Anda di halaman 1dari 15

i

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penggunaan obat yang tidak tepat, tidak efektif, tidak aman, dan juga tidak
ekonomis saat ini telah menjadi masalah dalam pelayanan kesehatan, baik di
negara maju maupun negara berkembang. Masalah ini dijumpai di unit-unit
pelayanan kesehatan misalnya di rumah sakit, Puskesmas, praktek pribadi,
maupun di masyarakat luas.
Obat sebagai alat utama terapi yang digunakan dokter untuk mengobati klien
yang memiliki masalah kesehatan. Selain mengetahui kerja suatu obat tertentu,
farmasi juga harus memahami masalah kesehatan klien saat ini dan sebelumnya
untuk menentukan apakah obat tertentu aman untuk diberikan. Pertimbangan
farmasi yang penting dalam pemberian obat tepat dan aman.
Menurut world health organization (WHO) memperkirakan terdapat sekitar
50% dari seluruh penggunaan obat yang tidak tepat dalam peresepan, penyiapan,
dan penjualannya. Sekitar 50% lainnya tidak digunakan secara tepat oleh pasien
(WHO, 2002). Penggunaan obat yang tidak tepat akan menimbulkan banyak
masalah. Masalah masalah tersebut diantaranya meliputi segi efektivitas, efek
samping, interaksi, ekonomi dan penyalahgunaan obat (Pharmaceutical Care
Network Europa, 2003). Oleh karena itu, dalam penggunaan obat diperlukan
pertimbangan yang tepat agar penggunaannya efektif dan efisien.
Penggunaan obat secara rasional merupakan kunci dalam pembangunan
pelayanan kesehatan. Pelaksanaan pengobatan yang belum rasional selama ini
telah memberikan dampak negatif berupa pemborosan dana masyarakat, efek
samping yang berupa resistensi, interaksi obat yang berbahaya yang menurunkan
mutu pengobatan dan mutu pelayanan kesehatan.
Berdasarkan dari latar belakang diatas untuk meningkatkan kerasionalan
penggunaan obat hingga mutu pelayanan kesehatan pada masyarakat dapat
optimal, maka perlu adanya upaya farmasis untuk melakukan suatu pelayanan
kesehatan dalam penggunaan obat secara rasional demi meningkatkan kualitas
hidup pasien serta menurunkan angka kematian di Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, adapun rumusan masalah yang didapat
sebagai berikut :
1.2.1 Apa yang dimaksud dengan penggunaan obat rasional?

1
1.2.2 Bagaimana penggunaan obat rasional?
1.2.3 Bagaimana penggunaan obat rasional yang memenuhi kriteria?
1.2.4 Bagaimana peran farmasi dalam penggunaan obat rasional?
1.2.5 Apa saja masalah terkait penggunaan obat rasional di Indonesia?
1.2.6 Bagaimana solusi dan pemecahannya menurut mahasiswa?

1.3 Tujuan Penulisan


Berdasarkan rumusan masalah diatas, adapun tujuan yang didapat sebagai
berikut :
1.3.1 Mengetahui pengertian penggunaan obat rasional
1.3.2 Mengetahui penggunaan obat rasional
1.3.3 Mengetahui penggunaan obat rasional yang memenuhi kriteria
1.3.4 Mengetahui peranan farmasi dalam penggunaan obat rasional
1.3.5 Mengetahui masalah terkait penggunaan obat rasional di Indonesia
1.3.6 Mengetahui solusi dan pemecahan menurut mahasiswa

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Penggunaan Obat Rasional


Penggunaan obat rasional adalah penggunaan obat yang disesuaikan dengan
kebutuhan klinis pasien, baik dalam jumlah maupun waktu yang memadai,
disertai dengan biaya paling rendah (WHO 2002).
Penggunaan obat harus sesuai dengan penyakit, oleh karena itu diagnosis yang
ditegakkan harus tepat, patofisiologi penyakit, keterkaitan farmakologi obat
dengan patofisiologi penyakit dan dosis yang diberikan dan waktu pemberian
yang tepat, serta evaluasi dan efektivitas dan toksisitas obat tersebut, ada tidaknya
kontraindikasi serta biaya yang harus dikeluarkan harus sesuai dengan
kemampuan pasien tersebut (Hussain Al, dkk. 2012).

