Anda di halaman 1dari 22

BAB I

Tinjauan Jurnal

1. Pengaruh Posisi Pronasi pada Residu Lambung pada Bayi


Prematur

Pretna Golnaz Forough Ameri1, Somayeh Rostami2 *, Hamideh Baniasadi2, Batoul


Pour Aboli3 dan Fereshteh Ghorbani2

Departemen Perawatan Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keperawatan dan


Kebidanan Razi, UniversitasKedokteran Ilmu, Kerman, Iran. 2Departemen Kesehatan
Masyarakat, Fakultas Keperawatan dan Kebidanan, Universitas Ilmu Kedokteran
Kerman, Kerman, Iran. 3Departemen Perawatan Kesehatan Masyarakat, Fakultas
Keperawatan dan Kebidanan, UniversitasKedokteran Ilmu, Teheran, Iran
Ameri et al .; JPRI, 22 (2): 1-6, 2018;

ABSTRAK

Latar Belakang: residual lambung adalah masalah yang umum pada bayi prematur .
Posisi setelah menyusui memengaruhi residu lambung pada bayi prematur. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perubahan posisi bayi pada residu lambung.
Metode: Penelitian ini dilakukan studi cross-over di unit perawatan intensif neonatal
tingkat III. Gavage neonatus dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama dilakukan
dengan pemberian makan volume 50 cc per kg setiap hari susu dan tahap kedua
dilakukan dengan pemberian volume makan 100 cc per kg setiap hari. Setelah
menyusui, bayi ditempatkan pada posisi yang diinginkan (PRONASI) selama 180 menit
dan residu lambung diukur dan dicatat. Setengah dari neonatus dianggap sebagai
kelompok kontrol. Data dianalisis dengan uji-t berpasangan sampel independen, uji Mc
Namara, dan Fisher dan Pearson. Hasil: Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa
residu pada bayi prematur setelah 180 menit pada posisi tengkurap kurang dari residual
pada bayi setelah 180 menit pada kelompok kontrol - hasil ini sama untuk volume 50 cc
/ kg / hari dan 100 cc / kg / hari (P = 0,0001). Kesimpulan: Mempertimbangkan residu
lambung yang kurang dalam posisi tengkurap, penempatan bayi setelah menyusui dan
kemudian mengubah posisi sesuai dengan isyarat perilaku mereka direkomendasikan.
Hasil ini dapat membantu para profesional perawatan kesehatan untuk memberikan
makanan yang efisien, serta melakukan posisi bayi prematur yang tepat.

1
2. Pengaturan Posisi Tidur Bayi Berat Lahir Rendah Dapat Menurunkan
Kejadian Intoleransi Pemberian Minum Enteral

Dyah Dwi Astuti1, Yeni Rustina2, Fajar Tri Waluyanti2


Politeknik Kementrian Kesehatan Surakarta
Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia

Jurnal Keperawatan dan Pemikiran Ilmiah


Astuti, D.(2018). Pengaturan Posisi Tidur Bayi
Berat Lahir Rendah Dapat Menurunkan
Kejadian Intoleransi Pemberian Minum Enteral Nurscope.Jurnal Keperawatan Pemikiran Ilmiah.
4 (2). 10-17

Abstrak
Pendahuluan: Intoleransi pemberian minum enteral merupakan masalah yang sering terjadi pada
bayi berat lahir rendah. Penelitian bertujuan untuk menganalisis pengaruh pengaturan posisi tidur
pada bayi berat lahir rendah terhadap kejadian intoleransi pemberian minum enteral. Metodologi:
Desain penelitian adalah kuasi eksperimen pada 20 bayi berat lahir rendah dengan teknik purposive
sampling. Bayi dikelompokkan menjadi kelompok intervensi dan kontrol. Bayi pada kelompok
kontrol dilakukan intervensi sesuai standar prosedur rutin; sedangkan pada kelompok intervensi
dilakukan pengaturan posisi tidur Pronasi setelah pemberian minum enteral dan meninggikan
bagian kepala tempat tidur 30 derajat selama pemberian minum enteral. Hasil: Analisis uji t
independen dan Fisher’s Exact Test menunjukkan bahwa pengaturan posisi tidur dapat
menurunkan kejadian desaturasi (p value = 0,011), distensi abdomen (p value = 0,017), dan
frekuensi muntah (p value = 0,035). Diskusi: Perawat dapat menjadikan intervensi pengaturan
posisi tidur sebagai standar prosedur operasional pada bayi berat lahir rendah yang mengalami
intoleransi pemberian minum enteral.

2
BAB II

KESIMPULAN dan SARAN

1. Kesimpulan

Berdasarkan kedua penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa Pengaturan


posisi tidur Pronasi dengan meninggikan bagian kepala tempat tidur 30 derajat dapat
menurunkan frekuensi muntah, menurunkan terjadinya desaturasi, dan distensi
abdomen. Bayi prematur memiliki residu lambung yang lebih rendah pada posisi
tengkurap pada kedua volume menyusui. Disarankan bahwa bayi prematur
ditempatkan dalam posisi tengkurap pada awalnya setelah menyusui dan posisi mereka
kemudian diubah sesuai dengan isyarat perilaku mereka. Hasil penelitian ini
berkontribusi pada pemahaman yang lebih baik tentang hubungan antara posisi dan
residu lambung; intervensi posisi sederhana ini juga dapat membantu para profesional
perawatan kesehatan untuk memberikan makan yang efisien serta melakukan
penempatan bayi prematur yang tepat. Perawat yang bekerja di NICU perlu dididik
tentang bagaimana posisi tubuh mempengaruhi sisa lambung bayi prematur. Semua
informasi tentang risiko dan manfaat serta strategi intervensi terbaik sebelum
intervensi ini dilakukan harus dimasukkan dalam program pendidikan

2. Saran Bagi Rumah Sakit

Kami menyarankan kepada pihak Rumah Sakit untuk menguji pandangan perawat
NICU tentang intervensi ini, manfaat dan kerugiannya juga agar selanjutnya penelitian ini
dapat lebih dikembangkan dan bermanfaat bagi ilmu keperawatan.

