Anda di halaman 1dari 28

1

SKENARIO 4

Bercak Disertai Baal

Seorang laki – laki beruasia 29 tahun dating je Puskesmas dengan keluhan


lengan bercak kemerahan yang terasa baal diseluruh tubuh dan kedua lengan.
Keluhan disertai gatal pada bercak. Pasien mengaku tetangga pasien ada yang
memiliki keluhan serupa. Pada pemeriksaan tanda vital didapatkan tekanan darah
120 / 80 mmHg, denyut nadi 80 x/menit, laju pernafasan 20 x/menit, suhu 37oC.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan lesi hipoestesi yang simetris serta pembesaran
N. auricularis magnus kanan kiri serat N. ulnaris kanan kiri. Pada pemeriksaan
laboratorium ditemukan BTA (+). Dokter memberikan terapi dan edukasi kepada
pasien terkait penyakitnya.

STEP1

1. Baal : kondisi yang tidak bias merasakan apapun.


2. Lesi hipostesi : lesi berkurangnya sensitivitas terhadap sentugan atau raba.

STEP 2

1. Bagaimana etiologic dan factor resiko pada kasus tersebut ?


2. Bagaimana patomekanisme dari keluhan yang timbul ?
3. Apakah ada hubungan keluhan pasien dan tetangga ?
4. Bagaimana penegakan diagnosis pada kasus tersebut ?
5. Apa saja tatalaksana dan edukasi dari kasus tersebut ?
6. Bagaimana pencegahan pada kasus tersebut ?
7. Bagaimana komplikasi pada kasus tersebut ?

STEP 3

1. Berikut etiologik dan faktor resiko :


a. Etiologi
i. BTA (+) : terinfeksi bakteri M.leprae.
b. Faktor resioko
i. Imun menurun.
ii. Lingkungan daerah endemic.
2

iii. Higienitas.
iv. Social ekonomi.
v. Pendidikan.
vi. RAS.
vii. Daerah geografi.
viii. Agen, host dan enviorment.
2. Berikut patomekanisme dari keluhan yang timbul :
a. BTA (+) jumlah tinggi  sistem imun  respon imun  baik dan
rendah

Masuk traktus respiratori  migrasi ke jaringan saraf  menyerang


saraf  multiplikasi  respon inflamasi  kemerahan pada kulit.

b. Agen M.leprae (PB dan MB)  transmisi ke kulit dank e respiratori.


3. Berikut hubungan keluhan pasien dan tetangga :
a. Transmisi
i. Droplet.
ii. Kontak lama dengan penderita.
iii. Sistem imun yang menurun  mudah terinfeksi.
4. Berikut penegakan diagnosis pada kasus tersebut :
a. Anamnesis
i. Baal.
ii. Kemerahan.
iii. Gatal – gatal.
b. PF
i. TD : 120 / 80 mmHg.
ii. Nadi : 80 x/menit.
iii. Respirasi : 20 x/menit.
iv. Suhu : 37oC.
v. Lesi hipoestesi yang simetris.
vi. Pembesaran N auricularis magnus.
vii. Pembesaarn saraf otonom.
viii. Pembesaran saraf perifer.
c. PP
3

i. Lab : BTA (+).


ii. Bakterioskopik.
iii. Histopatologi.
iv. Serologi.
5. Berikut tatalaksana dan edukasi dari kasus tersebut :
i. Umum.
ii. Khusus.
iii. MB
i. Lakukan imubilitas.
ii. Edukasi.
iii. Penjelasan tentang obat.
iv. Rifampisin.
v. Klifazimin.
vi. Dapsor.
vii. Metil prednisolon.
6. Beikut pencegahan pada kasus tersebut :
a. Keacatan
i. Deformitas primer : kerusakan kulit.
ii. Deformitas sekunder : sendi, kaku, mutilasi.

STEP 4

1. Berikut etiologic dan factor resikoo :


a. M.leprae
i. Tahan asam.
ii. Basil
iii. Polimorf.
iv. Dinding 2 lapis
1) Luar  transparan.
2) Dalam  poptidoglikan.
v. Membrane : lipid dan protein.
vi. Sitoplasma bergranul.
vii. Menyerang sistem saraf perifer.
viii. Klasifikasi
4

1) Kingdom : Bacteria.
2) Filum : Actinomycetales.
3) Ordo : Corynebacterneae.
4) Genus : Mycobacterium.
b. Faktor resiko
i. Pria : wanita  2 : 1.
ii. RAS  kulit hitam (bentuk tuberkuloid) dan putih ( bentuk
lepromatosa).
iii. Daerah endemis.
2. Berikut patomekanisme dari keluhan yang timbul :
M. leprae  droplet / kontak kulit  masuk pada dermis  sel schwan 
inflamasi  MH ( PB dan MB )  saraf tepi  saraf otomon (gangguan
kelenjar minyak dan aliran darah  sekresi histamine  gatal), saraf
motoric (kelemahan otot) dan saraf sendorik (baal dan anestesia).
3. Berikut penegakan diagnosis pada kasus tersebut :
a. Klasifikasi
i. Madrid  tuberkuloid, lepromatosa dan border line.
ii. Japling  Bt, BB dan BL.
iii. WHO PB (indeks bakteri < 2, TT, BT, respon imun terhadap
bakteri baik) dan MB (respon imun terhadap bakteri jelek).
iv. BTA (+) : PB dan bakteri (-) : MB.
b. Manifestasi klinis
i. Tuberkuloid  perkembangan bakteri cepat dam kerusakan.
ii. Lepromatosa  kerusakan saraf sudah tersebar dan stocking
sarung tangan (baal seluruhnya).
iii. PB  makula dan jumlah 1.
iv. BT makula, infiltrasi, jumlah > 1.
v. BL  makula, plakat, papul.
vi. MB jumlah > 5.
4. Berikut tatalaksana dan edukasi dari kasus tersebut :
a. Tipe PB
i. Dewasa
5

1) Pengobatan 6 bulan.
2) Hari pertama tiap bulan (rifampisin 300 mg dan dapso 100 mg).
ii. Anak anak (10-14 tahun)
1) Rifampisin 300 mg.
b. Tipe MB
i. Dewasa
1) Pengobatan 12 bulan.
2) Hari pertama tiap bulan (rifampisin 300mg, klofazimin 100 mg,
dan dapson 100mg.
ii. Anak – anak ( < 0 tahun )
1) Fifampisin 10 mg/kgBB.
2) Klofazimin 6 mg/kgBB.
3) Dapson 2 mg/kgBB.
6

