Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN

MEDIKAL BEDAH DI RSPAD GATOT SOEBROTO


DENGAN SPONDILITIS TUBERCULOSA

DISUSUN OLEH
NAMA : MEGA YUSNIA
NIM : 18180000072
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN INDONESIA MAJU
(STIKIM)

LAPORAN PENDAHULUAN
PADA PASIEN DENGAN SPONDILITIS TUBERCULOSA

1. Definisi
Spondilitis Tuberculosa yaitu infeksi kronis yang berupa infeksi granulomatosis yang
disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosa yang menyerang vertebra. Spondylitis TB
disebut juga Penyakit Pott bila disertai paraplegi atau deficit neurologis. Spondylitis ini pasling
sering ditemukan pada vertebra T8 sampi L3 dan paling jarang pada C2. Spondylitis Tb
biasanya mengenai korpus vertebra, sehingga jarang mengenai arkus vertebra.
pada vertebra abses berekspansi di sepanjang ligamen

cervical Thorakal Lumbal


Abses faringeal membentuk massa menonjol mengikuti M. Psoas
& fusiform krista iliaka

Tracea, Esopagus menekan medulla spinalis dibwh lig inguinal


cavum pleura bagian medial paha

paraplegia cold abses

2. Etiologi
Spondilitis TB merupakan infeksi sekunder dari tuberculosis ditempat lain ditubuh.
Penyebabnya yaitu bakteri berbentuk batang atau basil yang mempunyai sifat khusus yaitu
tahan terhadap asam pada pewarnaan. Oleh karena itu disebut sebagai Basil Tahan Asam
(BTA). Kuman TB cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup
beberapa jam ditempatyang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh, kuman ini dapat dorma
atau tertidur lama selama beberapa tahun.

