Hasni Nurhasanah
20200305017
PROFESI NERS
FAKULTAS ILMU – ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ESA UNGGUL
JAKARTA
2021
ANALISIS ASUHAN KEPERAWATAN PADA BAYI PREMATUR MENGGUNAKAN
INTERVENSI PENGATURAN POSISI PRONASI TERHADAP PENURUNAN RESIDU
LAMBUNG NEONATUS DI RUANG NICU PERINATOLOGI RSUD DR. CHASBULLAH
ABDULMAJID KOTA BEKASI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Ners (Ns)
Hasni Nurhasanah
20200305017
PROFESI NERS
FAKULTAS ILMU – ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ESA UNGGUL
JAKARTA
2021
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bayi prematur adalah bayi yang lahir dengan usia kehamilan kurang dari 37 minggu
(Sulistijono, et al., 2016). Setiap tahun terdapat 15 juta bayi lahir prematur dan angka ini
terus bertambah. Lebih dari 60% kelahiran prematur terjadi di negara-negara di Afrika
dan Asia Selatan (WHO, 2018). Indonesia menempati urutan ke-6 dari 10 negara dengan
jumlah kelahiran prematur terbesar (WHO, 2018). Sedang, data Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) Kementerian Kesehatan pada 2018 menunjukan, 48 kelahiran prematur di
Indonesia disebabkan oleh kondisi anemia ibu selama kehamilan. Menurut catatan
kejadian di ruang Perinatologi RSUD dr. Chasbullah Abdul Majid Kota Bekasi pada
tahun 2021 ini angka kejadian kelahiran prematur pada usia gestasi < 30 minggu 64 bayi
prematur, pada usia gestasi 31 – 34 minggu 218 bayi prematur dan pada usia gestasi 35 –
37 minggu 28 bayi prematur.
Umumnya bayi yang lahir prematur akan memiliki banyak masalah setelah lahir.
Dibanding bayi yang lahir normal, bayi prematur memang cenderung bermasalah. Belum
matangnya masa gestasi menyebabkan ketidak matangan pada semua sistem organnya,
misalnya pada sistem pernapasan (organ paru-paru), sistem peredaran darah (jantung),
sistem pencernaan dan penyerapan (usus), dan sistem saraf pusat (otak). Pada sistem
gastrointestinal pada bayi prematur juga mengalami proses adaptasi. Proses adaptasi dari
lingkungan intrauterin ke ekstrauterin pada awal periode kelahiran akan menyebabkan
bayi prematur mengalami kehilangan berat badan 15-20%. Pemenuhan kebutuhan nutrisi
pada bayi prematur membutuhkan perhatian yang optimal seiring dengan usaha untuk
memenuhi dukungan kebutuhan sistem organ yang lain, karena kebutuhan nutrisi bayi
prematur diperlukan sebagai energi untuk mempercepat pertumbuhan (Oktarina, Rustina
& Efendi, 2020).
Imaturitas sistem gastrointestinal dapat menjadi hambatan yang paling sering dialami oleh
bayi prematur dalam pemenuhan kebutuhan nutrisi enteral. Hambatan yang sering terjadi
yaitu adanya intoleransi dalam pemberian minum. Kejadian intoleransi pemberian minum
pada bayi prematur sekitar 16-29% dan terjadi akibat imaturitas sistem gastrointestinal
(Fanaro, 2013). Mekanisme sistem gastrointestinal pada bayi prematur yang mengalami
imaturitas adalah pengosongan lambung. Pengosongan lambung yang lebih lambat dalam
12 jam dan beberapa kasus mencapai 22- 36 jam menyebabkan volume residu lambung
mengalami peningkatan sehingga menimbulkan risiko pada bayi untuk mengalami
1
gastroesofageal refluks, muntah, aspirasi dan necrotizing eterocolitis (Abdelmaaboud,
Eissa, Eldakrouri, & Mohammed, 2015).
Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan untuk menurunkan residu lambung agar
mempercepat pengosongan lambung dan mentoleransi pemberian minum yaitu
pengaturan posisi, sehingga bayi dapat menerima nutrisi enteral secara penuh. Penelitian
yang dilakukan oleh Sangers, et.al.(2013) tentang pemberian posisi terhadap pengeluaran
residu lambung pada bayi prematur menunjukkan pengeluaran residu lambung lebih
sedikit pada posisi miring kanan dan pronasi dibandingkan dengan miring kiri dan
supinasi. Hal ini sesuai dengan penelitian Hwang, Ju, Kim, Lee, dan Kim (2018)
menyatakan bahwa posisi miring kanan dan posisi pronasi setelah menyusui dapat
menurunkan residu lambung dibandingkan dengan posisi miring kiri. Penelitian Okttarina
dkk (2020) menunjukkan pemberian posisi miring kanan dan pronasi lebih efektif untuk
mempercepat pengosongan lambung.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimanakah gambaran analisa pemberian asuhan keperawatan pada neonatus prematur
menggunakan intervensi pengaturan posisi pronasi terhadap penurunan residu lambung di
ruang NICU perinatologi RSUD dr. Chasbullah Abdulmajid Kota Bekasi?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk menganalisis analisis asuhan keperawatan pada bayi prematur menggunakan
intervensi pengaturan posisi pronasi terhadap penurunan residu lambung di ruang
NICU perinatologi RSUD dr. Chasbullah Abdulmajid Kota Bekasi.
1.3.2 Tujuan Khusus
1.4 Manfaat
1.3.1 Bagi Penulis
Kasus ini diharapkan dapat digunakan sebagai pengalaman belajar dalam
menganalisis asuhan keperawatan bayi prematur.
1.3.2 Bagi Profesi
Menjadi landasan bagi perawat dalam menjalankan perannya dalam melakukan
asuhan keperawatan bayi prematur.
1.3.3 Bagi Institusi Pendidikan
Analisis studi kasus ini diharapkan dapat bermanfaat untuk pengembangan ilmu
pengetahuan terapan khusunya berkaitan dalam melakukan asuhan keperawatan
bayi prematur.
2
1.5 Batasan Studi Kasus
Tabel 1.1 Batasan Studi Kasus
3
menggunakan statistik deskriptif seperti
mean, standar deviasi, dan frekuensi; dan
statistik inferensial seperti Chi Squared, uji
Kruskal Wallis, dan uji Friedman.
Deniz Ozdel & Effects of the prone Sampel penelitian termasuk 30 bayi
Hatice Yildirim position and kangaroo prematur berusia 28-36 minggu yang
Sari (2019) care on gastric dirawat di unit perawatan intensif neonatal.
residual volume, vital Bayi diberi makan dalam dua posisi:
signs and comfort in tengkurap dan perawatan kanguru. Semua
3
preterm infants bayi ditempatkan dalam posisi tengkurap
setelah menyusui. Tanda-tanda vital dan
skor kenyamanan dicatat 30 menit setelah
makan, dan volume residu lambung diukur
3 jam setelah makan.
Defi Efendi et al Pemberian Posisi Metode penulisan artikel menggunakan Hasil studi ini menunjukkan beberapa posisi
(2019) (Positioning) dan pene lusuran literatur melalui database yang dapat diberikan pada bayi prematur di
Nesting Pada Bayi online Pub Med, Cumulative Index to antaranya adalah posisi supinasi, lateral kiri,
Prematur : Evaluasi Nursing and Allied Health Literature lateral kanan, pronasi, dan quarter/semi
4 Implementasi Perawat (CINAHL), Medline, dan Google Scholar. pronasi. Posisi pronasi dan kuarter/semi
di Neonatal Intensive Literatur dibatasi dari tahun 2007-2019 pronasi direkomendasikan untuk bayi
Care Unit (NICU) dengan kata kunci: “positioning”, “prone prematur dengan Respiratory Distress
position”, “lateral position”, “preterm Syndrome (RDS). Posisi lateral kanan dan
4
infant”, “support position”, “premature pronasi direkomendasikan untuk bayi
infant”, dan “nest”. prematur dengan Gastroesofageal reflux
(GER). Posisi supinasi merupakan alternatif
terakhir pemberian posisi pada bayi
prematur dengan kontraindikasi posisi
pronasi, kuarter/semi pronasi, dan lateral.
Golnaz Forough The Effect of Prone Penelitian ini merupakan penelitian cross- Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa
Ameri, et al Position on Gastric over di unit perawatan intensif neonatus residu pada bayi prematur setelah 180 menit
(2018) Residuals in Preterm tingkat III. Gavage neonatus dilakukan dalam posisi tengkurap lebih sedikit
Infants dalam dua tahap. Tahap pertama dilakukan daripada residu pada bayi setelah 180 menit
dengan volume feeding 50 cc per kg susu pada kelompok kontrol – hasil ini sama
setiap hari dan tahap kedua dilakukan untuk volume 50 cc/kg/hari dan 100 cc/kg/
dengan volume feeding 100 cc per kg hari (P=0,0001).
5 setiap hari. Setelah makan, bayi
ditempatkan pada posisi yang diinginkan
(tengkurap) selama 180 menit dan residu
lambung diukur dan dicatat. Setengah dari
neonatus dianggap sebagai kelompok
kontrol. Data dianalisis dengan uji
independent sample paired t-test, uji Mc
Namara, dan uji Fisher and Pearson.
