Anda di halaman 1dari 6

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kelahiran prematur di dunia merupakan dilema besar dalam perawatan


neonatal, karena sekitar 15 juta bayi lahir prematur setiap tahunnya, dan lebih
dari satu juta bayi tersebut meninggal sesaat setelah lahir (World Health
Organization/WHO, 2013). Bayi prematur merupakan bayi yang lahir
dibawah usia gestasi 37 minggu (Yildiz, Arikan and Sebahat, 2011). Hal ini
melaporkan bahwa setidaknya 130.000 dari 1,3 juta bayi yang lahir setiap
tahun di Turki kekurangan berat badan, dan dua sepertiga bayi didefinisikan
sebagai prematur. Di negara maju kelahiran prematur merupakan masalah
kesehatan masyarakat yang parah, dengan terjadinya peningkatan selama 10
tahun terakhir sehingga 7,5% dari bayi yang baru lahir adalah berat badan
lahir rendah dan salah satu dari sembilan bayi prematur di Amerika Serikat
(Ahmed, 2019).
WHO (2013) mengidentifikasi kelahiran prematur, berat badan lahir
rendah, cacat lahir, dan SIDS sebagai penyebab utama kematian bayi.
Indonesia menduduki peringkat ke-5 jumlah bayi prematur terbanyak di dunia
dengan jumlah 675.700 pada tahun 2010 (Blencowe, Cousens, Oestergaard,
Chou, Moller, et al., 2012).
Kemajuan prosedur perawatan obsetrik dan neonatal meningkatkan
tingkat kelangsungan hidup bayi prematur sejak akhir abad 20, namun
kemajuan tersebut disertai dengan masalah perkembangan dan kualitas hidup
(Vieira & Linhanres, 2011). Bayi yang lahir lebih awal dari waktu
kelahirannya berisiko mengalami kendala fisik, neurologis, dan perilaku yang
dapat berdampak jangka panjang, seperti cerebral palsy dan chronic lung
disease (Edward, 2011).
Nutrisi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perbaikan
kondisi untuk meningkatkan kualitas hidup pada bayi prematur. Nutrisi pada
bayi prematur baru lahir erat hubungannya dengan kebutuhan cairan, energi,
termoregulasi, imunitas/infeksi, dan oksigenasi. Kebutuhan tersebut sangat
dibutuhkan untuk bertahan hidup dan mempertahankan pertumbuhan dan
perkembangan (Rugolo, 2005). Imaturitas organ dan penyakit penyerta pada
bayi prematur terjadi sejak masa awal kelahiran menyebabkan masalah
nutrisi. Pemberian minum merupakan hal yang penting diperhatikan untuk
mengatasi masalah nutrisi (Lucchini, Bizzarri, Giampietro, & Curtis, 2011)
Bayi prematur mengalami kesulitan pemberian minum karena
perkembangan otak dan pencernaan yang imatur. Imaturitas keduanya
membuat bayi prematur mempunyai reflek menelan dan menghisap serta
koordinasi menelan-menghisap-bernafas yang lemah (Kenner & McGrath,
2004). Padahal kemampuan menghisap dan menelan serta koordinasi
menelan-menghisap- bernafas dapat membantu toleransi minum yang baik
dan aman.
Kemampuan menghisap mulai muncul saat janin dalam rahim trimester
kedua dan mulai stabil saat usia gestasi 34 minggu pada bayi prematur sehat.
Kemampuan menghisap dapat terhambat karena perdarahan dan iskemi otak,
kelainan neurogenetik atau kraniofasial, intolerasi minum, pembedahan, dan
pemakaian ventilator. Kondisi tersebut memberikan pengalaman sensori dan
mororik yang menganggu periode perkembangan otak saat membangun
kemampuan menghisap (Barlow, Poore, Zimmerman, & Finan, 2010).
Terhambatnya kemampuan menghisap mempengaruhi toleransi minum
bayi. Intoleransi minum dapat menyebabkan residu lambung lebih dari 20%,
distensi abdomen dan terjadinya krisis apnea/bradikardia (Lucchini, Bizzarri,
Giampietro, & Curtis, 2011). Terhambatnya kemampuan menghisap dan
lemahnya koordinasi menghisap-menelan-bernafas pada bayi prematur juga
dapat menyebabkan risiko aspirasi. Metode pemberian minum dengan selang
naso atau orogastrik merupakan pilihan tindakan untuk mencegah aspirasi.
Metode selang tersebut tidak memfasilitasi pengalaman sensori motor untuk
mengembangkan kemampuan minum melalui oral (Yildiz, Arikan, Gozum,
Tastekin, & Budancamanak, 2009).

