SKENARIO 4
STEP1
STEP 2
STEP 3
iii. Higienitas.
iv. Social ekonomi.
v. Pendidikan.
vi. RAS.
vii. Daerah geografi.
viii. Agen, host dan enviorment.
2. Berikut patomekanisme dari keluhan yang timbul :
a. BTA (+) jumlah tinggi sistem imun respon imun baik dan
rendah
STEP 4
1) Kingdom : Bacteria.
2) Filum : Actinomycetales.
3) Ordo : Corynebacterneae.
4) Genus : Mycobacterium.
b. Faktor resiko
i. Pria : wanita 2 : 1.
ii. RAS kulit hitam (bentuk tuberkuloid) dan putih ( bentuk
lepromatosa).
iii. Daerah endemis.
2. Berikut patomekanisme dari keluhan yang timbul :
M. leprae droplet / kontak kulit masuk pada dermis sel schwan
inflamasi MH ( PB dan MB ) saraf tepi saraf otomon (gangguan
kelenjar minyak dan aliran darah sekresi histamine gatal), saraf
motoric (kelemahan otot) dan saraf sendorik (baal dan anestesia).
3. Berikut penegakan diagnosis pada kasus tersebut :
a. Klasifikasi
i. Madrid tuberkuloid, lepromatosa dan border line.
ii. Japling Bt, BB dan BL.
iii. WHO PB (indeks bakteri < 2, TT, BT, respon imun terhadap
bakteri baik) dan MB (respon imun terhadap bakteri jelek).
iv. BTA (+) : PB dan bakteri (-) : MB.
b. Manifestasi klinis
i. Tuberkuloid perkembangan bakteri cepat dam kerusakan.
ii. Lepromatosa kerusakan saraf sudah tersebar dan stocking
sarung tangan (baal seluruhnya).
iii. PB makula dan jumlah 1.
iv. BT makula, infiltrasi, jumlah > 1.
v. BL makula, plakat, papul.
vi. MB jumlah > 5.
4. Berikut tatalaksana dan edukasi dari kasus tersebut :
a. Tipe PB
i. Dewasa
5
1) Pengobatan 6 bulan.
2) Hari pertama tiap bulan (rifampisin 300 mg dan dapso 100 mg).
ii. Anak anak (10-14 tahun)
1) Rifampisin 300 mg.
b. Tipe MB
i. Dewasa
1) Pengobatan 12 bulan.
2) Hari pertama tiap bulan (rifampisin 300mg, klofazimin 100 mg,
dan dapson 100mg.
ii. Anak – anak ( < 0 tahun )
1) Fifampisin 10 mg/kgBB.
2) Klofazimin 6 mg/kgBB.
3) Dapson 2 mg/kgBB.
6
MIND MAP
Etiologi
Faktor Resiko
Patomekanisme Anamnesis
Non farmakologi
Tatalaksana
Farmakologi
Pencegahan
Komplikasi
STEP 5
STEP 6
Belajar Mandiri.
7
STEP 7
yang cepat dan berat pada kedua jenis sel Schwann itu. Namun beberapa
peneliti telah melaporkan infeksi yang terbatas pada sel Schwann yang tidak
bermielin secara in vitro.1
Phenolic glycolipid 1 (PGL-1) dari M.leprae telah dibuktikan terikat
secara spesifik pada laminin-2 dalam lamina basalis dari unit SCakson. Oleh
karena itu PGL-1 tampaknya terlibat dalam invasi sel schwann oleh M. leprae
pada suatu jalur laminin 2. Namun yang lebih penting lagi, bukti-bukti yang
ada jelas menunjukkan bahwa mekanisme ikatan terhadap permukaan sel
schwann via laminin α2 bukan merupakan hal yang patognomonis untuk
M.leprae saja. Spesies mikobakterial lainnya, termasuk M.tuberkulosis,
M.chelonae, dan M.smegmatis telah menunjukkan suatu α2 laminin – binding
- capacity dan spesies-spesies ini siap berinteraksi dengan ST88-14 pada
barisan sel schwannoma. Hal ini mengarah pada dugaan bahwa kemampuan
untuk mengikat laminin α2 terbatas pada genus Mycobacterium. Studi lain juga
telah mendemonstrasikan kemampuan mielin Po untuk mengikat M.leprae.1
Transmission-electron micrograph dari kokultur sel Schwan pada tikus
yang terinfeksi M.leprae. Kultur yang terinfeksi diperoleh dari paparan sel
Schwann primer terhadap M.leprae selama 48 jam. Setelah pertumbuhan
selama 12 hari pada suhu 33°C. a. Sel Schwann yang bermielin. b. Sel Schwann
yang tidak bermielin.1
B. Respon Imun Terhadap M. leprae
Patogenesis kusta terbagi dalam beberapa hal, yaitu adanya
Mycobacterium leprae, fungsi sistem fagosit mononuklear, aktivitas sel
dendritik yang berhubungan dengan limfosit T dan limfosit B serta imunitas
humoral dan selular yang meliputi faktor host dan agent (Mycobacterium