2
2.2 Penggunaan Obat Rasional
Obat memiliki dua sisi yang bertolak belakang. Pemberian obat yang benar
dapat memberikan manfaat menyembuhkan. Akan tetapi, penggunaan obat yang
tidak benar dapat merugikan. Kesalahan dalam penggunaan obat dapat berakibat
pada bertambahnya biaya pengobatan, tidak tercapainya tujuan pengobatan hingga
membahayakan kehidupan pasien (WHO, 2002).
Berikut adalah beberapa contoh dampak dari kesalahan dalam penggunaan obat:
a. Dampak Kesehatan
Kesehatan penggunaan obat dapat menyebabkan timbulnya efek samping
hingga memperparah penyakit yang diderita pasien.
b. Dampak Ekonomi
c. Dampak Kematian.

Pengobatan sendiri (swamedikasi) sering dilakukan oleh masyarakat. Dalam


pengobatan sendiri sebaiknya mengikuti persyaratan penggunaan obat rasional.
Penggunaan obat dikatakan rasional (WHO 1985) bila pasien menerima obat yang
sesuai dengan kebutuhannya, untuk periode waktu yang adekuat dan dengan harga
yang paling ekonomis untuk pasien atau masyarakat. WHO memperkirakan
bahwa lebih dari separuh dari seluruh obat di dunia diresepkan, diberikan dan
dijual dengan cara yang tidak tepat dan separuh dari pasien menggunakan obat
secara tidak tepat.
Apoteker tidak hanya bertanggung jawab atas obat sebagai produk, dengan
segala implikasinya, melainkan bertanggung jawab terhadap penggunaan obat
rasional sehingga efek terapetik dan keamanan suatu obat mencapai efek yang
optimal. Memberikan pelayanan kefarmasian secara paripurna dengan
memperhatikan faktor keamanan pasien, antara lain dalam proses pengelolaan
sediaan farmasi, melakukan monitoring dan mengevaluasi keberhasilan terapi,
memberikan pendidikan dan konseling serta bekerja sama erat dengan pasien dan
tenaga kesehatan lain merupakan suatu upaya yang bertujuan untuk meningkatkan
kualitas hidup pasien.

2.3 Penggunaan Obat Dikatakan Rasional Jika Memenuhi Kriteria


1. Tepat Diagnosis

3
Penggunaan obat disebut rasional jika diberikan untuk diagnosis yang
tepat. Jika diagnosis tidak ditegakkan dengan benar, maka pemilihan obat akan
terpaksa mengacu pada diagnosis yang keliru tersebut. Akibatnya obat yang
diberikan juga tidak akan sesuai dengan indikasi yang seharusnya.
2. Tepat Indikasi Penyakit
Setiap obat memiliki spektrum terapi yang spesifik. Antibiotik, misalnya
diindikasikan untuk infeksi bakteri. Dengan demikian, pemberian obat ini hanya
dianjurkan untuk pasien yang memberi gejala adanya infeksi bakteri.
3. Tepat Pemilihan Obat
Keputusan untuk melakukan upaya terapi diambil setelah diagnosis
ditegakkan dengan benar. Dengan demikian, obat yang dipilih harus yang
memiliki efek terapi sesuai dengan spektrum penyakit.
4. Tepat Dosis
Dosis, cara dan lama pemberian obat sangat berpengaruh terhadap efek
terapi obat. Pemberian dosis yang berlebihan, khususnya untuk obat yang dengan
rentang terapi yang sempit, akan sangat beresiko timbulnya efek samping
(keracunan atau kematian). Sebaliknya dosis yang terlalu kecil tidak akan
menjamin tercapainya kadar terapi yang diharapkan.
5. Tepat Cara Pemberian
Obat Antasida seharusnya dikunyah dulu baru ditelan. Demikian pula
antibiotik tidak boleh dicampur dengan susu, karena akan membentuk ikatan,
sehingga menjadi tidak dapat diabsorpsi dan menurunkan efektivtasnya.
6. Tepat Interval Waktu Pemberian
Cara pemberian obat hendaknya dibuat sesederhana mungkin dan praktis,
agar mudah ditaati oleh pasien. Makin sering frekuensi pemberian obat per hari
(misalnya 4 kali sehari), semakin rendah tingkat ketaatan minum obat. Obat yang
harus diminum 3 x sehari harus diartikan bahwa obat tersebut harus diminum
dengan interval setiap 8 jam.
7. Tepat lama pemberian
Lama pemberian obat harus tepat sesuai penyakitnya masing-masing.
Untuk Tuberkulosis dan Kusta, lama pemberian paling singkat adalah 6 bulan.
Lama pemberian kloramfenikol pada demam tifoid adalah 10-14 hari. Pemberian

