Seorang perempuan datang ke klinik meminta Salinan rekam medis suaminya dengan
alasan untuk keperluan claim asuransi, pihak klinik memberikan Salinan rekam
medis. Dua bulan setelah penyerahan Salinan rekam medis, klinik tersebut didatangi
kuasa hukum pasien untuk menuntut secara pidana maupun perdata, karena telah
dianggap membuka rahasia medis pasien tersebut.
Step 1
Step 2
Step 3
Step 4
MIND MAP
DEFINISI
DASAR
HUKUM
Step 5
Step 6
Belajar mandiri
Step 7
1. Permasalahan 1
2. Permasalahan 2
gambar
gambar
Dasar hukum yang berkaitan dengan kasus tersebut adalah:
3. Permasalahan 3
Dasar hukum:
1. KODEKI pasal 12 tentang kewajiban dokter terhadap pasien
“Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya
tentang seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.”
2. Undang-Undang No. 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran pasal 48
“Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran
wajib menyimpan rahasia kedokteran. Rahasia kedokteran dapat dibuka
hanya untuk kepentingan pasien, memenuhi permintaan aparat penegak
hokum dalam rangka penegakan hokum, permintaan pasien sendiri, atau
berdasarkan peraturan perundang-undangan.”
3. Peraturan Menteri Kesehatan No. 36 Tahun 2012 tentang rahasia
kedokteran pasal 4
“Pembukaan rahasia kedokteran berdasarkan ketentuan perundang-
undangan dilakukan tanpa persrtujuan pasien dalam rangka kepentingan
penegakan etik atau disiplin, serta kepentingan umum (audit medis,
ancaman kejadian luar biasa, penelitian kesehatan, pendidikan, dan
ancaman keselamatan orang lain). Ini diberikan atas permintaan tertulis
Majelis Kehormatan Etik Profesi atau Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia.
4. Permasalahan 4
Pada akhir September sampai awal oktober 2018 kemarin, social media
sempat heboh dikarenakan Ratna Sarumpaet kabarnya 'dianiaya' oleh sejumlah
orang. Saya juga sempat melihat sendiri perdebatan antara dr. Tompi dan Fahri
Hamzah pada 2 Oktober 2018 di social media Twitter. Hal ini menjadi sorotan
karena banyak tokoh-tokoh politik membahasnya dan bahkan sampai menggelar
konferensi pers mengingat Ratna Sarumpaet merupakan anggota timses (tim
sukses) salah satu calon presiden Indonesia pada pemilu 2019 nanti. Mengutip
dari Kompas, Kadiv Humas Mabes Polri Setyo Wasisto menjelaskan, kejadian
tanggal 21 September 2018 beliau tidak menemui laporan tekait penganiayaan
terhadap Ratna Sarumpaet (logikanya kalau kita misal dianiaya orang, ya lapor
polisi kan?), Namun Kepolisian justru menerima 4 (empat) laporan warga yang
berisi desakan kepada polisi untuk melakukan penyelidikan terkait informasi itu.
Menanggapi dari foto Ratna Sarumpaet yang beredar di social media dengan
muka lebam dan memar dan juga berlatar belakang seperti di rumah sakit, polisi
kemudian melakukan pengecekan di rumah sakit di sekitar lokasi kejadian.
Namun, tidak ada satu rumah sakit pun yang menerima pasien atas nama Ratna
Sarumpaet. Polisi juga melakukan koordinasi dengan saksi-saksi di sekitar
Bandara Husein Sastranegara terkait kejadian penganiayaan terhadap Ratna
Sarumpaet. kemudian pihak bandara juga memastikan bahwa tidak ada manifest
kedatangan maupun keberangkatan penumpang atas nama Ratna Sarumpaet.
Mungkin terbesit dalam pikiran kita, kok boleh sih polisi mengambil resume
medis begitu saja, kan itu rahasia pasien, paling tidak harus seizin pasien dulu
kan?. Dalam PERMENKES No. 36 Tahun 2012 Bab IV pasal 5 (1) menyebutkan,
rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan pasien, memenuhi
permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum,
permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Jadi meskipun tanpa seizin pasien, demi menegakkan hukum sudah
sesuai dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagaimana jika ada kejadian seperti ini terjadi lagi di rumah sakit lain yang
tidak memiliki CCTV (tidak semua rumah sakit memiliki CCTV), dan buku tamu
pasien (register) setau saya adalah milik pihak internal rumah sakit, jadi tidak
diperkenankan siapapun mengetahui informasi dari buku tamu pasien (register)
tersebut. Apa yang bisa menjadikan bukti otentiknya? satu-satunya bukti otentik
yang dapat dibawa keluar dari rumah sakit adalah salinan resume medis.
