Anda di halaman 1dari 32

REFERAT

“TOXOPLASMOSIS CEREBRAL”

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik “Referat” Stase Ilmu


Saraf, RSUD Dr. Harjono, Ponorogo.

Dosen Pembimbing Klinik :


dr. Hj. Mutia Sinta, Sp.S
dr. Dwi Kusumaningsih, Sp. S

Penyusun:
Addina Noviana, S.Ked (J510185083)
Alexandria Firdaus Al-Farisy, S.Ked (J510185103)
Atikah Budi Intan Lestari, S. Ked. (J510185094)
Herdian Kusuma Adhi Wibowo, S.Ked (J510185088)
Dyah Fitriyana Sari, S.Ked (J510185109)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UMS/ RSUD. DR. HARJONO PONOROGO
2018

i
REFERAT
“Toxoplasmosis Cerebral”

Yang Diajukan Oleh:

Addina Noviana, S.Ked (J510185083)


Alexandria Firdaus Al-Farisy, S.Ked (J510185103)
Atikah Budi Intan Lestari, S. Ked. (J510185094)
Herdian Kusuma Adhi Wibowo, S.Ked (J510185088)
Dyah Fitriyana Sari, S.Ked (J510185109)

Telah disetujui dan disahkan oleh bagian Program Pendidikan Fakultas


Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pada hari , 2018
Pembimbing :

(_____________________) (_____________________)
dr.Hj. Mutia Sinta, Sp.S dr. Dwi Kusumaningsih, Sp.S
Dipresentasikan dihadapan :

(_____________________) (_____________________)

dr.Hj. Mutia Sinta, Sp.S dr. Dwi Kusumaningsih, Sp.S

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

2018

ii
DAFTAR ISI

REFERAT ........................................................................................................................... ii
DAFTAR ISI...................................................................................................................... iii
BAB I .................................................................................................................................. 1
BAB II................................................................................................................................. 3
A. DEFINISI ................................................................................................................ 3
B. EPIDEMIOLOGI .................................................................................................... 3
C. ETIOLOGI .............................................................................................................. 4
D. PATOFISIOLOGI................................................................................................... 5
E. MANIFESTASI KLINIK ....................................................................................... 8
F. DIAGNOSIS ........................................................................................................... 9
G. DIAGNOSIS BANDING ...................................................................................... 16
H. TATALAKSANA ................................................................................................. 17
I. PROGNOSIS ........................................................................................................ 23
BAB III ............................................................................................................................. 25
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 26

iii
DAFTAR SINGKATAN

AIDS : Acquired Immune Deficiency Syndrome

ART : Antiretroviral

CD4 : Cluster of differentiation

CECT : Contrast-Enhaced Computed Tomography

CEMR : Contrast-Enhanced Magnetic Resonance

DNA : Deoxyribonucleic Acid

HAART : Highly Active Antiretroviral Therapy

HIV : Human Immunodeficiency Virus

IgG : Immunoglobulin G

IgM : Immunoglobulin M

LCS : Liquor Cerebro Spinal

PCR : Polymerase Chain Reaction

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Indonesia sebagai negara yang memiliki iklim lembab, penyakit infeksi


parasit menjadi salah satu masalah kesehatan yang cukup serius. Salah satunya
penyakit infeksi yang ditularkan dari hewan peliharaan yaitu toxoplasmosis
cerebri. Toksoplasmosis cerebri bisa terjadi akibat reaktivasi penyakit pada pasien
yang diberi terapi imunosupresif atau sitotoksik, atau pada pasien dengan infeksi
Human Immunodeficiency Virus (HIV) (Ozaras, et al., 2016). Toksoplasmosis
sendiri merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh Toxoplasma gondii,
yaitu suatu parasit intraseluler yang banyak menginfeksi manusia dan hewan
peliharaan. Biasanya manusia terinfeksi melalui tiga jalur, yaitu dari makanan,
terinfeksi langsung dari hewan ke manusia, atau ibu ke anak saat dalam
kandungan (Anon., n.d.).
Toxoplasma gondii hanya mengalami proliferasi aseksual dan seksual
dalam hospes definitif dan felidae lainnya, sehingga hospes definitif berfungsi
sebagai satu-satunya tempat diproduksinya ookista (J.P, 2014). Toksoplamosis
umumnya tanpa gejala, infeksi terjadi secara oral dari mengkonsumsi produk
hewani yang menginfeksi oocyst dan tidak dimasak dengan benar, makanan yang
mengandung parasit seperti bradyzoite, kontak dengan kotoran kucing yang
mengandung oocyst atau penyebaran vertikal dalam hematogen dari plasenta
(Yuliawati & Nasronudin, 2015).
Di berbagai tempat di seluruh dunia, telah terbukti bahwa lebih dari 60%
dari beberapa populasi telah terinfeksi Toxoplasma (Anon., n.d.). Prevalensi yang
lebih tinggi diamati untuk negara-negara tropis, tetapi faktor antropogenik
menjelaskan sebagian besar variasi dalam seroprevalensi manusia, termasuk
kebiasaan pola makan (metode memasak daging, mencuci tangan, jenis daging
atau sayuran dikonsumsi, dan membersihkan sayuran, dll.); kebiasaan ekonomi,
sosial, atau budaya; kualitas air; dan cakupan sanitasi (Gangneuxa & Dardé,

1
2012). Sehingga perlunya kita mengetahui tentang penyakit toxoplasmosis cerebri
ini.

2
BAB II
LANDASAN TEORI

A. DEFINISI
Toxoplasmosis adalah penyakit infeksi oleh parasit yang disebabkan
oleh Toxoplasma gondii yang dapat menimbulkan radang pada kulit, kelenjar
getah bening, jantung, paru, ,mata, otak, dan selaput otak. Toksoplasmosis
adalah penyakit infeksi pada manusia dan hewan yang disebabkan oleh
Toxoplasma gondii yang merupakan parasit protozoa dengan sifat alami
dengan perjalanannya dapat akut atau menahun, juga dapat menimbulkan
gejala simtomatik maupun asimtomatik (Ozaras, et al., 2016) (Yuliawati &
Nasronudin, 2015).

