat pengetahuan masyarakat menjadi faktor yang mendasari
tingginya kasus DBD di wilayah Kerja Puskesmas Lakessi.

I. 3. Tujuan Penelitian
I.3.1. Tujuan Umum
Mencegah meningkatnya angka kejadian penyakit DBD di wilayah kerja
Puskesmas Lakessi.

I.3.2. Tujuan Khusus


1. Mengetahui masalah utama tingginya angka kejadian penyakit DBD di
wilayah kerja Puskesmas Lakessi
2. Mengetahui tingkat pengetahuan, sikap, dan perilaku masyarakat yang
berkaitan dengan tingginya angka kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas
Lakessi

3
3. Mengetahui apakah terdapat peningkatan pengetahuan, sikap, dan perilaku
masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Lakessisetelah dilakukannya
penyuluhan
4. Memenuhi syarat pelaksanaan Mini Project dalam Program Internsip Dokter
Indonesia.

I. 4. Manfaat Penelitian
Dalam penelitian ini diharapkan hasilnya dapat berguna bagi masyarakatdi
wilayah kerja Puskesmas Lakessi, institusi, dan penulis yaitu:
1. Bagi dan masyarakat Kelurahan Lakessi
 Meningkatkan pengetahuan masyarakat Kelurahan Lakessi mengenai penyakit
DBDdan program Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN)
 Meningkatkan kesadaran masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Lakessiakan
pentingnya program Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) sehingga mereka
akan turut serta menyukseskan program tersebut yang diharapkan dapat
menurunkan angka kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Lakessi.
2. Bagi institusi (Puskesmas Kelurahan Lakessi)
 Mendukung pelaksanaan program promosi kesehatan DBD
 Membantu memberikan penyegaran pengetahuan mengenai penyakit DBD dan
Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) kepada masyarakat.
3. Bagi penulis
 Menjadi pengalaman berharga dalam mengaplikasikan ilmu yang telah diperoleh
 Mengetahui permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat di wilayah kerja
Puskesmas Lakessidalam pelaksanaan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) di
lapangan
 Membantu pihak Puskesmas Lakessi dalam upaya peningkatan pengetahuan
masyarakat di wilayah kerjanya mengenai PSN dan turut serta di dalamnya
 Sebagai pemenuhan syarat dalam Program Internsip Dokter Indonesia.

I. 5. Ruang Lingkup Penelitian


I. 5. 1. Ruang Lingkup Tempat
Ruang lingkup tempat pada penelitian ini adalah di PuskesmasKelurahan
Lakessi, Kecamatan Soreang.

4
I. 5. 2. Ruang Lingkup Waktu
Ruang lingkup waktu pada penelitian ini adalah mulai bulan Januari
2018sampai Juli 2018.

5
BAB II
PROFIL PUSKESMAS LAKESSI

II. 1. LATAR BELAKANG

Puskesmas adalah Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesehatan/Kota yang


bertanggungjawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja.
Puskesmas sebagai sarana pelayanan kesehatan tingkat pertama atau terdepan mengemban
tugas meningkatkan status kesehatan masyarakat di wilayah kerjanya.
Puskesmas Perawatan Lakessi berdiri sejak tahun 1984 dan rehabiltasi terakhir pada
tahun 2012. seiring dengan berjalannya waktu Puskesmas Lakessi saat ini bangunannya
sudah semakin luas dan terdiri dari 2 Tingkat . Di wilayah Puskesmas Lakessi hanya
terdapat 1 Puskesmas Pembantu yaitu Puskesmas Pembantu Gotong Royong.

II. 2.MOTTO, VISI DAN MISI PUSKESMAS PERAWATAN LAKESSI

MOTTO

PedUli Sehat dan KomitmEn Selalu MelAkSanakan


Layanan Kesehatan dengan Senyum, Sapa dan IkhlaS

VISI

Terwujudkan masyarakat sehat yang mandiri.

MISI

 Meningkatkan pemanfaatan sumber daya masyarakat untuk pelayanan kesehatan


masyarakat.
 Meningkatkan pemerataan pelayanan kesehatan masyarakat yang adil, bermutu dan
terjangkau.
 Menjalin kemitraan dengan sektor terkait untuk mewujudkan perilaku yang sehat dalam
lingkungan yang sehat.

II. 3. TUJUAN

Tujuan pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh Puskesmas Perawatan


Lakessi adalah mendukung tercapainya tujuan pembangunan kesehatan nasional yakni
meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang yang

6
bertempat tinggal di wilayah kerja Puskesmas agar terwujud derajat kesehatan yang
setinggi-tingginya dalam rangka mewujudkan Indonesia Sehat.

II. 4. FUNGSI PUSKESMAS

1. Pusat penggerak pembangunan kesehatan berwawasan kesehatan

2. Pusat pemberdayaan masyarakat

3. Pusat pelayanan kesehatan tingkat pertama ;

a. Pelayanan kesehatan perorangan

b. Pelayanan Kesehatan masyarakat

II. 5. GAMBARAN UMUM

II. 5. 1. KEADAAN GEOGRAFI


Puskesmas Perawatan Lakessi terletak di wilayah Kecamatan Soreang Kota
Parepare. Terletak pada ketinggian 1 m – 700 m dpL, dengan suhu rata-rata 28,2o C dan
kelembaban 83 %. Adapun ruang lingkup kerjanya terdiri dari 4 (empat) kelurahan dengan
batas-batas sebagai berikut :
* Batas Utara : Teluk Pare
* Batas Barat : Kelurahan Ujung Sabbang
* Batas Timur : Kelurahan Bukit Indah
* Batas Selatan : Kelurahan Ujung Bulu
Dengan luas wilayah kerja 0,93 km2 yang terdiri dari 4 kelurahan.

TABEL 5.1
LUAS WILAYAH DAN JUMLAH RW/RT PADA KELURAHANDI WILAYAH KERJA
PUSKESMAS PERAWATAN LAKESSI,TAHUN 2012
LUAS
NO. KELURAHAN JUMLAH RW JUMLAH RT WILAYAH

1. Lakessi 5 16 0,15 km2

2. Ujung Baru 9 18 0,48 km2

7
3. Ujung Lare 5 16 0,18 km2

4. Kampung Pisang 6 20 0,12 km2

JUMLAH 25 70 0,93 km2

Sumber : Data Dasar Puskesmas Perawatan Lakessi 2012

II. 5. 2. KEADAAN TOPOGRAFI

Secara Geologis wilayah Puskesmas Lakessi merupakan dataran tinggi dan dataran
rendah yang masih terkadang terjadi banjir bila terjadi hujan lebat.

II. 5. 3. KEADAAN DEMOGRAFI


Jumlah Kepala Keluarga (KK), Jumlah rumah dan penduduk pada lingkup kerja
Puskesmas Perawatan Lakessi dapat dilihat pada tabel berikut

II. 5. 4. KEADAAN SUMBER DAYA

Ketenagaan di Puskesmas Lakessi saat ini berjumlah 67 orang yang berasal dari latar
pendidikan mulai dari SD s/d S1 terdiri dari dokter umum, dokter gig, administrasi
kesehatan, perawat, perawat gigi, bidan, ahli gizi, sanitarian, fisoterapi, analis kesehatan,
asisten apoteker dan apoteker, petugas loket, driver, Cleaning service dan Petugas Dapur.