3. Anatomi dan Fisiologi Vertebrae


Tulang vertebra terdri dari 33 tulang: 7 buah tulang servikal, 12 buah tulang torakal, 5 buah
tulang lumbal, 5 buah tulang sakral. Tulang servikal, torakal dan lumbal masih tetap
dibedakan sampai usia berapapun, tetapi tulang sakral dan koksigeus satu sama lain menyatu
membentuk dua tulang yaitu tulang sakum dan koksigeus (Cailliet, 1981 dikutip oleh
Kuntono, 2007). Kolumna vertebralis mempunyai lima fungsi utama, yaitu: (1) menyangga
berat kepala dan dan batang tubuh, (2) melindungi medula spinalis, (3) memungkinkan
keluarnya nervi spinalis dari kanalis spinalis, (4) tempat untuk perlekatan otot-otot, (5)
memungkinkan gerakan kepala dan batang tubuh (Seelley dan Stephens, 2001 dikutip oleh
Yanuar, 2003).
Tulang vertebra secara gradual dari cranial ke caudal akan membesar sampai mencapai
maksimal pada tulang sakrum kemudian mengecil sampai apex dari tulang koksigeus.
Struktur demikian dikarenakan beban yang harus ditanggung semakin membesar daricranial
hingga caudalsampai kemudian beban tersebut ditransmisikan menuju tulang pelvis melalui
articulatio sacroilliaca. Korpus vertebra selain dihubungkan oleh diskus intervertebralis juga
oleh suatu persendian sinovialis yang memungkinkan fleksibilitas tulang punggung, kendati
hanya memungkinkan pergerakan yang sedikit untuk mempertahankan stabilitas kolumna
vertebralis guna melindungi struktur medula spinalis yang berjalan di dalamnya. Stabilitas
kolumna vertebralis ditentukan oleh bentuk dan kekuatan masing-masing vertebra, diskus
intervertebralis, ligamen dan otot-otot (Moore, 1999 dikutip oleh Yanuar, 2002). Vertebra
lumbalis terletak diregio punggung bawah antara regio torakal dan sakrum. Vertebra pada
regio ini ditandai dengan korpus vertebra yang berukuran besar, kuat dan tiadanya costal facet.
Vertebra lumbal ke 5 (VL5) merupakan vertebra yang mempunyai pergerakan terbesar dan
menanggung beban tubuh bagian atas (Yanuar, 2002).
Menurut Adam et al (1989); Bagduk (1997); Morris (1980) dikutip oleh Auliana (2003)
setiap vertebra lumbal dibagi atas 3 set elemen fungsional yaitu :
1. Elemen anterior atau korpus vertebra
Merupakan komponen utama dari kolumna vertebralis. Berfungsi untuk
mempertahankan diri dari beban kompresi yang tiba pada kolumna vertebra bukan saja
dari berat badan, tetapi juga dari kontraksi otot-otot punggung.
2. Elemen posterior
Elemen posterior berfungsi untuk mengatur kekuatan pasif dan aktif yang mengenai
kolumna vertebralis dan juga mengatur gerakannya. Prosesus artikularis memberikan
mekanisme lockingyang menahan tergelincirnya ke depan dan terpilinnya korpus
vertebra. Prosesus spinosus, transversus, mamilaris dan aksesorius menjadi tempat
melekatnya otot sekaligus menyusun pengungkit untuk memperbesar kerja otot-otot
tersebut. Lamina merambatkan kekuatan dari prosesus spinosus dan prosesus
artikularis superior ke pedikel sehingga ia rentan terhadap trauma seperti fraktur pars
artikularis.
3.Elemen tengah
Elemen tengah terdiri dari pedikel. Pedikel berfungsi menghubungkan elemen
posterior dan anterior, memindahkan kekuatan yang mengontrol dari elemen posterior
ke anterior.
4. Vertebra sakrum merupakan tulang yang berbentuk segitiga dan merupakan fusi
dari kelima segmen vertebra segmen sakral. Sakrum berperan dalam stabilisasi dan
kekuatan dari pelvis serta mentransmisikan berat badan tubuh ke pelvis (Yanuar, 2002).
5. Persendian pada kolumna vertebralis ada 2 yaitu persendian antara 2 korpus
vertebra (amphiarthrodial) dan antara 2 arkus vertebra (arthrodial). Persendian ini
membentuk apa yang disebut motion segmen (Bagduk, 1997; Finneson, 1980 dikutip oleh
Auliana, 2003). Persendian antara 2 vertebra disebut persendian amfiartrodial dimana
permukaan tulang dihubungkan baik oleh fibrokartilago diskus atau oleh ligamen
interoseus, sehingga pergerakan menjadi terbatas tetapi bila keseluruhan vertebra bergerak
maka rentang gerakan dapat diperhitungkan (Finneson, 1980 dikutip Auliana, 2003).
Ligamen-ligamen yang memperkuat persendian di kolumna vertebralis regio
lumbal adalah :
a. Ligamen flavum
Ligamen flavum merupakan ligamen yang menghubungkan lamina dari dua arkus
vertebra yang berdekatan. Ligamen ini panjang, tipis dan lebar diregio servikal, lebih tebal
di regio torakal dan paling tebal di regio lumbal. Ligamen ini mencegah terpisahnya lamina
arkus vertebralis dan juga mencegah terjadinya cidera di diskus intervertebralis. Ligamen
flavum yang kuat dan elastis membantu mempertahankan kurvatura kolumna vertebralis
dan membantu menegakkan kembali kolumna veretbralis setelah posisi fleksi (Yanuar,
2002).
b. Ligamen interspinosus
Ligamen interspinosus merupakan ligamen yang menghubungkan prossesus
spinosus mulai dari basis hingga apex, merupakan ligamen yang lemah hampir menyerupai
membran (Yanuar, 2002)
c. Ligamen intertranversus
Ligamen intertranversus adalah ligamen yang menghubungkan prossesus
tranversus yang berdekatan. Ligamen ini di daerah lumbal tipis dan bersifat membranosa
(Yanuar, 2002).
d. Ligamen supraspinosus
Ligamen supraspinosus menghubungkan prosesus spinosus di daerah apex vertebra
servikal ke 7 (VC7) sampai dengan sakrum. Ligamen ini dibagian kranial bergabung
dengan ligamen nuchae. Ligamen supraspinosus ini kuat, menyerupai tali (Yanuar, 2002).
Otot punggung bawah dikelompokkan kesesuai dengan fungsi gerakannya. Otot
yang berfungsi mempertahankan posisi tubuh tetap tegak dan secara aktif mengekstensikan
vertebrae lumbalis adalah : m. quadraus lumborum, m. sacrospinalis, m. intertransversarii
dan m. interspinalis. Otot fleksor lumbalis adalah muskulus abdominalis mencakup : m.
obliqus eksternus abdominis, m. internus abdominis, m. transversalis abdominis dan m.
rectus abdominis, m. psoas mayor dan m. psoas minor. Otot latero fleksi lumbalis adalah
m. quadratus lumborum, m. psoas mayor dan minor, kelompok m. abdominis dan m.
Intertransversarii. Jadi dengan melihat fungsi otot punggung di bawah berfungsi
menggerakkan punggung bawah dan membantu mempertahankan posisi tubuh berdiri
(Kuntono, 2007).
Medulla spinalis dilindungi oleh vertebra. Radik saraf keluar melalui kanalis
spinalis, menyilang diskus intervertebralis di atas foramen intervertebralis.
Ketika keluar dari foramen intervertebralis saraf tersebut bercabang dua yaitu
ramus anterior dan ramus posterior dan salah satu cabang saraf tersebut mempersarafi sendi
faset. Akibat berdekatnya struktur tulang vertebra dengan radik saraf cenderung rentan
terjadinya gesekan dan jebakan radik saraf tersebut. Semua ligamen, otot, tulang dan sendi
faset adalah struktur tubuh yang sensitif terhadap rangsangan nyeri, karena struktur
persarafan sensoris. Kecuali ligamen flavum, diskus intervertebralis dan ligamentum
interspinosum, karena tidak dirawat oleh saraf sensoris. Dengan demikian semua proses
yang mengenai struktur tersebut di atas seperti tekanan dan tarikan dapat menimbulkan
keluahan nyeri. Nyeri punggung bawah sering berasal dari ligamentum longitudinal
anterior atau posterior yang mengalami iritasi. Nyeri artikuler pada punggung bawah
berasal dari fasies artikularis vertebra beserta kapsul persendiannya yang sangat peka
terhadap nyeri. Nyeri yang berasal dari otot dapat terjadi oleh karena aktivitas motor
neuron, ischemia muscular dan peregangan miofasial pada waktu otot berkontraksi kuat
(Zimmermann M, 1987 dikutip oleh Kuntono, 2007).