B. EPIDEMIOLOGI
Toxoplasma gondii hampir dapat ditemukan di seluruh dunia dan telah
menginfeksi lebih dari 50% populasi manusia di dunia. Sekitar 10–15%
penduduk di Amerika Serikat menunjukkan hasil positif dalam pemeriksaan
serologi. Seropositif pada pasien HIV AIDS diperkirakan sekitar 10–45%.
Hasil pemeriksaan dari IgM dan IgG anti Toxoplasma di Indonesia didapatkan
manusia sekitar 2-63%, kucing 35-73%, babi 11-36%, kambing 11-61%, anjing
75% dan ternak lainnya di bawah 10% (Yuliawati & , 2015).
Prevalensinya sangat bervariasi antar negara (10 hingga 80%) yaitu
seroprevalensi rendah (10-30%) telah diamati di Amerika Utara, Asia
Tenggara, Eropa Utara, dan di negara-negara Sahelian Afrika. Prevalensi
moderat (30-50%) telah ditemukan di negara-negara Eropa Tengah dan
Selatan, dan prevalensi tinggi telah ditemukan Amerika Latin dan di negara-
negara Afrika tropis. Faktor iklim mempengaruhi kelangsungan hidup oocyst
di lingkungan dan, karenanya, tingkat infeksi pada hewan penghasil daging
memainkan peran utama. Prevalensi yang lebih tinggi secara klasik diamati
pada negara-negara tropis dengan iklim yang lembab dan hangat, dan

3
sebaliknya, prevalensi yang lebih rendah ditemukan pada negara-negara kering
atau untuk negara lebih dingin (Gangneuxa & Dardé, 2012).

C. ETIOLOGI
Toxoplasma gondii adalah parasit obligat intraseluler, Toxoplasma
gondii memiliki 3 fase hidup, yaitu takizoit (bentuk proliferatif), kista (berisi
bradizoit) dan ookista (berisi sporozoit).
 Bentuk takizoit menyerupai bulan sabit dengan satu ujung runcing dan
ujung lain agak membulat dengan ukuran 3-7 um, dapat menginvasi semua
sel mamalia yang memiliki inti sel. Dapat ditemukan dalam jaringan
selama masa akut dari infeksi. Bila infeksi menjadi kronis takizoit dalam
jaringan akan membelah secara lambat dan disebut bradizoit (Aryani,
2017).

Gambar 1. Takizoit
Sumber : (Tabbara, 2014)
 Bentuk kedua adalah kista yang terdapat dalam jaringan dengan jumlah
ribuan berukuran 10-100 um. Kista penting untuk transmisi dan paling
banyak terdapat dalam otot rangka, otot jantung dan susunan syaraf pusat
(Aryani, 2017).

4
Gambar 2. Kista
Sumber : (Tabbara, 2014)
 Ookista berbentuk lonjong, mempunyai dinding, berisi satu sporoblas yang
membelah menjadi dua; selanjutnya kedua sporoblas membentuk dinding
dan menjadi sporokista. Masing-masing sporokista berisi 4 sporozoit
berukuran 8x2 mikron (Aryani, 2017).

Gambar 3. Ookista
Sumber : (Iskandar, 2008)

D. PATOFISIOLOGI
Penularan pada manusia dimulai dengan tertelannya tissue cyst atau
oocyst diikuti oleh terinfeksinya sel epitel usus halus oleh bradyzoites atau
sporozoites secara berturut-turut. Setelah bertransformasi menjadi
tachyzoites,organisme ini menyebar ke seluruh tubuh lewat peredaran darah

5
atau limfatik. Parasit ini berubah bentuk menjadi tissue cysts begitu mencapai
jaringan perifer. Bentuk ini dapat bertahan sepanjang hidup pejamu,dan
berpredileksi untuk menetap pada otak, myocardium, paru, otot skeletal dan
retina.
Pada manusia dengan imunitas tubuh yang rendah dapat terjadi
reaktivasi dari infeksi laten yang akan mengakibatkan timbulnya infeksi
oportunistik dengan predileksi di otak. Tissue cyst menjadi rupture dan
melepaskan invasive tropozoit (takizoit). Takisoit ini akan menghancurkan sel
dan menyebabkan fokus nekrosis (Dalton, 2016).

Ookista (Daging mentah)

Takizoit (usus)

Darah & Limfe

Imune Respon

Bradyzoit (otak, skeletal,


myocard, retina)

Immunocompromized

→reaktivasi

Gambar 4 :Patogenesis Toxoplasmosis


Sumber : (Yuliawati, 2015)
Pada pasien yang terinfeksi HIV, jumlah CD4 limfosit T dapat menjadi
prediktor kemungkinan adanya infeksi oportunistik. HIV secara signifikan
berdampak pada kapasitas fungsional dan kualitas kekebalan tubuh. HIV
mempunyai target sel utama yaitu sel limfosit T4, yang mempunyai reseptor
CD4. Beberapa sel lain yang juga mempunyai reseptor CD4 adalah : sel

6
monosit, sel makrofag, sel folikular dendritik, sel retina, sel leher rahim, dan
sel langerhans. Infeksi limfosit CD4 oleh HIV dimediasi oleh perlekatan virus
kepermukaan sel reseptor CD4, yang menyebabkan kematian sel dengan
meningkatkan tingkat apoptosis pada sel yang terinfeksi. Selain menyerang
sistem kekebalan tubuh, infeksi HIV juga berdampak pada sistem saraf dan
dapat mengakibatkan kelainan pada saraf. Infeksi oportunistik dapat terjadi
akibat penurunan kekebalan tubuh pada penderita HIV/AIDS. Infeksi tersebut
dapat menyerang sistem saraf yang membahayakan fungsi dan kesehatan sel
saraf. Mekanisme bagaimana HIV menginduksi infeksi oportunistik seperti
toxoplasmosis sangat kompleks. Ini meliputi deplesi dari sel T CD4; kegagalan
produksi IL-2, IL-12, dan IFN-gamma; kegagalan aktivitas Limfosit T sitokin.
Sel-sel dari pasien yang terinfeksi HIVmenunjukkan penurunan produksi IL-12
dan IFN-gamma secara invitro dan penurunan ekspresi dari CD 154 sebagai
respon terhadap T gondii (Jayawarderna, 2017).

