Anda di halaman 1dari 5

PENGANTAR METODOLOGI STUDI ISLAM

Definisi Metodologi Studi Islam

Secara bahasa, metodologi studi Islam berasal dari metodologi, studi, dan Islam. Metodologi berasal
dari bahasa Yunani yaitu method dan logos. Method berarti cara dan logos berarti ilmu. Secara bahasa,
metodologi berarti ilmu tentang cara. Studi berasal dari bahasa Inggris yaitu study, yang berarti
mempelajari atau mengkaji.
Islam berasal dari bahasa Arab yaitu kata salima dan aslama. Salima mengandung arti selamat,
tunduk, dan berserah. Sedangkan aslama juga mengandung arti kepatuhan, ketundukan dan berserah.
Banyak pendapat yang mendefinisikan tentang metodologi, antara lain:
1. Ahmad Tafsir, metodologi adalah cara yang paling cepat dan tepat dalam melakukan sesuatu,
dalam hal ini ilmu tentang cara studi Islam.
2. Abraham Kaflan, metodologi adalah pengkajian dengan penggambaran (deskripsi), penjelasan
(eksplanasi), dan pembenaran (justifikasi).
Sedangkan secara terminologi atau istilah, metodologi studi Islam adalah prosedur yang ditempuh
secara ilmiah, cepat, dan tepat dalam mempelajari Islam secara luas dalam berbagai aspeknya, baik dari
segi sumber ajaran, pemahaman terhadap sumber maupun sejarahnya, serta berbagai alirannya.
Metode dibutuhkan dalam melakukan suatu penelitian. Ilmu yang mempelajari metode disebut
dengan metodologi. Jadi, metodologi studi Islam merupakan ilmu yang mengkaji tentang metode-
metode, pendekatan-pendekatan, yang digunakan dalam melakukan penelitian terhadap beberapa hal
yang berkaitan dengan Islam.

Pendekatan dalam Metodologi Studi Islam


 Pendekatan teologis-normatif

Pendekatan teologis ini erat kaitannya dengan pendekatan normatif yaitu suatu pendekatan yang
memandang agama dari segi ajarannya yang pokok dan asli dari Tuhan yang didalamnya belum terdapat
penalaran pemikiran manusia. Dalam pendekatan teologis ini agama dilihat sebagai suatu kebenaran
mutlak dari Tuhan, tidak ada kekurangan sedikit pun dan tampak bersikap ideal. Pendekatan teologi
dalam memahami agama cenderung bersikap tertutup, tidak ada dialog, parsial, saling menyalahkan,
saling mengakafirkan, yang pada akhirnya terjadi pengkotak-kotakan umat, tidak ada kerjasama dan
tidak terlihat adanya kepedulian sosial. Melalui pendekatan teologi ini agama menjadi buta terhadap
masalah-masalah sosial dan cenderung menjadi lambang atau identitas yang tidak memiliki makna.
Pendekatan teologis dalam memahami agama menggunakan cara berpikir deduktif yaitu cara berpikir
yang berawal dari keyakinan diyakini benar dan mutlak adanya, karena ajaran yang berasal dari Tuhan,
sudah pasti benar sehingga tidak perlu dipertanyakan lebih dahulu melainkan dimulai dari keyakinan
yang selanjutnya diperkuat dengan dalil-dalil dan argumentasi.
Kelebihan pendekatan teologis normatif adalah melalui pendekatan teologis-normatif, seseorang
memiliki sikap militansi dalam beragama, yaitu berpegang teguh kepada yang diyakininya sebagai yang
benar tanpa memandang dan meremehkan agama lainnya. Sedangkan kekurangannya adalah bersifat
eksklusif dogmatis, tidak mau mengakui agama lain dan sebagainya. Sikap eksklusifisme teologis dalam
memandang perbedaan dan pluralitas agama sebagaimana tersebut merugikan diri sendiri dan yang lain,
karena sikap semacam ini mempersempit bagi masuknya kebenaran baru yang bisa membuat hidup
lebih lapang dan lebih kaya akan nuansa.
 Pendekatan sosiologis