8
BAB III
DEMAM BERDARAH DENGUE

III. 1. Definisi

Demam Dengue dan Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Hemorrhagic
Fever (DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus Dengue dengan
manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang disertai leukopenia,
ruam, limfadenopati, trombositopenia, dan diastasis hemoragik.8

III. 2. Epidemiologi

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) sering terjadi di Amerika, Eropa,


Australia, dan Asia hingga awal abad 20. Sekarang ini, DBD menjadi endemis di Asia,
Kepulauan di Asia Pasifik, Australia bagian utara, Afrika, Karibia, Amerika selatan,dan
Amerika tengah. Demam Berdarah Dengue (DBD) sering terjadi pada orang yang
bepergian ke daerah ini.9

Gambar 3.1. Distribusi Dengue di Dunia. CDC 2009.


Keterangan:
Biru: area infestasi Aedes aegypti.
Merah : area infestasi Aedes aegyptidan endemic dengue

9
Tabel 3.1. Jumlah Kasus dan Angka Kematian DBD di Indonesia, Tahun 2008-2012
Tahun Jumlah Kasus Angka Kematian (%)
2008 137.000 0,86
2009 154.000 0,89
2010 156.000 0,87
2011 65.000 0,80
2012 90.245 0,88

Pada tahun 2003, delapan negara (Bangladesh, India, Indonesia, Maladewa,


Myanmar, Sri Lanka, Thailand, dan Timor Leste) melaporkan adanya kasus dengue.
Epidemic dengue adalah masalah kesehatan masyarakat utama di Indonesia, Myanmar,
Sri Lanka, Thailand dan Timor Leste yang beriklim tropis dan berada di daerah ekuator
dimana Aedes aegypti berkembang biak baik di daerah perkotaan maupun pedesaan. Di
Negara ini dengue merupakan penyebab rawat inap dan kematian tertinggi pada anak-
anak.9
Case Fatality Rate yang dilaporkan adalah 1%, tetapi di India, Indonesia dan
Myanmar, telah dilaporkan adanya outbreak lokal di daerah perkotaan dengan laporan
Case Fatality Rate sebesar 3-5%. Di Indonesia, dengan 35% populasi yang bertempat
tinggal di daerah perkotaan, 150.000 kasus dilaporkan pada tahun 2007 (kasus tertinggi
diantara semua negara) dengan lebih dari 25.000 kasus dilaporkan berasal dari Jakarta
dan Jawa Barat dengan Case Fatality Rate sebesar 1%.9
Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan dan penyebaran kasus DBD
sangat kompleks, yaitu: (1) Pertumbuhan penduduk yang tinggi, (2) Urbanisasi yang
tidak terencana dan tidak terkendali, (3) Tidak adanya kontrol vektor nyamuk yang
efektif di daerah endemis, dan (4) Peningkatan sarana transportasi.9
Morbiditas dan mortalitas infeksi virus dengue dipengaruhi berbagai faktor antara
lain status imunitas pejamu, kepadatan vektor nyamuk, transmisi virus dengue,
keganasan (virulensi) virus dengue, dan kondisi geografis setempat. Dalam kurun
waktu 30 tahun sejak ditemukan virus dengue di Surabaya dan Jakarta, baik dalam
jumlah penderita maupun daerah penyebaran penyakit terjadi peningkatan yang pesat.
Sampai saat ini DBD telah ditemukan di seluruh propinsi di Indonesia, dan 200 kota
telah melaporkan adanya kejadian luar biasa. Incidence rate meningkat dari 0,005 per
100,000 penduduk pada tahun 1968 menjadi berkisar antara 6-27 per 100,000

10
penduduk. Pola berjangkit infeksi virus dengue dipengaruhi oleh iklim dan kelembaban
udara. Pada suhu yang panas (28-32°C) dengan kelembaban yang tinggi, nyamuk
Aedes akan tetap bertahan hidup untuk jangka waktu lama. Di Indonesia, karena suhu
udara dan kelembaban tidak sama di setiap tempat, maka pola waktu terjadinya
penyakit agak berbeda untuk setiap tempat. Di Jawa pada umumnya infeksi virus
dengue terjadi mulai awal Januari, meningkat terus sehingga kasus terbanyak terdapat
pada sekitar bulan April-Mei setiap tahun.

III. 3. Etiologi dan Transmisi Dengue

Virus dengue termasuk ke dalam genus Flavivirus dan famili Flaviviridae. Virus
ini berukuran 50 nm dan tersusun atas single-strand RNA sebagai genom. Virion terdiri
atas nukleokapsid dengan kapsul lipoprotein. Virus dengue tersusun atas 3 struktur
protein gen, yaitu nucleocaprid atau core protein (C), membrane-associated protein
(M), envelope protein (E), dan 7 gen protein nonstruktural (NS). Di antara protein-
protein nonstruktural yang menyusun virus, envelope glycoprotein, NS1, adalah
penanda penting untuk diagnostik. Protein ini berukuran 45 kDa dan berkaitan dengan
hemaglutinasi virus dan aktivitas netralisasi. 1,2
Aedes (Stegomyia) aegypti (Ae. aegypti) dan Aedes (Stegomyia) albopictus (Ae.
albopictus) adalah vektor yang berperan dalam transmisi dengue. Supaya transmisi
dapat terjadi, Aedes aegypti betina harus menggigit manusia terinfeksi dalam fase
viremik, yang bermanifestasi 2 hari sebelum onset demam dan berakhir 4-5 hari setelah
onset demam. Kemudian virus bereplikasi di sel epitel midgut dan bermigrasi ke
kelenjar ludah nyamuk hingga akhirnya dapat menyebabkan infeksi ketika nyamuk
menggigit orang lain. 1,2
Penyebaran dengue umumnya terjadi pada musim hujan ketika temperatur dan
kelembapan udara konduktif untuk perkembangbiakan vektor dan ketahanan hidup
nyamuk.

III. 4.Manifestasi Klinis dan Perjalanan Penyakit

Spektrum klinis dengue dapat dibagi menjadi (1) gejala klinis paling ringan tanpa
gejala (silent dengue infection), (2) demam dengue, (3) demam berdarah dengue, (4)
demam berdarah dengue disertai syok (dengue shock syndrome)

11
Fase Febris2
Masa sakit pasien umumnya diawali dengan demam tinggi mendadak. Fase akut
ini berlangsung selama 2-7 hari dan disertai flushing pada wajah, eritema, myalgia,
arthralgia, dan sakit kepala. Beberapa pasien mengeluhkan radang tenggorokan, injeksi
konjungtiva, anoreksia, pusing, dan muntah. Pada fase awal ini, seringkali sulit
membedakan dengue dengan infeksi penyebab demam lainnya. Hasil positif pada
pemeriksaan tourniquet meningkatkan posibilitas dengue. Pemantauan adanya warning
sign atau parameter klinis lainnya penting dilakukan untuk mengetahui progres menuju
fase kritis.
Manifestasi perdarahan seperti petechiae dan perdarahan mukosa (hidung dan
gusi) dapat dialami. Perdarahan vagina (wanita usia produktif) dan perdarahan saluran
cerna dapat pula terjadi, namun tidak umum. Hepar seringkali membesar beberapa hari
setelah onset demam. Abnormalitas awal pada pemeriksaan darah adalah penurunan
progresif dari total leukosit.

Fase Kritis2
Turunnya suhu tubuh hingga lebih rendah atau sama dengan 37.5-38 dan menetap
di bawah batas ini (umumnya pada hari ke-3 hingga 7 penyakit) dengan adanya tanda
peningkatan permeabilitas kapiler dan peningkatan hematokrit, menandakan
dimulainya fase kritis. Periode klinis kebocoran plasma berlangsung selama 24-48 jam.
Leukopenia progresif dan penurunan kadar trombosit umumnya mendahului kebocoran
plasma. Derajat kebocoran plasma bervariasi (misal efusi pleura dan asites) sehingga
pemeriksaan foto toraks dan USG dapat digunakan untuk mendukung diagnosis.
Peningkatan hematokrit di atas nilai normal seringkali merefleksikan keparahan
kebocoran plasma.
Syok terjadi jika sejumlah besar plasma keluar melalui kebocoran yang terjadi;
yang diawali dengan warning signs. Hipoperfusi organ pada syok berkepanjangan
dapat menyebabkan gangguan organ progresif, asidosis metabolik, dan DIC; yang
mengakibatkan perdarahan dan menurunnya kadar hematokrit pada syok berat.
Gangguan organ berat seperti hepatitis, ensefaliti, atau myokarditis dan/atau perdarahan
berat dapat terjadi tanpa tanda yang jelas dari kebocoran plasma.