5
Dyah Dwi Astuti, Pengaturan Posisi Desain penelitian adalah kuasi eksperimen Analisis uji t independen dan Fisher’s Exact
Yeni Rustina & Tidur Bayi Berat Lahir pada 20 bayi berat lahir rendah dengan Test menunjukkan bahwa pengaturan posisi
Fajar Tri Rendah Dapat teknik purposive sampling. Bayi tidur dapat menurunkan kejadian desaturasi
Waluyanti (2018) Menurunkan Kejadian dikelompokkan menjadi kelompok (p value = 0,011), distensi abdomen (p
Intoleransi Pemberian intervensi dan kontrol. Bayi pada value = 0,017), dan frekuensi muntah (p
Minum Enteral kelompok kontrol dilakukan intervensi value = 0,035). Pengaturan posisi tidur
6
sesuai standar prosedur rutin; sedangkan pronasi dengan meninggikan bagian kepala
pada kelompok intervensi dilakukan tempat tidur 30 derajat dapat menurunkan
pengaturan posisi tidur pronasi setelah frekuensi muntah, menurunkan terjadinya
pemberian minum enteral dan meninggikan desaturasi, dan distensi abdomen.
bagian kepala tempat tidur 30 derajat
selama pemberian minum enteral.
Dwiniesti Riqyah Studi kasus : Pengaruh Metode pada penelitian ini adalah studi Hasil evaluasi ini menunjukkan bahwa ada
Putri, Oswati Posisis Pronas kasus. Sampel yang digunakan yaitu perbedaan residu lambung pada bayi yang
Hasanah & Terhadap Penurunan sebanyak 6 neonatus yang dirawat di ruang dilakukan posisi pronasi dengan yang tidak
Rumina Ginting Residu Lambung dan Instalasi Neonatus RSUD Arifin Achmad dilakukan posisi pronasi, begitu juga dengan
(2016) Peningkatan Berat Pekanbaru, 3 neonatus yang dilakukan berat badan pada BBLR.
7
Badan Pada Bayi Berat posisi pronasi, dan 3 neonatus lagi tidak
Lahir Rendah dilakukan posisi pronasi sebagai
Diruangan Instalasi perbandingan, selanjutnya dilakukan
Neonatus RSUD Arifin analisa residu lambung dan berat badan
Achmad Pekanbaru pada BBLR.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bayi Prematur
2.1.1 Pengertian
Menurut definisi WHO (2019), bayi prematur adalah bayi lahir hidup sebelum
usia kehamilan minggu ke 37 (dihitung dari hari pertama haid terakhir). Bayi
prematur atau bayi preterm adalah bayi yang berumur kehamilan 37 minggu tanpa
memperhatikan berat badan, sebagian besar bayi prematur lahir dengan berat
badan kurang 2500 gram Bayi prematur adalah bayi yang lahir dengan usia
kehamilan kurang dari 37 minggu (Sulistijono, et al., 2016).
2.1.2 Klasifikasi
Bayi dengan kelahiran prematur dapat dibagi menjadi dua yaitu bayi prematur
Sesuai Masa Kehamilan (SMK) dan bayi prematur Kecil untuk Masa Kehamilan
(KMK) (Rukiyah & Yulianti, 2016). Bayi prematur sesuai masa kehamilan adalah
bayi yang lahir dengan masa gestasi kurang dari 37 minggu dan berat badannya
sesuai dengan usia kehamilan. Bayi prematur Kecil untuk Masa Kehamilan adalah
bayi yang lahir dengan berat badan kurang dari berat badan seharusnya untuk
masa gestasi tersebut (Sulistijono, et al., 2016).
Derajat prematuritas dapat digolongkan menjadi 3 kelompok yaitu extremely
prematur (24 – 30 minggu), moderately premature (31 – 36 minggu) dan bordeline
premature (37 – 38 minggu) (Rukiyah & Yulianti, 2016).
2.1.3 Etiologi
2.1.3.1 Usia Ibu
Persalinan prematur dipengaruhi oleh faktor usia ibu. Hasil review
jurnal pada hasil penelitian (Hosny et al., 2020) menunjukkkan bahwa ibu
berusia < 20 tahun berhubungan dengan kelahiran prematur, hal ini
diperkuat oleh penelitian lain pada penelitian yang dilakukan oleh (Gul et
al., 2018) menunjukkan bahwa menunjukkan bahwa usia < 20 tahun dan >
35 tahun merupakan salah satu faktor terjadinya persalinan prematur.
Penelitian lain (Anasari & Pantiawati, 2016) juga menyatakan bahwa usia
ibu berhubungan dengan persalinan prematur.
Penyulit kehamilan remaja lebih tinggi dibandingkan kehamilan usia
20-30 tahun. Keadaan ini disebabkan belum matangnya alat reproduksi
untuk hamil, sehingga dapat merugikan kesehatan ibu maupun
7
perkembangan dan pertumbuhan janin. Wanita yang berusia >35 tahun
fungsi alat reproduksinya sudah berkurang, sehingga meningkatkan risiko
terjadinya persalinan prematur, hipertensi, solutio plasenta, janin mati, dan
plasenta previa (Wiknjosastro, 2014). Menurut Manuaba (2016), satu
resiko faktor terjadinya persalinan prematur mengancam adalah faktor usia
yaitu terjadi pada ibu hamil berusia muda atau tua, antara usia kurang dari
18 tahun atau di atas 40 tahun. Dimana pada usia terlalu muda hal yang
paling penting adalah faktor gizi dan kesiapan mental yang kurang siap
dalam menjalani proses kehamilan, sehingga menimbulkan stress bahkan
depresi yang berakibat buruk terhadap kesehatan dan berpengaruh
terhadap kehamilan.
2.1.3.2 Riwayat Abortus
Faktor kedua yang mempengaruhi persalinan prematur adalah
riwayat abortus. Hasil penelitian (Soltani et al., 2019) menunjukkan bahwa
ibu yang memiliki riwayat aborsi lebih mungkin mengembangkan
kelahiran prematur. Hal ini didukung oleh penelitian (Herman et al., 2018)
yang menyatakan bahwa ibu yang mempunyai riwayat abortus merupakan
faktor yang paling berpengaruh terhadap persalinan prematur.
Insidensi abortus sulit ditentukan karena kadang-kadang seorang
wanita dapat mengalami abortus tanpa mengetahui bahwa ia hamil, dan
tidak mempunyai gejala yang hebat sehingga hanya dianggap sebagai
menstruasi yang terlambat (siklus memanjang). Terlebih lagi insidensi
abortus kriminalis, sangat sulit ditentukan karena biasanya tidak
dilaporkan. Kejadian abortus diduga mempunyai efek terhadap kehamilan
berikutnya, baik pada timbulnya penyulit kehamilan maupun pada hasil
kehamilan itu sendiri. Wanita dengan riwayat abortus mempunyai risiko
yang lebih tinggi untuk terjadinya persalinan prematur (Ningrum, 2016).
Abortus dapat berdampak perdarahan sampai menimbulkan shock dan
gangguan neurologis/syaraf dikemudian hari. Perdarahan dapat
mengakibatkan infeksi alat reproduksi dan penipisan dinding uterus karena
kuretasi yang dilakukan secara tidak steril (Herman et al., 2018).
Riwayat abortus dapat mempengaruhi terjadinya persalinan
prematur, hal ini dapat disebabkan karena kondisi serviks yang lemah atau
inkompetensi serviks, sehingga serviks rapuh dan mudah mengalami
8
perdarahan, hingga tidak dapat menahan janin hingga aterm, apalagi jika
melakukan aktivitas berat atau aktivitas seksual yang menyebabkan serviks
mengalami perdarahan sehingga persalinan harus terjadi secara prematur.
Ibu dengan riwayat abortus akan mengalami kerusakan ataupun
terbentuknya jaringan parut pada endometrium akibat dilakukannya
kuretase uterus sehingga mengganggu proses implantasi plasenta di bagian
fundus uteri.
2.1.3.3 Anemia
Faktor selanjutnya yang mempengaruhi persalinan prematur adalah
anemia pada ibu hamil. Hasil review jurnal penelitian yang dilakukan
(Sudiat et al, 2016) menunjukkan bahwa ada pengaruh anemia pada ibu
hamil terhadap persalinan prematur. Hal ini diperkuat oleh penelitian yang
dilakukan oleh (Larumpaa et al., 2017) yang menyatakan bahwa anemia
mempengaruhi terjadinya persalinan prematur.
Terjadinya anemia dalam kehamilan bergantung dari jumlah
persediaan besi dalam hati, limpa dan semua sumsum tulang. Selama
masih mempunyai cukup persediaan besi, Hb tidak akan turun dan jika
persediaan ini habis hemoglobin akan turun dan ini akan teerjadi pada
bulan ke 5-6 kehamilan. Pada waktu janin membutuhkan banyak zat besi,
anemia akan mengurangi kemampuan mnetabolisme tubuh sehingga
mengganggu pertumbuhan dan perkembangan janin dalam rahim, bila
terjadi anemia pengaruh terhadap hasil konsepsi adalah terjadinya
persalinan prematur, cacat bawaan, cadangan besi kurang, kematian janin
dalam kandungan, perdarahan antrrepartum, ketuban pecah dini dan
mudah terjadi infeksi (Wiknjosastro, 2014).
Ibu hamil yang mengalami anemia akan menyebabkan bayi
mengalami hipoksia karena jumlah sel darah merah dan hemoglobin yang
berfungsi mengangkut nutrisi dan oksigen juga terganggu alirannya
menuju janin. Anemia dapat mengakibatkan penurunan suplai oksigen ke
jaringan, selain itu juga dapat merubah struktur vaskularisasi plasenta. Hal
ini akan merangsang hormone hipotalamus pituitary adrenal (HPA) yang
akan meningkatkan kortikotropin releasing hormone (CRH) dimana
hormone ini mempunyai efek meningkatkan kontraksi uterus, sehingga
9
kontraksi uterus meningkat dan menyebabkan persalinan prematur
(Maslaha dkk, 2020).