Kesulitan mengembangkan kemampuan minum per oral menambah lama


hari rawat dan biaya perawatan (Lau, 2007; Yildiz, Arikan, Gozum, Tastekin,
& Budancamanak, 2009). Bayi yang gagal atau belum mampu minum per oral
bahkan terkadang dipulangkan dengan selang orogastrik (Crowe, Chang, &
Wallace, 2012). Kesulitan minum per oral pada bayi dalam jangka waktu
lama dapat berdampak pada timbulnya masalah makan saat masa kanak-
kanak seperti excessive pickiness, hipersensitif untuk menerima beberapa
jenis makanan atau tekstur makanan, dan penolakan makan/food
aversion. Kekurangan stimulasi pada saat satu tahun pertama dapat menjadi
penyebab masalah makan tersebut (Thanattherakul, 2003; Edward, 2011).
Perawat mempunyai peran penting dalam meningkatkan kemampuan
minum per oral pada bayi prematur. Kesiapan minum per oral dinilai dari
kemampuan non-nutritive sucking (NNS) dan oromotor patterning (Lau,
2006). Bayi mengembangkan kemampuan non-nutritive sucking sebelum
nutritive sucking. Non-nutritive sucking merupakan kemampuan menghisap
tanpa adanya stimulus cairan (Lau, 2007). Kondisi kesehatan bayi prematur
menyebabkan mereka memerlukan perawatan khusus yang dapat
meminimalkan stimulus untuk belajar kemampuan non-nutritive sucking.
Kondisi tersebut memperburuk kemampuan non-nutritive sucking yang sudah
terhambat karena imaturitas perkembangan otak dan pencernaan (Yildiz,
Arikan, Gozum, Tastekin, & Budancamanak, 2009).
Berbagai intervensi diupayakan jika bayi telah menunjukkan
keterlambatan kemampuan minum melalui oral, misalnya stimulasi oromotor.
Indentifikasi intervensi yang bersifat preventif juga diperlukan untuk
menekan kejadian keterlambatan kemampuan non-nutritive sucking. Salah
satu alternatif solusi tindakan preventif tersebut yaitu dengan penerapan
asuhan perkembangan. Asuhan perkembangan akan memfasilitasi
perkembngan otak sehingga akan meningkatkan kemampuan non-nutritive
sucking.
Asuhan perkembangan berkembang karena bayi yang dirawat di ruang
perawatan intensif perinatologi berisiko mengalami overstimulating dari
lingkungan sekitar. Perawatan bayi prematur diharapkan memfasilitasi
perkembangan bayi prematur dengan menciptakan lingkungan mirip seperti
di dalam rahim, seperti posisi fleksi-midline, rasa dan bau cairan amnion
dengan pemberian ASI. Perawatan tersebut dikenal dengan sebutan asuhan
perkembangan. Asuhan perkembangan juga meminimalkan stimulasi
berlebih seperti berupa cahaya, suara, sentuhan, perasa, posisi, dan
penciuman (Kenner & McGrath, 2004).
Bayi prematur mempunyai indera penciuman yang sensitif. Bayi
berespon terhadap bau dengan ekspresi wajah, aktivitas non-nutritive
sucking, pola nafas, dan aliran darah otak (Bingham, Churchill, & Ashikaga,
2007). Bau cairan amnion mirip dengan bau air susu ibu (ASI). Bayi dapat
membedakan bau ASI ibunya dengan bau ASI ibu lainnya karena
mendapatkan pengalaman bau cairan amnion di dalam rahim. Bau ASI dapat
meningkatkan aktivitas hisapan (Bingham, Churchill, & Ashikaga, 2007;
Yildiz, Arikan, Gozum, Tastekin, & Budancamanak, 2009). Pengalaman
tersebut penting bagi bayi prematur untuk mengembangkan kemampuan non-
nutritive sucking. Kemampuan non-nutritive sucking akan mengantarkan
kesuksesan kemampuan sehingga diharapkan meningkatkan kemampuan
minum per oral bayi prematur (Pinelli & Symington, 2010).
Ruang perinatology RSUD Kanjuruan memiliki kapasitas 25 tempat
tidur, yang terdiri dari ruang isolasi 5 box, ruang observasi 10 box, dan ruang
resti 7 inkubator. Bayi prematur masih menjadi penyebab sebagian besar bayi
dirawat di rumah sakit Kanjuruan Kabupaten Malang. Oleh karena itu kami
ingin memberikan inovasi tentang stimulasi bau ASI untuk mengurangi masa
transisi pemberian minum melalui selang.
Kualitas asuhan perawatan bayi prematur senantiasa dikembangkan
untuk meningkatkan angka kesintasan dan kualitas hidup. Salah satu alternatif
caranya adalah dengan mengatasi permasalahan dan mencukupi kebutuhan
nutrisi. Keterkaitan antara kebutuhan nutrisi dengan kemampuan minum per
oral membuat peneliti tertarik untuk menerapkan evidence-based nursing