5. Permasalahan 5
Rekam medis seorang pasien diduga bocor. Jatuh ke tangan penipu yang
memanfaatkan situasi genting.
Ditulis Oleh: Ika Prida Rahmi
16 Maret 2019
Kaltimkece.id Kamis, 7 Maret 2019, menjadi momen bahagia bagi Avifah
Rindayanti dan Muliadi. Pada usia pernikahan ke-5, pasangan suami istri ini
dianugerahi buah hati keempat. Si bungsu dinamai Keizha Anandhita Raveena.
Namun, kebahagiaan itu dibaluti kekhawatiran. Bayinya yang baru lahir
mengidap gangguan pernapasan. Avifah melahirkan melalui bedah sesar di
Rumah Sakit Ibu dan Anak Qurrata A’yun Samarinda. Dalam proses tersebut,
Keizha terhirup cairan dan menggumpal di paru-paru.
Sang bayi perlu mendapat perawatan intensif. Ia dirujuk ke Rumah Sakit
Samarinda Medika Citra (SMC) pada 8 Maret 2019. Dilarikan ke Pediatric
Intensive Care Unit, ruang perawatan intensif untuk bayi. Dirawat dalam
inkubator.
Avifah dan Muliadi tak diberikan izin menginap. Keduanya hanya dipanggil
ketika Keizha membutuhkan air susu ibu. Di luar itu pertemuan hanya
memungkinkan pada waktu membesuk. Selebihnya, Avifah menjalani recovery di
kediamannya, Jalan Damanhuri, Kecamatan Sungai Pinang.
Keadaan sang bayi diketahui berangsur membaik. Namun, pada Selasa siang, 12
Maret 2019, Avifah mendapat panggilan dari nomor tak dikenal. Dalam
sambungan telepon, seorang pria berbicara mengatasnamakan rumah sakit tempat
bayi dirawat. Mengklaim bernama dr Hendra, ia menyampaikan kondisi Keizha
yang sedang kritis. Dokter itu kemudian mengarahkan Avifah menghubungi
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) IA Moeis. Perlu alat khusus untuk
penanganan sang bayi. Dan fasilitas itu, disebut hanya dimiliki rumah sakit pelat
merah di Samarinda Seberang tersebut.
Dari sambungan telepon, Avifah diminta mengajukan peminjaman perangkat
dimaksud ke RS SMC. Pria di sambungan telepon kemudian memberikan nomor
telepon pihak RSUD IA Moeis. Kontak dikirim atas nama dr Nugroho, orang
yang diklaim menangani alat operasi tersebut.
Tanpa aba, Avifah menghubungi nomor itu. Dalam sambungan telepon, dr
Nugroho meminta pembayaran administrasi sebesar Rp 3,8 juta. Muliadi sang
suami, menyarankan Avifah segera memenuhi pembayaran yang diminta. Dari
tempat kerja, Muliadi bergegas pulang. Ia menjemput Avifah dan bertolak ke
rumah sakit. Pembayaran ke dr Nugroho dilakukan via aplikasi mobile banking.
Ditransfer ke rekening atas nama Eli Nurhayati. Proses pembayaran administrasi
pun selesai. Setelah mengirimkan bukti pembayaran, Avifah kembali dihubungi
dr Nugroho. Alat operasi disebut sedang dibawa ke RS SMC. Muliadi dan Avifah
melanjutkan perjalanan ke rumah sakit yang terletak di Jalan Kadrie Oening,
Kecamatan Samarinda Ulu. Namun, beberapa waktu kemudian ponsel kembali
berdering.
Pria yang sama kembali menelepon. Dari sambungan itu, dikatakan bahwa masih
ada alat yang dibutuhkan. Biaya administrasi kali ini Rp 5 juta. "Katanya alat
kedua. Alat yang pertama sudah berangkat. Pas di telepon itu ada suara sirene
ambulans. Jadi seakan memang alat diantar ambulans. Makanya saya percaya,"
sebut Avifah kepada kaltimkece.id.
Avifah dan Muliadi sudah tak memiliki uang. Namun demi keselamatan si buah
hati, keduanya memutuskan mencari pinjaman. Muliadi pun mendapat talangan
dari pimpinan tempatnya bekerja. Sang pimpinan sendiri mengirim Rp 5 juta ke
rekening yang sama.