4
obat yang terlalu singkat atau terlalu lama dari yang seharusnya akan berpengaruh
terhadap hasil pengobatan.
8. Waspada terhadap efek samping
Pemberian obat potensial menimbulkan efek samping, yaitu efek tidak
diinginkan yang timbul pada pemberian obat dengan dosis terapi, karena itu muka
merah setelah pemberian atropin bukan alergi, tetapi efek samping sehubungan
vasodilatasi pembuluh darah di wajah. Pemberian tetrasiklin tidak boleh dilakukan
pada anak kurang dari 12 tahun, karena menimbulkan kelainan pada gigi dan
tulang yang sedang tumbuh.
9. Tepat penilaian kondisi pasien
Respon individu terhadap efek obat sangat beragam. Hal ini lebih jelas
terlihat pada beberapa jenis obat seperti teofilin dan aminoglikosida. Pada
penderita dengan kelainan ginjal, pemberian aminoglikosida sebaiknya
dihindarkan, karena resiko terjadinya nefrotoksisitas pada kelompok ini
meningkat secara bermakna.
Beberapa kondisi berikut harus dipertimbangkan sebelum memutuskan pemberian
obat:
a. β-bloker (misalnya propranolol) hendaknya tidak diberikan pada penderita
hipertensi yang memiliki riwayat asma, karena obat ini memberi efek
bronkhospasme.
b. Antiinflamasi Non Steroid (AINS) sebaiknya juga dihindari pada penderita
asma, karena obat golongan ini terbukti dapat mencetuskan serangan asma.
c. Peresepan beberapa jenis obat seperti simetidin, klorpropamid,
aminoglikosida dan allopurinol pada usia lanjut hendaknya ekstra hati-hati,
karena waktu paruh obat-obat tersebut memanjang secara bermakna, sehingga
resiko efek toksiknya juga meningkat pada pemberian secara berulang.
d. Peresepan kuinolon (misalnya siprofloksasin dan ofloksasin), tetrasiklin,
doksisiklin, dan metronidazol pada ibu hamil sama sekali harus dihindari,
karena memberi efek buruk pada janin yang dikandung.
10. Obat yang diberikan harus efektif dan aman dengan mutu terjamin, serta
tersedia setiap saat dengan harga yang terjangkau