Biomekanika Komponen Vertebra


Medula spinalis merupakan struktur yang mudah bergerak yang digantung oleh
akar saraf dan ligamen dentatum. Bila vertebra bergerak, pada awalnya dapat menyebabkan
terlipat atau tidak terlipatnya medula spinalis. Sepanjang medula spinalis dapat
menyesuaikan diri, maka medula spinalis tidak bergerak naik-turun dalam kanalis spinalis.
Perubahan panjang medula spinalis sewaktu terjadi ketegangan (tension), sekitar 70-75%
dalam bentuk terlipat dan tidak terlipat, sisanya dalam bentuk elongasi oleh sifat deformasi
elastik. Sifat dapat meregang dari medula spinalis tercatat dalam bentuk bifasik, awalnya
ia sangat elastis dan memanjang lebih dari 10%, untuk peregangan lebih dari itu dibutuhkan
kekuatan yang lebih besar. Perubahan panjang medula spinalis diikuti secara simultan oleh
perubahan pada area cross sectional dengan cara menurun pada waktu tegang (tension) dan
meningkat sewaktu kompresi (Auliana, 2003)
Kekuatan vertebra dalam menahan beban pada dasarnya ditentukan oleh kekuatan
elemen tulang. Secara anatomis, tiap vertebra telah menyesuaikan bentuk dan ukuranya
sebagai refleksi dari beban yang diembannya, sehingga tampak bertambah ukurannya
mulai dari regio servikal sampai lumbal. Persendian faset mengemban 18% beban
kompresi, 45% kekuatan torsional dan sejumlah stabilitas vertebra lainnya, tergantung dari
arah orientasi faset (Auliana, 2003).
Diskus intervertebralis relatif resisten terhadap kegagalan menghadapi beban
kompresi.Vertebral end plate biasanya yang terlebih dahulu kalah baik pada diskus normal
maupun yang telah mengalami degenerasi terutama oleh beban torsional. Beban pada
vertebra terbukti sangat bervariasi, tergantung postur dan beban eksternal. Pada L3-L4
sesorang yang sedang duduk, tekanan intradiskalnya lebih tinggi dibanding waktu berdiri,
tetapi tekanan paling rendah sewaktu seseorang berbaring terlentang (Auliana, 2003).
Struktur ligamen pada vertebra harus mampu memerankan fungsi ganda yaitu
memungkinkan gerakan fisiologis vertebra disamping menahan gerakan vertebra yang
melampaui batas. Sebagai contoh pada waktu ekstensi panjang ligamen flavum berkurang
10%, tetapi tidak menekuk ke dalam kanalis spinalis oleh karena masih dibawah 15% yang
dianggap sebagai pretension. Pada fleksi penuh, ligamen mampu memanjang sampai 35%.
Di luar range ini ligamen menjadi sangat kaku dan tidak dapat berelongasi lagi (Auliana,
2003).
Gerakan yang terjadi pada regio lumbal meliputi fleksi-ekstensi, yang mempunyai
luas gerak sendi sebesar 20/35 – 0 – 40/60 pada bidang sagital posisi pasien berdiri
anatomis. Pada gerak fleksi terjadi slide ke anterior dari korpus vertebra sehingga terjadi
penyempitan pada diskus intervertebralis bagian anterior dan meluas pada bagian posterior.
Gerak lateral fleksi yang mempunyai luas gerak sendi sebesar 15/20 – 0 – 15/20 pada
bidang frontal posisi pasien berdiri anatomis. Pada gerak lateral fleksi, korpus pada sisi
ipsilateral saling mendekat dan saling melebar pada sisi kontralateral. Gerak rotasi yang
mempunyai luas gerak sendi sebesar 45 – 0 – 45 pada bidang transversal, posisi pasien
duduk anatomis dimana gerak rotasi ini daerah lumbal hanya 2 derajat persegmen karena
dibatasi oleh sendi faset (Hall, 1953).
Mekaniaka columna vertebralis netral didefinisikan sebagai adanya lordosis
servikal dan lumbal yang normal dan kifosis torakal dan sakral. Frytte dan Greenman
menyatakan mekanika normal adalah saat sendi faset tidak bekerja. Pada kondisi ini,
gerakan lateral fleksi pada columna vertebralis akan menghasilkan rotasi pada sisi yang
berlawanan. Hal ini dikenal dengan mekanika tipe 1 dan terjadi di regio torakal dan lumbal.
Jika gerakan fleksi atau ekstensi dilakukan pada region tersebut, sendi faset akan bekerja
dan akan mengontrol pergerakan vertebra. Pada saat demikian, lateral fleksi dan rotasi
berada pada satu sisi. Hal ini dinamakan mekanika tipe 2 atau mekanika non-netral dan
terjadi di regio torakal atau lumbal saat fleksi atau ekstensi (Moore,1999; Seeley, 2003;
Carola, 1990 dikutip oleh Yanuar, 2002).