3
BAB III

LAMPIRAN JURNAL

4
Pengaruh Posisi Pronasi pada Residu Lambung pada Bayi
Prematur

PretermPretna Golnaz Forough Ameri1, Somayeh Rostami2 *,


Hamideh Baniasadi2, Batoul Pour Aboli3 dan Fereshteh Ghorbani2
1Departemen Perawatan Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keperawatan dan Kebidanan Razi, UniversitasKedokteran Ilmu,
Kerman, Iran. 2Departemen Kesehatan Masyarakat, Fakultas Keperawatan dan Kebidanan, Universitas Ilmu Kedokteran
Kerman, Kerman, Iran. 3Departemen Perawatan Kesehatan Masyarakat, Fakultas Keperawatan dan Kebidanan,
UniversitasKedokteran Ilmu, Teheran, Iran
Ameri et al .; JPRI, 22 (2): 1-6, 2018;

ABSTRAK

Latar Belakang: residual lambung adalah masalah yang umum pada bayi prematur .
Posisi setelah menyusui memengaruhi residu lambung pada bayi prematur. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perubahan posisi bayi pada residu lambung.
Metode: Penelitian ini dilakukan studi cross-over di unit perawatan intensif neonatal
tingkat III. Gavage neonatus dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama dilakukan
dengan pemberian makan volume 50 cc per kg setiap hari susu dan tahap kedua
dilakukan dengan pemberian volume makan 100 cc per kg setiap hari. Setelah
menyusui, bayi ditempatkan pada posisi yang diinginkan (Pronasi) selama 180 menit
dan residu lambung diukur dan dicatat. Setengah dari neonatus dianggap sebagai
kelompok kontrol. Data dianalisis dengan uji-t berpasangan sampel independen, uji
Mc Namara, dan Fisher dan Pearson. Hasil: Temuan penelitian ini menunjukkan
bahwa residu pada bayi prematur setelah 180 menit pada posisi tengkurap kurang dari
residual pada bayi setelah 180 menit pada kelompok kontrol - hasil ini sama untuk
volume 50 cc / kg / hari dan 100 cc / kg / hari (P = 0,0001). Kesimpulan:
Mempertimbangkan residu lambung yang kurang dalam posisi tengkurap, penempatan
bayi setelah menyusui dan kemudian mengubah posisi sesuai dengan isyarat perilaku
mereka direkomendasikan. Hasil ini dapat membantu para profesional perawatan
kesehatan untuk memberikan makanan yang efisien, serta melakukan posisi bayi
prematur yang tepat.

5
Pendahuluan

Karena sebagian besar bayi dirawat di unit perawatan intensif neonatal, lahir prematur, argumen
utama tentang neonatus berisiko tinggi adalah bayi prematur. Mempertimbangkan bahwa 7-19%
kelahiran terjadi ketika bayi berusia di bawah 37 minggu, kelahiran prematur adalah salah satu
tantangan utama di bidang neonatal. Bayi prematur mengalami banyak masalah termasuk
kesulitan bernafas dan serangan apnea, ketidakmampuan untuk mengatur suhu tubuh secara
efektif dan komplikasi lain yang timbul dari kurangnya sistem tubuh yang sesuai dengan
perkembangan [1].

Untuk meningkatkan fungsi pernapasan, perawatan harus dilakukan untuk memasok kebutuhan
nutrisi penting selama pemberian makan bayi memastikan mereka diberi makan dengan metode
yang tidak mengarah pada aspirasi, regurgitasi atau kelelahan [2]. Pemberian makan enteral dini
diperlukan untuk saluran pencernaan pada bayi prematur. Bayi prematur yang menerima
makanan enteral lebih dini dapat mentoleransi pemberian makanan oral penuh lebih baik
daripada yang lain, mencegah banyak komplikasi jangka panjang dari nutrisi parenteral. Dengan
demikian, banyak unit perawatan intensif neonatal mencoba memulai pemberian enteral neonatal
sesegera mungkin dan lebih memilih ASI [3].

Intoleransi makan pada bayi prematur sering terjadi. Residu lambung, distensi abdomen dan
emesis dianggap sebagai indeks intoleransi makan [4]. Residu lambung lebih sering terjadi pada
bayi neonatus. Secara klinis, residu lambung bertindak sebagai kriteria untuk penentuan
peningkatan volume, menunda pemberian makan atau menghentikan pemberian makan
sementara [5]. Selama dekade terakhir, pengobatan untuk mengobati masalah lambung seperti
intoleransi makan meningkat pada bayi prematur [6]. Penting bagi pemberi perawatan neonatal
untuk fokus pada kemajuan kesehatan bayi prematur. Baru-baru ini, penekanan penting telah
ditempatkan pada strategi yang mendukung untuk kesehatan perkembangan. Strategi-strategi ini
adalah praktik keperawatan yang penting untuk neonatus dan salah satunya adalah mengubah
posisi tubuh. Penggunaan pengobatan tambahan adalah untuk penggunaan obat yang lebih
sedikit dan kemudian lebih sedikit efek samping dan biaya [7].

Posisi tubuh adalah faktor yang mempengaruhi residu lambung. Posisi setelah makan
dapat membantu mencegah volume residu lambung maksimum [8]. Pada bayi prematur,
mereka yang diberi ASI memiliki residu lambung yang lebih sedikit. Namun,
menggunakan susu formula dan ASI secara bersamaan daripada memberikan bayi
prematur dengan rejimen pemberian makanan yang sama dapat mengaburkan interpretasi
hasil [9].

Anuntaseree et al. melaporkan bahwa posisi telentang lebih sering terjadi di Barat
daripada di Asia [10] dan tidak ada perbedaan antara bayi yang diberi susu formula atau

6
ASI [9]. Juga, penelitian sebelumnya menemukan bahwa bayi dalam posisi tengkurap
memiliki toleransi yang lebih baik [11,9 dan 12]. Sampai sekarang, sangat sedikit
penelitian yang meneliti efek posisi tubuh pada residu lambung pada bayi prematur.
Dalam konteks Iran, tidak ada penelitian yang ditemukan untuk memeriksa posisi tubuh
pada residu lambung. Penelitian ini dilakukan untuk menilai efek posisi tubuh pada residu
lambung pada bayi prematur yang dirawat di NICU di tenggara Iran.