leprae) serta interaksi keduanya.1
C. Imunitas alamiah (innate immunity)
Sistem kekebalan tubuh lapis pertama bekerja secara non spesifik lewat
pertahanan secara mekanis misalnya lapisan kulit yang intak.1
secara fisiologis, atau kimiawi serta lewat beberapa jenis sel yang bisa
langsung membunuh kuman. Sel-sel yang pada sistem imunitas alamiah (innate
imunity) bekerja secara fagositosis yang dijalankan oleh monosit dan
9
pembunuhan di luar sel (extra cellular killing) yang dijalankan oleh limfosit
pembunuh (Natural Killer cell/NK cell). Kekebalan alamiah ini bersifat non
spesifik dan ditunjang oleh status kesehatan secara umum yaitu gizi yang baik,
hidup teratur, serta lingkungan yang baik.1
Sebagian M. leprae yang masuk ke dalam tubuh manusia mungkin akan
lolos dari seragan sistem kekebalan alamiah tersebut. Lewat mekanisme
menumpang di dalam monosit seperti pada infeksi tuberkulosis diparu
(Troyan-horsephenomen) basil kusta terbawa masuk ke organ yang lebih dalam
tubuh dsn mencari sasaran sel yang sistem pertehanannya lemah sambil
berkembang biak. Belum jelas mengapa M. leprae yang ditangkap oleh
monosit tersebut tidak terbunuh, mungkin lewat cara mimikri (menyamar)
sehingga sel tidak mengenali musuh, atau bakteri mengeluarkan zat tertentu
yang melumpuhkan salah satu komponen sistem kekebalan. Salah satu jenis
sel fagosit yang menjadi sasaran adlah sel Schwann yang terletak di perineum
saraf tepi. Sel ini digolongkan dalam “non professional phagocyte”, karena
tidak bisa mengekspresikan MHC class II di permukan selnya, kecuali bila
diaktifkan oleh Interferon gamma (IFN γ). 1
Keadaan ini menyebabkan terganggunya proses penyajian antigen kepada
limfosit T, sehingga setelah menangkap M.Leprae sel itu tidak bisa
mengaktifkan limfosit dan sebaliknya limfosit tidak bisa mengirim sinyal (IFN
γ) yang dibutuhkan untuk sistem penghancuran kuman didalam sel. Maka sel
Schwann ini menjadi pos pertama dari basil kusta sebelum menginvasi kekulit
dan organ lain. Pada waktu sel Scwann yang tua mati dan pecah, M.Leprae
yang berkembang biak didalam sel tersebut akan tersebar keluar dan akan
ditangkap oleh sel fagosit lain. Fase selanjutnya adalah interaksi antara basil
kusta dengan sistem pertahanan tubuh lapis kedua yang bersifat spesifik.1
D. Imunitas yang didapat (acquired immunity)
Dalam sistim pertahanan lapis kedua, eliminasi kuman dijalankan oleh
sistim imun yang didapat (Acquired Immunity) yang sifatnya spesifik dan
timbul apabila sudah terjadi pengenalan (recognition) dan pengingatan
(memory) oleh berbagai komponen sel yang terlibat. Untuk penghancuran
kuman yang hidupnya di dalam sel seperti M. leprae, maka diperlukan
10
keringat. Gejala klinis yang terjadi dapat berupa kelainan pada saraf tepi, kulit,
rambut, otot, tulang, mata, dan testis.2
A. Klasifikasi kusta menurut Ridley dan Jopling:
1. Tipe Tuberkuloid (TT)
Lesi ini mengenai baik kulit maupun syaraf, jumlah lesi bisa satu atau
beberapa, dapat berupa makula atau plakat yang berbatas jelas dan pada bagian
tengah dapat ditemukan lesi yang regresi atau central healing. Permukaan lesi
dapat bersisik dengan tepi yang meninggi, bahkan dapat menyerupai gambaran
psoriasis atau tinea sirsinata. Dapat disertai penebalan saraf perifer yang
biasanya teraba, kelemahan otot, dan sedikit rasa gatal. Tidak adanya kuman
merupakan tanda terdapatnya respon imun pejamu yang adekuat terhadap
kuman kusta.2
2. Tipe Borderline Tuberkuloid (BT)
Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa makula atau plakat yang
sering disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa, tetapi
gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas tipe TT.