4. Manifestasi Klinis
a) Badan lemah / lesu
b) Nafsu makan menurun
c) BB menurun
d) Suhu tubuh sedikit meningkat (sub febris) terutama pada malam hari
e) Nyeri punggung
f) Nyeri radikuler yang mengelilingi dada atau perut
g) Deformitas tulang belakang
h) Adanya spasme otot paravertebralis
i) Gangguan motoric
j) Adanya gibus/kifosis

5. Stadium Penyakit
a) Stadium implantasi
Setelah bakteri berada pada tulang, maka bila daya tahan tubuh penderita turun maka
bakteri akan berduplikasi membentuk koloni yang berlangsung selama 6-8 minggu.
Keadaan ini umumnya terjadi pada daerah paradiskus dan pada anak -anak umumya pada
daerah sentral vertebra.
b) Stadium destruksi awal
Setelah stadium implantasi selanjutnya terjadi desktruksi kopus vertebra serta
penyempitan yang ringan pada diskus. Proses ini berlangsung selama 3-6 minggu.
c) Stadium destruksi lanjut
Pada stadium ini terjadi destruksi yang massif. Kolaps vertebra dan terbentuk massa
kaseosa serta pus yang berbentuk cold abses (abses dingin) yang terjadi 2-3 bulan setelah
stadium destruksi awal. Selanjutnya dapat terbentuk sekuenstrum serta kerusakan diskus
invertebralis. Pada saat ini trebentuk tulang baji terutama disebelah depan akibat
kerusakan korpus vertebra yang menyebabkan terjadinya kifosis atau gibbus.
d) Stadium gangguan neurologis
Ganggaun neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang terjadi, terutama
ditentukan oleh tekanan abses ke kanalis spinalis. Gangguan ini ditemukan 10% dari
seluruh komplikasi spondylitis TB. Vertebra torakalis mempunyai mampunyai kanalis
spinalis yang lebih kecil sehingga gangguan neurologis lebih mudah terjadi pada daerah
ini. Bila terjadi gangguan neorologis maka perlu dicatat derajat kerusakan paraplegia,
yaitu :
1) Derajat 1
Kelemahan pada anggota gerak bawah terjadi setelah melakukan aktifitas atauu
setelah berjalan jauh. Pada tahap ini belum terjadi gangguan saraf sensoris.
2) Derajat 2
Terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah tapi penderita masih dapat
melakukan pekerjaannya.
3) Derajat 3
Terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah yang membetasi gerak / aktifitas
penderita.
4) Derajat 4
Terjadi gangguan saraf sensoris dan motoris serta gangguan defekasi dan miksi.
e) Stadium deformitas residual
Stadium ini terjadi kurnag lebih 3-5 tahun setelah timbulnnya stadium miplantasi. Kifosis
atau gibbus akan bersifat permanen oleh karena kerusakan vertebra yag massif disebelah
depan.