MIND MAP

Etiologi

Faktor Resiko

Patomekanisme Anamnesis

Penegakan diangnosis Pemenriksaan fisik

PENYAKIT KULIT AKIBAT


MYCOBACTERIUM Pemeriksaan
DD
penunjang

Non farmakologi
Tatalaksana
Farmakologi
Pencegahan

Komplikasi

STEP 5

1. Bagaimana patomekanisme pada kusta?


2. Bagaimana penegakan diagnosis pada kusta?
3. Bagaimana mekanisme obat pada kusta ?
4. Bagaimana komplikasi pada kusta ?
5. Bagaimana tatalaksana awal dan lanjutan (regulasi) yang diberikan oleh
petugas kesehatan primer ?

STEP 6

Belajar Mandiri.
7

STEP 7

1. PATOFISIOLOGI PADA KUSTA


A. Imunopatogenesis
Faktor genetik dipertimbangkan karena memiliki peranan yang besar
untuk terjadinya kusta pada suatu kelompok tertentu. Respon yang terjadi
akibat infeksi Mycobacterium leprae dapat sangat berbeda, keadaan ini terjadi
di bawah kontrol secara genetika. Faktor genetik yang berperan salah satunya
berada di bawah sistem Human Leucocyte Antigen (HLA). HLA adalah suatu
antigen dipermukaan sel yang merupakan hasil produk yang dicetak biru oleh
gen yang terletak di kromosom 6 manusia, pada suatu daerah (locus) yang
disebut Major histocompatibility Complex (MHC). Dikenal MHC class I
(menghasilkan HLA-A, B, dan C) dan MHC class II (menghasilkan HLA D)
yang banyak dihubungkan dengan imunitas terhadap bakteri termasuk basil
kusta.1
Antigen HLA ini berperan dalam pengenalan dan penyajian antigen dari
sel penyaji (Antigen Precenting Cell) kepada sel limfosit T (Thelper) yang akan
memulai rangkaian respon imun. Dari hasil penelitian terhadap penderita kusta
ternyata didapatkan frekuensi HLA DR3 yang tinggi pada penderita kusta tipe
Tuberkuloid.Sedangkan HLA-DQ1 dihubungkan dengan tipe Lepromatosa.
Bentuk respon imun yang terjadi apabila basil kusta masuk kedalam tubuh
seseorang dimana HLA akan membuat seseorang jadi lebih mudah terkena
kusta dibandingkan orang lain. HLA DR akan mengarahkkan ke imunitas
seluler, sedangkan HLA-DQ akan mengarahkan ke sistem imunitas humoral.
Epitop atau peptida yang berasal dari antigen kuman, memerlukan pasangan
sesuai HLA yang ada. Pasangan ini selanjutnya akan bertemu dengan reseptor
pada permukaan limfosirt (T cell receptor/TCR).1
Sel Schwann, sel pendukung utama pada sistem saraf perifer, tampaknya
menjadi target utama M. leprae pada saraf perifer. Pada penderita dengan lepra
yang sudah parah (advanced), baik sel- sel Schwann yang bermielin maupun
tidak, sama-sama terinfeksi oleh M. leprae. walaupun ada beberapa laporan
yang menyebutkan bahwa ada kecenderungan untuk menyerang serabut saraf
yang tidak bermielin. Secara in vitro, kami telah mengobservasi suatu infeksi
8

yang cepat dan berat pada kedua jenis sel Schwann itu. Namun beberapa
peneliti telah melaporkan infeksi yang terbatas pada sel Schwann yang tidak
bermielin secara in vitro.1
Phenolic glycolipid 1 (PGL-1) dari M.leprae telah dibuktikan terikat
secara spesifik pada laminin-2 dalam lamina basalis dari unit SCakson. Oleh
karena itu PGL-1 tampaknya terlibat dalam invasi sel schwann oleh M. leprae
pada suatu jalur laminin 2. Namun yang lebih penting lagi, bukti-bukti yang
ada jelas menunjukkan bahwa mekanisme ikatan terhadap permukaan sel
schwann via laminin α2 bukan merupakan hal yang patognomonis untuk
M.leprae saja. Spesies mikobakterial lainnya, termasuk M.tuberkulosis,
M.chelonae, dan M.smegmatis telah menunjukkan suatu α2 laminin – binding
- capacity dan spesies-spesies ini siap berinteraksi dengan ST88-14 pada
barisan sel schwannoma. Hal ini mengarah pada dugaan bahwa kemampuan
untuk mengikat laminin α2 terbatas pada genus Mycobacterium. Studi lain juga
telah mendemonstrasikan kemampuan mielin Po untuk mengikat M.leprae.1
Transmission-electron micrograph dari kokultur sel Schwan pada tikus
yang terinfeksi M.leprae. Kultur yang terinfeksi diperoleh dari paparan sel
Schwann primer terhadap M.leprae selama 48 jam. Setelah pertumbuhan
selama 12 hari pada suhu 33°C. a. Sel Schwann yang bermielin. b. Sel Schwann
yang tidak bermielin.1
B. Respon Imun Terhadap M. leprae
Patogenesis kusta terbagi dalam beberapa hal, yaitu adanya
Mycobacterium leprae, fungsi sistem fagosit mononuklear, aktivitas sel
dendritik yang berhubungan dengan limfosit T dan limfosit B serta imunitas
humoral dan selular yang meliputi faktor host dan agent (Mycobacterium
leprae) serta interaksi keduanya.1
C. Imunitas alamiah (innate immunity)
Sistem kekebalan tubuh lapis pertama bekerja secara non spesifik lewat
pertahanan secara mekanis misalnya lapisan kulit yang intak.1
secara fisiologis, atau kimiawi serta lewat beberapa jenis sel yang bisa
langsung membunuh kuman. Sel-sel yang pada sistem imunitas alamiah (innate
imunity) bekerja secara fagositosis yang dijalankan oleh monosit dan
9