Takizoit

Aktivasi CD4 sel T

ekspresi CD154

sel dendritik dan


makrofag

IL-12

Sel T→INF-y

Respon antitoxoplasmik

Gambar 5 :Respon Imun


Sumber : (Yuliawati, 2015)

7
E. MANIFESTASI KLINIK
Gejala toxoplasmosis cerebral tidak bersifat spesifik dan agak sulit
untuk dibedakan dengan penyakit lain seperti limpoma, tuberculosis dan
infeksi HIV akut. Toksoplasmosis dapatan tidak diketahui karena jarang
menimbulkan gejala. Gejala yang ditemui pada dewasa maupun anak-anak
umumnya ringan.
Apabila menimbulkan gejala, maka gejalanya tidak khas seperti
demam, nyeri otot, sakit tenggorokan, nyeri dan ada pembesaran kelenjar limfe
servikalis posterior, supraklavikula dan suboksipital. Pada infeksi berat,
meskipun jarang, dapat terjadi sefalgia, muntah, depresi, nyeri otot,
pneumonia, hepatitis, myokarditis, ensefalitis, delirium dan dapat terjadi kejang
(Chahaya, 2014). Gejala-gejala klinis pada toksoplasmosis pada umumnya
sesuai dengan kelainan patologi yang terjadi dapat digolongkan menjadi dua
kelompok yaitu gejala-gejala klinis pada toksoplasmosis kongenital dan
toksoplasmosis didapat.
Gejala toksoplasma cerebral atau dikenali sebagai toksoplasma otak
termasuk ensefalitis, demam, nyeri kepala hebat yang tidak berespon terhadap
pengobatan, kelemahan pada satu sisi tubuh, kejang, kelesuan, kebingungan
meningkat, masalah penglihatan, vertigo, afasia, masalah berjalan, muntah dan
perubahan kepribadian. Tidak semua pasien menunjukan tanda infeksi. Pada
ensefalitis fokal ditemukan nyeri kepala dan rasa bingung karena adanya
pembentukan abses akibat dari terjadinya infeksi toksoplasma. Pasien dengan
sistem immunnya menurun, gejala-gejala fokalnya cepat sekali berkembang
dan penderita mungkin akan mengalami kejang dan penurunan kesadaran
(Chahaya, 2014).
Toksoplasmosis serebral sering muncul dengan onset subakut dengan
gejala fokal nerologik. Walau bagaimanapun, terdapat juga onset yang tiba-tiba
disertai kejang atau pendarahan serebral. Hemiparesis dan gangguan
percakapan sering ditemui sebagai gejala klinis awal. Keterlibatan batang otak
bisa menghasilkan lesi saraf cranial dan pasien akan menunjukkan disfungsi
serebral seperti disorientasi, kesadaran menurun, lelah atau koma. Keterlibatan

8
medulla spinalis akan menghasilkan gangguan motorik dan sensorik bagi
beberapa anggota badan serta kantung kemih atau kesakitan fokal (Madi,
2013).
F. DIAGNOSIS
1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Gejala termasuk demam, sakit kepala berat yang tidak respon
terhadap pengobatan, lemah pada satu sisi tubuh, kejang, kelesuan,
kebingungan yang meningkat, masalah penglihatan, pusing, masalah
berbicara dan berjalan, muntah dan perubahan kepribadian. Tidak semua
pasien menunjukkan tanda infeksi (Yasuhiro, 2014).
Nyeri kepala dan rasa bingung dapat menunjukkan adanya
perkembangan ensefalitis fokal dan terbentuknya abses sebagai akibat dari
terjadinya infeksi toksoplasma. Keadaan ini hampir selalu merupakan
suatu kekambuhan akibat hilangnya kekebalan pada penderita-penderita
yang semasa mudanya telah berhubungan dengan parasit ini. Gejala-gejala
fokalnya cepat sekali berkembang dan penderita mungkin akan mengalami
kejang dan penurunan kesadaran (Yasuhiro, 2014).
2. Pemeriksaan Penunjang
a. Identifikasi dan Isolasi Parasit
Diagnosis definitif membutuhkan pembuktian adanya parasit pada
spesimen. Walaupun jarang, pada pasien dengan meningoensefalitis yang
disebabkan T. Gondii, parasit tersebut dapat diisolasi pada cairan LCS.
Parasit dapat juga diisolasi dari kultur darah pasien, walaupun dengan atau
tanpa bukti adanya ensefalitis yang sedang berlangsung. Dulu isolasi T.
Gondii yang didapatkan dari specimen klinis memerlukan perlakuan
intensif dan hasil yang didapat setelah 6 minggu kemudian. Metode
diagnostik lainnya yang sedang diteliti adalah amplikasi selektif dengan
PCR dari produksi khusus DNA specimen klinik T. Gondii. Karena
keuntungan klinis dari teknik pemeriksaan yang sangat sensitif ini untuk
mengidentifikasi parasit pada LCS (pada infeksi yang predominan