6. Patofisiologi
Basil TB masuk kedalam tubuh kebanyakan melalui traktus respiratorius. Pada saat etrjadi
infeksi primer, karena keadaan umum yang buruk maka dapat terjadi basilemia.
Penyebaran etrjadi secara hematogen. Basil TB dapat tersangkut di paru, hati, limpa, ginjal,
dan tulang. Enam hingga delapan minggu kemudian respon tubuh imunologis timbul dan
fokus tasi dapat mengalami reaksi selular yang kemudian menjadi tidak aktif atau mungkin
sembuh sempurna. Vertebra merupakan tempat yang sering terjangkit tuberkulosis tulang.
Penyakit ini paling sering menyerang korpus vertebra. Penyakit ini pada umumnya
menyerang lebih dari satu vertebra. Infeksi berawal dari bagian sentral, bagian depan, atau
daerah apifisial korpus vertebra. Kemudian terjadi hiperemi dan eksudasi yang
menyebabkan osteoporosis dan perlunakan korpus. Selanjutnya terjadi kerusakan pada
korteks epifise, discus intervertebralis dan vertebra sekitarnya. Kerusakan pada bagian
depan korpus ini akan menyebabkan terjadinya kifosis yang dikenal sebagai gibbus.
Berbeda dengan infeksi lain yang cenderung menetap pada vertebra yang bersangkutan,
tuberkulosis akan terus mengahncurkan vertebra didekatnya.
Kemudiann eksudat menyebar ke depan, dibawah ligamentum longitudinal anterior dan
mendesak aliran darah vertebra didekatnya. Eksudat ini dapat menembus ligamentum dan
dapat berekspansi ke berbagai arah disepanjang garis ligamnet yang lemah. Pada daerah
servical, eksudat terkumpul dibelakang fascia paravertebralis dan menyebar lateral
dibelakang mukulus sklernokleidomastioideus. Eksudat dapat mengalami protrusi kedepan
dan menonjol kedalam faring yang dikenal sebagai abses faringeal. Abses dapat berjalan
ke mediastinum mengisi tempat trakea, esophagus, atau kavum pleura. Abses pada vertebra
torakalis akan tetap tinggal pada daerah toraks setempat menempati daerah paravertebral,
berbentuk massa yang menonjol fusiform. Abses pada serah ini dapat menekan medulla
spinalis sehingga timbul paraplegia. Abses pada daerah lumbal dapat menyebar masuk
mengikuti muskulus psoas dan muncul dibawah ligamentum inguinal pada bagian medial
paha. Eksudat juga dapat menyebar kedaerah krista iliaka dan mungkin dapat mengikuti
pembuluh darah femoralis pada trigonum skarpei atau regio glutea.

7. Pemeriksaan Penunjang
a) Pemeriksaan Laboratorium
 Peningkatan LED dan mungkin disertai leukositosis
 Uji Mantoux : hasil positif TB
 Pada pemeriksaan biakan kuma mungkin ditemukan Mycobacterium
 Biopsy jringan granulasi atau kelenjar limbfe regional
 Pemeriksaan hispatologi ditemukan tuberkel. Pemeriksaan foto toraks untuk melihat
adanya tberkulosis paru
 Phungsi lumbal akan didapati tekanan cairan serebrospinalis rendah
b) Pemeriksaan Radiologi
 Foto polos vertebra ditemukan osteoporosis, osteolitil, dan destruksi korpus
vertebra disertai penyempitan diskus intervertebralis yang berada diantara korpus
tersebutdan mungkin dapat ditemukan adanya abses paravertebral.
 Pemeriksan mielografi dilakukan bila terdapat tanda-tanda penekanan pada
sumsum tulang
 CT Scan
Dapat memberikan gambaran tulang secara lebih detail dari lesi irregular,
sclerosis, kolaps diskus.