2.1.3.4 Jarak Kehamilan
Jarak kehamilan merupakan salah satu faktor yang juga
mempengaruhi persalinan prematur. Hasil penelitian (Astuti, 2016)
menunjukkan bahwa jarak kehamilan mempengaruhi terjadinya persalinan
prematur. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilalukan oleh (Solama,
2019) yang menyatakan bahwa jarak kehamilan < 2 tahun mempengaruhi
terjadinya persalinan prematur.
Jarak kehamilan yang terlalu dekat yaitu kurang dari 24 bulan atau 2
tahun merupakan jarak kehamilan yang berisiko tinggi sewaktu
melahirkan. Jarak kehamilan adalah jarak antara kehamilan anak sekarang
dengan kehamilan anak sebelumnya. Jarak kehamilan < 2 tahun tergolong
resiko tinggi karena dapat menimbulkan komplikasi pada persalinan. Jarak
kehamilan 2-3 tahun merupakan jarak kehamilan yang lebih aman bagi ibu
dan janin. Risiko persalinan prematur pada ibu dengan jarak kelahiran
dekat adalah karena nutrisi pasca melahirkan serta stres yang dialami saat
nifas. Penurunan kondisiibu pasca melahirkan seperti komposisi aliran
darah serta aspek fisiologis dan anatomis dari organ reproduksi yang
belum lama digunakan pada kehamilan sebelumnya dan metabolisme atau
faktor anatomis yang tidak dapat diukur peneliti dan menyebabkan
penundaan fertilitas dan outcome persalinan yang tidak wajar seperti
persalinan prematur (Maslaha dkk, 2020).
2.1.3.5 Ketuban Pecah Dini
Faktor selanjutnya yang mempengaruhi persalinan prematur adalah
ketuban pecah dini. Hasil penelitian (Eliza et al., 2017) menunjukkan
bahwa ibu hamil dengan ketuban pecah dini meningkatkan risiko
terjadinya persalinan prematur.
Ibu yang mengalami ketuban pecah dini akan berisiko sangat tinggi
mengalami persalinan prematur, karena ketuban yang pecah sebelum ada
pembukaan akan semakin banyak yang keluar sehingga jumlah ketuban
dalam uterus semakin berkurang, yang menyebabkan pergerakan bayi
melambat dan berkurangnya ketuban menyebabkan kesejahteraan bayi
dalam rahim akan terganggu dan menyebabkan kompresi tali pusat yang
10
membwa nutrisi dan oksigen ke janin, dengan berkurangnya nutrisi dan
oksigen ke janin maka bayi harus segera dilahirkan akan tidak
menyebabkan kegawatan janin sehingga bayi lahir prematur. Ibu yang
mengalami ketuban pecah dini terjadi pembukaan prematur serviks dan
membran terkait dengan pembukaan terjadi devaskularisasi dan nekrosis
serta dapat diikuti pecah spontan. Jaringan ikat yang menyangga membran
ketuban makin berkurang. Melemahnya daya tahan ketuban dipercepat
dengan infeksi yang mengeluarkan enzim (enzim proteolitik, enzim
kolagenase). Masa interval sejak ketuban pecah sampai terjadi kontraksi
disebut fase laten. Makin panjang fase laten, makin tinggi kemungkinan
infeksi. Makin muda kehamilan, makin sulit upaya pemecahannya tanpa
menimbulkan morbiditas janin (Maslaha dkk, 2020).
2.1.3.6 Faktor Janin
Beberapa faktor janin yang mempengaruhi kejadian prematur antara lain
kehamilan ganda, hidramnion, ketuban pecah dini, cacat bawaan, kelainan
kromosom, infeksi (misal: rubella, sifilis, toksoplasmosis), insufensi plasenta,
inkompatibilitas darah ibu dari janin (faktor rhesus, golongan darah A, B dan O),
infeksi dalam rahim (Maslaha dkk, 2020).
2.1.4 Patofisiologi
Neonatus dengan imaturitas pertumbuhan dan perkembangan tidak dapat
menghasilkan kalori melalui peningkatan metabolisme. Hal itu disebabkan karena
respon menggigil pada bayi tidak ada atau kurang, sehingga bayi tidak dapat
menambah aktivitas. Sumber utama kalori bila ada stres dingin atau suhu
lingkungan rendah adalah thermogenesis nonshiver. Sebagai respon terhadap
rangsangan dingin, tubuh bayi akan mengeluarkan norepinefrin yang menstimulus
metabolisme lemak dari cadangan lemak coklat untuk menghasilkan kalori yang
kemudian dibawa oleh darah ke jaringan. Stres dapat menyebabkan hipoksia,
metabolisme asidosis dan hipoglikemia. Peningkatan metabolisme sebagai respon
terhadap stres dingin akan meningkatkan kebutuhan kalori dan oksigen. Bila
oksigen yang tersedia tidak dapat memenuhi kebutuhan, tekanan oksigen
berkurang (hipoksia) dan keadaan ini akan menjadi lebih buruk karena volume
paru menurun akibat berkurangnya oksigen darah dan kelainan paru (paru yang
imatur). Keadaan ini dapat sedikit tertolong oleh haemoglobin fetal (HbF) yang
11
dapat mengikat oksigen lebih banyak sehingga bayi dapat bertahan lama pada
kondisi tekanan oksigen yang kurang (Surasmi, 2015).
Bayi prematur umunya relatif kurang mampu untuk bertahan hidup karena
struktur anatomi dan fisiologi yang imatur dan fungsi biokimianya belum bekerja
seperti bayi yang lebih tua. Kekurangan tersebut berpengaruh terhadap
kesanggupan bayi untuk mengatur dan mempertahankan suhu badannya dalam
batas normal. Bayi berisiko tinggi lain juga mengalami kesulitan yang sama
karena hambatan atau gangguan pada fungsi anatomi, fisiologi, dan biokimia
berhubungan dengan adanya kelainan atau penyakit yang diderita. Bayi prematur
atau imatur tidak dapat mempertahankan suhu tubuh dalam batas normal karena
pusat pengatur suhu pada otak yang belum matur, kurangnya cadangan glikogen
dan lemak coklat sebagai sumber kalori. Tidak ada atau kurangnya lemak
subkutan dan permukaan tubuh yang relatif lebih luas akan menyebabkan
kehilangan panas tubuh yang lebih banyak. Respon menggigil bayi kurang atau
tidak ada, sehingga bayi tidak dapat meningkatkan panas tubuh melalui aktivitas.
Selain itu kontrol reflek kapiler kulit juga masih kurang (Maslaha dkk, 2020).
2.1.5 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada bayi prematur yaitu jumlah
leukosit 18.000mm, hematokrit 43 – 61 %, hemoglobin 15 – 20 gr/dl, bilirubin
total 6 mg/dl pada hari pertama kehidupan, 8 mg/dl pada 1-2 hari, dan 12 gr/dl
pada 3-5 hari, test glukosa pertama selama 4 – 6 jam pertama setelah kelahiran
rata rata 40-50 mg/dl dan meningkat 60-70 mg/dl pada hari ketiga (Nurarif &
Kusuma, 2015). Pemantauan elektrolit (Na, K, Cl) dalam batas normal pada awal
kehidupan dan pemeriksaan analisa gas darah (Sulistijono, et al., 2016).
2.1.6 Penatalaksanaan
Menurut Rukiyah & Yulianti (2016) penatalaksanaan atau penanganan yang dapat
diberikan pada bayi prematur yaitu mempertahankan suhu tubuh dengan ketat,
mencegah infeksi, pengawasan nutrisi, penimbangan ketat, tali pusat dalam
keadaan bersih, pemberian ASI. Sedangkan menurut Proverawati & Sulistyorini
(2016) beberapa penatalaksanaan umum yang dapat dilakukan pada bayi prematur
yaitu mempertahankan suhu tubuh bayi, pengaturan dan pengawasan intake
nutrisi, pencegahan infeksi, penimbangan berat badan, pemberian oksigen, dan
pengawasan jalan nafas.
2.2 Posisi Pronasi
12
2.2.1 Pengertian
Posisi pronasi yaitu posisi bayi ketika lahir lutut fleksi di bawah abdomen dan
posisi badan telungkup (Ameri et al, 2018). Pengertian lain posisi pronasi yaitu
pasien tidur dalam posisi telungkup, berbaring dengan wajah menghadap ke
bantal (Ozdel & Sari, 2018). Posisi pronasi adalah posisi klien berbaring diatas
abdomen dengan posisi kepala menoleh kesamping.(Putri et al, 2016).
2.2.2 Manfaat
Pemberian posisi pronasi direkomendasikan untuk mencegah dan menangani
bayi dengan GER (Efendi, Sari, Riyantini,..Lestari, 2019).
Pengaturan posisi pronasi dapat menurunkan kejadian intoleransi pemberian
minum enteral karena pada posisi pronasi akan terjadi peningkatan pertukaran
gas dengan menurunkan tekanan pleura dan meningkatkan area ventilasi yang
berada dekat dengan rongga diafragma, sehingga dapat menurunkan distensi
abdomen. Pemberian posisi pronasi juga akan menurunkan retensi pertukaran
gas di saluran gastrointestinal dan meningkatkan motilitas saluran
gastrointestinal (Sangers et. al, 2013).