Sosiologi adalah suatu ilmu yang menggambarkan tentang keadaan masyarakat lengkap dengan struktur,
lapisan serta berbagai gejala sosial lainnya yang saling berkaitan. Dengan ilmu ini suatu fenomena sosial
dapat dianalisis dengan faktor-faktor yang mendorong terjadinya hubungan, mobilitas soaial, serta
keyakinan-keyakinan yang mendasari tejadinya proses tersebut.
Pentingnya pendekatan sosiologi dalam memahami agama karena banyak sekali ajaran agama yang
berkaitan dengan masalah sosial. Misalnya kita menjumpai ayat-ayat berkenaan dengan hubungan
manusia dengan manusia lainnya, sebab-sebab yang menyebabkan terjadinya kemakmuran suatu
bangsa, dan sebab-sebab yang menyebabkan terjadinya kesengsaraan. Semua itu jelas baru dapat
dijelaskan apabila yang memahaminya mengetahui sejarah sosial pada saat ajaran agama itu diturunkan.
Bahwa ditekannya masalah muamalah (sosial) dalam Islam ialah adanya kenyataan bahwa bila urusan
ibadah bersamaan waktunya dengan urusan muamalah yang penting.
Mengkaji fenomena keagamaan berarti mempelajari perilaku manusia dalam kehidupan beragama.
Fenomena keagamaan itu sendiri adalah perwujudan sikap dan perilaku manusia yang menyangkut hal-
hal yang dipandang suci, keramat yang berlasan dari suatu kegaiban. Sosiologi menyoroti dari sudut
posisi manusia yang membawanya kepada perilaku itu.
Dalam kajian Islam persoalan muamalah (hubungan dengan manusia/hablum min al-nas) merupakan
dimensi agama yang menekankan urusan sosial. Masalah sosial sangat penting di dalam Islam. Hal ini
menjadi menarik untuk dipelajari dan dipahami.
 Pendekatan antropologis

Antropologi adalah ilmu tentang manusia dan kebudayaan. Dalam konteks sebagai metodologi,
antropologi merupakan ilmu tentang masyarakat dengan titik tolak dari unsur-unsur tradisional,
mengenai aneka warna, bahasa dan sejarah, perkembangannya serta persebarannya, dan mengenai dasar-
dasar kebudayaan manusia dalam masyarakat. Memahami Islam secara antropologis mamiliki makna
memahami Islam berdasarkan hal-hal tersebut. pemahaman yang lainnya dianggap salah.
Melalui pendekatan antropologis tersebut terlihat dengan jelas hubungan agama berbagai masalah
kehidupan manusia, dan dengan itu pula agama terlihat akrab dan fungsional dengan berbagai fenomena
kehidupan manusia. Pendekatan antropologis seperti itu diperlukan adanya, sebab banyak hal yang
dibicarakan agama hanya bisa dijelaskan dengan tuntas melalui pendekatan antropologis.
Dalam Al-Qur’an Al-Karim, sebagai sumber utama ajaran Islam. Misalnya kita memperoleh informasi
tengang kapal Nabi Nuh di gunung Arafat, kisah Ashabul Kahfi yang dapat bertahan hidup dalam gua
lebih dari 300 tahun lamanya. Dimana kira-kira bangkai kapal Nabi Nuh itu dimana kira-kira gua itu dan
bagaimana pula bisa terjadi hal yang menakjubkan itu ataukah hal yang demikian merupakan kisah
fiktif.
Dengan demikian, pendekatan antropologis sangat dibutuhkan dalam memahami ajaran agama, karena
dalam ajaran agama tersebut terdapat uraian dan informasi yang dapat dijelaskan melalui bantuan ilmu
antropologi dengan cabang-cabangnya.
 Pendekatan historis atau sejarah