8. Penatalaksanaan
a) Head education :
- Memberikan masker untuk mencegah terjadinya penularan
- Memberikan kebutuhan yang sesuai kebutuhan
- Menganjurkan untuk meminum rutin obat anti TB
b) Terapi konservatif, berupa :
 Tirah baring (bedrest)
 Memberi korset yang mencegah pergerakan vertebra/ membatasi pergerakan
vertebra
 Memperbaiki keadaan umum penderita
 Pengobatan antituboerculosa ( rifampicin, pyrazinamid, isoniazid)
c) Terapi operatif
Indikasi opersi yaitu bila ada :
 Bila dengan terapi konservatif tidak ada perbaikan paraplegia atau malah semakin
berat. Biasanya 3 minggu sebelum tindakan operasi dilakukan, setiap spondiliris
TB diberikan obat tuberculotic.
 Adanya abses yang besar sehingga diperlukan darinase abses secara terbuka dan
sekaligus debridemen serta bone graft
 Pada pemeriksaan foto polos, mielografi, ataupun CT Scan ditemukan adanya
penekanan pada medulla spinalis .
9. Fokus Pengkajian
a) Identitas
Meliputi nama klien, umur, jenis kelamin, pekerjaan, status perkawinan, agama, suku
bangsa, Pendidikan terakhir, alamat, tanggal pengkajian, tanggal MRS, diagnosa medis
b) Riwayat kesehatan sekarang
Keluhan utama pasien dengan spondilitis TB yaitu nyeri punggung bagian bawah
sehingga mendorong pasien berobat ke rumah sakit. Pada awal dapat dijumpai nyeri
radikuler yang mengelilingi dada atau perut. Nyeri dirasakan meningkat pada malam hari
dan bertambah berat terutama saat pergerakan pada tulang belakang. Selain keluhan
utama tersebut klien juga bis amengeluh nafsu makan menurun, badan terasa lemah, suhu
tubuh sedikit panas, keringat dingin, dan terjadi penurunan BB.
c) Riwayat kesehatan dahulu
Terajadinya spondylitis TB biasanya didahului dengan adanya riwayat pernah menderita
penyakit Tb paru.
d) Riwayat kesehatan keluarga
Pada klein dengan spondylitis TB penyebab timbulnya yaitu klien pernah atau masih
kontak dengan penderita lain yang menderita penyakit TB pada keluarga maupun
disekitarnya.
e) Riwayat psikososial
Klien akan cemas terhadap penyakit yang diderita sehingga klien akan sedih, dengan
kurangnya pengetahuan tentang penyakitnya, pengobatan dan perawatan terhadapnya
maka pendertia akan merasa takut dan bertambah cemas sehingga emosinya akan tidak
stabil dan mempengaruhi sosialisasi penderita dengan linkungannya.
f) Pola fungsi kesehatan
1) Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat
Adanay tindakan medis dan perawatan di RS mempengaruhi persepsi klien tentang
kebiasaan merawat diri, yang dikarenakan tidak semua klien mengerti benar
perjalanan penyakitnya. Sehingga menimbulkan salah persepsi dalam pemeliharaan
kesehatan. Dan juga kemungkinan terdapatnya riwayat tentang keadaan perumahan,
gizi dan tingkat ekonomi klien akan mempengaruhi kesehatan klien
2) Pola nutrisi dan metabolisme
Akibat dari proses penyakit klien merasakan tubuhnya menjasi lemah. Sedangkan
kebutuhan metabolisme tubuh semakin meningkat sehingga klien akan mengalami
gangguan pada status nutrisinya.
3) Pola eliminasi
Kelien akan mengalami perubahan dalam cara eliminasi yang semula bisa ke kamar
mandi, karena lemah, nyeri punggung dan karena ada penatalaksanaan perawatan
imobilisasi, sehingga jika klien ingin BAB atau BAK harus diatas tempat tidur
dengan alat dan bantuan keluarga atau tenaga kesehatan. Dengan perubahan tersbut
klien tidak terbiasa dan akan terjadi gangguan eliminasi.
4) Pola aktifitas
Karena adanya kelemahan fisik , nyeri punggung dan karena ada penatalaksanaan
perawatan imobilisasi akan menyebabkan klien membatasi aktifitas fisik dan
berkurangnya kemampuan dalam melaksanakan aktifitas fisik tersebut.
5) Pola tidur dan istirahat
Adanya nyeri pada punggung, dan perubahan lingkuangan atau dampak hospitalisasi
akan menyebabkan masalah dalam pemenuhan kebutuahn tidur dan istirahat.
6) Pola hubungan dan peran
Sejak sakit dan masuk RS klien mengalami perubahan peran atau tidak mampu
menjalankan perannya sebagaimana msetinya, baik dalam keluarga maupun
masyarakat. Hal tersebut berdampak terganggunya hubungan interpersonal.
7) Pola persepsi dan konsep diri
Klien dengan spondylitis TB seringkali emrasa malu terhadap bentuk tubuhnya dan
terkadang sampai mengisolasi dirinya
8) Pola sensori dan kognitif
Fungsi indra klien tidak mengalamii ganguuan kecuali bila terjadi komplikasi
paraplegi.
9) Pola reproduksi seksual
Kebutuhan klien dalam hal melakukan hubungan seksual akan terganggu bila klien
dirawat di RS, namun dalam hal curahan kasih saying dan perhatian dari pasangan
hidupnya dalam hal merawat sehari – hari tidak akan terganggu.
10) Pola penanggulangan stress
Klien yang kurang memahami kondisinya kan mengalami stress. Dan klien akan
lebih bnayak bertanya tentang penyakitnya untuk mengurangi stressnya.