5
Untuk efektif dan aman serta terjangkau, digunakan obat-obat dalam daftar
obat esensial. Pemilihan obat dalam daftar obat esensial didahulukan dengan
mempertimbangkan efektivitas, keamanan dan harganya oleh para pakar di bidang
pengobatan dan klinis. Untuk jaminan mutu, obat perlu diproduksi oleh produsen
yang menerapkan CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik) dan dibeli melalui
jalur resmi. Semua produsen obat di Indonesia harus dan telah menerapkan
CPOB.
11. Tepat informasi
Informasi yang tepat dan benar dalam penggunaan obat sangat penting dalam
menunjang keberhasilan terapi, contoh:
a. Peresepan rifampisin akan mengakibatkan urine penderita berwarna
merah. Jika hal ini tidak diinformasikan, penderita kemungkinan besar akan
menghentikan minum obat karena menduga obat tersebut menyebabkan
kencing disertai darah. Padahal untuk penderita tuberkulosis, terapi dengan
rifampisin harus diberikan dalam jangka panjang.
b. Peresepan antibiotik harus disertai informasi bahwa obat tersebut harus
diminum sampai habis selama satu kurun waktu pengobatan (1 course of
treatment), meskipun gejala-gejala klinik sudah mereda atau hilang sama
sekali. Interval waktu minum obat juga harus tepat, bila 4 kali sehari berarti
tiap 6 jam. Untuk antibiotik hal ini sangat penting, agar kadar obat dalam
darah berada di atas kadar minimal yang dapat membunuh bakteri penyebab
penyakit.
12. Tepat tindak lanjut (follow-up)
Pada saat memutuskan pemberian terapi, harus sudah dipertimbangkan
upaya tindak lanjut yang diperlukan, misalnya jika pasien tidak sembuh atau
mengalami efek samping.
Sebagai contoh, terapi dengan teofilin sering memberikan gejala takikardi. Jika
hal ini terjadi, maka dosis obat perlu ditinjau ulang atau bisa saja obatnya diganti.
Demikian pula dalam penatalaksanaan syok anafilaksis, pemberian injeksi
adrenalin yang kedua perlu segera dilakukan, jika pada pemberian pertama
respons sirkulasi kardiovaskuler belum seperti yang diharapkan.
13. Tepat penyerahan obat (dispensing)

6
Penggunaan obat rasional melibatkan juga dispenser (Apoteker) sebagai
penyerah obat dan pasien sendiri sebagai konsumen. Pada saat resep dibawa ke
apotek atau tempat penyerahan obat di Puskesmas misalnya, apoteker/asisten
apoteker menyiapkan obat yang dituliskan dokter pada lembar resep untuk
kemudian diberikan kepada pasien. Proses penyiapan dan penyerahan harus
dilakukan secara tepat, agar pasien mendapatkan obat sebagaimana mestinya.
Dalam menyerahkan obat apoteker harus memberikan informasi yang tepat
kepada pasien.
14. Pasien patuh terhadap perintah pengobatan yang dibutuhkan
Ketidaktaatan pasien meminum obat umumnya terjadi pada keadaan berikut :
a. Jenis dan/atau jumlah obat yang diberikan terlalu banyak
b. Frekuensi pemberian obat per hari terlalu sering
c. Jenis sediaan obat terlalu beragam
d. Pemberian obat dalam jangka panjang tanpa informasi
e. Pasien tidak mendapatkan informasi/penjelasan yang cukup mengenai cara
minum/menggunakan obat. Timbulnya efek samping (misalnya ruam kulit dan
nyeri lambung), atau efek ikutan (urine menjadi merah karena minum
rifampisin) tanpa diberikan penjelasan terlebih dahulu.
(Kimia Farma, 2018)

7
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Peran Farmasi Dalam Penggunaan Obat Rasional


Penggunaan obat sendiri atau swamedikasi sering dilakukan oleh masyarakat.
Dalam pengobatan sendiri sebaiknya mengikuti persayaratan penggunaan obat
rasional. Penggunaan obat dikatakan rasional (WHO 1985) bila pasien menerima
obat sesuai dengan kebutuhannya, untuk periode waktu yang adekuat dan dengan
harga yang paling ekonomis untuk pasien atau masyarakat.
WHO memperkirakan bahwa lebih dari separuh dari seluruh obat di dunia
di resepkan, dibeikan, dan dijual dengan cara yang tidak tepat dan separuh dari
pasien menggunakan obat secara tidak tepat.
Apoteker tidak hanya bertanggung jawab atas obat sebagai produk dengan
segala implikasinya melainkan bertanggung jawab terhadap penggunaan obat
rasional sehingga efek terapetik dan keamanan suatu bat mencapai efek yang
optimal. Memberikan pelayanan kefarmasian secara paripurna dengan
memperhatikan faktor keamanan pasien antara lain dalam proses pengelolaan
sediaan farmasi melakukan monitoring dan mengevaluasi keberhasilan terapi,
memberikan pendidikan dan konseling serta bekerja sama erat dengan pasien dan
tenaga kesehatan lain merupakan suatu upaya yang meningkatan kualitas hidup
pasien.