2.2.3 Cara Pemberian Posisi
Pengaturan posisi pronasi dilakukan dengan menelungkupkan bayi dimana
ekstremitas bagian bawah fleksi dan kepala dimiringkan ke salah satu
sisi,tulang panggul diganjal bantal kecil dan gulungan kain diletakkan di bawah
dada supaya abdomen tidak tertekan (Oktarina, Rustina & Efendi, 2020)
13
Tabel 2.1 Cara Pemberian Posisi
Nama Posisi Petunjuk Pelaksanaan Indikasi & Kontraindikasi
Pronasi a. Posisikan bayi pronasi Indikasi
b. Saat membalik posisi dari supinasi ke a. Bayi prematur dengan
pronasi, tetap pertahankan posisi supinasi Respiratory Distress
dengan cara memegang tangan dan kaki Syndrome (RDS)
bayi selama proses peralihan posisi b. Bayi dengan
c. Hadapkan kepala pada salah satu sisi dan Gastroesofageal reflux
ubah posisi kepala secara rutin untuk (GER)
mencegah deformitas kepala c. Memperbaiki serapan
d. Pinggul dan lutut di fleksikan sehingga Air Susu Ibu (ASI)
membentuk posisi kaki katak. melalui OGT
e. Pastikan posisi pinggul lurus dengan
sumbu tubuh dan tidak miring kesalah satu Kontraindikasi
posisi. a. Bayi post operasi
f. Posisikan tangan dan kaki dibawah tubuh thoraks dan atau
bayi dengan posisi ujung tangan abdomen
menuju kemuka b. Bayi dengan
g. Berikan bantalan lembut dan tipis dibawah Intraventricular
sternum dan hemorrhage (IVH)
perut untuk mensuport dada bayi bernafas
dan mencegah retraksi bahu
h. Rapatkan nest sehingga dapat menopang
dan mempertahankan bentuk posisi yang
dijelaskan di atas
i. Pemberian posisi ini harus diiringi dengan
pemasangan
monitor kardio-respiratori untuk memantau
status oksigenasi
14
2.3 Residu Lambung
2.3.1 Pengertian
Residu menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sisa atau endapan.
Residu lambung adalah sisa atau sisa makanan yang terdapat dalam lambung
(Angga, 2016). Volume residu lambung adalah jumlah volume minum yang
ditarik dari lambung melalui OGT untuk menentukan volume yang tidak
dicerna sebelum pemberian minum berikutnya (Carter, 2017).
2.3.2 Residu Lambung Pada Neonatus
Imaturitas sistem gastrointestinal dapat menjadi hambatan yang paling sering
dialami oleh bayi prematur dalam pemenuhan kebutuhan nutrisi enteral.
Hambatan yang sering terjadi yaitu adanya intoleransi dalam pemberian
minum. Kejadian intoleransi pemberian minum pada bayi prematur sekitar 16-
29% dan terjadi akibat imaturitas sistem gastrointestinal (Fanaro, 2018).
Mekanisme sistem gastrointestinal pada bayi prematur yang mengalami
imaturitas adalah pengosongan lambung. Pengosongan lambung yang lebih
lambat dalam 12 jam dan beberapa kasus mencapai 22- 36 jam menyebabkan
volume residu lambung mengalami peningkatan sehingga menimbulkan risiko
pada bayi untuk mengalami gastroesofageal refluks, muntah, aspirasi dan
necrotizing eterocolitis (Abdelmaaboud, Eissa, Eldakrouri, & Mohammed,
2016).
Residu lambung pada neonatus dianggap tidak normal jika volumenya melebihi
30% dari total formula yang diberikan dalam 3-4 jam sebelum dilakukan
aspirasi lambung. Aspirasi lambung normal jika volumenya kurang dari 20%
15
pemberian intake sebelumnya dan berupa formula tidak tercerna berwarna susu
(milky) (Gomella, 2004).
Pengukuran residu lambung dan observasi muntah dilakukan selesai dilakukan
pemberian posisi pada bayi, yaitu 3 jam setelah pemberian nutrisi. Residu
lambung dilihat dengan cara mengambil residu lambung dengan spuit setelah
pemberian posisi atau 3 jam setelah bayi diberikan nutrisi. Hasil pengukuran
dicatat dalam lembar observasi yang berisi hasil pengukuran yang terdiri dari
jumlah pemberian nutrisi, jenis nutrisi, penggunaan oksigen, kejadian muntah
dan jumlah residu lambung pada masing-masing intervensi (Oktarina, Rustina
& Efendi, 2020)
2.3.3 Faktor – faktor yang Mempengaruhi Volume Residu Lambung
2.3.3.1 Masa Gestasi dan Berat Badan Lahir
Gasric residual volume (GRV) merupakan gejala dari feeding
intolerance yang umum terjadi pada bayi prematur (Moore & Wilson,
2017). Gejala ini didasari oleh adanya imaturitas sistem gastrointestinal
pada bayi prematur. Secara fisiologis fungsi gastrointestinal memang
belum menunjukan fungsinya yang baik sebelum usia 34 minggu terutama
pola pergerakan peristaltik (Stevanovic, 2016).
Sebelum usia kehamilan 28 minggu kemampuan motilitas usus belum
berkembang, kontraksi gastrik yang belum teratur pertama kali ditemukan
pada usia kehamilan 26 minggu. Motilitas gastrointestinal mulai dapat
diukur pada usia kehamilan 28-30 mg walaupun belum mendapatkan diet
enteral. Pola motilitas usus akan lebih matang pada usia kehamilan 33-34
mg dimana terdapat kompleks migrasi mioelektrik. Transit gastrointestinal
berkisar 8-96 jam pada bayi preterm.
2.3.3.2 Perfusi
Perfusi adalah proses aliran darah dari jantung ke jaringan kapiler,
membawa oksigen dan nutrisi ke jaringan yang diperlukan untuk
metabolisme di masing-masing jaringan. Pasien sakit kritis berisiko
mengalami komplikasi, salah satunya hipoperfusi yaitu penurunan perfusi
(aliran darah) ke organ atau jaringan yang akan menyebabkan hipoksia sel.
Menilai perfusi dapat dilihat dari pemantauan hemodinamik yaitu tekanan
darah sistolik, MAP, denyut nadi, frekuensi pernapasan, CRT. Parameter
16
lain untuk menilai perfusi yaitu kadar saturasi oksigen vena sentral dan
kadar laktat dalam darah (Bigatello LM,2017).
Perfusi ke masing-masing organ berbeda bergantung kepada kebutuhan
dan metabolisme dari masing-masing organ. Saluran cerna menerima
perfusi paling besar yaitu 21%, karena kebutuhan untuk mengambil nutrisi
yang akan distribusikan ke organ lain dan untuk metabolisme, sehingga
saluran cerna merupakan organ yang berisiko tinggi untuk mengalami
hipoperfusi (Sherwood L,2016).
Hipoperfusi pada saluran cerna akan terjadi vasokonstriksi pembuluh
darah saluran cerna (Cressci G,2018). Vasokonstriksi pembuluh darah
saluran cerna terutama di lambung dapat menyebabkan gangguan pada otot
yang berakibat penurunan motilitas.Gangguan motilitas saluran cerna yaitu
penurunan kontraksi antropiloroduodenal sehingga kimus berbalik arah
menyebabkan volume residu lambung meningkat.
2.3.3.3 Pemberian Posisi
Pemberian posisi pronasi direkomendasikan untuk mencegah dan
menangani bayi dengan GER (Efendi, Sari, Riyantini,..Lestari, 2019).
Pengaturan posisi pronasi dapat menurunkan kejadian intoleransi
pemberian minum enteral karena pada posisi pronasi akan terjadi
peningkatan pertukaran gas dengan menurunkan tekanan pleura dan
meningkatkan area ventilasi yang berada dekat dengan rongga diafragma,
sehingga dapat menurunkan distensi abdomen. Pemberian posisi pronasi
juga akan menurunkan retensi pertukaran gas di saluran gastrointestinal dan
meningkatkan motilitas saluran gastrointestinal (Sangers et. al, 2013).
17
adanya penyulit seperti warna pucat, mulut yang terbuka, menyeringai, dan
lain-lain.
2. Masalah yang berkaitan dengan ibu
Masalah-masalah tersebut antara lain adalah hipertensi, toksemia, plasenta
previa, abrupsio plasenta, inkompeten servikal, kehamilan kembar,
malnutrisi, diabetes mellitus, status sosial ekonomi yang rendah, tiadanya
perawatan sebelum kelahiran (prenatal care), riwayat kelahiran prematur
atau aborsi, penggunaan obat-obatan, alkohol, rokok, kafein, umur ibu yang
di bawah 16 tahun atau di atas 35 tahun, latar pendidikan rendah,
kehamilan kembar, kelahiran prematur sebelumnya dan jarak kehamilan
yang berdekatan, infeksi seperti TORCH atau penyakit hubungan seksual
lain, golongan darah dan faktor Rh.
3. Pengkajian bayi pada saat kelahiran
Umur kehamilan biasanya antara 24 sampai 37 minggu, rendahnya berat
badan saat kelahiran (kurang dari 2500 gram), lapisan lemak subkutan
sedikit atau tidak ada, bayi terlihat kurus, kepala relatif lebih besar dari
pada badan dan 3 cm lebih lebar dibanding lebar dada, nilai apgar pada 1
sampai 5.
4. Kardiovaskuler
Pada bayi prematur denyut jantung rata-rata 120-160/menit pada bagian
apikal dengan ritme yang teratur, pada saat kelahiran kebisingan jantung
terdengar pada seperempat bagian interkostal, yang menunjukkan aliran
darah dari kanan ke kiri karena hipertensi atau atelektasis paru.
5. Gastrointestinal
Pada bayi prematur terdapat penonjolan abdomen, pengeluaran mekonium
biasanya terjadi dalam waktu 12 jam, reflek menelan dan mengisap yang
lemah, tidak ada anus dan ketidaknormalan kongenital lain.