11) Pola nilai dan kepercayaan


Klien yang sebelum sakit rajin melakukan ibadah, maka saat sakit di ajuga akan giat
beribadah sesuai dengan kemampuannya..
g) Pemeriksaan Fisik
1) B1 (Breathing)
Terkadang didapatkan adanya bakteri tuberculosa pada paru-paru
2) B2 (Blood)
Terkadang didapatkan adanya bakteri tuberculosa pada aliran darah
3) B3 (Brain)
Pasien tmapak lemah, terjadi peningkatan suhu tubuh (sub febris)
4) B4 (Bowel)
Terdapat penurunana nafsu makan sampai penurunan BB
5) B5 (Bladder)
Biasanya terjadi gangguan eliminasi karena klien harus bedrest
6) B6 (Bone)
Nyeri pada tulang belakang, deformitas tulang belakang dan tampak kifosi,
terdapat spasme otot paravertebralis

10. Diagnosis Keperawatan


1) Nyeri berhubungan dengan kompresi radiks saraf servikal, spasme otot servikal
2) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan musculoskeletal dan nyeri
3) Gangguang citra tubuh berhubungan dengan gangguan struktur tubuh
4) Ketidak seimbangan nutrisi : nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan asupan
nutrisi tidak adekuat sekunder akibat nyeri tenggorokan dan gangguan menelan
5) Risiko Infeksi berhubungan dengan port de entrée luka pasca-bedah

6) Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi mengenai penyakit,


pengobatan dan perawatan
11. Intervensi
1. Nyeri berhubungan dengan kompresi radiks saraf servikal, spasme otot servikal
Tujuan : Rasa nyaman terpenuhi dan nyeri berkurang 3 x 24 jam
Kriteria Hasil :
1. Klien melaporkan penurunan nyeri
2. skala nyeri 0 - 1
3. dapat mengidentifikasi aktivitas yang meningkatkan atau menurunkan nyeri
4. klien menunjukan perilaku yang lebih rileks
Intervensi :
1) Kaji lokasi, intensitas dan tupe nyeri sebagi observasi penyebaran nyeri
rasional : nyeri merupakan pengalaman subjek yang hanya dapat di gambarkan oleh
klien sendiri
2) Jelaskan dan bantu klien dengan tindakan pereda nyeri nonfarmakologis dan non
invasive
Rasional : Pendekatan dengan menggunakan relaksasi dan nonfarmakologis lainnya
telah menunjukan keefektifan dalam mengurangi nyeri.
3) Istirahatkan leher, atur posisi fisiologis dan pasang ban leher
rasional : posisi fisiologis akan mengurangi kompresi saraf leher
4) Lakukan masase pada otot leher
rasional : masase ringan dapat meningkatkan aliran darah dan membantu suplai darah
dan oksigen ke area nyeri leher
5) Ajarkan teknik relaksasi pernafasan dalam ketika nyeri muncul
rasional : meningkatkan asupan oksigen sehingga menurunkan nyeri sekunder akibat
iskemia
6) Ajarkan teknik distraksi pada saat nyeri
rasional : distraksi dapat menurunkan stimulus nyeri
7) Berikan analgesic sesuai terapi dokter dan kaji keefektivitasannya
rasional : analgesic mampu mnegurasngi rasa nyeri; bagaimana reaksi terhadap nyeri
yang diderita klien
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan musculoskeletal dan nyeri
Tujuan : klien dapat melakukan mobilisasi secara optimal dan mampu teradaptasi dalam
waktu 7 x 24 jam
Kriteria Hasil :
1. klien dapat ikut serta dalam program latihan
2. klien terlihat mampu melakukan mobilisasi secara bertahap
3. mempertahankan koordinasi dan mobilitas sesuai tingkat optimal
Intervensi
1) Kaji kemampuan mobilitas dan observasi terhadap peningkatan kerusakan
Rasional : mengetahui tingkat kemampuan klien dalam melakukan aktivitas
2) Bantu klien melakukan ROM, dan perawatan diri sesuai toleransi
Rasional : latihan ROM yang optimal mampu menurunkan atrofi otot, memperbaiki
sirkulasi perifer dan mencegah kontraktur
3) Pantau keluhan nyeri dan adanya tanda-tanda deficit neurologis
rasional : peran perawat dalam pemantauan dapat mencegah terjadinya hal yang lebih
parah seperti henti jantung – paru akibat kompresi batang otak dan korda
4) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian OAT
Rasional : OAT akan mengobati penyebab dasar spondilitis TB

3. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan gangguan struktur tubuh


Tujuan : Klien dapat mengekpresikan perasaanya dan dapat menggunakan koping adaptif
Kriteria Hasil :
1. Klien dapat mengungkapkan perasaannya dan dapat menggunakan
keterampilan koping yang poeotif dalam mengatasi perubahan citra
Intervensi :
1) Berikan kesempatan pada klien untuk mengungkapkan perasaan.
Rasional : meningkatkan harga diri klien dan membina hubungan saling percaya
dengan mengungkapkan perasaan dapat membantu penerimaan diri
2) Bersama-sama klien mencari alternatif koping yang positif
Rasional : dukungan perawat pada klien dapat meningkatkan rasa percaya diri klien
3) Kembangkan komunikasi dan bina hubungan antara klien kluarga dan teman serta
berikan aktifitas rekreasi dan permainan guna mengatasi perubahan body image
Rasional : memberikan semangat bagi klien agar dapat memandang dirinya secara
positif dan tidak merasa rendah diri