12
Fase Penyembuhan2
Jika pasien bertahan selama 24-48 jam fase kritis, reabsorpsi gradual dari cairan
ekstravaskular akibat kebocoran plasma akan terjadi pada 48-72 jam selanjutnya.
Keadaan umum membaik, nafsu makan kembali, keluhan gastrointestinal tidak
dirasakan lagi, status hemodinamik stabil, dan diuresis kembali normal. Kadar
hematokrit stabil kembali atau lebih rendah akibat efek dilusi dari cairan yang
direabsorpsi. Leukosit umumnya mulai meningkat segera setelah fase kritis berakhir,
lebih cepat daripada kembalinya kadar platelet. Respiratory distress akibat efusi pleura
masif dan asites dapat terjadi sewaktu-waktu jika rehidrasi cairan intravena diberikan
secara berlebihan.

Gambar3.2. Perjalanan penyakit dengue

III. 5. Klasifikasi Grading Dengue


Tabel 3.2. Grading DBD
DD/DBD Grade Tanda & Gejala Laboratorium
DD Demam dengan 2 gejala penyerta:
 Sakit kepala  Leukopenia ≤ 5.000
 Nyeri retroorbita  Trombositopenia <
 Myalgia 150.000
 Arthralgia/nyeri tulang  Peningkatan Ht (5-
 Ruam 10%)
 Manifestasi perdarahan  Tidak ada tanda
 Tidak ada tanda bocor plasma hilangnya plasma

13
DBD I Demam dan manifestasi  Trombositopenia <
perdarahan (tes tourniquet positif) 100.000
dan adanya tanda-tanda bocor  Peningkatan Ht ≥ 20%
plasma
DBD II Grade I ditambah adanya  Trombositopenia <
perdarahan spontan 100.000
 Peningkatan Ht ≥ 20%

DBD* III Grade I atau II ditambah adanya  Trombositopenia <


kegagalan sirkulasi (pulsasi lemah, 100.000
selisih sistole dan diastole sempit  Peningkatan Ht ≥ 20%
(≤ 20 mmHg), hipotensi, gelisah)
DBD* IV Grade III ditambah syok berat  Trombositopenia <
dengan tekanan darah dan pulsasi 100.000
yang tidak teraba  Peningkatan Ht ≥ 20%

III. 6. Diagnosis

Berdasarkan kriteria WHO, diagnosis demam berdarah dengue dapat ditegakkan


dengan 2 kriteria klinis ditambah 1 dari kriteria laboratorium (atau hanya peningkatan
hematokrit).
Kriteria klinis antara lain:
1. Demam tinggi mendadak tanpa sebab jelas terus-menerus selama 2-7 hari
2. Terdapat manifestasi perdarahan yang ditandai dengan uji bendung positif,
ptekie/ekimosis/purpura, perdarahan mukosa, hematemesis dan/atau melena
3. Pembesaran hati
4. Syok, ditandai dengan nadi cepat dan lemah, penyempitan tekanan nadi kurang dari
sama dengan 20 mmHg, hipotensi, akral dingin dan lembab, CRT >2 detik

Kriteria laboratorium antara lain:


1. Trombositopenia
2. Kebocoran plasma akibat peningkatan permeabilitas vaskular dengan manifestasi:
(a) peningkatan Ht ≥ 20% dari nilai standar; (2) penurunan Ht ≥ 20% setelah terapi
cairan; (c) efusi pleura/perikardial, asites.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk diagnosis dengue antara lain: 2
 Isolasi virus – serotipik/genotipik
 Deteksi asam nukleat virus

14
 Deteksi antigen virus
 Tes respon imun – IgM dan IgG
 Analisis parameter hematologi

Durasi viremia pada pasien dengue singkat, umumnya dimulai dari 2-3 hari
sebelum onset demam dan berakhir selama 4-7 hari masa sakit. Pada periode ini, asam
nukleat dan antigen virus dapat dideteksi dalam sirkulasi darah.
Respon antibodi terhadap infeksi beberapa jenis imunoglobulin (IgM dan IgG)
terhadap infeksi dapat digunakan sebagai alat diagnosis dengue. IgM mulai dapat
dideteksi pada hari ke-3 sampai 5 setelah onset penyakit, meningkat cepat dalam waktu
2 minggu dan menurun hingga tidak terdeteksi kembali setelah 2-3 bulan. IgG dapat
dideteksi dengan kadar rendah pada satu minggu pertama penyakit, meningkat perlahan
dan bertahan dalam jangka waktu lebih lama (beberapa tahun). 1,2
Pada infeksi sekunder (ketika pasien sebelumnya pernah hterinfeksi virus
dengue), titer antibodi meningkat secara cepat. IgG terdeteksi dengan kadar tinggi,
walaupun masih dalam fase inisial, dan bertahan hingga beberapa bulan sampai seumur
hidup. Kadar IgM lebih rendah secara signifikan pada kasus infeksi sekunder. Oleh
karena itu, rasio IgM/IgG umum digunakan untuk mendiferensiasi infeksi dengue
primer dan sekunder. Kadar trombosit dan hematokrit juga dievaluasi selama masa
sakit. 1,2

III. 7. Tatalaksana

Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat simtomatis dan suportif, yaitu mengatasi
kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dan sebagai
akibat perdarahan. Pasien bermanifestasi ringan dapat berobat jalan sedangkan pasien
dengan tanda bahaya dirawat. Tetapi pada kasus DBD dengan komplikasi diperlukan
perawatan intensif. Diagnosis dini dan memberikan nasehat untuk segera dirawat bila
terdapat tanda bahaya, merupakan hal yang penting untuk mengurangi angka kematian.

III. 8. Pencegahan Dengue

Upaya pencegahan DBD dapat dilakukan dengan cara 4M Plus, yaitu:


1. Menguras. Menguras wadah air seperti bak mandi, tempayan, ember, vas bunga,
tempat minum burung, penampung air kulkas, agar telur dan jentik mati.

15
2. Menutup. Menutup rapat semua wadah air yang tidak memungkinkan untuk dikuras
agar nyamuk tidak dapat masuk dan bertelur.
3. Mengubur. Mengubur atau memusnahkan semua barang bekas yang dapat
menampung air hujan seperti ban bekas, kaleng bekas, atau pecahan botol agar tidak
menjadi sarang dan tempat bertelur nyamuk.
4. Memantau. Memantau semua wadah air yang dapat menjadi tempat nyamuk
berkembang biak, difasilitasi dengan program pemberantasan sarang nyamuk (PSN).
Plus upaya lain seperti himbauan memelihara ikan, jangan menggantung baju,
menghindari gigitan nyamuk dengan cara menggunakan lotion anti nyamuk atau
menggunakan kelambu, dan membubuhkan abate pada penampungan air. Kegiatan 4M
Plus dilakukan satu minggu sekali.