Adanya gangguan saraf tidak seberat tipe TT dan biasanya asimetris. Lesi
satelit biasanya ada dan terletak dekat saraf perifer yang menebal.2
3. Tipe Mid Borderline (BB)
Merupakan tipe yang paling tidak stabil, disebut juga sebagai bentuk
dismorfik dan jarang dijumpai. Lesi sangat bervariasi, dapat berbentuk makula
infiltratif, permukaan lesi dapat mengkilap dan batas lesi kurang jelas. Ciri
khasnya adalah lesi punched out, yaitu, suatu lesi hipopigmentasi dengan
bagian tengah oval dan berbatas jelas.2
4. Tipe Borderline Lepromatosus (BL)
Secara klasik lesi dimulai dengan makula, awalnya sedikit dan dengan cepat
menyebar ke seluruh badan. Walaupun masih kecil, papul dan nodul lebih tegas
dengan distribusi lesi yang hampir simetris dan beberapa nodul nampaknya
melekuk pada bagian tengah. Lesi bagian tengah sering tampak normal dengan
infiltrasi di pinggir dan beberapa tampak seperti punched out. Tanda-tanda
kerusakan saraf lebih cepat muncul dibandingkan dengan tipe LL.2
12
C. Reaksi kusta
Reaksi kusta terbagi menjadi 2 tipe, diantaranya:
a. Gejala pada reaksi kusta tipe I adalah perubahan lesi kulit, demam yang
tidak begitu tinggi, gangguan konstitusi, gangguan saraf tepi, multiple
small satellite skin makulopapular skin lesion dan nyeri pada tekan
saraf. Reaksi kusta tipe I dapat dibedakan atas reaksi ringan dan berat.2
b. Pada reaksi kusta tipe II adalah neuritis, gangguan konstitusi, dan
komplikasi organ tubuh. Reaksi kusta tipe II juga dapat dibedakan atas
reaksi ringan dan berat.2
Fenomena lucio berupa plak atau infiltrat difus, merah muda, bentuk
tidak teratur, dan nyeri. Lesi lebih berat tampak lebih eritematosa,
purpura, bula, terjadi nekrosis dan ulserasi yang nyeri. Lesi lambat
sembuh dan terbentuk jaringan parut. Dari hasil histopatologi
ditemukan nekrosis epidermal iskemik, odem, proliferasi endotelial
pembuluh darah dan banyak basil M.leprae di endotel kapiler.2
Eritema nodosum lepromatous (ENL), timbul nodul subkutan yang
nyeri tekann dan meradang, biasanya dalam kumpulan. Setiap nodul
bertahan selama satua atau dua minggu tetapi bisa timbul kumpulan
nodul baru. Dapat terjadi demam, limfadenopati, dan athralgia.2
D. Pemeriksaan pasien
Inspeksi pasien dapat dilakukan dengan penerangan yang baik, lesi kulit
juga harus diperhatikan dan juga dilihat kerusakan kulit. Palpasi dan
pemeriksaan dengan menggunakan alat – alat sederhana yaitu jarum untuk
rasa nyeri, kapas untuk rasa raba, tabung reaksi masing – masing dengan air
panas dan es, pensil tinta Gunawan (tanda Gunawan) untuk melihat ada
tidaknya dehidrasi di daerah lesi yang dapat jelas dan dapat pula tidak dan
sebagainya. Cara menggoresnya mulai dari tengah lesi, yang kadang –
kadang dapat membantu, tetapi bagi penderita yang memiliki kulit berambut
sedikit, sangat sukar untuk menentukannya2
Pemeriksaan Saraf Tepi
Untuk saraf perifer, perlu diperhatikan pembesaran, konsistensi dan nyeri
atau tidak. Hanya beberapa saraf yang diperiksa yaitu N.fasialis,
14
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan Bakterioskopis
Pemeriksaaan bakterioskopik, sediaan dari kerokan jaringan kulit atau
usapan mukosa hidung yang diwarnai denganpewarnaan BTA ZIEHL
NEELSON. Pertama – tama harus ditentukan lesi di kulit yang diharapkan
paling padat oleh basil setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tepat
yang diambil. Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin
sebaiknya minimal 4 – 6 tempat yaitu kedua cuping telinga bagian bawah
dan 2 -4lesi lain yang paling aktif berarti yang paling eritematosa dan paling
infiltratif. Pemilihan cuping telinga tanpa mengiraukan ada atau tidaknya
lesi di tempat tersebut oleh karena pengalaman, pada cuping telinga didapati
banyak M.leprae.2
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan
dinyatakan dengan indeks bakteri (B) dengan nilai 0 sampai 6+ menurut
Ridley. 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP).