Setelah pembayaran kedua, Avifah dan Muliadi tiba di rumah sakit. Namun,
keduanya tak menemukan anaknya di ruang operasi. Bayi mereka malah masih
dirawat di tempat semula. Salah satu perawat mengatakan Keizha dalam keadaan
sehat. Operasi yang dimaksud pria dalam sambungan telepon juga tidak benar.
Avifah dan Muliadi segera sadar telah menjadi korban penipuan
mengatasnamakan RS SMC. Saat ditemui di kediamannya pada Jumat malam, 15
Maret 2019, Avifah mengungkapkan keheranannya. Pelaku penipuan seakan
memiliki rekam medis anaknya. Secara rinci data Keizha bisa disebutkan.
Padahal, tak seharusnya data tersebut dimiliki selain pihak rumah sakit.
"Anak saya didiagnosa di paru-parunya seperti ada gumpalan lemak dan cairan.
Berbahaya sekali. Sesak pernapasannya. Makanya saya dapat kabar begitu
ketakutan anak saya kenapa-kenapa," terang Avifah.
Saat kejadian, Avifah juga bertemu salah satu orangtua pasien yang juga korban
penipuan dengan modus sama. Dari pernyataan rumah sakit kepadanya, kejadian
serupa sudah beberapa kali terjadi.
Avifah melaporkan kejadian ini ke kepolisian. Namun, laporan penipuan tidak
diterima. Kurangnya bukti berupa buku tabungan dari rekening untuk
mengirimkan uang jadi alasan. "Uang itu kami pinjam. Ditransfer pakai rekening
bos suami. Jadi enggak bisa kami sertakan karena sifatnya pribadi. Kalau bukti
transfer ada. Tapi, polisi enggak mau terima," terangnya.
Avifah kecewa dengan pihak rumah sakit. Dianggap membiarkan data pasien
bocor. Ia berharap ada ganti rugi. "Mau enggak mau saya tetap cicil untuk
pembayaran pengobatan. Saya sudah minta keringanan karena penipu
mengatasnamakan rumah sakit. Juga memiliki data lengkap kami. Seharusnya
data pasien dilindungi," sebutnya.
Ia berharap RS SMC tidak lagi lalai menjaga data medis. Kejadian yang menimpa
dirinya, semoga menjadi pelajaran. Yang terpenting, kondisi Keizha sudah
membaik. "Alhamdulillah, anak saya sudah sehat. Anak saya keluar setelah
kejadian, 13 Maret 2019," tambah Avifah.
Dokumen Rahasia
Negara menempatkan rekam medis pasien sebagai dokumen rahasia.
Sebagaimana disebutkan Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang 29/2004 tentang
Praktik Kedokteran, dokumen rekam medis berisi catatan dan identitas pasien.
Termasuk hasil pemeriksaan, pengobatan, tindakan, dan pelayanan lain kepada
pasien. Dari UU Praktik Kedokteran, dokumen rekam medis dimiliki oleh dokter,
dokter gigi, atau sarana pelayanan kesehatan. Sedangkan isinya merupakan
kepemilikan pasien. Sebagaimana disebutkan ayat 1, rekam medis harus disimpan
dan dijaga kerahasiaannya oleh dokter atau dokter gigi, dan pimpinan sarana
pelayanan kesehatan.
Peraturan Menteri Kesehatan 269/2008 tentang Rekam Medis, membatasi
pihak-pihak yang dapat mengakses dokumen ini. Sebagaimana disebutkan Pasal
12 ayat 4, ringkasan rekam medis hanya bisa didapatkan pasien, keluarga pasien,
orang yang diberi kuasa pasien atau keluarga pasien. Selain itu, orang yang
mendapat persetujuan tertulis dari pasien atau keluarga pasien.
Undang-Undang 44/2009 tentang Rumah Sakit juga menegaskan kerahasiaan
rekam medis. Dalam Pasal 38 ayat 1, disebutkan jika segala sesuatu yang
berhubungan dengan temuan dokter atau dokter gigi dalam rangka pengobatan,
dicatat dalam rekam medis yang dimiliki pasien dan bersifat rahasia.
Kasus Pertama
Longaday Hieronimus Aldo Yediya, humas RS SMC, membenarkan laporan
penipuan dari pasien. Dalam hal, pihaknya menanggapi dengan melakukan
evaluasi. RS SMC melangsungkan investigasi penyebab data privasi pasien
dimiliki pelaku penipuan.