pembunuhan di luar sel (extra cellular killing) yang dijalankan oleh limfosit
pembunuh (Natural Killer cell/NK cell). Kekebalan alamiah ini bersifat non
spesifik dan ditunjang oleh status kesehatan secara umum yaitu gizi yang baik,
hidup teratur, serta lingkungan yang baik.1
Sebagian M. leprae yang masuk ke dalam tubuh manusia mungkin akan
lolos dari seragan sistem kekebalan alamiah tersebut. Lewat mekanisme
menumpang di dalam monosit seperti pada infeksi tuberkulosis diparu
(Troyan-horsephenomen) basil kusta terbawa masuk ke organ yang lebih dalam
tubuh dsn mencari sasaran sel yang sistem pertehanannya lemah sambil
berkembang biak. Belum jelas mengapa M. leprae yang ditangkap oleh
monosit tersebut tidak terbunuh, mungkin lewat cara mimikri (menyamar)
sehingga sel tidak mengenali musuh, atau bakteri mengeluarkan zat tertentu
yang melumpuhkan salah satu komponen sistem kekebalan. Salah satu jenis
sel fagosit yang menjadi sasaran adlah sel Schwann yang terletak di perineum
saraf tepi. Sel ini digolongkan dalam “non professional phagocyte”, karena
tidak bisa mengekspresikan MHC class II di permukan selnya, kecuali bila
diaktifkan oleh Interferon gamma (IFN γ). 1
Keadaan ini menyebabkan terganggunya proses penyajian antigen kepada
limfosit T, sehingga setelah menangkap M.Leprae sel itu tidak bisa
mengaktifkan limfosit dan sebaliknya limfosit tidak bisa mengirim sinyal (IFN
γ) yang dibutuhkan untuk sistem penghancuran kuman didalam sel. Maka sel
Schwann ini menjadi pos pertama dari basil kusta sebelum menginvasi kekulit
dan organ lain. Pada waktu sel Scwann yang tua mati dan pecah, M.Leprae
yang berkembang biak didalam sel tersebut akan tersebar keluar dan akan
ditangkap oleh sel fagosit lain. Fase selanjutnya adalah interaksi antara basil
kusta dengan sistem pertahanan tubuh lapis kedua yang bersifat spesifik.1
D. Imunitas yang didapat (acquired immunity)
Dalam sistim pertahanan lapis kedua, eliminasi kuman dijalankan oleh
sistim imun yang didapat (Acquired Immunity) yang sifatnya spesifik dan
timbul apabila sudah terjadi pengenalan (recognition) dan pengingatan
(memory) oleh berbagai komponen sel yang terlibat. Untuk penghancuran
kuman yang hidupnya di dalam sel seperti M. leprae, maka diperlukan
10

kerjasama antara makrofag dan limfosit T. Makrofag harus memberi sinyal


lewat penyajian antigen, sedangkan limfosit harus memberi sinyal dengan
mengeluarkan Interleukin yang akan mengaktifkan makrofag tersebut agar
menghancurkan kuman lewat mekaisme fagosom-lisosom kompleks.1
Dalam proses penyajian antigen dari mikobakteria, antigen yang berasal
dari proses pencernaan di dalam fagosom akan disajikan oleh MHC kelas II
kepada limfosit T yang CD4+, umumnya dari jenis T-helper atau inducer.
Sedangkan antigen dari kuman yang berada di dalam sitoplasma akan disajikan
oleh molekul MHC kelas I kepada sel T yang CD8+, yaitu
sitotoksik/supresor.Limfosit Th-1 terbentuk apabila dalam proses stimulasi
antigen terdapat IL-12, IFN-gamma dan IL-18, yang berasal dari sel NK dan
makrofag di dalam sistim imunitas alamiah (innate immunity). Kedua subset
limfosit ini saling mempengaruhi satu sama lain (down-regulating) dan selalu
berusaha mencapai keseimbangan. Apabila pada awal proses aktivasi terdapat
IL-4 (kemungkinan dibentuk oleh sel NK1.1 CD4+) maka Th-0 akan berubah
menjadi Th-2. Selanjutnya Th-1 akan mengaktifkan sistim imun seluler yang
diatur lewat pengaruh sitokin IL-2, IFN-gamma dan TNF-alfa, sedangkan Th-
2 akan mengaktifkan sistim imun humoral lewat mediator IL-4, I-6 dan IL-10.1
Berdasarkan konsep Th-1 dan Th-2 tersebut, maka dalam respons imun
terhadap kuman M. Leprae akan terjadi dua kutub, dimana pada satu sisi akan
terlihat aktifitas imunitas humoral. Manifestasi klinik yang terlihat adalah kusta
tipe Tuberkuloid dengan aktifitas Th-1 yang menonjol dan tipe Lepromatosa
dengan imunitas humoralnya yang dihasilkan oleh Th-2. Bentuk bentuk
peralihan (tipe Borderline) kemungkinan timbul dari perbedaan gradasi antara
aktifitas Th-1 dan aktifitas Th-2. Namun untuk menjelaskan mengapa bisa
terjadi pergeseran diantara bentuk-bentuk yang tidak stabil tersebut, tampaknya
konsep diatas masih belum bisa digunakan.1

2. PENEGAKAN DIAGNOSIS PADA KUSTA


Keluhan utama biasanya sebagai akibat kelainan saraf tepi, yang dalam hal
ini dapat berupa bercak pada kulit yang mati rasa, rasa tebal, kesemutan,
kelemahan otot-otot dan kulit kering akibat gangguan pengeluaran kelenjar
11