Pemeriksaan Histopatologis
Pemeriksaan histopatologi, gambaran histopatologi tipe tuberkoloid adalah
tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya
sedikit dan non solid. Tipe lepromatosa terdpat kelim sunyi subepidermal
(subepidermal clear zone) yaitu suatu daerah langsung di bawah epidermis
yang jaringannya tidak patologik. Bisa dijumpai sel virchow dengan banyak
basil. Pada tipe borderline terdapat campuran unsur – unsur tersebut.
Sel virchow adalah histiosit yang dijadikan M.leprae sebagai tempat
berkembangbiak dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan.2
Pemeriksaan Serologis
Kegagalan pembiakan dan isolasi kuman mengakibatkan diagnosis
serologis merupakan alternatif yang paling diharapkan. Pemeriksaan
serologik, didasarkan terbentuk antibodi pada tubuh seseorang yang
terinfeksi oleh M.leprae. Pemeriksaan serologik adalah MLPA
(Mycobacterium Leprae Particle Aglutination), uji ELISA dan ML
dipstick.2
16
B. Ofloxacin
Ofloxacin adalah antimikroba broad spectrum golongan quinolone.
Secara kimiawi, ofloxacin adalah sebuah carboxyquinolone yang
terfluorinasi, (±) – 9 – fluoro – 2, 3 – dihydro – 3 – methyl – 10 – (4 – methyl
– 1 - piperazinyl) – 7 – oxo – 7H – pyrido [1, 2, 3 - de] – 1, 4 – benzoxazine
– 6 – carboxylic acid, dengan rumus empiris C₁₈H₂₀FN₃O₄.
Dapson yang dikonsumsi secara oral akan diabsorbsi segera pada saluran
gastrointestinal dengan bioavailabilitas lebih dari 86%. Absorbsi obat
berkurang pada penyakit kusta yang berat. Pada individu normal, setelah
mengkonsumsi 100 mg dapson, konsentrasi dapson dalam serum adalah 1,10-
2,33 mg/l dalam 0,5 sampai 4 jam. Waktu paruh obat ini berkisar antara 12-
30 jam. 24 jam setelah mengkonsumsi 100 mg dapson secara oral
konsentrasi plasma berkisar antara 0,4-1,2 mg/l. Kadar terapeutik konsentrasi
serum dapson adalah 0,5-5 mg/l untuk kusta. Konsentrasi obat bersifat stabil
setelah 8-10 hari setelah terapi.3
Secara oral, dapson diabsorpsi melalui saluran gastrointestinal.
Kemudian dapson ditransportasikan melalui sirkulasi portal menuju ke hati.
Setelah itu, dapson di metabolisme melalui dua jalur utama yaitu N-asetilasi
dan N-hidroksilasi. Asetilasi merupakan asetilator cepat dalam metabolisme
dapson.3
Deasetilasi timbul secara spontan dan memiliki keseimbangan stabil
antara monoasetil dapson dan diasetil dapson yang dapat tercapai dalam
beberapa jam setelah pemberian oral. Hal ini tampak bahwa tingkat asetilasi
tidak berhubungan dengan waktu paruh obat dalam tubuh dan tidak
mempengaruhi efikasi obat. Jalur kedua dalam metabolisme dapson adalah
N-hidroksilasi. N-hidroksilasi dapson terdapat pada hati, dimediasi oleh
berbagai enzim sitokrom P-450 termasuk CYP2E1, CYP2C9, dan CYP3A4.