Aldo menegaskan komitmen rumah sakit menjaga data medis. Namun, dugaan
kebocoran masih belum bisa dipastikan penyebabnya. "Kami masih terus
melakukan investigasi terhadap kasus ini. Kami sudah maksimal menjaga privasi
pasien," terang Aldo.
Menurutnya, kebocoran data pasien bisa disebabkan berbagai faktor. Namun,
pihaknya tak ingin berspekulasi hingga investigasi selesai.
Di sisi lain, Aldo mengklaim kasus penipuan begini baru pertama kali di RS
SMC. Selama ini, pihak rumah sakit disebut tidak menerima keluhan pasien lain
soal ini. "Setiap ada keluhan, pihak kami memfasilitasi pasien yang mengeluhkan
itu. Selama ini tidak ada laporan intens terkait laporan kasus penipuan," klaimnya.
Meski begitu, ditegaskan bahwa data privasi pasien sangat tidak mungkin bocor.
Data berbentuk berkas rekam medis. Di dalamnya berisikan catatan pasien sejak
awal dirawat hingga diizinkan pulang. Ia memastikan data benar-benar rahasia
pihak rumah sakit. "Spekulasi ada oknum orang dalam, kami belum bisa beri
keterangannya. Masih proses penanganan kita.”
Aldo meyakini pelaku penipuan orang di luar lingkungan RS SMC. Dalam
konteks ini, ia menyebut pihak rumah sakit juga sebagai korban. Ulah penipu
sama saja pencemaran nama baik RS SMC. Atas dasar itu, pihak rumah sakit tak
akan mengganti kerugian korban. "Kami tidak bisa berbuat apa-apa. Itu transaksi
antara korban dan penipu. Ibaratnya, kami hanya dicatut," pungkasnya.
Tanggapan :
Dalam kasus ini diduga terjadi kebocoran informasi pasien atau kebocoran
rekam medis, dikarenakan sang pernipu mengetahui data-data tentang bayi
keizha. Dalam hal ini Rumah Sakit dapat dituntut karena melanggar Undang –
undang nomor 44 tahun 2009 pasal 32 yang berbunyi “Setiap pasien mempunyai
hak :
i. Mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data-
data medisnya
ii. Menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit diduga
memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata
ataupun pidana; dan
iii. Mengeluhkan pelayanan Rumah Sakit yang tidak sesuai dengan standar
pelayanan melalui media cetak dan elektronik sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangundangan.”
Pasal 38 yg berbunyi
Dan pasal 46 yang berbunyi “Rumah Sakit bertanggung jawab secara hukum
terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh
tenaga kesehatan di Rumah Sakit.” Dan jika terbukti melakukan pelanggarannya,
dapat dicabut perizinannya sebagaimana diatur oleh Undang – undang yang sama
pada pasal 27 yang berbunyi “Izin Rumah Sakit dapat dicabut jika:
a. Habis masa berlakunya;
b. Tidak lagi memenuhi persyaratan dan standar;
c. Terbukti melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan;
dan/atau
d. Atas perintah pengadilan dalam rangka penegakan hukum.”
Pada peraturan menteri kesehatan Republik Indonesia nomor 269 tahun 2008
tentang rekam medis pasal 12 berisi
Dan pada pasal 13 bahwa jika ingin dibuka rekan medisnya perlu mendapat
persetujuan pasien dan harus dijaga kerahasiaannya. Jika terdapat kesalahan
berupa hilang, pemalsuan dan / atau penggunaan oleh orang atau badan yang tidak
berhak seperi pada kasus ini rekam medis yang di salah gunakan oleh sang penipu
makan sebagaimana disebut pasal 14 bahwa pemimpin sarana pelayanan yang
harus bertanggung jawab. Juga jika terdapat dan terbukti kebocoran rekam medis
maka rumah sakit tersebut melanggar peraturan menteri kesehatan Republik
indonesia nomor 36 tahun 2012 tentang rahasia kedokteran. Tetapi dalam kasus ini
belum menemui titik terang dikarenakan polisi menganggap bahwa kasus tersebut
kekurangan bukti untuk dapat ditindak lanjuti dan pihak rumah sakit pun menolak
mengganti rugi karena menganggap bahwa rumah sakit pun menjadi korban
pencemaran nama baik.