III. 9. Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil dari proses mencari tahu, dan hal ini terjadi setelah
orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan atau
kognitif merupakan hal yang sangat penting dalam mempengaruhi perilaku
seseorang.10
A. Proses Adopsi Perilaku 10
Berdasarkan pengalaman dan penelitian yang telah dilakukan terbukti
bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih bertahan lama dari
pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Berdasarkan penelitian yang
telah dilakukan oleh Roger (1974) didapatkan bahwa sebelum orang mengadopsi
perilaku baru (berperilaku baru), didalam diri orang tersebut terjadi akan terjadi
proses yang berurutan, yaitu sebagai berikut:
1) Awareness (kesadaran)
Adalah proses dimana orang tersebut akan menyadari atau mengetahui
stimulus(objek) terlebih dahulu.
2) Interest
Adalah proses dimana orang mulai tertarik kepada stimulus (objek).
3) Evaluation
Adalah proses dimana seseorang akan menimbang-nimbang baik dan tidaknya
stimulus tersebut bagi dirinya). Proses ini menunjukkan sikap responden
sudah menjadi lebih baik lagi.

16
4) Trial
Adalah proses dimana orang sudah mulai mencoba perilaku yang baru.
5) Adoption
Adalah proses dimana subjek (orang) telah berperilaku baru sama seperti
pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.
Walaupun seperti itu, pada penelitian yang Roger lakukan berikutnya dapat
didapatkan bahwa perubahan perilaku tidak selalu melewati tahap-tahap seperti
diatas.
B. Tingkat Pengetahuan dalam Domain Kognitif 10
Menurut pengetahuan yang termasuk dalam domain kognitif mempunyai 6
tingkat yaitu:
1) Tahu (know)
Tahu bisa diartikan sebagai mengingat sesuatu hal atau materi yang telah
dipelajari sebelumnya. Mengingat kembali sesuatu yang spesifik dari seluruh
bahan yang sudah dipelajari atau dirangsang yang sudah diterima (recall)
termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini. Oleh sebab itu tahu yang
dimaksud dalam hal ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah.
2) Memahami (Comprehension)
Sesuatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang
diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar bisa
diartikan sebagai memahami. Seseorang yang sudah paham terhadap objek
atau materi harus bisa menjelaskan dan menyebutkan contoh, membuat
kesimpulan, membuat perkiraan, dan sebagainya terhadap objek yang
dipelajari.
3) Aplikasi (Aplication)
Kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada
situasi atau kondisi sebenarnya bisa diartikan sebagai suatu bentuk aplikasi.
4) Analisis (Analysis)
Sesuatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau sesuatu objek ke
dalam sesuatu komponen–komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur
organisasi namun masih ada kaitannya satu sama lain bisa diartikan sebagai
analisa. Kemampuan ini dapat dilihat dengan penggunaan kata kerja seperti
dapat menggambarkan, membedakan, memisahkan, mengelompokkan dan lain
sebagainnya. .

17
5) Sintesis (Synthesis)
Kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian–bagian di
dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru menunjukan makna sintesis..
Sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari
formulasi-formulasi yang ada. .
6) Evaluasi (Evaluation)
Kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu
materi atau objek berkaitan dengan evaluai. Penilaian didasarkan pada suatu
kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah
ada.
Menurut Notoatmojo (2007) seseorang harus tahu terlebih dahulu apa arti atau
manfaat perilaku tersebut bagi dirinya atau keluarganya. Indikator-indikator yang
dapat digunakan untuk mengetahui tingkat pengetahuan atau kesadaran terhadap
kesehatan, dapat dikelompokkan menjadi 3 yaitu: 10
a. Pengetahuan tentang sakit dan penyakit, mencakup:
- penyebab penyakit
- gejala atau tanda-tanda penyakit
- bagaimana cara pengobatan, atau kemana mencari pengobatan
- bagaimana cara penularannnya
- bagaimana cara pencegahannnya termasuk imunisasi, dan sebagainya.
b. Pengetahuan tentang cara pemeliharaan kesehatan dan cara hidup sehat,
mencakup:
- jenis-jenis makanan yang bergizi
- manfaat makanan yang bergizi bagi kesehatan
- pentingnya olah raga bagi kesehatan
- penyakit-penyakit atau bahaya merokok, minuman keras, dan sebagainya
- pentingnya istirahat cukup, relaksasi, rekreasi, dan sebagainya.
c. Pengetahuan tentang kesehatan lingkungan
- manfaat air bersih
- cara-cara membuang limbah yang sehat, termasuk kotoran dan sampah
- akibat polusi bagi kesehatan dan sebagainya.

III. 10. Sikap

18
Sikap adalah keadaan mental dan saraf dari kesiapan yang diatur melalui
pengalaman yang memberikan pengaruh dinamik atau terarah terhadap respon
individu pada semua objek dan situasi yang berkaitan dengannya. 11
Menurut Notoatmodjo (2003) sikap terdiri dari berbagai tingkatan yakni: 10
a. Menerima (receiving)
 Menerima diartikan bahwa orang (subyek) mau dan memperhatikan stimulus
yang diberikan (obyek).
b. Merespon (responding)
 Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas
yang diberikan adalah suatu indikasi sikap karena dengan suatu usaha untuk
menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan. Lepas
pekerjaan itu benar atau salah adalah berarti orang menerima ide tersebut.
c. Menghargai (valuing)
 Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang
lain terhadap suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga, misal nya
seorang mengajak ibu yang lain tetangga, saudaranya, dsb) untuk
menimbang anaknya ke posyandu atau mendiskusikan tentang gizi adalah
suatu bukti bahwa si ibu telah mempunyai sikap yang paling tinggi. Misalnya
seorang ibu mau menjadi akseptor KB, meskipun mendapatkan tantangan
dari mertua atau orang tuanya sendiri.
d. Bertanggung jawab (responsible)
 Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala
resiko.

III. 11. Perilaku

Definisi perilaku menurut skinner (1938) yang dikutip Notoadmojo (2007)


adalah hasil hubungan antara rangsangan (stimulus) dan tanggapan (respon).
Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus ini,maka perilaku dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu: 10
A. Perilaku tertutup (Covert Behavior)10
Merupakan bentuk respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk
terselubung atau tertutup (Covert). Respon ataupun reaksi terhadap stimulus ini
hanya terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan atau kesadaran, serta sikap

19
yang terjadi pada seseorang yang menerima stimulus tersebut, sehingga belum
dapat diamati dengan jelas oleh orang lain.
B. Perilaku terbuka (Overt Behavior)10
Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata ataupun
terbuka. Respon dalam stimulus tersebut telah jelas terlihat dalam bentuk
tindakan ataupun praktik, sehingga dapat dengan mudah diamati atau dilihat
oleh orang lain.