Sejarah atau historis adalah suatu ilmu yang didilamnya dibahas berbagai peristiwa dengan
memperhatikan unsur tempat, waktu, objek, latar belakang, dan perilaku dari peristiwa tersebut. Melalui
pendekatan sejarah seseorang diajak untuk memasuki keadaan yang sebenarnya berkenaan dengan
penerapan suatu peristiwa.
Seseorang yang ingin memahami Al-Qur’an secara benar, misalnya yang bersangkutan harus
mempelajari sejarah turunnya Al-Qur’an atau kejadian-kejadian yang mengiringi turunnya Al-Qur’an
yang selanjutnya disebut sebagai Ilmu Asbab al-Nuzul (ilmu tentang sebab-seba turunnya ayat Al-
Qur’an) yang pada intinya berisi sejarah turunnya Ayat Al-Qur’an. Dengan ilmu asbabun nuzul ini
seseorang akan dapat mengetahui hikmah yang terkandung dalam suatu ayat yang berkenaan dengan
hukum tertentu dan ditujukan untuk memelihara syariat dari kekeliruan memahaminya. Dari keadaan ini
seseorang akan melihat adanya kesenjangan atau keselarasan antara yang terdapat dalam amalan idealis
dengan yang ada di alam empiris dan historis.
Pendekatan sejarah menitikberatkan pada kronologi pertumbuhan dan perkembangan. Pendekatan
historis menggunakan analisis atas peristiwa-peristiwa masa silam untuk merumuskan prinsip-prinsip
umum.
Langkah-langkah pendekatan metode sejarah sebagai berikut:
Pengumpulan obyek yang berasal dari suatu zaman dan pengumpulan bahan-bahan tertulis dan lisan
yang relevan (heuristik).
Menyingkirkan bahan-bahan yang tidak otentik (kritik atau verifikasi).
Menyimpulkan kesaksian yang dapat dipercaya berdasarkan bahan-bahan yang otentik (interpretasi).
Penyusunan kesaksian yang dapat dipercaya berdasarkan kisah atau penyajian yang berarti.
Jika hukum dipelajari dengan mempergunakan pendekatan analisis sejarah, maka orang akan menjadi
terbuka terhadap perubahan dan pembaharuan hukum. Orang tidak lagi akan memegang teguh pendirian
bahwa hanya sesuatu aliran hukum sajalah yang paling benar dan berlaku disemua tempat dan sepanjang
waktu.
 Pendekatan filosofis
Secara harfiah, kata filsafat berasal dari kata philo yang berarti cinta kepada kebenaran, ilmu, dan
hikmah. Selain itu, filsafat dapat pula berarti mencari hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab dan
akibat serta berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia. Sehingga filsafat adalah berpikir
secara mendalam, sistematik, radikal, dan universal dalam rangka mencari kebenaran, inti, hikmah atau
hakikat mengenai segala sesuatu yang ada.
Berpikir secara filosofis dapat digunakan dalam memahami ajaran agama, dengan maksud agar hikmah,
hakikat atau inti dari ajaran agama dapat dimengerti dan dipahami secara seksama. Dengan
menggunakan pendekatan filosofis ini seseorang akan dapat memberi makna terhadap sesuatu yang
dijumpainya dan dapat pula menangkap hikmah da ajaran yang terkandung didalamnya. Melalui
pendekatan filosofis ini, seseorang tidak akan terjebak pada pengamalan agama yang bersifat formalistik
atau mengamalkan agama dengan susah payah tapi tidak memiliki makna apa-apa, kosong tanpa arti.
Misalnya sudah haji tetapi hanya berhenti sampai di situ saja, mereka tidak dapat merasakan nilai-nilai
spiritual yang terkandung didalamnya.
Namun demikian, pendekatan filosofis ini tidak berarti menyepelekan bentuk pengalaman agama yang
bersifat formal. Filsafat mempelajari segi batin yang bersifat esoterik, sedangkan bentuk forma
memfokuskan segi lahiriah yang bersifat eksoterik. Bentuk atau kulit itulah yang disebut aspek eksoterik
dan agama-agama manifestasinya dalam dunia ini menjadi religious. Sedangkan kebenaran yang bersifat
absolut, universal, dan metahistoris adalah religion. Pada titik religion inilah titik persamaan yang
sungguh-sungguh akan dicapai.
 Pendekatan kebudayaan
Kebudayaan adalah hasil daya cipta manusia dengan menggunakan dan mengerahkan segenap potensi
batin yang dimilikinya. Kebudayaan digunakan untuk memahami agama yang terdapat pada tataran
empiris atau agama yang tampil dalam bentuk formal yang menggejala di masyarakat, misalnya
membaca kitab fiqih maka fiqih yang merupakan pelaksanaan dari nash Al-Qur’an maupun hadis sudah
melibatkan unsur penalaran dan kemampuan manusia. Agama yang tampil dalam bentuknya yang
demikian itu berkaitan dengan kebudayaan yang berkembang di masyarakat tempat agama itu
berkembang. Dengan melalui pemahaman terhadap kebudayaan tersebut seseorang akan dapat
mengamalkan ajaran agama, misalnya tentang kebudayaan berpakaian.
 Pendekatan psikologi
Psikologi atau ilmu jiwa adalah ilmu yang mempelajari jiwa seseorang melalui gejala perilaku yang
dapat diamatinya. Menurut Zakiyah Darojat perilaku seseorang yang tampak lahiriah terjadi karena
dipengaruhi oleh keyakinan yang dianutnya. Dengan ilmu jiwa ini seseorang selain akan mengetahui
tingkat keagamaan yang dihayati, dipahami, dan diamalkan seseorang juga dapat digunakan sebagai alat
untuk memasukkan agama kedalam jiwa seseorang, sesuai dengan tingkatan usianya.
Dengan ilmu ini agama akan menemukan cara yang tepat dan cocok untuk menanamkannya. Misalnya
dapat mengetahui pengaruh dari sholat, puasa, zakat, haji, dan ibadah lainnya, dengan melalui ilmu jiwa.
Dengan pengetahuan ini maka dapat disusun langkah-langkah baru yang lebih efisien lagi dalam
menanamkan ajaran agama.