Metode penelitian

Ini adalah studi cross-over di Unit perawatan intensif neonatal level III, yang dilakukan di
Kerman, Iran. Sampel bayi dalam penelitian ini dipilih dari satu rumah sakit di bawah
pengawasan Universitas Ilmu Kedokteran Kerman. Tujuh puluh dua bayi yang dirawat di
perawatan intensif neonatal berpartisipasi dalam penelitian dan dibagi menjadi kelompok
intervensi dan kontrol. Mereka termasuk pria dan wanita yang berusia kurang dari 37 minggu
usia kehamilan dan melaporkan skor Apgar> 7 pada 5 menit. Bayi-bayi yang dipilih tanpa
kompresi jantung, menggunakan tabung makanan, dengan interval pemberian makan 3 jam.
mengecualikan bayi yang memiliki muntah Dan pengumpulan data secara hati-hati. Proposal
penelitian juga diwarnai aspirasi lambung, gastrointestinal lain ditinjau dan disetujui oleh
Kantor Pusat Penyakit dan memiliki tabung dada.
Pengumpulan data Etika Penelitian di Kerman di Medical adalah daftar periksa yang
mencakup dua bagian: Science University (Kode etik: karakteristik demografis dan
pendaftaran IR.KMU.REC.1394, 123). Informed consent atas variabel yang
diukur.demografis Formulir ditandatangani oleh orang tua. Karakteristik persetujuan terdiri
dari usia kehamilan, jenis kelamin, formulir menjelaskan bahwa partisipasi benar-benar berat
lahir, skor Apgar pada menit pertama dan kelima sukarela, dan mereka dapat menarik diri dari
dan dukungan pernapasan. Dalam pendaftaran, kami belajar setiap saat. Mereka diberitahu
tentang posisi tubuh yang dicatat, volume penggerusan tujuan penelitian dan prosedur. Untuk
susu dan volume residu lambung setelah 180 kerahasiaan aman tidak ada positioning min
pribadi. Kami mencatat volume susu menggunakan informasi pada skala. Data dianalisis
grafik harian yang ditulis oleh dokter. Saat menggunakan SPSS22. Statistik deskriptif
digunakan volume pemberian makanan yang diterima oleh bayi mencapai 50 untuk
menentukan rata-rata, Standar Deviasi, cc per kg sehari bayi akan terdaftar dalam frekuensi,
dan persen dari variabel kategori. penelitian kami (tahap 1). Posisitubuh adalah Hipotesis diuji
dengan uji-t berpasangan, ditentukan oleh dadu. Bahkan angka menandakan
posisi rentan korelasi McNamara, Fisher dan Pearson dan angka ganjil menandakankontrol
koefisien. kelompok dan bayi ditempatkan pada posisi yang dipilih oleh dadu. Setelah
memposisikan neonatus dan menunggu 180 menit, kami mencatat residu lambung dan
mengamati apakah bayi memiliki analisis deskriptif posisi latar belakang bergerak. Setelah
180 menit residu lambung informasi menunjukkan bahwa bayi prematur ditentukan lagi.
Residu lambung termasuk dalam usia kehamilan kurang dari 37 yang diidentifikasi dengan
jarum suntik dan dicatat. Grafik harian mingguan dan mereka sebagian besar adalah laki-laki

7
pada kedua bayi yang berpartisipasi dalam penelitian dan kelompok ini (Tabel 1). langkah-
langkah sebelumnya dilakukan pada mereka, dikontrol setiap hari dan ketika volume
pemberian makanan mencapai 100 cc / kg / hari, bayi mendaftar untuk penelitian lagi (tahap
2). Awalnya, kami meminta para ibu untuk mengeluarkan ASI dan menyimpannya dalam
wadah bersih (2-8oC). Jika tidak ada kemungkinan ASI ibu, atau volume ASI rendah, formula
khusus untuk bayi prematur digunakan. Untuk menyatukan kondisi untuk semua bayi,
penelitian dilakukan pada malam hari dan menggunakan selang makanan (NGT atau OGT)
untuk mereka semua. Jika bayi diberi ASI pada tahap 1, ia diberi ASI pada tahap 2 dan
sebaliknya.
Tahap 3 Analisis statistik menunjukkan perbedaan yang signifikan antara posisi tubuh dan
residu lambung. Residu lambung secara signifikan lebih rendah pada posisi tengkurap pada
stadium 1 dan 2 (P = 0,0001). Penurunan persentase pada kelompok kontrol adalah dari 100%
menjadi 76,74% pada tahap1 dan 71,54% pada tahap 2, sedangkan pada posisi tengkurap,
penurunan persentase adalah dari 100% menjadi 56,05% pada tahap1 dan 51,93% pada
tahap2. (Meja 2). Tidak ada perbedaan signifikan yang diamati antara residu lambung dan
jenis susu dan karakteristik demografi lainnya.

Pembahasan

Penelitian ini mengadopsi desain prospektif, seri waktu, cross-over untuk melacak perubahan
residu lambung dari waktu ke waktu ketika bayi prematur ditempatkan dalam posisi tengkurap.
Hasil penelitian ini berkontribusi pada pemahaman yang lebih baik tentang hubungan antara
waktu, posisi dan residu lambung; mereka juga dapat membantu profesional perawatan
kesehatan untuk memberikan makanan yang efisien serta melakukan penempatan bayi prematur
yang tepat. Hasil seperti itu tidak dapat ditemukan dengan satu atau dua pengukuran tembakan.
Dalam penelitian saat ini, kami dengan jelas menunjukkan bahwa tidak peduli apa posisi bayi
prematur ditempatkan, periode di mana residu lambung menurun paling cepat pada bayi
prematur adalah setengah jam pertama setelah menyusui, dan laju penurunan terutama tinggi di
posisi tengkurap. Melalui tinjauan sistemik intensif, Picheansathian et al. [8] menunjukkan
bahwa posisi tengkurap memiliki banyak keuntungan untuk bayi prematur, seperti meningkatkan
saturasi oksigen arteri [13], lebih sedikit apnea dan hipoksia, dan sinkronisasi thoracoabdominal
yang lebih baik [14] dan perubahan posisi tubuh memfasilitasi peningkatan fungsi paru-paru
paru-paru pada bayi dengan ventilasi. dukungan [15]. Bayi yang tidur dalam posisi tengkurap
juga memiliki suhu permukaan lebih tinggi dan menyempit gradien suhu sentral ke perifer [16].

Ada juga kelemahan pada posisi tengkurap, seperti peningkatan kelainan postural, insidensi
kelainan ortopedi kaki yang lebih tinggi, dan keterlambatan perkembangan otot [8,17]. Studi-
studi juga menunjukkan posisi tidur Pronasi sangat terkait dengan sindrom kematian bayi
mendadak (SIDS) [18]. Telah dilaporkan bahwa positioning memainkan peran penting ketika
memberikan perawatan perkembangan untuk bayi prematur yang sistem neuromotornya belum

8
matang [8]. Bukti mendukung bahwa perawatan perkembangan memiliki efek positif pada bayi
prematur di unit perawatan intensif neonatal [19,20]. Penempatan yang tepat, seperti membalik
ketika menyusui juga berkontribusi terhadap stabilitas sistem neuromotor bayi prematur dan
mempromosikan pengaturan diri [8]. Profesional perawatan kesehatan harus memahami
pentingnya
dari waktu dalam mengubah posisi bayi prematur guna mengoptimalkan perkembangan
fisiologis mereka. Akibatnya, penempatan dalam posisi tengkurap selama setengah jam
pertama pasca menyusui dan kemudian mengubah posisi sesuai dengan isyarat perilaku
bayi disarankan. Isyarat perilaku dikategorikan sebagai perilaku otonom, motorik, dan
keadaan [21]. Perawat harus mendukung kegiatan pengaturan diri bayi prematur
berdasarkan isyarat perilaku mereka untuk menyesuaikan diri dengan posisi yang tepat.
Saran ini juga bertepatan dengan prinsip perawatan perkembangan individual untuk bayi
prematur berat lahir rendah [20].

Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa posisi tengkurap dapat memfasilitasi


residu lambung yang lebih rendah dibandingkan posisi lain [9,22] sementara beberapa
penelitian telah melaporkan tidak ada efek postur yang signifikan terhadap pola
pengosongan lambung. Hasil yang tidak meyakinkan mungkin disebabkan oleh berbagai
metode yang digunakan dalam penelitian sebelumnya. Metode yang berbeda telah
digunakan untuk mengukur residu lambung seperti menggunakan teknik pelebaran, yang
invasif [23]. Dalam penelitian ini, kami mengukur volume residu lambung, yang non-
invasif, dan mudah diamati dan dibandingkan dalam kondisi makan alami. Dalam studi
triple cross-over Cohen et al. [24] tiga puluh satu bayi prematur dipelajari dan residu
lambung diukur pada 1 dan 3 jam setelah inisiasi menyusui. Mirip dengan hasil kami;
Penelitian Cohen menunjukkan volume residu 1 jam setelah pemberian pakan lebih
rendah dalam urutan posisi kanan, Pronasi, terlentang dan kiri [24]. Namun, bertentangan
dengan temuan kami, mereka tidak menemukan perbedaan yang signifikan antara
keempat posisi dalam hal volume residu lambung 3 jam setelah makan. Temuan yang
tidak konsisten ini mungkin disebabkan oleh kenyataan bahwa semua pengukuran bayi
dilakukan selama shift malam untuk menurunkan pengaruh obat dalam penelitian ini yang
memiliki ukuran sampel yang jauh lebih besar.

Secara umum, apa yang merupakan residu lambung yang signifikan secara klinis masih
belum jelas; kontroversi juga ada mengenai peran residu lambung. Mengamati lima puluh
bayi prematur secara prospektif, Shulman et al. [5] tidak menemukan korelasi antara
ambang volume residu lambung dan

hasil makan. Namun, mereka juga menunjukkan bahwa keterlambatan dalam mendapatkan
makanan lengkap mungkin merupakan hasil dari berbagai faktor yang bertindak pada saat yang
sama dan menyarankan bahwa studi acak terus menerus diperlukan untuk menentukan apakah
protokol manajemen GRV yang berbeda dapat digunakan untuk mengarahkan manajemen

9
pemberian makanan [5]. Beberapa penulis berpendapat bahwa terjadinya GRV mungkin lebih
merupakan indikator ketidakdewasaan usus daripada disfungsi usus [25]. Namun demikian,
dalam praktik klinis, residu lambung, dikombinasikan dengan tanda-tanda lain merupakan
indikasi penting apakah akan menambah atau menahan volume pemberian makanan, terutama
untuk bayi berisiko tinggi [26]. Oleh karena itu, mengklarifikasi hubungan antara GRV dan
posisi juga membantu untuk memahami status kesehatan bayi prematur dan memberi mereka
strategi pemberian makan yang tepat.

Kesimpulan

Bayi prematur memiliki residu lambung yang lebih rendah pada posisi tengkurap pada kedua
volume menyusui. Disarankan bahwa bayi prematur ditempatkan dalam posisi tengkurap pada
awalnya setelah menyusui dan posisi mereka kemudian diubah sesuai dengan isyarat perilaku
mereka. Hasil penelitian ini berkontribusi pada pemahaman yang lebih baik tentang hubungan
antara posisi dan residu lambung; intervensi posisi sederhana ini juga dapat membantu para
profesional perawatan kesehatan untuk memberikan makan yang efisien serta melakukan
penempatan bayi prematur yang tepat. Perawat yang bekerja di NICU perlu dididik tentang
bagaimana posisi tubuh mempengaruhi sisa lambung bayi prematur. Semua informasi tentang
risiko dan manfaat serta strategi intervensi terbaik sebelum intervensi ini dilakukan harus
dimasukkan dalam program pendidikan. Studi lebih lanjut menyarankan untuk menguji
pandangan perawat NICU tentang intervensi ini, manfaat dan kerugiannya juga.

10
Daftar pustaka

1. Buck J, Grade S, Kohl CD, Knaup-Gregori P. Menuju catatan pasien elektronik yang
komprehensif untuk mendukung konsep perawatan individu inovatif untuk bayi prematur
menggunakan pendekatan HER terbuka. Jurnal Internasional Informatika Medis. 2009; 78: 521-
531.

2. Kleinman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, buku teks pediatrik Nelson.
Philadelphia: Saunders Elseviers.18ke- Sunting. 2007; 706-707.

3. Sanjers H, PM De Jong, Mulders SE, dkk. Hasil residu lambung sambil menyusui bayi
prematur di berbagai posisi tubuh. Jurnal Keperawatan Neonatal. 2012; 74 (1): 66-68.

4. Gregory E, Defoege E, Natale M, Linda J. Necrotizing entrocolitis pada bayi prematur:


Patogenesis penyakit dan presentasi klinis. Kemajuan dalam Perawatan Neonatal. 2011; 11 (3):
155-164.

5. Shulman RJ, Ou CN, Smith EO. Evaluasi faktor-faktor potensial yang memprediksi
pencapaian pemberian makan penuh pada bayi prematur. Neonatologi. 2011; 52 (3): 304-307.

6. Abu Jawdeh E, Martin R. Neonatal apnea dan gastroesophageal reflux (GER): Apakah ada
masalah? Awal Hum Dev. 2013; 514-516.

7. Ramezani T, Baniasadi H, Baneshi MR, Efek pijatan pada saturasi oksigen bayi dengan
sindrom gangguan pernapasan yang diobati dengan tekanan jalan napas positif terus menerus
melalui hidung. British Journal of Pharmaceutical Research. 2017; 16 (5) 1-7.

8. Picheannsathian W, Woragidpoonpol P, Basoung C. Posisi bayi prematur untuk


perkembangan fisiologis yang optimal: Tinjauan sistematis. Pustaka Tinjauan Sistematik JBI
(JBL000097). 2009; 7 (7): 224-259.

9. Chen S, Tzeng Y, Gau B, Kuo P, Chen J, efek posisi Pronasi dan terlentang pada residu
lambung pada bayi prematur: Serangkaian waktu dengan cross over study. Jurnal Internasional
Studi Keperawatan. 2013; 92: 1-9.

11
10. Anuntaseree W, Mo-Suwan L, Vasiknanonte P, Kausirikul S, Lee M, Choprapawon C.
Faktor-faktor yang terkait dengan sindrom(SIDS): Pembaruan. Pediatri. neonatus. Child Care
Health dan Pengembangan. 2008; 34 (4): 482-490. 19. Coughlin M, Lohman MB, Gibbins S.

11. Jarus T, Bart O, Limanovitz I. PengaruhKeandalan dan efektivitas posisi Pronasi bayi dan
posisi telentang padatidur negara alat penilaian posisiuntuk menstandarkan dan menekankan
respons pada bayi prematur. Pediatrics positioning yang mendukung perkembangan. 2011; 34
(2): 257-263. praktik dalam perawatan intensif neonatal

12. Ramirez A, Wong WW, Shulman RJ. satuan. Faktor Ulasan Perawatan Bayi Baru Lahir dan
Bayi yang mengatur pengosongan lambung pada . bayi prematur. Jurnal Pediatri. Vandenberg
KA. Individual, 2006; 149 (4): 475-479.