keringat. Gejala klinis yang terjadi dapat berupa kelainan pada saraf tepi, kulit,
rambut, otot, tulang, mata, dan testis.2
A. Klasifikasi kusta menurut Ridley dan Jopling:
1. Tipe Tuberkuloid (TT)
Lesi ini mengenai baik kulit maupun syaraf, jumlah lesi bisa satu atau
beberapa, dapat berupa makula atau plakat yang berbatas jelas dan pada bagian
tengah dapat ditemukan lesi yang regresi atau central healing. Permukaan lesi
dapat bersisik dengan tepi yang meninggi, bahkan dapat menyerupai gambaran
psoriasis atau tinea sirsinata. Dapat disertai penebalan saraf perifer yang
biasanya teraba, kelemahan otot, dan sedikit rasa gatal. Tidak adanya kuman
merupakan tanda terdapatnya respon imun pejamu yang adekuat terhadap
kuman kusta.2
2. Tipe Borderline Tuberkuloid (BT)
Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa makula atau plakat yang
sering disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa, tetapi
gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas tipe TT.
Adanya gangguan saraf tidak seberat tipe TT dan biasanya asimetris. Lesi
satelit biasanya ada dan terletak dekat saraf perifer yang menebal.2
3. Tipe Mid Borderline (BB)
Merupakan tipe yang paling tidak stabil, disebut juga sebagai bentuk
dismorfik dan jarang dijumpai. Lesi sangat bervariasi, dapat berbentuk makula
infiltratif, permukaan lesi dapat mengkilap dan batas lesi kurang jelas. Ciri
khasnya adalah lesi punched out, yaitu, suatu lesi hipopigmentasi dengan
bagian tengah oval dan berbatas jelas.2
4. Tipe Borderline Lepromatosus (BL)
Secara klasik lesi dimulai dengan makula, awalnya sedikit dan dengan cepat
menyebar ke seluruh badan. Walaupun masih kecil, papul dan nodul lebih tegas
dengan distribusi lesi yang hampir simetris dan beberapa nodul nampaknya
melekuk pada bagian tengah. Lesi bagian tengah sering tampak normal dengan
infiltrasi di pinggir dan beberapa tampak seperti punched out. Tanda-tanda
kerusakan saraf lebih cepat muncul dibandingkan dengan tipe LL.2
12

5. Tipe Lepromatous Leprosy


Jumlah lesi pada tipe ini sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih
eritematus, berkilap, berbatas tidak tegas, dan pada stadium dini tidak
ditemukan anestesi dan anhidrosis. Distribusi lesi khas, yakni di daerah wajah,
mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga; sedangkan di badan mengenai
bagian badan yang dingin, seperti lengan, punggung tangan, dan ekstensor
tungkai. Pada stadium lanjut, tampak penebalan kulit yang progresif, cuping
telinga menebal, facies leonina, madarosis, iritis, keratitis, deformitas pada
hidung, pembesaran kelenjar limfe, dan orkitis yang selanjutnya dapat menjadi
atrofi testis. Kerusakan saraf yang luas menyebabkan gejala stocking and glove
anesthesia dan pada stadium lanjut serabut-serabut saraf perifer mengalami
degenerasi hialin atau fibrosis yang menyebabkan anastesi dan pengecilan otot
tangan dan kaki.2
B. Klasifikasi menurut WHO
Pada tahun 1982, WHO mengembangkan klasifikasi untuk memudahkan
pengobatan di lapangan. Dalam klasifikasi ini seluruh penderita kusta hanya
dibagi menjadi 2 tipe yaitu tipe Pausibasiler (PB) dan tipe Multibasiler
(MB). Sampai saat ini Departemen Kesehatan Indonesia menerapkan
klasifikasi menurut WHO sebagai pedoman pengobatan penderita kusta.
Dasar dari klasifikasi ini berdasarkan manifestasi klinis dan hasil
pemeriksaan bakteriologi.2
Tabel 1. Klasifikasi kusta menurut WHO
13

C. Reaksi kusta
Reaksi kusta terbagi menjadi 2 tipe, diantaranya:
a. Gejala pada reaksi kusta tipe I adalah perubahan lesi kulit, demam yang
tidak begitu tinggi, gangguan konstitusi, gangguan saraf tepi, multiple
small satellite skin makulopapular skin lesion dan nyeri pada tekan
saraf. Reaksi kusta tipe I dapat dibedakan atas reaksi ringan dan berat.2
b. Pada reaksi kusta tipe II adalah neuritis, gangguan konstitusi, dan
komplikasi organ tubuh. Reaksi kusta tipe II juga dapat dibedakan atas
reaksi ringan dan berat.2
Fenomena lucio berupa plak atau infiltrat difus, merah muda, bentuk
tidak teratur, dan nyeri. Lesi lebih berat tampak lebih eritematosa,
purpura, bula, terjadi nekrosis dan ulserasi yang nyeri. Lesi lambat
sembuh dan terbentuk jaringan parut. Dari hasil histopatologi
ditemukan nekrosis epidermal iskemik, odem, proliferasi endotelial
pembuluh darah dan banyak basil M.leprae di endotel kapiler.2
Eritema nodosum lepromatous (ENL), timbul nodul subkutan yang
nyeri tekann dan meradang, biasanya dalam kumpulan. Setiap nodul
bertahan selama satua atau dua minggu tetapi bisa timbul kumpulan
nodul baru. Dapat terjadi demam, limfadenopati, dan athralgia.2
D. Pemeriksaan pasien
Inspeksi pasien dapat dilakukan dengan penerangan yang baik, lesi kulit
juga harus diperhatikan dan juga dilihat kerusakan kulit. Palpasi dan
pemeriksaan dengan menggunakan alat – alat sederhana yaitu jarum untuk
rasa nyeri, kapas untuk rasa raba, tabung reaksi masing – masing dengan air
panas dan es, pensil tinta Gunawan (tanda Gunawan) untuk melihat ada
tidaknya dehidrasi di daerah lesi yang dapat jelas dan dapat pula tidak dan
sebagainya. Cara menggoresnya mulai dari tengah lesi, yang kadang –
kadang dapat membantu, tetapi bagi penderita yang memiliki kulit berambut
sedikit, sangat sukar untuk menentukannya2
Pemeriksaan Saraf Tepi
Untuk saraf perifer, perlu diperhatikan pembesaran, konsistensi dan nyeri
atau tidak. Hanya beberapa saraf yang diperiksa yaitu N.fasialis,
14