6. Integumen
Pada bayi prematur kulit berwarna merah muda atau merah, kekuning-
kuningan, sianosis, atau campuran bermacam warna, sedikit vernix caseosa
dengan rambut lanugo di sekujur tubuh, kulit tampak transparan, halus dan
mengkilap, edema yang menyeluruh atau pada bagian tertentu yang terjadi
pada saat kelahiran, kuku pendek belum melewati ujung jari, rambut jarang
atau bahkan tidak ada sama sekali, terdapat petekie atau ekimosis.
18
7. Muskuloskeletal
Pada bayi prematur tulang kartilago telinga belum tumbuh dengan
sempurna yang masih lembut dan lunak, tulang tengkorak dan tulang rusuk
lunak, gerakan lemah dan tidak aktif atau letargik.
8. Neurologis
Pada bayi prematur reflek dan gerakan pada tes neurologis tampak resisten
dan gerak reflek hanya berkembang sebagian. Reflek menelan, mengisap
dan batuk masih lemah atau tidak efektif, tidak ada atau menurunnya tanda
neurologis, mata biasanya tertutup atau mengatup apabila umur kehamilan
belum mencapai 25-26 minggu, suhu tubuh tidak stabil atau biasanya
hipotermi, gemetar, kejang dan mata berputarputar yang bersifat sementara
tapi bisa mengindikasikan adanya kelainan neurologis.
9. Pernafasan
Pada bayi prematur jumlah pernapasan rata-rata antara 40-60 kali/menit
dan diselingi dengan periode apnea, pernapasan tidak teratur, flaring nasal
melebar (nasal melebar), terdengar dengkuran, retraksi (interkostal,
suprasternal, substernal), terdengar suara gemerisik saat bernapas.
10. Perkemihan
Pengkajian sistem pekemihan pada bayi dapat dilakukan dengan cara
mengkaji jumlah, warna, pH, berat jenis urine dan hasil laboratorium yang
ditemukan. Pada bayi prematur, bayi berkemih 8 jam setelah kelahirandan
belum mampu untuk melarutkan ekskresi ke dalam urine.
11. Reproduksi
Pada bayi perempuan klitoris menonjol dengan labia mayora yang belum
berkembang atau belum menutupi labia minora. Pada bayi lakilaki skrotum
belum berkembang sempurna dengan ruga yang kecil dan testis belum
turun ke dalam skrotum.
2.4.2 Diagnosa
Diagnosa keperawatan dibuat setelah dilakukan pengkajian. Beberapa
diagnosis dapat ditetapkan untuk semua bayi, tetapi diagnosis tertentu
ditetapkan sesuai dengan hasil pengkajian yang ditemukan (bervariasi sesuai
kondisi bayi). Masalah yang lazim muncul atau diagnosa keperawatan yang
sering muncul pada bayi prematur berdasarakan NANDA NIC NOC (2018 -
2020), adalah sebagai berikut:
19
Nadi : 120-
130
1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan imaturitas otot-otot
kali/
menit pernafasan dan penurunan ekspansi paru.
:2.70-Ketidakadekuatan pemberian ASI berhubungan dengan prematuritas.
Tekan
90/50
an 3. Disfungsi motalitas gastrointestinal berhubungan dengan
mmH
darah
g ketidakadekuatan aktivitas peristaltik di dalam sistem gastrointestinal.
:
4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
36,6˚
Suhu C- dengan ketidakmampuan menerima nutrisi.
37,2˚
C
5. Resiko ketidakseimbangan suhu tubuh berhubungan dengan penurunan
: 30-jaringan lemak subkutan.
40
6. Resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan imunologis tidak adekuat.
Pernaf kali/
asan 7. Ikterus neonatus berhubungan dengan bilirubin tak terkonjugasi dalam
menit
sirkulasi.
2.4.3 Intervensi
Diagnosa Tujuan dan Kriteria Intervensi
Hasil
Ketidakefektifan Setelah dilakukan asuhan Airway Management
pola nafas keperawatan selama 1) Posisikan pasien untuk memaksimalkan
1x24 jam jalan nafas ventilasi.
dalam kondisi bebas atau 2) Identifikasi pasien perlunya pemasangan
paten dan pola nafas alat jalan nafas bantuan.
mejadi efektif. 3) Lakukan suction bila perlu.
1) Suara nafas bersih, 4) Auskulatasi suara nafas, catat adanya suara
tidak ada sianosis, nafas tambahan.
tidak ada dispneu, 5) Monitor respirasi dan status O2.
bayi mampu bernapas Oxygen Therapy
dengan mudah.
1) Bersihkan mulut, hidung dan secret trakea.
2) Irama nafas teratur,
2) Pertahankan jalan nafas yang paten.
frekuensi pernafasan
3) Atur peralatan oksigenasi.
dalam batas normal
(30-40 kali/menit
4) Monitor aliran oksigen.
pada bayi), tidak ada 5) Pertahankan posisi pasien.
suara nafas abnormal. 6) Observasi adanya tanda-tanda distres
3) Tanda-tanda vital respirasi seperti retraksi, takipneu, apneu,
dalam batas normal. sianosis.
Vital Sign Monitoring
1) Monitor tekanan darah, nadi, suhu, dan
pernafasan.
2) Monitor frekuensi dan kualitas nadi.
3) Monitor frekuensi dan irama pernafasan.
4) Monitor suara paru.
5) Monitor pola pernapasan abnormal.
20
6) Monitor suhu, warna, dan kelembaban
kulit.
7) Monitor adanya sianosis perifer.
8) Identifikasi penyebab dari perubahan vital
sign.
21
Kriteria Hasil: menentukan jumlah kalori dan nutrisi
1) Adanya yang dibutuhkan bayi.
peningkatan berat badan 5) Monitor jumlah nutrisi dan kandungan
sesuai dengan tujuan kalori.
(berat badan bertambah Nutrition Monitoring
20-30 gram/hari). 1) Monitor adanya penurunan berat
2) Tidak ada tanda- badan.
tanda malnutrisi (pada 2) Monitor terjadiya kulit kering dan
usia 2 minggu kebutuhan perubahan pigmentasi.
nutrisi mencapai 150 3) Monitor turgor kulit.
cc/kgbb/hari) 4) Monitor kekeringan dan kusam pada
3) Menunjukkan rambut.
peningkatan fungsi 5) Monitor terjadinya muntah.
mengisap dan menelan. 6) Monitor kadar albumin, total protein,
4) Tidak terjadi Hb, dan kadar Ht.
penurunan berat badan 7) Monitor pertumbuhan dan
yang berarti. perkembangan bayi.
8) Monitor terjadinya pucat, kekeringan,
dan kemerahan pada jaringan
konjungtiva.
9) Monitor kalori dan intake nutrisi.
10) Catat adanya edema, hiperemik,
hipertonik papila lidah dan cavitas
oral.
11) Catat jika lidah berwarna magenta atau
merah tua.
22
g
:
36,6˚
Suhu C-
37,2˚
C
: 30-
40
Pernaf kali/
asan menit
7) Hidrasi adekuat.
8) Tidak menggigil.
9) Gula darah dalam
batas normal (> 45
mg/dL).
10) Kadar bilirubin
dalam batas normal
(0,3-1,0 mg/dL).
23
BAB III
GAMBARAN KASUS KELOLAAN
Pada BAB ini akan dibahas hasil penelusuran studi kasus selama penulis melakukan asuhan
keperawatan pada bayi prematur di ruang perinatologi RSUD dr. Chasbullah Abdul Majid
Kota Bekasi.
3.1 Gambaran Pasien
Pasien by. Ny. M lahir pada tanggal 3 agustus 2021, ibu masuk melalui IGD, riwayat
lahir Sectio Caesarea (SC) dengan usia gestai 30 minggu atas indikasi ketuban pecah
dini 14 jam dan bekas SC satu kali. Bayi berjenis kelamin laki – laki. Riwayat persalinan
didapatkan bahwa ketuban keruh, berat badan lahir 1490 gram, panjang badan 39 cm,
lingkar kepala 28 cm, lingkar perut 22 cm, keadaan umum bayi tampak lemah, sesak,
suhu 35,9°C, akral dingin, sianosis.
Pada saat pengkajian ditemukan bayi berusia 22 hari dengan usia kehamilan 33 minggu.
Bayi Ny.M dengan diagnosis medis NKB KMK, sepsis neonatorum awitan lanjut dan
suspek gastroesophageal reflux disease. Pada saat dilakukan pengkajian bayi Ny. M
dapat bernafas spontan. Bayi cukup aktif dan menangis kuat. Berat badan saat ini 1700
gram. Bayi diberikan minum melalui OGT dengan jumlah yang sedang dibatasi yaitu 5
cc/3jam karena riwayat muntah beberapa kali dan adanya riwayat puasa selama 2 hari
pada tanggal 20 – 21 agustus. Saat pengkajian bayi M juga mengalami muntah 1 kali
pada saat pemberian minum enteral via OGT.