9
ensefalitis dibandingkan meningitis) pemeriksaan ini tetap perlu dilakukan
(Iskandar, 2015).
b. Test Serologis
Tes terhadap IgM digunakan untuk menentukan apakah suatu
pasien telah terkena infeksi baru-baru ini atau di waktu yang lalu. Oleh
karena ada kemungkinan dalam salah menafsir hasil positif IgM dari hasil
percobaan, pengujian untuk konfirmasi harus dilakukan (11)(13).
 Toxoplasma Serological Profile (TSP)
TSP telah secara klinis sangat menolong dalam
mendiagnosis toxoplasmik limfadenitis, myocarditis,
polyomiositis, chorioretinitis dan selama kehamilan. Karena
pemeriksaan TSP dengan hasil positif pada IgG dan IgM dapat
membedakan antara infeksi/peradangan kronis atau infeksi yang
didapat dan lebih baik daripada pemeriksaan serologi tunggal
manapun.
 Dye test
Antibodi IgG diukur terutama menggunakan sabin-
fieldman dye test (DT). Pemeriksaan ini merupakan tes netralisasi
sensitif dan sangat spesifik, dimana organisme dilisiskan kemudian
dipresentasikan dengan komplemen dan IgG antibodi spesifik T.
Gondii. IgG biasanya timbul dalam 1-2 minggu infeksi, puncaknya
dalam 1-2 bulan kemudian turun dengan rata-rata penurunan
bervariasi dan biasanya tetap ada selama hidup. Tingginya titer
tidak berkorelasi dengan keparahan penyakit.
Dye test positif menyatakan bahwa pasien pernah terpapar
oleh parasit, sebaliknya DT yang negatif mempunyai arti penting
dalam mengesampingkan kemungkinan terpapar T.gondii. Pada
sebagian kecil pasien antibodi IgG mungkin saja tidak terdeteksi
dalam 2-3 minggu setelah awal paparan terhadap parasit.
 Aglutination Differential Test (AC/HS)

10
Test differential aglutination menggunakan dua preparat
antigen yang dapat menggambarkan antigen penentu yang
ditemukan pada awal infeksi akut (antigen AC) atau antigen pada
tahap akhir infeksi (HS). Rasio titer menggunakan antigen AC
dibandingkan antigen HS dapat menginterpretasikan sebagai akut.
 Avidity
Test avidity digunakan sebagai test konfirmasi diagnostik
tambahan pada TSP untuk pasien dengan IgM positif atau
equivocal atau hasil tes AC/HS yang akut atau equivocal. Hasil
antibodi avidity IgG rendah atau equivocal jangan diinterpretasikan
sebagai diagnostik infeksi yang didapat sekarang.
 Antibodi IgM
Antibodi IgM diukur dengan menggunakan metode double
sandwich atau immune capture IgM-ELISA. Metode ini
menghindari kesalahan false positive.
Pada pasien dengan infeksi didapat saat ini, antibodi IgM
T.gondii dideteksi pada awal penyakit dan titer ini akan negatif
dalam beberapa bulan. IgM yang tetap persisten tidak
menggambarkan relevansi klinis dan pada pasiennya harus
dipertimbangkan infeksi kronis.
 Antibodi IgA
Antibodi IgA mungkin dapat ditemukan pada infeksi akut
dalam serum penderita dewasa dan infan yang terinfeksi secara
kongenital menggunakan ELISA atau metode ISAGA. Antibodi
IgA dapat tetap ada untuk beberapa bulan sampai lebih dari satu
tahun. Berdasarakan hal ini, pemeriksaan antibodi ini mempunyai
peranan yang sedikit untuk menegakkan infeksi akut pada orang
dewasa, hal ini kontras dibandingkan apabila ada peningkatan
sensitifitas dengan hasil pemeriksaan IgA yang melebihi IgM
untuk mendiagnosis toxoplasmosis kongenital.
 Antibodi IgE

11
Antibodi IgE dideteksi dengan menggunakan ELISA pada
serum penderita dewasa dengan infeksi akut, neonatus yang
terinfeksi secara kongenital, anak-anak dengan chorioretinitis
toxoplasmosis kongenital. Durasi seropositif IgE kurang
dibandingkan antibodi IgM atay IgA.
c. Neuroimaging
 Pemeriksaan CT- Scan
Pada gambaran CT-scan di otak menunjukkan gambaran
lesi noduler tunggal (30%) atau multipel (70%). Lebih sering
gambaran CT-scan menunjukkan lesi kavitasi dengan dinding yang
tipis dan diikuti adanya ring enhancemen setelah pemberian
kontras. Gambaran edema di sekeliling whit matter juga sering
ditemukan (Webster, 2014).
Sekitar 75% nodul-nodul berlokasi di basal ganglia, tetapi
dapat juga tersebar sampai ke bagian serebral lain pada gray
matter- white matter. Toxoplasmosis mempunyai kecenderungan
untuk melibatkan basal ganglia, lesi juga dapat timbul di sepanjang
serebellum, batang otak dan medulla spinalis. Perdarahan dan
kalsifikasi dapat timbul selama pengobatan dan dikatakan
kalsifikasi berupa cincin tergambar pada awal dilakukan CT-scan
sebagai diagnosis pertama, walaupun dikatakan bahwa kalsifikasi
berupa cincin jarang terjadi pada penyakit yang diapat
dibandingkan dengan kelainan kongenital (Webster, 2014).

12
Gambar 6. CT-scan kontras pada pasien dengan toksoplasmosis cerebri
Sumber : (Webster, 2014).
Pemeriksaan Ct-Scan dilakukan karena lebih bisa
menampilkan perbedaan jaringan jaringan seperti tulang, otak, atau
pembuluh darah. Dan dilakukan karena bisa memberikan informasi
dengan cepat dan biaya relatif sesuai dengan keluhan / penyakit.
Dengan CT-scan tampak lesi tunggal atau multiple ring-
enchancing lesion yang dikelilingi edema otak denga predileksi
pada ganglia basal dan cortico- medullary junction. Lesi dapat juga
terjadi pada cerebelum dan thalamus. Lesi pada ganglia basal dapat
mengganggu pergerakan seperti hemikorea, hemiballism,
parkinson atau tremor (Yuliawati, 2015).
 Pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging ( MRI )
Dalam praktek klinik, MRI digunakan untuk membedakan
berbagai jaringan patologis (misalnya tumor, pembengkakan) dari
jaringan tubuh yang normal. Perbedaan dapat dilihat dengan sangat
jelas dan kontras (Sushrut, 2018).
Pemeriksaan MRI dapat dilakukan pada berbagai organ dan
sistem tubuh. Sebuah jaringan tubuh yang rusak akan
menimbulkan pembengkakan (edema). Adanya pembengkakan ini
akan memberikan warna kontras yang berbeda dengan jairngan