N.aurikularis magnus, N.radialis, N. Ulnaris, N. Medianus, N. Poplitea


lateralis, N. Tibialis posterior. Pada pemeriksaan saraf tepi dapat
dibandingkan saraf bagian kiri dan kanan, adanya pembesaran atau tidak,
pembesaran reguler/irreguler, perabaan keras/kenyal, dan yang terakhir
dapat dicari adanya nyeri atau tidak. Pada tipe lepromatous biasanya
kelainan sarafnya billateral dan menyeluruh sedangkan tipe tuberkoloid
terlokalisasi mengikuti tempat lesinya.2
Tes Fungsi Saraf
Tes Sensoris. Gunakan kapas, jarum, serta tabung reaksi berisi air hangat
dan dingin.
Rasa Raba. Sepotong kapas yang dilancipkan ujungnya digunakan untuk
memeriksa perasaan rangsang raba dengan menyinggungkannya pada kulit.
Pasien yang diperiksa harus duduk pada waktu dilakukan duduk pada waktu
dilakukan pemeriksaan. Terlebih dahulu petugas menerangkan bahwa
bilamana merasa disinggung bagian tubuhnya dengan kapas, ia harus
menunjukkan kulit yang disinggung dengan jari telunjuknya dan dikerjakan
dengan mata terbuka. Bilamana hal ini telah jelas, maka ia diminta menutup
matanya, kalau perlu matanya ditutup dengan sepotong kain. Selain
diperiksa pada lesi di kulit sebaiknya juga diperiksa pada kulit yang sehat.
Bercak pada kulit harus diperiksa pada bagian tengahnya.2
Rasa Nyeri. Diperiksa dengan memakai jarum. Petugas menusuk kulit
dengan ujung jarum yang tajam dan dengan pangkal tangkainya yang
tumpul dan pasien harus mengatakan tusukan mana yang tajam dan mana
yang tumpul.2
Rasa Suhu. Dilakukan dengan menggunakan 2 tabung reaksi, yang satu
berisi air panas (sebaiknya 400C), yang lainnya air dingin (sebaiknya sekitar
200C). Mata pasien ditutup atau menoleh ke tempat lain, lalu bergantian
kedua tabung tersebut ditempelkan pada daerah kulit yang dicurigai.
Sebelumnya dilakukan kontrol pada kulit yang sehat. Bila pada daerah
tersebut pasien salah menyebutkan sensasi suhu, maka dapat disebutkan
sensasi suhu di daerah tersebut terganggu.2
15

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan Bakterioskopis
Pemeriksaaan bakterioskopik, sediaan dari kerokan jaringan kulit atau
usapan mukosa hidung yang diwarnai denganpewarnaan BTA ZIEHL
NEELSON. Pertama – tama harus ditentukan lesi di kulit yang diharapkan
paling padat oleh basil setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tepat
yang diambil. Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin
sebaiknya minimal 4 – 6 tempat yaitu kedua cuping telinga bagian bawah
dan 2 -4lesi lain yang paling aktif berarti yang paling eritematosa dan paling
infiltratif. Pemilihan cuping telinga tanpa mengiraukan ada atau tidaknya
lesi di tempat tersebut oleh karena pengalaman, pada cuping telinga didapati
banyak M.leprae.2
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan
dinyatakan dengan indeks bakteri (B) dengan nilai 0 sampai 6+ menurut
Ridley. 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP).
Pemeriksaan Histopatologis
Pemeriksaan histopatologi, gambaran histopatologi tipe tuberkoloid adalah
tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya
sedikit dan non solid. Tipe lepromatosa terdpat kelim sunyi subepidermal
(subepidermal clear zone) yaitu suatu daerah langsung di bawah epidermis
yang jaringannya tidak patologik. Bisa dijumpai sel virchow dengan banyak
basil. Pada tipe borderline terdapat campuran unsur – unsur tersebut.
Sel virchow adalah histiosit yang dijadikan M.leprae sebagai tempat
berkembangbiak dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan.2
Pemeriksaan Serologis
Kegagalan pembiakan dan isolasi kuman mengakibatkan diagnosis
serologis merupakan alternatif yang paling diharapkan. Pemeriksaan
serologik, didasarkan terbentuk antibodi pada tubuh seseorang yang
terinfeksi oleh M.leprae. Pemeriksaan serologik adalah MLPA
(Mycobacterium Leprae Particle Aglutination), uji ELISA dan ML
dipstick.2
16

3. MEKANISME KERJA OBAT KUSTA


A. Klofazimine
Klofazimine adalah sebuah phenazine dye yang dapat digunakan sebagai
terapi alternatif Dapsone pada pasien MH tipe MB. Nama kimiawi dari
klofazimine adalah 3-(p-chloroanilino)-10-(p-chlorophenyl)-2,10-dihydro–
2isopropyliminophenazine. Klofazimine menghasilkan efek bakterisidal yang
lambat pada Mycobacterium leprae dengan berinteraksi dengan DNA dan
menghambat pertumbuhan mycobacterium3.
Mekanisme kerja klofazimine adalah melalui interaksi dengan membran
sel bakteri. Target yang diduga terlibat adalah rantai respirasi dan transporion
pada sel.3

Gambar 1. Mekanisme kerja klofazimin.3


Absorpsi klofazimine bervariasi di dalam saluran pencernaan. Ekskresi
obat secara umum melalui feses. Klofazimine disimpan banyak di jaringan
retikuloendotelial dan kulit. Waktu paruh serum klofazimine dapat mencapai
2 bulan karena obat ini lambat dilepaskan dari penyimpanannya. Klofazimine
dapat juga diberikan pada pasien Sulfone-resistant leprosy atau intoleransi
sulfone. Dosis anjuran adalah 100 mg/hari secara oral. Efek samping yang
sering dijumpai adalah diskolorasi kulit dari merah-hitam sampai hitam.3
17

B. Ofloxacin
Ofloxacin adalah antimikroba broad spectrum golongan quinolone.
Secara kimiawi, ofloxacin adalah sebuah carboxyquinolone yang
terfluorinasi, (±) – 9 – fluoro – 2, 3 – dihydro – 3 – methyl – 10 – (4 – methyl
– 1 - piperazinyl) – 7 – oxo – 7H – pyrido [1, 2, 3 - de] – 1, 4 – benzoxazine
– 6 – carboxylic acid, dengan rumus empiris C₁₈H₂₀FN₃O₄.