13. Kassim Z, Donaldson N, Khetriwal B, Rao di NICU: Sebuah pedoman praktik. Awal H,
Sylvester, Raffery G, et al. Tidur posisi, saturasi oksigen dan paru-paru Loo KK, Espionosa M,
Tyler R, volume Howard J. dalam pemulihan, lahir prematur Menggunakan pengetahuan untuk
mengatasi stres pada bayi. Archives of Disease in Childhood NICU: Bagaimana orang tua
mengintegrasikan pembelajaran ke Fetal dan Neonatal Edition. 2006; baca isyarat fisiologis dan
perilaku 92 (5): F347-350. bayi. Jurnal Keperawatan Neonatal.

14. Oliveria TG, Rego MAS, Pereira NC, Vaz 2003; 22 (1): 31-37. LO, Franca DC, Vieira DSR,
dkk. Pronasi 22. Malhotra AK, Deorari AK, Paul VK, poaisi Bagga dan mengurangi
thoracoabdominal A, residu Singh M. Gastric pada asinkron preterm pada bayi baru lahir
preterm. Jurnal bayi. Jurnal Tropical Pediatrics. De Pediatria. 2009; 85 (5): 443-448. 1992; 38
(5): 262-264.

15. Hough J, Trojman A, Schibler A. Efek Blumenthal I, Ebel A, Pildes RS. Pengaruh waktu dan
posisi tubuh pada ventilasi dalam postur pada pola perut bayi prematur. Pediatr. Res. 2016;
mengosongkan pada bayi yang baru lahir. Pediatri. 1979; 1-6.

16. Ammari A, Schulze KF, K Ohira-Kist, Cohen S, Mandel D, Mimouni FB, Solovkin Kashyap
S, Fifer WP, Myers MM, dkk. L, Dollberg S. Sisa lambung dalam pertumbuhan Efek posisi tubuh
pada termal, bayi prematur: efek posisi tubuh. aktivitas kardiorespirasi dan metabolisme dalam
American Journal of Perinatalogy. 2004; bayi berat lahir rendah. Cobb BA, Carlo WA,
Ambalavanan N.

12
Pengaturan Posisi Tidur Bayi Berat Lahir Rendah Dapat
Menurunkan Kejadian Intoleransi Pemberian Minum Enteral
Dyah Dwi Astuti1, Yeni Rustina2, Fajar Tri Waluyanti2
Politeknik Kementrian Kesehatan Surakarta
Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia

Jurnal Keperawatan dan Pemikiran Ilmiah


Astuti, D.(2018). Pengaturan Posisi Tidur Bayi
Berat Lahir Rendah Dapat Menurunkan
Kejadian Intoleransi Pemberian Minum Enteral Nurscope.Jurnal Keperawatan Pemikiran Ilmiah.
4 (2). 10-17

Abstrak
Pendahuluan: Intoleransi pemberian minum enteral merupakan masalah yang sering terjadi pada
bayi berat lahir rendah. Penelitian bertujuan untuk menganalisis pengaruh pengaturan posisi tidur
pada bayi berat lahir rendah terhadap kejadian intoleransi pemberian minum enteral. Metodologi:
Desain penelitian adalah kuasi eksperimen pada 20 bayi berat lahir rendah dengan teknik
purposive sampling. Bayi dikelompokkan menjadi kelompok intervensi dan kontrol. Bayi pada
kelompok kontrol dilakukan intervensi sesuai standar prosedur rutin; sedangkan pada kelompok
intervensi dilakukan pengaturan posisi tidur pronasi setelah pemberian minum enteral dan
meninggikan bagian kepala tempat tidur 30 derajat selama pemberian minum enteral. Hasil:
Analisis uji t independen dan Fisher’s Exact Test menunjukkan bahwa pengaturan posisi tidur
dapat menurunkan kejadian desaturasi (p value = 0,011), distensi abdomen (p value = 0,017), dan
frekuensi muntah (p value = 0,035). Diskusi: Perawat dapat menjadikan intervensi pengaturan
posisi tidur sebagai standar prosedur operasional pada bayi berat lahir rendah yang mengalami
intoleransi pemberian minum enteral.

13
PENDAHULUAN
Malnutrisi merupakan masalah yang umum pada bayi berat lahir rendah (BBLR) yang dirawat di
rumah sakit. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rafati et al. (2014) menunjukkan bahwa angka
kejadian hospital malnutrition pada BBLR yang dirawat di ruang intensif sekitar 15-20%.
Kejadian hospital malnutrition pada BBLR berhubungan dengan defisiensi protein yang dapat
mengakibatkan keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan, serta kematian (Rafati et al.,
2014). Salah satu upaya untuk mencegah terjadinya hospital malnutrition adalah dengan
mengoptimalkan pemenuhan kebutuhan nutrisi enteral.
Pemberian nutrisi enteral pada BBLR merupakan suatu tantangan bagi perawat. Pada awal
periode adaptasi, BBLR mengalami kehilangan berat badan sebesar 15-20% yang berhubungan
dengan peningkatan kebutuhan energi dari proses respirasi, termoregulasi, sintesis jaringan, dan
metabolisme (Carter, 2012). Pada periode awal kehidupan ekstrauterin juga terjadi proses
maturasi otak, sehingga terjadi peningkatan kebutuhan nutrisi (Prado & Dewey, 2014).
Hambatan yang paling sering dialami BBLR dalam pemberian nutrisi enteral adalah terjadinya
intoleransi pemberian minum (Zecca et al., 2014). Intoleransi pemberian minum enteral
merupakan pengalaman BBLR yang mengalami kesulitan dalam proses ingesti dan digesti,
sehingga menyebabkan gangguan perencanaan pemberian minum enteral. Intoleransi pemberian
minum enteral ditandai dengan peningkatan residu lambung, muntah, distensi abdomen, dan
gangguan buang air besar (BAB). Gejala lebih lanjut adalah adanya apnea, bradikardi, dan
instabilitas suhu tubuh (Carter, 2012). Kejadian intoleransi pemberian minum enteral pada BBLR
sekitar 16-29% yang berhubungan dengan imaturitas (Fanaro, 2013).
Salah satu intervensi keperawatan yang dapat diterapkan untuk penanganan intoleransi
pemberian minum enteral pada BBLR adalah pengaturan posisi tidur saat pemberian minum
enteral (Elser, 2012). Telaah sistematik menunjukkan bahwa pengaturan posisi pronasi dapat
menurunkan jumlah residu pada kejadian intoleransi pemberian minum enteral (Dutta et al.,
2015). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh pemberian posisi tidur BBLR
terhadap kejadian intoleransi pemberian minum enteral. Keterbaruan dalam penelitian ini adalah
menilai kejadian intoleransi pemberian minum dengan variabel kejadian hipotermia, bradikardia,
desaturasi, ada tidaknya BAB, hasil pemeriksaan abdomen, peningkatan lingkar perut, dan
frekuensi muntah.