Tabel 3.1 Indikator Utama Penilaian Rasionalitas Penggunaat Obat


Indikator Parameter Penilaian
Peresepan Rata-rata jumlah obat yang diresepkan untuk tiap
pasien
Persentase peresepan antibiotik
Persentase peresepan injeksi
Persentase peresepan obat dari daftar obat esensial
yang ada
Pelayanan Pasien Rata-rata waktu untuk konsultasi
Rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk penyerahan
obat
Persentase obat yang diserahkan pada pasien
Persentase obat yang pelabelannya mencukupi

8
Pengetahuan pasien tentang pengobatan yang benar
Fasilitas Ketersediaan formularium atau daftar obat-obat
esensial
Ketersidaan obat-obat esensial

3.2 Masalah Yang Ada di Indonesia Terkait Penggunaan Obat Rasional


Penggunaan obat yang tidak rasional sering dijumpai dalam praktek sehari-
hari. Peresepan obat tanpa indikasi yang jelas; penentuan dosis, cara, dan lama
pemberian yang keliru, serta peresepan obat yang mahal merupakan sebagian
contoh dari ketidakrasionalan peresepan. Penggunaan suatu obat dikatakan tidak
rasional jika kemungkinan dampak negatif yang diterima oleh pasien lebih besar
dibanding manfaatnya. Dampak negatif di sini dapat berupa:
a. Dampak klinik (misalnya terjadinya efek samping dan resistensi kuman),
b. Dampak ekonomi (biaya tidak terjangkau)

3.2.1 Penggunaan obat Hipertensi yang tidak rasional


Tabel 3.2.1 Profil penggunaan obat kategori tidak tepat obat antihipertensi pada pasien
hipertensi dengan gagal ginjal di instalasi rawat inap RS “X” tahun 2010
Kategori Antihiperensi No Kasus Keterangan Jumlah Presentase
Kombinasi Diltiazem 8 Diltiazem 2 4%
obat yang dan dan
tidak tepat Amlodipin amlodipin
samasama
golongan

Captopril 20 Captopril 6 12%


dan dan
lisinopril Lisinopril
ACEI

Obat dikatakan kombinasi yang tidak tepat apabila digunakan 2 obat dari
golongan yang sama secara bersamaan atau kombinasi obat yang dilakukan tidak
sesuai standar. Pada penelitian ini didapat 2 kasus (4%) dimana terjadi kombinasi
obat yang tidak tepat. Pada kasus nomer 8 pasien mendapat kombinasi terapi
diltiazem dan amlodipin yang merupakan obat golongan CCB. Sedangkan pada