Tujuan Mempelajari Metodologi Studi Islam


Adapun tujuan mempelajari metodologi studi Islam secara umum, adalah sebagai berikut:
1. Untuk mempelajari secara mendalam apa sebenarnya hakikat agama Islam.
2. Studi Islam dilaksanakan atas asumsi bahwa sebenarnya agama diturunkan Allah adalah untuk
membimbing dan mengarahkan serta menyempurnakan pertumbuhan dan perkembangan agama-
agama dan budaya umat manusia dimuka bumi ini.
3. Untuk mempelajari secara mendalam pokok-pokok isi ajaran agama Islam yang asli dan
bagaimana penjabaran dan operasionalisasinya dalam pertumbuhan dan perkembangan budaya
dan peradaban Islam sepanjang sejarah.
4. Untuk mempelajari secara mendalam sumber dasar ajaran agama Islam yang tetap abadi dan
dinamis.
5. Bahwasanya pokok-pokok ajaran Islam ini sesuai dengan fitrah manusia (potensi dasar). Dari
potensi fitrah inilah manusia mampu mengatur dan menyusun suatu sistem kehidupan. Dengan
kata lain, pokok-pokok isi ajaran agama Islam tersebut mempunyai daya adaptasi dan
berinteraksi dengan setiap sistem hidup dan lingkungan budaya yang djumpainya.
Sedangkan menurut Abuy Shodiqin, ia menyebutkan pentingnya metodologi studi Islam dengan
beberapa alasan, antara lain:
1. Untuk mengupayakan cara yang tepat, cepat, dan tepat dalam mempelajari Islam.
2. Usaha untuk menampilkan kembali Islam yang memiliki sejumlah khasanah dan warisan
intelektual dari masa lalu sampai sekarang. Agar mampu menjawab tantangan ini, banyak
bergantung kepada pemikiran dan cara berpikir umat Islam tentang agamanya, dengan pola pikir
ilmiah yg islami. Hal ini membutuhkan kemampuan metodologis dalam melakukan studi Islam
dalam berbagai dimensinya itu agar sesuai dengan tantangan yang dihadapi.
3. Ajaran Islam sendiri menuntut untuk dipelajari dan dipahami melalui prosedur yang tepat, yaitu
memahami ruang lingkup dan isinya.
4. Sikap eksklusivisme di kalangan umat Islam masih dipandang wajar karena memang
kebanyakan umat Islam memahami Islam secara parsial, tidak komprehensif, tidak metodologis,
dan tidak sistematis. Dengan mempelajari metodologi studi Islam, diharapkan pandangan
eksklusivisme atau ekstrim (radikalisme) itu bisa berubah ke arah pandangan yang bijaksana,
inklusif, dan universal serta memancarkan rahmat bagi semua (rahmatan lil ‘alamin). Hal ini
tentu saja dimulai dari perubahan format dalam studi Islam bagi umat Islam.

Anda mungkin juga menyukai