13
normal. MRI dapat digunakan untuk berbagai kelainan di bidang
saraf, anggota gerak tubuh, tumor, dan penyakit jantung.
Pada Toxoplasma Serebral, MRI mampu pula membedakan
dengan sangat jelas apakah terdapat suatu lesi pembengkakan
akibat tumor atau infeksi di otak dengan sangat jelas. MRI
memberikan gambatan yang sangat jelas pada keadaan ini yang
terkadang juga menunjukkan adanya perdarahan. Dalam kasus
dengan gambaran lesi yang khas (Nissapatorn, 2014).

Gambar 7. Pencitraan resonansi magnetik otak menunjukkan ringen hancing lesi


dengan edema sekitarnya di lobus temporoparietal bilateral.
Sumber : (Nissapatorn, 2014).

14
Gambar 8. (a) multiple lesi hipointense dengan perilesi edema. (b) multiple lesi
hipointense dengan ditandai edema vasogenik sekitar. (c) multiple lesi dengan
enhancement. (d) multiple supratentorial dan infratentorial lesi ring enhancement.
(e) multiple ring enhacement berbagai ukuran.
Sumber : (Nissapatorn, 2014).
Tanda karakteristik dari toxoplasma di SSP adalah target
yang asimetris yang dapat dideteksi baik dengan CT-scan maupun
dengan MRI, dengan MRI lebih sensitif dibandingkan CT-scan.
Target asimetris yang timbul berupa abses ring enhancement yang
mengandung nodul eksentris pada kavitas absesnya. Tanda target
asimetri ini sebenarnya patognomonik untuk toxoplasmosis SSP
tetapi hanya terlihat pada 30% penderita (Yuliawati, 2105).
MRI lebih sensitif dibandingkan CT-scan pada awal
infeksi. MRI dapat mendeteksi lesi pada penderita toxoplasmosis
aktif yang pada CT-scan didapatkan hasil yang normal. Dengan
demikian MRI direkomendasikan pada penderita yang dijumpai
gejala neurologis dan antibodi toxoplasma dengan gambaran CT-
scan yang normal. Toxoplasmosis memperlihatkan area hipointens
ringan pada T1W1 dan hiperintense pada T2W1. Kadang lesi dapat
menunjukkan sedikit isointense sampai hipointense pada T2W1,

15
dikelilingi oleh edema dengan intensitas lebih tinggi. Pada CECT
dan CEMR, ring-like dan nodular enhancement dikelilingi edema
white matter dengan berbagai tingkatan. Nodul atau ring
enhancement fokal dijumpai sekitar 70% pendeita setelah
pemberian gadolinium (Yuliawati, 2105).
d. Pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR)
Digunakan untuk mendeteksi DNA Toxoplasmosis
gondii. Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk Toxoplasmosis
gondii dapat juga positif pada cairan bronkoalveolar dan cairan vitreus
atau aquos humor dari penderita toksoplasmosis yang terinfeksi HIV.
Adanya PCR yang positif pada jaringan otak tidak berarti terdapat infeksi
aktif karena tissue cyst dapat bertahan lama berada di otak setelah infeksi
akut (Sara, 2015).
e. Diagnosis
Diagnsis didasarkan pada gejala klinis, tingkat resiko, pemeriksaan
antibodi IgG terhadap Toxoplasma gondii dan hasil dari pemeriksaan
radiologi yang menunjang, selain itu dugaan diagnosis dapat pula
didasarkan adanya respon klinis pengobatan terhadap Toxoplasma.

G. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosa banding untuk lesi bentuk cincin (ring-enhancing lesions) di
otak pada pasien dengan HIV ialah seperti berikut: (Aryani, 2017)
 Toksoplasmosis serebral akut
 Limfoma sistem saraf pusat primer
 Tumor otak primer
 Metastasis otak
 Penyakit demielinasi (misal: sklerosis multipel)
 Infeksi (misal : tuberkuloma)
 Infark multifokal
 Malformasi vena-arteri

16
Penyebab abnormalitas sistem saraf pusat pada pasien HIV yang sudah
berat (CD4 T sel <50 sel/µL) termasuklah toksoplasmosis serebral (19% dari
semua pasien dengan gejala lesi di otak), limfoma sistem saraf pusat primer
(4%-7%), leukoensefalopati multifokal progresif, HIV ensefalopati dan
ensefalitis sitomegalovirus. Infeksi-infeksi dari etiologi lain ialah tuberkulosis,
stafilokokkus, streptokokkus, salmonella, kriptokokkus, histoplasmosis dan
meningovaskuler syphilis (Aryani, 2017).

H. TATALAKSANA
Saat ini obat yang direkomendasikan dalam pengobatan toksoplasmosis
bertindak terutama terhadap bentuk tachyzoite dari T gondii. Pirimetamin
adalah agen yang paling efektif dan termasuk dalam kebanyakan regimen obat.
Leucovorin (asam folinic) harus diberikan bersamaan untuk mencegah
penekanan sumsum tulang.
Kombinasi pirimetamin 50-75 mg perhari yang dikombinasikan dengan
sulfadiazin 1-1,5 g tiap 6 jam. Pasien yang alergi terhadap sulfa dapat diberikan
kombinasi pirimetamin 50-75 mg perhari dengan klindamicin 450-600 mg tiap
6 jam.Penelitian Yapar et al. hanya menggunakan klindamisin 3x600 mg
intravena tanpa pirimetamin untuk mengobati toksoplasmosis serebral dan
membutuhkan 10 bulan untuk melihat hilangnya lesi pada monitoring
radiologi. Sementara Roemer et al. menggunakan klindamisin untuk mengobati
pasien dengan toksoplasmosis otak tetapi pasien meninggal. Potensi
penggunaan klindamisin sebagai agen tunggal belum ditetapkan di uji klinis
acak. Madi et al. menunjukkan adanya perbaikan klinis dalam waktu 48 jam
dan lesi diselesaikan sepenuhnya dalam waktu 3 minggu. Terlihat sebuah
respon positif terhadap pengobatan baik secara klinis dan radiologis.
Toksoplasmosis otak dapat diobati dengan klindamisin tanpa pyrimethamine
dalam pengaturan sumber daya miskin negara dan pada pasien yang tidak
mentolerir obat sulfa.
Pasien alergi terhadap sulfa dan klindamicin, dapat diganti dengan
Azitromycin 1200 mg/hr, atau claritromicin 1 gram tiap 12 jam, atau