III. 12. Hubungan Antara Pengetahuan Dan Perilaku

Menurut bloom status kesehatan dipengaruhi oleh 4 komponen, yaitu


perilaku, lingkungan, pelayanan kesehatan dan genetik. Diantara keempat
komponen ini, berdasarkan penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat, perilaku
adalah faktor utama dalam mempengaruhi status kesehatan, menurut Lawrence
green yang dikutip oleh Syarifudin (2009) dan Suparyanto (2012) menjelaskan
bahwa perilaku dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu : 10
a. Faktor Predisposisi (Predisposing Factor)10
Merupakan faktor internal yang ada pada diri individu, keluarga,
kelompok, atau masyarakat yang mempermudah individu untuk berperilaku
seperti pengetahuan, sikap, nilai, persepsi, dan keyakinan.
b. Faktor Pemungkin (Enabling Factor)10
Merupakan faktor yang memungkinkan individu berperilaku karena
tersedianya sumberdaya,keterjangkauan,rujukan dan ketrampilan.
c. Faktor Penguat (Reinforcement Factors)10
Merupakan faktor yang menguatkan perilaku seperti, sikap dan
ketrampilan petugas kesehatan, teman sebaya, dan orang tua. 10
Menurut Notoatmodjo (2007) Terdapat faktor-faktor yang dapat
membedakan respons terhadap stimulus yang berbeda disebut determinan perilaku.
Determinan perilaku ini dapat dibedakan menjadi dua, yakni: 10
1) Determinan atau faktor internal
Merupakan karakteristik orang tersebut yang bersifat bawaan, contohnya:
tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin, dan sebagainya.
2) Determinan atau faktor eksternal

20
Merupakan lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi,
politik, dan sebagainya. Faktor lingkungan ini sering sebagai faktor yang
dominan yang mewarnai perilaku seseorang. 10

Pengetahuan merupakan faktor predisposisi terhadap perubahan perilaku


yang mengarahkan pada peningkatan status kesehatan, termasuk perilaku itu dalam
menangani dan merawat, selain faktor yang lain untuk mencapai penanganan dan
perawatan secara optimal dan untuk mengoptimalkan pengetahuan individu
diperlukan pendidikan kesehatan melalui komunikasi ataupun dinamika
kelompok.10

III. 13. Kerangka Konsep

Usia Jenis Kelamin Tingkat Pendidikan

Tingkat Pengetahuan Jumantik mengenai DBD


(pretest)

Penyuluhan Kesehatan mengenai DBD

Tingkat Pengetahuan Jumantik mengenai DBD


(posttest)

21
BAB IV
METODE DAN LANGKAH

IV.1. Desain

Penelitian ini menggunakan desain pre-post study dengan intervensi berupa


penyuluhan kesehatan mengenai demam berdarah dengue (DBD).

IV. 2. Populasi dan Sampel


IV. 2. 1. Populasi
Populasi pada miniproject ini adalah warga di wilayah kerja Puskesmas
Lakessi

IV. 2. 2. Sampel

Sampel dipilih dengan metode simple random sampling, yaitu warga yang
pengunjung Puskesmas Lakeesi yang dipilih acak. Jumlah sampel pada hari
intervensi berjumlah 20 orang

IV. 3. Tempat dan Waktu


IV. 3. 1. Tempat

Rangkaian kegiatan miniproject dilaksanakan di Kelurahan Lakessi,


Kecamatan Soreang, Kota Parepare.

IV. 3. 2. Waktu

Rangkaian kegiatan miniproject ini dilaksanakan selama 4 bulan, dimulai pada


Januari 2018hingga Juli 2018. Intervensi berupa penyuluhan kesehatan mengenai
DBD dilakukan pada hari Sabtu, tanggal 27 Oktober 2018

IV. 4. Langkah

 Peneliti melakukan diskusi dengan KepalaPuskesmas Lakessiuntuk menentukan


topik miniproject yang akan dilakukan
 Peneliti melakukan penghitungan jumlah penemuan kasus DBD pada bulan
Januari2018 sampai Juli2018 di wilayah kerja Puskesmas Kelurahan Lakessi

22
 Peneliti menentukan salah satu penyebab masalah adalah tingkat pengetahuan
warga Kelurahan Lakessiyang masih kurang mengenai DBD dan merencanakan
upaya intervensi
 Peneliti menyusun kuesioner yang terdiri dari 11 pertanyaan mengenai penyebab,
gejala, tatalaksana awal, tanda bahaya, dan upaya pencegahan DBD, serta
pengetahuan tentang abatisasi, prosedur fogging, dan angka bebas jentik
(ABJ)untuk mengevaluasi pengetahuan warga Kelurahan Lakessi
 Peneliti mengumpulkan data kuesioner pre-intervensi warga Kelurahan Lakessi
 Peneliti melakukan intervensi dalam bentuk penyuluhan mengenai PSN dan DBD
dengan media persentasi menggunakan powerpointdan leaflet
 Peneliti mengumpulkan data kuesioner post-intervensi
 Peneliti melakukan evaluasi hasil kuesioner
 Hasil yang didapatkan berupa peningkatan pengetahuan warga di Kelurahan
Lakessi mengenai DBD.

IV. 5. Pengolahan dan Penyajian Data

Data yang diperoleh berupa data kualitatif pengetahuan warga Kelurahan Lakessi
mengenai DBD. Di dalam kuesioner tercantum 11 butir pertanyaan pilihan ganda
mengenai penyebab, gejala, tatalaksana awal, tanda bahaya, dan upaya pencegahan
DBD, serta pengetahuan tentang abatisasi, prosedur fogging, dan angka bebas jentik
(ABJ).Subjek diminta memilih satu dari tiga pilihan jawaban. Masing-masing
pertanyaan bernilai 1 jika benar dan 0 jika salah.Nilai total responden kemudian
digolongkan menjadi tingkat pengetahuan sebagai berikut:
- Pengetahuan tergolong baik jika nilai ≥ 80%
- Pengetahuan tergolong cukup jika nilai 60% – 79%
- Pengetahuan tergolong kurang jika nilai ≤ 59%
Hasil yang diharapkan adalah peningkatanpengetahuan warga mengenai DBD
setelah dilakukannya intervensi.

23
IV. 6. Diagram Langkah

Data Sekunder
Jumlah kasus DBD di Kelurahan Lakessi pada Januari-Juli 2018

Pendekatan Komunitas
Wawancara warga, serta survei lapangan

Identifikasi Masalah

Pengumpulan data pre-intervensi


Menggunakan kuesioner pretest

Intervensi
Penyuluhan kesehatan dengan media Powepoint dan leaflet

Pengumpulan data post-intervensi


Menggunakan kuesioner posttest

Evaluasi

IV. 7. Strategi Kegiatan

Strategi yang digunakan sebagai upaya peningkatan pengetahuan warga


Kelurahan Lakessi mengenai DBD adalah dengan melakukan penyuluhan kesehatan.
Target dari penyuluhan ini adalah perwakilan warga yang datang ke Puskesmas dan
dipilih secara acak. Materi penyuluhan mencakup definisi, persebaran dan
permasalahan DBD, penyebab dan penyebaran DBD, daur hidup nyamuk, tanda dan
gejala, tanda bahaya, tatalaksana awal, upaya pencegahan dengan cara 4M Plus,
pelaksanaan program PSN, prosedur fogging, abatisasi, dan angka bebas jentik (ABJ).

24
IV. 8. Media Kegiatan

Media yang digunakan pada intervensi ini adalah media cetak berupa poerpoint
dan leaflet berisi informasi mengenai DBD yang dibutuhkan oleh warga di wilayah
kerja Kelurahan Lakessi yang terdiri dari definisi, persebaran dan permasalahan DBD,
penyebab dan penyebaran DBD, daur hidup nyamuk, tanda dan gejala, tanda bahaya,
tatalaksana awal, upaya pencegahan dengan cara 4M Plus, pelaksanaan program PSN,
prosedur fogging, abatisasi, dan angka bebas jentik (ABJ).Leaflet dibagikan kepada
perwakilan warga dengan harapan dapat disimpan, dijadikan sumber informasi, dan
disosialisasikan kepada masyarakat sekitar, khususnya warga di wilayah kerja
Kelurahan Lakessi. .

IV. 9. Tantangan

Tantangan yang dihadapi selama rangkaian kegiatan adalah masih kurangnya


kesadaran beberapa warga akan pentingnya penyegaran ilmu mengenai DBD sehingga
hanya sedikit yanghadir pada saat intervensi dilakukan. Peneliti berusaha mengatasi
hal ini dengan cara menitipkan sisaleafletkepada warga supaya bisa diperbanyak dan
menghimbau warga yang hadir pada saat intervensi untuk berbagi informasi dengan
warga lain di sekitar lingkungannya.