9
kasus nomer 20 pasien mendapat kombinasi terapi captopril dan lisinopril.
Captopril dan dan lisinopril merupakan obat golongan ACEI. Pemberian obat
dengan kombinasi yang tidak tepat dimana keduanya berasal dari kelas terapi
yang sama dapat meningkatkan efek yang tidak diinginkan atau efek samping dari
obat tersebut sehingga tidak tercapai efek terapetik yang diharapkan.
Berdasarkan penelitian terdapat kombinasi obat antihipertensi sebanyak 4
sampai 5 kombinasi, berbagai uji klinis telah menunjukkan bahwa rata‐rata
diperlukan 2 sampai 3 obat antihipertensi untuk dapat mencapai TD target terapi.
Sehingga terapi menggunakan 4 hingga 5 kombinasi antihipertensi dinyatakan
tidak rasional. Jumlah kasus pasien yang mendapat terapi tidak rasional sebanyak
6 pasien (12%). Kombinasi obat yang bekerja memblok system renin‐angiotensin‐
aIdosteron biasanya cukup untuk mencapai target TD (Bakris, 2001). Kombinasi
terapi yang dianjurkan oleh American Family Physician (AFP) adalah Beta
blocker dan diuretik, Angiotensin Converting Enzym Inhibitor dan diuretik,
Angiotensin Receptor Blocker dan diuretik, Calcium Channel Blocker dan
Angiotensin Converting Enzym Inhibitor (Skolnik, et al,2000).
Penggunaan kombinasi obat secara rasional bertujuan untuk
mempertahankan tekanan darah menggunakan dua antihipertensi yang memiliki
tempat aksi dan golongan yang berbeda dan untuk meningkatkan kepatuhan
pasien dengan menggunakan satu tablet yang diminum dua atau tiga kali sehari.
Penggunaan dosis rendah dari dua obat yang berbeda dapat juga mengurangi efek
klinis dan metabolic yang terjadi pada dosis maksimal dari tablet kombinasi.
Keuntungan potensial ini yang mendasari beberapa peneliti untuk menggunakan
terapi antihipertensi kombinasi sebagai terapi awal, terutama pada pasien dengan
resiko kerusakan organ yang tinggi atau pada tingkat hipertensi yang lebih parah
(Sklonik et al, 2000).
3.2.2 Penggunaan Obat Antibiotik Tidak Rasioanl
Jika pemberian antibiotik dilakukan secara berulang-ulang, maka efek
yang ditimbulkan pada pasien dapat menyebabkan mudah sakit serta perlu
kembali ke dokter karena terjadinya resistensi
3.2.3 Penggunaan Obat Dekstrometorfan Tidak Rasional

10
Yang dilakukan oleh masyarakat khususnya di kalangan pemuda yang ada
dapat dilihat dalam satu hari obat dekstrometorfan dapat dikonsumsi beberapa
puluh butir dan sering dikombinasikan dengan minuman. Dalam tubuh,
dekstrometorfan diabsorpsi dengan baik setelah pemberian oral dengan kadar
serum maksimal dicapai dalam 2,5 jam. Efek yang timbul cepat, seringkali 15-30
menit setelah pemberian oral. Waktu paruh obat ini adalah 2-4 jam dan lama
kerjanya adalah 3-6 jam. Metabolisme dekstrometorfan telah diketahui dengan
baik dan telah diterima secara luas bahwa aktivitas terapeutik dekstrometorfan
ditentukan oleh metabolit aktifnya yaitu dekstorfan (Rahmatika, 2013).
Efek yang dirasakan setelah mengkonsumsi obat dekstrometorfan yaitu dari
44 responden menjawab halusinasi penglihat, pikiran yang melayang-layang dan
merasa, 6 responden menjawab pikiran tidak fokus, merasa senang dan merasa
tidak memiliki beban. Efek yang muncul dibagi dalam 4 tingkatan yang pertama
dosis 100–200mg, timbul efek stimulasi ringan, kedua dosis 200–400mg, timbul
efek euforia dan halusinasi, ketiga dosis 300–600mg, timbul efek perubahan pada
penglihatan dan kehilangan koordinasi motorik dan yang ke empat dosis 500–
1500mg, timbul efek sedasi disosiatif (BPOM, 2012).

3.3 Solusi dan Pemecahannya Menurut Mahasiswa


Solusi dan pemecahan yang dapat dilakukan mahasiswa sebagai berikut:
1. Upaya Pendidikan (educational strategies)
Upaya pendidikan dapat mencakup pendidikan selama masa kuliah (pre service)
maupun sesudah menjalankan praktek keprofesian (post service). Upaya tersebut
mutlak harus diikuti dengan pendidikan kepada pasien/masyarakat secara
simultan. Upaya peningkatan mutu calon Apoteker selama dalam masa
pendidikan dapat dilakukan dengan pendekatan berdasar masalah (problem-based
approach), memperbaiki isi (content) maupun metode pengajaran (teaching
method) agar lebih diarahkan pada pengobatan yang rasional. Pengalaman selama
ini menunjukkan bahwa pendidikan farmakologi lebih banyak berorientasi pada
aspek obat, bukannya penerapan pengobatan pada kondisi-kondisi tertentu
(terapi), sehingga tidak jarang muncul kesenjangan antara pengetahuan tentang
obat dengan pelaksanaan pengobatan dalam klinik. Salah satu upaya pendidikan