3.2 Karakteristik Pasien
Karateristik Pasien
Usia Gestasi 33 minggu
Jenis Kelamin Laki - laki
Etiologi Terjadinya anemia pada ibu
Terjadinya ketuban pecah dini 14 jam
Adanya bekas SC 1 kali
24
Trombosit 150 - 400 ribu/uL 375
MCV 75 - 87 fL 103.3
MCH 24 - 30 pg 35.9
MCHC 31 - 37 g/dL 34.7
IT Ratio < 0.15 0.05
CRP Kuantitatif >5.0 mg/L kemungkinan 0.071
infeksi/inflamasi akut
Presepsin <200 pg/mL 543
Glukosa Darah Sewaktu 60 – 100 mg/dL 60
3.5 Pengkajian
3.5.1 Riwayat Kesehatan
Tabel 3.3 Riwayat Kesehatan
Riwayat Kesehatan
Riwayat Prenatal
Anak ke : Bayi merupakan anak ke-4
Riwayat penyakit ibu : Anemia dengan jumlah hemoglobin 7.7
Riwayat pengobatan Transfusi PRC 2 labu
ibu :
Riwayat Intranatal
Cara persalinan : Sectio Caesarea (SC) atas indikasi ketuban pecah dini 14 jam
dan bekas SC 1 kali
Kondisi saat lahir : Keadaan umum tampak lemah dan sesak, akral dingin, dan
menangis dengan spontan
Tali pusat : Tali pusat bayi segar
Faktor Risiko Infeksi
Mayor : Air ketuban keruh
Minor : Ketuban pecah dini 14 jam, Berat Badan Lahir Rendah dan
usia gestasi < 37 minggu
Kebutuhan Biologis
25
Nutrisi : Nutrisi bayi menggunakan susu formula yang diberikan
melalui OGT dengan jumlah pemberian susu 5cc/3jam
Eliminasi : Jumlah diuresis bayi 40 g dengan adanya defekasi berwarna
hijau
Output :
26
Diuresis : 110/24 jam
Defekasi : +
DO :
Asupan nutrisi enteral melalui
OGT
Residu lambung meningkat
Adanya muntah
Adanya distensi abdomen
Suara bising usus tidak terdengar
Intoleransi minum
Adanya riwayat produksi cairan
OGT dalam selang berwarna
coklat
2 DS: - Risiko Syok
DO :
Pasien mengalami intoleransi
minum
Adanya riwayat produksi cairan
OGT dalam selang berwarna
coklat
Hasil laboratorium :
Jumlah leukosit 16.6 ribu/Ul
Presepsin 543
3 DS : - Ketidakefektifan Termoregulasi
DO :
Keadaan umum lemas
Suhu inkubator 35°C
Suhu tubuh 36.3°C
Akral teraba dingin
27
Diagnosa Keperawatan Prioritas
Disfungsi Motilitas Gastrointestinal
Ketidakefektifan Termoregulasi
Resiko Syok
28
Termoregulasi keperawatan 3 x 24 jam tidak
terjadi masalah
ketidakefektifan
termoregulasi dengan
Kriteria hasil : 1. Monitor tanda - tanda vital
29
3.9 Implementasi Keperawatan
Tabel 3.10 Implementasi Keperawatan Diagnosa 1
Implementasi Implementasi Implementasi
30
jam
intake cairan parenteral intake cairan parenteral intake cairan parenteral
infus N5 5 cc/jam = 120 infus N5 5 cc/jam = 120 infus N5 5 cc/jam = 120
cc/24 jam cc/24 jam cc/24 jam
output cairan output cairan output cairan
residu lambung 15.8 residu lambung 13 cc/24 jam residu lambung 10.5 cc/24
cc/24 jam jam
output diuresis output diuresis output diuresis
110/24 jam 100/24 jam 120/24 jam
7. Memonitor adanya 7. Memonitor adanya 7. Memonitor adanya
distensi abdomen distensi abdomen distensi abdomen
adanya distensi abdomen adanya distensi abdomen Tidak adanya distensi
LP = 25 cm LP = 24.5 cm abdomen
LP = 24 cm
8. Memonitor adanya 8. Memonitor adanya 8. Memonitor adanya
muntah muntah muntah
terlihat adanya muntah terlihat adanya muntah sudah tidak adanya muntah
berwarna cairan susu berwarna cairan susu
31
Tabel 3.12 Implementasi Keperawatan Diagnosa 3
Implementasi Implementasi Implementasi
32
bersih setiap melakukan bersih setiap melakukan bersih setiap melakukan
tindakan kepada pasien tindakan kepada pasien tindakan kepada pasien
perawat memakai perawat memakai handscoon perawat memakai
handscoon setiap setiap melakukan tindakan handscoon setiap
melakukan tindakan ke ke bayi melakukan tindakan ke bayi
bayi
6. Mempertahankan 6. Mempertahankan 6. Mempertahankan
lingkungan yang bersih lingkungan yang bersih lingkungan yang bersih
dengan baik dengan baik dengan baik
inkubator dalam keadaan inkubator dalam keadaan inkubator dalam keadaan
bersih bersih bersih
7. Berkolaborasi 7. Berkolaborasi pemberian 7. Berkolaborasi pemberian
pemberian antibiotik antibiotik antibiotik
Cefotaxime 2 X 70 mg Cefotaxime 2 X 70 mg Cefotaxime 2 X 70 mg
Amikacin 10.5 mg/18 Amikacin 10.5 mg/18 jam Amikacin 10.5 mg/18 jam
jam
Aminopilin 2 x 3.5 mg Aminopilin 2 x 3.5 mg Aminopilin 2 x 3.5 mg
Metronidazole 2 x 10.5 Metronidazole 2 x 10.5 mg Metronidazole 2 x 10.5 mg
mg
8. Berkolaborasi 8. Berkolaborasi 8. Berkolaborasi
pemeriksaan pemeriksaan laboratorium pemeriksaan laboratorium
laboratorium
33
abdomen
LP = 24 cm
pemberian nutrisi
melalui OGT dengan
jumlah 10 cc/3 jam = 80
cc/24 jam
adanya penambahan
jumlah pemberian
nutrisi 2.5 cc
Analisa Analisa : Analisa :
Tujuan tercapai, Tujuan tercapai, masalah Tujuan tercapai sebagian,
masalah teratasi teratasi masalah teratasi sebagaian
Planning Planning : Planning :
Lanjutkan intervensi : Lanjutkan intervensi : Lanjutkan intervensi
Pemberian nutrisi Pemantauan tanda - tanda Monitor tanda - tanda vital
melalui OGT pada bayi vital dan suhu
Pengaturan posisi Lakukan perencanaan
pronasi pada bayi pemeriksaan hasil
laboratorium
34
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Karakteristik Pasien
4.1.1 Usia Gestasi
Hasil studi kasus karakteristik pasien menurut usia gestasi yaitu 33 minggu pada
saat pengkajian. Berdasarkan teori bayi yang lahir dengan usia kehamilan
kurang dari 37 minggu disebut dengan prematur (Sulistijono, et al., 2016). Pada
bayi prematur Imaturitas sistem gastrointesinal menjadi salah satu masalah yang
sering ditemukan (Ardiansyah dkk, 2018). Imaturitas sistem gastrointestinal
dapat menjadi hambatan yang paling sering dialami oleh bayi prematur dalam
pemenuhan kebutuhan nutrisi enteral. Hambatan yang sering terjadi yaitu
adanya intoleransi dalam pemberian minum. Kejadian intoleransi pemberian
minum pada bayi prematur sekitar 16-29% dan terjadi akibat imaturitas sistem
gastrointestinal (Fanaro, 2018).
4.1.3 Etiologi
Hasil studi kasus didapatkan riwayat prenatal ibu mengalami anemia dengan
jumlah Hb 7.7 g/dL . Hasil penelitian yang dilakukan (Sudiat et al, 2016)
menunjukkan bahwa ada pengaruh anemia pada ibu hamil terhadap persalinan
prematur. Hal ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh (Larumpaa et
al., 2017) yang menyatakan bahwa anemia mempengaruhi terjadinya persalinan
prematur. Ibu hamil yang mengalami anemia akan menyebabkan bayi
mengalami hipoksia karena jumlah sel darah merah dan hemoglobin yang
berfungsi mengangkut nutrisi dan oksigen juga terganggu alirannya menuju
janin. Anemia dapat mengakibatkan penurunan suplai oksigen ke jaringan,
selain itu juga dapat merubah struktur vaskularisasi plasenta. Hal ini akan
merangsang hormone hipotalamus pituitary adrenal (HPA) yang akan
meningkatkan kortikotropin releasing hormone (CRH) dimana hormone ini
35
mempunyai efek meningkatkan kontraksi uterus, sehingga kontraksi uterus
meningkat dan menyebabkan persalinan prematur (Maslaha dkk, 2020).
Hasil studi kasus didapatkan pula adanya riwayat ketuban pecah dini 14 jam.
Menurut hasil penelitian (Eliza et al., 2017) menunjukkan bahwa ibu hamil
dengan ketuban pecah dini dapat meningkatkan risiko terjadinya persalinan
prematur, karena ketuban yang pecah sebelum ada pembukaan akan semakin
banyak yang keluar sehingga jumlah ketuban dalam uterus semakin berkurang,
yang menyebabkan pergerakan bayi melambat dan berkurangnya ketuban
menyebabkan kesejahteraan bayi dalam rahim akan terganggu dan
menyebabkan kompresi tali pusat yang membwa nutrisi dan oksigen ke janin,
dengan berkurangnya nutrisi dan oksigen ke janin maka bayi harus segera
dilahirkan akan tidak menyebabkan kegawatan janin sehingga bayi lahir
prematur (Maslaha dkk, 2020).
4.2 Pemeriksaan Laboratorium
Berdasarkan hasil studi kasus pada pemeriksaan laboratorium bayi didapatkan adanya
peningkatan pada jumlah nilai leukosit dan persepsin. Leukosit berfungsi sebagai sel
pertahanan tubuh dar penyakit infeksi atau inflamasi. Leukositosis terjadi sebagai
penanda adanya infeksi ataupun inflamasi (Siahaan dll, 2021) Kadar plasma presepsin
berkaitan dengan inflamasi sistemik yang dipicu oleh infeksi bakteri (Iskandar dkk,
2017). Menurut (Kinney et al, 2017) bayi prematur sebelas kali lebih sering mengalami
sepsis dibandingkan dengan bayi yang lahir cukup bulan. Hal ini berkaitan dengan
masalah imunodefisiensi yang menghalangi pematangan mukosa usus dan bayi
prematur lebih membutuhkan beberapa perawatan invasif setelah lahir dibandingkan
bayi yang lahir cukup bulan.