IV. 10. Sistem Evaluasi

KEGIATAN TOLAK UKUR


Penghitungan presentase kasus DBD di Diperoleh angkakasus DBD di wilayah
wilayah Parepare kerja Puskesmas Lakessi

Wawancara dan Survei Lapangan Pengetahuan masyarakat mengenai DBD


sebagai Bentuk Identifikasi Penyebab yang masih kurang
Masalah

25
Penyuluhan dan Kuesioner (sebelum Jumlah pengunjung puskesmas yang hadir
dan sesudah penyuluhan) dalam penyuluhan kesehatan

Jumlah peserta penyuluhan yang dapat


menjawab dengan benar pertanyaan
mengenai DBD

Jangka panjang:
Penurunan insidence rate DBD di wilayah
kerja Puskesmas Lakessi

26
BAB V
HASIL

Responden penelitian berjumlah 20 orang, dengan jumlah responden 20 orang


(100%)adalah perempuan. Usia responden tersebar dengan yang termuda berusia 25tahun
sampai yang tertua berusia 45tahun. Tingkat pendidikan terakhir mayoritas respondenadalah
lulusan SMA/SMEA/SMK. Data sebaran responden berdasarkan karakteristik demografi
warga di wilayah kerja Puskesmas Lakessi dijabarkan pada Tabel 5.1.

Tabel 5.1 Sebaran Responden Berdasarkan Karakteristik Responden


Variabel Kategori Jumlah
Jenis kelamin Perempuan 20 (100%)
Laki-laki 0(0%)

Kelompok usia 21-30 tahun 5 (25%)


31-40 tahun 14 (70%)
>40 tahun 1 ( 5%)

Tingkat pendidikan SMP 1 ( 5%)


SMA/SMEA/SMK 18 (90%)
DIPLOMA 1 (5%)

Tabel 5.2Sebaran Responden berdasarkan Skor Soal Kuesioner mengenai DBD

Jumlah Responden
No Pertanyaan Nilai
Pre Post
1 Penyakit demam berdarah 0 18(90%) 0 (0%)
dengue (DBD) merupakan 1 2 (10%) 20(100%)
penyakit infeksi yang disebabkan
oleh?

2 Berikut merupakan ciri nyamuk 0 9(45%) 12(60%)


Aedes aegypti, kecuali… 1 11 (55%) 8 (40%)

3 Kapan waktu yang paling sering 0 6 (30%) 3(15%)


untuk nyamuk DBD menggigit 1 14 (70%) 17(85%)
manusia?

4 Gejala apa yang termasuk ke 0 19 (95%) 13(65%)


dalam tanda-tanda bahaya DBD? 1 1 (5%) 7 (35%)

5 Tatalaksana awal apa yang dapat 0 0 (0%) 2(10%)

27
diberikan di rumah pada pasien 1 20 (100%) 18(90%)
DBD?

6 Jika pasien DBD menjadi jarang 0 12 (60%)


9(45%)
BAK, apa yang harus dilakukan? 1 8 (40%)
11 (55%)
7 Bagaimana cara penularan 0 0 (0%) 0 (0%)
penyakit DBD? 1 20 (20%) 20(100%)

8 Apa saja yang termasuk ke dalam 0 13 (65%) 16 (80%)


upaya pencegahan DBD 4M? 1 7 (35%) 4(20%)

9 Apakah kegunaan bubuk Abate? 0 13 (65%) 16 (80%)


1 7 (35%) 4 (20%)

10 Bagaimana cara penggunaan 0 11 (55%) 0 (0%)


abate jika digunakan pada 100 1 9 (45%) 20 (100%)
liter air?

11 Siapakah yang dapat terjangkit 0 10 (50%) 0 (0%)


penyakit DBD? 1 10 (50%) 20 (100%)

Dari Tabel 5.2 dapat disimpulkan bahwa sebelum penyuluhan, soal mengenai
tatalaksana awal DBD di rumah dan tindakan yang dilakukan jika menemukan jentik di bak
merupakan soal yang paling banyak dijawab benar oleh responden (100%). Soal mengenai
tanda-tanda bahaya DBD diinterpretasikan sebagai soal yang paling tidak dimengerti oleh
responden, terlihat dari 19 responden (95%) mendapatkan nilai 0. Setelah dilakukan
penyuluhan, mayoritas responden menjawab nomor 1, 7, 10, dan 11 dengan benar (100%)
dan menjawab salah pada pertanyaan nomor 8 dan 9 mengenai upaya pencegahan DBD 4M
dan kegunaan bubuk Abate(80%). Selain itu, jumlah responden yang mendapatkan nilai 0
berkurang di separuh lebihdari total semua nomor, kecuali pertanyaan nomor 2, 5, 8, dan 9
mengenai ciri nyamuk Aedes aegypti, tatalaksana awal di rumah pada pasien DBD, upaya
pencegahan DBD 4M Plus, dan kegunaan bubuk Abate.

Tabel 5.3 Tingkat Pengetahuan Responden Sebelum dan Setelah Penyuluhan

28
Tingkat Jumlah Responden
Pengetahuan Pre Post
Baik 0 (0%) 3 (15%)
Cukup 2 (10%) 15 (75%)
Kurang 18 (90%) 2 (10%)

Tabel 5.3 menunjukkan bahwa dari 20 responden, sebagian besar memiliki tingkat
pengetahuan yang kurang mengenai DBD sebelum dilakukannya penyuluhan (90%). Setelah
penyuluhan, tingkat pengetahuan mayoritas responden menjadi cukup (75%). Responden
dengan tingkat pengetahuan mengenai DBD baik sejumlah 3 orang (15%) dan kurang 2 orang
(10%). Dapat disimpulkan bahwa tingkat pengetahuan wargamengenai DBD setelah
penyuluhan mengalami peningkatan.

29
BAB VI
DISKUSI

Keberhasilan upaya pencegahan demam berdarah dengue(DBD)dipengaruhi oleh


tingkat pengetahuan masyarakat di suatu wilayah tertentu.Hal tersebut sesuai dengan hasil
penelitian Putra, et al (2012)4 yang menyatakan bahwa tingkat pengetahuan warga
merupakan faktor penting untuk mengefektifkan pelaksanaan PSN di wilayah setempat
sehingga dapat mencegah penularandemam berdarah dengue (DBD). Hasil penelitian ini juga
didukung oleh penelitian Ghanie (2009)5 yang menunjukkan bahwa masyarakat dengan
tingkat pengetahuan mengenai DBD dan PSN yang tinggi cenderung melaksanakan tindakan
PSN dengan baik. Upaya peningkatan tingkat pengetahuan masyarakat di wilayah kerja
Puskesmas Lakessi dengan cara penyuluhan kesehatan ini diharapkan dapat menurunkan
incidence rateKelurahan Lakessi, kota Parepare.