METODE
Penelitian dilakukan di Ruang Perinatologi Rumah Sakit Pusat Nasional (RSUPN) Cipto
Mangunkusumo dan Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSAB) Harapan Kita pada tanggal 14 Maret
sampai dengan 15 April 2016. Desain penelitian adalah kuasi eksperimen. Sampel penelitian
berjumlah 20 BBLR yang dipilih dengan teknik purposive sampling. Bayi dikelompokkan
menjadi kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Kriteria inklusi penelitian adalah BBLR
yang mengalami intoleransi pemberian minum enteral, BBLR dengan berat lahir kurang dari
2.500 gram, memperoleh nutrisi enteral dengan frekuensi 8, 12, atau 24 kali dalam sehari dengan
cara gravitasi, dan minimal minum berjumlah 50 ml/kgbb. Kriteria eksklusi penelitian adalah

14
BBLR dengan pneumothoraks, fraktur tulang, atelektasis paru, dan mempunyai kegawatan
kardiorespirasi.
BBLR pada kelompok kontrol dilakukan intervensi sesuai dengan standar prosedur rutin yaitu
pengaturan posisi tidur supinasi selama pemberian nutrisi enteral. BBLR pada kelompok
intervensi dilakukan pengaturan posisi tidur supinasi selama pemberian nutrisi enteral, kemudian
setelah pemberian minum enteral dilakukan pengaturan posisi pronasi selama minimal satu jam.
Bagian kepala tempat tidur pada kelompok intervensi ditinggikan 30 derajat selama pemberian
nutrisi enteral. Kejadian intoleransi pemberian minum enteral dievaluasi dengan menilai kejadian
hipotermia, bradikardia, desaturasi, ada tidaknya BAB, hasil pemeriksaan abdomen, peningkatan
lingkar perut, dan frekuensi muntah.

HASIL

Tabel 1. mendeskripsikan distribusi BBLR berdasarkan karakteristik BBLR. Karakteristik BBLR


dibedakan berdasarkan usia gestasi, usia kronologis, berat badan lahir, berat badan sekarang, dan
jumlah minum enteral. Hasil uji homogenitas dengan analisis Levene’s Test menunjukkan bahwa
antara kelompok intervensi dan kontrol homogen berdasarkan karakteristik BBLR (p value >
0,05).
Tabel 1. Karakteristik Bayi Berat Lahir Rendah dan Hasil Uji
Homogenitas di RSUPN Cipto Mangunkusumo dan RSAB Harapan
Kita Tanggal 14 Maret-15 April 2016 (n = 20)
Variabel Rerata Median Simpang Rentang IK Nilai
(Nilai Baku (MinimalMaksimal) 95% p
Tengah) (SD)
Usia Gestasi
(minggu) - 31,00 28,24-
30,67 3,162 9 (25-34)
Interven 33,10 0,83
si 4*
- Kontrol 30,80 31,50 3,011 9 (25-34) 28,65-
32,95
Usia
Kronologis
12,71-
(hari) - 23,89 25 14,55 37 (7-44)
35,07
Interven 0,87
si 4*
- Kontrol 21,40 18,50 14,73 41 (3-44) 10,86-
31,94
Berat Badan
1.083-
Lahir (gram) - 1.486 1.370 524,19 1.360 (850-2.210) 0,58
1.889
Intervensi 3*

15
- Kontrol 1.507 1.410 470,15 1.360 (850-2.210) 1.171-
1.844
Berat Badan
1.110 (1.110- 1.402-
Sekarang (gram) - 1.741 1.670 440,70 0,90
2.220) 2.079
Intervensi 5*
- Kontrol 1.756 1.810 429,54 1.160 (1.060- 1.449-
2.220) 2.064
Jumlah Minum
Enteral
(ml/hari) 138- 0,43
- Intervensi 164 180 33 110 (90-200) 189 7*
- Kontrol 147 162 38 100 (80-100) 119-
175
Keterangan*: Hasil Uji Homogenitas dengan Levene’s Test

Tabel 2. mendeskripsikan distribusi BBLR berdasarkan karakteristik BBLR. Karakteristik BBLR


dibedakan berdasarkan riwayat asfiksia, riwayat perdarahan intrakranial, terapi prokinetik, terapi
oksigen, dan status pemberian air susu ibu (ASI). Hasil uji homogenitas dengan analisis Fisher’s
Exact Test menunjukkan bahwa antara kelompok intervensi dan kontrol homogen berdasarkan
karakteristik BBLR (p value > 0,05).
Tabel 2. Karakteristik Bayi Berat Lahir Rendah dan Hasil Uji
Homogenitas di RSUPN Cipto Mangunkusumo dan RSAB Harapan
Kita
Tanggal 14 Maret-15 April 2016 (n = 20)
Variabel Intervensi Kontrol Nilai p

f % f %

Riwayat Asfiksia
-Tidak ada riwayat asfiksia 2 20% 2 20% 1,00*
- Ada riwayat asfiksia 8 80% 8 80%

Riwayat Perdarahan Intrakranial


- Tidak ada riwayat perdarahan
intrakranial 8 80% 8 80% 1,00*
-Ada riwayat perdarahan intrakranial 2 20% 2 20%

Terapi Prokinetik
- Memperoleh terapi prokinetic 4 40% 3 30% 1,00*
-Tidak memperoleh terapi prokinetik 6 60% 7 70%

Terapi Oksigen
-Tidak memperoleh terapi oksigen 7 70% 7 70% 1,00*

16
- Memperoleh terapi oksigen 3 30% 3 30%

Status Pemberian ASI


- Memperoleh ASI 4 40% 4 40% 1,00*
- Tidak memperoleh ASI 6 60% 6 60%
Keterangan*: Uji Homogenitas Fisher’s Exact Test

Tabel 3. mendeskripsikan hasil uji Fisher’s Exact Test untuk menganalisis perbedaan kejadian
intoleransi pemberian minum enteral. Hasil statistik menunjukkan bahwa tidak terjadi perbedaan
kejadian hipotermia, bradikardia, gangguan BAB, dan hasil pemeriksaan abdomen antara
kelompok intervensi dan kontrol dengan nilai p value lebih dari 0,05. Pada variabel kejadian
desaturasi menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara kelompok intervensi dan kontrol
dengan p value 0,011.
Tabel 3. Hasil Uji Perbedaan Kejadian Intoleransi Pemberian
Minum di RSUPN Cipto Mangun Kusumo dan RSAB
Harapan Kita Tanggal 14 Maret-15 April 2016 (n = 20)
Variabel Intervensi Kontrol Nilai p