Gambar 2. Struktur kimia ofloxacin.3


Mekanisme kerja ofloxacin serupa dengan obat golongan Fluoroquinolone,
dengan menginhibisi bakterial topoisomerase IV dan DNA gyrase (keduanya
tipe 15 II topoisomerase), enzim yang diperlukan dalam replikasi, transkripsi,
reparasi, dan rekombinasi DNA.3
Fluoroquinolone, termasuk ofloxacin, berbeda secara struktur kimiawi dan
mekanisme kerjanya dengan antibiotik Aminoglycoside, Macrolides, dan β-
lactam. Karena itu, fluoroquinolone bersifat aktif terhadap bakteri yang
resisten terhadap golongan antibiotik tersebut. Bakteri yang resisten terhadap
fluoroquinolone jarang ditemukan.3
C. Dapson
Dapson memiliki struktur sulfon yang sederhana, dengan karakteristik
sebuah atom sulfur yang berikatan dengan dua atom karbon. Selain bertindak
sebagai antibiotik, dapson juga berperan sebagai antiinflamasi.
Dapson merupakan komponen yang larut di dalam lemak, dan akan
berpenetrasi dengan baik ke dalam sel dan jaringan termasuk kulit, hati, ginjal
dan eritrosit.
18

Dapson yang dikonsumsi secara oral akan diabsorbsi segera pada saluran
gastrointestinal dengan bioavailabilitas lebih dari 86%. Absorbsi obat
berkurang pada penyakit kusta yang berat. Pada individu normal, setelah
mengkonsumsi 100 mg dapson, konsentrasi dapson dalam serum adalah 1,10-
2,33 mg/l dalam 0,5 sampai 4 jam. Waktu paruh obat ini berkisar antara 12-
30 jam. 24 jam setelah mengkonsumsi 100 mg dapson secara oral
konsentrasi plasma berkisar antara 0,4-1,2 mg/l. Kadar terapeutik konsentrasi
serum dapson adalah 0,5-5 mg/l untuk kusta. Konsentrasi obat bersifat stabil
setelah 8-10 hari setelah terapi.3
Secara oral, dapson diabsorpsi melalui saluran gastrointestinal.
Kemudian dapson ditransportasikan melalui sirkulasi portal menuju ke hati.
Setelah itu, dapson di metabolisme melalui dua jalur utama yaitu N-asetilasi
dan N-hidroksilasi. Asetilasi merupakan asetilator cepat dalam metabolisme
dapson.3
Deasetilasi timbul secara spontan dan memiliki keseimbangan stabil
antara monoasetil dapson dan diasetil dapson yang dapat tercapai dalam
beberapa jam setelah pemberian oral. Hal ini tampak bahwa tingkat asetilasi
tidak berhubungan dengan waktu paruh obat dalam tubuh dan tidak
mempengaruhi efikasi obat. Jalur kedua dalam metabolisme dapson adalah
N-hidroksilasi. N-hidroksilasi dapson terdapat pada hati, dimediasi oleh
berbagai enzim sitokrom P-450 termasuk CYP2E1, CYP2C9, dan CYP3A4.
Metabolisme dapson pada sitokrom P-450 menimbulkan berbagai efek
samping termasuk methemoglobinemia, hemolisis dan agranulositosis.3
Sekitar 85% dapson di ekskresikan melalui urin dan 10% di ekskresikan
melalui kandung empedu. Setelah pemberian dapson dosis tunggal sekitar
50% obat ini akan di ekskresikan dalam 24 jam pertama.3
Mekanisme kerja dapson sebagai antibiotik hampir sama dengan
sulfonamid yaitu dengan menghambat sintesis asam dihidrofolat melalui
kompetisi dengan asam para aminobenzoik. Oleh karena itu dapson dapat
menghambat pertumbuhan mikroorganisme yang bergantung dari sintesis
asam folat endogen. Selain itu efek dapson sebagai anti inflamasi bergantung
dari migrasi kemotaktik neutrofil dan β2 integrin. Dapson dapat menghalangi
19

aktivasi atau fungsi protein G yang berperan dalam transduksi sinyal kaskade
dan rangsangan kemotaktik. Senyawa oksidan sangat penting tidak hanya
untuk membunuh bakteri, namun berperan dalam kerusakan jaringan pada
beberapa proses penyakit. Hypochlorous acid merupakan oksidan penting
yang dihasilkan oleh enzim mieloperoksidase (MPO) yang mengandung
heme pada neutrofil dan eosinofil peroksidase.3

4. KOMPLIKASI LEPRA
Kecacatan
Micobacterium leprae menyerang saraf tepi tubuh manusia. Tergantung
dari kerusakan saraf tepi, maka akan terjadi gangguan fungsi saraf tepi :
sensorik, motorik dan otonom. Terjadinya cacat pada kusta disebabkan oleh
kerusakan fungsi saraf tepi, baik karena kuman kusta maupun karena terjadinya
peradangan (neuritis) sewaktu keadaan reaksi lepra.4
A. Tingkat Cacat
Kerusakan saraf pada pendirita kusta meliputi :
1) Kerusakan fungsi sensorik
Kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan terjadinya kurang/mati
rasa (anestesi). Akibat kurang/mati rasa pada telapak tangan dan kaki dapat
terjadi luka. Sedangkan pada kornea mata akan mengakibatkan
kurang/hilangnya reflek kedip sehingga mata mudah kemasukan kotoran,
benda-benda asing yang dapat menyebabkan infeksi mata dan akibatnya
buta.4
2) Kerusakan fungsi motorik
Kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi lemah/lumpuh dan
lama-lama otot mengecil (atrofi) oleh karena tidak dipergunakan. Jari-jari
tangan dan kaki menjadi bengkok (clow hand/clow toes) dan akhirnya
dapat terjadi kekakuan pada sendi, bila terjadi kelemahan/ kekakuan pada
mata, kelopak mata tidak dapat dirapatkan (lagoptalmus).4
3) Kerusakan fungsi otonom
Terjadinya gangguan kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan
sirkulasi darah sehingga kulit menjadi kering, menebal, mengeras, dan
20

akhirnya dapat pecah-pecah. Pada umumnya apabila terdapat kerusakan


fungsi saraf tidak ditangani secara tepat dan tepat maka akan terjadi cacat
ke tingkat yang lebih berat.4
Tujuan pencegahan cacat adalah jangan sampai ada cacat yang timbul atau
bertambah berat.
Tabel 2. Tingkat kecacatan pada lepra menurut WHO

Keterangan:
1) Cacat tingkat 0 berarti tidak ada cacat,
Cacat tingkat I adalah cacat yang disebabkan oleh kerusakan saraf
sensorik yang tidak terlihat seperti kehilangan rasa raba pada telapak tangan
dan telapak kaki. Cacat tingkat I pada telapak kaki berisiko terjadinya ulkus
plantaris, namun dengan diri secara rutin hal ini dapat cegah. Mati rasa pada
bercak bukan merupakan cacat tingkat I karena bukan disebabkan oleh
kerusakan saraf perifer utama tetapi rusaknya saraf lokal pada kulit.4

2) Cacat tingkat II berarti cacat atau kerusakan yang terlihat.