17
atovaquone 750 mg tiap 6 jam. Terapi ini diberikan selam 4-6 minggu atau 3
minggu setelah perbaikan gejala klinis.
Spiramycin merupakan obat pilihan lain walaupun kurang efektif tetapi
efek sampingnya kurang bila dibandingkan dengan obat-obat sebelumnya.
Dosis spiramycin yang dianjurkan ialah 2-4 gram sehari yang di bagi dalam 2
atau 4 kali pemberian.Beberapa peneliti menganjurkan pengobatan wanita
hamil trimester pertama dengan spiramycin 2-3 gram sehari selama seminggu
atau 3 minggu kemudian disusul 2 minggu tanpa obat.Demikian berselang
seling sampai sembuh. Pengobatan juga ditujukan pada penderita dengan gejala
klinis jelas dan terhadap bayi yang lahir dari ibu penderita toxoplasmosis.
Terapi antiretroviral (ART) diindikasikan pada penderita yang
terinfeksi HIV dengan CD4 kurang dari 350-500 sel/mL, dengan gejala
(AIDS). Atau individu yang memiliki HIV dan TB aktif, chronic liver disease,
atau orang-orang terdekat yang berpotensi untuk terjangkit penyakit.First line
ART harus memiliki 2 NRTI (nucleoside reverse transcriptase inhibitor) dan 1
NNRTI (Non nucleoside reverse transcriptase inhibitor) contoh yang
direkomedasikan tenofovir, lamivudine atau emticitabine, dan efapirenz.

18
Tabel 1. Algoritma pemberian ART
Sumber : (Madi, 2013)

19
Tabel 2. Regimen ART
Sumber : (Madi, 2013)
Tindak lanjut CT scan / MRI harus dilakukan sekitar 21 hari setelah
mulai pengobatan untuk memastikan respon pengobatan, dilakukan setiap 4-6
minggu sampai terdapat penyelesaian massa lesi. Pasien dengan tanda-tanda
klinis dan gambaran pemeriksaan penunjang menunjukan diagnosis
toksoplasmosis jarang gagal pengobatan anti-toksoplasmosis klasik. Jika
memang terjadi kegagalan, penggunaan terapi pengganti, misalnya azitromisin,
klaritromisin, atovaquone, trimetreksat, doksisiklin. Harus diingat bahwa
pasien yang gagal merespon pengobatan anti-toksoplasmosis mungkin
memiliki patologi lain atau bersamaan, misalnya limfoma, tuberkuloma, atau
progresif multi-fokal leucoencephalopathy. Biopsi otak dapat membantu untuk
memperoleh diagnosis dan memudahkan pengobatan. Pengobatan
toxoplasmosis berdasarkan kategori:
1. Toxoplasmosis pada pasien immunocompetent
Perawatan tidak diperlukan pada kasus tanpa gejala kecuali pada anak-
anak <5 tahun. Hanya pasien imunokompeten yang mengalami gejala

20
diobati. Pyrimethamine diberi loading dosis 100 mg, kemudian 25–50 mg /
hari dalam kombinasi dengan sulfadiazine 2-4 g / hari di dosis terbagi 4
kali / hari selama 2–3 minggu atau bisa juga dikombinasikan dengan
klindamisin 300 mg 4 kali / hari selama 6 minggu. Sulfadiazin dan
klindamisin bisa diganti dengan azitromisin 500 mg / hari atau 750 mg
atovaquone 2 kali / hari. Alternatif lain itu dapat diberikan adalah
Trimethoprim (TMP) 10 mg / kg / hari, sulfamethoxazole (SMX) 50 mg /
kg / hari untuk 4 minggu.
2. Toxoplasmosis pada kehamilan
Spiramycin adalah obat pilihan untuk ibu toksoplasmosis. Dosis 3 g / hari
PO dalam dosis terbagi 24 kali / hari selama 3 minggu, berhenti selama 2
minggu dan kemudian diulang siklus 5 mingguan selama kehamilan. Jika
PCR rejimen cairan amnion positif harus diganti dengan pirimetamin 50
mg / hari dan sulfadiazin 3 g / hari dalam 2-3 dosis terbagi selama 3
minggu diselingi dengan ketentuan spiramisin 1 g 3 kali / hari untuk 3
minggu atau bisa diberikan pyrimethamine 25 mg / hari dan sulfadiazin 4 g
/ hari dalam dosis terbagi 2-4 kali / hari diberikan sampai melahirkan.
3. Toxoplasmosis kongenital
Pada bayi baru lahir dengan toksoplasmosis, dapat diberikan kombinasi
pyrimethamine 1 mg / kg per hari untuk 2 bulan diikuti oleh 1 mg / kg
setiap 2 hari selama 10 bulan, sulfadiazine 50 mg / kg berat badan per hari,
serta asam folat 5–10 mg 3 kali seminggu untuk mencegah efek samping
dari pirimetamin 2 . Selain itu Pemberian obat-obatan juga diperlukan
tindak lanjut secara teratur. Hitung darah lengkap 1–2 kali per minggu
untuk setiap hari dosis pirimetamin dan 1-2 kali per bulan untuk dosis
pirimetamin dilakukan setiap 2 hari untuk memantau efek racun dari obat
tersebut. Juga membutuhkan pemeriksaan pediatrik lengkap, termasuk
pemeriksaan ophthalmology setiap 3 bulan sampai usia 18 bulan dan
kemudian setahun sekali, begitu juga pemeriksaan neurologis setiap 3-6
bulan sampai 1 tahun umur.
4. Toxoplasmosis pada pasien immunocompromised