F % f %
Kejadian Hipotermia
- Tidak 6 60% 5 50% 1,00*
- Ya 4 40% 5 50%
Kejadian Bradikardia
- Tidak 10 100% 7 70% 0,211*
- Ya 0 0% 3 30%
Kejadian Desaturasi
- Tidak 10 100% 4 40% 0,011*
- Ya 0 0% 6 60%
Ada/Tidaknya BAB
- Ada BAB 9 90% 7 70% 0,582*
- Tidak ada BAB 1 10% 3 30%
Abdomen
- Supel 10 100% 8 80% 0,474*
- Tegang 0 0% 2 20%
Keterangan*: Uji Beda dengan Fisher’s Exact Test
Pada tabel 4. menunjukkan hasil uji beda rerata peningkatan lingkar perut dan frekuensi muntah
dengan menggunakan uji t independen tidak berpasangan. Hasil statistik menunjukkan bahwa
terdapat perbedaan yang bermakna rerata peningkatan lingkar perut dan frekuensi muntah pada
kelompok intervensi dan kontrol dengan p value 0,017 dan 0,035. Rerata peningkatan lingkar

17
perut pada kelompok intervensi (rerata = 0,45 cm) lebih rendah dibandingkan dengan kelompok
kontrol (rerata = 0,90 cm) dengan perbedaan rerata 0,45 (IK 95% -0,808 s.d -0,091). Hasil
statistik menunjukkan bahwa rerata frekuensi muntah pada kelompok intervensi (rerata = 0,20
kali) lebih rendah dibandingkan rerata pada kelompok kontrol (rerata = 1,30 kali) dengan
perbedaan rerata 1,1 kali (IK 95% -2,11 s.d -0,088).
Tabel 4. Hasil Uji Perbedaan Kejadian Intoleransi Pemberian
Minum di RSUPN Cipto Mangun Kusumo dan RSAB
Harapan Kita Tanggal 14 Maret-15 April 2016 (n = 20)
Rerata Rerata Perbedaan p value
Intervensi Kontrol Rerata (IK
95%)
0,45
-0,45 (-0,808 s.d -
Lingkar Perut 0,90 0,091) 0,017
Frekuensi 0,20 1,30 -1,1 (-2,11 s.d -0,088) 0,035
Muntah

PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukkan mayoritas BBLR adalah bayi prematur. Prematuritas dan berat
lahir rendah dapat meningkatkan risiko terjadinya intoleransi pemberian minum enteral yang
berhubungan dengan maturasi saluran gastrointestinal (Zubaidah, Rustina, & Syahreni, 2013).
Pada bayi prematur mempunyai fungsi mekanik yang masih imatur meliputi koordinasi
mengisap, menelan, dan bernapas. Pada bayi prematur juga terjadi imaturitas fungsi pencernaan
yang meliputi fungsi motilitas dan enzim digesti (Fanaro, 2013).
BBLR baik pada kelompok intervensi dan kontrol mayoritas mempunyai riwayat asfiksia, tidak
ada perdarahan intrakranial, dan tidak memakai terapi oksigen. BBLR yang mengalami
gangguan oksigenasi berisiko untuk mengalami intoleransi pemberian minum enteral. Hal ini
berhubungan dengan kejadian hipoksia, sehingga terjadi kompensasi peningkatan aliran darah ke
otak dan penurunan aliran darah ke saluran gastrointestinal. Penurunan aliran darah ke saluran
gastrointestinal menyebabkan gangguan perfusi dan penurunan peristaltik usus. Penurunan
peristaltik usus selanjutnya berdampak pada peningkatan residu lambung (Gomella,
Cunningham, & Eyal, 2013).
Hasil penelitian menunjukkan mayoritas BBLR baik pada kelompok kontrol dan intervensi tidak
memperoleh obat prokinetik. Kejadian intoleransi pemberian minum enteral juga dipengaruhi
oleh faktor eksternal antara lain pemberian obat prokinetik (Pickler et al., 2015). Pemberian
gastroprokinetik seperti erythromycin dapat menurunkan kejadian intoleransi pemberian minum
enteral dengan meningkatkan kemampuan pengosongan lambung pada BBLR (Fanaro, 2013).
Mayoritas BBLR dalam penelitian ini tidak memperoleh ASI. Hal tersebut disebabkan karena ibu
bayi masih dirawat di ruang intensif dan penolakan orang tua untuk pemberian ASI donor yang
berhubungan dengan keyakinan dan budaya. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Unger et al.

18
(2015) menyatakan bahwa pemberian kolostrum ibu pada minggu pertama kehidupan BBLR
akan berefek pada maturasi saluran gastrointestinal. Pemberian ASI pada BBLR dua kali lipat
lebih cepat diabsorbsi dibandingkan dengan susu formula, sehingga dapat menurunkan kejadian
intoleransi pemberian minum enteral (Underwood, 2013). Perawat perlu melakukan edukasi
dengan pendekatan budaya pada orang tua tentang manfaat pemberian ASI pada BBLR yang
mengalami intoleransi pemberian minum enteral.
Hasil analisis penelitian menunjukkan bahwa terjadi penurunan kejadian desaturasi pada BBLR
yang mengalami intoleransi pemberian minum enteral dengan pengaturan posisi pronasi.
Pemberian posisi pronasi memberi kesempatan bagi posterior dinding paru lebih bebas dan tidak
terjadi penekanan, sehingga kemampuan peregangan paru dan ventilasi terdistribusi lebih banyak
ke area dependen paru. Pada saat yang sama gradient tekanan hidrostatik menyebabkan darah
lebih banyak mengalir ke area anterior pada dependen paru, sehingga saturasi oksigen meningkat
(Bredemeyer & Foster, 2015).
Pengaturan posisi pronasi dapat menurunkan frekuensi muntah dan kejadian desaturasi pada
BBLR. Kejadian muntah dan desaturasi pada BBLR yang mengalami intoleransi pemberian
minum enteral disebabkan karena imaturitas pada lower esophageal sphinter atau LES
(Carvaglia et al., 2013). Pada bayi prematur terjadi relaksasi pada LES, sehingga meningkatkan
tekanan intragastrik dan terbentuk rongga antara lambung dan esofagus. Cairan dan gas dari
fundus lambung mengalir ke esofagus dan menutup jalan napas, sehingga menyebabkan muntah
yang disertai bradikardia dan desaturasi (Moore & Pickler, 2013). Pengaturan posisi pronasi
menyebabkan LES berkontraksi, sehingga menurunkan kejadian intoleransi pemberian minum
enteral pada BBLR.
Rerata peningkatan lingkar perut pada BBLR yang dilakukan pengaturan posisi lebih rendah,
artinya risiko terjadinya distensi abdomen lebih rendah. Distensi abdomen pada BBLR yang
mengalami intoleransi pemberian minum enteral disebabkan oleh gangguan pada proses
perjalanan mekonium dan penurunan bising usus (Sharma et al., 2013). Posisi pronasi
meningkatkan pertukaran gas dengan menurunkan tekanan pleura dan meningkatkan area
ventilasi rongga diafragma, sehingga dapat menurunkan distensi abdomen. Posisi pronasi juga
dapat menurunkan retensi pertukaran gas di saluran gastrointestinal, sehingga meningkatkan
perfusi saluran gastrointestinal dan meningkatkan motilitas usus (Sangers et al., 2013).
Penelitian tentang pengkajian intoleransi pemberian minum dengan pengukuran lingkar perut
dilakukan oleh Kaur et al. (2015) dengan metode randomized controlled trial. Penelitian
bertujuan membandingkan pengkajian intoleransi pemberian minum antara pengukuran lingkar
perut dengan pengecekan residu lambung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kelompok
dengan pengkajian lingkar perut lebih cepat mencapai pemberian minum penuh, lebih singkat
mengalami intoleransi pemberian minum dan pemberian nutrisi parenteral, serta kultur sepsis
lebih sedikit.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Chen et al. (2013). Penelitian
tersebut bertujuan menggambarkan pola perubahan residu lambung dari waktu ke waktu dalam
posisi pronasi dan supinasi terhadap residu lambung pada BBLR. Pengumpulan data dilakukan