Untuk mata :
- Tidak mampu menutup mata dengan rapat (lagopthalmus)
21

- Kemerahan yang jelas pada mata


- Gangguan penglihatan berat atau kebutaan.4
Untuk tangan dan kaki :
- Luka/ulkus di telapak
- Deformitas yang disebabkan oleh kelumpuhan otot (kaki simper atau
kontraktur) dan atau hilangnya jaringan (atropi) atau reabsorpsi dari
jari-jari.4

B. Upaya pencegahan cacat


Komponen pencegahan cacat terdiri dari :
- Penemuan dini penderita sebelum cacat
- Pengobatan penderita dengan MDT
- Deteksi dini adanya reaksi kusta dengan pemeriksaan fungsi saraf
secara rutin
- Penanganan reaksi
- Penyuluhan
- Perawatan diri
- Penggunaan alat bantu
- Rehabilitasi medis (operasi rekontruksi)
Penderita harus mengerti bahwa pengobatan MDT dapat membunuh kuman
kusta. Tetapi cacat pada mata, tangan dan kaki yang terlanjur cacat akan tetap
permanen, sehingga harus dilakukan perawatan diri dengan rajin agar cacatnya
tidak bertambah berat. Prinsip pencegahan pencegahan bertambahnya cacat
pada dasarnya adalah 3 M4 :
- Memeriksa mata, tangan dan kaki secara teratur
- Melindungi mata, tangan dan kaki dari trauma fisik
- Merawat diri.4
C. Batasan Cacat Kusta
Menurut WHO dalam Srinvasan (2004) batasan kusta adalah sebagai
berikut:
1) Impairment. Kehilangan atau abnormalitas struktur dan fungsi yang
bersifat psikologik, fisiologik atau anatomi
22

2) Disability. Keterbatasan akibat empairment untuk melakukan kegiatan


dalam batas-batas kehidupan yang normal bagi manusia.
3) Handicap. Kemunduran pada individu yng membatasi atau menghalangi
penyelesaian tugas normal yang bergantung pada umur, jenis kelamin dan
faktor sosial budaya.
D. Jenis Cacat
Cacat yang timbul akibat penyakit kusata dapat dikelompokan menjadi 2
(dua) yaitu :
- Cacat primer. Pada kelompok ini cacat disebabkan langsung oleh aktifitas
penyakit, terutama kerusakan akibat respon jaringan terhadap
Micobacterium leprae
- Cacat sekunder. Cacat sekunder terjadi akibat cacat primer, terutama
kerusakan akibat saraf sensorik, motorik dan otonom.Contoh : ulkus jari
tangan, atau kaki putus.4
5. PENATALAKSANAAN LEPRA PADA FASILITAS KESEHATAN
TINGKAT PERTAMA (PUSKESMAS)
A. Pengobatan farmakologi
Pengobatan Secara Umum Pengobatan Kusta dengan Multi Drug Therapy
(MDT) untuk tipe PB maupun MB. MDT adalah kombinasi dua atau lebih obat
anti Kusta, salah satunya Rifampisin sebagai anti Kusta yang bersifat
bakterisidal kuat sedangkan obat anti Kusta lain bersifat bakteriostatik. MDT
tersedia dalam bentuk 4 macam blister MDT sesuai dengan kelompok umur
(PB dewasa, MB dewasa, PB anak dan MB anak). Tata cara minum MDT
adalah dosis hari pertama pada setiap blister MDT diminum di depan petugas
saat Penderita Kusta datang atau bertemu Penderita Kusta, selanjutnya
diminum di rumah dengan pengawasan keluarga. Pengobatan Kusta dengan
MDT bertujuan untuk5:
a. memutuskan mata rantai penularan
b. mencegah resistensi obat
c. meningkatkan keteraturan berobat
d. mencegah terjadinya disabilitas atau mencegah bertambahnya disabilitas
yang sudah ada sebelum pengobatan.5
23

Dengan matinya kuman, maka sumber penularan dari Penderita Kusta,


terutama tipe MB ke orang lain terputus. Disabilitas yang sudah terjadi sebelum
pengobatan tidak dapat diperbaiki dengan MDT. Bila Penderita Kusta tidak minum
obat secara teratur, maka kuman Kusta dapat menjadi resisten/kebal terhadap MDT,
sehingga gejala penyakit menetap, bahkan memburuk. Gejala baru dapat timbul
pada kulit dan saraf. Kelompok orang yang membutuhkan MDT meliputi5:
a. Penderita Kusta yang baru didiagnosa Kusta dan belum pernah mendapat
MDT.
b. Penderita Kusta ulangan yaitu Penderita Kusta yang mengalami hal-hal di
bawah ini:
1) relaps
2) masuk kembali setelah default (dapat PB maupun MB)
3) pindah berobat (pindah masuk)
4) ganti klasifikasi/tipe5
Regimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai dengan yang
direkomendasikan oleh WHO, sebagai berikut:
a. Penderita Kusta Tipe Pausibasiler (PB)
Pengobatan Tipe PB diberikan dosis berdasarkan golongan umur sesuai tabel
di bawah. Pemberian satu blister untuk 28 hari sehingga dibutuhkan 6 blister yang
dapat diminum selama 6–9 bulan.5
24

Tabel 3. Pemberian MDT Tipe PB Berdasarkan Golongan Umur5

*Dosis anak dibawah 5 tahun disesuaikan dengan berat badan:

a. Rifampisin: bulanan 10 – 15 mg/kgBB

b. Dapson: bulanan atau harian 1 – 2 mg/kgBB.5

b. Penderita Kusta Tipe Multibasiler (MB)


Pengobatan Tipe MB diberikan dosis berdasarkan golongan umur sesuai tabel
di bawah. Pemberian satu blister untuk 28 hari sehingga dibutuhkan 12 blister
yang dapat diminum selama 12-18 bulan.5
25

Tabel 4. Pemberian MDT tipe MB berdasarkan golongan umur.