11
pre service ini antara lain dengan membiasakan mahasiswa memecahkan masalah
klinik dalam bentuk pembahasan kasus. Hal ini selain dimaksudkan untuk
memelihara pengetahuan dan ketrampilan mengenai terapi yang mutakhir, juga
untuk meluruskan informasi obat yang sebagian besar berasal dari industri
farmasi, agar tidak “bias” terhadap jenis/produk-produk tertentu.
2. Pengabdian Masyarakat
Melakukan pengabdian masyarakat yang berupa penyuluhan mengenai
pentingnya penggunaan obat secara rasional.
3. Riset Penelitian
Melakukan riset penelitian mengenai penyebab penggunaan obat secara tidak
rasional.
4. Upaya Informasi
Bagi apoteker, sebagai dispenser (penyerah obat), intervensi informasi
bertujuan untuk memberi kemudahan dalam memperoleh informasi ilmiah yang
diperlukan dalam menunjang pelaksanaan praktek keprofesiannya. Dengan
informasi tersebut, dispenser dapat menjelaskan cara menyimpan dan minum obat
secara tepat, serta hal-hal lain yang perlu diperhatikan.
Bagi pasien/masyarakat, intervensi informasi lebih ditujukan untuk mendidik
agar memahami dengan benar setiap upaya pengobatan yang diberikan, karena
keberhasilan terapi sangat ditentukan oleh ketaatan pasien untuk menjalankan
setiap upaya pengobatan yang diberikan oleh dokter.

BAB IV
PENUTUP
3.1 Simpulan
Penggunaan obat rasional adalah penggunaan obat yang disesuaikan
dengan kebutuhan klinis pasien, baik dalam jumlah maupun waktu yang memadai,
disertai dengan biaya paling rendah. Peran farmasi dalam penggunaan obat secara
rasional memberikan pelayanan kefarmasian secara paripurna dengan

12
memperhatikan faktor keamanan pasien antara lain dalam proses pengelolaan
sediaan farmasi melakukan monitoring dan mengevaluasi keberhasilan terapi,
memberikan pendidikan dan konseling. Penggunaan obat dikatakan rasional bila
tepat indikasi, tepat diagnosis, tepat dosis, dan waspada efek samping. Masih
terdapat beberapa permasalahan penggunaan obat secara tidak rasional di
Indonesia seperti penggunaan obat antihipertensi, antibiotic dan bebrapa obat
lainnya seperti dextormetorfan. Mahasiswa juga memiliki peranan penting dalam
memberikan informasi terkait penggunaan obat secara rasional.

3.2 Saran
Perlu dilakukan berbagai riset terkait penggunaan obat yang rasional
dimasyarakat dan berserta upaya-upayanya.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pengawasan Obat dan Makanan. 2012. Info POM : Mengenal


Penyalahgunaan Dekstrometorfan. BPOM RI: Jakarta.

Hussain A1, Ibrahim MI, Baber ZU. Using the potentials of community
pharmacies to promote rational drug use in Pakistan: an opportunity exists
or lost. J Pak Med Assoc. 2012;62(11):1217–22.

13
Kimia Farma. 2018. Peran Apoteker dalam Penggunaan Obat Rasional. Jakarta :
Zamasco Mitra Solusindo

Rahmatika, Fitrianingsi. 2013. Zat-zat yang terkandung dalam obat batuk.


Universitas Diponegoro : Semarang

Skolnik, N. S,M.D., Beck, J.D, M.D., & Clark, M. M.D.,2000. Combination


Antihypertensive Drugs: Recommendations for Use, Am Fam Physician.
2000 May 15;61(10):3049-3056. Abington Memorial Hospital,
Jenkintown, Pennsylvania

World Health Organization (2002). Promoting Rational Use of Medicines : Core


Components. Dalam W. H Organization, WHO Policy Perspectives On
Medicines. Geneva : WHO

World Health Organization (1985). The rational Use of Drugs. WHO Health
Assembly Resolution WHA 39.27. Geneva : WHO.

14

Anda mungkin juga menyukai