19
dengan cara bayi 3 hari diberikan posisi supinasi dan 3 hari dalam posisi pronasi. Residu
lambung lebih sedikit pada posisi pronasi dibandingkan posisi supinasi dan penurunan residu
lambung lebih cepat pada setengah jam setelah makan.
Penelitian ini juga didukung oleh hasil telaah sistematik Dutta et al. (2015). Telaah sistematik
tersebut bertujuan menentukan standar atau protokol pemberian minum enteral pada BBLR
dengan menentukan tingkat rekomendasi berdasarkan standar evidence based. Telaah sistematik
merekomendasikan pemberian posisi pronasi selama 30-60 menit untuk menurunkan residu
lambung dan risiko intoleransi pemberian minum.
Penelitian lainnya dilakukan oleh Visscher et al. (2015) yang bertujuan untuk menentukan posisi
yang tepat pada BBLR yang mengalami kesulitan minum. Kriteria BBLR adalah usia gestasi
kurang dari 37 minggu yang mengalami kesulitan pemberian minum seperti distensi abdomen,
gastroesophageal reflux disease, perforasi intestinal, necrotizing enterocolitis, dan obstruksi
intestinal. Penelitian merekomendasikan pengaturan posisi pronasi untuk meningkatkan tidur
pada BBLR yang mengalami kesulitan pemberian minum.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan
Pengaturan posisi tidur pronasi dengan meninggikan bagian kepala tempat tidur 30 derajat dapat
menurunkan frekuensi muntah, menurunkan terjadinya desaturasi, dan distensi abdomen.

Saran
Perawat dapat menerapkan intervensi pengaturan posisi sebagai standar prosedur operasional
pada BBLR yang mengalami intoleransi pemberian minum enteral.

20
DAFTAR PUSTAKA

Bredemeyer, S.L., & Foster, J.P. (2012). Body positioning for spontaneusly breathing preterm
infants with apnoea (review). The Cochrane Collaboration, 6, 1-40.
Carter, B.M. (2012). Feeding intolerance in preterm infants and standard of care guidelines for
nursing assessments. Newborn & Infant Nursing Reviews, 12 (4), 187-201.
Carvaglia, L., Martini, S., Aceti, A., Arcuri, S., Rossini, R., & Faldella, G. (2013).
Nonpharmacological management of gastroesophageal reflux preterm infants. BioMed
Research International, 7, 1-7.
Chen, S-S., Tzeng, Y-L., Gau, B-S., Kuo, P-C., & Chen, J-Y. (2013). Effects of prone and supine
positioning on gastric residuals in preterm infants: A time series with cross-over study.
International Journal of Nursing Studies, 50, 1459–1467.
Dutta, S., Sigh, B., Chessell, L., Wilson, J., Janes, M., McDonald, K., ..., Fusch, C. (2015).
Guidelines for feeding very low birth weight infants. Nutrients, 7, 423-442.
Elser, H.E. (2012). Positioning after feedings: What is the evidence to reduce feeding
intolerances? Advances in Neonatal Care, 12 (3), 172-175.
Fanaro, S. (2013). Feeding intolerance in the preterm infant. Early Human Development, 89,
513520.
Gomella, T.L., Cunningham, M.D., & Eyal, F. (2013). Neonatology: Management, procedures,
oncall problems, diseases, and drugs. New York: Mc Graw Hill Education.
Kaur, A., Kler, N., Saluja, S., Modi, M., Soni, A., Thakur, A., & Garg, P. (2015). Abdominal
circumference or gastric residual volume as measure of feed intolerance in VLBW infants.
J Pediatr Gastroenterol Nutr, 60 (2), 259-63.
Moore, T.A., & Pickler, R.H. (2013). Evaluating the precision of clinical assessments for feeding
intolerance. Newborn & Infant Nursing Review, 13, 184-188.
Pickler, R.H., Wetzel, P.A., Meinzen-Derr, J., Tubbs-Cooley, H.L., & Moore, M. (2015).
Patterned feeding experience for preterm infants: Study protocol for a randomized
controlled trial. Bio Med Central, 16 (255), 1-9.
Prodo, L.E., & Dewey, K. (2014). Nutrition and brain development in early life. Nutrition
Reviews, 72 (4), 267-284.
Rafati, M.R., Nakhshab, M., Ghaffari, V., Mahdavi, M.R., & Pharm, M.S. (2014). Evaluation of
nutritional status in a neonatal intensive care unit at a teaching hospital. Iranian Journal of
Neonatology, 5 (4), 24-29.
Sangers, H., Jong, P.M.D., Mulder, S.E., Stigter, G.D., Berg, C.M.V.D., Pas, A.B.T., & Walther,
F.J. (2013). Outcomes of gastric residuals whilst feeding preterm infants invarious body
positions. Journal of Neonatal Nursing, 19, 337-341.
Sharma, P., Nangia, S., Tiwari, S., Goel, A., Singla, B., & Saili, A. (2013). Gastric lavage for
preventing of feeding problems in neonates with meconium-stained amniotic fluid: A
randomised controlled trial. Paediatrics and International Child Health, 0 (0), 1-6.

21
Underwood, M.A. (2013). Human milk for the premature infant. Pediatr Clin North Am, 60 (1),
189-207.
Unger, S., Stintzi, A., Shah, P., Mack, D., & O’Connor, D.I. (2015). Gut microbiota of the very
low birth weight infant. Pediatric Resiarch, 7 (1), 205-213.
Visscher, M.O., Lacina, L., Casper, T., Dixon, M., Harmeyer, J., Haberman, B., ..., &
Simakajomboon, N. (2015). Conformational positioning improves sleep in premature
infants with feeding difficulties. The Journal of Pediatrics, 166 (1), 44-48.
Zecca, E., Costa, S., Barone, G., Giordano, L., Zecca, C., &Maggio, L. (2014). Proactive enteral
nutrition in moderately preterm small for gestational age infants: A randomized clinical
trial. The Journal of Pediatrics, 165 (6), 1135-1139.
Zubaidah, Rustina, Y., & Syahreni, E. (2013). Penerapan model konservasi Levine pada bayi
prematur dengan intoleransi minum. Jurnal Keperawatan Anak, 1 (2), 65-72.

22

Anda mungkin juga menyukai