Metabolisme dapson pada sitokrom P-450 menimbulkan berbagai efek
samping termasuk methemoglobinemia, hemolisis dan agranulositosis.3
Sekitar 85% dapson di ekskresikan melalui urin dan 10% di ekskresikan
melalui kandung empedu. Setelah pemberian dapson dosis tunggal sekitar
50% obat ini akan di ekskresikan dalam 24 jam pertama.3
Mekanisme kerja dapson sebagai antibiotik hampir sama dengan
sulfonamid yaitu dengan menghambat sintesis asam dihidrofolat melalui
kompetisi dengan asam para aminobenzoik. Oleh karena itu dapson dapat
menghambat pertumbuhan mikroorganisme yang bergantung dari sintesis
asam folat endogen. Selain itu efek dapson sebagai anti inflamasi bergantung
dari migrasi kemotaktik neutrofil dan β2 integrin. Dapson dapat menghalangi
19
aktivasi atau fungsi protein G yang berperan dalam transduksi sinyal kaskade
dan rangsangan kemotaktik. Senyawa oksidan sangat penting tidak hanya
untuk membunuh bakteri, namun berperan dalam kerusakan jaringan pada
beberapa proses penyakit. Hypochlorous acid merupakan oksidan penting
yang dihasilkan oleh enzim mieloperoksidase (MPO) yang mengandung
heme pada neutrofil dan eosinofil peroksidase.3
4. KOMPLIKASI LEPRA
Kecacatan
Micobacterium leprae menyerang saraf tepi tubuh manusia. Tergantung
dari kerusakan saraf tepi, maka akan terjadi gangguan fungsi saraf tepi :
sensorik, motorik dan otonom. Terjadinya cacat pada kusta disebabkan oleh
kerusakan fungsi saraf tepi, baik karena kuman kusta maupun karena terjadinya
peradangan (neuritis) sewaktu keadaan reaksi lepra.4
A. Tingkat Cacat
Kerusakan saraf pada pendirita kusta meliputi :
1) Kerusakan fungsi sensorik
Kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan terjadinya kurang/mati
rasa (anestesi). Akibat kurang/mati rasa pada telapak tangan dan kaki dapat
terjadi luka. Sedangkan pada kornea mata akan mengakibatkan
kurang/hilangnya reflek kedip sehingga mata mudah kemasukan kotoran,
benda-benda asing yang dapat menyebabkan infeksi mata dan akibatnya
buta.4
2) Kerusakan fungsi motorik
Kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi lemah/lumpuh dan
lama-lama otot mengecil (atrofi) oleh karena tidak dipergunakan. Jari-jari
tangan dan kaki menjadi bengkok (clow hand/clow toes) dan akhirnya
dapat terjadi kekakuan pada sendi, bila terjadi kelemahan/ kekakuan pada
mata, kelopak mata tidak dapat dirapatkan (lagoptalmus).4
3) Kerusakan fungsi otonom
Terjadinya gangguan kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan
sirkulasi darah sehingga kulit menjadi kering, menebal, mengeras, dan
20
Keterangan:
1) Cacat tingkat 0 berarti tidak ada cacat,
Cacat tingkat I adalah cacat yang disebabkan oleh kerusakan saraf
sensorik yang tidak terlihat seperti kehilangan rasa raba pada telapak tangan
dan telapak kaki. Cacat tingkat I pada telapak kaki berisiko terjadinya ulkus
plantaris, namun dengan diri secara rutin hal ini dapat cegah. Mati rasa pada
bercak bukan merupakan cacat tingkat I karena bukan disebabkan oleh
kerusakan saraf perifer utama tetapi rusaknya saraf lokal pada kulit.4
bukan lesi lama yang bertambah aktif. Penderita Kusta juga dinyatakan
relaps jika terdapat penebalan saraf baru yang disertai defisit neurologis
yang sebelumnya tidak ada.5
b. untuk menyatakan relaps harus dikonfirmasikan kepada pengelola program
atau dokter yang memiliki kemampuan klinis dalam mendiagnosis relaps.
Untuk relaps MB, jika pada pemeriksaan ulang BTA setelah RFT terjadi
peningkatan Indeks Bakteri 2+ atau lebih bila dibandingkan dengan Indeks
bakteri.5
Daftar pustaka