4.3 Pengkajian
4.3.1 Riwayat Kesehatan
Berdasarkan hasil studi kasus, bayi dilakukan pengkajian riwayat kesehatan
yang terdiri dari riwayat prenatal, intranatal, riwayat faktor risiko infeksi dan
kebutuhan biologis. Pada pengkajian riwayat prenatal didapatkan bahwa bayi
merupakan anak ke 4. Pada riwayat penyakit ibu didapatkan bahwa ibu
mengalami anemia dengan jumlah Hb 7.7 g/dL , dan diberikan transfusi PRC.
Seperti hasil penelitian yang dilakukan (Sudiat et al, 2016) menunjukkan bahwa
adanya pengaruh anemia pada ibu hamil terhadap persalinan prematur.
36
Pada riwayat intranatal didapatkan bahwa cara persalinan dengan tindakan
sectio caesarea atas indikasi kontraksi dan bekas SC satu kali. Kondisi saat lahir
yaitu keadaan umum lemah, sesak, akral dingin, dan menangis dengan spontan.
Terjadinya kontraksi dapat berhubungan dengan terjadinya anemia pada ibu
karena anemia dapat mengakibatkan penurunan suplai oksigen ke jaringan,
selain itu juga dapat merubah struktur vaskularisasi plasenta. Hal ini akan
merangsang Hormone Hipotalamus Pituitary Adrenal (HPA) yang akan
meningkatkan Kortikotropin Releasing Hormone (CRH) dimana hormone ini
mempunyai efek meningkatkan kontraksi uterus, sehingga kontraksi uterus
meningkat dan menyebabkan persalinan prematur (Maslaha dkk, 2020).
Pada riwayat risiko infeksi didapatkan bahwa adanya risiko infeksi yang
ditandai dengan terjadinya ketuban pecah dini, bayi dengan Berat Badan Lahir
Rendah dan usia gestasi < 37 minggu. Menurut (Arisqan, 2021) ketuban pecah
dini, persalinan prematur, berat bayi lahir rendah, bayi lahir dengan nilai apgar
rendah, air ketuban keruh atau berbau, dan proses persalinan dengan operasi
sesar ataupun menggunakan alat seperti vakum merupakan faktor risiko
terjadinya sepsis pada neonatus yang terdapat di Indonesia. Penulis berasumsi
bahwa terjadinya sepsis pada bayi karena didukung oleh adanya faktor – faktor
tersebut.
4.3.2 Pemeriksaan Fisik
Berdasarkan hasil studi kasus pada pemeriksaan fisik didapatkan nilai tanda –
tanda vital berada nilai normal. Nilai antropometri didapatkan nilai lingkar perut
25 cm, nilai ini naik dari sebelumnya. Kenaikan lingkar perut disebabkan karena
terjadinya distensi abdomen pada bayi. Distensi pada abdomen bisa disebabkan
karena sistem gastrointestinal pada bayi prematur yang mengalami imaturitas
yaitu dengan adanya peningkatan residu lambung yang dikarenakan
pengosongan lambung yang lebih lambat (Oktarina dkk, 2020).
4.4 Diagnosa Keperawatan
Hasil studi kasus diperoleh 3 diagnosa yang muncul pada bayi, hal ini berdasarkan teori
yang berada pada buku NANDA-I Diagnosis Keperawatan yaitu, sebagai berikut :
4.4.1 Disfungsi Motilitas Gastrointestinal
Pada diagnosa disfungsi motilitas gastrointestinal pada bayi dengan karakteristik
adanya peningkatan residu lambung, adanya distensi pada abdomen, dan adanya
37
muntah pada bayi. Faktor yang berhubungan yaitu prematuritas dan berat badan
lahir rendah. Kondisi terkaitnya yaitu pemberian nutrisi pada bayi melalui OGT.
4.4.2 Ketidakefektifan Termoregulasi
Pada diagnosa ketidakefektifan termoregulasi pada bayi dengan karakteristik
suhu berada di nilai 36.3°C, akral teraba dingin, bayi terlihat pucat dengan
faktor yang berhubungan karena kurangnya suplai lemak subkutan.
4.4.3 Risiko Syok
Risiko syok merupakan kondisi dimana rentan mengalami ketidakcukupan
aliran darah ke jaringan tubuh, yang dapat mengakibatkan disfungsi seluler yang
mengancam jiwa, yang dapat mengganggu kesehatan (NANDA, 2018). Pada
diagnosa risiko ini bayi mengalami kondisi terkait yaitu mengalami sepsis.
4.5 Intervensi Keperawatan
Berdasarkan studi kasus, intervensi yang diberikan harus sesuai dengan diagnosa
keperawatan yang muncul sesuai dengan buku NIC & NOC (2018 – 2020).
4.5.1 Disfuungsi Motilitas Gastrointestinal
Intervensi yang diberikan untuk diagnosa ini yaitu lakukan pemberian nutrisi
melalui OGT, gunakan teknik bersih dalam pemberian nutrisi melalui OGT,
periksa residu lambung, monitor status intake dan output cairan, monitor
terjadinya distensi lambung, monitor adanya muntah dan berikan pengaturan
posisi.
Pengaturan posisi yang dilakukan yaitu pemberian posisi pronasi pada bayi yang
dilakukan setelah pemberian nutrisi. Pengaturan posisi pronasi dilakukan selama
kurang lebih satu jam. Pemberian posisi pronasi direkomendasikan untuk
mencegah dan menangani bayi dengan GER (Efendi, Sari, Riyantini,..Lestari,
2019).
4.5.2 Ketidakefektifan Termoregulasi
Intervensi yang diberikan untuk diagnosa ini yaitu monitor tanda – tanda vital,
monitor warna kulit dan akral pasien, monitor suhu inkubator dan jaga
kehangatan bayi.
4.5.3 Risiko Syok
Intervensi yang diberikan untuk diagnosa ini yaitu monitor tanda – tanda vital,
monitor intake dan output cairan, berikan cairan melalui enteral dan parenteral
sesuai kebutuhan, terapkan cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan
pasien, pakai handscoon bersih setiap melakukan tindakan kepada pasien,
38
pertahankan lingkungan yang bersih dengan baik, kolaborasi pemberian
antibiotik dan kolaborasi pemeriksaan laboratorium.
4.6 Implementasi Keperawatan
Implementasi dilakukan berdasarkan diagnosa keperaawatan yan dilakukan pada bayi
prematur, yang mmfokuskan pada intervensi keperawatan dari diagnosa disfungsi
motilitas gastrointestinal, ketidakefektifan termoregulasi dan risiko syok. Pada laporan
studi kasus ini penulis menerapkan implementasi dan bebrapa intervensi berdasarkan
diagnosa keperawatan dalam waktu 3 hari. Memeriksa residu lambung per-8 jam
sehari, 3 jam setelah pemberian nutrisi,
4.6.1 Disfungsi Motilitas Gastrointestinal
Implementasi hari pertama dilakukan pada bayi yaitu melakukan penberian
nutrisi ASI melalui OGT, menggunakan teknik bersih dalam pemberian nutrisi
melalui OGT, Memberikan pangaturan posisi pronasi pada bayi setelah
pemberian nutrisi selama kurang lebih 1 jam, memeriksa residu lambung per-8
jam sehari, 3 jam setelah pemberian nutrisi, memonitor status intake dan output
cairan, memonitor adanya distensi abdomen, dan memonitor adanya muntah.
Hasil yang didapat selama implementasi diberikan pada hari pertama yaitu
jumlah produksi residu lambung 15.8 cc/24 jam dengan sekali pengecekan
didapatkan 5 – 5.5 cc serta adanya distensi abdomen dan muntah pada bayi.
Implementasi hari kedua dilakukan pada bayi yaitu melakukan penberian nutrisi
ASI melalui OGT, menggunakan teknik bersih dalam pemberian nutrisi melalui
OGT, Memberikan pangaturan posisi pronasi pada bayi setelah pemberian
nutrisi selama kurang lebih 1 jam, memeriksa residu lambung per-8 jam sehari,
3 jam setelah pemberian nutrisi, memonitor status intake dan output cairan,
memonitor adanya distensi abdomen, dan memonitor adanya muntah. Hasil
yang didapat selama implementasi diberikan pada hari kedua yaitu jumlah
produksi residu lambung 13 cc/ 24 jam dengan sekali pengecekan didapatkan 4
– 5 cc serta adanya dstensi abdomen dan muntah pada bayi.
Implementasi hari ketiga dilakukan pada bayi yaitu melakukan penberian nutrisi
ASI melalui OGT, menggunakan teknik bersih dalam pemberian nutrisi melalui
OGT, Memberikan pangaturan posisi pronasi pada bayi setelah pemberian
nutrisi selama kurang lebih 1 jam, memeriksa residu lambung per-8 jam sehari,
39
3 jam setelah pemberian nutrisi, memonitor status intake dan output cairan,
memonitor adanya distensi abdomen, dan memonitor adanya muntah. Hasil
yang didapat selama implementasi diberikan pada hari ketiga yaitu jumlah
produksi residu lambung 10.5 cc/24 jam dengan sekali pengecekan didaptkan 3
– 4 cc , distensi abdomen sudah berkurang dan tidak adanya muntah pada bayi.