VI. 1. Tingkat Pengetahuan Responden mengenai DBD Sebelum Penyuluhan

Pada penelitian ini, hasil pre-test menunjukkan bahwa sebagian besar responden
(>50%) memiliki tingkat pengetahuan yang kurang mengenai penyebab, tanda
bahaya,tatalaksana untuk tanda bahaya, dan upaya pencegahan DBD, kegunaan dan
cara penggunaan abate. Rendahnya tingkat pengetahuan responden dapat disebabkan
oleh beberapa faktor, yaitu usia, tingkat pendidikan, dan soal kuesioner yang dianggap
kurang jelas oleh responden.
Faktor usia berpengaruh terhadap kemampuan menangkap informasi dan pola
pikir individu. Pada penelitian ini diperoleh data responden mayoritas berusia 25
sampai 40 tahun (70%), yakni kelompok usia yang dianggap masih mampu untuk
menerima dan mengolah informasi dengan baik, meskipun pada beberapa individu
memiliki keterbatasan sendiri.Faktor berikutnya adalah tingkat pendidikan responden.
Individu dengan tingkat pendidikan lebih tinggi akan lebih mudah dalam menerima dan
mengolah informasi dengan baik. Pada penelitian ini, sebagian besar responden
memiliki tingkat pendidikan akhir setingkat SMA/SMEA/SMK(90%) yang dianggap
masih mampu menerima dan mengolah informasi dengan baik.
Faktor lainnya adalah soal-soal kuesioner yang dianggap kurang jelas oleh
responden. Setelah mengerjakan pre-test, beberapa responden mengeluhkan terdapat
beberapa butir pertanyaan yang menjebak, misalnya seperti pertanyaan nomor 2

30
mengenai ciri dari nyamuk Aedes aegypti yang mengandung kata kecuali. Mayoritas
responden juga masih sulit membedakan gejala-gejala umum dengan tanda-tanda
bahaya yang ditemukan pada DBD. Hal ini terlihat dari pertanyaan nomor 4 mengenai
tanda-tanda bahaya DBD yang dijawab salah oleh mayoritas responden (95%). Padahal,
identifikasi tanda-tanda bahaya DBD sangat penting dipahami oleh masyarakat agar
dapat segera merujuk penderita ke fasilitas kesehatan terdekat. Pengetahuan responden
tentang upaya pencegahan DBD juga masih kurang. Hal ini dapat dilihat dari
pertanyaan nomor 8 mengenai upaya pencegahan DBD 4M Plus yang dijawab salah
oleh lebih dari separuh responden (65%), juga pertanyaan nomor 10 mengenai cara
penggunaan abate yang dijawab salah oleh lebih dari separuh responden (55%).
Padahal, upaya pencegahan DBD, cara penggunaan abate sangat penting diketahui oleh
masyarakat dalam upaya menurunkan angka kejadian DBD di wilayah mereka.

VI. 2. Pengaruh Penyuluhan terhadap Tingkat Pengetahuan Responden mengenai DBD

Berdasarkan hasil penelitian, sebelum penyuluhan sebagian besar responden


(90%) memiliki tingkat pengetahuan yang kurang mengenai DBD. Setelah penyuluhan,
tingkat pengetahuan responden mengalami peningkatan, yakni sebagian besar menjadi
cukup (75%), sebagian lain menjadi baik (15%), dan sebagian kecil tetap kurang
(10%).Efektivitas penyuluhan didukung oleh beberapa faktor, antara lain metode,
media, dan materi penyuluhan. Pada penelitian ini digunakan metode ceramah interaktif
dengan menggunakan media powerpoint yang di persentasikan dan leafletyang
dibagikan kepada masing-masing responden. Materi penyuluhan disusun sedemikian
rupa agar mudah di megerti oleh masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Lakessi
supayadapat membantu pelaksanaan program PSN. Walaupun mengalami peningkatan,
peneliti merasa peningkatan tersebut masih belum cukup untuk meningkatkan
efektivitas pelaksanaan PSN sebagai upaya pencegahan DBD di wilayah kerja
Puskesmas Lakessi, Kota Parepare. Untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat lebih
lanjut mengenai DBD, maka perlu dilakukan pengulangan materi dan diskusi terbuka
mengenai DBD dan PSN.

VI.3. Proporsi Skor Jawaban terhadap Pertanyaan mengenai DBD

Penelitian ini menggunakan kuesioner yang berisi sebelas butir soal mengenai
ciri-ciri dan rentang waktu nyamuk Aedes aegypti menggigit, penyebab,tanda bahaya

31
dan tatalaksananya, tatalaksana awal di rumah, dan upaya pencegahan DBD atau PSN,
kegunaan bubuk abate, cara penggunaan abate, serta angka bebas jentik (ABJ). Masing-
masing soal memiliki satu jawaban benar dengan skor 1.
Soal pertama adalah mengenai penyebab dari penyakit DBD. Untuk soal pertama,
skor maksimal didapat dengan memilih jawaban virus. Sebelum diberikan penyuluhan,
terdapat 18 orang (90%) yang mendapatkan skor 0 dan 2 orang (10%) dengan skor 1.
Setelah diberikan penyuluhan, seluruh responden (100%) menjawab dengan benar dan
mendapatkan skor 1. Pada awalnya, sebagian besar responden masih salah menganggap
bahwa nyamuk sebagai agen penyebab DBD. Namun, pandangan tersebut sudah
berhasil diperbaiki melalui penyuluhan kesehatan yang dilakukan.Soal kedua mengenai
ciri dari nyamuk Aedes agyptimemiliki skor maksimal untuk jawaban “berkembang
biak di air kotor seperti selokan”. Sebelum penyuluhan, terdapat 9 orang (45%) yang
menjawab salah (skor 0) dan 11 (55%) orang menjawab benar (skor 1). Akan tetapi,
setelah dilakukan penyuluhan, jumlah responden yang menjawab salah justru
meningkat, yakni sebanyak 12 orang (60%) dan hanya 8 orang (40%) responden yang
menjawab benar. Adanya peningkatan jumlah responden yangmenjawab salah (skor 0)
kemungkinan besar terkecoh dengan kata kecuali yang tercantum pada soal.
Soal ketiga adalah mengenairentang waktu nyamuk Aedes aegypti menggigit
manusia. Sebelum diberikan penyuluhan, terdapat 6 orang (30%) yang mendapat skor 0
dan 14 orang (70%) dengan skor 1. Setelah diberikan penyuluhan, terdapat peningkatan
jumlah responden yang menjawab benar (skor 1), yakni 17 orang (85%) dan hanya
sebanyak 3 orang (15%) yang menjawab salah (skor 0). Hal ini sangat penting bagi
responden untuk mengetahui rentang waktu nyamuk Aedes aegypti menggigit manusia
agar dapat dilakukan pencegahan untuk melindungi diri dan keluarga mereka dari
gigitan nyamuk tersebut. Soal keempat adalah mengenai tanda bahaya DBD. Sebelum
penyuluhan, sebagian besar responden, yakni sebanyak 19 orang (95%) menjawab
salah (skor 0) dan hanya 1 orang (5%) yang menjawab benar (skor 1). Setelah
dilakukan penyuluhan, terdapat penurunan jumlah responden yang menjawab salah
(skor 0) menjadi 13 orang (65%) dan sebanyak 7 orang (35%) yang menjawab benar
(skor 1). Penurunan jumlah responden dengan jawaban salah (skor 0) yang cukup
signifikan, meskipun masih lebih dari separuh jumlah responden, menandakan bahwa
terdapat peningkatan pengetahuan responden mengenai tanda bahaya DBD. Hal ini
sangat penting untuk diketahui oleh para responden agar dapat segera mengenali tanda-