4. Ketidak seimbangan nutrisi : nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan asupan
nutrisi tidak adekuat sekunder akibat nyeri tenggorokan dan gangguan menelan
Tujuan : dalam waktu 7 x 24 jam keseimbangan nutrisi dapat terpenuhi
Kriteria Hasil :
1. klien terlihat mampu melakukan pemenuhan nutrisi per oral secara bertahap
2. proporsi berat badan dan tinggi badan ideal
Intervensi :
1) Pantau persentase asupan makanan yang dikonsumsi setiap makan, timbang berat
badan tiap hari
Rasional : mengidentifikasi kemajuan atau penyimpangan dari tujuan yang diharapkan
2) Berikan perawatan mulutu tiap 6 jam. pertahankan kesegaran ruangan
Rasional : perasaan tidak nyaman pada mulut dan bau yang tidak nyaman dari
lingkungan dapat mempengaruhi selera makan
3) Beri makanan lunak dalam kondisi hangat, sedikit tapi sering
Rasional : peran perawat dalam memberi dukungan sangat diperlukan pada klien yang
membutuhkan energy dan protein untuk proses pengembalian fungsi yang optimal
4) Dorong klien untuk ikut serta dalam pemenuhan nutrisi tinggi kalori dan tinggi
protein
Rasional : peran perawat dalam member dukungan sangat diperlukan pada klien yang
pada fase inflamasi sangat banyak membutuhkan energy dan protein untuk proses
pengembalian fungsi yang optimal
5) Kolaborasi dengan ahli diet untuk pemenuhan nutrisi yang ideal
Rasional : dalam kondisi akut, ahli diet dapat mencari jenis makanan yang dapat
membantu klien dalam memenuhi kebutuhan akan energy dan perbaikan

5. Risiko Infeksi berhubungan dengan port de entrée luka pasca-bedah


Tujuan : tidak terjadi tanda-tanda infeksi
Kriteria Hasil :
1. terbebas dari tanda atau gejala infeksi
2. menunjukan hygiene yang adekuat
3. menggambarkan faktor yang menunjang penularan infeksi
Intervensi :
1) Pantau tanda/ gejala infeksi
Rasional : mengidentifikasi dini infeksi
2) Kaji faktor yang meningkatkan serangan infeksi
Rasional : Menggambarkan faktor yang menunjang penularan infeksi
3) Berikan terapi antibiotik, bila diperlukan
Rasional : Mencegah Infeksi

6. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi mengenai penyakit,


pengobatan dan perawatan
Tujuan : Klien dan Keluarga dapat memahami cara perawatan di rumah
Kriteria Hasil :
1. Klien dapat memperagakan pemasangan dan perawatan brace atau korset
2. mengekspresikan pengertian tentang jadwal pengobatan
3. klien mengungkapkan pengertian tentang proses penyakit, rencana
pengobatan dan gejala kemajuan penyakit
Intervensi :
1) Diskusikan tentang pengobatan
Rasional : meminimalisasi kesalahan klien dan keluarga dalam penggunaan
obat
2) Tekankan pentingnya lingkungan yang aman untuk mencegah fraktur
Rasional : Meningkatkan kewaspadaan klien maupun keluarga terhadap faktor
– faktor resiko yang dapat memperparah kondisi klien.
DAFTAR PUSTAKA
1. Asnawi C. Margono.1996.Neuropati Kapita Selekta Edisi TI.Yogyakarta : Gadjah
Mada University Press
2. Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC
3. Harsono. 2003. Spondilitis Tuberkulosa dalam Kapita Selekta Neurologi. Ed. II.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
4. Howard, L. Werner, Lowrence P. Levitt. 2001. Buku Saku Neurologi, Edisi ke . Jakarta
: EGC
5. Mardjono M, Sidharta P. 2003. Neurologi Klinis Dasar, Edisi IX. Jakarta : Dian Rakyat
6. Rasjad C. 2003. Spondilitis Tuberkulosa dalam Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Ed.II.
Makassar: Bintang Lamumpatue.
7. Wiley dan Blacwell. (2009). Nursing Diagnoses: Definition & Classification 2009-
2011, NANDA.Singapura:Markono print Media Pte Ltd Marilyan, Doenges E.
2000. Rencana Asuhan Keperawatan (Pedoman untuk perencanaan
dan pendokumentasian perawatyan px) Jakarta : EGC
8. Closkey ,Joane C. Mc, Gloria M. Bulechek.(1996). Nursing Interventions
Classification (NIC). St. Louis :Mosby Year-Book.

9. Johnson,Marion, dkk. (2000). Nursing Outcome Classifications (NOC). St. Louis


:Mosby Year-Book
12. Pathway
Pre op
Pathways post op

Anda mungkin juga menyukai