21
Terapi toksoplasmosis pada pasien HIV – AIDS dibagi menjadi 2
perawatan akut dan terapi pemeliharaan. Terapi akut diberikan setidaknya
selama 3 minggu dan dapat diberikan selama 6 minggu jika respons
lengkap tidak terjadi, terapi pemeliharaan diperlukan berikutnya untuk
mencegah kambuh. Profilaksis primer dianjurkan pada HIV AIDS
seropositif dengan jumlah CD4 + <100 / mm 3 atau pasien dengan CD4
<200 / mm3 disertai dengan infeksi oportunistik dan keganasan. Rejimen
yang digunakan dapat diberikan TMP –SMX (trimetoprim -
sulfametoksazol). Dosis TMP - SMX adalah satu tablet kekuatan ganda
(DS) (160 mg trimethoprim, 800 mg sulfamethoxazole) 2 kali / hari (14
tablet DS / minggu).
Pada infeksi akut dapat diberikan kombinasi dari pirimetamin dan
sulfadiazin. Dosis awal pirimetamin 200 mg / hari berikutnya 50-75 mg /
hari plus sulfadiazine 4–8 g / hari selama 6 minggu kemudian disebut
terapi supresif seumur hidup atau untuk meningkatkan sistem kekebalan
tubuh. Dalam beberapa penelitian yang disebutkan kombinasi pirimetamin
- klindamisin dan trimethoprim - sulfamethoxazole sama efektifnya
dengan penggunaan kombinasi pirimetamin - sulfadiazin. Klindamisin
dapat diberikan dengan dosis 600 mg PO / IV, 4 kali / hari selama 3–6
minggu. Dosis untuk supresif terapi 300–450 mg PO setiap 6-8 jam.
Kombinasi atovakon dengan pirimetamin atau sulfadiazin juga
memberikan efektivitas yang tinggi. Obat-obatan ini mampu
menghilangkan bradizoit dalam percobaan binatang. Dapat diberikan
dengan dosis 750 mg (5 mL) PO saat makan selama 21 hari. Dalam
beberapa penelitian rejimen ini memberikan hasil yang baik pada klinis
dan gambaran radiologis dari 77% dalam 6 minggu pengobatan dan tingkat
kekambuhan 5% dalam periode pemeliharaan. Terapi pemeliharaan
(profilaksis sekunder) dapat dimulai setelah terapi selesai pada fase akut
diberikan, yang menggunakan rejimen yang sama seperti pada akut fase
tetapi dengan dosis setengah. Profilaksis primer dapat dihentikan jika
jumlah CD4 setelah penggunaan antiretroviral (ARV) meningkat> 200 /

22
mm 3 diselesaikan selama sekitar 3 bulan, dengan pemeriksaan jumlah
virus negatif.
Profilaksis sekunder dihentikan jika pasien memiliki menjalani perawatan
akut dan menunjukkan klinis peningkatan ditandai dengan hilangnya
tanda-tanda dan gejala toksoplasmosis dan peningkatan sistem kekebalan
tubuh setelah pengobatan dengan HAART (Highly Active Antiretroviral
Therapy) adalah ditandai dengan peningkatan CD4 +> 200 / mm 3
menetap selama sekitar 6 bulan.
5. Ocular toxoplasmosis
Perawatan tergantung pada beberapa faktor seperti lokasi lesi, tingkat
peradangan, ancaman kebutaan dan status kekebalan pasien. Jika Infeksi
tidak pada disk optik dan makula dan hanya disertai peradangan ringan,
pengobatannya tidak dibutuhkan. Pirimetamin paling efektif untuk ini
infeksi, diberikan dosis pemuatan 25 mg 3 kali / hari diikuti oleh 25 mg /
hari. Obat ini harus dikombinasikan dengan sulfadiazine dengan dosis
lebih lanjut 2 g 1 g 4 waktu / hari. Terapi dilakukan selama 6-12
minggu. Pengobatan respon ditunjukkan oleh hilangnya bercak putih
kekuningan pada retina, vitreous menjadi bekas luka yang jelas dan atrofi
korioretina menjadi batas.
Pilihan obat lain adalah klindamisin 300 mg 3-4 kali / hari selama 3-4
minggu, kemudian 150 mg empat kali / hari untuk 3-4 minggu ke
depan. Spiramisin adalah obat yang paling umum digunakan dan memiliki
paling sedikit efek samping pilihan obat lain, dapat diberikan dalam dosis
1 g 2 kali / hari (Ganiem, 2015) (Yuliawati, 2015).

I. PROGNOSIS
Banyak pasien cukup respon dengan pengobatan tapi prognosis jangka
panjang masih terbatas. Prognosis pada pasien terinfeksi HIV memiliki
prognosis kelangsungan hidup rata-rata 2 bulan, tapi ART dapat meningkatkan
ekspektasi kehidupan. Health Protection Agency memperkirakan bahwa sekitar
30% dari orang dengan infeksi HIV yang tidak terdiagnosis memiliki

23
persentase yang sama dari mereka yang didiagnosis terlambat. Kematian sering
terjadi dalam 14 bulan setelah pengobatan adalah karena dementia.
Mengingat angka relaps yang sangat tinggi Kovacs dan Masur
menganjurkan pemberian pirimetamin-sulfadiazin seumur hidup sebagai
profilaksis sekunder.