32
tanda bahaya DBD yang terjadi pada anggota keluarga maupun kerabatnya sehingga
tidak jatuh ke dalam kondisi yang bisa mengancam jiwa.
Soal kelima adalah mengenai tatalaksana awal DBD di rumah. Sebelum
penyuluhan, seluruh responden (100%) menjawab pertanyaan ini dengan benar. Akan
tetapi, setelah dilakukan penyuluhan, terdapat penurunan jumlah responden yang
menjawab dengan benar, yakni sebanyak 18 orang (90%) dan sebanyak 2 orang (10%)
yang menjawab salah (skor 0). Adanya penurunan jumlah responden yang menjawab
benar tersebut kemungkinan karena responden lupa mengisi soal nomor 5 ini karena
pada lembar kuesioner ditemukan 2 orang responden tidak mengisi soal tersebut. Soal
keenam adalah mengenai tatalaksana awal tanda bahaya DBD.Sebelum dilakukan
penyuluhan, sebagian besar responden (60%) menjawab salah dan hanya 40%
responden yang menjawab benar. Setelah dilakukan penyuluhan, terdapat penurunan
jumlah responden yang menjawab salah, yakni sebanyak 45% dan sebanyak 55% orang
menjawab benar. Hal ini menunjukkan bahwa pemahaman responden mengenai
tatalaksana awal tanda bahaya DBD semakin meningkat setelah penyuluhan dan ini
sangat penting bagi mereka agar dapat segera membawa penderita DBD yang
menunjukkan tanda-tanda bahaya ke fasilitas kesehatan terdekat untuk mendapatkan
pertolongan pertama.
Soal ketujuh dan kedelapan adalah mengenai upaya pencegahan DBD dan
pelaksanaan PSN. Soal ketujuh berisi pertanyaan mengenai cara penularan penyakit
DBD. Pada pertanyaan ini, baik sebelum maupun sesudah penyuluhan, seluruh
responden (100%) menjawab benar. Akan tetapi, pada pertanyaan nomor 8 mengenai
upaya pencegahan DBD menunjukkan hasil yang berbeda dengan nomor 7. Pada soal
nomor 8, sebelum penyuluhan, lebih dari separuh responden (65%) menjawab salah
dan hanya sebanyak 35% responden menjawab benar. Setelah dilakukan penyuluhan,
jumlah responden yang menjawab salah justru meningkat, yakni sebanyak 80% dan
hanya 20% responden yang menjawab benar. Penurunan tingkat pengetahuan
responden setelah penyuluhan dibandingkan dengan sebelum penyuluhan kemungkinan
disebabkan oleh pilihan jawaban yang terlalu panjang dan mengecoh. Selain itu,
terdapat pula kerancuan antara pilihan jawaban satu dengan lainnya.
Soal kesembilan adalah pertanyaan mengenai prosedur keguaan bubuk abate.
Sebelum penyuluhan, lebih dari separuh responden (65%) menjawab salah dan hanya
sebanyak 35% responden menjawab benar. Setelah dilakukan penyuluhan, jumlah
responden yang menjawab benar sebanyak 80% dan hanya 20% responden yang

33
menjawab salah. Soal kesepuluh adalah mengenai cara penggunaan abate. Sebelum
dilakukan penyuluhan, hanya sebanyak 9 orang (45%) responden menjawab benar dan
sebanyak 11 orang (55%) menjawab salah. Namun, setelah dilakukan penyuluhan,
seluruh responden (100%) menjawab benar. Hal ini menunjukkan bahwa materi tentang
cara penggunaan abate yang disampaikan mudah dipahami oleh responden.
Soal kesebelas berisi pertanyaan siapa saja yang dapat terjangkit DBD. Sebelum
penyuluhan, jumlah responden yang menjawab benar dan salah adalah sama, yakni
masing-masing sebesar 50%. Setelah dilakukan penyuluhan, seluruh responden (100%)
menjawab benar.
Berdasarkan hasil analisis pada setiap soal, dapat disimpulkan bahwa terdapat
peningkatan pengetahuan masyarakat sebagai responden secara umum mengenai DBD.
Namun, diperlukan ralat dan penyamaan persepsi responden pada pertanyaan nomor 8
dan 9. Peneliti merasa bahwa pengulangan materi masih perlu dilakukan agar
responden dapat memperoleh pemahaman lebih mendalam mengenai DBD sehingga
program PSN dapat terlaksana dengan baik sebagai upaya pencegahan DBD di wilayah
kerja Puskesmas Lakessi, Kota Parepare.

34
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN

VII.1. Kesimpulan

Responden adalahmasyarakat di wilayah kerja Puskesmas Lakessi dengan


karakteristik demografi sebagai berikut: jenis kelamin perempuan 20 orang (100%);
kelompok usia 21-30 tahun 5 orang (25%), 31-40 tahun 14 orang (70%), dan >40
tahun 1 orang (5%); dan tingkat pendidikan terakhir SMP 1 orang (5%),
SMA/SMEA/SMK 18 orang (90%), dan Diploma1 orang (5%). Sebelum dilakukan
penyuluhan, sebanyak 18 orang (90%) responden memiliki tingkat pengetahuan
kurang dan sebanyak 2 orang (10%) memiliki tingkat pengetahuan cukup mengenai
DBD. Setelah penyuluhan, terdapat peningkatan pengetahuan responden menjadi baik
3 orang (15%), cukup 15 orang (75%), dan kurang 2 orang (10%). Dengan demikian,
metode intervensi berupa penyuluhan kesehatandianggap efektif dalam meningkatkan
pengetahuan mengenai DBD pada masyarakatdi wilayah kerja Puskesmas Lakessi.
Namun, pengulangan materi dan diskusi terbuka masih perlu dilakukan sebagai
intervensi lanjutan untuk memperdalam pemahaman responden terhadap DBD dan
pelaksanaan PSN.

VII. 2. Saran

1. Pemberian materi dengan penyuluhan secara berkala menggunakan metode


ceramah interaktif atau diskusi terbuka perlu dilakukan sehingga wawasan
dapat terus berkembang serta pemahaman masyarakat mengenai DBD dan
PSN dapat dipantau oleh tenaga kesehatan.
2. Upaya pencegahan DBD di wilayah kerja Puskesmas Lakessi dapat
dilaksanakan secara optimal dengan pelaksanaan intervensi lanjutan dilakukan
sebagai bentuk kerja sama antara lintas sektoral terkait.
3. Perilaku kesehatan warga perlu diperbaiki, baik kesehatan individu, masyarakat
dan lingkungan. Perlu bantuan dan kerjasama yang baik dari pihak terkait
masyarakat, RT, RW, Kelurahan, Kecamatan, dan Puskesmas.

35
DAFTAR PUSTAKA

1. Setiabudi D. Evaluation of Clinical Pattern and Pathogenesis of Dengue Haemorrhagic


Fever. Dalam: Garna H, Nataprawira HMD, Alam A, penyunting. Proceedings Book 13th
National Congress of Child Health. KONIKA XIII. Bandung. 2005.
2. World Health Organization. Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of
Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever. New Delhi; 2012.
3. World Health Organization. Dengue Guidelines for Diagnosis, Treatment, Prevention and
Control. Geneva: WHO Press; 2009.
4. (http://www.depkes.go.id/article/view/15011700003/demam-berdarah-biasanya-mulai-
meningkat-di-januari.html)
5. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Wilayah KLB DBD (cited on Sep 9, 2016).
2006. Available from http://www.depkes.go.id/article/print/16030700001/wilayah-klb-
dbd-ada-di-11-provinsi.html.
6. Puskesmas Lakessi. 2018. Profil Kesehatan Puskesmas Tahun 2018. Parepare.
Puskesmas Lakessi
7. Puskesmas Lakessi. 2018. Laporan DBD Kecamatan Lakessi 2018. Parepare.
Puskesmas Lakessi
8. Suhendro dkk. 2009. Demam Berdarah Dengue Pada Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid ke-3. Edisi IV. Jakarta: PAPDI
9. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Wilayah KLB DBD.
http://www.depkes.go.id/article/print/16030700001/wilayah-klb-dbd-ada-di-11-
provinsi.html.
10. Notoatmodjo Soekidjo. 2007. Promosi kesehatan dan Perilaku. Jakarta:
RinekaCipta
11. Widayatun,T,R. 2009. Ilmu Perilaku M.A.104. Jakarta : CV Agung Seto.

36

Anda mungkin juga menyukai