4.6.2 Ketidakefektifan Termoregulasi
Implementasi hari pertama dilakukan pada bayi yaitu memonitor tanda – tanda
vital, memonitor warna kulit dan akral pasien, memonitor suhu inkubator dan
menjaga kehangatan bayi. Hasil yang didapat selama implementasi diberikan
pada hari pertama yaitu HR : 163 x/menit, Suhu : 36 ,3°C, RR : 50 x/menit, SaO2
: 95%, CRT <3 detik, warna kulit bayi terlihat pucat, akral teraba dingin, dan
suhu inkubator 35.5 °C.
Implementasi hari kedua dilakukan pada bayi yaitu memonitor tanda – tanda
vital, memonitor warna kulit dan akral pasien, memonitor suhu inkubator dan
menjaga kehangatan bayi. Hasil yang didapat selama implementasi diberikan
pada hari kedua yaitu HR : 160 x/menit, Suhu : 36,5°C, RR : 50 x/menit, SaO2 :
96%, CRT <3 detik, kulit terlihat pucat, akral teraba dingin, suhu inkubator 35°C.
Implementasi hari kedua dilakukan pada bayi yaitu memonitor tanda – tanda
vital, memonitor warna kulit dan akral pasien, memonitor suhu inkubator dan
menjaga kehangatan bayi. Hasil yang didapat selama implementasi diberikan
pada hari ketiga yaitu HR : 160 x/menit, Suhu : 36,9°C, RR : 50 x/menit, SaO2 :
96%, CRT <3 detik. Kulit sudah tidak terlalu pucat, akral teraba hangat, suhu
inkubator 35°C.
4.6.3 Risiko Syok
Implementasi hari pertama dilakukan pada bayi yaitu memonitor tanda – tanda
vital, memonitor intake dan output cairan, memberikan cairan melalui enteral dan
parenteral, menerapkan cuci tangan dan memakai handscon setiap sebelum
ataupun sesudah melakukan tindakan ke pasien, mempertahankan lingkungan
inkubator yang bersih, berkolaborasi pemberian antibiotik dan berkolaborasi
pemeriksaan laboratorium. Hasil yang didapat selama implementasi diberikan
pada hari pertama yaitu HR : 163 x/menit, Suhu : 36,3°C, RR : 50 x/menit,
40
SaO2 : 95%, CRT <3 detik, jumlah intake cairan enteral + parenteral 180 cc/24
jam, output cairan 165.8 cc/ 24 jam.
Implementasi hari kedua dilakukan pada bayi yaitu memonitor tanda – tanda
vital, memonitor intake dan output cairan, memberikan cairan melalui enteral dan
parenteral, menerapkan cuci tangan dan memakai handscon setiap sebelum
ataupun sesudah melakukan tindakan ke pasien, mempertahankan lingkungan
inkubator yang bersih, berkolaborasi pemberian antibiotik dan berkolaborasi
pemeriksaan laboratorium. Hasil yang didapat selama implementasi diberikan
pada hari kedua yaitu HR : 160 x/menit, Suhu : 36,5°C, RR : 50 x/menit, SaO2 :
96%, CRT <3 detik, jumlah intake cairan enteral + parenteral 180 cc/24 jam,
jumlah output cairan 113 cc/24 jam.
Implementasi hari ketiga dilakukan pada bayi yaitu memonitor tanda – tanda
vital, memonitor intake dan output cairan, memberikan cairan melalui enteral dan
parenteral, menerapkan cuci tangan dan memakai handscon setiap sebelum
ataupun sesudah melakukan tindakan ke pasien, mempertahankan lingkungan
inkubator yang bersih, berkolaborasi pemberian antibiotik dan berkolaborasi
pemeriksaan laboratorium. Hasil yang didapat selama implementasi diberikan
pada hari ketiga yaitu HR : 160 x/menit, Suhu : 36,9°C, RR : 50 x/menit, SaO2 :
96%, CRT <3 detik, jumlah intake cairan enteral + parenteral 200 cc/24 jam,
jumlah output cairan 160.5 cc/24 jam.
4.7 Evaluasi Keperawatan
4.7.1 Disfungsi motilitas gastrointestinal
Setelah melakukan implementasi selama 3 hari kepada pasien didapatkan bahwa tujuan
tercapai dan masalah teratasi kepada seluruh pasien. Ini membuktikan bahwa adanya
efektifitas pemberian intervensi pengaturan posisi pada neontatus yang mengalami
masalah peningkatan residu lambung.
4.7.2 Ketidakefektifan Termoregulasi
Setelah melakukan implementasi selama 3 hari kepada pasien didapatkan bahwa tujuan
tercapai dan masalah teratasi kepada pasien ditandai dengan adanya peningkatan suhu
tubuh, dan tanda – tanda vital berada pada rentang normal.
4.7.3 Risiko syok
41
Setelah melakukan implementasi selama 3 hari kepada pasien didapatkan bahwa tujuan
tercapai sebagian dan masalah teratasi sebagian kepada seluruh pasien karena pada
tujuan adanya penurunan kadar leukosit tidak bisa di evaluasi karna belum
dilakukannya pemeriksaan laboratorium kembali pada bayi.
42
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis asuhan keperawatan bayi prematur dengan pemberian
intervensi pengaturan posisi pronasi mempunya efektivitas dalam penurunan residu
lambung, dilihat dari evaluasi pembersihan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam
adanya data penurunan jumlah residu lambung pada bayi. Intervensi ini pun dapat
menurunkan adanya kejadian muntah dan distensi abdomen pada bayi.
5.2 Saran
5.2.1 Bagi Perawat
Dapat dijadikan landasan bagi perawat dalam menjalankan perannya dalam
melakukan asuhan keperawatan sepsis pada neonatus.
5.2.2 Bagi Pendidikan
Untuk pengembangan ilmu pengetahuan terapan khusunya berkaitan dalam
melakukan asuhan keperawatan sepsis pada neonatus.
43
. DAFTAR PUSTAKA
A, Kurniawan A, et al., editors. Singapore: Elsevier; 2014. 284–286 p.
Adriani R, Yantri E, Mariko R. Peran sistem skoring hematologi dalam diagnosis awal sepsis
neonatorum awitan dini. Sari Pediatr. 2018;20(1):17– 23
Astuti, D. D., Rustina, Y., & Waluyanti, F. T. (2018). Sleep Positioning in Low Birth Weight
Infants to Reduce Enteral Feeding Intolerance. NURSCOPE: Jurnal Penelitian dan
Pemikiran Ilmiah Keperawatan, 4(1), 10-17.
Efendi, D., Sari, D., Riyantini, Y., Novardian, N., Anggur, D., & Lestari, P. (2019).
Pemberian posisi (positioning) dan nesting pada bayi prematur: evaluasi implementasi
perawatan di neonatal intensive care unit (NICU). Jurnal Keperawatan Indonesia, 22(3),
169-181.
Fitriani EC, Amalia Y, Diah Andriana. Hubungan kadar dan hitung jenis leukosit pada angka
mortalitas neonatus dan bayi akibat sepsis di Kabupaten Malang. Jurnal Bio Komplementer
Medicine. 2019;6(3):183–9.
Larumpaa, F. S., Suparman, E., Lengkong R. (2017). Hubungan Anemia pada Ibu Hamil
dengan Kejadian Persalinan Prematur di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandau Manado .Diakses
pada 22 Agustus 2021. https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/eclinic/article/view/14700
Manuaba, Ida Bagus. Ilmu Kebidanan Penyakit dan Kandungan dan Kb untuk Pendidikan
Bidan. Jakatra : EGC: 2016.
Mulya Rahma Karyanti. Pitfalls of Laboratory Interpretation for Infection. In: Trihono PP, Djer MM,
Hendarto A, Prawitasari T, editors. Pitfalls in Pediatric Practices. Jakarta: Ikatan Dokter Anak
Indonesia; 2012. p. 1–29.
Nur’izzati, Maani H, Husni. Gambaran hematologic scoring system pada tersangka sepsis
neonatorum. J Kesehat Andalas. 2018;7(3):1–5.
44
Putri, D. R., Hasanah, O., & Ginting, R. (2016). Studi Kasus: Pengaruh Posisi Pronasi
Terhadap Penurunan Residu Lambung Dan Peningkatan Berat Badan Pada Bayi Berat
Lahir Rendah Diruangan Instalasi Neonatus Rsud Arifin Achmad Pekanbaru. Jurnal Ners
Indonesia, 6(1), 33-39.Roeslani RD, Amir I, Nasrulloh MH, Suryani. Penelitian Awal
Faktor Risiko Sepsis Neonatorum Awitan Dini. Sari Pediatr. 2013;14(6):363–8.
Rukiyah, Yulianti, Lia. 2016. Asuhan Neonatus Bayi dan Anak Balita. Jakarta : Trans Info
Medika
Sorsa A. Epidemiology of Neonatal Sepsis and Associated Factors Implicated: Observational Study at
Neonatal Intensive Care Unit of Arsi University Teaching and Referral Hospital, South East
Ethiopia. NCBI. 2019;29(3):333.
Sianturi P, Hasibuan BS, Lubis BM, Azlin E, Tjipta GD. Profil sepsis neonatus di unit perawatan
neonatus Adam Malik. Sari Pediatr. 2012;14(2):67–72.
Singer M, Deutschman CS, Seymour CW, Shankar-Hari M, Annane D, Bauer M, et al. The third
international consensus definitions for sepsis and septic shock. HHS Public Access.
2016;315(8):801–10.
Sulistijono, E., et al. 2016. Faktor Risiko Sepsis Awitan Dini pada Neonatus. Jurnal
Kedokteran Brawijaya. Vol. 27, No. 4.
Wilar R, Antolis Y, N.N.Tatura S, Gunawan S. Jumlah trombosit dan mean platelet volume sebagai
faktor prognosis pada sepsis neonatorum. Sari Pediatr. 2010;12(1):53–7.
45