4
practice intervensi stimulasi bau ASI terhadap lama transisi pemberian
minum melalui selang ke pemberian minum oral total pada bayi prematur di
unit perinatologi RS Kanjuruan Kabupaten Malang.

1.2 Tujuan

Untuk mengetahui stimulasi bau ASI terhadap lama transisi pemberian

minum melalui selang ke pemberian minum oral total pada bayi prematur di

unit perinatologi RS Kanjuruan Kabupaten Malang.

1.3 Manfaat

a. Manfaat Umum

Hasil dari penelitian EBP ini dapat diharapkan menjadi pertimbangan

masukan pemikiran untuk perkembangan ilmu keperawatan serta dapat

menambah wawasan kajian ilmu keperawatan untuk perawat dan tenaga

kesehatan lainnya dalam memberikan intervensi pemberian stimulasi bau ASI

terhadap lama transisi pemberian minum melalui selang ke pemberian minum

oral total pada bayi prematur di unit perinatologi RS Kanjuruan Kabupaten

Malang.

b. Manfaat Praktis

1) Bagi Bayi dan Keluarga

Penerapan stimulasi bau ASI diharapkan dapat memperpendek

lama masa transisi pemberian minum melalui selang ke pemberian

minum oral total pada bayi prematur. Pemendekan masa transisi

tersebut diharapkan meningkatkan kemampuan minum melalui oral

pada bayi prematur. Tercapainya kompetensi kemampuan minum juga

diharapkan dapat memperpendek lama rawat bayi di ruang perinatologi.

5
2) Bagi Perawat

Penerapan intervensi ini dapat menambah pengetahuan perawat

tentang alternatif intervensi pencegahan masalah keterlambatan

kemampuan non- nutritive sucking pada bayi prematur, berdasarkan

evidence-based nursing practice. Penerapan intervensi stimulasi bau

ASI juga diharapkan dapat menambah wawasan dan perhatian perawat

terhadap penerapan asuhan perkembangan dalam intervensi

keperawatan

3) Bagi Pelayanan Rumah Sakit

Penerapan evidence-based nursing practice stimulasi bau ASI

dapat menjadi inovasi asuhan keperawatan khususnya di kebutuhan

nutrisi bayi prematur. Intervensi ini juga memfasilitasi penerapan

konsep asuhan perkembangan pada bayi prematur. Penerapan

intervensi ini diharapkan meningkatkan kualitas asuhan keperawatan di

ruang perinatologi

Anda mungkin juga menyukai