*Dosis anak dibawah 5 tahun disesuaikan dengan berat badan:


a. Rifampisin: bulanan 10 – 15 mg/kgBB
b. Dapson: bulanan atau harian 1 – 2 mg/kgBB
c. Klofazimin: bulanan: 6 mg/kgBB, harian: 1 mg/kgBB.

B. Pemantauan dan evaluasi pengobatan

Penderita Kusta yang telah dinyatakan selesai pengobatan harus tetap


dilakukan pemantauan oleh petugas Puskesmas untuk menghindari reaksi
Kusta yang dapat menyebabkan disabilitas. Beberapa hal yang harus
diperhatikan dalam pemantauan dan evaluasi pengobatan, yaitu5:
1. Setiap petugas harus memonitor tanggal pengambilan obat.
2. Apabila Penderita Kusta terlambat mengambil obat, paling lama dalam 1
bulan harus dilakukan.5
C. pelacakan.
Release From Treatment (RFT) dapat dinyatakan setelah dosis dipenuhi
tanpa diperlukan pemeriksaan laboratorium. Setelah RFT Penderita Kusta
dikeluarkan dari register kohort. Penderita Kusta yang sudah RFT namun
memiliki faktor risiko:
a. disabilitas tingkat 1 atau 2
b. pernah mengalami reaksi c. BTA pada awal pengobatan positif >3 (ada nodul
atau infiltrat) dilakukan pengamatan secara semi-aktif
26

c. Penderita Kusta PB yang telah mendapat pengobatan 6 dosis (blister) dalam


waktu 6-9 bulan dinyatakan RFT, tanpa harus pemeriksaan laboratorium.
d. Penderita Kusta MB yang telah mendapat pengobatan MDT 12 dosis (blister)
dalam waktu 12 - 18 bulan dinyatakan RFT, tanpa harus pemeriksaan
laboratorium.5
e. Putus obat (default) jika seorang Penderita Kusta PB tidak mengambil/minum
obatnya lebih dari 3 bulan dan Penderita Kusta MB lebih dari 6 bulan secara
kumulatif (tidak mungkin baginya untuk menyelesaikan pengobatan sesuai
waktu yang ditetapkan), maka yang bersangkutan dikategorikan sebagai putus
obat (default) dan Penderita Kusta tersebut disebut sebagai penderita defaulter.
Tindakan Bagi Penderita Putus Obat (Defaulter)5:
- Dikeluarkan dari register kohort
- Bila kemudian datang kembali, lakukan pemeriksaan klinis ulang dengan
teliti. Bila hasil pemeriksaan:
1) ditemukan tanda-tanda klinis yang aktif
a) Kemerahan/peninggian dari lesi lama di kulit
b) Adanya lesi baru
c) Adanya pembesaran saraf yang baru; maka penderita mendapat
pengobatan MDT ulang sesuai klasifikasi saat itu.5
2) atau bila hasil pemeriksaan indeks Morphology (MI) positif
3) bila tidak ada tanda-tanda aktif maka penderita tidak perlu diobati lagi.
Ada kalanya setelah dinyatakan default penderita diobati kembali,
tetapi tetap belum memahami tujuan pengobatan sehingga ia berhenti
atau tidak lagi mengambil obatnya sampai lebih dari 3 bulan, maka
dinyatakan default kedua. Penderita default kedua tidak dikeluarkan
dari register kohort, dan hanya dilanjutkan pengobatan yang tersisa
hingga lengkap. Untuk penderita dengan default lebih dari 2 kali,
diperlukan tindakan dan penanganan khusus.5
f. Relaps
a. relaps atau kambuh terjadi bila sebelumnya Penderita Kusta sudah pernah
dinyatakan sembuh atau telah menyelesaikan pengobatan MDT oleh dokter
atau petugas kesehatan, timbul lesi kulit baru di tempat yang berbeda dan
27

bukan lesi lama yang bertambah aktif. Penderita Kusta juga dinyatakan
relaps jika terdapat penebalan saraf baru yang disertai defisit neurologis
yang sebelumnya tidak ada.5
b. untuk menyatakan relaps harus dikonfirmasikan kepada pengelola program
atau dokter yang memiliki kemampuan klinis dalam mendiagnosis relaps.
Untuk relaps MB, jika pada pemeriksaan ulang BTA setelah RFT terjadi
peningkatan Indeks Bakteri 2+ atau lebih bila dibandingkan dengan Indeks
bakteri.5

Saat diagnosis. Apabila tidak dilakukan pemeriksaan BTA saat diagnosis


dapat dilakukan pemeriksaan Indeks Morphology. Bila hasil Indeks
Morphology positif maka dinyatakan relaps. Penderita Kusta dapat diberikan
MDT maksimal 24 bulan dengan follow up pemeriksaan MI setiap 3 bulan. Jika
MI sudah negatif maka MDT dihentikan. Jika di akhir bulan ke 24 hasil MI
masih positif maka harus dilakukan pemeriksaan resistensi MDT.

c. untuk orang yang pernah mendapat pengobatan dapson monoterapi


(sebelum diperkenalkannya MDT) bila tanda Kusta aktif muncul kembali,
maka Penderita Kusta tersebut dimasukkan dalam kategori relaps dan diberi
MDT
D. Indikasi pengeluaran Penderita Kusta
Indikasi pengeluaran penderita kusta dari register kohort adalah RFT,
meninggal, pindah, salah diagnosis, ganti klasifikasi, default.5
28

Daftar pustaka

1. Hajar S. Morbus Hansen: Biokimia dan Imunopatologis. Vol.17(3). Jurnal


Kedokteran Syiah Kuala.2017:Desember. Hal:190-194.
2. Amelia DNS. Laporan Kasus Morbus Hansen/Lepra/Kusta. Bagian Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin. Fakultas Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar.
Kota Mataram NTB; 2012.
3. Katzung, B.G., Masters, S.B. dan Trevor, A.J., Farmakologi Dasar & Klinik,
Vol.2, Edisi 12, Editor Bahasa Indonesia Ricky Soeharsono et al., Penerbit
Buku Kedokteran EGC, Jakarta ; 2014
4. Depkes RI. Riset Kesehatan Dasar. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kementrian Kesehatan RI.Jakarta:2013.
5. Peratutan Menteri Kesehatan Nomor 11. Tentang Penanggulangan Kista. 2019.

Anda mungkin juga menyukai