24
BAB III
PENUTUP

Toksoplasmosis merupakan infeksi oportunistik yang serius. Jika belum


terinfeksi toksoplasma, maka dapat menghindari risiko terpajan infeksi dengan
tidak memakan daging atau ikan mentah, dan ambil kewaspadaan lebih lanjut jika
membersihkan kandang kucing. Dengan diagnosis dan pengobatan dini, tokso
dapat diobati secara efektif. Sebaiknya orang yang terinfeksi terus memakai obat
antitokso untuk mencegah penyakitnya kambuh.
Infeksi oportunistik dapat terjadi akibat penurunan kekebalan tubuh pada
penderita HIV/AIDS,akibatnya mudah terkena penyakit-penyakit lain seperti
penyakit infeksi disebabkan oleh virus, bakteri,protozoa dan jamur dan juga
mudah terkena penyakit keganasan. Pengobatan untuk infeksi oportunistik
bergantung pada penyakit infeksi yang ditimbulkan. Pengobatan status kekebalan
tubuh dengan menggunakan immune restoring agents, diharapkan dapat
memperbaiki fungsi sel limfosit, dan menambah jumlah limfosit. Penatalaksanaan
HIV/AIDS bersifat menyeluruh terdiri dari pengobatan, perawatan/rehabilitasidan
edukasi. Pengobatan pada pengidap HIV/penderita AIDS ditujukan terhadap:
virus HIV (obat ART), infeksi opportunistik, kanker sekunder, status kekebalan
tubuh, simptomatis dan suportif.

25
DAFTAR PUSTAKA

Aryani, I., Gusti Ayu Dwi. 2017. Toxoplasmosis kongenital. CDK.


44(8) : 537
Cerebral Toxoplasmosis. Ozaras, R, et al. Istanbul : An
International Journal of Medicine, 2016, An International Journal of
Medicine, pp. 491-492.
Centers for Disease Control and Prevention.
https://www.cdc.gov/parasites/toxoplasmosis/epi.html. [Online] [Cited:
December 12, 2018.]
Chahaya, Indra. 2014. Epidemiologi “Toxoplasma Gondii”. Bagian
Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas
Sumatera Utara.
Dalton Silaban, Kiking Ritarwan, dan Rusli Dhanu. 2016. Majalah
Kedokteran Nusantara Volume 41. Departemen Neurologi: Fakultas
Kedokteran USU/RSUP H. Adam Malik Medan.
Epidemiology of and Diagnostic Strategies for Toxoplasmosis.
Gangneuxa, Florence Robert and Dardé, Marie Laure. 2, 2013,
JournalsASMorg, Vol. 25, p. 267.
Gangneuxa, Florence Robert., Darde Marie Laure. 2012.
Epidemiology of and Diagnostic Strategies for Toxoplasmosis.
Journals ASMorg. 25(2):267
Ganiem AR, Dian S, Indriati A, Chaidir L, Wisaksana R, Sturm P,
et al. 2015. Cerebral Toxoplasmosis Mimicking Subacute Meningitis in
HIV-Infected Patients; a Cohort Study from Indonesia. PLOS
Neglected Tropical Disease J.:1-6.
Iskandar, Tolibin. 2015. Penyakit Toxoplasmosis pada Kambing
dan Domba di Jawa. Wartazoa. 18(3):160

26
Jayawardena S, Singh S, Burzyantseva O, Clarke H. 2017.
Cerebral Toxoplasmosis in Adult Patients with HIV Infection. Hospital
Physician : 17-24.
Jose G. Montoya. 2018. The Journal of Infectious
Diseases.Laboratory Diagnosis of Toxoplasma gondii Infection and
Toxoplasmosis. Stanford University School of Medicine: Stanford
California.
Madi D, Achappa B, Rao S, Ramapuram JT, Mahalingam S. 2013.
Successful Treatment of Cerebral Toxoplasmosis with Clindamycin: A
Case Report. Oman Med J.;27(5):411-2.
Murat Hökelek, MD, PhD; Chief Editor: Burke A Cunha, MD.
ToxoplasmosisWorkup,Medscape.Diunduhdari:http://emedicine.meds
cape.com/article/229969-workup (Accesed at: 2018, December 11)
Nissapatorn V. 2014. Toxoplasmosis in HIV/AIDS: A Living
Legacy. Southeast Asian J Trop Med Public Health ;40(6):1158-70.
Pathogenesis, Diagnostic and Management of Toxoplasmosis.
Yuliawati, Irma and Nasronudin. Surabaya : s.n., 2015, Indonesian
Journal of Tropical and Infectious Disease, Vol. 5.
Pereira-Chioccola Roberta S. Nogueira, Roberto Focaccia and
Vera Lucia Oliveira, Adrián V. Hernandez, Francisco Bonasser-
Filho,Fabio A. Colombo, José E. Vidal, Augusto C. Penalva de
Oliveira. 2015. Diagnosis of Cerebral Toxoplasmosis in AIDS
Patients in Brazil: Importance of Molecular and Immunological
Methods Using Peripheral Blood Samples. Journal of Clinical
Microbiology.
Sara Mathew George, MD, FRCPath, Ashok Kumar Malik, MD,
FRCPath, Fayek Al Hilli, PhD. 2015. Cerebral Toxoplasmosis in an
HIV Positive Patient: A Case Report and Review of Pathogenesis and
Laboratory Diagnosis. Bahrain Medical Bulletin.

27
Sushrut Kamerkarand Paul H. Davis. 2018. Toxoplasma on the
Brain:Understanding Host-Pathogen Interactions in Chronic CNS
Infection.
Tabbara, KF. 2014. Toxoplasmosis. Available from:
http://www.ocuist.net/downaton502/prof/ebook (Accesed at: 2018,
December 11)
Yasuhiro Suzuki. 2014. Immunopathogenesis of Cerebral
Toxoplasmosis. Department of Biomedical Science and Pathology:
Virginia.
Yuliawati, Irma. 2015. Pathogenesis, Diagnostic and Management
of Toxoplasmosis. Tropical and Infectious Disease. 5(4):101.

28

Anda mungkin juga menyukai